PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAM HEROIC LEADERSHIP DALAM MENINGKATKAN
KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA
(Studi pada Siswa Kelas VIII Semester Genap SMP Negeri 19 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013)
Oleh
DECKY SAPUTRA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN
pada
Program Studi Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAM HEROIC LEADERSHIP DALAM MENINGKATKAN
KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA
(Studi Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 19 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2012/2013)
Oleh Decky Saputra
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan komunikasi matematis
siswa pada penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Student Team Heroic Leadership dengan pembelajaran konvensional. Desain penelitian ini adalah
pre-test post-test control design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII semester genap SMP Negeri 19 Bandar Lampung tahun
pelajaran 2012/2013 dan sebagai sampel penelitian adalah kelas VIII E dan VIII F yang dipilih dari tujuh kelas secara acak. Berdasarkan hasil analisis data,
diperoleh bahwa rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa, dan
pencapaian indikator siswa pada model pembelajaran kooperatif tipe STHL
lebih tinggi daripada pembelajaran konvensional. Kesimpulan yang dapat
diambil dari penelitian ini adalah rata-rata peningkatan kemampuan komunikasi
matematis siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STHL
lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Ruang Lingkup Penelitian ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Kooperatif ... 10
B. Strategi Pembelajaran Student Team Heroic Leadership ... 14
C. Komunikasi Matematis Siswa ... 19
D. Hipotesis Penelitian ... 24
III. METODE PENELITIAN 3.1Populasi dan Sampel ... 25
3.2Desain Penelitian ... 25
3.3Prosedur penelitian ... 26
b. Reliabilitas ... 29
c. Daya Pembeda ... 30
d. Indeks Kesukaran ... 31
3.6Analisis Data ... 33
1. Uji Normalitas ... 33
2. Uji Kesamaan Dua Rata-rata ... 35
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 40
1. Analisi Data Pretest Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa .. 40
1. Uji Normalitas Pretest ... 41
2. Uji Kesamaan Dua Rata-rata Pretest... 41
2. Analisis Data Postest Kemampuan komunikasi Matematis Siswa . 43
1. Uji Normalitas Postest ... 43
2. Uji Ketaksamaan Dua Rata-rata Postest... 44
B. Pembahasan... 45
V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 50
B. Saran ... 50
DAFTAR PUSTAKA
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mempersiapkan suatu bangsa
melalui kegiatan pembelajaran sebagai bekal untuk kehidupan di masa yang akan
datang. Pada undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003,
disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan tidak hanya dapat mengembangkan potensi para generasi bangsa saja
tetapi pendidikan harus memenuhi standar nasional pendidikan yakni standar isi,
standar proses, standar kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala. Standar nasional pendidikan tersebut
diperlukan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana
dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Bila standar nasional pendidikan
telah terpenuhi maka pendidikan bisa dikatakan berhasil sehingga pada akhirnya
diperlukan usaha yang harus selalu dilakukan oleh semua pihak yang terlibat di
dalamnya, baik pemerintah, sekolah, guru, siswa, maupun orang tua siswa dan
masyarakat. Namun usaha-usaha tersebut tidak akan berhasil bila faktor-faktor
yang mempengaruhi pembelajaran tidak dioptimalkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran diantaranya guru, siswa dan
lingkungan. Dalam menunjang pembelajaran, guru tidak hanya sekedar sebagai
penyampai materi tetapi guru berkewajiban menciptakan suasana pembelajaran
yang menyenangkan, kreatif, dinamis, dan logis. Terkadang guru dalam
penyampaian materi atau metode pembelajaran matematika masih monoton,
sehingga siswa merasa bosan. Bila guru secara optimal mengembangkan perannya
tersebut maka pembelajaran akan menyenangkan dan siswa mudah memahami
materi yang diberikan oleh guru.
Dalam pembelajaran, siswa merupakan faktor terpenting karena dalam kurikulum
yang berlaku saat ini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), siswa
dituntut aktif dalam pembelajaran yang berlangsung dan guru bertindak sebagai
fasilitator. Pembelajaran yang saat ini sering digunakan guru dikelas, yaitu pola
pengajaran yang terpusat pada guru di depan kelas sebagai sumber utama. Hal
tersebut juga sering terjadi dalam pembelajaran matematika, sehingga pelajaran
matematika selama ini dianggap sulit dan sangat membosankan bagi siswa.
Menurut pendapat Cockroft (Agustina, 2009:1), bahwa matematika perlu
diajarkan karena matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan,
semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai,
Pembelajaran matematika juga dapat digunakan untuk menyampaikan informasi
dalam berbagai cara, yaitu untuk meningkatkan kemampuan berfikir logis,
ketelitian dan dapat memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah
yang menantang.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa matematika merupakan
pelajaran yang sangat penting dalam pendidikan. Selama ini banyak siswa
menerima saja pengajaran matematika yang diajarkan di sekolah, tanpa
mempertanyakan mengapa dan untuk apa matematika harus diajarkan. Sehingga
muncul keluhan bahwa pelajaran matematika hanya membuat pusing siswa, dan
dianggap sebagai mata pelajaran yang menakutkan oleh sebagian siswa. Karena
pada dasarnya matematika adalah pemecahan masalah, oleh karena itu
matematika sebaiknya diajarkan melalui berbagai masalah yang ada disekitar
siswa dengan memperhatikan usia dan pengalaman.
Ketika suatu konsep informasi matematika diberikan oleh seorang guru kepada
siswa ataupun siswa mendapatkannya sendiri melalui bacaan, maka saat itu
sedang terjadi transformasi informasi matematika dari komunikator kepada
komunikan. Respon yang diberikan komunikan merupakan interprestasi
komunikan terhadap informasi tadi. Dalam matematika, kualitas interprestasi dan
respon itu sering kali menjadi masalah istimewa. Hal ini sebagai salah satu akibat
dari karakteristik matematika itu sendiri yang sarat dengan istilah dan simbol.
Karena itu kemampuan berkomunikasi dalam matematika menjadi tuntutan
Kemampuan berkomunikasi dalam matematika merupakan kemampuan yang
dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam
bentuk merefleksikan benda-benda nyata, gambar atau ide matematis lainnya,
seperti membuat model situasi atau persoalan menggunakan tertulis, grafik,
aljabar, serta dapat meningkatkan keahlian siswa dalam membaca, menulis, dan
menelaah, untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi idea-idea, simbol, istilah
serta informasi metematika lainnya, seperti suatu pernyataan atau persoalan dalam
bentuk argumen yang meyakinkan.
Menurut pendapat Amalia (2006 : 9), bahwa matematika dalam ruang lingkup
komunikasi mencangkup keterampilan atau kemampuan menulis, membaca,
diskusi, dan wacana. Tanpa komunikasi dalam matematika kita akan memiliki
sedikit keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan
proses dan aplikasi matematika. Dengan demikian, komunikasi dalam matematika
menolong guru memahami kemampuan siswa dalam menginterpretasi dan
mengekpresikan pemahamannya tentang konsep dan proses matematika yang
mereka pelajari.
Kemampuan komunikasi matematika merupakan hal yang sangat penting dan
perlu ditingkatkan dalam pembelajaran matematika karena komunikasi bisa
membantu pembelajaran siswa tentang konsep matematika ketika mereka
memerankan situasi, menggambar, menggunakan objek, memberikan laporan dan
penjelasan verbal. Keuntungan sampingannya adalah bisa mengingatkan siswa
bahwa mereka berbagi tanggung jawab dengan guru atas pembelajaran yang
Dari beberapa pengamatan praktik di lapangan menunjukkan bahwa guru
terkadang lebih aktif daripada siswa. Sehingga pembelajaran matematika
dirasakan masih kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan kemampuan komunikasi siswa. Akibatnya siswa sering merasa
ragu atau malu untuk mengemukakan pendapat dan solusinya kepada siswa lain
atau kepada guru di depan kelas. Rasa malu ini dapat menghambat dalam
mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa, yang pada ahirnya
siswa juga ragu untuk mengungkapkan ide atau gagasannya dalam bentuk tulisan.
