Kadar Serum Laktat Setelah Resusitasi Sebagai Indikator
Morbiditas dan Mortalitas Pada Kasus Multipel Trauma di
Rumah Sakit H. Adam Malik Medan
TESIS Salamullah
OLEH Salamullah
PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul : Kadar Serum Laktat Setelah Resusitasi Sebagai Indikator Morbiditas dan Mortalitas Pada Kasus Multipel Trauma di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan
Nama PPDS : dr. Salamullah
Nomor CHS :
Bidang Ilmu : Kedokteran / Ilmu Bedah Kategori : Bedah Orthopaedi
TESIS INI TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI OLEH
MEDAN, APRIL 2014 Pembimbing :
NIP: 19630924 198903 1 002 Dr. Chairiandi Siregar. SpOT(K)
Ketua Departemen Ilmu Bedah Ketua Program Studi Ilmu Bedah
Dr. Emir Taris Pasaribu,SpB(K)Onk
SURAT KETERANGAN
Sudah Diperiksa Tesis Penelitian
Judul : Kadar Serum Laktat Setelah Resusitasi Sebagai Indikator Morbiditas dan Mortalitas Pada Kasus Multipel Trauma di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan
Peneliti : dr.Salamullah Departemen : Ilmu Bedah
Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
MEDAN, April 2014
KONSULTAN METODOLOGI PENELITIAN FAKULTAS KEDOKTERAN USU
PERNYATAAN
Kadar Serum Laktat Setelah Resusitasi Sebagai Indikator
Morbiditas dan Mortalitas Pada Kasus Multipel Trauma di Rumah
Sakit H. Adam Malik Medan
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Desember 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan, karena berkat segala rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis MagisterK ini yang merupakan salah satu persyaratan tugas akhir untuk memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Selawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.
Dengan selesainya penulisan tesis ini, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
Kedua orang tua, ayahanda H. M Nur Thaher dan ibunda Hj. Cut Nadiah, terima kasih yang sedalam-dalamnya dan setulus-tulusnya, yang telah membesarkan dan mendidik penulis sejak kecil dengan penuh kesabaran, kasih sayang dan perhatian, dengan diiringi doa dan dorongan yang tiada hentinya sepanjang waktu, memberikan contoh yang sangat berharga dalam menghargai dan menjalani kehidupan.
Kepada ayahanda dr.H. Mistar Ritonga Sp.F dan ibunda Hj. dr. Sri Rahmawati, abang, kakak, adik-adik dan seluruh keluarga besar, penulis mengucapkan terima kasih atas pengertian dan dukungan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan.
Terima kasih yang tak terkira kepada istriku tercinta dr. Anggraini Ritonga M.Ked(Paru)Sp.P dan anakku Myiesha Nadhira Azalea dan Kana Syaumi Dafiya atas segala pengorbanan, pengertian, dukungan semangat, kesabaran dan kesetiaan dalam segala suka duka mendampingi penulis selama menjalani masa pendidikan yang panjang ini.
Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
menerima, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran selama penulis menjalani pendidikan.
Dr. Chairiandi Siregar, SpOT(K) Ketua Program Studi Bedah Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara sekaligus pembimbing penelitian saya, terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya yang dapat penulis sampaikan, yang telah membimbing, mendidik, membuka wawasan penulis, senantiasa memberikan dorongan dan motivasi yang tiada hentinya dengan penuh bijaksana dan tulus ikhlas disepanjang waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada guru-guru saya : Prof. Bachtiar Surya, SpB-KBD, Prof. Iskandar Japardi, SpBS(K), Prof. Dr. Abd. Gofar Sastrodiningrat, SpBS(K), Prof. Adril A Hakim, SpS,SpBS(K), Prof. Nazar Moesbar, SpB,SpOT, Prof. Hafas Hanafiah, SpB,SpOT, Alm.Prof Usul Sinaga, SpB, Alm.Prof Buchari Kasim, SpBP, dr. Asmui Yosodihardjo, SpB,SpBA, dr. Syahbuddin Harahap, SpB, DR. dr. Humala Hutagalung, SpB(K)ONK, dr. Gerhard Panjaitan, SpB(K)ONK, dr. Harry Soejatmiko, SpB,SpBTKV, dan seluruh guru bedah saya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, di lingkungan RSUP H Adam Malik, RSU Pirngadi Medan dan di semua tempat yang telah mengajarkan ketrampilan bedah pada diri saya. Semua telah tanpa pamrih memberikan bimbingan, koreksi dan saran kepada penulis selama mengikuti program pendidikan ini.
Prof. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah membimbing, membantu dan meluangkan waktu dalam membimbing statistik dari tulisan tugas akhir ini.
Para Senior, dan sejawat peserta program studi Bedah yang bersama-sama menjalani suka duka selama pendidikan.
Akhirnya hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan.
Semoga ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan Magister spesialisasi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Terima kasih.
Medan, Juni 2014 Penulis
Dr. Salamullah
DAFTAR ISI
Halaman PERSETUJUAN PROPOSAL
Pembimbing, Ketua Departemen, Ketua Program Studi ... i
Konsultan Metodologi Penelitian.. ... ii
PERNYATAAN ... iii
2.11. Revised Trauma score dan Injury Severity Score... 22
2.12. Biokimia laktat ………... 24
2.13. Serum laktat indikator morbiditas dan mortalitas pada pasien multipel trauma ... 26
2.14. Laktat pada trauma ... 27
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.7.Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)... 30
3.8. Etika Penelitian ... 30
3.9. Cara Kerja ... 30
3.9.1. Alokasi sampel ... 30
3.9.2. Pengukuran dan intervensi...30
3.9.2.1. Tahap persiapan ... 30
3.9.2.2. Tahap pelaksanaan ... 31
3.9.2.3. Tahap akhir penelitian ... 31
3.10. Identifikasi Variabel ... 31
3.10.1. Variabel bebas ... 31
3.10.2. Variabel tergantung ... 31
3.11. Definisi Operasional ... 31
3.12. Kerangka kerja ... 32
3.13. Rencana pengolahan dan analisis data ... 33
BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1. Deskripsi karakteristik penderita multipel trauma ... 34
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Susunan Peneliti ... 46
2. Rencana Anggaran Penelitian ... 47
3. Jadwal Penelitian ... 48
4. Naskah Penjelasan kepada Orang Tua /Kerabat Pasien lainnya ... 49
5. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) ... 50
6. Persetujuan dari Komisi Etika Penelitian ... 51
7. Formulir/Kuisioner ... 52
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Deskripsi karakteristik penderita multipel trauma. Tabel 4.2. Hasil pemeriksaan laboratorium
Tabel 4.3. Deskripsi trauma
Tabel 4.4. Hubungan kadar serum laktat sebelum dan sesudah resusitasi Tabel 4.5. Hubungan kadar serum laktat sebelum resusitasi dengan morbiditas Tabel 4.6. Hubungan kadar serum laktat sebelum resusitasi dengan mortalitas Tabel 4.7. Hubungan kadar serum laktat setelah resusitasi dengan morbiditas Tabel 4.8. Hubungan kadar serum laktat setelah resusitasi dengan mortalitas
KADAR SERUM LAKTAT SETELAH RESUSITASI SEBAGAI INDIKATOR MORBIDITAS DAN MORTALITAS PADA KASUS MULTIPEL TRAUMA DI
RUMAH SAKIT H. ADAM MALIK MEDAN Salamullah1, Chairiandi Siregar2
1
PPDS Bedah Universitas Sumatera Utara, 2Departemen Bedah Orthopaedi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-RSUP-HAM Medan
Latar belakang : Saat ini penelitian untuk mencari marker yang terbaik untuk diagnosa, prognosa, dan penanganan pasien-pasien trauma masih terus berlangsung. Pedoman untuk akhir dari resusitasi masih menjadi kontroversi. Dua marker yang sering digunakan untuk menilai keberhasilan resusitasi, yaitu defisit basa dan serum laktat. Serum Laktat adalah parameter yang sensitive untuk menilai adekuat-tidaknya oksigenasi sel. Peningkatan tingkat laktat mencerminkan hipoksia jaringan dan metabolisme anaerobik berlangsung dalam tubuh dan biasanya diatasi dengan resusitasi yang memadai.
Objektif : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai hubungan kadar serum laktat pasien multipel trauma setelah dilakukan resusitasi dengan morbiditas dan mortalitas.
