• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendahuluan - Kadar Serum Laktat Setelah Resusitasi sebagai Indikator Morbiditas dan Mortalitas pada Kasus Multipel Trauma di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendahuluan - Kadar Serum Laktat Setelah Resusitasi sebagai Indikator Morbiditas dan Mortalitas pada Kasus Multipel Trauma di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendahuluan

Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-44 tahun di seluruh dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta pertahun) kecelakaan di jalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa pada tahun 2020, cedera lalu lintas menduduki peringkat ketiga dalam penyebab kematian dini dan kecacatan (Peden, 2004).

Multipel trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi seseorang yang telah mengalami beberapa bakar yang serius. Multipel trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya

bisa menyebabkan kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al., 2011). Multipel trauma atau politrauma adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan pasien yang mengalami suatu cedera berat yang diikuti dengan cedera yang lain, misalnya dua atau lebih cedera berat yang dialami pada minimal dua area tubuh. Kondisi yang penting dalam menggambarkan penggunaan istilah ini adalah pada keadaan trauma yang bisa disertai dengan shock dan atau perdarahan serta keadaan yang dapat membahayakan jiwa seseorang (Kroupa J, 1990). Beberapa penelitian terdahulu, diantaranya Border dan kawan-kawan mendefinisikan multipel trauma adalah cedera yang cukup signifikan mengenai dua atau lebih regio tubuh. Tscherne dan kawan-kawan mengatakan multipel trauma adalah dua atau lebih cedera berat dengan salah satunya atau semuanya dapat mengancam jiwa. Beberapa penulis mendefinisikan multipel trauma menggunakan pengukuran yang lebih objektif yaitu dengan menggunakan scoring Injury Severity Score ( ISS ), dimana dikatakan multipel trauma bila nilai ISS 15 sampai 26 atau lebih besar (Nerida E, et al, 2013).

Kematian setelah trauma tergantung pada sejumlah faktor, salah satunya tingkat ekonomi merupakan faktor penentu utama. Laporan WHO 2004 mengutip angka kematian untuk dewasa, yaitu mereka dengan cedera skor keparahan (ISS) dari 9 atau lebih tinggi (Mock, 2004). ISS akan diuraikan secara lebih rinci dalam bagian

(2)

55% di negara berpenghasilan menengah dan 63% di negara berpenghasilan rendah. Lebih serius pasien cedera (ISS 15-24) mencapai rumah sakit menunjukkan peningkatan enam kali lipat dalam mortalitas pada pasien berpenghasilan ekonomi rendah.

Dalam sistem kesehatan yang canggih, korban dibawa ke rumah sakit terdekat kemudian dilakukan manajemen komprehensif di instalasi gawat darurat. Pengobatan berpusat pada evaluasi, resusitasi dan stabilisasi. Fase ini menyatu ke perawatan definitif dalam operasi, dengan kontrol jalan napas, ventilasi, dan bedah (pengelolaan perdarahan). Cedera muskuloskeletal pada awalnya stabil, diikuti oleh pengobatan definitif. Level 2 atau 3 perawatan kritis mungkin diperlukan untuk meminimalkan komplikasi dan mencegah kematian, dan rehabilitasi berkepanjangan mungkin diperlukan untuk memenuhi kebutuhan korban dengan cedera otak dan kerusakan

muskuloskeletal kompleks.

Kematian yang disebabkan oleh trauma itu secara klasik memiliki 3 penyebaran, yang berhubungan antara waktu kejadian dengan penanganan efektif yang dilakukan untuk mengatasi mortalitas :

1. Immediate deaths ( kematian yang segera )

Dimana pasien meninggal oleh karena trauma sebelum sampai ke rumah sakit. Misalnya cedera kepala berat, atau trauma spinal cord. Hanya sedikit dari pasien ini yang dapat hidup sampai ke rumah sakit, karena hampir 60% dari kasus ini pasien meninggal bersamaan dengan saat kejadian.

2. Early deaths

Dimana pasien meninggal beberapa jam pertama setelah trauma. Sebagian disebabkan oleh perdarahan organ dalam dan sebagian lagi disebabkan oleh cedera sistem saraf pusat. Hampir semua kasus pada trauma ini potensial dapat ditangani. Bagaimanapun, pada umumnya setiap kasus membutuhkan pertolongan dan perawatan definitif yang sesuai di pusat-pusat trauma. Khususnya pada institusi yang dapat melakukan resusitasi segera, identifikasi trauma, dan sarana pelayanan operasi selama 24 jam.

3. Late deaths

Dimana pasien meninggal beberapa hari atau minggu setelah trauma. Sepuluh sampai dua puluh persen (10%-20%) dari seluruh kematian kasus trauma terjadi

(3)

pasien multipel trauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome

dan kondisi kelainan jiwa yang lain (David et al, 2008).

2.2. Manajemen trauma

Manajemen cedera diprioritaskan untuk mengobati cedera yang mengancam nyawa terlebih dahulu, mengikuti urutan ABCDE. Pengecualian ini adalah korban yang menderita perdarahan perifer. Hal ini telah menyebabkan pengembangan dari urutan CABC, di mana C merupakan singkatan untuk bencana perdarahan (Hodgetts, 2002). Mengancam jiwa, perdarahan eksternal dikendalikan, maka urutan ABC yang biasa diikuti.

