• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN UAS (2).doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAHAN UAS (2).doc"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAHAN UJIAN UAS FILSAFAT KETUHANAN

3. 2. Seberapa jauh membentang pengalaman manusia itu? Persoalan pokok: Di mana batas ruang pengalaman manusia? Utk itu perlu dibedakan isi pengalaman yg berhubungan dgn Allah dan isi pengalaman manusia saja. Kita perlu mengartikan “apa itu pengalaman”. Pengalaman: satu kejadian awal yg ditentukan oleh realitas atau jg satu cara pengenalan yg di dlm kesadarannya realitas itu hadir scr langsung. Pengalaman terhdp realitas itu adalah pengalaman awal yg blm direfleksi. Isi pengalaman awal ini tdk bs dikatakan scr langsung, dan ia hanya ditangkap melalui refleksi budi dan kegiatan berpikirnya. 1. Pengalaman akan Realitas Mutlak.

 Realitas mutlak: tak pernah tampil di permukaan pandangan kita scr penuh. Lalu, di mana kita mencariNya? Kita mencariNya melalui proses pengetahuan kita. Di sana dibutuhkan kriteria obyektivitas pengetahuan. Cr pengenalan kita akan realitas mutlak tdk sempurna, tetapi di dlmnya hadirlah realitas mutlak sbg satu moment konstitutif. Pengetahuan kita ttg realitas mutlak tdk pernah ditematisir scr lengkap. Dia dikenal scr tersirat; itu berarti bahwa realitas mutlak hanya bercahaya dlm slh penghayatan pengenalan manusia. Kita menyebut kehadiran realitas mutlak dgn cara demikian sbg “pengalaman eksistensial” atau pengalaman transcendental.

 Keberatan terhdp pendirian itu: realitas mutlak itu hanya satu ilusi, atau satu ide, satu yg bersifat subyektif, satu proyeksi kesadaran. Jawaban terhdp keberatan itu: Kita kembali kpd pengalaman transcendental yg tdk tertematisir. Kita sebetulnya sdh “terstrukturir” di dlm realitas mutlak. Itu berarti bahwa sdh ada ketersediaan subyek (pengalaman passivita) atau satu penerimaan akan realitas mutlak; ketersediaan ini memungkinkan adanya kegiatan subyek utk mengenalNya meskipun pengenalan itu bersifat tdk sempurna. Di dlm ketersediaan subyek terdpt manifestasi realitas mutlak yg melampaui (mentransendir) pengetahuan subyek. Krn itu, pengalaman transcendental bukanlah satu hal yg semu atau hasil proyeksi kesadaran manusia.

2. Petunjuk2 atau indikasi yg menunjuk kpd pengalaman akan realitas mutlak

a. Realitas Mutlak sbg satu realitas “Ada”.

 Terdpt bgt byk realitas “ada” yg tampil dlm berbagai macam bentuk dan gejala baik pd benda2 anorganis maupun pd makhluk hdp. Realitas yg plural ini mengandaikan adanya satu “realitas ada mutlak” yg mendsri realitas plural itu.

 Org menggunakan prinsip berpikir: kontradiksi, yaitu satu prinsip yg menegaskan bahwa tdk mungkin sesuatu itu serempak terjd dan tdk terjd atau ada dan tdk ada. Bila kita menegaskan bahwa realitas mutlak itu adalah satu realitas “ada”, mk dgn prinsip berpikir kontradiksi, kita tdk mungkin berkata “realitas mutlak itu tidak ada”. b. Realitas Mutlak sbg satu kebenaran mutlak.

 Stp pernyataan mengandaikan adanya tolok ukur kebenaran mutlak, termasuk pernyataan yg keliru.  Pendirian skeptiker: tdk ada kebenaran mutlak. Letak

kontradiksi pendiriannya, yaitu scr tersirat mrk menerima adanya kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak mrk adalah pernyataan bahwa tdk ada kebenaran mutlak.

 Kebenaran mutlak yg terbaca dlm pertentangan antara pernyataan yg benar dan pernyataan yg salah.

c. Realitas Mutlak sbg satu Nilai mutlak.

 Stp pernyataan memiliki nilai: ada nilai yg mengikat dan ada nilai yg tdk mengikat. Nilai itu menunjuk kpd satu nilai mutlak.

 Max Scheler: Mengenal 2 arti nilai, yaitu isi noematis dan nilai dr sesuatu hal. Isi noematis itu (noem=pemikiran) dr aktus rasa: sesuatu yg a priori dlm aktus rasa, dan tdk bergantung pd obyek di luar. Dia bersifat emotif (bersifat menggerakkan). Aktus rasa itu terdiri dari dua sisi: sisi vital (menyentuh hakekat hdp semua makhluk dgn modalitas nilai spt menyenangkan dan tdk menyenangkan, baik-buruk, indah-jelek dsb) dan sisi pribadi yg adalah nilai mutlak tanpa bergantung pd hakekat hdp. Arti kedua: nilai adalah nilai dr sesuatu hal; artinya, nilai itu ada dlm sgl macam realitas “ada” baik yg bersifat anorganis maupun yg bersifat organis. Benda anorganis tdk memiliki nilai di dlm dirinya sendiri, tapi nilai utilitaris, yaitu dia bernilai ketika org “menggunakannya”. Benda organis (makhluk hidup) memiliki nilai di dlm dirinya dgn adanya hirarki nilai, dr tingkat paling rendah (psyko-vital) sampai kpd tingkat paling tinggi yaitu pribadi.