Dengan demikian, bahwa guru juga ikut serta berperan dalam peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa.
Dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis seperti
yang diharapkan, guru perlu mempersiapkan dan mengatur strategi penyampaian
materi matematika kepada siswa. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan
pedoman bagi guru, dalam penyampaian materi, juga agar setiap langkah kegiatan
pencapaian kompetensi untuk siawa dapat dilakukan secara bertahap, sehingga
dapat diperoleh hasil pembelajaran matematika yang optimal.
Untuk melaksanakan pembelajaran matematika seperti di atas, diperlukan
beberapa kecakapan guru untuk memilih model pembelajaran yang tepat, untuk
materi ataupun situasi dan kondisi pembelajaran saat itu. Sehingga pembelajaran
tersebut dapat meransang siswa untuk memperoleh kompetensi yang diharapkan.
Dengan demikian siswa mampu menyelesaikan berbagai permasalahan baik
dalam pelajaran maupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu,
Banyak para ahli yang menciptakan dan memperkenalkan berbagai macam model
dan strategi pembelajaran yang dapat memberikan siswa untuk berinteraksi satu
sama lain dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Menurut pendapat Lie
(Hernita, 2009: 7), bahwa dalam interaksi ini, siswa akan membentuk komunitas
belajar untuk dapat saling bekerja sama antarsiswa dengan baik. Oleh karena itu,
guru perlu menciptakan suasana belajar yang dapat membuat siswa bekerja sama
dengan baik secara bergotong royong antarsiswa atau yang lebih dikenal dengan
Pembelajaran Kooperatif.
Banyak model pembelajaran kooperatif yang menjadi salah satu alternatif guru
dalam membantu siswa belajar untuk meningkatkan kemampuan komunikasi
matematis, diantaranya adalah model pembelajaran Student Team Heroic Leadership (STHL). Menurut pendapat Setyanti (2007 : 20), model pembelajaran
Student Team Heroic Leadership adalah suatu pembelajaran yang memberi kesempatan pada siswa untuk berfikir, menjawab, saling membantu sama lain,
dan dapat menumbuhkan jiwa kepemimpinan yang heroik. Strategi ini dilakukan
dengan membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 4 atau 5
siswa dan setiap kelompok, dipilih salah satu siswa untuk menjadi pemimpin
kelompok. Pemimpin tersebut bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anggota
kelompoknya. Selanjutnya, guru memberikan tugas untuk dikerjakan oleh
masing-masing kelompok. Kemudian, anggota-anggota kelompok saling berfikir bersama,
membagikan ide-ide, dan memutuskan jawaban yang dianggap paling benar, serta
pemimpin kelompok memastikan setiap anggota kelompoknya mengetahui
jawaban dari tugas tersebut. Lalu, guru memanggil salah satu anggota kelompok,
Penerapan model ini diharapkan dapat menambah suasana baru bagi pembelajaran
matematika, sehingga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis
siswa.
Dari uraian diatas, maka akan dilakukan penelitian tentang penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe Student Team Heroic Leadership untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka terdapat
rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Adapun rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah “Apakah rata-rata peningkatan kemampuan
komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model
Student Team Heroic Leadership lebih tinggi daripada siswa dengan pembelajaran konvensional?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mengacu pada rumusan masalah yaitu, untuk mengetahui
peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan model Student Team Heroic Leadership.
D. Manfaat Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat sebagai
1. Manfaat Teoritis
Penelitian secara teoritis diharapkan mampu memberikan sumbangan
terhadap perkembangan pembelajaran matematika, terutama terkait
komunikasi matematis siswa dan model pembelajaran kooperatif tipe STHL.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa, memperoleh pengalaman baru dalam belajar matematika,
dimana mereka belajar secara kelompok yang menuntut untuk memiliki
ketergantungan positif dan tanggung jawab untuk bekerja sama dalam
mencapai tujuan kelompok.
b. Bagi guru, memberikan wawasan tentang salah satu penerapan model
pembelajaran yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran matematika.
c. Bagi sekolah, memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya
meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di sekolah.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah:
1. Model Student Team Heroic Leadership
Model Student Team Heroic Leadership pada penelitian ini adalah suatu pembelajaran yang menerapkan strategi kepemimpinan yang heroik, yaitu
pengelompokan siswa (Student Team) untuk setiap anggota kelompok bersama-sama dalam memecahkan masalah, berjiwa kepemimpinan (Heroic Leadership) dipilih salah satu siswa untuk menjadi ketua kelompok, ketua tersebut
bertanggungjawab sepenuhnya terhadap anggota kelompok, dan setiap anggota
2. Pembelajaran konvensional
Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pembelajaran yang diawali dengan penyampaian materi oleh guru, pemberian
contoh soal, dan dilanjutkan dengan pemberian soal melalui metode diskusi.
3. Komunikasi Matematis
Komunikasi dalam matematika adalah suatu peristiwa yang saling berhubungan
atau dialog yang terjadi didalam pembelajaran, dimana terjadi transfer informasi
yang berisi materi matematika yang sedang dipelajari dan sesuai dengan
indikator-indikator komunikasi matematis.
Indikator-indikator komunikasi matematis tersebut adalah:
a. Menyatakan gambar, simbol, dan model matematika
b. Menjelaskan ide matematika secara tulisan
c. Menulis reperentasi matematika
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.Pembelajaran Kooperatif
Belajar dan pembelajaran merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan manusia. Dengan belajar manusia dapat mengembangkan
potensi-potensi yang dimilikinya. Tanpa belajar manusia tidak akan mungkin dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2007: 17), belajar berasal dari kata ajar yang berarti petunjuk yang diberikan
kepada orang supaya diketahui (diturut). Belajar berarti berusaha memperoleh
kepandaian atau ilmu, berlatih, dan berubah tingkah laku atau tanggapan yang
disebabkan oleh pengalaman.
Sedangkan pembelajaran menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 20 Tahun 2003 mengatakan bahwa, pembelajaran merupakan proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar. Selain itu, Ruseffendi (1998), berpendapat bahwa pembelajaran adalah
proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa, sehingga
belajar dapat memperoleh dan memproses pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Oleh karena itu dalam pembelajaran siswa dituntut untuk bisa bekerja sama
dengan baik secara bergotong royong antarsiswa atau disebut juga dengan
Belajar kooperatif yaitu belajar secara bersama dalam suatu kelompok tertentu
untuk memecahkan suatu persoalan atau suatu kegiatan menemukan.
Pembelajaran kooperatif sesuai dengan fitrah siswa yaitu manusia sebagai mahluk
sosial, yang perlu ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan
tanggung jawab bersama dan pembagian tugas serta rasa senasib.
Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) bukanlah suatu konsep baru, melainkan telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Pada awal abad pertama,
seorang filosofi berpendapat bahwa agar seseorang belajar harus memiliki
pasangan. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang
mengutamakan adanya kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Para siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dan
diarahkan untuk mempelajari materi pelajaran yang telah ditentukan. Tujuan
dibentuknya kelompok kooperatif adalah untuk memberikan kesempatan kepada
siswa agar dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan dalam
kegiatan-kegiatan belajar. Dalam hal ini sebagian besar aktivitas pembelajaran berpusat
pada siswa, yakni mempelajari materi pelajaran serta berdiskusi untuk
memecahkan masalah.