Pada korban dengan obstruksi jalan napas dalam beberapa menit,

mengamankan jalan napas pasien selalu menjadi prioritas. Setelah jalan napas terbuka, korban harus diberi oksigen dan dipasang ventilasi jika napas tidak memadai (ATLS, 2004).

Selama manajemen berlangsung, asumsi selalu dibuat dimana kerusakan servikal dan tulang belakang lumbal thoraco mungkin terjadi. Stabilitas tulang belakang leher harus dilindungi sampai leher dijamin bebas dari risiko cedera (Hodgetts, 2006).

2.2.1. Airway

Napas dibuka awalnya dengan 'manuver tangan ' angkat dagu dan dorong rahang, kepala tidak boleh dimanipulasi dan harus dalam posisi netral. Jika darah, air liur atau muntah ada dalam napas, suction harus digunakan. Jika 'tangan kosong' teknik yang tidak memadai, saluran udara orofaringeal atau nasofaring (NP) jalan napas harus hati-hati ditempatkan untuk mencegah aspek posterior lidah menghalangi faring. NP saluran udara sangat berguna bagi korban dalam menghalangi saluran udara yang dipertahankan dari gag refleks untuk menahan orofaringeal, namun mereka harus digunakan hati-hati pada korban dengan patah tulang tengkorak basal dengan klinis jelas. Jika manuver ini tidak berhasil, ada perangkat seperti Laringeal

Mask Airway (LMA), yang dapat dimasukkan ke dalam situasi sulit (Hodgetts, 2002). Definitif nafas securement dengan intubasi atau krikotiroidotomi sangat sulit

(4)

2.2.2. Breathing

Setelah jalan napas dibuka dan aman, penilaian pernapasan korban dibuat. Jika bernapas baik, oksigen diberikan dengan laju alir 5 L/menit. Jika ada keraguan bahwa pernapasan tidak memadai, maka ventilasi harus didukung dengan bag-valve-mask

(BVM). Ini harus memiliki reservoir yang melekat dengan oksigen mengalir dari 15 L / menit. Kecukupan oksigenasi harus dinilai oleh penilaian klinis seperti warna bibir untuk mendeteksi sianosis, atau menggunakan pulse oksimetri. Kecukupan ventilasi dapat dinilai oleh penilaian klinis ekspansi dada dan suara napas, atau penggunaan elektronik end tidal karbon dioksida (EtCO2) monitor (Clasper, 2004).

Tidak adanya bunyi nafas menunjukkan pneumothoraks atau hemothoraks. Sebuah pneumothoraks harus diperbaiki secepatnya karena merupakan cedera yang

mengancam jiwa, dan harus segera didekompresi dengan jarum besar (14 gauge) kanula intravena melalui interkostal kedua di garis mid – clavicularis pada sela iga V-VI.

Open atau Sucking pneumothoraks harus ditutup dengan plester pada tiga sisi -sisi keempat terbuka untuk mencegah tension pneumotoraks berkembang. Ventilasi tekanan positif kemungkinan untuk mempercepat konversi tension pneumothoraks menjadi pneumothorax sederhana. Jika korban yang diintubasi dan berventilasi, dan pneumothoraks dicurigai, simple thoracostomy dibuat di ruang intercostal 5, anterior garis mid-clavikularis. Hal ini memungkinkan tension pneumothoraks untuk di dekompresi.

2.2.3. Circulation

Perdarahan eksternal dikendalikan terutama oleh tekanan langsung dengan

dressing, dan anggota tubuh di elevasi jika memungkinkan. Metode lain yang digunakan adalah penggunaan tourniquet, dressintag hemostatik juga dapat digunakan pada setiap tahap (Hodgetts, 2002).

(5)

Shock cenderung merupakan hasil dari perdarahan yang tidak terkendali baik eksternal atau ke internal (dada, perut, panggul, dan beberapa tulang panjang). Kehilangan cardiac output juga dapat disebabkan oleh tension pneumothorax atau tamponade jantung. Tamponade jantung paling sering dikaitkan dengan trauma tembus dada pada garis putting anterioratau scapula posterior.

Shock berat menyebabkan aktivitas listrik pulseless (PEA) atau henti jantung asystolic merupakan indikasi untuk thoracostomy bilateral dan atau pembukaan clam-shell dada.

Resusitasi adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital lainnya. Ini adalah prosedur darurat menyelamatkan nyawa yang dilakukan ketika pernapasan seseorang atau detak jantung telah berhenti. Hal ini

mungkin terjadi setelah sengatan listrik, serangan jantung, atau tenggelam(Hazinski MF, Samson R, Schexnayder S. 2010). Berdasarkan Advanced Trauma Life Support,

Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal:

1. Respon cepat

- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance

- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah - Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan

- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan

2. Respon sementara

- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah - Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif - Konsultasikan pada ahli bedah

3. Tanpa respon

- Konsultasikan pada ahli bedah - Perlu tindakan operatif sangat segera

- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard

(6)

Konsep laparotomi damage control untuk resusitasi pasien dengan trauma berat mulai dikembangkan pada tahun 1983 oleh Stone dan kawan-kawan di Grady Memorial Hospital A.S.terbukti berhasil menurunkan kematian akibat perdarahan massif yang mulai mengalami koagulopati. Moore dan kawan-kawan pada tahun 1993 mengembangkan teknik laparotomi bertingkat sebagai usaha damage control pada pasien perdarahan masif yang akan mengalami asidosis metabolik, hipotermia, dankoagulopati progresif yang disebut trias kematian atau lingkaran setan perdarahan massif. Rotondo dan kawan-kawan pada tahun 1993 kemudian menamakannya sebagai laparotomi damage kontrol.

