• Tidak ada hasil yang ditemukan

dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

KORELASI ANTARA PARAMETER FAAL HEMOSTASIS DAN

SERUM LAKTAT SEBAGAI INDIKATOR MORTALITAS

PADA PASIEN MULTIPLE TRAUMA DI RUMAH SAKIT

UMUM PUSAT SANGLAH BALI

dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2017

(2)

i DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi ... i

Daftar Gambar iii Daftar Singkatan iv BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 Manfaat ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Koagulasi ... 5

2.2 Koagulopati Pada Trauma... 6

2.3 Mekanisme Koagulopati Pada Trauma ... 7

2.3.1 Asidemia ... 7

2.3.2 Syok dan Hipoperfusi ... 8

2.3.3 Konsumsi Faktor Koagulasi ... 8

2.4 Diagnosis Koagulopati... 9

2.5 Koagulopati sebagai indikator mortalitas pada pasien multipel Trauma ... 12

2.6 Biokimia Laktat ... 13

2.7 Serum laktat sebagai indikator mortalitas pada pasien multipel Trauma ... 15

2.8 Multiple Organ Dysfunction (MODS) ... 16

2.9 Trauma ... 17

2.9.1 Pendahuluan ... 17

(3)

ii

2.9.3 Trauma Abdomen ... 19

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 24

3.1 Kerangka Berfikir... 24

3.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 25

3.3 Hipotesis Penelitian ... 26

BAB IV METODE PENELITIAN ... 27

4.1 RancanganPenelitian... 27

4.2 Lokasi Waktu Penelitian ... 27

4.3 Penentuan Sumber Data ... 27

4.3.1 Populasi dan Sampel Penelitian ... 27

4.3.2 Populasi Terjangkau ... 27 4.3.3 Sampel Penelitian ... 27 4.3.4 Besar Sampel ... 28 4.3.5 Kriteria Inklusi ... 28 4.3.6 Kriteria Eksklusi ... 28 4.4 Variabel Penelitian ... 29

4.4.1 Klasivikasi dan Identitas Variabel ... 29

4.4.1.1 Variabel Bebas ... 29

4.4.1.2 Variabel Tergantung ... 29

4.4.2 Definisi Operasional Variabel ... 29

4.5 Instrumen Penelitian ... 30

4.6 Prosedur Penelitian ... 31

4.6.1 Tahap Persiapan ... 31

4.6.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 31

4.7 Alur Penelitian ... 32

4.8 Analisa Data ... 33

(4)

iii DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 : Skema pembekuan darah ... 6 Gambar 2 : Mekanisme terjadinya Koagulopati pada trauma

(Acute Traumatic Coagulopathy / ATC) ... 8 Gambar 3: Konsep Penelitian ... 25

(5)

iv DAFTAR SINGKATAN

TNBC : Triple Negative Breast Cancer CAP : College of American Pathologist CAF : cancer associated fibroblast

LVI : limphovascular invasion

TIL : tumor infiltrating lymphocyte

IAPI : PerhimpunanDokterSpesialisPatologiIndonesia

YKI : YayasanKanker Indonesia

BRCA : Breast Cancer susceptibility gene ATM : Ataxia Telangiectasia Mutated

TP5 : Tumor Protein 53

DCIS : Ductal Carcinoma In Situ LCIS : Lobular Carcinoma In Situ PTEN : Phosphatase and tensin homolog

IDC : invasive ductal carcinoma

HIF-1α : Hypoxia-inducible factors-1α VEGF : Vascular endothelial growth factor

AngPTL : Angiopoietin

EMT : epitheial to messenchymal transition MET : mesenchymal to epithelial transition

MMP : matrix metalloproteinase

(6)

v

MSC : Messenchymal Stem Cell

NK : Natural Killer Cell

ITC : IsolatedTumorCellClusters

IHC : immunohistochemistry

RT-PCR : reverse transcriptase polymerase chain reaction

ER : Estrogen Receptor

PR : Progesterone Receptor

EGF : Endothelial Growth Factor

EGFR : Endothelial Growth Factor Receptor TGFβ : transforming growth factor-β

(7)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Trauma saat ini merupakan penyebab kematian paling sering di empat dekade pertama kehidupan dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di setiap negara (Gad, 2012). Data WHO (World Health Organization) menyebutkan sebanyak 5,6 juta orang meninggal dan sekitar 1,3 juta orang mengalami cacat fisik akibat kecelakaan lalu lintas di seluruh dunia selama tahun 2011. Data dari Kepolisian Republik Indonesia tahun 2017 menyebutkan pada tahun 2015 terjadi 38.279 kasus kecelakaan di jalan raya dengan korban terbanyak berusia 15-55 tahun. Trauma yang terjadi seringkali melibatkan beberapa regio tubuh. Kondisi ini disebut dengan multipel trauma. Pada multipel trauma, sering terjadi koagulopati. Dimana koagulopati itu diantaranya berasal dari perdarahan, baik dari mukosa, permukaan serosa dan akses pembuluh darah yang pada akhirnya akan mengakibatkan kematian (Oshiro et al, 2014). Pada empat decade terakhir disebutkan bahwa pada multipel trauma juga terjadi keadaan asidosis serta koagulopati yang juga akan meningkatkan mortalitas pasien multipel trauma (Yanagida, 2014).

Saat ini penelitian untuk mencari marker yang terbaik untuk diagnosis, prognosis, dan penanganan pasien-pasien trauma masih terus berlangsung. Pedoman untuk akhir dari resusitasi masih menjadi kontroversi. Idealnya, suatu marker harus mampu menilai resusitasi yang adekuat, menilai hipoksia jaringan serta mampu memprediksi mortalitas dan hasil akhir dari pasien-pasien trauma. Secara umum, resusitasi pada kasus trauma dan tindakan operasi emergensi didasarkan pada kombinasi dari nilai laboratorium, tanda vital, dan keadaan klinis.

Tauber dan kawan-kawan (2011) menemukan bahwa pasien trauma berat dengan tekanan darah yang normal, dan urin output yang cukup, tapi masih dalam keadaan shock yang terkompensasi. Sehingga diperlukan marker lain. Dua marker

(8)

2 yang sering digunakan untuk menilai keberhasilan resusitasi adalah koagulopati dan kadar serum laktat (MacLeod, 2003).

Koagulopati adalah suatu kondisi terganggunya kemampuan darah mengadakan pembentukan clot (bekuan) (Beverley J, 2014). Koagulasi akut telah diteliti terdapat pada satu dari empat pasien trauma dan menyebabkan peningkangkatan mortalitas empatkali lebih besar. Koagulopati yang terjadi pada pasien trauma dipicu oleh perdarahan masif, hemodilusi, hipotermia dan asidosis. Proses ini menyebabkan 6 faktor pemicu terjadinya koagulopati yaitu hipoperfusi jaringan, trauma jaringan, hipotermia, asidosis, hemodilusi dan inflamasi. Hasil akhir dari keseluruhan patofisiologis ini disebut trias kematian pada trauma, yaitu hipotermia, asidosis dan koagulopati. Penatalaksanaan trias kematian ini terfokus pada pencegahan hipotermia dan asidosis tanpa intervensi koagulopati. Hal ini disebabkan karena koagulopati merupakan factor prognosis bebas yang merupakan tujuan utama yang harus dicegah pada damage control resuscitation. (Anusha dkk, 2014)

Penelitian yang dilakukan terdahulu menunjukkan kejadian koagulopati pada pasien multipel trauma berkisar antara 10- 34 % (McLeod, 2003; Brohi, 2003, 2007; Maegele, 2007; Rugeri, 2007; Oshiro 2014; Hartemink 2015). Penelitian tersebut juga menunjukkan koagulopati dapat menjadi indikator dalam menentukan angka mortalitas pada pasien multipel trauma.

Di lain pihak, terdapat biomarker lain yang berhubungan erat dengan mortalitas terhadap pasien yang mengalami disfungsi organ dan syok , yaitu serum laktat. Serum laktat adalah parameter yang sensitif untuk menilai adekuat-tidaknya oksigenasi sel. Serum laktat adalah produk akhir dari metabolism anaerob dan marker spesifik untuk hipoksia jaringan. Peningkatan tingkat laktat mencerminkan hipoksia jaringan dan metabolisme anaerobik berlangsung dalam tubuh. (Mikkelsen dkk, 2012). Akan tetapi belum ada data yang jelas mengenai koagulopati pada pasien multiple trauma dan hubungan antara koagulopati dan kadar serum laktat sebagai indikator mortalitas pada pasien multipel trauma. Oleh sebab itu, peneliti merasa perlu dilakukan penelitian tentang hubungan nilai faal hemostasis dan kadar serum

(9)

3 laktat sebagai salah satu indikator untuk menilai mortalitas pasien multipel trauma di RSUP Sanglah.