Menurut Slavin (1997), ada dua aspek yang melandasi keberhasilan pembelajaran
kooperatif, yaitu aspek motivasi dan aspek kognitif. Pada dasarnya aspek motivasi
ada di dalam konteks pemberian penghargaan kepada kelompok. Adanya
penilaian yang didasarkan atas keberhasilan kelompok mampu menciptakan
situasi dimana setiap anggota kelompok mengupayakan agar tujuan kelompoknya
untuk mengajak, mendukung, dan membantu koleganya untuk menyelesaikan
tugas dengan baik. Sedangkan asumsi dasar dari teori perkembangan kognitif
adalah bahwa interaksi antar siswa di sekitar tugas-tugas yang sesuai akan
meningkatkan ketuntasan mereka tentang penguasaan konsep-konsep penting.
Model pembelajaran kooperatif dapat membantu siswa untuk meningkatkan sikap
positif pada matematika. Dengan kerjasama dalam kelompok, siswa membangun
rasa percaya diri untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan. Beberapa ahli
menyatakan bahwa model kooperatif tidak hanya unggul dalam membantu siswa
memahami konsep matamatika yang sulit, tetapi yang sangat berguna untuk
menumbuhkan kemampuan berfikir kritis, bekerja sama dan membantu teman.
Menurut pendapat Sofian ( 2006: 30), dalam belajar kooperatif, siswa terlibat aktif
pada proses pembelajaran sehingga memberikan dampak yang positif terhadap
kualitas interaksi dan komunikasi yang berkualitas dapat memotivasi siswa untuk
meningkatkan prestasi belajarnya.
Menurut Johnson dan Holubec yang dikembangkan oleh Ersah (2007: 13),
pembelajaran kooperatif memiliki karakteristik yaitu:
a. Positive Interdependence (Saling Ketergantungan Positif)
Keberhasilan kelompok tergantung pada usaha setiap anggotanya untuk
menciptakan suatu kelompok kerja yang efektif dan efisien sehingga setiap
anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar dapat mencapai
b. Face to Face Promotive Interaction (Adanya Interaksi Tatap Muka Langsung)
Setiap orang pasti memiliki ide dan pikiran yang berbeda-beda. Hasil
pemikiran beberapa orang akan lebih baik daripada hasil pemikiran dari satu
orang saja. Oleh karna itru, anggota kelompok perlu diberi kesempatan untuk
saling mengenal dan menerima satu sama lain dalam kegiatan tatap muka dan
interaksi pribadi.
c. Individual and Group Accountability (Tanggung Jawab Perseorangan dan Kelompok)
Keberhasilan bersama akan lebih mungkin dicapai secara baik apabila
dilakukan secara bersama-sama. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan
individu dalam menerima dan memberi apa yang telah depelajari diantara
siswa lainnya. Setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab
masing-masing yang harus dikerjakan, sehingga tugas kelompok secara keseluruhan
dapat diselesaikan.
d. Interpersonal and Small Group Skills (Adanya Keterampilan Menjalin Hubungan Interpersonal)
Keberhasilan kelompok dipengaruhi juga oleh kesediaan para anggotanya
untuk saling mendengarkan dan mengutarakan pendapat mereka.
e. Gruop Procesing (Evaluasi Proses Kelompok)
Setiap kelompok diberi kesempatan untuk mengevaluasi proses kerja
kelompok dan hasil kerjasama mereka sebagai bahan pertimbangan agar
Selain itu, terdapat beberapa pendekatan atau tipe yang berbeda didalam tingkah
laku mengajar (sintaks) dalam pembelajaran kooperatif, dan langkah-langkahnya
sedikit bervariasi tergantung pada teknik yang digunakan. Namun secara umum
sintaks model pembelajaran kooperatif seperti pada tabel 2.1:
Tabel 2.1 Sintaks ( Tingkah Laku Mengajar) Model Pembelajaran Kooperatif
Fase Keterangan Tingkah Laku guru
1 Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa
Guru menyampaikan tujuan yang akan dicapai pada pembelajaran tersebut dan memotivasi siswa untuk belajar
2 Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada
siswa dengan jalan demonstrasi atau dari sumber yang ada
3 Mengorganisasikan siswa kedalam kelompok-kelompok
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok balajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
4 Membimbing kelompok bekerja
dan belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengrejakan tugasnya
5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar
tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
6 Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk
menghargai hasil belajar siswa Wartono dkk (Ersah, 2007: 15)
B. Strategi Pembelajaran Student Team Heroic Leadership
Menurut Suherman (2003:6), pendekatan (approach) pembelajaran matematika adalah cara yang ditempuh guru dalam pelaksanaan pembelajaran agar konsep
yang disajikan dapat diadaptasikan oleh siswa. Oleh sebab itu guru diharuskan
mempunyai strategi pembelajaran yang tepat, sesuai dengan materi dan kondisi
Strategi pembelajaran adalah siasat dalam suatu pembelajaran, maka strategi
dalam pembelajaran matematika adalah siasat atau kiat yang disengaja atau sudah
direncanakan oleh guru untuk pembelajaran, berkenaan dengan segala persiapan
dalam pembelajaran, agar pelaksanaan pembelajaran dapat berjalan dengan lancar
dan tujuannya yang berupa hasil belajar bisa tercapai secara optimal. Cara
membawakan pembelajaran dapat dipilih guru itu sendiri, misalnya dengan cara
belajar kelompok, cara belajar mandiri, belajar dengan permainan, dan
sebagainya.
Salah satu strategi pembelajaran yaitu, dengan model Student Team Heroic Leadership. Student Team, yang merupakan bagian dari pembelajaran kooperatif (pembelajaran kelompok kecil). Menurut Slavin (1997), bahwa dalam student team, siswa ditempatkan dalam kelompok belajar yang beranggotakan 4 sampai 6 orang siswa. Di dalam kelompok, siswa diberikan tugas untuk berdiskusi dan pada
akhirnya diberi tes secara induvidual untuk penjajakan. Sedangkan pengertian dari
heroic leadership (kepemimpinan yang berjiwa pahlawan), kepemimpinan yang bersifat memiliki kesadaran seperti seorang pahlawan (hero).
Menurut Lowney (Setyanti, 2007: 21), kepemimpinan yang ditawarkan dalam
pembelajaran memandang bahwa:
1. Kita semua adalah pemimpin sepanjang waktu. Terkadang kepemimpinan
dilaksanakan secara langsung, dramatis, dan jelas nyata, yang lebih sering
dengan cara halus, dan sangat sulit untuk kita ukur.
kepemimpinan yang paling menarik perhatian adalah siapa dirinya. Pribadi
seseorang yang dapat memahami apa yang dianggapnya bernilai atau apa
yang diinginkannya, dan memandang dunia secara konsisten.
3. Kepemimpinan bukanlah suatu tindakan, melainkan cara hidup.
Kepemimpinan bukan tugas yang dapat dikesampingkan sewaktu kita pulang
kita pulang kerumah melainkan memerlukan suatu perilaku yang cocok
tergantung dari cara kita bertindak. Dengan kita mengetahui apa yang kita
anggap bernilai dan apa yang ingin dicapai, ia mengorientasikan dirinya pada
lingkungannya yang baru dengan berkeyakinan beradaptasi.
4. Kepemimpinan berlangsung terus menerus. Kepemimpinan pribadi
merupakan sebuah kerja tanpa akhir dan bersumber pada pemahaman diri
yang tumbuh. Pemimpin yang kuat, dapat menikmati peluang untuk terus
belajar tentang dirinya sendiri dan dunia serta menatap kedepan.
Sedangkan kesadaran kepahlawanan dalam gaya kepemimpinan heroic menurut Lowney (Setyanti, 2007: 21), yang dijelaskan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Kesadaran diri untuk mengembangkan potensi-potensi, dengan menambah
keterampilan pribadi secara terus menerus.