 Nilai mutlak: pribadi yg jg mrpkan norma mutlak.  Arti pribadi dlm filsafat Scheler: btk eksistensi dr roh,

sementara roh sendiri berarti keseluruhan pribadi dgn aktusnya.

 Bagaimana posisi ilmu pengetahuan yg diktkan bebas nilai? Posisi ini tdk dpt lg diterima, krn ilmu pengetahuan diwajibkan utk tunduk pd kebenaran.

d. Realitas Mutlak sbg satu kebebasan.

 Arti kebebasan: Manusia sbg satu hakekat yg bebas, yaitu hak utk menentukan diri sendiri.

 Realitas Mutlak: tolok ukur penggunaan kebebasan.  Otonomitas dan kebebasan manusia hanya terwujud dlm

ruang lingkup Realitas Mutlak.

 Filsafat Thomas: hubungan yg hakiki antara realitas mutlak dan kebebasan manusia.

e. Kesadaran diri sbg dasar pengalaman akan Realitas Mutlak.

 Dlm proses kesadaran, terdpt satu realitas lain di luar manusia.

 Kesadaran diri bersifat terbatas, dan kaitannya dgn filsafat Descartes.

(2)

 Kita kembali ke pertanyaan awal: Seberapa jauh membentang pengalaman manusia? Jawabannya: Realitas mutlak ada scr tersirat dlm semua pengalaman baik dlm pengalaman indrawi maupun dlm refleksi budi; dia mrpkan isi kesadaran kita.

 Kita tdk dpt menangkap realitas mutlak itu scr langsung, tapi kita jg tdk bs menghindarkan diri dr realitas itu, krn Dia sdh tersedia dan berada dlm pengenalan kita. Kita tdk mungkin diam di hdpannya; kita hrs berbicara tentangnya.

 Adanya keragu2an terhdp eksistensinya. Dibutuhkan kemampuan manusia utk menerobos masuk ke dunia di balik kesadaran manusia.

3. 3. Dapatkan org berbicara ttg “pengalaman akan Allah”? 1. Tdk ada satu pengalaman yg jelas akan Allah.

 Jika ada pengalaman yg jelas akan Allah, tentu tdk mungkin ada atheisme.

 Ontologisme Gioberti: Realitas “ada” adalah substansi sendiri: dia adalah pencipta yg menghslkan eksistensi pertama. Eksistensi pertama bergerak kembali menunju penciptanya sambil meniru penciptanya. Di dlm pikiran manusia ada intuisi langsung.

 Bertolak dr ontologisme, manusia dpt berbicara ttg pengalaman akan Allah melalui intuisi. Kelemahan pand ini: intuisi tdk mungkin bebas dr pengalaman indrawi dan refleksi budi. Hub antara Allah dan daya intuisi ttp tdk jelas.

2. Pengalaman transendental adalah pengalaman akan Allah dlm arti tertentu.

 Arti pengalaman transendental: pengalaman awal yg tdk tertematisir atau pengalaman prarefleksif, dan itu bersifat personal.

 Pengalaman transendental adalah satu pengalaman eksistensial: Dia senantiasa memanggil tetapi menantang eksistensi manusia utk menjawabNya.

3. Konsekwensi isi pengalaman transendental utk pengenalan yg jelas akan Allah.

a. Pengenalan akan Allah sebagai pengembangan pengalaman transendental.

 Ada orang yg berpendapat bahwa pengenalan akan Allah itu satu hal kebetulan, dan itu keluar dr satu kepercayaan yg disebabkan oleh faktor luar dan faktor dlm. Pendapat demikian tdk cocok. Pengenalan akan Allah itu mrpkan satu momen pengenalan yg melampaui sesuatu yg tertangkap scr indrawi dan yg terefleksi dlm pengertian budi. Pengenalan itu ada sca tersirat di dlm pengalaman indrawi dan refleksi budi. Seorang atheist dan agnostik pun ada dlm momen itu.

 Pengenalan atas cr yg disebut terakhir ini adalah pengalaman transendental yg perlu dikembangkan. Di sinilah diperlukan metode utk mengembangkan isi pengalaman transendental itu. Pengembangan metodis utk berbicara ttg Allah adalah satu keharusan. Tapi inilah ketegangannya: ketegangan antara pengalaman langsung

yg tak tertematisir dan hasil proses kesadaran manusia utk mentematisir pengalaman langsung itu.

b. Moment eksistensial yg praktis dlm pengenalan akan Allah.  Pengenalan akan Allah mrpkan pengalaman transendental

yg perlu dikembangkan. Pengenalan akan Allah atas cr demikian mrpkan satu momen eksistensial yg praktis. Maksudnya: momen pengalaman eksistensial yg menunjuk kpd satu ketersediaan subyek atau satu disposisi yg hrs diambil subyek, ketika berhadapan dgn tantangan eksistensial.