Metode :
Hasil : Dari 32 sampel yang diteliti dijumpai penderita laki-laki sebanyak 25 orang ( 78,1% ) dan wanita 7 orang ( 21,9% ) dengan rata-rata usia 28,75 ± 12,425 tahun. Kasus multipel trauma yang terbanyak yaitu trauma kepala (14 kasus), diikuti fraktur femur (12 kasus). Penderita yang meninggal sebanyak 11 kasus dan penderita yang hidup sebanyak 21 kasus. Pasien yang meninggal paling banyak dengan kadar serum laktat >5 mmol/liter yaitu sebanyak 7 orang dari 11 pasien yang meninggal. Dan yang paling sedikit meninggal adalah pasien yang kadar serum laktatnya < 2 mmol/liter yaitu 1 pasien.
Kesimpulan : Kadar serum laktat tidak hanya sebagai indikator yang menerangkan pasien dalam keadaan shock, tapi juga dapat digunakan sebagai indikator dalam menentukan morbiditas dan mortalitas pada pasien multipel trauma.
Kata kunci : Multipel trauma, serum laktat, morbiditas, mortalitas
SERUM LACTATE AFTER RESUSCITATION AS INDICATOR MORBIDITY AND MORTALITY IN MULTIPLE TRAUMA IN H. ADAM
MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN
Background : The search for the best marker or set of marker for the diagnosis, prognosis and treatment of trauma patients is still in process. The optimal guide to the end point of resuscitation remains controversial. The two most commonly used markers in assessing resuscitation remain base defisit and lactate. Lactate is a most sensitive parameter to assess the cell oxygenation. Increase of lactate’s level shows the tissue in hypoxia condition and anaerobic metabolism is taking place in the body. It is usually can be solved by adequate resuscitation.
Objective : The aim of the study is to determine correlation of lactate’s value in multiple trauma after resuscitated with morbidity and mortality.
Results : from 32 samples in this study, there were 25 male patients (78,1%) and 7 female patients (21,9%) with mean age 28,75 ± 12,425 years old. Head injury was the most encountered abnormality (14 cases) in the multiple trauma cases, followed by femur fracture (12 cases). There were 11 cases of mortality in this study, in which most of the patients (7 patients) have lactate serum >5 mmol/litre. In contrary, in patient with lactate serum <2 mmol/litre, only 1 case of mortality was reported. Methods : This study is a prospective analytical descriptive study which conducted in 32 multiple trauma patients that came to the emergency room of Adam Malik Hospital in the first 12 hours after accident. Resuscitation was done according to the ATLS protocol in the emergency room. Lactate serum was taken and examined after the resuscitation took place. Lactate serum >2 mmol/litre is a abnormal finding dan lactate serum >5 mmol/litre considered as a significant number that caused morbidity and mortality.
KADAR SERUM LAKTAT SETELAH RESUSITASI SEBAGAI INDIKATOR MORBIDITAS DAN MORTALITAS PADA KASUS MULTIPEL TRAUMA DI
RUMAH SAKIT H. ADAM MALIK MEDAN Salamullah1, Chairiandi Siregar2
1
PPDS Bedah Universitas Sumatera Utara, 2Departemen Bedah Orthopaedi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-RSUP-HAM Medan
Latar belakang : Saat ini penelitian untuk mencari marker yang terbaik untuk diagnosa, prognosa, dan penanganan pasien-pasien trauma masih terus berlangsung. Pedoman untuk akhir dari resusitasi masih menjadi kontroversi. Dua marker yang sering digunakan untuk menilai keberhasilan resusitasi, yaitu defisit basa dan serum laktat. Serum Laktat adalah parameter yang sensitive untuk menilai adekuat-tidaknya oksigenasi sel. Peningkatan tingkat laktat mencerminkan hipoksia jaringan dan metabolisme anaerobik berlangsung dalam tubuh dan biasanya diatasi dengan resusitasi yang memadai.
Objektif : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai hubungan kadar serum laktat pasien multipel trauma setelah dilakukan resusitasi dengan morbiditas dan mortalitas.
Metode :
Hasil : Dari 32 sampel yang diteliti dijumpai penderita laki-laki sebanyak 25 orang ( 78,1% ) dan wanita 7 orang ( 21,9% ) dengan rata-rata usia 28,75 ± 12,425 tahun. Kasus multipel trauma yang terbanyak yaitu trauma kepala (14 kasus), diikuti fraktur femur (12 kasus). Penderita yang meninggal sebanyak 11 kasus dan penderita yang hidup sebanyak 21 kasus. Pasien yang meninggal paling banyak dengan kadar serum laktat >5 mmol/liter yaitu sebanyak 7 orang dari 11 pasien yang meninggal. Dan yang paling sedikit meninggal adalah pasien yang kadar serum laktatnya < 2 mmol/liter yaitu 1 pasien.
Kesimpulan : Kadar serum laktat tidak hanya sebagai indikator yang menerangkan pasien dalam keadaan shock, tapi juga dapat digunakan sebagai indikator dalam menentukan morbiditas dan mortalitas pada pasien multipel trauma.
Kata kunci : Multipel trauma, serum laktat, morbiditas, mortalitas
SERUM LACTATE AFTER RESUSCITATION AS INDICATOR MORBIDITY AND MORTALITY IN MULTIPLE TRAUMA IN H. ADAM
MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN
Background : The search for the best marker or set of marker for the diagnosis, prognosis and treatment of trauma patients is still in process. The optimal guide to the end point of resuscitation remains controversial. The two most commonly used markers in assessing resuscitation remain base defisit and lactate. Lactate is a most sensitive parameter to assess the cell oxygenation. Increase of lactate’s level shows the tissue in hypoxia condition and anaerobic metabolism is taking place in the body. It is usually can be solved by adequate resuscitation.
Objective : The aim of the study is to determine correlation of lactate’s value in multiple trauma after resuscitated with morbidity and mortality.
Results : from 32 samples in this study, there were 25 male patients (78,1%) and 7 female patients (21,9%) with mean age 28,75 ± 12,425 years old. Head injury was the most encountered abnormality (14 cases) in the multiple trauma cases, followed by femur fracture (12 cases). There were 11 cases of mortality in this study, in which most of the patients (7 patients) have lactate serum >5 mmol/litre. In contrary, in patient with lactate serum <2 mmol/litre, only 1 case of mortality was reported. Methods : This study is a prospective analytical descriptive study which conducted in 32 multiple trauma patients that came to the emergency room of Adam Malik Hospital in the first 12 hours after accident. Resuscitation was done according to the ATLS protocol in the emergency room. Lactate serum was taken and examined after the resuscitation took place. Lactate serum >2 mmol/litre is a abnormal finding dan lactate serum >5 mmol/litre considered as a significant number that caused morbidity and mortality.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Multipel trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi seseorang yang telah mengalami beberapa bakar yang serius.
Multipel trauma atau politrauma adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan pasien yang mengalami suatu cedera berat yang diikuti dengan cedera yang lain, misalnya dua atau lebih cedera berat yang dialami pada minimal dua area tubuh ( Kroupa J, 1990 )
Multipel trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al., 2011).
Saat ini penelitian untuk mencari marker yang terbaik untuk diagnosa, prognosa, dan penanganan pasien-pasien trauma masih terus berlangsung. Pedoman untuk akhir dari resusitasi masih menjadi kontroversi. Idealnya, suatu marker harus mampu menilai resusitasi yang adekuat, menilai hipoksia jaringan serta mampu memprediksi mortalitas dan hasil akhir dari pasien-pasien trauma. Secara umum, resusitasi pada kasus trauma dan tindakan operasi emergensi didasarkan pada kombinasi dari nilai laboratorium, tanda vital, dan keadaan klinis. Normalisasi tanda vital, seperti tekanan darah, frekuensi nadi dan urin output biasa digunakan sebagai monitor di akhir resusitasi (Farah A.Husain, et al., 2003).
Scalea dan kawan-kawan (1994) menemukan bahwa pasien trauma berat dengan tekanan darah yang normal, dan urin output yang cukup, tapi masih dalam keadaan shock yang terkompensasi. Dua marker yang sering digunakan untuk menilai keberhasilan resusitasi, yaitu defisit basa dan serum laktat. Defisit basa dapat dijadikan marker untuk menilai keberhasilan resusitasi, namun untuk menilai mortalitas dan morbiditas pasien trauma, serum laktat lebih superior dibandingkan dengan defisit basa (Farah A.Husain, et al., 2003).
kematian setelah trauma parah atau multipel trauma.