1.2 Rumusan masalah

1. Apakah ada korelasi antara nilai prothrombin time (PT) dan kadar serum laktat sebagai indikator mortalitas pada kasus multipel trauma di RSUP Sanglah Bali.

2. Apakah ada korelasi antara nilai activated partial prothrombin time (aPTT) dan kadar serum laktat sebagai indikator mortalitas pada kasus multipel trauma di RSUP Sanglah Bali.

3. Apakah ada korelasi antara nilai international normalized ratio (INR) dan kadar serum laktat sebagai indikator mortalitas pada kasus multipel trauma di RSUP Sanglah Bali.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Menentukan hubungan antara parameter faal hemostasis dan kadar serum laktat sebagai indikator mortalitas pada kasus multipel trauma di RSUP Sanglah Bali.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk membuktikan adanya korelasi nilai prothrombin time (PT) dan kadar serum laktat sebagai indikator mortalitas pada kasus multipel trauma di RSUP Sanglah Bali.

2. Untuk membuktikan adanya korelasi nilai activated partial prothrombin time (aPTT) dan kadar serum laktat sebagai indikator mortalitas pada kasus multipel trauma di RSUP Sanglah Bali.

3. Untuk membuktikan adanya korelasi nilai international normalized ratio (INR) dan kadar serum laktat sebagai indikator mortalitas pada kasus multipel trauma di RSUP Sanglah Bali.

(10)

4 1.4 Manfaat

Memberikan data dan informasi apakah parameter faal hemostasis dan kadar serum laktat dapat digunakan sebagai indikator menentukan mortalitas pada pasien multipel trauma, dan dapat dijadikan langkah awal untuk dilakukan penelitian-penelitian selanjutnya.

(11)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Koagulasi

Koagulasi dari suatu trauma adalah suatu sindrom yang terkaraktristik dari sebuah proses perdarahan yang bukan berasal dari proses pembedahan dari mukosa, permukaan serosa dan luka, juga permukaan pembuluh darah yang berbeda dari perdarahan yang simpel. Dan koagulasi ini disebabkan dari berbagi faktor, seperti hipotermia, asidosis, hemodilusi, syok hemoragik. Dan dari trauma yang serius itu sendiri. (Lawson dkk, 2014).

Koagulasi dimulai dengan terdapatnya kerusakan pembuluh darah pada lapisan endothel. Trombosit kemudian membentuk gumpalan untuk menutup daerah yang rusak; hal ini disebut hemostasis primer. Hemostasis sekunder terjadi secara simultan dengan adanya protein dalam plasma disebut faktor koagulasi untuk membentuk benang-benang fibrin yang memperkuat gumpalan dari trombosit.

Secara klasik proses pembekuan dibagi dalam tiga jalur yaitu jalur intrinsik, ekstrinsik dan jalur bersama. Jalur intrinsik (contact activation pathways) dan jalur ekstrinsik (tissue factor), keduanya mengaktivasi jalur bersama dari faktor X, trombin dan fibrin. Disamping itu juga membutuhkan kofaktor seperti vitamin K , ion kalsium dan phospholipid untuk menjaga fungsi pembekuan darah. Selain itu ada mekanisme penghambatan proses koagulasi oleh inhibitor yaitu protein C (sebagai kofaktor inhibitor), antitrombin dan TFPI (tissue factor pathway inhibitor). Bila terdapat abnormalitas dari inhibitor mengakibatkan peningkatan trombosis. Dan proses yang tak kalah penting adalah fibrinolisis. Fibrinolisis adalah proses degradasi dan penyerapan dari bekuan darah (produk dari koagulasi). Enzim utama yang berperan adalah plasmin yang mengatur bermacam-macam aktivator dan inhibitor (laffan,

(12)

6 1996; Gastineau, 2002; David L, 2009). Skema pembekuan darah dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 1 : Skema pembekuan darah 2.2 Koagulopati pada Trauma

Koagulopati adalah kerusakan atau gangguan pada sistem koagulasi yang menyebabkan peningkatan bleeding time (BT) atau peningkatan waktu pembekuan darah. Banyak tes yang memberikan informasi tentang status koagulasi seperti jumlah trombosit, prothrombin time (PT. international normalized ratio (INR), activated partian thromboplastin time (aPTT), d-dimer, dan kadar fibrinogen. Pada kondisi trauma, setiap pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya koagulopati membutuhka waktu, sedangkan perdarahan masih terus berlajut. Ketika hasil laboratorium sudah keluar, pasien bias jadi sudah dalam keadaan hipotermia, asidosis dan koagulopati yang irreversible. Dengan demikian dibutuhkan parameter tes yang cepat yang dapat memberikan point penting untuk penaganan pasien-pasie trauma yang memiliki resiko terjadinya koagulopati (Thorsen dkk, 2011).

(13)

7 Koagulopati yang terjadi setelah trauma merupakan gangguan system homeostasis yang disebabkan oleh banyak factor. Disfungsi pebentukan fibrin, trombosit, endotel vascular, inhibisi pembentuka clot dan proses fibrinolitik berperan dalam hal ini. Mekanisme ini tergantung dari beratnya trauma, derajat gangguan fisiologis sistemik dan efek dari terapi

Kematian pada trauma masih menjadi masalah besar dalam kesehatan masyarakat. Kematian yang terjadi pada saat awal trauma biasanya disebabkan oleh adanya perdarahan dalam jumlah besar (Sawamura, 2014). Koagulopati adalah proses patologis yang menyebabkan kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan mencegah perdarahan (Davonport, 2013). Koagulopati yang terjadi pada pasien trauma dipicu oleh perdarahan masif, hemodilusi, hipotermia dan asidosis. Proses ini menyebabkan 6 faktor pemicu terjadinya koagulopati yaitu hipoperfusi jaringan, trauma jaringan, hipotermia, asidosis, hemodilusi dan inflamasi. (Anussa, 2014)

2.3 Mekanisme Koagulopati Pada Trauma

Hipotermia sedang dan berat dijumpai pada < 9% pasien trauma (Farkash U, 2002; Shafi S, 2005). Meskipun terdapat hubungan antara hipotermia, syok dan beratnya cedera (Injury Severity), hal ini merupakan faktor prediktif yang lemah (odds ratio 1,19)( Shafi S, 2005). Bagaimanapun, gangguan pembekuan darah yang signifikan dijumpai pada temperatur dibawah 33°C (Wolberg, 2004; Meng, 2003; Martini, 2005).

2.3.1 Asidemia

Kondisi asidemia berdampak terhadap fungsi koagulasi protease (Brohi, 2007). Penelitian secara in Vitro yang dilakukan Meng (2003) mendapati bahwa terdapat sedikit hubungan yang signifikan antara penurunan fungsi protease pada pH 7,2. Bagaimanapun, pada penelitian hewan coba yang dilakukan Martini (2007) menemukan bahwa efek asidemia pada fungsi koagulasi tidak bersifat reversible hanya dengan koreksi keadaan asidosis.

(14)

8 2.3.2 Syok dan Hipoperfusi

Kondisi syok dan hipoperfusi jaringan merupakan faktor resiko independen yang kuat terhadap terjadinya poor outcomes pada trauma (Siegel, 1990; Rutherford, 1992; Davis, 1996; Eberhard, 2000). Penelitian Martini (2007) menemukan bahwa 2% pasien dengan Base Excess < 6mEq/L mengalami pemanjangan waktu pembekuan. 20% pasien dengan Base excess> 6mEq/L mengalami pemanjangan waktu pembekuan. Pada penelitian tersebut kadar Fibrinogen dan Trombosit pasien dalam keadaan normal.