Operasi damage kontrol adalah operasi yang terbatas, singkat dan bertahap sebagai bagian dari usaha penyelamatan jiwa atau resusitasi pada pasien dengan syok hemorragik berat yang telah atau akan mengalami gangguan metabolik pre operatif

ataupun intraoperatif yang akan menyebabkan kematian dikamar bedah atau setelah di ICU. Ada tiga tahap damage kontrol :

Tahap I : Operasi singkat dan terbatas dikamar bedah sebagai bagian dari resusitasi, untuk menghentikan perdarahan dan mencegah kontaminasi, termasuk :

• Menghentikan segera perdarahan luka jantung atau paru

• Packing perdarahan organ solid, dengan tindakan minimal

• Packing rongga badan yang berdarah bila telah terjadi koagulopati (non

surgical bleeding)

• Reseksi bagian saluran pencernaan yang rusak berat tanpa reanastomosis.

Ujung-ujung saluran cerna yang terbuka ditutup cepat dengan klip kulit, tali umbilikal atau jahitan jelujur. Hindari pembuatan kolostomi karena akan membuang waktu.

• Luka operasi pada leher, torakotomi, laparotomi atau pada tempat eksplorasi

ekstremitas kulitnya tidak usah ditutup.

Tahap II :

(7)

• Mengatasi hipotermi (rewarming)

• Menstabilkan fungsi kardiovaskuler dengan infus cairan, PRC, inotropik

• Mengatasi koagulopati kalau kalau masih ada, dan hanya akan berhasil baik

bila hipotermia telah diatasi.

• Memperbaiki gagal paru dan ginjal.

Tahap III :

• Re operasi atau operasi definitif kalau mungkin

• Apakah ada cedera lain yang terlewati diagnosisnya, kalau ada segera atasi.

• Luka insisi operasi laparotomi, torakotomi, dan luka eksplorasi ditutup

kembali bila keadaan telah memungkinkan. ( Warko karnadiharja, DSTC, 2010)

2.2.4. Disability

Dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) dan penilaian untuk ukuran pupil dan ketidaksamaan.

2.3. Primary survey and resucitation

Setelah setiap tahap dalam ABC selesai, korban dievaluasi kembali untuk menilai kerusakan atau perbaikan. Pada saat penyelesaian penilaian pernapasan, jalan napas diperiksa ulang dan jalan napas dan pernapasan ulang sebelum pindah ke sirkulasi.

A - Airway dan kontrol tulang belakang leher. Ada dua teknik untuk ini :

1. Manual, in-line imobilisasi. 2. Cervical collar (Earlam, 1997).

B – Breathing

Segera setelah jalan napas dijamin, dada harus terbuka dan diperiksa dengan melihat, mendengar dan merasakan. Trakea adalah teraba dalam kedudukan supra sternal untuk mendeteksi penyimpangan yang disebabkan oleh tension pneumothorax, dan dada percussed untuk hiper - resonansi tension pneumothorax atau hemothorax.

(8)

Kontrol perdarahan, sirkulasi dinilai dengan mencari perdarahan eksternal dan terlihat tanda-tanda syok seperti pucat, dan penurunan tingkat kesadaran. Pada jantung, dilakukan auskultasi untuk mendeteksi jantung tamponade, dan perfusi rendah dinilai dengan meraba berkeringat dan mendinginkan kulit. Nadi perifer dan sentral nadi teraba untuk mendeteksi tachycardia. Perdarahan eksternal dikendalikan oleh tekanan, dan dua 14-gauge kanula digunakan untuk pemberian cairan dan darah. D- Disability

Hal ini jauh lebih tepat dari nilai AVPU (Aware, verbal responsif, Nyeri responsif dan tidak responsif) (Solomon, 2010). GCS dianggap sekunder untuk cedera otak sampai terbukti sebaliknya.

2.4. Secondary survey

Survei sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-toe untuk mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di primary survey. Ini terjadi setelah survei primer selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak membutuhkan perawatan definitif (JRCALC,2008). Pentingnya survei sekunder adalah bahwa luka ringan dapat ditemukan selama survei primer dan resusitasi, tapi menyebabkan jangka panjang morbiditas jika diabaikan, misalnya dislokasi sendi kecil.

Komponen dari survei sekunder adalah: 1. Riwayat cedera

2. Pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan neurologis 4. Tes diagnostik lebih lanjut 5. Evaluasi ulang

2.5. Trauma servikal dan tulang belakang

Hanya 2% - 3% dari trauma tumpul yang menyebabkan cedera servikal, tetapi potensi untuk cedera neurologik membuatnya harus dikenal dengan baik dan penanganannya sulit. Tulang servikal subaxial (C3-C7) adalah tempat dimana terjadi dua-pertiga dari semua fraktur servikal dan tiga perempat dari semua dislokasi servikal. Seperti halnya dengan torakolumbal, klasifikasi dari cedera servical subaxial masih merupakan permasalahan besar, sering klasifikasi memfokuskan pada

(9)

halnya seperti klasifikasi torakolumbal TLIC, yang dikenal dengan nama subaxial injury classification (SLIC), yang memfokuskan pada : morfologi cedera, defisit neurologik dan integritas discoligament complex (DLC), untuk memberikan petunjuk penanganan pada cedera servikal (Sastrodiningrat, 2012).