Sebelumnya, pada tahun 2011 Guvette dan kawan-kawan dari University of Pittsburgh School Medicine, USA telah meneliti tentang serum laktat yang dapat digunakan sebagai prediktor hasil akhir dari pasien-pasien trauma. Namun, Guvette dan kawan-kawan tidak membahas bagaimana resusitasi dilakukan pada saat sebelum atau sesudah dilakukan resusitasi.
Peningkatan tingkat laktat mencerminkan hipoksia jaringan dan metabolisme anaerobik berlangsung dalam tubuh dan biasanya diatasi dengan resusitasi yang memadai (Abramson, 1993).
Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian tentang kaitan pemeriksaan serum laktat setelah dilakukan resusitasi yang dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk menilai mortalitas dan morbiditas pasien multipel trauma di rumah sakit H. Adam Malik Medan.
1.2. Rumusan masalah
Apakah kadar serum laktat setelah dilakukan resusitasi dapat menjadi indikator dalam menentukan morbiditas dan mortalitas pada pasien multipel trauma.
1.3. Hipotesis
Kadar serum laktat setelah dilakukan resusitasi dapat digunakan sebagai salah satu indikator dalam menilai morbiditas dan mortalitas pada pasien multipel trauma.
1.4. Tujuan
1.4.1. Tujuan umum
Mengetahui kadar serum laktat pada pasien multipel trauma 1.4.2.Tujuan khusus
1. Menentukan kadar serum laktat sebelum resusitasi pada pasien multipel trauma.
2. Menentukan kadar serum laktat setelah resusitasi pada pasien multipel trauma.
3. Menilai perubahan kadar serum laktat setelah resusitasi pada pasien multipel trauma.
5. Menetukan hubungan kadar serum laktat setelah resusitasi dengan hasil akhir.
6. Hubungan perubahan kadar serum laktat setelah resusitasi dengan hasil akhir.
1.5. Manfaat
1.5.1. Bidang akademik / ilmiah
Meningkatkan pengetahuan peneliti dibidang orthopaedi khususnya dapat mengetahui apakah kadar serum laktat dapat digunakan untuk menentukan morbiditas dan mortalitas pada pasien multipel trauma.
1.5.2. Bidang masyarakat
Dengan penelitian ini diharapkan dokter dapat segera menilai prognosis pasien trauma yang datang sehingga dapat segera memberikan pelayanan dan pengobatan yang tepat sehingga harapan hidup dapat ditingkatkan.
1.5.3. Bidang pengembangan penelitian
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendahuluan
Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-44 tahun di seluruh dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta pertahun) kecelakaan di jalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa pada tahun 2020, cedera lalu lintas menduduki peringkat ketiga dalam penyebab kematian dini dan kecacatan (Peden, 2004).
Multipel trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi seseorang yang telah mengalami beberapa bakar yang serius. Multipel trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al., 2011). Multipel trauma atau politrauma adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan pasien yang mengalami suatu cedera berat yang diikuti dengan cedera yang lain, misalnya dua atau lebih cedera berat yang dialami pada minimal dua area tubuh. Kondisi yang penting dalam menggambarkan penggunaan istilah ini adalah pada keadaan trauma yang bisa disertai dengan shock dan atau perdarahan serta keadaan yang dapat membahayakan jiwa seseorang (Kroupa J, 1990). Beberapa penelitian terdahulu, diantaranya Border dan kawan-kawan mendefinisikan multipel trauma adalah cedera yang cukup signifikan mengenai dua atau lebih regio tubuh. Tscherne dan kawan-kawan mengatakan multipel trauma adalah dua atau lebih cedera berat dengan salah satunya atau semuanya dapat mengancam jiwa. Beberapa penulis mendefinisikan multipel trauma menggunakan pengukuran yang lebih objektif yaitu dengan menggunakan scoring Injury Severity Score ( ISS ), dimana dikatakan multipel trauma bila nilai ISS 15 sampai 26 atau lebih besar (Nerida E, et al, 2013).
55% di negara berpenghasilan menengah dan 63% di negara berpenghasilan rendah. Lebih serius pasien cedera (ISS 15-24) mencapai rumah sakit menunjukkan peningkatan enam kali lipat dalam mortalitas pada pasien berpenghasilan ekonomi rendah.
Dalam sistem kesehatan yang canggih, korban dibawa ke rumah sakit terdekat kemudian dilakukan manajemen komprehensif di instalasi gawat darurat. Pengobatan berpusat pada evaluasi, resusitasi dan stabilisasi. Fase ini menyatu ke perawatan definitif dalam operasi, dengan kontrol jalan napas, ventilasi, dan bedah (pengelolaan perdarahan). Cedera muskuloskeletal pada awalnya stabil, diikuti oleh pengobatan definitif. Level 2 atau 3 perawatan kritis mungkin diperlukan untuk meminimalkan komplikasi dan mencegah kematian, dan rehabilitasi berkepanjangan mungkin diperlukan untuk memenuhi kebutuhan korban dengan cedera otak dan kerusakan muskuloskeletal kompleks.
Kematian yang disebabkan oleh trauma itu secara klasik memiliki 3 penyebaran, yang berhubungan antara waktu kejadian dengan penanganan efektif yang dilakukan untuk mengatasi mortalitas :
1. Immediate deaths ( kematian yang segera )
Dimana pasien meninggal oleh karena trauma sebelum sampai ke rumah sakit. Misalnya cedera kepala berat, atau trauma spinal cord. Hanya sedikit dari pasien ini yang dapat hidup sampai ke rumah sakit, karena hampir 60% dari kasus ini pasien meninggal bersamaan dengan saat kejadian.
2. Early deaths
Dimana pasien meninggal beberapa jam pertama setelah trauma. Sebagian disebabkan oleh perdarahan organ dalam dan sebagian lagi disebabkan oleh cedera sistem saraf pusat. Hampir semua kasus pada trauma ini potensial dapat ditangani. Bagaimanapun, pada umumnya setiap kasus membutuhkan pertolongan dan perawatan definitif yang sesuai di pusat-pusat trauma. Khususnya pada institusi yang dapat melakukan resusitasi segera, identifikasi trauma, dan sarana pelayanan operasi selama 24 jam.
3. Late deaths
pasien multipel trauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome
dan kondisi kelainan jiwa yang lain (David et al, 2008).
2.2. Manajemen trauma
Manajemen cedera diprioritaskan untuk mengobati cedera yang mengancam nyawa terlebih dahulu, mengikuti urutan ABCDE. Pengecualian ini adalah korban yang menderita perdarahan perifer. Hal ini telah menyebabkan pengembangan dari urutan CABC, di mana C merupakan singkatan untuk bencana perdarahan (Hodgetts, 2002). Mengancam jiwa, perdarahan eksternal dikendalikan, maka urutan ABC yang biasa diikuti.
Pada korban dengan obstruksi jalan napas dalam beberapa menit, mengamankan jalan napas pasien selalu menjadi prioritas. Setelah jalan napas terbuka, korban harus diberi oksigen dan dipasang ventilasi jika napas tidak memadai (ATLS, 2004).
Selama manajemen berlangsung, asumsi selalu dibuat dimana kerusakan servikal dan tulang belakang lumbal thoraco mungkin terjadi. Stabilitas tulang belakang leher harus dilindungi sampai leher dijamin bebas dari risiko cedera (Hodgetts, 2006).
2.2.1. Airway
Napas dibuka awalnya dengan 'manuver tangan ' angkat dagu dan dorong rahang, kepala tidak boleh dimanipulasi dan harus dalam posisi netral. Jika darah, air liur atau muntah ada dalam napas, suction harus digunakan. Jika 'tangan kosong' teknik yang tidak memadai, saluran udara orofaringeal atau nasofaring (NP) jalan napas harus hati-hati ditempatkan untuk mencegah aspek posterior lidah menghalangi faring. NP saluran udara sangat berguna bagi korban dalam menghalangi saluran udara yang dipertahankan dari gag refleks untuk menahan orofaringeal, namun mereka harus digunakan hati-hati pada korban dengan patah tulang tengkorak basal dengan klinis jelas. Jika manuver ini tidak berhasil, ada perangkat seperti Laringeal Mask Airway (LMA), yang dapat dimasukkan ke dalam situasi sulit (Hodgetts, 2002).
