• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAM HEROIC LEADERSHIP DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA (Studi Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 19 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2012/2013)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAM HEROIC LEADERSHIP DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA (Studi Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 19 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2012/2013)"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAM HEROIC LEADERSHIP DALAM MENINGKATKAN

KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

(Studi pada Siswa Kelas VIII Semester Genap SMP Negeri 19 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013)

Oleh

DECKY SAPUTRA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

pada

Program Studi Pendidikan Matematika

Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAM HEROIC LEADERSHIP DALAM MENINGKATKAN

KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

(Studi Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 19 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2012/2013)

Oleh Decky Saputra

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan komunikasi matematis

siswa pada penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Student Team Heroic Leadership dengan pembelajaran konvensional. Desain penelitian ini adalah

pre-test post-test control design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII semester genap SMP Negeri 19 Bandar Lampung tahun

pelajaran 2012/2013 dan sebagai sampel penelitian adalah kelas VIII E dan VIII F yang dipilih dari tujuh kelas secara acak. Berdasarkan hasil analisis data,

diperoleh bahwa rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa, dan

pencapaian indikator siswa pada model pembelajaran kooperatif tipe STHL

lebih tinggi daripada pembelajaran konvensional. Kesimpulan yang dapat

diambil dari penelitian ini adalah rata-rata peningkatan kemampuan komunikasi

matematis siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STHL

lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.

(3)
(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Kooperatif ... 10

B. Strategi Pembelajaran Student Team Heroic Leadership ... 14

C. Komunikasi Matematis Siswa ... 19

D. Hipotesis Penelitian ... 24

III. METODE PENELITIAN 3.1Populasi dan Sampel ... 25

3.2Desain Penelitian ... 25

3.3Prosedur penelitian ... 26

(7)

b. Reliabilitas ... 29

c. Daya Pembeda ... 30

d. Indeks Kesukaran ... 31

3.6Analisis Data ... 33

1. Uji Normalitas ... 33

2. Uji Kesamaan Dua Rata-rata ... 35

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 40

1. Analisi Data Pretest Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa .. 40

1. Uji Normalitas Pretest ... 41

2. Uji Kesamaan Dua Rata-rata Pretest... 41

2. Analisis Data Postest Kemampuan komunikasi Matematis Siswa . 43

1. Uji Normalitas Postest ... 43

2. Uji Ketaksamaan Dua Rata-rata Postest... 44

B. Pembahasan... 45

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 50

B. Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA

(8)

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mempersiapkan suatu bangsa

melalui kegiatan pembelajaran sebagai bekal untuk kehidupan di masa yang akan

datang. Pada undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003,

disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan tidak hanya dapat mengembangkan potensi para generasi bangsa saja

tetapi pendidikan harus memenuhi standar nasional pendidikan yakni standar isi,

standar proses, standar kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan

prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus

ditingkatkan secara berencana dan berkala. Standar nasional pendidikan tersebut

diperlukan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana

dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Bila standar nasional pendidikan

telah terpenuhi maka pendidikan bisa dikatakan berhasil sehingga pada akhirnya

(9)

diperlukan usaha yang harus selalu dilakukan oleh semua pihak yang terlibat di

dalamnya, baik pemerintah, sekolah, guru, siswa, maupun orang tua siswa dan

masyarakat. Namun usaha-usaha tersebut tidak akan berhasil bila faktor-faktor

yang mempengaruhi pembelajaran tidak dioptimalkan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran diantaranya guru, siswa dan

lingkungan. Dalam menunjang pembelajaran, guru tidak hanya sekedar sebagai

penyampai materi tetapi guru berkewajiban menciptakan suasana pembelajaran

yang menyenangkan, kreatif, dinamis, dan logis. Terkadang guru dalam

penyampaian materi atau metode pembelajaran matematika masih monoton,

sehingga siswa merasa bosan. Bila guru secara optimal mengembangkan perannya

tersebut maka pembelajaran akan menyenangkan dan siswa mudah memahami

materi yang diberikan oleh guru.

Dalam pembelajaran, siswa merupakan faktor terpenting karena dalam kurikulum

yang berlaku saat ini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), siswa

dituntut aktif dalam pembelajaran yang berlangsung dan guru bertindak sebagai

fasilitator. Pembelajaran yang saat ini sering digunakan guru dikelas, yaitu pola

pengajaran yang terpusat pada guru di depan kelas sebagai sumber utama. Hal

tersebut juga sering terjadi dalam pembelajaran matematika, sehingga pelajaran

matematika selama ini dianggap sulit dan sangat membosankan bagi siswa.

Menurut pendapat Cockroft (Agustina, 2009:1), bahwa matematika perlu

diajarkan karena matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan,

semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai,

(10)

Pembelajaran matematika juga dapat digunakan untuk menyampaikan informasi

dalam berbagai cara, yaitu untuk meningkatkan kemampuan berfikir logis,

ketelitian dan dapat memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah

yang menantang.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa matematika merupakan

pelajaran yang sangat penting dalam pendidikan. Selama ini banyak siswa

menerima saja pengajaran matematika yang diajarkan di sekolah, tanpa

mempertanyakan mengapa dan untuk apa matematika harus diajarkan. Sehingga

muncul keluhan bahwa pelajaran matematika hanya membuat pusing siswa, dan

dianggap sebagai mata pelajaran yang menakutkan oleh sebagian siswa. Karena

pada dasarnya matematika adalah pemecahan masalah, oleh karena itu

matematika sebaiknya diajarkan melalui berbagai masalah yang ada disekitar

siswa dengan memperhatikan usia dan pengalaman.

Ketika suatu konsep informasi matematika diberikan oleh seorang guru kepada

siswa ataupun siswa mendapatkannya sendiri melalui bacaan, maka saat itu

sedang terjadi transformasi informasi matematika dari komunikator kepada

komunikan. Respon yang diberikan komunikan merupakan interprestasi

komunikan terhadap informasi tadi. Dalam matematika, kualitas interprestasi dan

respon itu sering kali menjadi masalah istimewa. Hal ini sebagai salah satu akibat

dari karakteristik matematika itu sendiri yang sarat dengan istilah dan simbol.

Karena itu kemampuan berkomunikasi dalam matematika menjadi tuntutan

(11)

Kemampuan berkomunikasi dalam matematika merupakan kemampuan yang

dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam

bentuk merefleksikan benda-benda nyata, gambar atau ide matematis lainnya,

seperti membuat model situasi atau persoalan menggunakan tertulis, grafik,

aljabar, serta dapat meningkatkan keahlian siswa dalam membaca, menulis, dan

menelaah, untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi idea-idea, simbol, istilah

serta informasi metematika lainnya, seperti suatu pernyataan atau persoalan dalam

bentuk argumen yang meyakinkan.

Menurut pendapat Amalia (2006 : 9), bahwa matematika dalam ruang lingkup

komunikasi mencangkup keterampilan atau kemampuan menulis, membaca,

diskusi, dan wacana. Tanpa komunikasi dalam matematika kita akan memiliki

sedikit keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan

proses dan aplikasi matematika. Dengan demikian, komunikasi dalam matematika

menolong guru memahami kemampuan siswa dalam menginterpretasi dan

mengekpresikan pemahamannya tentang konsep dan proses matematika yang

mereka pelajari.

Kemampuan komunikasi matematika merupakan hal yang sangat penting dan

perlu ditingkatkan dalam pembelajaran matematika karena komunikasi bisa

membantu pembelajaran siswa tentang konsep matematika ketika mereka

memerankan situasi, menggambar, menggunakan objek, memberikan laporan dan

penjelasan verbal. Keuntungan sampingannya adalah bisa mengingatkan siswa

bahwa mereka berbagi tanggung jawab dengan guru atas pembelajaran yang

(12)

Dari beberapa pengamatan praktik di lapangan menunjukkan bahwa guru

terkadang lebih aktif daripada siswa. Sehingga pembelajaran matematika

dirasakan masih kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengembangkan kemampuan komunikasi siswa. Akibatnya siswa sering merasa

ragu atau malu untuk mengemukakan pendapat dan solusinya kepada siswa lain

atau kepada guru di depan kelas. Rasa malu ini dapat menghambat dalam

mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa, yang pada ahirnya

siswa juga ragu untuk mengungkapkan ide atau gagasannya dalam bentuk tulisan.