Morfologi cedera pada SLIC sama dengan cedera torakolumbal: kompresi, distraksi, dan rotasi/ translasi, dengan memberikan skor angka yang meningkat sesuai dengan derajat keparahan. Defisit neurologik juga diklasifikasikan dengan cara yang sama. DLC berbeda dengan PLC, karena pada tulang servikal, anterior lungitudinal ligament (ALL) dan diskus intervertebralis juga terlibat bersama posterior longitudinal ligament (PLL), ligamentum flavum, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, dan kapsul faset. Alignment faset yang abnormal dan pelebaran anterior disc space merupakan tanda kerusakan DLC. Sebaliknya,

ligamentum interspinosum merupakan komponen yang paling lemah dari DLC, jadi pelebaran interspace saja tidak merupakan DLC compromise pada tulang servikal. Total skor ≤ 3 ditangani non operatif, sedangkan skor ≥ 5 memerlukan intervensi bedah (Sastrodiningrat, 2012).

Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera pada beberapa bagian ini. Antara kemungkinan kecederaan yang bisa timbul adalah seperti berikut (Sastrodiningrat, 2012):

A. Dislokasi atlanto-oksipital (atlanto-occipital dislocation)

Kebanyakan penderita meninggal karena kerusakan batang otak dan apnea atau kerusakan neurologis yang menetap (kuadriplegia serta ventilator dependent) B. Fraktur atlas (C1)

Merupakan kurang lebih 5% dari kasus fraktur servikal. Mekanisme terjadinya cedera adalah axial loading, seperti kepala tertimpa secara vertikal oleh benda berat atau penderita terjatuh dengan puncak kepala terlebih dahulu.

C. Rotary subluxation dari C1.

Cedera ini banyak ditemukan pada anak-anak, terjadi spontan setelah terjadinya cedera berat/ringan, infeksi saluran nafas atas, atau penderita dengan rheumatoid artritis. D. Fraktur Axis (C2)

Merupakan 18% dari seluruh fraktur tulang servikal. Merupakan tulang vertebra

(10)

E. Fraktur dislokasi ( C3-C7 )

Pada orang dewasa level C5 merupakan level tersering tulang servikal mengalami fraktur, sedangkan antara C5-C6 merupakan level tersering mengalami dislokasi. F. Fraktur vertebra thorakalis ( T1-T10 )

Terbagi 4 :

1. Fraktur baji karena kompresi korpus anterior, terjadi akibat axial loading

disertai dengan fleksi.

2. Fraktur burst disebabkan oleh kompresi vertikal-aksial

3. Fraktur chance, merupakan fraktur transversal pada korpus vertebra,

disebabkan oleh fleksi dengan aksis anterior dari kolumna vertebralis dan sering dijumpai setelah kecelakaan dimana penderita hanya menggunakan lap

belt saja tanpa shoulder belt. Biasanya berhubungan dengan cedera retroperitoneal dan cedera organ abdomen.

4. Fraktur dislokasi, relatif jarang pada daerah thorakal dan lumbal. G. Fraktur thorako lumbal (T11-L1)

Biasanya disebabkan oleh kombinasi dari hiperfleksi akut dan rotasi, dan sebagai konsekuensinya fraktur ini biasanya tidak stabil. Sering terjadi pada penderita yang jatuh dari ketinggian atau pengemudi mobil yang memakai sabuk pengaman tetapi dalam kecepatan tinggi. Cedera pada daerah ini menyebabkan disfungsi dari kandung kencing dan usus serta penurunan sensasi dan motorik pada daerah ekstremitas bawah.

H. Fraktur lumbal

Kemungkinan terjadinya defisit neurologis komplit jarang dijumpai pada cedera ini.

2.6. Cedera kepala (Traumatic Brain injury)

Definisi TBI yang kita kenal selama ini, adalah trauma yang mengenai kepala, dapat menyebabkan gangguan struktural dan atau gangguan fungsional sementara atau menetap. Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan, setiap tahun di Amerika Serikat paling tidak 1.4 juta orang mengalami TBI. Dari jumlah ini kira-kira 1,1 juta orang ditolong dan diizinkan pulang dari Unit Gawat Darurat, 235.000 dirawat di rumah sakit dan 50.000 meninggal dunia.

(11)

mengenai berat ringannya TBI sangat penting untuk mengarti dan menjelaskan penanggulangan TBI. Beberapa sistem skoring dapat menilai status neurologik awal pada pasien TBI, diantaranya Glasgow Coma Scale (GCS), Trauma Score, Trauma Score Revised, dan Abbreviated Injury Scale (AIS). GCS terlepas dari berbagai kekurangannya, merupakan sistem yang paling banyak dipakai. GCS sederhana, merupakan skala praktis untuk menilai derajat kesadaran pasien TBI dan untuk memprediksi hasil akhirnya. Secara sederhana juga dapat mengklasifikasikan berat ringannya penderita TBI. TBI ringan, GCS 13-15, TBI sedang, GCS 9-12, dan TBI berat, GCS 3-8 (Sastrodiningrat, 2012).