2.2.2. Breathing
Setelah jalan napas dibuka dan aman, penilaian pernapasan korban dibuat. Jika bernapas baik, oksigen diberikan dengan laju alir 5 L/menit. Jika ada keraguan bahwa pernapasan tidak memadai, maka ventilasi harus didukung dengan bag-valve-mask
(BVM). Ini harus memiliki reservoir yang melekat dengan oksigen mengalir dari 15 L / menit. Kecukupan oksigenasi harus dinilai oleh penilaian klinis seperti warna bibir untuk mendeteksi sianosis, atau menggunakan pulse oksimetri. Kecukupan ventilasi dapat dinilai oleh penilaian klinis ekspansi dada dan suara napas, atau penggunaan elektronik end tidal karbon dioksida (EtCO2) monitor (Clasper, 2004).
Tidak adanya bunyi nafas menunjukkan pneumothoraks atau hemothoraks. Sebuah pneumothoraks harus diperbaiki secepatnya karena merupakan cedera yang mengancam jiwa, dan harus segera didekompresi dengan jarum besar (14 gauge) kanula intravena melalui interkostal kedua di garis mid – clavicularis pada sela iga V-VI.
Open atau Sucking pneumothoraks harus ditutup dengan plester pada tiga sisi -sisi keempat terbuka untuk mencegah tension pneumotoraks berkembang. Ventilasi tekanan positif kemungkinan untuk mempercepat konversi tension pneumothoraks menjadi pneumothorax sederhana. Jika korban yang diintubasi dan berventilasi, dan pneumothoraks dicurigai, simple thoracostomy dibuat di ruang intercostal 5, anterior garis mid-clavikularis. Hal ini memungkinkan tension pneumothoraks untuk di dekompresi.
2.2.3. Circulation
Perdarahan eksternal dikendalikan terutama oleh tekanan langsung dengan
dressing, dan anggota tubuh di elevasi jika memungkinkan. Metode lain yang digunakan adalah penggunaan tourniquet, dressintag hemostatik juga dapat digunakan pada setiap tahap (Hodgetts, 2002).
Shock cenderung merupakan hasil dari perdarahan yang tidak terkendali baik eksternal atau ke internal (dada, perut, panggul, dan beberapa tulang panjang). Kehilangan cardiac output juga dapat disebabkan oleh tension pneumothorax atau tamponade jantung. Tamponade jantung paling sering dikaitkan dengan trauma tembus dada pada garis putting anterioratau scapula posterior.
Shock berat menyebabkan aktivitas listrik pulseless (PEA) atau henti jantung asystolic merupakan indikasi untuk thoracostomy bilateral dan atau pembukaan clam-shell dada.
Resusitasi adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital lainnya. Ini adalah prosedur darurat menyelamatkan nyawa yang dilakukan ketika pernapasan seseorang atau detak jantung telah berhenti. Hal ini mungkin terjadi setelah sengatan listrik, serangan jantung, atau tenggelam(Hazinski MF, Samson R, Schexnayder S. 2010). Berdasarkan Advanced Trauma Life Support,
Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal:
1. Respon cepat
- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah - Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan
2. Respon sementara
- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah - Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif - Konsultasikan pada ahli bedah
3. Tanpa respon
- Konsultasikan pada ahli bedah - Perlu tindakan operatif sangat segera
- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard
Konsep laparotomi damage control untuk resusitasi pasien dengan trauma berat mulai dikembangkan pada tahun 1983 oleh Stone dan kawan-kawan di Grady Memorial Hospital A.S.terbukti berhasil menurunkan kematian akibat perdarahan massif yang mulai mengalami koagulopati. Moore dan kawan-kawan pada tahun 1993 mengembangkan teknik laparotomi bertingkat sebagai usaha damage control pada pasien perdarahan masif yang akan mengalami asidosis metabolik, hipotermia, dankoagulopati progresif yang disebut trias kematian atau lingkaran setan perdarahan massif. Rotondo dan kawan-kawan pada tahun 1993 kemudian menamakannya sebagai laparotomi damage kontrol.
Operasi damage kontrol adalah operasi yang terbatas, singkat dan bertahap sebagai bagian dari usaha penyelamatan jiwa atau resusitasi pada pasien dengan syok hemorragik berat yang telah atau akan mengalami gangguan metabolik pre operatif ataupun intraoperatif yang akan menyebabkan kematian dikamar bedah atau setelah di ICU. Ada tiga tahap damage kontrol :
Tahap I : Operasi singkat dan terbatas dikamar bedah sebagai bagian dari resusitasi, untuk menghentikan perdarahan dan mencegah kontaminasi, termasuk :
• Menghentikan segera perdarahan luka jantung atau paru
• Packing perdarahan organ solid, dengan tindakan minimal
• Packing rongga badan yang berdarah bila telah terjadi koagulopati (non surgical bleeding)
• Reseksi bagian saluran pencernaan yang rusak berat tanpa reanastomosis. Ujung-ujung saluran cerna yang terbuka ditutup cepat dengan klip kulit, tali umbilikal atau jahitan jelujur. Hindari pembuatan kolostomi karena akan membuang waktu.
• Luka operasi pada leher, torakotomi, laparotomi atau pada tempat eksplorasi ekstremitas kulitnya tidak usah ditutup.
Tahap II :
• Mengatasi hipotermi (rewarming)
• Menstabilkan fungsi kardiovaskuler dengan infus cairan, PRC, inotropik
• Mengatasi koagulopati kalau kalau masih ada, dan hanya akan berhasil baik bila hipotermia telah diatasi.
• Memperbaiki gagal paru dan ginjal.
Tahap III :
• Re operasi atau operasi definitif kalau mungkin
• Apakah ada cedera lain yang terlewati diagnosisnya, kalau ada segera atasi.
• Luka insisi operasi laparotomi, torakotomi, dan luka eksplorasi ditutup kembali bila keadaan telah memungkinkan. ( Warko karnadiharja, DSTC, 2010)
2.2.4. Disability
Dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) dan penilaian untuk ukuran pupil dan ketidaksamaan.
2.3. Primary survey and resucitation
Setelah setiap tahap dalam ABC selesai, korban dievaluasi kembali untuk menilai kerusakan atau perbaikan. Pada saat penyelesaian penilaian pernapasan, jalan napas diperiksa ulang dan jalan napas dan pernapasan ulang sebelum pindah ke sirkulasi.
A - Airway dan kontrol tulang belakang leher. Ada dua teknik untuk ini :
1. Manual, in-line imobilisasi. 2. Cervical collar (Earlam, 1997). B – Breathing
Segera setelah jalan napas dijamin, dada harus terbuka dan diperiksa dengan melihat, mendengar dan merasakan. Trakea adalah teraba dalam kedudukan supra sternal untuk mendeteksi penyimpangan yang disebabkan oleh tension pneumothorax, dan dada percussed untuk hiper - resonansi tension pneumothorax atau hemothorax.
Kontrol perdarahan, sirkulasi dinilai dengan mencari perdarahan eksternal dan terlihat tanda-tanda syok seperti pucat, dan penurunan tingkat kesadaran. Pada jantung, dilakukan auskultasi untuk mendeteksi jantung tamponade, dan perfusi rendah dinilai dengan meraba berkeringat dan mendinginkan kulit. Nadi perifer dan sentral nadi teraba untuk mendeteksi tachycardia. Perdarahan eksternal dikendalikan oleh tekanan, dan dua 14-gauge kanula digunakan untuk pemberian cairan dan darah. D- Disability
Hal ini jauh lebih tepat dari nilai AVPU (Aware, verbal responsif, Nyeri responsif dan tidak responsif) (Solomon, 2010). GCS dianggap sekunder untuk cedera otak sampai terbukti sebaliknya.
2.4. Secondary survey
Survei sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-toe untuk mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di primary survey. Ini terjadi setelah survei primer selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak membutuhkan perawatan definitif (JRCALC,2008). Pentingnya survei sekunder adalah bahwa luka ringan dapat ditemukan selama survei primer dan resusitasi, tapi menyebabkan jangka panjang morbiditas jika diabaikan, misalnya dislokasi sendi kecil.
Komponen dari survei sekunder adalah: 1. Riwayat cedera
2. Pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan neurologis 4. Tes diagnostik lebih lanjut 5. Evaluasi ulang
2.5. Trauma servikal dan tulang belakang
halnya seperti klasifikasi torakolumbal TLIC, yang dikenal dengan nama subaxial injury classification (SLIC), yang memfokuskan pada : morfologi cedera, defisit neurologik dan integritas discoligament complex (DLC), untuk memberikan petunjuk penanganan pada cedera servikal (Sastrodiningrat, 2012).