Dengan demikian, bahwa guru juga ikut serta berperan dalam peningkatan

kemampuan komunikasi matematis siswa.

Dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis seperti

yang diharapkan, guru perlu mempersiapkan dan mengatur strategi penyampaian

materi matematika kepada siswa. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan

pedoman bagi guru, dalam penyampaian materi, juga agar setiap langkah kegiatan

pencapaian kompetensi untuk siawa dapat dilakukan secara bertahap, sehingga

dapat diperoleh hasil pembelajaran matematika yang optimal.

Untuk melaksanakan pembelajaran matematika seperti di atas, diperlukan

beberapa kecakapan guru untuk memilih model pembelajaran yang tepat, untuk

materi ataupun situasi dan kondisi pembelajaran saat itu. Sehingga pembelajaran

tersebut dapat meransang siswa untuk memperoleh kompetensi yang diharapkan.

Dengan demikian siswa mampu menyelesaikan berbagai permasalahan baik

dalam pelajaran maupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu,

(13)

Banyak para ahli yang menciptakan dan memperkenalkan berbagai macam model

dan strategi pembelajaran yang dapat memberikan siswa untuk berinteraksi satu

sama lain dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Menurut pendapat Lie

(Hernita, 2009: 7), bahwa dalam interaksi ini, siswa akan membentuk komunitas

belajar untuk dapat saling bekerja sama antarsiswa dengan baik. Oleh karena itu,

guru perlu menciptakan suasana belajar yang dapat membuat siswa bekerja sama

dengan baik secara bergotong royong antarsiswa atau yang lebih dikenal dengan

Pembelajaran Kooperatif.

Banyak model pembelajaran kooperatif yang menjadi salah satu alternatif guru

dalam membantu siswa belajar untuk meningkatkan kemampuan komunikasi

matematis, diantaranya adalah model pembelajaran Student Team Heroic Leadership (STHL). Menurut pendapat Setyanti (2007 : 20), model pembelajaran

Student Team Heroic Leadership adalah suatu pembelajaran yang memberi kesempatan pada siswa untuk berfikir, menjawab, saling membantu sama lain,

dan dapat menumbuhkan jiwa kepemimpinan yang heroik. Strategi ini dilakukan

dengan membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 4 atau 5

siswa dan setiap kelompok, dipilih salah satu siswa untuk menjadi pemimpin

kelompok. Pemimpin tersebut bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anggota

kelompoknya. Selanjutnya, guru memberikan tugas untuk dikerjakan oleh

masing-masing kelompok. Kemudian, anggota-anggota kelompok saling berfikir bersama,

membagikan ide-ide, dan memutuskan jawaban yang dianggap paling benar, serta

pemimpin kelompok memastikan setiap anggota kelompoknya mengetahui

jawaban dari tugas tersebut. Lalu, guru memanggil salah satu anggota kelompok,

(14)

Penerapan model ini diharapkan dapat menambah suasana baru bagi pembelajaran

matematika, sehingga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis

siswa.

Dari uraian diatas, maka akan dilakukan penelitian tentang penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe Student Team Heroic Leadership untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka terdapat

rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Adapun rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah “Apakah rata-rata peningkatan kemampuan

komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model

Student Team Heroic Leadership lebih tinggi daripada siswa dengan pembelajaran konvensional?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian mengacu pada rumusan masalah yaitu, untuk mengetahui

peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan model Student Team Heroic Leadership.

D. Manfaat Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat sebagai

(15)

1. Manfaat Teoritis

Penelitian secara teoritis diharapkan mampu memberikan sumbangan

terhadap perkembangan pembelajaran matematika, terutama terkait

komunikasi matematis siswa dan model pembelajaran kooperatif tipe STHL.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi siswa, memperoleh pengalaman baru dalam belajar matematika,

dimana mereka belajar secara kelompok yang menuntut untuk memiliki

ketergantungan positif dan tanggung jawab untuk bekerja sama dalam

mencapai tujuan kelompok.

b. Bagi guru, memberikan wawasan tentang salah satu penerapan model

pembelajaran yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran matematika.

c. Bagi sekolah, memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya

meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di sekolah.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah:

1. Model Student Team Heroic Leadership

Model Student Team Heroic Leadership pada penelitian ini adalah suatu pembelajaran yang menerapkan strategi kepemimpinan yang heroik, yaitu

pengelompokan siswa (Student Team) untuk setiap anggota kelompok bersama-sama dalam memecahkan masalah, berjiwa kepemimpinan (Heroic Leadership) dipilih salah satu siswa untuk menjadi ketua kelompok, ketua tersebut

bertanggungjawab sepenuhnya terhadap anggota kelompok, dan setiap anggota

(16)

2. Pembelajaran konvensional

Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

pembelajaran yang diawali dengan penyampaian materi oleh guru, pemberian

contoh soal, dan dilanjutkan dengan pemberian soal melalui metode diskusi.

3. Komunikasi Matematis

Komunikasi dalam matematika adalah suatu peristiwa yang saling berhubungan

atau dialog yang terjadi didalam pembelajaran, dimana terjadi transfer informasi

yang berisi materi matematika yang sedang dipelajari dan sesuai dengan

indikator-indikator komunikasi matematis.

Indikator-indikator komunikasi matematis tersebut adalah:

a. Menyatakan gambar, simbol, dan model matematika

b. Menjelaskan ide matematika secara tulisan

c. Menulis reperentasi matematika

(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Pembelajaran Kooperatif

Belajar dan pembelajaran merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dalam

kehidupan manusia. Dengan belajar manusia dapat mengembangkan

potensi-potensi yang dimilikinya. Tanpa belajar manusia tidak akan mungkin dapat

memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(2007: 17), belajar berasal dari kata ajar yang berarti petunjuk yang diberikan

kepada orang supaya diketahui (diturut). Belajar berarti berusaha memperoleh

kepandaian atau ilmu, berlatih, dan berubah tingkah laku atau tanggapan yang

disebabkan oleh pengalaman.

Sedangkan pembelajaran menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

Nomor 20 Tahun 2003 mengatakan bahwa, pembelajaran merupakan proses

interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan

belajar. Selain itu, Ruseffendi (1998), berpendapat bahwa pembelajaran adalah

proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa, sehingga

belajar dapat memperoleh dan memproses pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Oleh karena itu dalam pembelajaran siswa dituntut untuk bisa bekerja sama

dengan baik secara bergotong royong antarsiswa atau disebut juga dengan

(18)

Belajar kooperatif yaitu belajar secara bersama dalam suatu kelompok tertentu

untuk memecahkan suatu persoalan atau suatu kegiatan menemukan.

Pembelajaran kooperatif sesuai dengan fitrah siswa yaitu manusia sebagai mahluk

sosial, yang perlu ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan

tanggung jawab bersama dan pembagian tugas serta rasa senasib.

Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) bukanlah suatu konsep baru, melainkan telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Pada awal abad pertama,

seorang filosofi berpendapat bahwa agar seseorang belajar harus memiliki

pasangan. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang

mengutamakan adanya kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai

tujuan pembelajaran. Para siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dan

diarahkan untuk mempelajari materi pelajaran yang telah ditentukan. Tujuan

dibentuknya kelompok kooperatif adalah untuk memberikan kesempatan kepada

siswa agar dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan dalam

kegiatan-kegiatan belajar. Dalam hal ini sebagian besar aktivitas pembelajaran berpusat

pada siswa, yakni mempelajari materi pelajaran serta berdiskusi untuk

memecahkan masalah.