2. Kesadaran mau mencari kelemahan-kelemahan diri yang dapat dipakai
sebagai titik tolak memperbaiki konsep diri.
3. Kesadaran untuk mengambil nilai manfaat dari apa yang telah dipelajari.
4. Kesadaran untuk menentukan pendirian sebagai pandangan hidup yang rela
berkorban.
5. Kesadaran untuk menyemangati diri sendiri dan orang lain dengan ambisi
Menurut Marpaung (2007:321), pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang
melayani. Didalam diri seorang pemimpin, mengalir darah pelayanan untuk
membantu orang lain dalam menemukan kepemimpinan dirinya sendiri. Baginya,
orang lain lebih penting dari pada dirinya.
Pembelajaran dengan menerapkan strategi kepemimpinan yang heroik adalah,
dimulai dengan menanamkan kesadaran diri bahwa, siswa baik dalam sebuah
kelompok maupun dalam kelas supaya merasa bahwa dirinya adalah pemimpin
yang memiliki jiwa heroik. Supaya setiap siswa merasa dirinya adalah pemimpin
yang menyadari siapa dirinya, sadar akan dirinya mau mengembangkan potensi,
menambah keterampilan, dapat melihat kelemahan, mengambil nilai manfaat, dan
kesadaran menentukan pendirian untuk bisa menyemangati dirinya sendiri
maupun temannya.
Untuk memperjelas dan membatasi model pembelajaran Student Team Heroic Leadership yang dimaksudkan, berikut beberapa penjelasan yang dimaksud: Menurut Tuhusetya (2007:42), langkah-langkah pembelajaran dengan model
Student Team Heroic Leadership
1. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dengan jumlah anggota 4 atau 5
orang
2. Pilih salah satu siswa dalam kelompok tersebut untuk dijadikan ketua
kelompok. Pemilihan ketua kelompok dilakukan secara demokratis.
4. Ketua kelompok diharapkan mampu berjiwa heroic leadership yaitu dapat membantu dan memotivasi temannya agar mereka dapat memiliki rasa
percaya diri dan dapat menguasai materi yang diberikan guru
5. Presentasi hasil diskusi dilakukan oleh salah satu anggota kelompok yang
akan dipilih oleh guru
6. Penghargaan diberikan kepada kelompok yang melakukan proses
pembelajaran dengan baik.
Dengan langkah seperti diatas diharapkan semua siswa dapat menguasai bahan
belajar dan memiliki semangat baru untuk menjadi seorang pemimpin, dan
menambah motivasi siswa untuk lebih aktif lagi dalam pembelajaran.
Menurut Tuhusetya (2007:45) kriteria siswa siswa yang dikategorikan heroic laedership atau tutor diantaranya:
1. Memiliki kemampuan akademis diatas rata-rata siswa satu kelas 2. Mampu menjalin kerja sama dengan sesama siswa
3. Memiliki motivasi tinggi untuk meraih prestasi akademik yang baik 4. Memiliki sikap toleransi dan tenggang rasa dengan sesama
5. Memiliki motivasi tinggi untuk menjadikan kelompok diskusinya sebagai kelompok yang terbaik
6. Bersikap rendah hati, pemberani, dan bertanggung jawab, dan
7. Suka membantu sesama yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran.
Peran guru dalam pembelajaran ini yaitu sebagai fasilitator dan pembimbing
terbatas. Artinya, guru disini hanya melakukan intervensi ketika betul-betul
diperlukan oleh siswa. Guru juga menilai proses kelompok yang terjadi
C. Komunikasi Matematis Siswa
Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Indonesia online;
komunikasi berarti pengiriman dan penerimaan atau berita antara dua orang atau
lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami, hubungan, dan kontak.
Komunikasi adalah cara untuk berbagi ide, gagasan dan mengklarifikasi
pemahaman kepada sesama.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses
penyampaian suatu informasi dari satu orang ke orang lain sehingga mereka
mempunyai makna yang sama terhadap informasi tersebut.
Menurut Suherman (2004), komunikasi dalam matematika merupakan suatu
peristiwa saling berhubungan atau dialog yang terjadi dalam suatu lingkaran
kelas, dimana terjadi transfer informasi yang berisi materi matematika yang
dipelajari. Kemampuan komunikasi dalam matematika juga dapat diartikan
sebagai suatu kemampuan siswa berkomunikasi dalam matematika yang meliputi
penggunaan simbol, istilah, serta informasi matematika.
Menurut Purwasih (2009: 12), bahwa matematika sebagai alat komunikasi dapat:
1.Mengemukakan dan menjelaskan pemikiran mereka tentang ide matematis 2.Merumuskan definisi matematika dan membuat generalisasi yang diperoleh
secara investigasi
3.Mengungkapkan ide matematis secara lisan dan tulisan
4.Menyajikan matematika yang dibaca dan ditulis dengan pengertian
5.Menjelaskan dan mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan matematika yang telah dibaca dan didengar
Kemampuan berkomunikasi menjadi salah satu syarat yang memegang peranan
penting karena membantu dalam proses penyusunan pikiran, menghubungkan
gagasan dengan gagasan lain sehingga dapat mengisi hal-hal yang kurang dalam
seluruh jaringan gagasan siswa. Menurut Lindquist (Ersah, 2007: 16),
menyatakan bahwa kita memerlukan komunikasi dalam matematika jika hendak
meraih secara penuh tujuan sosial, seperti melek matematika, belajar seumur
hidup, dan matematika untuk semua orang.
Secara umum, bahasa metematika menggunakan empat kategori simbol:
simbol-simbol untuk gagasan (bilangan dan elemen-elemen), simbol-simbol-simbol-simbol untuk relasi
(yang mengindikasikan bagaimana gagasan-gagasan dihubungkan atau berkaitan
satu sama lain), simbol-simbol untuk operasi (yang mengindikasikan apa yang
dilakukan dengan gagasan-gagasan), dan simbol-simbol untuk tanda baca (yang
mengindikasikan urutan di mana matematika itu diselesaikan).
Menurut Jacob (Yulianti, 2006:14), mengemukakan alasan mengapa pembelajaran
matematika terfokus pada pengkomunikasian, yaitu karena matematika
merupakan suatu alat untuk membantu berfikir, menemukan pola-pola,
menyelesaikan masalah atau menggambarkan konklusi. Selain itu matematika
merupakan suatu alat untuk mengomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat
dan cermat.
Menurut Suherman (2004), kemampuan komunikasi matematis terbagi menjadi
1. Kemampuan komunikasi tertulis
Kemampuan komunikasi matematis tertulis adalah kemampuan siswa dalam
menyampaikan gagasan dan ide dari suatu masalah secara tertulis.
Indikator kemampuan tertulis yang dikembangkan oleh Ross (Hernita, 2009: 25)
adalah sebagai berikut:
a. Menggambarkan situasi masalah dan menyatakan solusi masalah menggunakan
gambar, bagan, tabel dan secara aljabar
b. Menyatakan hasil dalam bentuk tertulis
c. Menggunakan representasi menyeluruh untuk menyatakan konsep matematis
dan solusinya
d. Membuat situasi matematika dengan menyatakan ide dan keterangan dalam
bentuk tertulis
e. Menggunakan bahasa matematis dan simbol secara tepat.
2. Kemampuan komunikasi lisan
Komunikasi lisan dalam pembelajaran matematika adalah kemampuan siswa
dalam mengungkapkan gagasan atau ide matematika secara lisan.