Morfologi cedera pada SLIC sama dengan cedera torakolumbal: kompresi, distraksi, dan rotasi/ translasi, dengan memberikan skor angka yang meningkat sesuai dengan derajat keparahan. Defisit neurologik juga diklasifikasikan dengan cara yang sama. DLC berbeda dengan PLC, karena pada tulang servikal, anterior lungitudinal ligament (ALL) dan diskus intervertebralis juga terlibat bersama posterior longitudinal ligament (PLL), ligamentum flavum, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, dan kapsul faset. Alignment faset yang abnormal dan pelebaran anterior disc space merupakan tanda kerusakan DLC. Sebaliknya, ligamentum interspinosum merupakan komponen yang paling lemah dari DLC, jadi pelebaran interspace saja tidak merupakan DLC compromise pada tulang servikal. Total skor ≤ 3 ditangani non operatif, sedangkan skor ≥ 5 memerlukan intervensi bedah (Sastrodiningrat, 2012).
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera pada beberapa bagian ini. Antara kemungkinan kecederaan yang bisa timbul adalah seperti berikut (Sastrodiningrat, 2012):
A. Dislokasi atlanto-oksipital (atlanto-occipital dislocation)
Kebanyakan penderita meninggal karena kerusakan batang otak dan apnea atau kerusakan neurologis yang menetap (kuadriplegia serta ventilator dependent) B. Fraktur atlas (C1)
Merupakan kurang lebih 5% dari kasus fraktur servikal. Mekanisme terjadinya cedera adalah axial loading, seperti kepala tertimpa secara vertikal oleh benda berat atau penderita terjatuh dengan puncak kepala terlebih dahulu.
C. Rotary subluxation dari C1.
Cedera ini banyak ditemukan pada anak-anak, terjadi spontan setelah terjadinya cedera berat/ringan, infeksi saluran nafas atas, atau penderita dengan rheumatoid artritis. D. Fraktur Axis (C2)
E. Fraktur dislokasi ( C3-C7 )
Pada orang dewasa level C5 merupakan level tersering tulang servikal mengalami fraktur, sedangkan antara C5-C6 merupakan level tersering mengalami dislokasi. F. Fraktur vertebra thorakalis ( T1-T10 )
Terbagi 4 :
1. Fraktur baji karena kompresi korpus anterior, terjadi akibat axial loading disertai dengan fleksi.
2. Fraktur burst disebabkan oleh kompresi vertikal-aksial
3. Fraktur chance, merupakan fraktur transversal pada korpus vertebra, disebabkan oleh fleksi dengan aksis anterior dari kolumna vertebralis dan sering dijumpai setelah kecelakaan dimana penderita hanya menggunakan lap
belt saja tanpa shoulder belt. Biasanya berhubungan dengan cedera retroperitoneal dan cedera organ abdomen.
4. Fraktur dislokasi, relatif jarang pada daerah thorakal dan lumbal. G. Fraktur thorako lumbal (T11-L1)
Biasanya disebabkan oleh kombinasi dari hiperfleksi akut dan rotasi, dan sebagai konsekuensinya fraktur ini biasanya tidak stabil. Sering terjadi pada penderita yang jatuh dari ketinggian atau pengemudi mobil yang memakai sabuk pengaman tetapi dalam kecepatan tinggi. Cedera pada daerah ini menyebabkan disfungsi dari kandung kencing dan usus serta penurunan sensasi dan motorik pada daerah ekstremitas bawah.
H. Fraktur lumbal
Kemungkinan terjadinya defisit neurologis komplit jarang dijumpai pada cedera ini.
2.6. Cedera kepala (Traumatic Brain injury)
Definisi TBI yang kita kenal selama ini, adalah trauma yang mengenai kepala, dapat menyebabkan gangguan struktural dan atau gangguan fungsional sementara atau menetap. Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan, setiap tahun di Amerika Serikat paling tidak 1.4 juta orang mengalami TBI. Dari jumlah ini kira-kira 1,1 juta orang ditolong dan diizinkan pulang dari Unit Gawat Darurat, 235.000 dirawat di rumah sakit dan 50.000 meninggal dunia.
mengenai berat ringannya TBI sangat penting untuk mengarti dan menjelaskan penanggulangan TBI. Beberapa sistem skoring dapat menilai status neurologik awal pada pasien TBI, diantaranya Glasgow Coma Scale (GCS), Trauma Score, Trauma Score Revised, dan Abbreviated Injury Scale (AIS). GCS terlepas dari berbagai kekurangannya, merupakan sistem yang paling banyak dipakai. GCS sederhana, merupakan skala praktis untuk menilai derajat kesadaran pasien TBI dan untuk memprediksi hasil akhirnya. Secara sederhana juga dapat mengklasifikasikan berat ringannya penderita TBI. TBI ringan, GCS 13-15, TBI sedang, GCS 9-12, dan TBI berat, GCS 3-8 (Sastrodiningrat, 2012).
TBI memicu sederetan kejadian pada tingkat selular dan molekular sehingga menimbulkan histochemical responses, molecular responses, dan genetic response
yang menyebabkan secondary insult, terutama keadaan iskemia, dan memperberat cedera otak primer (primary braindamage). Akan tetapi sebaliknya, beberapa dari
responses ini ada yang bersifat neuroprotective (Sastrodiningrat, 2012). 2.7.Trauma thoraks
Trauma thoraks bisa terbagi dua yaitu :
a) Trauma thoraks yang langsung dapat mengancam jiwa 1. Tension pneumothoraks
Terjadi karena adanya one way valve (fenomena pentil) dimana kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau dari luar melalui dinding dada, masuk kedalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi. Sehingga tekanan intra pleura meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke kontralateral dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung, dan akan menekan paru kontralateral.
2. Pericardial tamponade
Sering disebabkan oleh luka tembus, namun cedera tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah, baik dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard.
3. Open Pneumothoraks(Pneumothoraks Terbuka)
udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trachea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
4. Hemothoraks masif
Terjadi bila terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1500cc di dalam rongga pleura. Sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru.
5. Flail chest
Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Terjadi bila adanya fraktur iga yang multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur (Oakley, 1998).
b) Trauma thoraks yang potensial dapat mengancam jiwa 1. Ruptur aorta
Sering menyebabkan kematian segera setelah kecelakaan mobil dengan tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita yang selamat sesampainya dirumah sakit kemungkinan sering dapat diselamatkan bila ruptur aorta dapat diidentifikasi dan secepatnya dilakukan operasi (Williams, 2004).
2. Cedera tracheobronkial
Sering disebabkan oleh cedera tumpul dan terjadi pada 1 inci dari karina. Sering ditemukan hemoptisis, emfisema subkutis dan tension pneumothoraks dengan pergeseran mediastinum. Adanya pneumothoraks dengan gelembung udara yang banyak pada WSD setelah dipasang selang dada harus dicurigai adanya cedera trakeo bronkial.
3. Cedera tumpul jantung
Dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur atrium atau ventrikel ataupun kebocoran katup.
4. Cedera diafragma
mengurangi kemungkinan terdiagnosisnya ataupun terjadinya ruptur diafragma kanan
5. Kontusio paru
Merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada pada golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian.
2.8. Trauma abdomen
Abdomen dibagi 3 bagian (Tintinalli’s Emergency Medicine, 2004):
1. Rongga peritoneum : terdiri dari liver, lien, gaster, usus halus, sebagian duodenum, dan sebagian usus besar
2. Retroperitoneum : terdiri dari ginjal, ureter, pankreas, aorta dan vena cava.
3. Rongga pelvic : terdiri dari vesica urinaria, rectum dan genitalia interna pada wanita
Trauma abdomen juga dapat dibagi dua yaitu : 1.Trauma tumpul ( Blunt abdominal trauma )
2.Trauma tembus ( Penetrating abdominal trauma )
2.9.Trauma musculoskeletal
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Solomon, 2010). Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus dari dalam hingga kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami penetrasi suatu objek yang tajam dari luar hingga ke dalam (Lamichhane, 2010).