Menurut Slavin (1997), ada dua aspek yang melandasi keberhasilan pembelajaran

kooperatif, yaitu aspek motivasi dan aspek kognitif. Pada dasarnya aspek motivasi

ada di dalam konteks pemberian penghargaan kepada kelompok. Adanya

penilaian yang didasarkan atas keberhasilan kelompok mampu menciptakan

situasi dimana setiap anggota kelompok mengupayakan agar tujuan kelompoknya

(19)

untuk mengajak, mendukung, dan membantu koleganya untuk menyelesaikan

tugas dengan baik. Sedangkan asumsi dasar dari teori perkembangan kognitif

adalah bahwa interaksi antar siswa di sekitar tugas-tugas yang sesuai akan

meningkatkan ketuntasan mereka tentang penguasaan konsep-konsep penting.

Model pembelajaran kooperatif dapat membantu siswa untuk meningkatkan sikap

positif pada matematika. Dengan kerjasama dalam kelompok, siswa membangun

rasa percaya diri untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan. Beberapa ahli

menyatakan bahwa model kooperatif tidak hanya unggul dalam membantu siswa

memahami konsep matamatika yang sulit, tetapi yang sangat berguna untuk

menumbuhkan kemampuan berfikir kritis, bekerja sama dan membantu teman.

Menurut pendapat Sofian ( 2006: 30), dalam belajar kooperatif, siswa terlibat aktif

pada proses pembelajaran sehingga memberikan dampak yang positif terhadap

kualitas interaksi dan komunikasi yang berkualitas dapat memotivasi siswa untuk

meningkatkan prestasi belajarnya.

Menurut Johnson dan Holubec yang dikembangkan oleh Ersah (2007: 13),

pembelajaran kooperatif memiliki karakteristik yaitu:

a. Positive Interdependence (Saling Ketergantungan Positif)

Keberhasilan kelompok tergantung pada usaha setiap anggotanya untuk

menciptakan suatu kelompok kerja yang efektif dan efisien sehingga setiap

anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar dapat mencapai

(20)

b. Face to Face Promotive Interaction (Adanya Interaksi Tatap Muka Langsung)

Setiap orang pasti memiliki ide dan pikiran yang berbeda-beda. Hasil

pemikiran beberapa orang akan lebih baik daripada hasil pemikiran dari satu

orang saja. Oleh karna itru, anggota kelompok perlu diberi kesempatan untuk

saling mengenal dan menerima satu sama lain dalam kegiatan tatap muka dan

interaksi pribadi.

c. Individual and Group Accountability (Tanggung Jawab Perseorangan dan Kelompok)

Keberhasilan bersama akan lebih mungkin dicapai secara baik apabila

dilakukan secara bersama-sama. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan

individu dalam menerima dan memberi apa yang telah depelajari diantara

siswa lainnya. Setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab

masing-masing yang harus dikerjakan, sehingga tugas kelompok secara keseluruhan

dapat diselesaikan.

d. Interpersonal and Small Group Skills (Adanya Keterampilan Menjalin Hubungan Interpersonal)

Keberhasilan kelompok dipengaruhi juga oleh kesediaan para anggotanya

untuk saling mendengarkan dan mengutarakan pendapat mereka.

e. Gruop Procesing (Evaluasi Proses Kelompok)

Setiap kelompok diberi kesempatan untuk mengevaluasi proses kerja

kelompok dan hasil kerjasama mereka sebagai bahan pertimbangan agar

(21)

Selain itu, terdapat beberapa pendekatan atau tipe yang berbeda didalam tingkah

laku mengajar (sintaks) dalam pembelajaran kooperatif, dan langkah-langkahnya

sedikit bervariasi tergantung pada teknik yang digunakan. Namun secara umum

sintaks model pembelajaran kooperatif seperti pada tabel 2.1:

Tabel 2.1 Sintaks ( Tingkah Laku Mengajar) Model Pembelajaran Kooperatif

Fase Keterangan Tingkah Laku guru

1 Menyampaikan tujuan dan

memotivasi siswa

Guru menyampaikan tujuan yang akan dicapai pada pembelajaran tersebut dan memotivasi siswa untuk belajar

2 Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada

siswa dengan jalan demonstrasi atau dari sumber yang ada

3 Mengorganisasikan siswa kedalam kelompok-kelompok

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok balajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien

4 Membimbing kelompok bekerja

dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengrejakan tugasnya

5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar

tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya

6 Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk

menghargai hasil belajar siswa Wartono dkk (Ersah, 2007: 15)

B. Strategi Pembelajaran Student Team Heroic Leadership

Menurut Suherman (2003:6), pendekatan (approach) pembelajaran matematika adalah cara yang ditempuh guru dalam pelaksanaan pembelajaran agar konsep

yang disajikan dapat diadaptasikan oleh siswa. Oleh sebab itu guru diharuskan

mempunyai strategi pembelajaran yang tepat, sesuai dengan materi dan kondisi

(22)

Strategi pembelajaran adalah siasat dalam suatu pembelajaran, maka strategi

dalam pembelajaran matematika adalah siasat atau kiat yang disengaja atau sudah

direncanakan oleh guru untuk pembelajaran, berkenaan dengan segala persiapan

dalam pembelajaran, agar pelaksanaan pembelajaran dapat berjalan dengan lancar

dan tujuannya yang berupa hasil belajar bisa tercapai secara optimal. Cara

membawakan pembelajaran dapat dipilih guru itu sendiri, misalnya dengan cara

belajar kelompok, cara belajar mandiri, belajar dengan permainan, dan

sebagainya.

Salah satu strategi pembelajaran yaitu, dengan model Student Team Heroic Leadership. Student Team, yang merupakan bagian dari pembelajaran kooperatif (pembelajaran kelompok kecil). Menurut Slavin (1997), bahwa dalam student team, siswa ditempatkan dalam kelompok belajar yang beranggotakan 4 sampai 6 orang siswa. Di dalam kelompok, siswa diberikan tugas untuk berdiskusi dan pada

akhirnya diberi tes secara induvidual untuk penjajakan. Sedangkan pengertian dari

heroic leadership (kepemimpinan yang berjiwa pahlawan), kepemimpinan yang bersifat memiliki kesadaran seperti seorang pahlawan (hero).

Menurut Lowney (Setyanti, 2007: 21), kepemimpinan yang ditawarkan dalam

pembelajaran memandang bahwa:

1. Kita semua adalah pemimpin sepanjang waktu. Terkadang kepemimpinan

dilaksanakan secara langsung, dramatis, dan jelas nyata, yang lebih sering

dengan cara halus, dan sangat sulit untuk kita ukur.

(23)

kepemimpinan yang paling menarik perhatian adalah siapa dirinya. Pribadi

seseorang yang dapat memahami apa yang dianggapnya bernilai atau apa

yang diinginkannya, dan memandang dunia secara konsisten.

3. Kepemimpinan bukanlah suatu tindakan, melainkan cara hidup.

Kepemimpinan bukan tugas yang dapat dikesampingkan sewaktu kita pulang

kita pulang kerumah melainkan memerlukan suatu perilaku yang cocok

tergantung dari cara kita bertindak. Dengan kita mengetahui apa yang kita

anggap bernilai dan apa yang ingin dicapai, ia mengorientasikan dirinya pada

lingkungannya yang baru dengan berkeyakinan beradaptasi.

4. Kepemimpinan berlangsung terus menerus. Kepemimpinan pribadi

merupakan sebuah kerja tanpa akhir dan bersumber pada pemahaman diri

yang tumbuh. Pemimpin yang kuat, dapat menikmati peluang untuk terus

belajar tentang dirinya sendiri dan dunia serta menatap kedepan.

Sedangkan kesadaran kepahlawanan dalam gaya kepemimpinan heroic menurut Lowney (Setyanti, 2007: 21), yang dijelaskan meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Kesadaran diri untuk mengembangkan potensi-potensi, dengan menambah

keterampilan pribadi secara terus menerus.

2. Kesadaran mau mencari kelemahan-kelemahan diri yang dapat dipakai

sebagai titik tolak memperbaiki konsep diri.

3. Kesadaran untuk mengambil nilai manfaat dari apa yang telah dipelajari.

4. Kesadaran untuk menentukan pendirian sebagai pandangan hidup yang rela

berkorban.