2.2.3 Konsumsi faktor koagulasi

Konsumsi faktor kogulasi selalu dianggap sebagai penyebab terjadinya koagulopati pada trauma. Degenarasi thrombin dan derajat trauma berhubungan secara linear dengan aktivasi dari tissue factor dependent extrinsic pathway (Brohi, 2007)

Hubungan kesemua faktor tersebut diatas dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2 : Mekanisme terjadinya Koagulopati pada trauma (Acute Traumatic

Coagulopathy / ATC)

Sumber : Maegele M, Acute Traumatic Coagulopathy : Incidence,risk stratification and therapeutic options, World J Emerg Med, Vol 1, No.1, 2010. P-1

(15)

9 2.4 Diagnosis Koagulopati

Pemeriksaan laboratorium yang akan didapatkan pada pasien multiple trauma disertai koagulopati adalah (Toni L, 1992; Gustinawati, 2003) :

1. Penurunan jumlah trombosit darah tepi 2. Pemanjangan masa plasma protrombin

3. Pemanjangan masa tromboplastin parsial Teraktivasi 4. Pemanjangan masa thrombin

5. Penurunan kadar fibrinogen plasma.

Sedangkan pada DIC pemeriksaan laboratorium menunjukkan kondisi ke-5 hal di atas terjadi bersama-sama (Silman E, 1992; Tony L, 1992; Laffan, 1996; Gastineau, 2002). Jumlah trombosit darah tepi berkurang akibat trombosit terperangkap oleh fibrin sewaktu pembentukan mikrotrombin yang terus-menerus yang di lain pihak tidak diimbangi oleh kecepatan produksinya. Selain itu juga karena terjadinya agregasi trombosit yang diaktifkan oleh trombin.

Pemanjangan masa protrombin plasma terutama karena menurunnya aktivitas faktor-faktor pembekuan pada jalur ekstrinsik dan jalur bersama yaitu fibrinogen, protrombin, faktor V, X, dan VII. Pemanjangan masa tromboplastin parsial teraktivasi terutama akibat oleh menurunnya aktivitas faktor-faktor pembekuan pada jalur intrinsik dan jalur bersama yaitu fibrinogen, protrombin, faktor V,X,VIII,IX,XI dan XII (Silman E, 1992; Tony L, 1992; Laffan, 1996; Gastineau, 2002). Pemecahan fibrinogen menjadi produk degradasi fibrinogen hal itulah yang menjadi kausa penurunan kadar fibrinogen secara kuantitas (Silman E, 1992; Tony L, 1992; Takhahoshi H, 1997). Tes-tes untuk sistem pembekuan darah dapat digolongkan atas tes saring dan tes khusus. Tes saring penting untuk menjamin integritas secara keseluruhan sistem koagulasi dan untuk menentukan di mana letak kelainan dari jalur intrinsik, ekstrinsik dan jalur bersama, yang meliputi (Gustinawati R, 2003; David L dkk, 2009) :

(16)

10 1. Tes PT (Prothrombin Time) adalah tes untuk menentukan defisiensi dari jalur ekstrinsik dan bersama (factor V,VII, X, Protrombin dan Fibrinogen). PT Protrombin disintesis oleh hati dan merupakan prekursor tidak aktif dalam proses pembekuan. Nilai rujukan normal adalah 11-15 detik. Prinsip pengukuran PT adalah menilai terbentuknya bekuan bila ke dalam plasma yang telah diinkubasi ditambahkan campuran tromboplastin jaringan dan ion kalsium. Reagen yang digunakan adalah kalsium tromboplastin, yaitu tromboplastin jaringan dalam larutan (CaCl2).Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil adalah penggunaan antikoagulan oral, heparin, kepekaan reagen tromboplastin, kadar kasium dan tehnik pemeriksaan yang salah. Interprestasi memanjang pada :

a. Penanganan terhadap obat-obat antikoagulan oral b. Penyakit hati

c. Defisiensi vitamin K

d. Defisiensi Faktor II, V, VII, X, protrombin dan fibrinogen e. Sindrom nefrotik.

2. Tes APTT ( Activated Partial Thromboplastin Time) adalah tes saring terhadap jalur intrinsik dan jalur bersama yang digunakan untuk mendeteksi defisiensi terhadap semua faktor dari jalur intrinsik dan bersama (faktor V,VII,IX, XII, prekalikren, kininogen, protrombin dan fibrinogen). Prinsip dari uji APTT adalah menginkubasi plasma sitrat yang mengandung semua faktor koagulasi instrinsk kecuali kalsium dan trombosit dengan tromboplastin parsial (fosfolipid) dengan dengan bahan pengaktif (misal kaolin, ellagic acid, micronized sillica). Bahan pemeriksaa yang digunakan adalah darah vena dengan menggunakan antikoagulan trisodium sitrat 3,2% dengan perbandingan 9 :1. Nilai satuan APTT adalah detik. Nilai rujukan normal aPTT adalah 20-40 detik. Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil tes ini adalah heparin, kepekaan reagen tromboplastin, kadar kasium dan tehnik pemeriksaan yang salah. Interprestasi memanjang pada :

a. Defisiensi satu atau lebih dari faktor-faktor koagulasi intrinsik dan jalur bersama ( F.XII, XI, IX, VIII, X, V, Protrombin dan fibrinogen)

(17)

11 c. Penyakit hati

d. Hemofilia e. Leukimia f. Penyakit malaria

3. Tes TT (Thrombin Time) adalah tes yang mengukur waktu yang dibutuhkan untuk membentuk bekuan dari plasma setelah penambahan trombin dalam sejumlah fibrinogen normal. Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil adalah penggunaan antikoagulan oral, heparin, kadar dan fungsi fibrinogen dan tehnik pemeriksaan yang salah. Interprestasi memanjang pada :

a. Penurunan nilai fibrinogen b. Disfungsi molekul fibrinogen c. Terapi heparin

d. Peninggian produk degradasi fibrinogen (FDP)

4. Tes fibrinogen, adalah tes yang dipakai untuk mengukur kadar (kuantitas) fibrinogen dan tidak dapat mendeteksi adanya kelainan fungsi fibrinogen. Interprestasi memanjang pada :

a. Peninggian produk degradasi fibrinogen (FDP) b. Heparin lebih daripada 5 U.S.P unit/ ml

5. International Normalized Ratio (INR) adalah satuan yang didapatkan sebagai perbandingan antara PT pasien yang diperiksa dengan PT normal. Nilai normalnya adalah 0,8-1,2 Fritsma dkk, 2002).

Koagulopati adalah proses patologis yang menyebabkan kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan mencegah perdarahan. Koagulopati (+) apabila dijumpai minimal 2 dari tanda berikut (Brohi, 2003) :

a. Prothrombin Time (PT) > 18 detik

b. Activated Partial Thromboplastin Time (aPTT) > 36 detik c. INR > 1,6

(18)

12 2.5 Koagulopati sebagai indikator mortalitas pada pasien multipel trauma

Dasar untuk manajemen yang adekuat pada perdarahan atau gangguan koagulasi pada fase akut suatu trauma adalah penegakan diagnosis yang cepat tentang adanya masalah koagulasi tersebut. Pemeriksaan laboratorium seperti PT, aPTT, INR, fibrinogen dan trombosit rutin dilakukan. Permasahan yang silakukan adalah waktu yang dubutuhkan untuk pemeriksaan laboratorium ini sekitar 30 – 40 menit semenjak pasien datang di rumah sakit sedangkan pasien datang dalam keadaan syok. Jumlah perdarahan dapat diperkirakan dari mekanisme trauma, status fisiologis, kerusaakan anatomis dan respon pasien terhadap respon pasien terhadap pemberian resusitasi cairan. (Maegele dkk, 2011)

Keadaan yang dikenal dengan koagulopati terjadi pada pasien dengan multipel trauma. Penelitian yang dilakukan oleh Kapsch dkk dan Mc Namara dkk menunjukkan koagulopati yang terjadi pada pasien trauma baik kecelakaan ataupun peperangan. Penelitian yang dilakukan oleh Ferrara dkk (1990) dan Garrison (1996) menemukan bahwa Prothrombin Time merupakan faktor independen yang berhubungan dengan kematian pada pasien perdarahan akibat trauma yang mendapatkan transfusi darah secara masif. Penyebab primer terjadinya koagulopati pada trauma akibat dari cedera kepala, transfusi darah yang masif, dan resusitasi cairan yang dilakukan dalam jumlah besar.