Adapun indikator kemampuan komunikasi lisan adalah sebagai berikut:
a. Siswa dapat menjelaskan kesimpulan yang diperolehnya
b. Siswa dapat memilih cara yang paling tepat dalam menyampaikan
penjelasannya
c. Menggunakan tabel, gambar, model, dan lain-lain untuk menyampaikan
d. Siswa dapat mengajukan suatu permasalahan atau persoalan
e. Siswa dapat menyajikan penyelesaian dari suatu permasalahan
f. Siswa dapat merespon suatu pernyataan atau persoalan dari siswa lain dalam
bentuk argumen yang meyakinkan
g. Siswa dapat menginterpretasi dan mengevaluasi ide-ide, simbol, istilah, serta
informasi matematika
h. Siswa dapat mengungkapkan lambang, notasi, dan persamaan matematika
secara lengkap dan tepat
i. Mau mengajukan pertanyaan ketika ada sesuatu yang tidak dimengerti.
Menurut Within (Setyanty, 2007), menyatakan kemampuan komunikasi menjadi
penting ketika diskusi antar siswa dilakukan, dimana siswa diharapkan mampu
menyatakan, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan
bekerjasama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam
tentang matematika. Anak-anak yang diberikan kesempatan untuk bekerja dalam
kelompok dalam mengumpulkan dan menyajikan data, mereka menunjukkan
kemajuan baik di saat mereka saling mendengarkan ide yang satu dan yang lain,
mendiskusikannya bersama kemudian menyusun kesimpulan yang menjadi
pendapat kelompoknya. Ternyata mereka belajar sebagian besar dari
berkomunikasi dan mengkontruksi sendiri pengetahuan mereka.
Sedangkan menurut Sumarmo (2003) komunikasi matematis meliputi kemampuan
siswa:
a. Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematika
c. Menyatakan sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika d. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika e. Membaca dengan pemahaman atau presentasi matematika tertulis
f. Membuat konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi dan generalisasi
g. Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
Sedangkan Wardhani (2008,19), menyatakan bahwa komunikasi matematis
meliputi:
a. Komunikasi ide-ide, gagasan pada operasi atau pembuktian matematika banyak
melibatkan kata-kata, lambang matematis, dan bilangan.
b.Menyajikan persoalan atau masalah ke dalam model matematika yang berupa
diagram, persamaan matematika, grafik, ataupun tabel.
c. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
Adapun kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah, kemampuan untuk mempresentasikan permasalahan atau ide dalam
matematika baik secara lisan maupun tulisan dengan menggunakan benda nyata,
grafik, atau tabel, serta dapat menggunakan simbol-simbol matematika, yang
diperoleh melalui pengalaman yang dialami.
Untuk mengukur tingkat kemampuan komunikasi siswa dalam diskusi, indikator
yang dikemukakan oleh Djumhur (Hernita, 2009: 27) dapat dijadikan sebagai
patokannya. Indikator tersebut adalah:
a. Siswa ikut menyampaikan pendapat tentang masalah yang sedang dibahas
b. Siswa berpartisipasi aktif dalam menanggapi pendapat yang diberikan oleh
c. Siswa mau mengajukan pertanyaan ketika ada sesuatu yang tidak dimengerti
atau kurang dimengerti
d. Mendengarkan secara serius ketika siswa lain mengemukakan pendapat
Adapun indikator untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis, adalah:
a. Menyatakan gambar, simbol, ide, dan model matematika
b. Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematika secara lisan maupun tulisan
c. Menulis reperentasi matematika
d. Mengungkapkan kembali suatu uraian matematika dengan bahasa sendiri
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini, yaitu:
Rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran
kooperatif tipe STHL lebih tinggi daripada rata-rata kemampuan komunikasi
III. METODE PENELITIAN
3.1 Populasi dan Sampel
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 19 Bandar Lampung. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII semester genap SMP Negeri 19
Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013 yang terdiri atas delapan kelas. Dari
delapan kelas yang ada, terdapat satu kelas unggulan, yaitu kelas VIII D dan tujuh
kelas yang lain mempunyai kemampuan yang relatif sama. Pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive random sampling, yaitu dengan mengambil dua kelas yang memiliki nilai rata-rata yang sama pada mata
pelajaran matematika pada ujian semester ganjil. Maka didapat kelas yang
menjadi sampel dalam penelitian ini adalah kelas VIII F dengan jumlah siswa 36
orang sebagai kelas eksperimen, yaitu kelas yang mengikuti model pembelajaran
kooperatif tipe STHL dan kelas VIII E dengan jumlah siswa 36 orang sebagai
kelas kontrol, yaitu kelas yang mengikuti pembelajaran konvensional.
3.2 Desain Penelitian
Desain yang digunakan adalah pre-test post-test control group design. Perlakuan yang dilakukan terhadap variabel bebas akan dilihat hasilnya pada varibel terikat.
Dalam penelitian ini pengaruh dari pembelajaran matematika dengan
kemampuan komunikasi matematis siswa (variabel terikat). Sebagaimana yang
[image:33.595.116.517.180.231.2]di-kemukakan Furchan (2007: 368) pada Tabel 3.1:
Tabel 3.1 Desain Penelitian
Kelompok Pre-test Perlakuan Post-test
E Y1 X Y2
P Y1 C Y2
keterangan:
E = Kelas eksperimen P = Kelas kontrol
X = Perlakuan pada kelas eksperimen yang mengikuti model pembelajaran
Student Team Heroic Leadership
C = Perlakuan pada kelas kontrol yang mengikuti pembelajaran konvensional Y1 = Nilai pre-test
Y2 = Nilai post-test
3.3Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Melakukan penelitian pendahuluan
2. Tahap persiapan
a. Menentukan bahan ajar yang akan dilakukan dalam penelitian
b. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
c. Menyusun Lembar Kerja Kelompok (LKK) yang akan diberikan kepada
siswa saat diskusi kelompok
d. Menyusun dan membuat instrumen penelitian
e. Mengujicobakan instrumen tes
3. Tahap pelaksanaan
a. Memilih sampel sebanyak dua kelas yang akan dijadikan sebagai kelas
eksperimen dan kelas kontrol
b. Memberikan pretest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol
c. Membagi siswa dalam kelompok yang beranggotakan 4 sampai 6 siswa,
siswa dipilih secara acak
d. Melaksanakan pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran
matematika dengan model Student Team Heroic Leadership pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvesional pada kelas kontrol
e. Melakukan postest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol f. Mengolah data dan menganalisis data hasil penelitian
g. Membuat interprestasi dan kesimpulan penelitian berdasarkan hipotesis
yang telah dirumuskan
3.4Data Penelitian
Data dalam penelitian ini adalah data kemampuan komunikasi matematis siswa
yang diperoleh dari nilai pretest (dilaksanakan diawal pembelajaran) dan nilai
postest (dilaksanakan di akhir pembelajaran) yang berupa data kuantitatif.
3.5 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, instrumen penelitian yang digunakan adalah berupa soal
Berikut beberapa penjelasan dari instrumen yang digunakan, yaitu:
1. Tes awal (pretest) dan Tes akhir (postest)
Tes awal digunakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa terhadap
pokok bahasan materi garis singgung lingkaran. Tes ini berbentuk tes uraian,
karena dengan menggunakan tes uraian maka kemampuan komunikasi
matematis siswa dapat dilihat melalui langkah-langkah dalam penyelesaian
soal dan guru dapat mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dalam
penyelesaian soal. Tes akhir (postest) merupakan tes yang dibuat untuk mengukur kemampuan komunikasi siswa setelah dilakukan pembelajaran. Tes
ini berbentuk tes uraian yang berkaitan pokok bahasan yang bersangkutan.
Alat pengumpul data yang baik dan dapat dipercaya adalah yang memiliki
tingkat validitas dan reliabilitas yang tinggi. Oleh karena itu, instrumen
evaluasi berupa tes, diuji cobakan terlebih dahulu kepada siswa yang telah
mempelajari materi yang akan dipelajari. Kemudian data hasil uji coba
diperoleh dan dianalisis untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya.