5. Kesadaran untuk menyemangati diri sendiri dan orang lain dengan ambisi

(24)

Menurut Marpaung (2007:321), pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang

melayani. Didalam diri seorang pemimpin, mengalir darah pelayanan untuk

membantu orang lain dalam menemukan kepemimpinan dirinya sendiri. Baginya,

orang lain lebih penting dari pada dirinya.

Pembelajaran dengan menerapkan strategi kepemimpinan yang heroik adalah,

dimulai dengan menanamkan kesadaran diri bahwa, siswa baik dalam sebuah

kelompok maupun dalam kelas supaya merasa bahwa dirinya adalah pemimpin

yang memiliki jiwa heroik. Supaya setiap siswa merasa dirinya adalah pemimpin

yang menyadari siapa dirinya, sadar akan dirinya mau mengembangkan potensi,

menambah keterampilan, dapat melihat kelemahan, mengambil nilai manfaat, dan

kesadaran menentukan pendirian untuk bisa menyemangati dirinya sendiri

maupun temannya.

Untuk memperjelas dan membatasi model pembelajaran Student Team Heroic Leadership yang dimaksudkan, berikut beberapa penjelasan yang dimaksud: Menurut Tuhusetya (2007:42), langkah-langkah pembelajaran dengan model

Student Team Heroic Leadership

1. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dengan jumlah anggota 4 atau 5

orang

2. Pilih salah satu siswa dalam kelompok tersebut untuk dijadikan ketua

kelompok. Pemilihan ketua kelompok dilakukan secara demokratis.

(25)

4. Ketua kelompok diharapkan mampu berjiwa heroic leadership yaitu dapat membantu dan memotivasi temannya agar mereka dapat memiliki rasa

percaya diri dan dapat menguasai materi yang diberikan guru

5. Presentasi hasil diskusi dilakukan oleh salah satu anggota kelompok yang

akan dipilih oleh guru

6. Penghargaan diberikan kepada kelompok yang melakukan proses

pembelajaran dengan baik.

Dengan langkah seperti diatas diharapkan semua siswa dapat menguasai bahan

belajar dan memiliki semangat baru untuk menjadi seorang pemimpin, dan

menambah motivasi siswa untuk lebih aktif lagi dalam pembelajaran.

Menurut Tuhusetya (2007:45) kriteria siswa siswa yang dikategorikan heroic laedership atau tutor diantaranya:

1. Memiliki kemampuan akademis diatas rata-rata siswa satu kelas 2. Mampu menjalin kerja sama dengan sesama siswa

3. Memiliki motivasi tinggi untuk meraih prestasi akademik yang baik 4. Memiliki sikap toleransi dan tenggang rasa dengan sesama

5. Memiliki motivasi tinggi untuk menjadikan kelompok diskusinya sebagai kelompok yang terbaik

6. Bersikap rendah hati, pemberani, dan bertanggung jawab, dan

7. Suka membantu sesama yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran.

Peran guru dalam pembelajaran ini yaitu sebagai fasilitator dan pembimbing

terbatas. Artinya, guru disini hanya melakukan intervensi ketika betul-betul

diperlukan oleh siswa. Guru juga menilai proses kelompok yang terjadi

(26)

C. Komunikasi Matematis Siswa

Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Indonesia online;

komunikasi berarti pengiriman dan penerimaan atau berita antara dua orang atau

lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami, hubungan, dan kontak.

Komunikasi adalah cara untuk berbagi ide, gagasan dan mengklarifikasi

pemahaman kepada sesama.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses

penyampaian suatu informasi dari satu orang ke orang lain sehingga mereka

mempunyai makna yang sama terhadap informasi tersebut.

Menurut Suherman (2004), komunikasi dalam matematika merupakan suatu

peristiwa saling berhubungan atau dialog yang terjadi dalam suatu lingkaran

kelas, dimana terjadi transfer informasi yang berisi materi matematika yang

dipelajari. Kemampuan komunikasi dalam matematika juga dapat diartikan

sebagai suatu kemampuan siswa berkomunikasi dalam matematika yang meliputi

penggunaan simbol, istilah, serta informasi matematika.

Menurut Purwasih (2009: 12), bahwa matematika sebagai alat komunikasi dapat:

1.Mengemukakan dan menjelaskan pemikiran mereka tentang ide matematis 2.Merumuskan definisi matematika dan membuat generalisasi yang diperoleh

secara investigasi

3.Mengungkapkan ide matematis secara lisan dan tulisan

4.Menyajikan matematika yang dibaca dan ditulis dengan pengertian

5.Menjelaskan dan mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan matematika yang telah dibaca dan didengar

(27)

Kemampuan berkomunikasi menjadi salah satu syarat yang memegang peranan

penting karena membantu dalam proses penyusunan pikiran, menghubungkan

gagasan dengan gagasan lain sehingga dapat mengisi hal-hal yang kurang dalam

seluruh jaringan gagasan siswa. Menurut Lindquist (Ersah, 2007: 16),

menyatakan bahwa kita memerlukan komunikasi dalam matematika jika hendak

meraih secara penuh tujuan sosial, seperti melek matematika, belajar seumur

hidup, dan matematika untuk semua orang.

Secara umum, bahasa metematika menggunakan empat kategori simbol:

simbol-simbol untuk gagasan (bilangan dan elemen-elemen), simbol-simbol-simbol-simbol untuk relasi

(yang mengindikasikan bagaimana gagasan-gagasan dihubungkan atau berkaitan

satu sama lain), simbol-simbol untuk operasi (yang mengindikasikan apa yang

dilakukan dengan gagasan-gagasan), dan simbol-simbol untuk tanda baca (yang

mengindikasikan urutan di mana matematika itu diselesaikan).

Menurut Jacob (Yulianti, 2006:14), mengemukakan alasan mengapa pembelajaran

matematika terfokus pada pengkomunikasian, yaitu karena matematika

merupakan suatu alat untuk membantu berfikir, menemukan pola-pola,

menyelesaikan masalah atau menggambarkan konklusi. Selain itu matematika

merupakan suatu alat untuk mengomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat

dan cermat.

Menurut Suherman (2004), kemampuan komunikasi matematis terbagi menjadi

(28)

1. Kemampuan komunikasi tertulis

Kemampuan komunikasi matematis tertulis adalah kemampuan siswa dalam

menyampaikan gagasan dan ide dari suatu masalah secara tertulis.

Indikator kemampuan tertulis yang dikembangkan oleh Ross (Hernita, 2009: 25)

adalah sebagai berikut:

a. Menggambarkan situasi masalah dan menyatakan solusi masalah menggunakan

gambar, bagan, tabel dan secara aljabar

b. Menyatakan hasil dalam bentuk tertulis

c. Menggunakan representasi menyeluruh untuk menyatakan konsep matematis

dan solusinya

d. Membuat situasi matematika dengan menyatakan ide dan keterangan dalam

bentuk tertulis

e. Menggunakan bahasa matematis dan simbol secara tepat.

2. Kemampuan komunikasi lisan

Komunikasi lisan dalam pembelajaran matematika adalah kemampuan siswa

dalam mengungkapkan gagasan atau ide matematika secara lisan.

Adapun indikator kemampuan komunikasi lisan adalah sebagai berikut:

a. Siswa dapat menjelaskan kesimpulan yang diperolehnya

b. Siswa dapat memilih cara yang paling tepat dalam menyampaikan

penjelasannya

c. Menggunakan tabel, gambar, model, dan lain-lain untuk menyampaikan

(29)

d. Siswa dapat mengajukan suatu permasalahan atau persoalan

e. Siswa dapat menyajikan penyelesaian dari suatu permasalahan

f. Siswa dapat merespon suatu pernyataan atau persoalan dari siswa lain dalam

bentuk argumen yang meyakinkan

g. Siswa dapat menginterpretasi dan mengevaluasi ide-ide, simbol, istilah, serta

informasi matematika

h. Siswa dapat mengungkapkan lambang, notasi, dan persamaan matematika

secara lengkap dan tepat

i. Mau mengajukan pertanyaan ketika ada sesuatu yang tidak dimengerti.