 Kemampuan pengenalan spt itu berbeda dgn pengenalan dlm ilmu pengetahuan. Kemampuan pengenalan ilmiah bersifat sekunder, ttp kemampuan pengenalan yg dimaksud adalah kemampuan pengenalan ktk berhadapan dgn pertanyaan eksistensial. Kemampuan pengenalan ini terwujud dlm tindakan konkrit utk menyikapi tantangan eksistensial, dan perwujudan tindakan nyata itulah satu momen eksistensial yg praktis, yg di dlmnya pengenalan manusia akan Allah menjadi nyata. Pengenalan yg nyata akan Allah sll bergantung pd keputusan pribadi yg bebas. c. Masih perlukah pembuktian akan adanya Allah?

Org mempersempit arti kata “pembuktian” dgn pembuktian matematis atau pembuktian ilmu2 empiris. Pembuktian dlm arti yg tepat: stp gerak pikir yg memperlihatkan kebenaran pernyataan dgn cara mengungkapkan dasar2 yg berbicara ttg kebenaran itu scr jelas dan masuk akal. Setiap pembuktian selalu berada dalam konteks tertentu. Pembuktian akan Allah: satu kegiatan berpikir untuk memahami dan mengenal Allah dengan argumentasi yang masuk akal dalam konteks tertentu. 4. Pengembangan Metodis Beberapa Kenyataan Yang Menunjuk Kepada Allah

Ada 4 Kenyataan Mendasar: Pertama dan kedua adalah pembuktian Anthropologis tentang Allah. Ketiga dan Keempat: pembuktian Kosmologis tentang Allah.

1. Manusia dalam usaha mencari arti hidup.

 Stp pengalaman sll mempunyai arti tertentu. Arti pengalaman dlm beberapa tataran:

 Tataran empiris (sesuatu yang diindrai)  Arti bahasa ( kata atau bahasa)

 Tataran etika (tujuan perbuatan manusia)

 Arti dlm tataran hdp (kepenuhan hdp manusia dan melibatkan slh hdpnya).

 Seluruh hdp manusia: aktivitas utk mencari arti hdpnya: a. Tindakan manusia tdk mungkin ada tanpa pemahaman ttg

artinya. Stp perbuatan baik yg dilakukan scr sadar maupun tdk sadar sll memuat satu tujuan tertentu dan arti tertentu.

(3)

terletak pd realisasi diri, tetapi pd karakter intensionalitasnya keberadaan manusia.

c. Mencari arti hdp berarti mencari dasar mutlak sbg pegangan hdp. Stp org, betapapun sederhana daya refleksinya, mengakui adanya satu dasar mutlak yg menjd pegangan hdpnya. Apakah ada arti hdp di dlm pengalaman penderitaan yg terus menerus? Atau di dlm perbuatan bunuh diri? Di dlm pengalaman dan perbuatan bunuh diri ada arti hdp yg sedang dicari, tetapi krn jalan keluar dr bunuh diri tdk ada, maka org itu menempuh bunuh diri.

d. Mengiakan adanya arti hdp berarti mengakui adanya realitas mutlak yg disbt Allah dlm bhs religius. Pengalaman positif dan negatif manusia memuat satu petunjuk akan adanya arti mutlak yg ditemukan dlm realitas mutlak. Realitas mutlak ini memberi arti terhdp semua yg kita alami. Realitas mutlak itu harus memiliki watak personal, krn kita adalah hakekat personal. Realitas mutlak yg bersifat personal itu adalah Allah.

2. Manusia di hadapan tuntutan moral.

1. Manifestasi kesadaran moral dlm penilaian moral.

Perbuatan manusia tdk luput dr tuntutan penilaian moral. Ada perbuatan yg scr spontan mendatangkan penilaian moral “baik” dan “buruk”. Ada perbuatan yg scr moral tdk bisa dinilai, mis; org yg sakit jiwa. Penilaian moral kita hanya tertuju kpd perbuatan seseorg yg ditentukannya scr bebas dan yg menjd tanggung jawabnya. Penilaian moral jg bisa dijatuhkan ke atas perbuatan kita sendiri. Keadaan2: suara hati. Instansi ini memuji atau mengecam perbuatan baik perbuatan org lain maupun perbuatan kita sendiri.

2. Persyaratan penilaian moral. Dua titik tolak penilaian moral:

1. Perbuatan seseorg dijalankan tanpa paksaan. Keputusan bebas org yg bersangkutan mrpkan syarat mutlak penilaian moral. Dia sendiri bertanggung jawab terhdp perbuatannya.