TBI memicu sederetan kejadian pada tingkat selular dan molekular sehingga menimbulkan histochemical responses, molecular responses, dan genetic response

yang menyebabkan secondary insult, terutama keadaan iskemia, dan memperberat

cedera otak primer (primary braindamage). Akan tetapi sebaliknya, beberapa dari

responses ini ada yang bersifat neuroprotective (Sastrodiningrat, 2012). 2.7.Trauma thoraks

Trauma thoraks bisa terbagi dua yaitu :

a) Trauma thoraks yang langsung dapat mengancam jiwa 1. Tension pneumothoraks

Terjadi karena adanya one way valve (fenomena pentil) dimana kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau dari luar melalui dinding dada, masuk kedalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi. Sehingga tekanan intra pleura meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke kontralateral dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung, dan akan menekan paru kontralateral.

2. Pericardial tamponade

Sering disebabkan oleh luka tembus, namun cedera tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah, baik dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard.

3. Open Pneumothoraks(Pneumothoraks Terbuka)

Defek atau luka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan pneumothoraks

(12)

udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trachea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.

4. Hemothoraks masif

Terjadi bila terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1500cc di dalam rongga pleura. Sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru.

5. Flail chest

Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Terjadi bila adanya fraktur iga yang multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis

fraktur (Oakley, 1998).

b) Trauma thoraks yang potensial dapat mengancam jiwa 1. Ruptur aorta

Sering menyebabkan kematian segera setelah kecelakaan mobil dengan tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita yang selamat sesampainya dirumah sakit kemungkinan sering dapat diselamatkan bila ruptur aorta dapat diidentifikasi dan secepatnya dilakukan operasi (Williams, 2004).

2. Cedera tracheobronkial

Sering disebabkan oleh cedera tumpul dan terjadi pada 1 inci dari karina. Sering ditemukan hemoptisis, emfisema subkutis dan tension pneumothoraks dengan pergeseran mediastinum. Adanya pneumothoraks dengan gelembung udara yang banyak pada WSD setelah dipasang selang dada harus dicurigai adanya cedera trakeo bronkial.

3. Cedera tumpul jantung

Dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur atrium atau ventrikel ataupun kebocoran katup.

4. Cedera diafragma

(13)

mengurangi kemungkinan terdiagnosisnya ataupun terjadinya ruptur diafragma kanan

5. Kontusio paru

Merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada pada golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian.

2.8. Trauma abdomen

Abdomen dibagi 3 bagian (Tintinalli’s Emergency Medicine, 2004):

1. Rongga peritoneum : terdiri dari liver, lien, gaster, usus halus, sebagian

duodenum, dan sebagian usus besar

2. Retroperitoneum : terdiri dari ginjal, ureter, pankreas, aorta dan vena cava.

3. Rongga pelvic : terdiri dari vesica urinaria, rectum dan genitalia interna pada

wanita

Trauma abdomen juga dapat dibagi dua yaitu : 1.Trauma tumpul ( Blunt abdominal trauma )

2.Trauma tembus ( Penetrating abdominal trauma )

2.9.Trauma musculoskeletal

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Solomon, 2010). Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus dari dalam hingga kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami penetrasi suatu objek yang tajam dari luar hingga ke dalam (Lamichhane, 2010).

Setelah patah tulang terjadi maka otot, pembuluh darah, dan jaringan lunak lainnya mengalami kerusakan. Sebuah respon sel dengan sel-sel inflamasi dan sel mesenkimal dibedakan yang menonjol dalam tiga sampai lima hari pertama. Peristiwa biologis yang menyebabkan fraktur yang komplek tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan patah tulang sembuh dengan cara pembentukan kalus. Dalam penyembuhan fraktur pada tulang panjang menjalani proses klinis dalam lima tahap :

inflamasi, proliferasi, pembentukan callus, konsolidasi, remodelling.

(14)

fraktur dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik, adapun faktor lokal: a) Lokasi fraktur, b) Jenis tulang yang mengalami fraktur, c) Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil, d) Adanya kontak antar fragmen. e) Ada tidaknya infeksi. f) Tingkatan dari fraktur. Dan faktor sistemik : a) umur, b) nutrisi, c) riwayat penyakit sistemik, d) hormonal, e) obat-obatan, f) rokok.

2.9.1. Klasifikasi fraktur

Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.

2.9.2. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar Fraktur dapat dibagi menjadi :

1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.

2. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang

dengan dunia luar.

Klasifikasi patah tulang terbuka yang dibuat oleh Gustillo and Anderson pada tahun 1976 sebagai berikut:

1. Tipe I

• Panjang luka < 1 cm, biasanya luka tusukan atau puncture dimana patokan

ujung tulang menembus kulit.

• Kerusakan jaringan lunak sedikit dan tidak ada tanda-tanda Crushing Injury. • Fraktur biasanya simple, tranverse atau oblique pendek dan sedikit

comminutive. 2. Tipe II

• Panjang luka > 1 cm dan tidak ada kerusakan jaringan lunak yang luas, flap atau infeksi.