Menurut Within (Setyanty, 2007), menyatakan kemampuan komunikasi menjadi

penting ketika diskusi antar siswa dilakukan, dimana siswa diharapkan mampu

menyatakan, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan

bekerjasama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam

tentang matematika. Anak-anak yang diberikan kesempatan untuk bekerja dalam

kelompok dalam mengumpulkan dan menyajikan data, mereka menunjukkan

kemajuan baik di saat mereka saling mendengarkan ide yang satu dan yang lain,

mendiskusikannya bersama kemudian menyusun kesimpulan yang menjadi

pendapat kelompoknya. Ternyata mereka belajar sebagian besar dari

berkomunikasi dan mengkontruksi sendiri pengetahuan mereka.

Sedangkan menurut Sumarmo (2003) komunikasi matematis meliputi kemampuan

siswa:

a. Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematika

(30)

c. Menyatakan sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika d. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika e. Membaca dengan pemahaman atau presentasi matematika tertulis

f. Membuat konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi dan generalisasi

g. Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.

Sedangkan Wardhani (2008,19), menyatakan bahwa komunikasi matematis

meliputi:

a. Komunikasi ide-ide, gagasan pada operasi atau pembuktian matematika banyak

melibatkan kata-kata, lambang matematis, dan bilangan.

b.Menyajikan persoalan atau masalah ke dalam model matematika yang berupa

diagram, persamaan matematika, grafik, ataupun tabel.

c. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

untuk memperjelas keadaan atau masalah.

Adapun kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah, kemampuan untuk mempresentasikan permasalahan atau ide dalam

matematika baik secara lisan maupun tulisan dengan menggunakan benda nyata,

grafik, atau tabel, serta dapat menggunakan simbol-simbol matematika, yang

diperoleh melalui pengalaman yang dialami.

Untuk mengukur tingkat kemampuan komunikasi siswa dalam diskusi, indikator

yang dikemukakan oleh Djumhur (Hernita, 2009: 27) dapat dijadikan sebagai

patokannya. Indikator tersebut adalah:

a. Siswa ikut menyampaikan pendapat tentang masalah yang sedang dibahas

b. Siswa berpartisipasi aktif dalam menanggapi pendapat yang diberikan oleh

(31)

c. Siswa mau mengajukan pertanyaan ketika ada sesuatu yang tidak dimengerti

atau kurang dimengerti

d. Mendengarkan secara serius ketika siswa lain mengemukakan pendapat

Adapun indikator untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis, adalah:

a. Menyatakan gambar, simbol, ide, dan model matematika

b. Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematika secara lisan maupun tulisan

c. Menulis reperentasi matematika

d. Mengungkapkan kembali suatu uraian matematika dengan bahasa sendiri

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini, yaitu:

Rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran

kooperatif tipe STHL lebih tinggi daripada rata-rata kemampuan komunikasi

(32)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Populasi dan Sampel

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 19 Bandar Lampung. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII semester genap SMP Negeri 19

Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013 yang terdiri atas delapan kelas. Dari

delapan kelas yang ada, terdapat satu kelas unggulan, yaitu kelas VIII D dan tujuh

kelas yang lain mempunyai kemampuan yang relatif sama. Pengambilan sampel

dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive random sampling, yaitu dengan mengambil dua kelas yang memiliki nilai rata-rata yang sama pada mata

pelajaran matematika pada ujian semester ganjil. Maka didapat kelas yang

menjadi sampel dalam penelitian ini adalah kelas VIII F dengan jumlah siswa 36

orang sebagai kelas eksperimen, yaitu kelas yang mengikuti model pembelajaran

kooperatif tipe STHL dan kelas VIII E dengan jumlah siswa 36 orang sebagai

kelas kontrol, yaitu kelas yang mengikuti pembelajaran konvensional.

3.2 Desain Penelitian

Desain yang digunakan adalah pre-test post-test control group design. Perlakuan yang dilakukan terhadap variabel bebas akan dilihat hasilnya pada varibel terikat.

Dalam penelitian ini pengaruh dari pembelajaran matematika dengan

(33)

kemampuan komunikasi matematis siswa (variabel terikat). Sebagaimana yang

[image:33.595.116.517.180.231.2]

di-kemukakan Furchan (2007: 368) pada Tabel 3.1:

Tabel 3.1 Desain Penelitian

Kelompok Pre-test Perlakuan Post-test

E Y1 X Y2

P Y1 C Y2

keterangan:

E = Kelas eksperimen P = Kelas kontrol

X = Perlakuan pada kelas eksperimen yang mengikuti model pembelajaran

Student Team Heroic Leadership

C = Perlakuan pada kelas kontrol yang mengikuti pembelajaran konvensional Y1 = Nilai pre-test

Y2 = Nilai post-test

3.3Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Melakukan penelitian pendahuluan

2. Tahap persiapan

a. Menentukan bahan ajar yang akan dilakukan dalam penelitian

b. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

c. Menyusun Lembar Kerja Kelompok (LKK) yang akan diberikan kepada

siswa saat diskusi kelompok

d. Menyusun dan membuat instrumen penelitian

e. Mengujicobakan instrumen tes

(34)

3. Tahap pelaksanaan

a. Memilih sampel sebanyak dua kelas yang akan dijadikan sebagai kelas

eksperimen dan kelas kontrol

b. Memberikan pretest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol

c. Membagi siswa dalam kelompok yang beranggotakan 4 sampai 6 siswa,

siswa dipilih secara acak

d. Melaksanakan pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran

matematika dengan model Student Team Heroic Leadership pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvesional pada kelas kontrol

e. Melakukan postest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol f. Mengolah data dan menganalisis data hasil penelitian

g. Membuat interprestasi dan kesimpulan penelitian berdasarkan hipotesis

yang telah dirumuskan

3.4Data Penelitian

Data dalam penelitian ini adalah data kemampuan komunikasi matematis siswa

yang diperoleh dari nilai pretest (dilaksanakan diawal pembelajaran) dan nilai

postest (dilaksanakan di akhir pembelajaran) yang berupa data kuantitatif.

3.5 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, instrumen penelitian yang digunakan adalah berupa soal

(35)

Berikut beberapa penjelasan dari instrumen yang digunakan, yaitu:

1. Tes awal (pretest) dan Tes akhir (postest)

Tes awal digunakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa terhadap

pokok bahasan materi garis singgung lingkaran. Tes ini berbentuk tes uraian,

karena dengan menggunakan tes uraian maka kemampuan komunikasi

matematis siswa dapat dilihat melalui langkah-langkah dalam penyelesaian

soal dan guru dapat mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dalam

penyelesaian soal. Tes akhir (postest) merupakan tes yang dibuat untuk mengukur kemampuan komunikasi siswa setelah dilakukan pembelajaran. Tes

ini berbentuk tes uraian yang berkaitan pokok bahasan yang bersangkutan.

Alat pengumpul data yang baik dan dapat dipercaya adalah yang memiliki

tingkat validitas dan reliabilitas yang tinggi. Oleh karena itu, instrumen

evaluasi berupa tes, diuji cobakan terlebih dahulu kepada siswa yang telah

mempelajari materi yang akan dipelajari. Kemudian data hasil uji coba

diperoleh dan dianalisis untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya.

Setelah itu setiap butir soal dianalisis maka diketahui indeks kesukaran dan

daya pembedanya.

a. Validitas tes

Validitas tes dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi dari tes

komunikasi matematis ini dapat diketahui dengan cara membandingkan isi

yang terkandung dalam tes komunikasi matematis dengan indikator

pembelajaran yang telah ditentukan. Hal tersebut sesuai dengan yang

(36)

validitas isi adalah dengan pendekatan rasional, yaitu membandingkan

antara kisi-kisi soal dengan butir soalnya. Dalam kisi-kisi soal dimuat data

tentang pokok bahasan dan subpokok bahasan. Validitas tes ini

dikonsultasikan dengan dosen pembimbing terlebih dahulu kemudian

dikonsultasikan kepada guru mata pelajaran matematika kelas VIII SMP

Negeri 19 Bandar Lampung.