2. Perbuatan manusia yg mengandung nilai itu sendiri adalah pribadi manusia. Nilai moral itu bukan satu nilai tersendiri yg terlepas dr nilai2 lain yg bersifat manusiawi. Nilai moral itu adalah nilai mutlak yg bersifat kategoris: wajib, hrs. Prinsip umum: Lakukanlah yg baik dan jauhkanlah yg jahat.”

3. Hakekat Kewajiban Moral.

Kewajiban moral: satu tuntutan atau panggilan yg “harus” diikuti scr mutlak dan bebas. Itu menunjuk kpd adanya satu instansi “keharusan”. Ketegangan terjadi: kewajiban dan kebebasan. Kewajiban bertumbuh dari kebebasan batiniah, tapi tanpa kebebasan, kewajiban menjadi tak berarti. Dua posisi ekstrim: sikap legalisme dan kebebasan tanpa batas. Di sini pentingnya pendidikan moral.

4. Kewajiban moral menunjuk kpd satu realitas absolut yg bersifat pribadi.

 Penerimaan adanya hukum kodrat rasional oleh pribadi2 konkrit. Hukum kodrat rasional ini identik dgn kodrat rasional manusia tapi serempak berbeda dr kodrat rasional manusia.

 Kewajiban moral manusia tdk melenyapkan otonomi manusia. Dia tinggal sbg satu tuntutan mutlak, satu instansi yg menunjuk kpd satu kuasa mutlak yg mengatur manusia. Kuasa ini terdpt dlm lubuk hati yg paling dlm. Realitas ini hrslah bersifat pribadi, krn manusia sbg pribadi tdk bisa bertanggung jawab scr moral terhdp satu realitas yg tdk bersifat pribadi. Realitas pribadi ini bersifat imanen dan sekaligus transenden.

 Suara hati itu: panggilan dr satu pribadi ke pribadi yg lain. Pribadi yg memanggil itu ada dlm suara hati kita. Dia adalah dasar mutlak kewajiban kita dan Dia menjamin kebebasan kita. Dia disebut Allah.

4. 3. Mencari Dasar Terakhir

Kita menaruh perhatian konkrit atas masalah: Apa kita bisa mengenal Allah melalui permenungan akan sifat2 tertentu dari alam material.

1. Penjelasan tentang kontingensi.

Kata kontingensi dikaitkan dengan “keharusan atau kewajiban”. Kata “keharusan” berarti tdk dpt tdk ada, wajib ada, hrs ada, mau tdk mau hrs ada”. Kontingensi adalah lawan dari keharusan; kontingensi berarti “dpt ada, dpt juga tdk ada, tdk wajib ada, bs ada, bs tdk ada, mungkin ada”. Pengertian “keharusan” memiliki kehrsan logis dan kehrsan adanya sesuatu. Kehrsan logis adalah kehrsan dr satu pernyataan spt ucapan “adalah wajib atau perlu bahwa...” Kehrsan ini tdk pernah menyentuh satu barang atau hal. Dia mrpkan pernyataan yg dihasilkan dr pengertian manusia. Kehrsan ini berbeda dgn kehrsan adanya sesuatu. Kehrsan yg terakhir ini dibedakan dr kehrsan yg bersyarat, yaitu sesuatu itu hrs ada sejauh dia ada. Dia ada scr bersyarat. Kehrsan yg tak bersyarat berarti sesuatu yg mutlak ada; realitasnya tdk bergantung pd sesuatu yg lain. Kontingensi justru dipertentangkan dgn kehrsan tak bersyarat ini. Keharusan tak bersyarat ini dikenakan pd realitas mutlak atau Allah. Keharusan tak bersyarat ini memberi dasar bg kontingensi.

2. Langkah Pembuktian

Ada 3 langkah utk mengembangkan pemahaman ttg perbedaan antara realitas ada yg bersifat mutlak dan realitas ada yg kontingen.

1. Langkah pertama: Hrslah diakui bahwa tdk mungkin ada satu realitas yg berasal dari sesuatu yg tdk ada. Hrslah ada satu dasar mutlak yg mendasari realitas yg ada ini. Dasar mutlak itu ada dari dirinya sendiri. Hanya persoalannya: apakah realitas mutlak ini identik dgn dunia dlm arti totalitas dunia atau bagian dr dunia ataukah realitas mutlak ini berbeda dr dunia.

2. Langkah kedua: Realitas mutlak tdk identik dgn dunia baik bukan satu totalitas dunia maupun bukan bagian dr dunia. Realitas mutlak ini sempurna, dan ciri khasnya ialah bahwa dia mendasari dirinya dari dirinya sendiri, dan tdak ada sesuatu di luar dirinya. Ia bersifat melampaui dunia ini (transenden) tapi juga ada scr implisit dlm dunia ini (immanen).

(4)

4. 4. Manusia di hadapan misteri dunia yang tengah berkembang

Peristiwa dunia menunjuk kpd realitas Allah. Peristiwa dunia itu tampak dlm satu gejala yg menonjol, yaitu proses menjadi”. 1. Problematika proses “menjadi”.