• Terdapat Crushing Injury ringan – sedang.

• Fraktur comminutive sedang dan kontaminasi sedang. 3. Tipe III

• Ditandai dengan kerusakan jaringan lunak luas meliputi otot, kulit dan

(15)

trauma high velocity yang menyebabkan derajat comminutive dan instabilitas tinggi. Tipe III ini dibagi lagi menjadi

i. Tipe III a

Jaringan lunak yang meliputi tulang yang patah cukup adekuat meskipun terdapat laserasi luas, flap atau trauma high velocity, tanpa memandang ukuran luka.

ii. Tipe III b

Cedera luas, terdapat atau hilangnya sebagian dari pada jaringan lunak dan stripping periosteal dan bone expose, kontaminasi dan fraktur

comminutive yang berat. iii. Tipe III c

Meliputi semua fraktur yang terbuka yang berhubungan dengan

kerusakan pembuluh darah yang harus di repair tanpa memandang cedera jaringan lunak.

2.10. Prinsip penanganan fraktur Penatalaksanaan sebagai alat triase.

Secara Umum Menurut Long (1996), penanganan pada fraktur dibagi menjadi beberapa hal antara lain:

1. Penanganan langsung

a. Pasang bidai sebelum memindahkan pasien atau pertahankan gerakan diatas

dan dibawah tulang yang fraktur sebelum dan transplantasi b. Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi oedema

c. Kirim pasien untuk pertolongan emergency

d. Pantau daerah yang cedera dalam periode waktu yang pendek untuk sedini

mungkin dapat melihat perubahan waktu, pernafasan, dan suhu. 2. Imobilisasi

a. X-Ray

b. Fiksasi eksternal bidai dan gips c. Traksi

d. Fiksasi internal jarum, plat, skrup, kawat

e. Bone Scans, termogram atau MRI Scans

(16)

3. Penanganan pada tulang terbuka

a. Debridemen untuk membersihkan kotoran atau benda asing b. Pemakaian toksoid tetanus

c. Kultur jaringan dan luka d. Kompres terbuka

e. Pengobatan dengan antibiotik

f. Penutupan luka bila ada benda infeksi

g. Imobilisasi fraktur menurut Handerson (1997) imobilisasi fraktur yaitu

mengembalikan atau memperbaiki bagian-bagian yang patah dalam bentuk semula (anatomis) imobilisasi untuk mempertahankan bentuk dan memperbaiki fungsi bagian tulang yang rusak.

Cara-cara yang dapat dilakukan meliputi: 1. Reposisi atau reduksi

a. Manipulasi atau Close reduction adalah tindakan non bedah untuk

mengembalikan posisi, panjang dan bentuk. Close reduksi dilakukan dengan lokal anestesi ataupun umum.

b. Open reduction adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan

pembedahan. Sering dilakukan dengan internal fiksasi menggunakan kawat,

screws, pins, plate, intermedulari rods atau nail. Kelemahan tindakan ini adalah kemungkinan infeksi dan komplikasi berhubungan dengan anestesia. 2. Traksi, alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur

untuk meluruskan bentuk tulang. Ada dua macam yaitu:

a. Skin traction (traksi kulit) adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan

menempelkan plaster langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membentuk menimbulkan spasme otot pada bagian yang cidera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48 – 72 jam).

b. Skeletaltraction adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang

cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins atau kawat ke dalam tulang.

3. Imobilisasi setelah dilakukan reposisi dan posisi fragmen tulang sudah

(17)

yang mengalami fraktur diminimalisir untuk mencegah fragmen tulang berubah posisi.

2.11. Revised Trauma Score dan Injury Severity Score

Revised Trauma Score (RTS) adalah sebuah skor fisiologis keparahan cedera. Data yang diperoleh terdiri dari (Feliciano, 2008)

1. Glasgow Coma Scale (GCS) 2. Sistolik Tekanan Darah (SBP) 3. Tingkat pernapasan (RR)

The GCS, SBP dan RR diberi nilai kode, RTS kemudian dihitung dengan menjumlahkan nilai-nilai kode.

Glasgow Coma Scale

Systolic blood pressure

Respiratory Rate Coded Value

13-15 >89 10-29 4

9-12 76-89 >29 3

6-8 50-75 6-9 2

4-5 1-49 1-5 1

3 0 0 0

Di lapangan skor unweighted berkisar 0-12, skor kurang dari 11 merupakan indikasi untuk transfer ke pusat trauma khusus. Sebuah bentuk kode dari RTS digunakan untuk jaminan kualitas dan hasil prediksi.

Nilai untuk coded RTS berkisar 0-7,8408. (0 = mati 7,8408 = normal) The RTS sangat bergantung terhadap Glasgow Coma Scale untuk mengkompensasi cedera kepala berat tanpa cedera multisistem atau perubahan fisiologis utama. Sebuah ambang RTS <4 telah diusulkan untuk mengidentifikasi pasien yang harus dirawat di pusat trauma, meskipun nilai ini mungkin agak rendah.

Keterbatasan RTS:

1. Menghitung bentuk kode di lapangan tidak praktis 2. Masalah dengan GCS pada pasien diintubasi 3. Pengaruh alkohol dan obat-obatan

(18)

4. Mengubah parameter fisiologis dengan resusitasi dari kekacauan fisiologis tidak

diperhitungkan.