Penilaian terhadap kesesuaian isi tes dengan isi kisi-kisi tes yang diukur

dan kesesuaian bahasa yang digunakan dalam tes dengan kemampuan

bahasa siswa dilakukan dengan menggunakan daftar check list (√) oleh guru. Hasil penilaian terhadap tes untuk mengambil data penelitian telah

memenuhi validitas isi (Lampiran B.4).

Selanjutnya instrumen tes diujicobakan pada kelompok siswa yang berada

di luar sampel penelitian. Uji coba dilakukan pada siswa kelas IX D. Uji

coba instrumen tes dimaksudkan untuk mengetahui tingkat reliabilitas tes,

tingkat kesukaran butir tes, dan daya beda butir tes.

b. Reliabilitas

Menurut Russeffendi (2005: 158), reliabilitas instrumen atau alat evaluasi

adalah ketetapan alat evaluasi dalam mengukur sesuatu dari siswa. Suatu

alat evaluasi dikatakan reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika

(37)

Menurut Suherman (2003: 153) rumus yang digunakan untuk mencari

koefisien reliabilitas bentuk uraian dikenal dengan rumus Alpha seperti

dibawah ini.

11 = �

� −1 1− �2

2

Keterangan :

n = banyak butir soal

�2 = jumlah varians skor setiap item

2 = varians skor total

Untuk mencari varian digunakan rumus :

2 =

2( �)2 � �

Untuk kofisien reliabilitas yang menyatakan derajat keterandalan alat

evaluasi, dinyatakan dengan r11.

Antara 0,00 s.d 0,20 : Reliabilitas sangat rendah Antara 0,20 s.d 0,40 : Reliabilitas rendah

Antara 0,40 s.d 0,70 : Reliabilitas sedang Antara 0,70 s.d 0,90 : Reliabilitas tinggi

Antara 0,90 s.d 1,00 : Reliabilitas sangat tinggi

Setelah menghitung reliabilitas instrumen tes, diperoleh nilair11= 0,88

(Lampiran C.1). Berdasarkan pendapat Suherman tersebut, harga

11 r

tersebut telah memenuhi kriteria tinggi karena koefisien reliabilitasnya

antara 0,70 s.d 0,90. Oleh karena itu, instrumen tes matematika tersebut

(38)

c. Daya pembeda

Daya pembeda dari sebuah butir soal adalah kemampuan butir soal

tersebut membedakan siswa yang mempunyai kemampuan tinggi dengan

siswa yang berkemampuan rendah. Menurut Russeffendi (1997), untuk

perhitungan daya pembeda soal dalam penelitian ini mengunakan rumus:

= � − �

���

Keterangan :

DP = daya pembeda

XA = rata-rata skor siswa kelompok atas XB = rara-rata skor siswa kelompok bawah SMI = skor minimum ideal

Sedangkan klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda yang banyak

digunakan adalah sebagai berikut:

DP ≤0,00 sangat jelek 0,00 < DP ≤ 0,20 jelek

0,20 < DP ≤ 0,40 sedang 0,40 < DP ≤ 0,70 baik

0,70 < DP ≤ 1,00 sangat baik

Setelah menghitung daya pembeda soal, diperoleh bahwa soal nomor 1 memiliki interpretasi daya beda 0,33 sehingga termasuk soal dengan kategori sedang, soal nomor 2 memiliki interpretasi daya beda 0,33

(39)

kategori sedang yaitu butir soal nomor 1, 2, 3, dan 4, serta 1 soal dengan kategori baik yaitu butir soal nomor 5 (Lampiran C.2).

d. Indeks kesukaran

Indeks kesukaran menyatakan derajat kesukaran sebuah soal. Rumus

untuk menentukan indeks kesukaran (IK), yaitu:

�� = �

���

Keterangan : IK = Indeks Kesukaran X = rata-rata skor tiap soal SMI = Skor Maksimum Ideal

Menurut Suherman (2003: 170) untuk mengetahui interpretasi mengenai

besarnya indeks kesukaran alat evaluasi yang banyak digunakan adalah

sebagai berikut:

IK = 0,00 soal terlalu sukar

0,00 < IK ≤ 0,30 soal sukar

0,31 < IK ≤ 0,70 soal sedang 0,70 < IK < 1,00 soal mudah

IK = 1,00 soal terlalu mudah

Kriteria yang akan digunakan dalam instrumen tes komunikasi matematis

adalah 0,31 <TK < 1 , yaitu soal memiliki indeks kesukaran yang sedang atau mudah.

(40)

0,69 sehingga termasuk kategori soal yang sedang, dan soal nomor 5 memiliki interpretasi indeks kesukaran 0,76 sehingga termasuk kategori soal yang mudah. Dari 5 soal tersebut, dapat diketahui bahwa 2 soal memiliki tingkat kesukaran dengan kategori mudah yaitu butir soal nomor 1 dan 5, serta 3 soal dengan kategori sedang yaitu butir soal nomor 2, 3,dan 4 (Lampiran C.2).

Berdasarkan hasil uji coba validitas butir soal, reliabilitas tes, daya

pembeda, dan indeks kesukaran setiap butir soal yang telah diuraikan di

[image:40.595.147.538.378.510.2]

atas, maka hasil tes uji coba tersebut direkap pada tabel berikut:

Tabel 3.2 Rekapitulasi Hasil Tes Uji CobaPre-Test

No Soal Validitas Reliabilitas Tingkat Kesukaran Daya Pembeda

1

Valid 0.88 (tinggi)

0,77 (mudah) 0,33 (baik)

2 0,67 (sedang) 0,33 (baik)

3 0,67(sedang) 0,31 (baik)

4 0,69 (sedang) 0,33 (baik)

5 0,76 (mudah) 0,5 (sangat baik)

Dari tabel rekapitulasi hasil tes uji coba soal diatas, terlihat bahwa kelima

komponen tersebut telah memenuhi kriteria yang ditentukan, sehingga

kelima butir soal tersebut dapat digunakan untuk mengukur kemampuan

komunikasi matematis siswa.

3.6Analisis Data

(41)

mempunyai kemampuan awal yang sama sebelum pembelajaran. Sebelum

melakukan analisis kesamaan dua rata-rata perlu dilakukan uji prasyarat, yaitu

uji normalitas dan homogenitas data.

1. Uji normalitas

Dilakukan untuk mengetahui apakah data kedua kelas sampel berasal dari

populasi yang berdistribusi normal atau tidak

Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan rumus Chi

Kuadrat sesuai dengan pendapat Sudjana (2005:273), sebagai berikut:

a. Hipotesis

Ho : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

H1 : sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal

b. Taraf signifikan : α = 0,05 c. Statistik uji

�ℎ� ��2 = ( �− �) 2

�=1

Keterangan:

X2=harga Chi-kuadrat

�= frekuensi harapan

�= frekuensi yang diharapkan = banyaknya pengamatan d. Keputusan uji

Terima H0 jika �ℎ� ��2 �2 dengan χ2 1−∝ ( 3), dk = k – 3

(42)

1 1 1 2 1 1 2 ) 1 ( R n n n n

U     

2 2 2 2 1 2 2 ) 1 ( R n n n n

[image:42.595.133.533.112.161.2]

U     

Tabel 3.3 Rekapitulasi Uji Normalitas Data Pre-test

Kelas �� �� �� Keputusan Uji Keterangan

Eksperimen 12,1 9,49 H1 diterima Tidak Normal

Kontrol 5,14 9,49 H0 diterima Normal

Berdasarkan kriteria pengujian, maka tolak Ho karena x2hitung > x² tabel, yaitu

data pretest sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal (Lampiran C.5 dan C.6).

2. Uji Kesamaan Dua Rata-rata

Karena data tidak berdistribusi normal maka uji kesamaan dua rata-rata

pretest dilakukan dengan uji Mann-Whitney atau uji U. Hipotesis uji:

H0 : 1 2 (Rata-rata kemampuan komunikasi matematis dengan

menggunakan metode pembelajaran STHL sama dengan

rata-rata kemampuan komunikasi matematis dengan pembelajaran

konvensional).

H1 : 1 2 (Rata-rata kemampuan komunikasi matematis dengan

menggunakan metode pembelajaran STHL tidak sama dengan

kemampuan komunikasi matematis dengan pembelajaran

konvensional).