 Proses “menjadi” berarti proses perkembangan dr yg lama kpd yg baru. Itu disebut juga “perubahan”. Persoalannya: Apakah perubahan atau perkembangan itu bersifat hakiki atau sekunder (semu)? Problem itu dipertajam lagi dgn pengalaman subyek, misalnya subyek Andrew. Subyek berkembang dr masa anak2 sampai masa tua, baik perubahan psikologis maupun perubahan biologis. Pertanyaannya: apa perubahan ini melibatkan perubahan jati diri subyek atau tdk melibatkan perubahan jati diri subyek. Jawabannya “ya” dan “tidak”; masing2 memiliki argumentasinya. Pengalaman perubahan subyek itu menyentuh pengalaman “kebaruan”. Dari mana asal kebaruan itu?

 Filsafat merefleksikan asal usul kebaruan dgn bertolak pd pengalaman konkrit. Hal yg baru tdk hanya berasal dr luar, juga tdk hanya berasal dr dlm, tapi dr “hasil perwujudan diri dlm proses utk menjd lebih sempurna. Dgn kata lain, kebaruan itu berasal dr realitas keberadaan diri yg aktif dlm proses penyempurnaan diri sbg perwujudan diri yg terus menerus. Tapi jawaban terakhir ini meninggalkan persoalan metafisis: Apakah realitas keberadaan diri yg aktif itu aktif dr dirinya sendiri atau digerakkan oleh realitas Ada absolut yg disebut Allah? 2. Prestasi diri sebagai moment penentu dalam evolusi.

BEBERAPA ISTILAH

Agnostisisme

Scr harafiah, agnotisisme [dari kata Yunani agnostos, “yg tdk dikenal”] berarti teori mengenai “kemustahilan untuk mengetahui”. Kata ini diciptakan oleh T.H. Huxley pd thn 1869. Dlm artinya yg dipakai skrg, istilah ini mengungkapkan faham falsafi yg menganggap bahwa sgl sesuatu yg berada di atas rasa tdk mungkin diketahui. Dgn kata lain, agnotisisme adalah pengingkaran scr umum terhdp sgl metafisika sbg sumber pengetahuan nyata; secara khusus, agnotisisme mrpkan pengingkaran dr kemunginan utk mengetahui Allah. Faham ini menerima kemungkinan adanya suatu kenyataan yg bersifat transenden terhdp manusia, namun menolak gagasan bahwa manusia dpt mengetahui scr pasti eksistensi dan khususnya hakekat kenyataan yg transenden itu. Sbg akibatnya, pengetahuan dibatasi pd barang2 material dunia ini, sedang pengetuhan mengenai yg transenden diserahkan saja kpd perasaaan atau “kepercayaan

Antropomorfisme

kecenderung utk menafsirkan semua wujud luar dlm istlah2 yg sesuai dgn kodrat manusia. Dlm bidang keagamaan kecenderungan itu terwujud dlm penyebutan Allah dgn memakai sifat2 badani dan etis yg khas manusiawi.

Aseitas

Aseitas [dari kata Latin a se, “dr dirinya sendiri”] ialah kekhasan sesuatu yg memiliki alasan dan tujuan eksistensinya dlm dirinya sendiri. Istilah ini diciptakan pd Abad Pertengahan utk menunjuk salah satu sifat dasar Allah, yaitu sifat-Nya bahwa Ia tdk mempunyai penyebab lain selain diriNya sendiri.

Deisme

Istilah “deisme” muncul di Inggris menjelang pertengahan abad ke-6. Istilah itu mengakui seorang Allah pencipta yg mempribadi, namun mengingkari bahwa Allah itu menaruh minat atau mempunyai suatu pengaruh terhdp dunia. Sebagai akibatnya, deisme menyangkal pula kuasa pelestarian dan kerjasama Allah terhdp makhluk-makhluknya. Selanjutnya, deisme juga menyangkal mukjizat-mukjizat dan sgl wahyu adikodrati. Jadi, para penganut faham ini mengatakan bahwa suatu agama wahyu itu tdk mungkin ada; yg mungkin hanya suatu agama asli atau kodrati. Di kemudian hari deisme Inggris ini menelurkan pencerahan materialistis dan ateis di Perancis. Sejak pertengahan abad ke-18 faham ini juga mendapat beberapa penganut di Jerman.

Deontologis

Argumen deontologis [dari kata Yunani dein “yang seharusnya”, dalam arti moral] bertolak dari kenyataan adanya kewajiban moral. Tidak dapat disangkal bahwa sekurang-kurangnya beberapa tindakan kita tampak bagi kita sebagai tindakan yang dipengaruhi oleh suatu nilai mutlak atau sebagai tindakan yang harus dilakukan atau dihindari tanpa syarat. Sang filsuf lalu bertanya: bagaimana kenyataan ini dapat diterangkan? Manakah syarat yang paling jauh bagi kemungkinannya atau bagi integibilitasnya? Apakah dasar terakhir kewajiban ini? – argumen ini menjawab: hanyalah suatu Nilai Mutlak, yakni Allah sendiri sebagai Nilai, dan dalam nilai itu semua nilai moral yang kita alami ambil bagian.