Cedera Severity Score (ISS) adalah sebuah sistem penilaian anatomis yang memberikan skor keseluruhan untuk pasien dengan beberapa luka-luka. Setiap cedera diberikan sebuah AIS dan dialokasikan ke salah satu dari enam daerah tubuh (Kepala, Wajah, Dada, Abdomen, Ekstremitas (termasuk Pelvis), eksternal). Hanya skor AIS tertinggi di masing-masing daerah tubuh digunakan. 3 daerah tubuh yang paling terluka parah telah nilai mereka kuadrat dan ditambahkan bersama-sama untuk menghasilkan skor ISS.

Contoh perhitungan ISS ditunjukkan di bawah ini:

Region Injury

Description

AIS Square Top Three Head & Neck Cerebral Contusion 3 9

Face No Injury 0

Chest Flail Chest 4 16

Abdomen Minor Contusion of Liver Complex Rupture Spleen

2 5

25

Extremity Fractured femur 3

External No Injury 0

Injury Severity Score: 50

Skor ISS mengambil nilai 0-75. Jika cedera diberikan sebuah AIS dari 6 (cedera

unsurvivable), skor ISS secara otomatis ditetapkan ke-75. Skor ISS hampir satu-satunya sistem penilaian anatomi digunakan dan berkorelasi linear dengan mortalitas, morbiditas, tinggal di rumah sakit dan tindakan lainnya keparahan. Kelemahan adalah bahwa setiap kesalahan dalam AIS scoring meningkatkan kesalahan ISS. Banyak pola cedera yang berbeda dapat menghasilkan skor yang sama ISS dan cedera ke daerah tubuh yang berbeda yang tidak berbobot.

2.12. Biokimia laktat

(19)

oksigenasi yang cukup, akan lebih banyak energi seluler diekstraksi secara aerob melalui siklus asam sitrat dan rantai transport elektron. Dalam hal ini, sel-sel mengubah piruvat menjadi asetil CoA melalui oksidatif dekarboksilasi.

Pyruvate + NAD+ + CoA Acetyl CoA + CO2 + NADH

Sebaliknya, ketika perfusi di jaringan menjadi tidak adekuat, maka terjadilah metabolisme anaerob untuk menghasilkan beberapa energi meskipun dalam jumlah yang sedikit. Pada kasus ini, piruvat di metabolisme menjadi laktat, yang akhirnya menghasilkan ATP yang lebih sedikit (2 vs 36) dibandingkan dengan proses normal yaitu melalui mekanisme aerob.

Produksi laktat terjadi pada semua jaringan, yaitu musculoskeletal, otak, sel-sel darah merah, dan ginjal. Meskipun dalam kondisi dibawah normal yaitu disaat kaya akan oksigen, proses ini tetap terjadi dalam kadar yang sama. Kadar laktat dalam

tubuh manusia normal, mampu dibersihkan dengan sangat cepat dengan kecepatan rata-rata diatas 320mmol/L/jam. Sebagian besar dimetabolisme dihati dan di ubah kembali dari laktat menjadi pyruvat. Tindakan ini menjaga kadar basal dari laktat tetap dibawah 1 mmol/L, baik di pembuluh darah arteri maupun vena.(Andra, et al., 2007).

Latihan berat, kejang, dan menggigil adalah contoh kondisi umum yang juga dapat menyebabkan asidosis laktat. Dalam kasus ini, tubuh membersihkan laktat dengan cepat dan peningkatan serum yang signifikan umumnya tidak terjadi. Dalam kondisi metabolik tertentu, peningkatan laktat karena penggunaan oksigen yang tidak adekuat lebih jarang dibandingkan dari pada suplai oksigen yang tidak memadai. Klinisi yang baik dapat memperkirakan hal ini sebagai salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada pasien. Daripada memikirkan laktat saja sebagai produk dari kurang adekuatnya perfusi darah, mungkin akan lebih baik menganggap laktat sebagai suatu marker dari metabolisme langsung selular. Terutama di instalasi gawat darurat untuk pasien dengan trauma atau sepsis. Penurunan jumlah darah, kehilangan darah, septik shock, dan SIRS dapat mempengaruhi kadar laktat. Dengan mengetahui peningkatan kadar laktat pada pasien lebih awal, dapat memberikan informasi berharga yang membantu menjadi pegangan dalam menentukan penilaian dan penanganan selanjutnya (Huckabee, 1961).

(20)

Produksi laktat terjadi pada seluruh jaringan termasuk otot rangka, otak, sel darah merah dan ginjal bahkan pada tingkat awal di bawah kondisi normal yang kaya akan oksigen. Dalam subyek manusia normal, laktat dibersihkan dengan cepat, dengan kecepatan sekitar 320 milimoles per liter per jam , sebagian besar oleh metabolisme hati dan dengan reconversion laktat kembali ke piruvat. Ini membantu menjaga tingkat laktat basal arteri dan vena di bawah satu milimole per liter. Dalam skenario perfusi jaringan yang tidak memadai, metabolisme anaerobik berlaku dimana piruvat dimetabolisme menjadi laktat, akhirnya menghasilkan lebih sedikit adenosin trifosfat (ATP) molekul dari mekanisme aerobik biasa melalui asam trikarboksilat siklus pathway. Persistent asidosis laktat dikaitkan dengan tingkat yang lebih tinggi kegagalan pernapasan, sistem multi kegagalan organ dan kematian setelah trauma parah atau multipel trauma. Peningkatan tingkat laktat mencerminkan hipoksia

jaringan dan metabolism anaerobik berlangsung dalam tubuh dan biasanya diatasi dengan resusitasi yang memadai.