(43)

2 . )

(U n1n2

E

12

1 ) (

. 2 1 2

1  

n n n n

UU U E U Z  ) (   

Dari kedua nilai U tersebut yang digunakan ialah nilai U yang kecil, karena

sampel lebih dari 20, maka digunakan pendekatan kurva normal dengan

mean:

standar deviasi dalam bentuk:

nilai standar dihitung dengan:

kriteria pengambilan keputusan adalah:

H0 diterima apabila

2 2

'

Z Z

Z  

 ,selain itu H0 ditolak.

Kriteria pengujian adalah terima H0 jika Z hitung terletak antara -1,96 dan

[image:43.595.143.384.451.563.2]

1,96. Dalam hal lainnya H0 ditolak.

Tabel 3.4 Hipotesis Uji Mann-Withney Pretest

Dari nilai uji Mann-Whitney U, dapat kita lihat pada output Test Statistic

dimana nilai statistik uji Z yaitu -0,161 dan nilai Sig. (2-tailed) adalah

0,872>0,05. Karena itu hasil uji tidak signifikan secara statistik, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata kedua kelompok tidak

berbeda secara signifikan (Lampiran C7).

NILAI

Mann-Whitney U 634,000

Wilcoxon W 1300,000

Z -0,161

(44)

Karena kemampuan awal kedua kelas tidak berbeda secara signifikan, maka

untuk pengujian hipotesis di analisis dengan menguji perbedaan hasil

postestnya. Untuk data skor post-test kelas eksperimen dan kelas kontrol dianalisis menggunakan uji ketaksamaan dua rata-rata untuk mengetahui

perlakuan mana yang lebih tinggi antara pembelajaran kooperatif tipe STHL

dengan pembelajaran konvensional. Sebelum melakukan analisis

ketaksamaan dua rata-rata perlu dilakukan uji prasyarat, yaitu uji normalitas

dan homogenitas data.

1. Uji normalitas

Dilakukan untuk mengetahui apakah data kedua kelas sampel berasal dari

populasi yang berdistribusi normal atau tidak

Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan rumus Chi

Kuadrat sesuai dengan pendapat Sudjana (2005:273), sebagai berikut:

a. Hipotesis

Ho : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

H1 : sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal

b. Taraf signifikan : α = 0,05 c. Statistik uji

�ℎ� ��2 = ( �− �) 2

�=1

Keterangan:

X2=harga Chi-kuadrat

�= frekuensi harapan

(45)

d. Keputusan uji

Terima H0 jika �ℎ� ��2 �2 dengan χ2 1−∝ ( 3), dk = k – 3.

[image:45.595.130.528.200.250.2]

Setelah melakukan perhitungan data postest, maka diperoleh :

Tabel 3.5 Rekapitulasi Uji Normalitas Data Post-test

Kelas �� �� �� Keputusan Uji Keterangan

Eksperimen 4,959 9,49 H0 diterima Normal

Kontrol 11 9,49 H1 diterima Tidak Normal

Berdasarkan kriteria pengujian, maka tolak Ho karena x2hitung > x² tabel, yaitu

data post-test sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal (Lampiran C.10 dan C.11).

2. Uji Kesamaan Dua Rata-rata

Karena data tidak berdistribusi normal maka uji kesamaan dua rata-rata

dilakukan dengan uji Mann-Whitney atau uji U. Hipotesis uji:

H0 : 1 2 (Rata-rata kemampuan komunikasi matematis dengan

menggunakan metode pembelajaran STHL sama dengan

rata-rata kemampuan komunikasi matematis dengan pembelajaran

konvensional).

H1 : 1 2 (Rata-rata kemampuan komunikasi matematis dengan

menggunakan metode pembelajaran STHL tidak sama dengan

kemampuan komunikasi matematis dengan pembelajaran

(46)

1 1 1 2 1 1 2 ) 1 ( R n n n n

U     

2 2 2 2 1 2 2 ) 1 ( R n n n n

U     

2 . )

( n1n2

U E  12 1 ) (

. 2 1 2

1  

n n n n

UU U E U Z  ) (   

Menurut Suherman (2003) untuk menghitung nilai statistik uji Mann-Whitney U, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.

Dari kedua nilai U tersebut yang digunakan ialah nilai U yang kecil, karena

sampel lebih dari 20, maka digunakan pendekatan kurva normal dengan

mean:

standar deviasi dalam bentuk:

nilai standar dihitung dengan:

kriteria pengambilan keputusan adalah:

H0 diterima apabila

2 2

'

Z Z

Z  

[image:46.595.164.379.509.616.2]

 ,selain itu H0 ditolak.

Tabel 3.6 Hipotesis Uji Mann-Withney Post-test

NILAI

Mann-Whitney U 332,500

Wilcoxon W 998,500

Z -3,570

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,000

Dari nilai uji Mann-Whitney U, dapat kita lihat pada output Test Statistic

dimana nilai statistik uji Z yaitu -3,570 dan nilai Sig. (2-tailed) adalah

0,00<0,05. Karena U taraf signifikan dibawah 0,05 berada pada daerah penerimaan H1 demikian dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata kedua

(47)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan diperoleh simpulan bahwa peningkatan rata-rata

kemampuan komunikasi matematis siswa yang menggunakan model

pembelajaran koopertif tipe STHL lebih tinggi dari pada siswa yang

mengggunakan model pembelajaran konvesional pada siswa SMPN 19 Bandar

Lampung. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti

pembelajaran dengan metode pembelajaran koopertif tipe STHL menunjukkan

hasil yang lebih tinggi daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran

konvensional.

A. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis mengemukakan saran-saran sebagai

berikut.

1. Kepada guru, dalam upaya meningkatkan kemampuan komunikasi matematis

dan pencapaian indikator kemampuan komunikasi matematis siswa,

disarankan untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STHL

dalam pembelajaran matematika di kelas. Khususnya kepada guru

(48)

pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STHL agar

terjadi pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STHL

yang optimal sehingga kemampuan komunikasi matematis siswa SMPN 19

Bandarlampung dapat meningkat lebih baik dari sebelumnya.

2. Kepada peneliti lain disarankan untuk melakukan penelitian dalam jangka

waktu yang lebih lama. Hal ini bertujuan agar kondisi kelas sudah kondusif

saat dilakukan pengambilan data, sehingga data dapat menggambarkan

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, M. (2009). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMA Melalui Penerapan Pembelajaran Generatif. Skripsi Sarjana Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan. [0nline] tersedia:http://repository.upi.edu/skripsiview.php?no_skripsi=9369.[10 november].

Amalia, L. (2006). Penerapan Metode Improve Dalam Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Komputer Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Skripsi Pada Jurusan Pendidikan

Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan [online]

tersedia:http://repository.upi.edu/skripsilist.php.[10 november].

As’ari, Abdurrahman. (2003). Pembelajaran Matematika Dengan Cooperatif Learning. Makalah

Ersah, S. (2007). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Two Stay Two Stray Terhadap Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMA. Skripsi Sarjana Pendidikan Matematika FPMIPA UPI

Bandung: Tidak diterbitkan.

[online]tersedia:http://repository.upi.edu/skripsilist.php.[10 november].

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta Hernita. (2009). Pengaruh Model Advance Organizer Dalam Pembelajaran

Matematika Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMA. Skripsi Pada Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.[online]tersedia:http://repository.upi.edu/skripsilist.php.[10 november].

(50)

Bandung: Tidak diterbitkan. [online]tersedia: http://repository.upi.edu/skripsiview.php?no_skripsi=2676. [10 november]

Rohaeti, A. (2009). Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP) Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMA. Skripsi Sarjana Pendidikan Matematika

FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

[online]tersedia:http://repository.upi.edu/skripsiview.php?no_skripsi=5444. [10 november]

Ruseffendi, E.T. (1998). Dasar-dasar Penelitian dan Bidang Noneksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Pres

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematuka Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito

Setyanty, Desy R. (2007). Efektifitas Pembelajaran Matematika Bangun Ruang dengan Strategi Student Team Heroic Leadership dan Pemberian Tugas Terstruktur pada Peserta Didik Kelas VIIII SMP N 15 Semarang. Skripsi Sarjana Pendidikan Matematika FMIPA UNS Semarang: Tidak diterbitkan.