Docta Ignorantia

Menurut Nicolaus dari Kusa, “docta ignorantia” berarti: munculnya kesadaran berdasarkan penalaran, artinya: terbukti oleh akal budi, akan alasan-alasan mengapa kita tidak dapat mengenal segala sesuatu yang berhubungan dengan yang tidak terbatas, khususnya Allah, dalam dirinya sendiri; ketidakmungkinan itu sebabkan oleh jarak tak terbatas yang ada antara yang terbatas dan yang tak terbatas. – Istilah ini sudah digunakan oleh St, Agustinus dan St. Bonaventura.

Emanatisme

(5)

dalam materi. Masing-masing saat dalam emanasi itu ada akibat dari saat yang mendahuluinya dan asal dari segala saat yang mengikutinya. Emanatisme secara tegas berbeda dengan faham penciptaan, yang berasal dari tradisi yudeo-kristiani, yang memandang bahwa Allah tetap terpisahkan dan berbeda dengan makhluk.

Fatum[nasib]

Dalam masyarakat zaman dahulu, fatum adalah suatu keniscayaan mutlak yang menetapkan jalan kejadian segala hal sebelum hal-hal itu terjadi, di dalam segala aspeknya, dan bahkan tidak terjangkau oleh dewa-dewa. Dalam Illiades karya Homerus, Yupiter [Zeus] digambarkan menentukan nasib Hector Achilles dengan meletak nasib masing-masing dari kedua orang itu pada kedua piring timbangan, untuk mengetahui kemana miringnya timbangan. – Oedipus merupakan gambar yang tepat dari manusia yang dikejar-kejar oleh fatum.

Fideisme

Fideisme [dari kata Latin fides, “kepercayaan”; dan dari situ yang berarti filsafat yang berdasarkan kepercayaan] ialah sebuah faham yang mengajarkan bahwa kebenaran-kebenaran metafisika, moral dan keagamaan tidak terjangkau oleh akal budi manusia dan hanya dapat ditangkap melalui iman. Kemudian, jika iman itu diwariskan oleh suatu otoritas, fideisme sama artinya dengan tradisionalisme. – Pada umumnya fideisme mengacu kepada teori-teori yang menyatakan bahwa hal yang mengatasi indera ditangkap oleh sejenis “feeling” atau iman. Aliran Skotlandia [Thomas Reid, 1710-1796] menyebut “common sense” sebagai dasar falsafi kebenaran. F.H. Jacobi [1743-1819] menuntut adanya suatu “indera perasa khusus terhadap kenyataan”, yang mendorong kita untuk lewat iman memeluk kebenaran-kebenaran keagamaan dan moral. F. D. E. Scheleiermacher [1768-1834] mendasarkan agama pada suatu “perasaan ketergantungan mutlak”. – Penyempitan agama menjadi suatu iman tanpa akal budi ini, -sesuatu yang tersebar luas dalam filsafat agama yang berjiwa protestan [A. Ritschl, A. Sabatier], - muncul juga dalam alam pikiran Katolik pada awal abad ke-20 dalam bentuk gerakan modernis.

Okasionalisme

Okasionalisme adalah faham yang satu-satunya menyatakan bahwa satu-satunya sebab sejati segala kejadian dalam dunia material dan dunia rohani adalah Allah; sebab-sebab langsung dan terbatas tidak lebih dari kesempatan-kesempatan bagi campur tangan ilahi. Okasionalisme mencapai puncak perkembangannya pada tengahan ke dua abad ke 17, di dalam lingkungan murid-murid Descartes [L. Delaforge, G. De Cordemoy, A. Geulinx, J. Claubert, dan terutama Nicholas de Malebrance, yang terpenting di antara mereka karena besarnya gagasannya].

Salah satu akibat yang paling berat dari dualisme faham Descartes adalah ketidakmungkinan memahami hubungan antara jiwa dan badan: Descartes memang menyatakan adanya hubungan timbal balik antara jiwa dan badan, namun di dalam sistemnya itu hubungan semacam itu secara dasariah tidak dapat dipahami. – Menurut para penganut faham okasionalisme, bila suatu aktus kehendak [jiwa] disodorkan, suatu aktus badani [badan] yang sesuai dengannya muncul juga; atau bila orang mengalami suatu

pengaruh pada badannya [badan], terjadilah suatu perubahan dalam jiwanya [jiwa] yang sesuai dengan itu. Dan sebab sejati dari aktus badani pada kasus pertama, dan perubahan dalam jiwa pada kasus kedua di atas adalah, Allah semata-mata, sedangkan aktus kehendak dan pengaruh pada badan tidak lebih dari kesempatan-kesempatan [atau sebab-sebab dalam rupa “kesempatan”] bagi tindakan Allah.