Serial estimasi nilai laktat serum diperkirakan untuk membantu memprediksi morbiditas dan mortalitas pada korban trauma. Ada bukti untuk mendukung penggunaan tingkat laktat darah sebagai titik akhir resusitasi. Kehadiran kadar asam laktat meningkat pada serum dapat mengarahkan dokter yang merawat untuk waktu yang aman dan benar dari setiap intervensi bedah. Identifikasi awal dan tindakan resusitasi agresif ditujukan untuk memperbaiki disfungsi metabolic gangguan meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi komplikasi pada pasien trauma terluka parah.

Dengan demikian, asidosis laktat mungkin menandakan adanya cedera jaringan paru terbuka atau klenik, mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan muskuloskeletal trauma. Penelitian ini menandakan apakah peningkatan laktat serum memiliki efek merusak pada hasil pada politrauma dan pasien multipel trauma.

2. 14. Laktat pada trauma

Beberapa penelitian menunjukkan manfaat pengukuran laktat pada pasien trauma dan kritis. Misalnya, Abramson et al. secara prospektif meneliti 76 pasien multipel trauma yang dirawat di ICU dan dilakukan pemeriksaan laktat dan bersihan laktat dalam 48 jam. Pada 27 pasien yang memiliki kadar laktat normal (< 2 mmol/L)

(21)

dibutuhkan untuk mengembalikan kadar laktat kembali ke dalam nilai normal dapat menjadi indikator dalam menentukan prognosis pada pasien dengan trauma berat. Dokter yang bertugas di bagian emergensi dan tenaga kesehatan emergensi harusnya dapat memberikan perhatian yang lebih pada saat resusitasi pada pasien trauma. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk bersihan laktat, semakin tinggi kemungkinan multi organ failure dan mortalitas.

Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dapat didefinisikan sebagai perkembangan kekacauan fisiologis yang berpotensi reversibel yang melibatkan dua atau lebih sistem organ tidak terlibat dalam gangguan yang mengakibatkan perawatan ICU, dan timbul setelah gangguan fisiologis yang berpotensi mengancam nyawa. (Vincent, 1996). Sementara gagal nafas merupakan keadaan yang tidak memadai dalam pertukaran gas oleh sistem pernafasan, dengan hasil bahwa kadar oksigen

arteri, karbon dioksida atau keduanya tidak dapat dipertahankan dalam rentang normal mereka (Burt, 2009). Sepsis merupakan komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa dari infeksi. Sepsis terjadi ketika bahan kimia yang dilepaskan ke dalam aliran darah untuk melawan infeksi memicu peradangan di seluruh tubuh. Peradangan ini dapat memicu aliran perubahan yang dapat merusak beberapa sistem organ, menyebabkan mereka gagal (Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2014).

Ditemukan pada 43% meninggal jika bersihan laktat berlangsung lebih dari 24 jam. Sehingga kadar laktat pada pasien trauma dapat menentukan prognosis dan usaha menormalkan kadar laktat pada pasien trauma menjadi sangat penting untuk menentukan morbiditas dan mortalitas pasien trauma berat. (Abramson, 1993).

2. 15. Kerangka teori

Multipel Trauma

Hipoperfusi Jaringan

Hipoksia Jaringan

Metabolisme Anaerob

Referensi

Dokumen terkait

• Kepala/Pemilik Swalayan dan Wakil kepala bertugas mengatur kegiatan Swalayan, menginvestasikan dana untuk kebutuhan Swalayan, baik dana utama maupun dana cadangan bila

Pada hikayat dan novel indonesia, banyak menggunakan majas dan perumpamaan, serta menggunakan bahasa Melayu dengan penyusunan kalimatnya tidak sesuai EYD dan kata-kata

2) Sistem rekomendasi yang digunakan dan diterapkan dalam penelitian yang dilakukan yaitu sistem rekomendasi yang menggunakan metode item-based

Safety climate adalah persepsi bersama antara manajemen perusahaan dengan pekerja dalam melakukan setiap aktivitas di perusahaan yang merupakan pengukuran dari safety culture

Pembagian tingkat kerawanan banjir dari 143 titik di Kecamatan Muara Bangkahulu, diketahui bahwa sekitar 8,4 % zona kuning atau wilayah rawan banjir satu, 18,9% zona

Hasil uji beban statis untuk muka air tanah di atas dasar fondasi dengan berbagai variasi persentase campuran styrofoam pada lubang uji dengan media tanah lempung

Demikian juga saat pasien tidak lagi dirawat di rumah sakit (dirawat di rumah). Keluarga yang mendukung pasien secara konsisten akan membuat pasien mampu mempertahankan

$emakin lama seseorang menderita penyakit ini, semakin besar kemungkinannya akan mengalami neuropati yang umumnya secara klinis tertampak dalam &amp; tahun pertama setelah diagnosis