Slavin, R.E. (1997). Educational Psychology: Theory and Practice. First edition. Massachusetts. Allyn and Boston Publiser.

Sofian, A. (2006). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kooperatif Tipe Jigsaw untuk Meningkatkan Kemampuan Metakognisi Matematika Siswa SMP. Skripsi Sarjana Pendidikan Matematika FPMIPA UPI

Bandung: Tidak diterbitkan. [online]tersedia:

http://repository.upi.edu/skripsilist.php.[10 november].

Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito

Sudjana, N. (2009). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Rosdakarya

Suherman, dkk. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. JICA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Suherman, E. (2004). Model-Model Pembelajaran Matematika. Makalah. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan LPMP Bandung.

(51)
(52)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP 1)

Sekolah : SMP Negeri 19 Bandar Lampung

Mata Pelajaran : Matematika Kelas / Semester : VIII / 2

Alokasi waktu : 4 x 40 menit (2 kali pertemuan)

Standar Kompetensi : 6. Menentukan unsur, bagian lingkaran serta ukurannya.

Kompetensi Dasar : 6.1. Sifat-sifat garis singgung lingkaran.

A. Indikator

1. Kognitif

1. Siswa dapat mengenal garis singgung lingkaran

2. Siswa dapat mengetahui sifat-sifat garis singgung lingkaran 3. Siswa dapat melukis garis singgung lingkaran

2. Afektif

a. Nilai karakter:

1. Teliti 2. Kreatif

3. Pantang menyerah 4. Rasa ingin tahu

b. Keterampilan sosial:

1. Kerjasama 2. Tenggang rasa

B. Tujuan Pembelajaran

1. Kognitif

Jika siswa diberikan beberapa petunjuk mengenai sifat-sifat garis singgung lingkaran, maka melalui diskusi siswa dapat mengenal garis singgung lingkaran, siswa dapat menemukan sifat-sifat garis singgung lingkaran, siswa dapat menyebutkan sifat-sifat garis singgung lingkaran, dan siswa dapat mengkomunikasikan secara lisan atau mempresentasikan mengenai cara menemukan sifat-garis singgung lingkaran

2. Afektif a. Karakter

(53)

1. Teliti

yaitu, siswa cermat, seksama dalam mempelajari suatu konsep di dalam materi pembelajaran dan dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru

2. Kreatif

yaitu, siswa mampu mengkombinasikan, memecahkan atau menjawab suatu permasalahan pada saat proses pembelajaran dan dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru

3. Pantang menyerah,

yaitu, siswa tidak mudah putus asa, giat, dan antusias dalam mempelajari suatu konsep di dalam materi pelajaran dan dalam mengerjakan tugas yang diberikan dan mencari penyelesaian dari suatu permasalahan selama proses pembelajaran

4. Rasa ingin tahu,

yaitu,siswa mempunyai minat yang besar untuk bertanya, menggali,

dan memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru dan dalam

memecahkan suatu masalah, misalnya dengan cara aktif berdiskusi dan aktif bertanya

b. Keterampilan Sosial

Dalam proses pembelajaran yang berpusat pada siswa dan siswa diberikan kesempatan untuk melakukan penilaian terhadap kesadaran dalam menunjukkan keterampilan sosial:

1. Dalam diskusi kelompok, siswa dapat saling bekerjasama dalam kelompoknya masing-masing untuk menyelesaikan masalah dengan baik

2. Dalam diskusi kelompok, siswa memiliki sikap tenggang rasa, yaitu siswa saling menghargai antaranggota kelompok dan saling menghargai ide-ide anggota kelompok

C. Materi Pembelajaran : Garis singgung lingkaran

D. Metode Pembelajaran : Model pembelajaran Student Team Heroic Leadership

E. Langkah-langkah Kegiatan

Kegiatan Awal (10 menit)

No Kegiatan Karakter Tahap Alokasi

Waktu 1. Guru mengucapkan salam lalu

melakukan apersepsi, antara lain mengenai sifat garis singgung

lingkaran dan melukis garis singgung lingkaran serta menyampaikan tujuan

Rasa ingin tahu

(54)

2. Untuk memotivasi siswa mempelajari kompetensi ini, guru menyampaikan beberapa hal yang ada dalam

kehidupan sehari-hari yang terkait dengan sifat-sifat garis singgung lingkaran.

Teliti dan rasa ingin tahu

3. Siswa diberikan pengarahan tentang langkah-langkah model pembelajaran koopetratif tipe Student Team Heroic

Leadership.

Teliti dan rasa ingin tahu

Kegiatan inti (60 menit)

No Kegiatan Karakter Tahap Alokasi

Waktu 1 Guru membentuk kelompok,

masing-masing kelompok terdiri dari 5 siswa .

Menjadi pendengar yang baik

5 menit

2 Guru memilih salah satu siswa untuk mejadi pemimpin dalam setiap kelompok

Teliti dan rasa ingin tahu

3 menit

3. Guru membagikan Lembar Kerja Kelompok (LKK)

kepada setiap siswa. * LKK-1 terlampir

- 2 menit

4 Siswa mengerjakan LKK secara kelompok. Guru memperhatikan dan memotivasi siswa.

Teliti, kreatif

Team 15 menit

5 Guru menginformasikan kepada pemimpin kelompok, untuk mengecek apakah semua anggota kelompoknya telah memahami materi pada LKK. Guru

memperhatikan, memotivasi, dan memberikan bantuan apabila dibutuhkan. Teliti, kreatif, pantang menyerah dan rasa ingin tahu

Leadership 15 menit

6 Guru menginformasikan bahwa waktu berdiskusi telah habis , lalu guru memilih salah satu anggota kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Salah satu anggota kelompok mempresentasikan hasil diskusinya sementara pasangan lain bertanya ataupun menggapi.

Teliti, kreatif, pantang menyerah dan rasa ingin tahu

(55)

Kegiatan Penutup (10 menit)

No. Kegiatan Karakter Tahap Alokasi

Waktu 1. Guru mengondisikan siswa agar

mempelajari/membaca materi untuk pertemuan berikutnya

Rasa ingin tahu

- 10 menit

2. Guru menutup pela

Gambar

Tabel 2.1 Sintaks ( Tingkah Laku Mengajar) Model Pembelajaran Kooperatif
Tabel 3.1 Desain Penelitian
Tabel 3.2 Rekapitulasi Hasil Tes Uji CobaPre-Test
Tabel 3.3  Rekapitulasi Uji Normalitas Data Pre-test
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara sikap proaktif dengan kecenderungan pembelian impulsif pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Jika faktor-faktor seperti supervisi keperawatan terhadap kinerja perawat, insentif yang diterima oleh perawat dan terdapat motivasi perawat dalam melaksanakan tugasnya

Murty (2000) menjelaskan bahwa faktor sejarah sebagai salah satu faktor utama penyebab disparitas antar wilayah dimana tingkat perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah

Pada hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatan hasil belajar siswa yang signifikan pada ranah kognitif, antara penggunaan media trainer

Bobot jenis dan kuat tarik film paduan tepung tapioka-kitosan terplastisasi gliserol meningkat seiring bertambahnya jumlah kitosan, dengan nilai tertinggi diperoleh pada

Metode k-rataan dengan 14 indikator mengelompokkan rumah tangga paling banyak berada pada tingkat kerentanan sangat rendah sebanyak 45.28 persen yang berarti bahwa sebagian besar

Tahun Jumlah Rumah Sakit Jumlah Puskesmas Jumlah Apotek Jumlah Toko Obat Jumlah Klinik/Balai Pengobatan Jumlah Posyandu Dokter Bidan Mantri/ Tenaga medis lainnya

Berdasarkan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh keluarga Ibu Ni Ketut Kinten tersebut, penulis menetapkan prioritas permasalahan keluarga Ibu Ni Ketut Kinten adalah