Setelah itu setiap butir soal dianalisis maka diketahui indeks kesukaran dan
daya pembedanya.
a. Validitas tes
Validitas tes dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi dari tes
komunikasi matematis ini dapat diketahui dengan cara membandingkan isi
yang terkandung dalam tes komunikasi matematis dengan indikator
pembelajaran yang telah ditentukan. Hal tersebut sesuai dengan yang
validitas isi adalah dengan pendekatan rasional, yaitu membandingkan
antara kisi-kisi soal dengan butir soalnya. Dalam kisi-kisi soal dimuat data
tentang pokok bahasan dan subpokok bahasan. Validitas tes ini
dikonsultasikan dengan dosen pembimbing terlebih dahulu kemudian
dikonsultasikan kepada guru mata pelajaran matematika kelas VIII SMP
Negeri 19 Bandar Lampung.
Penilaian terhadap kesesuaian isi tes dengan isi kisi-kisi tes yang diukur
dan kesesuaian bahasa yang digunakan dalam tes dengan kemampuan
bahasa siswa dilakukan dengan menggunakan daftar check list (√) oleh guru. Hasil penilaian terhadap tes untuk mengambil data penelitian telah
memenuhi validitas isi (Lampiran B.4).
Selanjutnya instrumen tes diujicobakan pada kelompok siswa yang berada
di luar sampel penelitian. Uji coba dilakukan pada siswa kelas IX D. Uji
coba instrumen tes dimaksudkan untuk mengetahui tingkat reliabilitas tes,
tingkat kesukaran butir tes, dan daya beda butir tes.
b. Reliabilitas
Menurut Russeffendi (2005: 158), reliabilitas instrumen atau alat evaluasi
adalah ketetapan alat evaluasi dalam mengukur sesuatu dari siswa. Suatu
alat evaluasi dikatakan reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika
Menurut Suherman (2003: 153) rumus yang digunakan untuk mencari
koefisien reliabilitas bentuk uraian dikenal dengan rumus Alpha seperti
dibawah ini.
11 = �
� −1 1− �2
2
Keterangan :
n = banyak butir soal
�2 = jumlah varians skor setiap item
2 = varians skor total
Untuk mencari varian digunakan rumus :
2 = �
2−( �)2 � �
Untuk kofisien reliabilitas yang menyatakan derajat keterandalan alat
evaluasi, dinyatakan dengan r11.
Antara 0,00 s.d 0,20 : Reliabilitas sangat rendah Antara 0,20 s.d 0,40 : Reliabilitas rendah
Antara 0,40 s.d 0,70 : Reliabilitas sedang Antara 0,70 s.d 0,90 : Reliabilitas tinggi
Antara 0,90 s.d 1,00 : Reliabilitas sangat tinggi
Setelah menghitung reliabilitas instrumen tes, diperoleh nilair11= 0,88
(Lampiran C.1). Berdasarkan pendapat Suherman tersebut, harga
11 r
tersebut telah memenuhi kriteria tinggi karena koefisien reliabilitasnya
antara 0,70 s.d 0,90. Oleh karena itu, instrumen tes matematika tersebut
c. Daya pembeda
Daya pembeda dari sebuah butir soal adalah kemampuan butir soal
tersebut membedakan siswa yang mempunyai kemampuan tinggi dengan
siswa yang berkemampuan rendah. Menurut Russeffendi (1997), untuk
perhitungan daya pembeda soal dalam penelitian ini mengunakan rumus:
= � − �
���
Keterangan :
DP = daya pembeda
XA = rata-rata skor siswa kelompok atas XB = rara-rata skor siswa kelompok bawah SMI = skor minimum ideal
Sedangkan klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda yang banyak
digunakan adalah sebagai berikut:
DP ≤0,00 sangat jelek 0,00 < DP ≤ 0,20 jelek
0,20 < DP ≤ 0,40 sedang 0,40 < DP ≤ 0,70 baik
0,70 < DP ≤ 1,00 sangat baik
Setelah menghitung daya pembeda soal, diperoleh bahwa soal nomor 1 memiliki interpretasi daya beda 0,33 sehingga termasuk soal dengan kategori sedang, soal nomor 2 memiliki interpretasi daya beda 0,33
kategori sedang yaitu butir soal nomor 1, 2, 3, dan 4, serta 1 soal dengan kategori baik yaitu butir soal nomor 5 (Lampiran C.2).
d. Indeks kesukaran
Indeks kesukaran menyatakan derajat kesukaran sebuah soal. Rumus
untuk menentukan indeks kesukaran (IK), yaitu:
�� = �
���
Keterangan : IK = Indeks Kesukaran X = rata-rata skor tiap soal SMI = Skor Maksimum Ideal
Menurut Suherman (2003: 170) untuk mengetahui interpretasi mengenai
besarnya indeks kesukaran alat evaluasi yang banyak digunakan adalah
sebagai berikut:
IK = 0,00 soal terlalu sukar
0,00 < IK ≤ 0,30 soal sukar
0,31 < IK ≤ 0,70 soal sedang 0,70 < IK < 1,00 soal mudah
IK = 1,00 soal terlalu mudah
Kriteria yang akan digunakan dalam instrumen tes komunikasi matematis
adalah 0,31 <TK < 1 , yaitu soal memiliki indeks kesukaran yang sedang atau mudah.
0,69 sehingga termasuk kategori soal yang sedang, dan soal nomor 5 memiliki interpretasi indeks kesukaran 0,76 sehingga termasuk kategori soal yang mudah. Dari 5 soal tersebut, dapat diketahui bahwa 2 soal memiliki tingkat kesukaran dengan kategori mudah yaitu butir soal nomor 1 dan 5, serta 3 soal dengan kategori sedang yaitu butir soal nomor 2, 3,dan 4 (Lampiran C.2).
Berdasarkan hasil uji coba validitas butir soal, reliabilitas tes, daya
pembeda, dan indeks kesukaran setiap butir soal yang telah diuraikan di
[image:40.595.147.538.378.510.2]atas, maka hasil tes uji coba tersebut direkap pada tabel berikut:
Tabel 3.2 Rekapitulasi Hasil Tes Uji CobaPre-Test
No Soal Validitas Reliabilitas Tingkat Kesukaran Daya Pembeda
1
Valid 0.88 (tinggi)
0,77 (mudah) 0,33 (baik)
2 0,67 (sedang) 0,33 (baik)
3 0,67(sedang) 0,31 (baik)
4 0,69 (sedang) 0,33 (baik)
5 0,76 (mudah) 0,5 (sangat baik)
Dari tabel rekapitulasi hasil tes uji coba soal diatas, terlihat bahwa kelima
komponen tersebut telah memenuhi kriteria yang ditentukan, sehingga
kelima butir soal tersebut dapat digunakan untuk mengukur kemampuan
komunikasi matematis siswa.
3.6Analisis Data
mempunyai kemampuan awal yang sama sebelum pembelajaran. Sebelum
melakukan analisis kesamaan dua rata-rata perlu dilakukan uji prasyarat, yaitu
uji normalitas dan homogenitas data.