Dari premis tersebut di atas Malebranche menjabarkan nosi pegetahuan sebagai “penglihatan hal-hal di dalam Allah”: Allah menyinari pikiran kita, maka kita sendiri lalu “membaca” di dalam Dia, yang merupakan wadah ilahi bagi ideide tentang segala hal, -apa yang menurut hemat kita kita ketahui lewat kontak langsung dengan kenyataan wadag dan rohani. Sebagai akibatnya, dunia objektif tidaklah benar-benar perlu bagi pengetahuan kita; dan kepastian yang kita punyai tentang eksistensi dunia ini pada dasarnya yang terdalam hanyalah iman akan kebaikan dan kejujuran Allah.

Panenteisme 

Suatu faham yang dirumuskan oleh K. C. F. Krause (1781-1832) yang tanpa mencampuradukan dunia dengan Allah [seperti dalam panteisme], tidak mau memisahkannya pula dari dhat ilahi. Dalam konsepsi itu adanya Allah memang tidak disempitkan menjadi adanya dunia. Dunia merupakan ungkapan empiris Allah yang berada di dalam segala hal secara imanen dan sekaligus transenden.

Pankoskisme

Pankoskisme adalah semacam panteisme yang menciutkan Allah menjadi semesta fisik, dan memandang semesta fisik ini sebagai kenyataan yang satu-satunya. Istilah yang diperkenalkan oleh Grote untuk menyebut ilozoisme para filsuf pra-Sokrates ini [ilozoisme brasal dari kata Yunani ule, “segala” dan zoe, “kehidupan”, jadi berarti bahwa segala materi itu berkehidupan dan mengandung suatu psikisme, sekurang-kurangnya benih-benih psikisme, sekurang-kurangnya benih-benih psikisme] adalah lawan kata a-kosmisme, istilah yang diperkenalkan oleh Hegel untuk menyifatkan sistem Spinoza.

Panteisme

Panteisme [dari kata Yunani pan, “semua” dan theos, “Allah”] adalah salah satu bentuk-bentuk yang mungkin dari monisme. Menurut panteisme hanya ada satu kenyataan, yaitu Allah, sedang segala hal yang lain hanyalah merupakan berbagai cara beradanya Allah. Dengan demikian Panteisme adalah sebuah faham imanensi total. Panteisme memang mengaku suatu perbedaan tertentu antara Allah dan dunia, seperti perbedaan antara yang satu dan yang banyak. Jadi menurut faham ini Allah bukan hanya himpunan dari hal-hal yang banyak itu, melainkan Ia-lah asas kesatuan hal-hal itu. Oleh karena kesatuan itulah hal-hal yang banyak itu mewujudkan alam semesta. Orang dapat menggambarkan perbedaan antara Allah dan hal-hal yang banyak itu seperti perbedaan antara laut dan ombak.

Sientisme

(6)

astronommi, dll] yang mampu memecahka segala masalah dan memberikan jawaban yang memuaskan kepada segala tuntutan inteligibilas manusia. Itulah suatu pendapat yang menyamakan seluruh realitas dengan hal yang dapat dimengerti secara ilmiah.

Sientisme menunjukkan suatu orientasi dasar lain lagi: sebagai akibat dari rasionalisme materialis-nya, sientisme mengolah dengan caranya sendiri apa yang dinamakannya obyektivisme. Sains bermaksud membuat suatu sintesa seluruh pengetahuan semata-mata pada taraf objek. Oleh sebab itu, sientis menjadi contoh utama dari mentalitas yang mencita-citakan suatu reduksi total dari realitas ke dalam kategori objek. Subyektivitas “dibendakan”. Interioritas dibahasnya sebagai sifat-sifat formal yang khas bagi bagi obyek-obyek tertentu: sebagaimana ada obyek-obyek yang berwarna biru, demikian pula ada obyek-obyek lain yang menunjukkan sifat interioritas.

Itulah sebabnya mengapa sientisme mengandung pengingkaran segala metafisika, sejauh metafisika menyatakan bahwa dalam kenyataan ditemukan data-data yang berbeda dari hubungan-hubungan ilmiah. Karena prasangka itu sientisme menjadi suatu ateisme. Dengan ajaran filsafat [epistemologi] materialisnya sientisme tidak boleh mengakui apa-apa yang bersifat spasio-temporal, karena menurut sientisme tidak ada realitas lain yang mungkin dihadapi oleh manusia.

Teisme

Teisme adalah faham yang mengakui Allah sebagai Ada yang Mempribadi dan transenden, yang telah menimbulkan dunia dari ketiadaan melalui aktus penciptaan-Nya yang bebas. Politeisme menyatakan adanya bahwa dewa, dan kadang-kadang dominasi seorang dewa tertinggi; henoteisme, meskipun mengakui banyak dewa, dalam doa dan kultus menyeru kepada seorang dewa saja, seakan-akan tidak ada dewa lain; sedangkan teisme adalah monoteis, dalam teori maupun praktek. Teisme hanya menganut satu Allah; diluar Allah itu tidak ada dan tidak mungkin ada dewa lain. Sebagai akibatnya, teisme juga menolak segala bentuk prinsip mutlak yang berlawanan dengan itu, yang mungkin dianggap sebagai sumber kejahatan atau materi [dualisme]. Berlawanan dengan deisme, teisme mempertahankan pelangsungan eksistensi makhluk oleh Allah, kerjasama Allah dengan makhluk-Nya lewat peyelenggaraan-makhluk-Nya, dan juga kemungkinan intervensi Allah dalam bentuk mukjizat dan wahyu. Teisme juga berbeda dengan jelas dan panteisme karena tekanannya pada perbedaan dhatiyah antara Allah dan dunia, dan pada sifat Allah sebagai pribadi.