Setelah patah tulang terjadi maka otot, pembuluh darah, dan jaringan lunak lainnya mengalami kerusakan. Sebuah respon sel dengan sel-sel inflamasi dan sel mesenkimal dibedakan yang menonjol dalam tiga sampai lima hari pertama. Peristiwa biologis yang menyebabkan fraktur yang komplek tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan patah tulang sembuh dengan cara pembentukan kalus. Dalam penyembuhan fraktur pada tulang panjang menjalani proses klinis dalam lima tahap :
inflamasi, proliferasi, pembentukan callus, konsolidasi, remodelling.
fraktur dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik, adapun faktor lokal: a) Lokasi fraktur, b) Jenis tulang yang mengalami fraktur, c) Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil, d) Adanya kontak antar fragmen. e) Ada tidaknya infeksi. f) Tingkatan dari fraktur. Dan faktor sistemik : a) umur, b) nutrisi, c) riwayat penyakit sistemik, d) hormonal, e) obat-obatan, f) rokok.
2.9.1. Klasifikasi fraktur
Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.
2.9.2. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar Fraktur dapat dibagi menjadi :
1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
2. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Klasifikasi patah tulang terbuka yang dibuat oleh Gustillo and Anderson pada tahun 1976 sebagai berikut:
1. Tipe I
• Panjang luka < 1 cm, biasanya luka tusukan atau puncture dimana patokan ujung tulang menembus kulit.
• Kerusakan jaringan lunak sedikit dan tidak ada tanda-tanda Crushing Injury.
• Fraktur biasanya simple, tranverse atau oblique pendek dan sedikit
comminutive. 2. Tipe II
• Panjang luka > 1 cm dan tidak ada kerusakan jaringan lunak yang luas, flap atau infeksi.
• Terdapat Crushing Injury ringan – sedang.
• Fraktur comminutive sedang dan kontaminasi sedang. 3. Tipe III
trauma high velocity yang menyebabkan derajat comminutive dan instabilitas tinggi. Tipe III ini dibagi lagi menjadi
i. Tipe III a
Jaringan lunak yang meliputi tulang yang patah cukup adekuat meskipun terdapat laserasi luas, flap atau trauma high velocity, tanpa memandang ukuran luka.
ii. Tipe III b
Cedera luas, terdapat atau hilangnya sebagian dari pada jaringan lunak dan stripping periosteal dan bone expose, kontaminasi dan fraktur
comminutive yang berat. iii. Tipe III c
Meliputi semua fraktur yang terbuka yang berhubungan dengan kerusakan pembuluh darah yang harus di repair tanpa memandang cedera jaringan lunak.
2.10. Prinsip penanganan fraktur Penatalaksanaan sebagai alat triase.
Secara Umum Menurut Long (1996), penanganan pada fraktur dibagi menjadi beberapa hal antara lain:
1. Penanganan langsung
a. Pasang bidai sebelum memindahkan pasien atau pertahankan gerakan diatas dan dibawah tulang yang fraktur sebelum dan transplantasi
b. Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi oedema c. Kirim pasien untuk pertolongan emergency
d. Pantau daerah yang cedera dalam periode waktu yang pendek untuk sedini mungkin dapat melihat perubahan waktu, pernafasan, dan suhu.
2. Imobilisasi a. X-Ray
b. Fiksasi eksternal bidai dan gips c. Traksi
d. Fiksasi internal jarum, plat, skrup, kawat e. Bone Scans, termogram atau MRI Scans
3. Penanganan pada tulang terbuka
a. Debridemen untuk membersihkan kotoran atau benda asing b. Pemakaian toksoid tetanus
c. Kultur jaringan dan luka d. Kompres terbuka
e. Pengobatan dengan antibiotik
f. Penutupan luka bila ada benda infeksi
g. Imobilisasi fraktur menurut Handerson (1997) imobilisasi fraktur yaitu mengembalikan atau memperbaiki bagian-bagian yang patah dalam bentuk semula (anatomis) imobilisasi untuk mempertahankan bentuk dan memperbaiki fungsi bagian tulang yang rusak.
Cara-cara yang dapat dilakukan meliputi: 1. Reposisi atau reduksi
a. Manipulasi atau Close reduction adalah tindakan non bedah untuk mengembalikan posisi, panjang dan bentuk. Close reduksi dilakukan dengan lokal anestesi ataupun umum.
b. Open reduction adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan. Sering dilakukan dengan internal fiksasi menggunakan kawat,
screws, pins, plate, intermedulari rods atau nail. Kelemahan tindakan ini adalah kemungkinan infeksi dan komplikasi berhubungan dengan anestesia. 2. Traksi, alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur
untuk meluruskan bentuk tulang. Ada dua macam yaitu:
a. Skin traction (traksi kulit) adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan plaster langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membentuk menimbulkan spasme otot pada bagian yang cidera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48 – 72 jam).
b. Skeletaltraction adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins atau kawat ke dalam tulang.
yang mengalami fraktur diminimalisir untuk mencegah fragmen tulang berubah posisi.
2.11. Revised Trauma Score dan Injury Severity Score
Revised Trauma Score (RTS) adalah sebuah skor fisiologis keparahan cedera. Data yang diperoleh terdiri dari (Feliciano, 2008)
1. Glasgow Coma Scale (GCS) 2. Sistolik Tekanan Darah (SBP) 3. Tingkat pernapasan (RR)
The GCS, SBP dan RR diberi nilai kode, RTS kemudian dihitung dengan menjumlahkan nilai-nilai kode.
Glasgow Coma Scale
Systolic blood pressure
Respiratory Rate Coded Value
13-15 >89 10-29 4
9-12 76-89 >29 3
6-8 50-75 6-9 2
4-5 1-49 1-5 1
3 0 0 0
Di lapangan skor unweighted berkisar 0-12, skor kurang dari 11 merupakan indikasi untuk transfer ke pusat trauma khusus. Sebuah bentuk kode dari RTS digunakan untuk jaminan kualitas dan hasil prediksi.
Nilai untuk coded RTS berkisar 0-7,8408. (0 = mati 7,8408 = normal) The RTS sangat bergantung terhadap Glasgow Coma Scale untuk mengkompensasi cedera kepala berat tanpa cedera multisistem atau perubahan fisiologis utama. Sebuah ambang RTS <4 telah diusulkan untuk mengidentifikasi pasien yang harus dirawat di pusat trauma, meskipun nilai ini mungkin agak rendah.
Keterbatasan RTS:
1. Menghitung bentuk kode di lapangan tidak praktis 2. Masalah dengan GCS pada pasien diintubasi 3. Pengaruh alkohol dan obat-obatan
4. Mengubah parameter fisiologis dengan resusitasi dari kekacauan fisiologis tidak diperhitungkan.
Cedera Severity Score (ISS) adalah sebuah sistem penilaian anatomis yang memberikan skor keseluruhan untuk pasien dengan beberapa luka-luka. Setiap cedera diberikan sebuah AIS dan dialokasikan ke salah satu dari enam daerah tubuh (Kepala, Wajah, Dada, Abdomen, Ekstremitas (termasuk Pelvis), eksternal). Hanya skor AIS tertinggi di masing-masing daerah tubuh digunakan. 3 daerah tubuh yang paling terluka parah telah nilai mereka kuadrat dan ditambahkan bersama-sama untuk menghasilkan skor ISS.
Contoh perhitungan ISS ditunjukkan di bawah ini:
Region Injury
Abdomen Minor Contusion of Liver Complex Rupture Spleen
unsurvivable), skor ISS secara otomatis ditetapkan ke-75. Skor ISS hampir satu-satunya sistem penilaian anatomi digunakan dan berkorelasi linear dengan mortalitas, morbiditas, tinggal di rumah sakit dan tindakan lainnya keparahan. Kelemahan adalah bahwa setiap kesalahan dalam AIS scoring meningkatkan kesalahan ISS. Banyak pola cedera yang berbeda dapat menghasilkan skor yang sama ISS dan cedera ke daerah tubuh yang berbeda yang tidak berbobot.
2.12. Biokimia laktat
oksigenasi yang cukup, akan lebih banyak energi seluler diekstraksi secara aerob melalui siklus asam sitrat dan rantai transport elektron. Dalam hal ini, sel-sel mengubah piruvat menjadi asetil CoA melalui oksidatif dekarboksilasi.
Pyruvate + NAD+ + CoA Acetyl CoA + CO2 + NADH
Sebaliknya, ketika perfusi di jaringan menjadi tidak adekuat, maka terjadilah metabolisme anaerob untuk menghasilkan beberapa energi meskipun dalam jumlah yang sedikit. Pada kasus ini, piruvat di metabolisme menjadi laktat, yang akhirnya menghasilkan ATP yang lebih sedikit (2 vs 36) dibandingkan dengan proses normal yaitu melalui mekanisme aerob.