Beberapa penelitian retrospektif yang dilakukan menggunakan pemeriksaan Prothrombin Time (PT) dan Activated Partial Thromboplastin Time (PTT) untuk mendiagnosis keadaan koagulopati (Brohi, 2003; McLeod, 2003; Maegele, 2007; Brohi, 2007 ; Hartemink, 2014). Brohi (2003, 2007) menggunakan PT > 18 detik dan PTT > 60 detik sebagai batasan untuk koagulopati. Rugeri (2007) menggunakan INR > 1,6 dan PTT > 60 detik sebagai defenisi koagulopati. Pada studi Miami, 28% pasien dengan nilai PT abnormal dibandingkan dengan 8% PTT abnormal. Dari studi diatas didapati Odds Ratio (OR) pasien meninggal dengan PTT abnormal sebesar 4, 26 dibandingkan dengan OR pasien dengan PT abnormal sebesar 1,54 (McLeod, 2003).

Pasien yang tiba di ruang IGD dengan kondisi koagulasi tiga sampai 4 kali lebih sering meninggal dunia dibandingkan tanpa koagulopati (Brohi, 2003; McLeod,

(19)

13 2003; Brohi, 2007) dan delapan kali lebih sering meninggal dunia dalam 24 jam pertama masuk Rumah Sakit (Maegele, 2007). Permasalahan yang timbul dari penggunaan PT dan PTT adalah waktu yang diperlukan untuk diagnosis koagulopati memakan waktu 20-60 menit disebagian besar center trauma (Brohi, 2007). Penelitian terakhir melaporkan penggunaan rotational Thromboelastometry (RoTEM) untuk mendiagnosis koagulopati akut pada trauma (Rugeri dkk, 2007).

2.6 Biokimia laktat

Dalam keadaan normal, dengan sumber daya jaringan dan oksigenasi yang cukup, akan lebih banyak energi seluler diekstraksi secara aerob melalui siklus asam sitrat dan rantai transport elektron. Dalam hal ini, sel-sel mengubah piruvat menjadi asetil CoA melalui oksidatif dekarboksilasi.

Pyruvate + NAD+ + CoA Acetyl CoA + CO2 + NADH

Sebaliknya, ketika perfusi di jaringan menjadi tidak adekuat, maka terjadilah metabolisme anaerob untuk menghasilkan beberapa energi meskipun dalam jumlah yang sedikit. Pada kasus ini, piruvat di metabolisme menjadi laktat, yang akhirnya menghasilkan ATP yang lebih sedikit (2 vs 36) dibandingkan dengan proses normal yaitu melalui mekanisme aerob.

Produksi laktat terjadi pada semua jaringan, yaitu muskuloskeletal, otak, sel-sel darah merah, dan ginjal. Meskipun dalam kondisi dibawah normal yaitu disaat kaya akan oksigen, proses ini tetap terjadi dalam kadar yang sama. Kadar laktat dalam tubuh manusia normal, mampu dibersihkan dengan sangat cepat dengan kecepatan rata-rata diatas 320mmol/L/jam. Sebagian besar dimetabolisme dihati dan di ubah kembali dari laktat menjadi pyruvat. Tindakan ini menjaga kadar basal dari laktat tetap dibawah 1 mmol/L, baik di pembuluh darah arteri maupun vena.(Andra et al, 2007). Adapun peningkatan produksi laktat dapat disebabkan hal-hal berikut :

- Syok - Hipoksemia - Anemia berat - Anemia berat

(20)

14 - Asidosis laktat

- Keganasan

- Obat dan toksin, seperti ; etanol, metanol, teofilin, kokain, salisilat, isoniasid, biguanid.

- Gangguan metabolisme sejak lahir

Latihan berat, kejang, dan menggigil adalah contoh kondisi umum yang juga dapat menyebabkan asidosis laktat. Dalam kasus ini, tubuh membersihkan laktat dengan cepat dan peningkatan serum yang signifikan umumnya tidak terjadi. Dalam kondisi metabolik tertentu, peningkatan laktat karena penggunaan oksigen yang tidak adekuat lebih jarang dibandingkan dari pada suplai oksigen yang tidak memadai.

Jalur metabolisme anaerob yang dikenal sebagai glikolisis adlah langkah awal metabolisme glukosa sel-sel sitoplasma. Hasil akhir dari jalur ini adalah piruvat. Pada keadaan hipoksia, piruvat diubah menjadi laktat oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH). Akumulasi laktat intraseluler meningkatkan pelepasan laktat dari sel. Laktat yang keluar dari sel akan ditukar dengan ion hidroksil (OH-). H+ ekstraseluler bergabung dengan laktat yang meninggalkan sel membentuk asam laktat, sementara OH- mengikat H+ yang dihasilkan selama hidrolisa ATP menjadi air (H2O). sehingga transpor laktat swluler membantu membantu peningkatan sedang H+ di sitosol sebagai hasil hidrolisis ATP anaerob.

Klinisi yang baik dapat memperkirakan hal ini sebagai salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada pasien. Daripada memikirkan laktat saja sebagai produk dari kurang adekuatnya perfusi darah, mungkin akan lebih baik menganggap laktat sebagai suatu marker dari metabolisme langsung selular. Terutama di instalasi gawat darurat untuk pasien dengan trauma atau sepsis. Penurunan jumlah darah, kehilangan darah, septik shock, dan SIRS dapat mempengaruhi kadar laktat. Dengan mengetahui peningkatan kadar laktat pada pasien lebih awal, dapat memberikan informasi berharga yang membantu menjadi pegangan dalam menentukan penilaian dan penanganan selanjutnya (Huckabee, 1961).

(21)

15 2.7 Serum laktat sebagai indikator mortalitas pada pasien multipel trauma

Keadaan persistent asidosis laktat dikaitkan dengan meningkatnya kegagalan pernapasan, kegagalan organ multipel dan kematian setelah multipel trauma. Peningkatan tingkat laktat mencerminkan hipoksia jaringan dan metabolisme anaerobik berlangsung dalam tubuh dan biasanya diatasi dengan resusitasi yang memadai.

Nilai kadar laktat normal pada pasien kritis masih kontroversi. Kadar laktat pada orang sehat sebesar 1 ± 0,5 mmol/L. Brinkman (2003) mengemukakan bahwa hiperlaktatemia terbagi dalam tiga kategori, yaitu hiperlaktatemia ringan (2,1-5 mmol/l), berat (≥ 5 mmol/L), dan asidosis laktat (≥ 5 mmol/L). Jean Pierre (2005) menyebutkan bahwa kadar laktat darah arteri ≥ 1,5 mmol/L sudah disebut hiperlaktatemia. Sedangkan Cohen (1976) dan Franklin (2006) menyebutkan defenisi hiperlaktatemia pada pasien kritis apabila kadar laktat darah > 2 mmol/L.

Keadaan asidosis laktat menandakan adanya cedera jaringan paru terbuka, mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan muskuloskeletal trauma. Penelitian yang dilakukan oleh Andra dkk (2007) menandapatkan bahwa peningkatan laktat serum memiliki outcome yang buruk pada trauma poli dan pasien multipel trauma. Andra mendapatkan bahwa penilaian kadar serum laktat secara berulang diperkirakan untuk membantu memprediksi morbiditas dan mortalitas pada korban trauma.

Beberapa penelitian yang lain menunjukkan manfaat pengukuran laktat pada pasien trauma dan kritis dapat dijadikan bukti bahwa pengukuran kadar serum laktat dapat digunakan sebagai titik akhir tindakan resusitasi. Penelitian yang dilakukan Abramson dkk (1993) secara prospektif meneliti 76 pasien multipel trauma yang dirawat di ICU dan dilakukan pemeriksaan laktat dan bersihan laktat dalam 48 jam. Pada 27 pasien yang memiliki kadar laktat normal (< 2 mmol/L) dalam 24 jam dapat bertahan hidup dan hanya 3 dari 22 pasien (13,6%) pasien yang kadar laktat tidak menghilang dalam 48 jam dapat bertahan hidup. Normalisasi kadar laktat pada 24 jam pertama setelah resusitasi bertujuan untuk meningkatkan pasokan oksigen dan curah jantung. Pada pasien yang membutuhkan waktu normalisasi 24 - 48 jam didapatkan

(22)

16 angka mortalitasnya sebesar 25% dan tidak ada pasien yang hidup apabila kadar laktat pasien diatas normal sampai lewat 48 jam (Abramson, 1993). Pada pasien yang membutuhkan waktu normalisasi kadar laktat 24 - 48 jam didapatkan angka mortalitasnya sebesar 25% dan tidak ada pasien yang hidup apabila kadar laktat pasien diatas normal sampai lewat 48 jam. Sehingga Abramson menyimpulkan bahwa normalisasi kadar laktat pada 24 jam pertama setelah resusitasi bertujuan untuk meningkatkan pasokan oksigen dan curah jantung (Abramson, 1993). Hal yang sama juga dikemukakan Shapiro dkk (2005) yang meneliti 1,278 pasien multipel trauma. Pada pasien multipel trauma yang mengalami infeksi, menunjukkan bahwa kadar laktat yang meningkat akan meningkatkan mortalitas. Dia mendapati bahwa kadar laktat kurang dari 2.5 mmol/L memiliki angka mortalitas 4.9%, sedangkan kadar > 4,5 mmol/L akan meningkatkan mortalitas menjadi 28,4%. Konsentrasi laktat A ≥ 4 mmol/ L memiliki sensitifitas 36% (95% CI 27-45%) dan spesifisitas 92% (95% CI) terhadap kejadian meninggal dunia.

Waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan kadar laktat kembali ke dalam nilai normal dapat menjadi indikator dalam menentukan prognosis pada pasien dengan multipel trauma. Dokter yang bertugas di bagian emergensi dan tenaga kesehatan emergensi harusnya dapat memberikan perhatian yang lebih pada saat resusitasi pada pasien trauma. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk bersihan laktat, semakin tinggi kemungkinan multi organ failure dan mortalitas. Sehingga kadar serum asam laktat yang meningkat dapat mengarahkan dokter yang merawat untuk waktu yang aman dan benar dari setiap intervensi bedah. Identifikasi awal dan tindakan resusitasi agresif ditujukan untuk memperbaiki disfungsi metabolik sehingga meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi komplikasi pada pasien multipel trauma.

2.8 Multiple Organ Dysfunction (MODS)

Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) didefinisikan sebagai perkembangan kegagalan fisiologis yang berpotensi reversibel yang melibatkan dua atau lebih sistem organ tidak terlibat dalam gangguan yang mengakibatkan perawatan

(23)

17 ICU, dan timbul setelah gangguan fisiologis yang berpotensi mengancam nyawa. (Vincent, 1996). Sementara gagal nafas merupakan keadaan yang tidak memadai dalam pertukaran gas oleh sistem pernafasan, dengan hasil bahwa kadar oksigen arteri, karbon dioksida atau keduanya tidak dapat dipertahankan dalam rentang normal mereka (Burt, 2009). Sepsis merupakan komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa dari infeksi. Sepsis terjadi ketika bahan kimia yang dilepaskan ke dalam aliran darah untuk melawan infeksi memicu peradangan di seluruh tubuh. Peradangan ini dapat memicu aliran perubahan yang dapat merusak beberapa sistem organ, menyebabkan mereka gagal (Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2014).

2.9 Trauma

2.9.1 Pendahuluan

Trauma merupakan penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-44 tahun di seluruh dunia (WHO, 2012). Proporsi terbesar dari kematian (1,6 juta pertahun) kecelakaan di jalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa pada tahun 2020, cedera lalu lintas menduduki peringkat ketiga dalam penyebab kematian dini dan kecacatan (Peden, 2004).

Perdarahan yang tidak terkontontrol merupakan penyebab kematian pada lebih dari 50% kasus trauma pada 24 jam pertama (Sauaia, 1995). Laporan WHO 2012 mengutip angka kematia untuk dewasa, yaitu mereka dengan cedera skor keparahan (ISS) dari 9 atau lebih tinggi (Mock, 2004). ISS akan diuraikan secara lebih rinci dalam bagian berikutnya. Keseluruhan angka kematian, termasuk pra-rumah sakit dan di pra-rumah sakit, adalah 35% di negara-negara berpenghasilan tinggi, namun meningkat menjadi 55% di negara berpenghasilan menengah dan 63% di negara berpenghasilan rendah. Lebih serius pasien cedera (ISS 15-24) mencapai rumah sakit menunjukkan peningkatan enam kali lipat dalam mortalitas pada pasien berpenghasilan ekonomi rendah.

(24)

18 2.9.2 Defenisi Multipel Trauma

Multipel trauma adalah kondisi seseorang yang telah mengalami beberapa luka traumatis, seperti cedera kepala serius selain luka bakar yang serius. Atau dengan kata lain multipel trauma atau politrauma didefenisikan sebagai terdapatnya 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane, 2011). Multipel trauma atau politrauma adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan pasien yang mengalami suatu cedera berat yang diikuti dengan cedera yang lain, misalnya dua atau lebih cedera berat yang dialami pada minimal dua area tubuh. Kondisi yang penting dalam menggambarkan penggunaan istilah ini adalah pada keadaan trauma yang bisa disertai dengan shock dan atau perdarahan serta keadaan yang dapat membahayakan jiwa seseorang (Kroupa J, 1990). Beberapa penelitian terdahulu, diantaranya Border dan kawan-kawan mendefinisikan multipel trauma adalah cedera yang cukup signifikan mengenai dua atau lebih regio tubuh. Tscherne dan kawan-kawan mengatakan multipel trauma adalah dua atau lebih cedera berat dengan salah satunya atau semuanya dapat mengancam jiwa. Beberapa penulis mendefinisikan multipel trauma menggunakan pengukuran yang lebih objektif yaitu dengan menggunakan scoring Injury Severity Score ( ISS ), dimana dikatakan multipel trauma bila nilai ISS 15 sampai 26 atau lebih besar (Nerida E, 2013).

Kematian yang disebabkan oleh trauma itu secara klasik memiliki 3 penyebaran, yang berhubungan antara waktu kejadian dengan penanganan efektif yang dilakukan untuk mengatasi mortalitas :

1. Immediate deaths ( kematian yang segera )

Dimana pasien meninggal oleh karena trauma sebelum sampai ke rumah sakit. Misalnya cedera kepala berat, atau trauma spinal cord. Hanya sedikit dari pasien ini yang dapat hidup sampai ke rumah sakit, karena hampir 60% dari kasus ini pasien meninggal bersamaan dengan saat kejadian.

(25)

19 2. Early deaths

Dimana pasien meninggal beberapa jam pertama setelah trauma. Sebagian disebabkan oleh perdarahan organ dalam dan sebagian lagi disebabkan oleh cedera sistem saraf pusat. Hampir semua kasus pada trauma ini potensial dapat ditangani. Bagaimanapun, pada umumnya setiap kasus membutuhkan pertolongan dan perawatan definitif yang sesuai di pusat-pusat trauma. Khususnya pada institusi yang dapat melakukan resusitasi segera, identifikasi trauma, dan sarana pelayanan operasi selama 24 jam.

3. Late deaths

Dimana pasien meninggal beberapa hari atau minggu setelah trauma. Sepuluh sampai dua puluh persen (10%-20%) dari seluruh kematian kasus trauma terjadi pada periode ini. Kematian pada periode ini mayoritas disebabkan oleh karena infeksi dan kegagalan multipel organ. Trauma kepala paling banyak dicatat pada pasien multipel trauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa yang lain (David, 2008).

Resusitasi adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital lainnya. Ini adalah prosedur darurat menyelamatkan nyawa yang dilakukan ketika pernapasan seseorang atau detak jantung telah berhenti. Hal ini mungkin terjadi setelah sengatan listrik, serangan jantung, atau tenggelam (Hazinski MF; Samson R; Schexnayder S, 2010). Berdasarkan Advanced Trauma Life Support (2008), dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat.

2.9.3 Trauma abdomen

Secara anatomi abdomen dibagi 3 bagian (Tintinalli’s Emergency Medicine, 2004) :

(26)

20 1. Rongga peritoneum : terdiri dari liver, lien, gaster, usus halus, sebagian

duodenum, dan sebagian usus besar

2. Retroperitoneum : terdiri dari ginjal, ureter, pankreas, aorta dan vena cava.

3. Rongga pelvis : terdiri dari vesica urinaria, rectum dan genitalia interna pada wanita

Trauma abdomen juga dapat dibagi dua yaitu : 1. Trauma tumpul ( Blunt abdominal trauma ) 2. Trauma tembus ( Penetrating abdominal trauma )

Trauma abdomen trauma merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas dari sebagian besar semua kelompok usia. Jumlah kasus pada pria lebih banyak dijumpai dari wanita. Bagaimanapun penting untuk mengenali tanda trauma abdomen sedini mungkin, karena seringkali kelainan yang timbul seringkali tidak dijumpai pada saat penilaian awal dari pasien trauma (Shapiro MB, Nance ML, Schiller HJ, Hoff WS, Kauder DR, Schwab CW, 2001).