Teleologis [argumen]

Bukti “teleologis” mendasarkan diri pada pertimbangan tentang keselarasan yang merajai alam semesta dan perlunya Intelligensi Tertinggi untuk menerangkan keselarasan tersebut.

Teosofi

Eosofi mencoba mengembangkan kecenderungan-kecenderungan yang, menurut para pemeluknya, merupakan kecederungan kodrati tiap orang, untuk sampai pada suatu visi tentang Allah, dan lewat visi itu mendapatkan suatu pengetahuan gaib tentang segala hal. Haruslah dibedakan dua macam teosofi: pertama, teosofi yang merupakan aliran umum yang terdapat dalam seluruh sejarah filsafat, dan kedua, teosofi modern, yang menimba inspirasi lebih-lebih dari buddhisme dan hinduisme.

Teosofi modern adalah semacam panteisme. Teosofi ini mengajarkan bahwa dunia terbentuk dari suatu rangkaian emanasi yang merupakan berbagai-bagai tingkatan antara roh dan materi; tetapi tingkatan-tingkatan itu tidak mempunyai perbedaan hakiki antara mereka. Emanasi-emanasi itu dilukiskan dalam sebuah kosmogoni khayali; kosmogoni itu sendiri sering dengan suatu pandangan khayali mengenai sejarah. Dikatakan manusia merupakan kesatuan yang tidak stabil dari tujuh dhat yang berbeda; empat dhat masuk dalam taraf materi, sedang tiga dhat masuk dalam taraf rohani. Hubungan yang menghubungkan tingkatan-tingkatan itu adalah “mana” yag secara hakiki sama untuk semua manusia, dan terikat pada materi hanya untuk jangka sementara saja, yaitu selama hidup di dunia. Sudah kematian, tiap orang melewati suatu rangkaian reinkarnasi dalam bentuk-bentuk eksistensi yang lebih tinggi atau lebih rendah, yang pada akhirnya membawa masing-masing orang pada pembebasan “benih ilahi” yang dikandungnya dan masuk ke dalam “nirvana”.

Dalam bidang moral, para teosofis mengikuti bentuk-bentuk modern buddhisme dengan menekankan lebih-lebih kasih persaudaraan dan beberapa bentuk asketis yang kadang-kadang aneh. Doa pribadi ditolak, dan keselamatan jiwa tergantung seluruhnya dan semata-mata pada masing-masing orang. Ada ide-ide tertentu dan beberapa simbol yang diambil dari kristianisme namun dilucuti maksud aslinya.

A. Rosmini Serbati juga menggunakan istilah teosofi, tetapi dengan arti yang berbeda sama sekali. Bagi filsuf besar ini teosofi berarti teori tentang ada di dalam keseluruhannya, atau tetang alasan-alasan tertinggi yang ada dalam keseluruhan ada. Dalama arti ini teosofi sama dengan metafisika.

Catatan:

 adalah tanda bahwa istilah tersebut sudah dikeluarkan atau ditanyakan dalam UTS tahun lalu.

“So i won’t give up, no i won’t break down Sooner than it seems life turn around And i will be strong, even if it all goes wrong When i’m standing in the dark i’ll still belive

Someone’s watching over me”

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh model pembelajaran kooperatif dengan teknik

diterapkan, sesuai dengan faktor internal dan eksternal PKBM Cemerlang. Mengetahui prioritas strategi pengembangan usaha manisan carica

Berdasarkan data yang telah peneliti kumpulkan melalui pengisian kuesioner pada kelas yang diteliti dengan sampel 42 orang siswa dan 28 soal/pernyataan tentang

Buku berisi lembaran halaman yang cukup banyak, sehingga lebih tebal daripada booklet. Berbeda dengan booklet yang bisa dijilid hanya dengan steples atau bisa juga tidak

5) Dengan bimbingan dan arahan guru, siswa mempertanyakan antara lain perbedaan antar kalimat untuk menyatakan dan menanyakan tingkah laku/tindakan dari

Penelitian ini bertujuan menerap- kan model pembelajaran PBL dengan pendekatan STM untuk meningkatkan kualitas pembelajaran biologi (meliputi aspek kemanfaatan

Pencegahan yang mungkin dilakukan adalah dengan menggunakan teknologi enksripsi, jadi hanya pemilik informasi yang dapat mengetahui informasi yang sesungguhnya..

Kegiatan prostitusi apabila sudah terjadi disuatu tempat, maka akan sulit dihilangkan, meskipun keberadaan kegiatan prostitusi pada masyarakat Indonesia tidak