1. Uji normalitas
Dilakukan untuk mengetahui apakah data kedua kelas sampel berasal dari
populasi yang berdistribusi normal atau tidak
Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan rumus Chi
Kuadrat sesuai dengan pendapat Sudjana (2005:273), sebagai berikut:
a. Hipotesis
Ho : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1 : sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal
b. Taraf signifikan : α = 0,05 c. Statistik uji
�ℎ� ��2 = ( �− �) 2
�
�=1
Keterangan:
X2=harga Chi-kuadrat
�= frekuensi harapan
�= frekuensi yang diharapkan = banyaknya pengamatan d. Keputusan uji
Terima H0 jika �ℎ� ��2 ≤�2 � dengan χ2 � 1−∝ ( −3), dk = k – 3
1 1 1 2 1 1 2 ) 1 ( R n n n n
U
2 2 2 2 1 2 2 ) 1 ( R n n n n
[image:42.595.133.533.112.161.2]U
Tabel 3.3 Rekapitulasi Uji Normalitas Data Pre-test
Kelas �� � �� �� Keputusan Uji Keterangan
Eksperimen 12,1 9,49 H1 diterima Tidak Normal
Kontrol 5,14 9,49 H0 diterima Normal
Berdasarkan kriteria pengujian, maka tolak Ho karena x2hitung > x² tabel, yaitu
data pretest sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal (Lampiran C.5 dan C.6).
2. Uji Kesamaan Dua Rata-rata
Karena data tidak berdistribusi normal maka uji kesamaan dua rata-rata
pretest dilakukan dengan uji Mann-Whitney atau uji U. Hipotesis uji:
H0 : 1 2 (Rata-rata kemampuan komunikasi matematis dengan
menggunakan metode pembelajaran STHL sama dengan
rata-rata kemampuan komunikasi matematis dengan pembelajaran
konvensional).
H1 : 1 2 (Rata-rata kemampuan komunikasi matematis dengan
menggunakan metode pembelajaran STHL tidak sama dengan
kemampuan komunikasi matematis dengan pembelajaran
konvensional).
2 . )
(U n1n2
E
12
1 ) (
. 2 1 2
1
n n n n
U U U E U Z ) (
Dari kedua nilai U tersebut yang digunakan ialah nilai U yang kecil, karena
sampel lebih dari 20, maka digunakan pendekatan kurva normal dengan
mean:
standar deviasi dalam bentuk:
nilai standar dihitung dengan:
kriteria pengambilan keputusan adalah:
H0 diterima apabila
2 2
'
Z Z
Z
,selain itu H0 ditolak.
Kriteria pengujian adalah terima H0 jika Z hitung terletak antara -1,96 dan
[image:43.595.143.384.451.563.2]1,96. Dalam hal lainnya H0 ditolak.
Tabel 3.4 Hipotesis Uji Mann-Withney Pretest
Dari nilai uji Mann-Whitney U, dapat kita lihat pada output Test Statistic
dimana nilai statistik uji Z yaitu -0,161 dan nilai Sig. (2-tailed) adalah
0,872>0,05. Karena itu hasil uji tidak signifikan secara statistik, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata kedua kelompok tidak
berbeda secara signifikan (Lampiran C7).
NILAI
Mann-Whitney U 634,000
Wilcoxon W 1300,000
Z -0,161
Karena kemampuan awal kedua kelas tidak berbeda secara signifikan, maka
untuk pengujian hipotesis di analisis dengan menguji perbedaan hasil
postestnya. Untuk data skor post-test kelas eksperimen dan kelas kontrol dianalisis menggunakan uji ketaksamaan dua rata-rata untuk mengetahui
perlakuan mana yang lebih tinggi antara pembelajaran kooperatif tipe STHL
dengan pembelajaran konvensional. Sebelum melakukan analisis
ketaksamaan dua rata-rata perlu dilakukan uji prasyarat, yaitu uji normalitas
dan homogenitas data.
1. Uji normalitas
Dilakukan untuk mengetahui apakah data kedua kelas sampel berasal dari
populasi yang berdistribusi normal atau tidak
Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan rumus Chi
Kuadrat sesuai dengan pendapat Sudjana (2005:273), sebagai berikut:
a. Hipotesis
Ho : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1 : sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal
b. Taraf signifikan : α = 0,05 c. Statistik uji
�ℎ� ��2 = ( �− �) 2
�
�=1
Keterangan:
X2=harga Chi-kuadrat
�= frekuensi harapan
d. Keputusan uji
Terima H0 jika �ℎ� ��2 ≤�2 � dengan χ2 � 1−∝ ( −3), dk = k – 3.
[image:45.595.130.528.200.250.2]Setelah melakukan perhitungan data postest, maka diperoleh :
Tabel 3.5 Rekapitulasi Uji Normalitas Data Post-test
Kelas �� � �� �� Keputusan Uji Keterangan
Eksperimen 4,959 9,49 H0 diterima Normal
Kontrol 11 9,49 H1 diterima Tidak Normal
Berdasarkan kriteria pengujian, maka tolak Ho karena x2hitung > x² tabel, yaitu
data post-test sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal (Lampiran C.10 dan C.11).
2. Uji Kesamaan Dua Rata-rata
Karena data tidak berdistribusi normal maka uji kesamaan dua rata-rata
dilakukan dengan uji Mann-Whitney atau uji U. Hipotesis uji:
H0 : 1 2 (Rata-rata kemampuan komunikasi matematis dengan
menggunakan metode pembelajaran STHL sama dengan
rata-rata kemampuan komunikasi matematis dengan pembelajaran
konvensional).
H1 : 1 2 (Rata-rata kemampuan komunikasi matematis dengan
menggunakan metode pembelajaran STHL tidak sama dengan
kemampuan komunikasi matematis dengan pembelajaran
1 1 1 2 1 1 2 ) 1 ( R n n n n
U
2 2 2 2 1 2 2 ) 1 ( R n n n n
U
2 . )
( n1n2
U E 12 1 ) (
. 2 1 2
1
n n n n
U U U E U Z ) (
Menurut Suherman (2003) untuk menghitung nilai statistik uji Mann-Whitney U, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
Dari kedua nilai U tersebut yang digunakan ialah nilai U yang kecil, karena
sampel lebih dari 20, maka digunakan pendekatan kurva normal dengan
mean:
standar deviasi dalam bentuk:
nilai standar dihitung dengan:
kriteria pengambilan keputusan adalah:
H0 diterima apabila
2 2
'
Z Z
Z
[image:46.595.164.379.509.616.2] ,selain itu H0 ditolak.
Tabel 3.6 Hipotesis Uji Mann-Withney Post-test
NILAI
Mann-Whitney U 332,500
Wilcoxon W 998,500
Z -3,570
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,000
Dari nilai uji Mann-Whitney U, dapat kita lihat pada output Test Statistic
dimana nilai statistik uji Z yaitu -3,570 dan nilai Sig. (2-tailed) adalah
0,00<0,05. Karena U taraf signifikan dibawah 0,05 berada pada daerah penerimaan H1 demikian dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata kedua
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan diperoleh simpulan bahwa peningkatan rata-rata
kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan model
pembelajaran koopertif tipe STHL lebih tinggi dari pada siswa yang
mengggunakan model pembelajaran konvesional pada siswa SMPN 19 Bandar
Lampung. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan metode pembelajaran koopertif tipe STHL menunjukkan
hasil yang lebih tinggi daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran
konvensional.
A. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis mengemukakan saran-saran sebagai
berikut.
1. Kepada guru, dalam upaya meningkatkan kemampuan komunikasi matematis
dan pencapaian indikator kemampuan komunikasi matematis siswa,
disarankan untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STHL
dalam pembelajaran matematika di kelas. Khususnya kepada guru
pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STHL agar
terjadi pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STHL
yang optimal sehingga kemampuan komunikasi matematis siswa SMPN 19
Bandarlampung dapat meningkat lebih baik dari sebelumnya.
2. Kepada peneliti lain disarankan untuk melakukan penelitian dalam jangka
waktu yang lebih lama. Hal ini bertujuan agar kondisi kelas sudah kondusif
saat dilakukan pengambilan data, sehingga data dapat menggambarkan
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, M. (2009). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMA Melalui Penerapan Pembelajaran Generatif. Skripsi Sarjana Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan. [0nline] tersedia:http://repository.upi.edu/skripsiview.php?no_skripsi=9369.[10 november].