Pada pasien dengan kesadaran yang baik, pemeriksaan klinis dapat dijadikan acuan untuk menentukan adanya trauma abdomen. Bagaimanapun juga, tanda- tanda peritonitis memerlukan waktu beberapa jam setelah trauma terjadi sebelum dapat dikenali melalui pemeriksaan fisik. Jika pasien dalam keadaan terintubasi, intoksikasi, atau gangguan persyarafan (contohnya tetraplegia), pemeriksaan klinis seringkali tidak bias dipakai untuk pengambilan keputusan apakah pasien akan dilanjutkan dengan pembedahan (Shapiro, 2001). Penelitian serial yang dilakukan oleh Livingston mendapati bahwa dari 90 pasien dengan cairan bebas intra abdomen tanpa cedera solid organ, dijumpai 19% pasien tanpa abdominal tenderness ternyata mempunyai cedera pada intra abdominal. Salah satu contohnya adalah seat belt sign yang merupakan salah satu tanda adanya cedera dari hollow organ (Shapiro, 2001).

Sonografi dan radiografi konvensional tetap mempunyai tempat untuk trauma abdomen, CT scan abdomen dan pelvik merupakan prosedur pilihan untuk mengevaluasi pasien dengan hemodinamik stabil pada trauma tumpul. CT telah menggantikan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) sebagai metode pilihan di banyak

(27)

21 pusat-pusat trauma di seluruh dunia. Keuntungan utamanya tidak hanya mampu mengungkapkan adanya perdarahan intra-abdominal atau intra-toraks tetapi bisa juga mengidentifikasi organ yang terlibat. Di pusat-pusat di mana CT scan tidak tersedia atau terbatas, sering kali diperlukan evaluasi ulang kondisi pasien. Dalam hal evaluasi klinis saja yang diandalkan untuk menentukan adakah atau tidak pasien memerlukan pembedahan, tingkat laparotomi negatif mungkin sampai 40%. Di pusat-pusat di mana DPL positif dianggap sebagai standar emas untuk memutuskan intervensi, diagnostik laparoscopies atau laparotomi dilakukan secara rutin. Kelemahan dari strategi ini adalah angka yang berpotensi tinggi terjadinya nonterapeutik laparotomi. Keterbatasan DPL dalam mendeteksi cedera retroperitoneal terutama jika dilakukan terlalu cepat setelah trauma awal, dapat melewatkan perforasi usus di perut tanpa bukti cedera organ padat. (Githaiga JW; Adwok AJ, 2002).

Salah satu yang systematic reviews terbesar, yang dilakukan oleh Rodriguez dan rekan kerja, menemukan 10 artikel tentang cairan bebas intraabdomen tanpa cedera organ. Penelitian ini melibatkan 463 pasien dari total 16000 (2,8%) dengan tanda-tanda cairan intra-abdominal bebas tanpa cedera organ padat jelas yang telah dilakukan CT scan untuk trauma tumpul abdomen (Rodriguez C, 1998). Tindakan laparotomi terapi dilakukan pada 122 pasien. Para penulis menyimpulkan bahwa laparotomi diagnostic tidak bisa dibenarkan apabila pasien sadar dan dapat dipantau dengan pemeriksaan fisik berulang (Livingston DH, 1998).

Konsep laparotomi damage control untuk resusitasi pasien dengan trauma berat mulai dikembangkan pada tahun 1983 oleh Stone dan kawan-kawan di Grady Memorial Hospital A.S.terbukti berhasil menurunkan kematian akibat perdarahan massif yang mulai mengalami koagulopati. Moore dan kawan-kawan pada tahun 1993 mengembangkan teknik laparotomi bertingkat sebagai usaha damage control pada pasien perdarahan masif yang akan mengalami asidosis metabolik, hipotermia, dan koagulopati progresif yang disebut trias kematian atau lingkaran setan perdarahan massif. Rotondo dan kawan-kawan pada tahun 1993 kemudian menamakannya sebagai laparotomi damage kontrol.

(28)

22 Operasi damage control adalah operasi yang terbatas, singkat dan bertahap sebagai bagian dari usaha penyelamatan jiwa atau resusitasi pada pasien dengan syok hemorragik berat yang telah atau akan mengalami gangguan metabolik pre operatif ataupun intraoperatif yang akan menyebabkan kematian dikamar bedah atau setelah di ICU.

Ada tiga tahap damage kontrol :

Tahap I : Operasi singkat dan terbatas dikamar bedah sebagai bagian dari resusitasi, untuk menghentikan perdarahan dan mencegah kontaminasi, termasuk :

 Menghentikan segera perdarahan luka jantung atau paru  Packing perdarahan organ solid, dengan tindakan minimal

 Packing rongga badan yang berdarah bila telah terjadi koagulopati (non surgical bleeding)

 Reseksi bagian saluran pencernaan yang rusak berat tanpa reanastomosis. Ujung-ujung saluran cerna yang terbuka ditutup cepat dengan klip kulit, tali umbilikal atau jahitan jelujur. Hindari pembuatan kolostomi karena akan membuang waktu.

 Luka operasi pada leher, torakotomi, laparotomi atau pada tempat eksplorasi ekstremitas kulitnya tidak usah ditutup.

Tahap II :

Melanjutkan resusitasi di icu, termasuk :  Mengatasi hipotermi (rewarming)

 Menstabilkan fungsi kardiovaskuler dengan infus cairan, PRC, inotropik  Mengatasi koagulopati kalau kalau masih ada, dan hanya akan berhasil baik

bila hipotermia telah diatasi.

(29)

23 Tahap III :

 Re operasi atau operasi definitif kalau mungkin

 Apakah ada cedera lain yang terlewati diagnosisnya, kalau ada segera atasi.  Luka insisi operasi laparotomi, torakotomi, dan luka eksplorasi ditutup

kembali bila keadaan telah memungkinkan. ( Warko karnadiharja, DSTC, 2010)

(30)

24

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP PENELITIAN

DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1

Kerangka Pikir

Multiple trauma dapat didefinisikan sebagai cedera pada minimal dua sistem organ yang menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa. Secara khusus, multiple trauma adalah suatu sindrom dari cidera multiple dengan derajat keparahan yang cukup tinggi yang disertai degan reaksi sistemik akibat trauma yang kemudian akan menimbulkan terjadinya disfungsi atau kegagalan dari organ yang letaknya jauh dan sistem organ vital yang tidak mengalami cedera akibat akibat trauma secara langsung. Multiple trauma dapat menyebabkan terjadinya koagulopati akut. Trauma jaringan yang terjadi pada multiple trauma menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan yang hebat akan menyebabkan pemakaian faktor-faktor pembekuan yang berlebihan sehingga terjadinya koagulopatif konsumtif. Perdarahan yang terjadi akibat trauma jaringan menyebabkan syok, hiperperfusi,dan berakhir pada hipoksiadan hipotermia. Hipoksia yang tidak terkoreksi akan berkembang menjadi kondisi asidosis akibat mekanisme metabolisme anaerob yang dapat menggangu aktifitas factor-faktor koagulopati apabila jika dikombinasi dengan kondisi hipotermia. Selain itu, kondisi syok dan resusitasi cairan yang agresif meyebabkan terjadinya hemodilusi faktor-faktor koagulasi. Hemodilusi yang terjadi menurunkan aktifitas koagulasi yang berakhir pada koagulopati.

Koagulopati adalah kerusakan atau gangguan pada system koagulasi yang menyebabkan peningkatan bleeding time (BT) atau peningkatan waktu pembekuan darah. Banyak tes yang memberikan informasi tentang status koagulasi seperti trombosit, prothrombin time (PT), internasional normalized rario (INR), activated partial thromboplastin time (aPTT), d-dimmer, dan kadar fibrinogen. Parameter laboratorium rutin yang digunakan untuk diagnosis adanya koagulopati adalah PT, aPTT dan INR. Koagulopati akut pada trauma didefinisikam sebagai nilai INR > 2.

(31)

25 Semakin berat derajat trauma semakin besar resiko terjadinya koagulopati terutama pada pasien-pasien multiple trauma. Hal ini juga dapat dilihat dari kondisi asidosis akibat mekanisme metabolisme anaerob yang terjadi dalam tubuh manusia. Indikator yang dapat menunjukkan keadaan asidosis telah terjadi dalam tubuh adalah nilai kadar serum dari tubuh manusia tersebut.