Produksi laktat terjadi pada semua jaringan, yaitu musculoskeletal, otak, sel-sel darah merah, dan ginjal. Meskipun dalam kondisi dibawah normal yaitu disaat kaya akan oksigen, proses ini tetap terjadi dalam kadar yang sama. Kadar laktat dalam tubuh manusia normal, mampu dibersihkan dengan sangat cepat dengan kecepatan rata-rata diatas 320mmol/L/jam. Sebagian besar dimetabolisme dihati dan di ubah kembali dari laktat menjadi pyruvat. Tindakan ini menjaga kadar basal dari laktat tetap dibawah 1 mmol/L, baik di pembuluh darah arteri maupun vena.(Andra, et al., 2007).
Latihan berat, kejang, dan menggigil adalah contoh kondisi umum yang juga dapat menyebabkan asidosis laktat. Dalam kasus ini, tubuh membersihkan laktat dengan cepat dan peningkatan serum yang signifikan umumnya tidak terjadi. Dalam kondisi metabolik tertentu, peningkatan laktat karena penggunaan oksigen yang tidak adekuat lebih jarang dibandingkan dari pada suplai oksigen yang tidak memadai. Klinisi yang baik dapat memperkirakan hal ini sebagai salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada pasien. Daripada memikirkan laktat saja sebagai produk dari kurang adekuatnya perfusi darah, mungkin akan lebih baik menganggap laktat sebagai suatu marker dari metabolisme langsung selular. Terutama di instalasi gawat darurat untuk pasien dengan trauma atau sepsis. Penurunan jumlah darah, kehilangan darah, septik shock, dan SIRS dapat mempengaruhi kadar laktat. Dengan mengetahui peningkatan kadar laktat pada pasien lebih awal, dapat memberikan informasi berharga yang membantu menjadi pegangan dalam menentukan penilaian dan penanganan selanjutnya (Huckabee, 1961).
Produksi laktat terjadi pada seluruh jaringan termasuk otot rangka, otak, sel darah merah dan ginjal bahkan pada tingkat awal di bawah kondisi normal yang kaya akan oksigen. Dalam subyek manusia normal, laktat dibersihkan dengan cepat, dengan kecepatan sekitar 320 milimoles per liter per jam , sebagian besar oleh metabolisme hati dan dengan reconversion laktat kembali ke piruvat. Ini membantu menjaga tingkat laktat basal arteri dan vena di bawah satu milimole per liter. Dalam skenario perfusi jaringan yang tidak memadai, metabolisme anaerobik berlaku dimana piruvat dimetabolisme menjadi laktat, akhirnya menghasilkan lebih sedikit adenosin trifosfat (ATP) molekul dari mekanisme aerobik biasa melalui asam trikarboksilat siklus pathway. Persistent asidosis laktat dikaitkan dengan tingkat yang lebih tinggi kegagalan pernapasan, sistem multi kegagalan organ dan kematian setelah trauma parah atau multipel trauma. Peningkatan tingkat laktat mencerminkan hipoksia jaringan dan metabolism anaerobik berlangsung dalam tubuh dan biasanya diatasi dengan resusitasi yang memadai.
Serial estimasi nilai laktat serum diperkirakan untuk membantu memprediksi morbiditas dan mortalitas pada korban trauma. Ada bukti untuk mendukung penggunaan tingkat laktat darah sebagai titik akhir resusitasi. Kehadiran kadar asam laktat meningkat pada serum dapat mengarahkan dokter yang merawat untuk waktu yang aman dan benar dari setiap intervensi bedah. Identifikasi awal dan tindakan resusitasi agresif ditujukan untuk memperbaiki disfungsi metabolic gangguan meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi komplikasi pada pasien trauma terluka parah.
Dengan demikian, asidosis laktat mungkin menandakan adanya cedera jaringan paru terbuka atau klenik, mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan muskuloskeletal trauma. Penelitian ini menandakan apakah peningkatan laktat serum memiliki efek merusak pada hasil pada politrauma dan pasien multipel trauma.
2. 14. Laktat pada trauma
dibutuhkan untuk mengembalikan kadar laktat kembali ke dalam nilai normal dapat menjadi indikator dalam menentukan prognosis pada pasien dengan trauma berat. Dokter yang bertugas di bagian emergensi dan tenaga kesehatan emergensi harusnya dapat memberikan perhatian yang lebih pada saat resusitasi pada pasien trauma. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk bersihan laktat, semakin tinggi kemungkinan multi organ failure dan mortalitas.
Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dapat didefinisikan sebagai perkembangan kekacauan fisiologis yang berpotensi reversibel yang melibatkan dua atau lebih sistem organ tidak terlibat dalam gangguan yang mengakibatkan perawatan ICU, dan timbul setelah gangguan fisiologis yang berpotensi mengancam nyawa. (Vincent, 1996). Sementara gagal nafas merupakan keadaan yang tidak memadai dalam pertukaran gas oleh sistem pernafasan, dengan hasil bahwa kadar oksigen arteri, karbon dioksida atau keduanya tidak dapat dipertahankan dalam rentang normal mereka (Burt, 2009). Sepsis merupakan komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa dari infeksi. Sepsis terjadi ketika bahan kimia yang dilepaskan ke dalam aliran darah untuk melawan infeksi memicu peradangan di seluruh tubuh. Peradangan ini dapat memicu aliran perubahan yang dapat merusak beberapa sistem organ, menyebabkan mereka gagal (Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2014).
Ditemukan pada 43% meninggal jika bersihan laktat berlangsung lebih dari 24 jam. Sehingga kadar laktat pada pasien trauma dapat menentukan prognosis dan usaha menormalkan kadar laktat pada pasien trauma menjadi sangat penting untuk menentukan morbiditas dan mortalitas pasien trauma berat. (Abramson, 1993).
2. 15. Kerangka teori
Multipel Trauma
Hipoperfusi Jaringan
Hipoksia Jaringan
Metabolisme Anaerob
BAB 3 METODOLOGI
3.1. Desain
Penelitian ini merupakan studideskriptif analitik prospektif. 3.2. Tempat dan waktu
Penelitian dilaksanakan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik . Waktu penelitian dilaksanakan setelah proposal disetujui sampai dengan terkumpul semua sampel penelitian .
3.3 Populasi dan sampel
Populasi target adalah pasien dengan multipel trauma yang datang ke instalasi gawat darurat RSUP H. Adam Malik Medan . Sampel diambil dari semua pasien multipel trauma yang datang ke instalasi gawat darurat RSUP H. Adam Malik Medan setelah dilakukan resusitasi sesuai dengan protokol ATLS
3.4 Besar sampel
Untuk menghitung besar sampel pada penelitian ini digunakan rumus: n = Zα x S 2
d Keterangan:
n= jumah sampel
Zα = derajat interval kepercayaan digunakan 95% S = simpangan baku
d = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki Maka berdasarkan rumus di atas jumlah sampel :
n= 1.962 x 1.9032 = 28.24 dibulatkan menjadi 29 orang 0.72
3.5. Kriteria inklusi
1. Penderita dengan multipel trauma yang datang ke IGD RS. H. Adam Malik Medan dan diresusitasi.
2. Durasi trauma kurang dari 12 jam sebelum masuk rumah sakit.. 3. Mendapat informed consent / persetujuan dari keluarga
3.6. Kriteria eksklusi
1. Pasien meninggal dunia sebelum resusitasi. 2. Pasien Menolak dilakukan pemeriksaan.
3.7. Persetujuan setelah penjelasan (Informed consent)
Semua subjek penelitian akan diminta persetujuan dari keluarga pasien setelah dilakukan penjelasan mengenai kondisi pasien dan tindakan yang akan dilakukan. 3.8. Etika penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, yang selama pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kode etik penelitian biomedik. Izin didapat dari Komisi Etika Penelitian Fakultas Kedokteran USU.
3.9. Cara kerja 3.9.1. Alokasi sampel
Pemilihan sampel ditentukan berdasarkan pasien yang memenuhi kriteria inklusi kemudian diinform consent.
1. Melakukan pendataan dengan melakukan alloanamnesis dan pemeriksaan fisik terhadap pasien multipel trauma
2. Melakukan pengambilan sampel dengan menilai kriteria inklusi dan eksklusi. 3.9.2.2. Tahap pelaksanaan
1. Identitas pasien dicatat (nama, jenis kelamin, dan usia)
2. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik (jenis trauma, lokasi trauma, dan durasi kejadian) dicatat.
3. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan asam laktat sebelum resusitasi. 4. Resusitasi pasien sesuai protokol ATLS pada saat pertama kali di IGD. 5. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan asam laktat setelah resusitasi. 6. Penilaian hasil akhir morbiditas dan mortalitas.
3.9.2.3. Tahap akhir penelitian
1. Data identitas pasien disajikan dalam bentuk tabel dan grafik distribusi frekuensi. 2. Nilai laktat darah disajikan dalam bentuk tabel dan grafik distribusi..
3. Dihitung hubungan nilai kadar laktat darah dengan morbiditas dan mortalitas.
3.10. Identifikasi variabel
3.10.1 Variabel bebas
1. Pasien fraktur yang disertai dengan multipel trauma. 2. Kadar serum laktat darah.
3.10.2 Variabel tergantung
1. Morbiditas dan mortalitas pasien fraktur dengan multipel trauma.
3.11. Definisi operasional
satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional. 2. Kadar serum laktat adalah kadar serum laktat yang diambil dari darah
vena. Satuannya adalah mmol/L, dengan nilai normal 0,997 mmol/L.
3. Morbiditas pada pasien multipel trauma meliputi terjadinya sepsis, kegagalan multipel sistem organ, dan gagal nafas.
3.12. Kerangka kerja
Pasien fraktur dengan Multiple Trauma
Memenuhi Kriteria inklusi dan ekslusi
Pemeriksaan serum laktat
Pengobatan
Morbiditas Mortalitas
Gagal Nafas
Sepsis MOF Kematian / Meninggal
3.13. Rencana pengolahan dan analisis data
Data yang terkumpul akan diolah, dianalisis, dan disajikan dengan
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi karakteristik penderita multipel trauma
Dari 32 kasus multipel trauma yang tekumpul selama penelitian dijumpai rata-rata usia penderita trauma multipel adalah 28,75 ± 12,425 tahun. Jenis kelamin pada penderita trauma laki-laki sebanyak 25 (78,1%) dan wanita 7 (21,9%). Tingkat mortalitas pada penderita trauma multipel sebesar 11 (34,4%) kasus. Dari 32 kasus multipel trauma dijumpai 12 (37,5%) kasus mengalami kegagalan organ. Rata- rata rawatan pada penderita trauma adalah 9,09 ± 3,25 hari. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Deskripsi karakteristik penderita multipel trauma
Karakteristik Frekuensi
N %
Usia 28,75 ± 12,425
Jenis Kelamin
Pria 25 78,1
Wanita 7 21,9
Mortalitas
Meninggal 11 34,4
Hidup 21 65,6
Morbiditas
Ada 9 28,1
Tidak Ada 23 71,8
Hari Rawatan 9,09 ± 3,25
Hari Meninggal 2,89 ± 1,965
Hasil pemeriksaan laboratorium serum laktat sebelum resusitasi adalah 4,34 ± 3,94, sedangkan rata –rata serum laktat setelah resusitasi adalah 3,96 ± 3,78. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.2. Pada tabel 4.3 menggambarkan trauma yang terjadi pada penderita dengan kasus terbanyak yaitu trauma kepala (21 kasus), diikuti fraktur femur (12 kasus).
Tabel 4.2 Hasil pemeriksaan laboratorium
Variabel Rata-Rata ± Standart Deviasi (n=29)
Serum laktat sebelum resusitasi 4,34 ± 3,94 Serum laktat setelah resusitasi 3,96 ± 3,78
Tabel 4.3 Deskripsi Trauma No.
Femur Tibia/Fibula Humerus
28. + + + +
29. + +
30. + +
31. + +
32. + + +
4.2. Perbedaan kadar serum laktat sebelum dan sesudah resusitasi
Hasil pemeriksaan serum laktat sebelum resusitasi 4,34 ± 3,94 dan serum laktat setelah resusitasi 3,96 ± 3,78. Dengan menggunakan uji paired T-Test dijumpai perbedaan yang signifikan antara kadar serum laktat sebelum dan sesudah resusitasi dengan nilai p value 0,000 (< 0,05). Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Perbedaan kadar serum laktat sebelum dan sesudah resusitasi Serum Laktat Rata-Rata ± Standart
Deviasi (n=32)
P Value
Sebelum resusitasi 4,34 ± 3,94 0,000
Setelah resusitasi 3,96 ± 3,78
Tabel 4.4. memperlihatkan bahwa tindakan resusitasi yang dilakukan telah berhasil yang ditandai dengan menurunnya kadar serum laktat setelah resusitasi menjadi 3,96 ± 3,78 mmol/liter dimana sebelum resusitasi 4,34 ± 3,94 mmol/liter.
4.3. Hubungan kadar serum laktat sebelum resusitasi dengan morbiditas Dari 32 sampel yang terkumpul dijumpai penderita dengan kegagalan fungsi organ / sepsis sebanyak 9 kasus. Dengan menggunakan uji Chi-Square dijumpai adanya hubungan kadar serum laktat sebelum resusitasi dengan tingkat morbiditas (p = 0,037). Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hubungan kadar serum laktat sebelum resusitasi dengan morbiditas
Kadar Serum Laktat Multi organ failure/ sepsis Total
Ada Tidak Ada
2- 5 3 11 14
>5 5 3 8
Total 9 23 32
X2 = 6,612 df= 2 p= 0,0037
Tabel 4.5 memperlihatkan bahwa semakin tinggi kadar serum laktat maka semakin tinggi angka morbiditas pasien.
4.4. Hubungan kadar serum laktat sebelum resusitasi dengan mortalitas Dari 32 sampel yang terkumpul dijumpai penderita meninggal sebanyak 11 kasus dan penderita yang hidup sebanyak 21 kasus. Dengan menggunakan uji Chi-Square dijumpai adanya hubungan kadar serum laktat sebelum resusitasi dengan tingkat mortalitas (p = 0,001). Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Hubungan kadar serum laktat sebelum resusitasi dengan mortalitas
Kadar Serum Laktat Mortalitas Total
Hidup Meninggal
< 2 9 1 10
2- 5 11 3 14
>5 1 7 8
Total 21 11 32
X2 = 13,683 df= 2 p= 0,001
Tabel 4.6. Memperlihatkan bahwa semakin tinggi kadar serum laktat maka semakin banyak pasien yang meninggal.
4.5. Hubungan kadar serum laktat setelah resusitasi dengan morbiditas
Tabel 4.7 Hubungan kadar serum laktat setelah resusitasi dengan morbiditas Kadar Serum Laktat Multi Organ Failure / Sepsis Total
Ada Tidak ada
< 2 3 10 13
2- 5 1 11 12
>5 5 2 7
Total 9 23 32
X2 = 8, 983 df= 2 p= 0,011
Tabel 4.7. memperlihatkan bahwa semakin tinggi kadar serum laktat maka tingkat morbiditasnya juga semakin besar.
4.6. Hubungan kadar serum laktat setelah resusitasi dengan mortalitas
Dari 32 sampel yang terkumpul dijumpai penderita meninggal sebanyak 11 kasus dan penderita yang hidup sebanyak 21 kasus. Dengan menggunakan uji Chi Square dijumpai adanya hubungan serum laktat setelah resusitasi dengan tingkat mortalitas (p= 0,000). Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.8.
Tabel 4.8 Hubungan kadar serum laktat setelah resusitasi dengan mortalitas
Kadar Serum Laktat Setelah Resusitasi
Mortalitas Total
Hidup Meninggal
< 2 12 1 13
2- 5 9 3 12
>5 0 7 7
Total 21 11 32
X2 = 17,934 df= 2 p= 0,000
BAB 5 PEMBAHASAN
Multipel trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al., 2011).
Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 15-44 tahun di seluruh dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta per tahun) kecelakaan di jalan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa pada tahun 2020, cedera lalu lintas menduduki peringkat ketiga dalam penyebab kematian dini dan kecacatan (Peden, 2004).
Pada penelitian ini dijumpai 32 kasus multipel trauma yang datang ke instalasi gawat darurat Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, dengan rata-rata usia penderita multipel trauma adalah 28,75 tahun (SD 12,425). Jenis kelamin laki-laki pada penderita multipel trauma sebanyak 25 (78,1%) orang, dan wanita sebanyak 7 (21,9%) orang. Tingkat mortalitas pada pasien multipel trauma yaitu 7,7% (Lamichhane P, et al., 2011). Sedangkan pada penelitian ini yaitu 34,4% (11 kasus) dan yang mengalami kegagalan organ (morbiditas) 37,5%.