Amalia, L. (2006). Penerapan Metode Improve Dalam Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Komputer Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Skripsi Pada Jurusan Pendidikan
Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan [online]
tersedia:http://repository.upi.edu/skripsilist.php.[10 november].
As’ari, Abdurrahman. (2003). Pembelajaran Matematika Dengan Cooperatif Learning. Makalah
Ersah, S. (2007). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Two Stay Two Stray Terhadap Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMA. Skripsi Sarjana Pendidikan Matematika FPMIPA UPI
Bandung: Tidak diterbitkan.
[online]tersedia:http://repository.upi.edu/skripsilist.php.[10 november].
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta Hernita. (2009). Pengaruh Model Advance Organizer Dalam Pembelajaran
Matematika Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMA. Skripsi Pada Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.[online]tersedia:http://repository.upi.edu/skripsilist.php.[10 november].
Bandung: Tidak diterbitkan. [online]tersedia: http://repository.upi.edu/skripsiview.php?no_skripsi=2676. [10 november]
Rohaeti, A. (2009). Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP) Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMA. Skripsi Sarjana Pendidikan Matematika
FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
[online]tersedia:http://repository.upi.edu/skripsiview.php?no_skripsi=5444. [10 november]
Ruseffendi, E.T. (1998). Dasar-dasar Penelitian dan Bidang Noneksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Pres
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematuka Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito
Setyanty, Desy R. (2007). Efektifitas Pembelajaran Matematika Bangun Ruang dengan Strategi Student Team Heroic Leadership dan Pemberian Tugas Terstruktur pada Peserta Didik Kelas VIIII SMP N 15 Semarang. Skripsi Sarjana Pendidikan Matematika FMIPA UNS Semarang: Tidak diterbitkan.
Slavin, R.E. (1997). Educational Psychology: Theory and Practice. First edition. Massachusetts. Allyn and Boston Publiser.
Sofian, A. (2006). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kooperatif Tipe Jigsaw untuk Meningkatkan Kemampuan Metakognisi Matematika Siswa SMP. Skripsi Sarjana Pendidikan Matematika FPMIPA UPI
Bandung: Tidak diterbitkan. [online]tersedia:
http://repository.upi.edu/skripsilist.php.[10 november].
Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito
Sudjana, N. (2009). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Rosdakarya
Suherman, dkk. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. JICA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Suherman, E. (2004). Model-Model Pembelajaran Matematika. Makalah. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan LPMP Bandung.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP 1)
Sekolah : SMP Negeri 19 Bandar Lampung
Mata Pelajaran : Matematika Kelas / Semester : VIII / 2
Alokasi waktu : 4 x 40 menit (2 kali pertemuan)
Standar Kompetensi : 6. Menentukan unsur, bagian lingkaran serta ukurannya.
Kompetensi Dasar : 6.1. Sifat-sifat garis singgung lingkaran.
A. Indikator
1. Kognitif
1. Siswa dapat mengenal garis singgung lingkaran
2. Siswa dapat mengetahui sifat-sifat garis singgung lingkaran 3. Siswa dapat melukis garis singgung lingkaran
2. Afektif
a. Nilai karakter:
1. Teliti 2. Kreatif
3. Pantang menyerah 4. Rasa ingin tahu
b. Keterampilan sosial:
1. Kerjasama 2. Tenggang rasa
B. Tujuan Pembelajaran
1. Kognitif
Jika siswa diberikan beberapa petunjuk mengenai sifat-sifat garis singgung lingkaran, maka melalui diskusi siswa dapat mengenal garis singgung lingkaran, siswa dapat menemukan sifat-sifat garis singgung lingkaran, siswa dapat menyebutkan sifat-sifat garis singgung lingkaran, dan siswa dapat mengkomunikasikan secara lisan atau mempresentasikan mengenai cara menemukan sifat-garis singgung lingkaran
2. Afektif a. Karakter
1. Teliti
yaitu, siswa cermat, seksama dalam mempelajari suatu konsep di dalam materi pembelajaran dan dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru
2. Kreatif
yaitu, siswa mampu mengkombinasikan, memecahkan atau menjawab suatu permasalahan pada saat proses pembelajaran dan dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru
3. Pantang menyerah,
yaitu, siswa tidak mudah putus asa, giat, dan antusias dalam mempelajari suatu konsep di dalam materi pelajaran dan dalam mengerjakan tugas yang diberikan dan mencari penyelesaian dari suatu permasalahan selama proses pembelajaran
4. Rasa ingin tahu,
yaitu,siswa mempunyai minat yang besar untuk bertanya, menggali,
dan memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru dan dalam
memecahkan suatu masalah, misalnya dengan cara aktif berdiskusi dan aktif bertanya
b. Keterampilan Sosial
Dalam proses pembelajaran yang berpusat pada siswa dan siswa diberikan kesempatan untuk melakukan penilaian terhadap kesadaran dalam menunjukkan keterampilan sosial:
1. Dalam diskusi kelompok, siswa dapat saling bekerjasama dalam kelompoknya masing-masing untuk menyelesaikan masalah dengan baik
2. Dalam diskusi kelompok, siswa memiliki sikap tenggang rasa, yaitu siswa saling menghargai antaranggota kelompok dan saling menghargai ide-ide anggota kelompok
C. Materi Pembelajaran : Garis singgung lingkaran
D. Metode Pembelajaran : Model pembelajaran Student Team Heroic Leadership
E. Langkah-langkah Kegiatan
Kegiatan Awal (10 menit)
No Kegiatan Karakter Tahap Alokasi
Waktu 1. Guru mengucapkan salam lalu
melakukan apersepsi, antara lain mengenai sifat garis singgung
lingkaran dan melukis garis singgung lingkaran serta menyampaikan tujuan
Rasa ingin tahu
2. Untuk memotivasi siswa mempelajari kompetensi ini, guru menyampaikan beberapa hal yang ada dalam
kehidupan sehari-hari yang terkait dengan sifat-sifat garis singgung lingkaran.
Teliti dan rasa ingin tahu
3. Siswa diberikan pengarahan tentang langkah-langkah model pembelajaran koopetratif tipe Student Team Heroic
Leadership.
Teliti dan rasa ingin tahu
Kegiatan inti (60 menit)
No Kegiatan Karakter Tahap Alokasi
Waktu 1 Guru membentuk kelompok,
masing-masing kelompok terdiri dari 5 siswa .
Menjadi pendengar yang baik
5 menit
2 Guru memilih salah satu siswa untuk mejadi pemimpin dalam setiap kelompok
Teliti dan rasa ingin tahu
3 menit
3. Guru membagikan Lembar Kerja Kelompok (LKK)
kepada setiap siswa. * LKK-1 terlampir
- 2 menit
4 Siswa mengerjakan LKK secara kelompok. Guru memperhatikan dan memotivasi siswa.
Teliti, kreatif
Team 15 menit
5 Guru menginformasikan kepada pemimpin kelompok, untuk mengecek apakah semua anggota kelompoknya telah memahami materi pada LKK. Guru
memperhatikan, memotivasi, dan memberikan bantuan apabila dibutuhkan. Teliti, kreatif, pantang menyerah dan rasa ingin tahu
Leadership 15 menit
6 Guru menginformasikan bahwa waktu berdiskusi telah habis , lalu guru memilih salah satu anggota kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Salah satu anggota kelompok mempresentasikan hasil diskusinya sementara pasangan lain bertanya ataupun menggapi.
Teliti, kreatif, pantang menyerah dan rasa ingin tahu
Kegiatan Penutup (10 menit)
No. Kegiatan Karakter Tahap Alokasi
Waktu 1. Guru mengondisikan siswa agar
mempelajari/membaca materi untuk pertemuan berikutnya
Rasa ingin tahu
- 10 menit
2. Guru menutup pela