3.2. Kerangka Konsep Penelitian

Faal Hemostasis

Serum Laktat

Gambar 3 Konsep Penelitian

Pasien Multiple

trauma

Uji diagnostik

Trauma jaringan

Syok

Hemodilusi

Hipotermia

inflamasi

Trauma jaringan

Hipoksia

Reaksi anaerob

(32)

26 3.3. Hipotesis Penelitian

1. Dijumpai korelasi nilai prothrombin time (PT) dan kadar serum laktat sebagai indikator mortalitas pada kasus multipel trauma.

2. Dijumpai korelasi nilai activated partial prothrombin time (aPTT) dan kadar serum laktat sebagai indikator mortalitas pada kasus multipel trauma.

3. Dijumpai korelasi nilai international normalized ratio (INR) dan kadar serum laktat sebagai indikator mortalitas pada kasus multipel trauma.

(33)

27

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi observasional dengan rancangan potong lintang analitik untuk mengetahui korelasi antara paramrter faal hemostasis dan serum laktat pada pasien multiple trauma.

4.2 Lokasi dan waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Bali. Waktu penelitian dilaksanakan setelah proposal disetujui sampai dengan terkumpul semua sampel penelitian .

4

.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Populasi dan sampel Penelitian

Populasi target adalah pasien dengan multipel trauma yang datang ke instalasi gawat darurat RSUP Sanglah Bali

4.3.2 Populasi terjangkau

Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien multiple trauma yang dirawat di RSUP Sanglah Bali tahun 2017 dan 2018.

4.3.3 Sampel penelitian

Sampel diambil dari semua pasien multipel trauma yang datang ke instalasi gawat darurat RSUP Sanglah Bali yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.

(34)

28 4.3.4 Besar sampel

Untuk menghitung besar sampel pada penelitian ini digunakan rumus:

Keterangan: n = jumlah sampel

r = korelasi yang dianggap bermakna, ditetapkan 0,35

α = Kesalahan tipe I, ditetapkan 5%, hipotesis 1-arah sehingga Zα = 1,64 ß = Kesalahan tipe II, ditetapkan 20%, sehingga power = 80%; Zß = 0,84

Maka berdasarkan rumus di atas jumlah sampel :

(1,64 + 0,84)

n= [ ]² + 3

0,5 ln [(1+0,33) / (1 – 0,33)]

Dengan menggunakan rumus tersebut, maka besar sampel minimalnya = 56 sampel

4.3.5 Kriteria inklusi

1. Penderita dengan multipel trauma yang datang ke IGD RSUP Sanglah Bali 2. Durasi trauma kurang dari 12 jam sebelum masuk rumah sakit..

3. Mendapat informed consent / persetujuan dari keluarga

4.3.6 Kriteria eksklusi

1. Pasien meninggal dunia sebelum resusitasi. 2. Pasien menolak dilakukan pemeriksaan.

( Zα + Zß) ²

n =

+ 3

(35)

29 4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel

Variabel dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 2 kelompok variable, yaitu: 4.4.1.1 Variabel bebas

1. Parameter faal hemostasis (PT, aPTT, INR)

2. Kadar serum Laktat

4.4.1.2 Variabel tergantung

1. Mortalitas pasien fraktur dengan multipel trauma.

4.4.2 Defenisi operasional Variabel

Untuk keseragaman dan agar tidak terjadi kerancuan maka variabel–variabel yang digunakan dalam penelitian ini perlu didefinisikan. Definisi operasional dari variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut:

1. Usia adalah usia kronologis seseorang yang didata berdasarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), atau kartu keluarga

2. Jenis kelamin ditetapkan dengan menilai langsung jenis kelamin penderita dan melihat tanda pengenal

3. Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional.

4. Fungsi Koagulasi adalah proses komplek pembentukan bekuan darah. Fungsi koagulasi yang diperiksa adalah :

a. Prothrombin Time (PT) adalah tes untuk menentukan defisiensi dari jalur ekstrinsik dan bersama (faktor V, VII, X, Protrombin dan Fibrinogen). Ditentukan dengan cara memeriksa plasma darah secara mekanik menggunakan alat Sta Compact Max dengan merk Stago di Laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah Bali dengan

(36)

30 satuan detik. Nilai satuan menguunakan detik. Nilai rujukan normal adalah 11- 15 detik.

b. Activated Partial Thromboplastin Time (aPTT) adalah tes saring terhadap jalur intrinsik dan bersama (faktor V, VII, IX, XII). Digunakan untuk mendeteksi defisiensi terhadap semua faktor dari jalur intrinsik dan bersama. Nilai satuan menggunakan detik. Ditentukan dengan cara memeriksa plasma darah secara mekanik menggunakan alat Sta Compact Max dengan merk Stago di Laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah Bali dengan satuan detik. Nilai rujukan normal adalah 20-40 detik

c. International Normalized Ratio (INR) adalah perbandingan antara nilai Prothombin time pasien dibandingkan dengan nilai Prothrombin Time normal. Nilai normalnya adalah 0,8- 1,2.

5. Kadar serum Laktat adalah kadar serum laktat yang diambil dari darah kapiler dan diperiksakan secara enzimatik calorimetric dengan menggunakan alat Rapid Lab 125 dengan merk Siemens di Laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah Bali. Satuannya adalah mmol/L, dengan nilai normal 0,997 mmol/L atau < 1mmol/L. Kadar Laktat yang meningkat (> 1mmol/L) terdiri atas 3 tingkatan yaitu:

a. Kadar Laktat ≤ 2 mmol/L : Hiperlaktatemia

b. Kadar Laktat 2-5 mmol/L : Hiperlaktatemia ringan

c. Kadar laktat ≥ 5 mmol/L : Hiperlaktatemia berat (Asidosis Laktat)

6. Mortalitas pada pasien multipel trauma adalah kematian yang disebabkan oleh trauma yang berat atau multipel trauma.

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: lembar pengumpul data yang digunakam untuk mengeksplorasi factor koagulasi dan nilai serum laktat.

(37)

31 4.6 Prosedur Penelitian

4.6.1 Tahap persiapan

1. Melakukan pendataan dengan melakukan alloanamnesis dan pemeriksaan fisik terhadap pasien multipel trauma

2. Melakukan pengambilan sampel dengan menilai kriteria inklusi dan eksklusi.

4.6.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian

1. Identitas pasien dicatat (nama, jenis kelamin, dan usia)

2. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik (jenis trauma, lokasi trauma, dan durasi kejadian) dicatat.

3. Pengambilan sampel darah dari pembuluh darah vena pasien untuk pemeriksaan fungsi koagulasi (PT, aPTT, INR) dan serum laktat saat pasien masuk di IGD (inisial).

4. Pengambilan sampel darah dari pembuluh darah vena pasien untuk pemeriksaan fungsi koagulasi (PT, aPTT, INR) dan serum laktat pasien setelah 24 jam dari pemeriksaan pertama. Pemeriksaan sampel darah dilakukan di laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah Bali

(38)

32 4.7 Alur Penelitian

Populasi Target Pasien Multiple Trauma

Kriteria Inklusi

Populasi Terjangkau

Pasien Multitrauma di RSUP Sanglah 2017 – 2018

Sampling Acak Sistematis

Sampel Yang Dikehendaki

Kriteria Eksklusi

Sample Yang Diteliti

PT

Serum Laktat aPTT

INR

Analisis Data

(39)

33 4.8 Analisa Data

Sebelum melakukan analisi data, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kelengkapan data. Analisi penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan analisa yang terdiri dari:

1. Analisis Univariabel, bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subyek berdasarjan kelompok penelitian. Hasil Analisis Univariabel ditampilkan dalam analisis statistik deskriptif. Variabel yang berskala data numeric ditampilkan menggunakan mean dan standar deviasi. Sedangkan variabel yang berskala data kategorial ditampilkan dalam korelasi / regresi.

2. Analisis bivariabel, dengan cara korelasi / regresi sederhana, bertujuan untuk mengetahui hubungan (korelasi / regresi) antara satu variabel bebas dengan satu variabel tergantung.

3. Analisis multivariable, analisis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh murni satu variabel bebas terhadap 1 variabel tergantung dengan mengontrol (mengendalikan) variabel perancu yang juga mempengaruhi variabel tergantung. Analisis ini dilakukan denaga menggunakan uji regresi linear berkelanjutan, degan cara memasukkan variabel bebas denagan p < 0,250 berdasarkan hasil analisis bivariabel. Semua variabel, dianalisis bersama – sama dan tidak ada yang dieliminasi. Metode ini disebut sebagai metode Enter. Kemaknaan secara statistic dinilai menggunaka 95% CI dan nilai p.

(40)

34 DAFTAR PUSTAKA

Agamemnon, D. 2003. Color Atlas Physiology. 5th Edition New York: Thieme. P 102-105

Angelo, M.R., Dutton, R.P. Management of Trauma-Induce Coagulopathy : Trends and Practices. AANA Journal Trauma78:1,2010.

Anonim. 2015. Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disetasi. Denpasar: Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

Anusha, C., dkk. 2014. Acute coagulopathy of trauma: Mecanism, monitoring, management. Baishideng Publishing Group Co., Limited: World Journal Anesthesiology 2014 March 27; 3(1): 111-118

Brandon, K., dkk.2007. Coagulopathy: Its Pathophysiology and treatment in the Injured Patient. USA: World Journal of Surgery; 31: 1055-1064

Brohi, K, et al. Acute Traumatic Coagulopathy. Lippincott Williams and Wilkins 54: 6, 2003.

Brohi, K Cohen, M. J., Davenprt, R.A. Acute Trauma Coagulopathy: Mecanism, Identification, and Effect. Lippincott Williams and Wilkins 13: 680-685, 2007

Cap, A, Hunt, B.J. The Pathogenesis of Traumatic coagulopathy The Association of Anesthetists of Great Britain and Ireland. 70:96-101,2015.

Colvin B. T. 2004. Physiology of haemostasis. London: Blackwell Publishing. ES04.01

Davenport, R., dkk. 2011. Functional Definition and Characterisation of Acute Traumatic Coagulopathy. Critical Care Medicine; PMC; 39(12): 2652-2658

(41)

35 Eldar, S., dan Charles, E.S.2004. Hypothermia in trauma victims – friends or foe?. Ohio: Indian Journal Critical Care Medicine. Volume 8 Issue 2.

Frith, D, et al. Definition and Drivers of Acute Traumatic Coagulopathy. Lippincott Williams and willkins 25: 229-234, 2012.

Gabali, A., Jazearly, T., Ramchandren, R., dan Bluth, M.H. 2013. Applications of Coagulation Testing and Methodology in the Trauma Patient. Detroit: Research and Reviews: Journl of medical and Healthand Sciences. P-ISSN: 2322-0104

Hagemo, J.S., Christian, S.C., Stanworth, S.J., Brohi, K., Johanson, P.I., Goslings, J.C., Naess, P.A., dan Gaarder , C. 2015. Detection of Acute Traumatic Coagulopathy and Massive Transfusion Requirements by Means of Rotational Thromboelastometry: an Interntional Prospective Validation Study. Norwegia: BioMed Central. Critical Care 19;97.

John, R.H., Brohi, K., Dutton, R.P., Hauser, C.J., Holcomb, J.B., Kluge, Y., Jones, K.M., Parr, M.J., Rizoli, S.b., Yukioka, T., Hoyt, D.B., dan Boullion, B. 2008. The coagulopathy of Trauma: A Riview of Mecanisms. Lippincott Williams and Willkins: The Journal of Trauma, Injury, Infection and Critical care. P 748-754

Kashuk, J.L., dkk. 2008. Postinjury Life Threathening Coagulopathy: Is 1;1 Fresh Frozen Plasma; Packed Red Blood Cell the Answer?. The Journal of Trauma, Injury, Infection, and Critical Care. Denver: Lippincot Williams and Willkins. Vol. 65, No. 2

Keel, M., Labler, L., Trenz, O. “Damage Control” in severely Injured Patients Why, When, and How? Eur J Trau ma 2005;31:212-21

Kenneth , D.B. 2003. Manual of Definitive Surgical Trauma Care: Shock. London: Arnold Publisher. P 14-27

(42)

36 Macleod, J. B., et al. Early Coagulopathy Predicts Mortality in Trauma. Lippincott Williams and Willkins 55:1,2003.

Maegele, M., dkk. 2012. The Acute Coagulopathy of Trauma: Mecanisms and Tools for Risk Stratification. Germany: Shock Society. Shock Vol. 38, no. 35

Nardi, G, et al. Prevention and Treatment of Trauma Induce Coagulopathy: An Intended Protocol from the Italian Trauma Update Research Group. Journal of Anesthesiology and Science. P 2-22,2013

O’Keefe, G, Jurkovich, G.J. 2001. Measurement of injury Severity and Co-Morbidity. In: Injury Control . Rivara FP, Cummings P, Koepsell TD, Grossman DC, Maier RV (eds). Cambridge University Press.

Rockwood, and Green’s. 2006. Fracture in Adult: Management of The Multiply Injured Patien. USA: Lippincott William and Wilkins. Chapter .

Ruiz, C, Andersen, M. Treatment of Acute Coagulopathy Associated with Trauma. Hindawi Publishing Corporatio

Sastroasmoro, S., dan Ismael, S. 2014. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis edisi-5. Jakarta: Sagung Seto

Spahn, D.R., Boillon, B., Cerny, V., Coats, T.J., Duranteau, J., Fernandez-Mondejar, E, dkk. Management of bleeding and coagulopathy following major trauma: an update European guideline. Critical Care 2013, 17:R76.

Tanaka, C., Wiargitha, K., Golden, N. Koagulopaty Dini Sebagai Faktor Resiko MOrtalitas Pada Pasien Trauma Abdomen di Rumah Sakit Sanglah Periode tahun 2015 – 2016 [Tesis]. Udayana Press; 2017

(43)

37 Thorsen, K., Ringdal, K.G., Strand, K., Soreide, E., Hagemo, J., dan Soreide, K. 2011. Clinical and cellular effects of hypothermia, acidosis and coagulopathy in major injury. Wiley Online Library; 98:894-907

Trenz, O.L. 2000. Polytrauma; Pathophysiology, Priorities and Management. AO Principle of Fracture Management. New York: Chapter 5.3.

Widiana, R., Aplikasi Statistik. EGC; 2015

Widiana, R., Statistik Kausal Dalam Penelitian Kedokteran. Udayana University Press; 2015

Verma, A., dan Kole T. 2014. International Normalized Ratio as a Predictor of Mortality in Trauma Patients in India. New Delhi: World Journal Emergency Medicine. Vol 5, No 3. www. Wjme.org

Yose, K., Wiargitha, K., Mahadewa, T.G.B. Validitas New Injury Severity Score (NISS) dalam Mendeteksi Terjadinya Koagulopati pada pasien Multiple Trauma [Tesis]. Udayana Press; 2015

Gambar

Gambar 1 : Skema pembekuan darah  2.2 Koagulopati pada Trauma
Gambar 2 : Mekanisme terjadinya Koagulopati  pada trauma (Acute Traumatic  Coagulopathy / ATC)

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Kotler (2007): menyatakan bahwa “D iperlukan investasi besar untuk mengembangkan hubungan relasional dengan konsumen. Dikatakan terdapat lima tahapan untuk

Dengan selesainya penelitian ini, maka Lembaga Penelitian Universitas Negeri Padang akan dapat memberikan informasi yang dapat dipakai sebagai bagian upaya penting dan kompleks

Dalam naskah Pedoman Penilaian oleh Pendidik dan Satuan Pendidikan SMA dinyatakan bahwa sebaiknya penilaian untuk SMA lebih banyak menilai higher order thinking skills (HOTS)

Pada hikayat dan novel indonesia, banyak menggunakan majas dan perumpamaan, serta menggunakan bahasa Melayu dengan penyusunan kalimatnya tidak sesuai EYD dan kata-kata

2) Sistem rekomendasi yang digunakan dan diterapkan dalam penelitian yang dilakukan yaitu sistem rekomendasi yang menggunakan metode item-based

Pembagian tingkat kerawanan banjir dari 143 titik di Kecamatan Muara Bangkahulu, diketahui bahwa sekitar 8,4 % zona kuning atau wilayah rawan banjir satu, 18,9% zona

Untuk pananganan medis secara farmakoterapi yaitu dengan obat pada pre eklampsia dan eklampsia dapat diberikan obat yang bekerja sebagai antikonvulsan yaitu

Misi tersebut sangat berkaitan erat dengan tugas pokok dan fungsi kelurahan sebagai ujung tombak penyelenggara kegiatan pemerintahan di tingkat kelurahan yang dapat