• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cold Chain Optimization and Shipment Schedule for Increasing Vegetables Export (Case Study of Lowland Vegetables Processing Unit in Pekanbaru, Riau)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Cold Chain Optimization and Shipment Schedule for Increasing Vegetables Export (Case Study of Lowland Vegetables Processing Unit in Pekanbaru, Riau)"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI RANTAI DINGIN DAN PENJADWALAN KIRIM

UNTUK PENINGKATAN EKSPOR SAYURAN

(Studi Kasus Unit Prosesing Sayuran Dataran Rendah

di Pekanbaru Riau)

Mohammad Khamsi Purnama

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimasi Rantai Dingin dan Penjadwalan Kirim untuk Peningkatan Ekspor Sayuran (Studi Kasus Unit Prosesing Sayuran Dataran Rendah di Pekanbaru Riau) adalah karya saya dengan dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

(3)

ABSTRACT

MOHAMMAD KHAMSI PURNAMA. Cold Chain Optimization and Shipment Schedule for Increasing Vegetables Export (Case Study of Lowland Vegetables Processing Unit in Pekanbaru, Riau). Under direction of EMMY DARMAWATI and I WAYAN BUDIASTRA

Post harvest losses of horticultural products that occur in developing countries such as Indonesia have reached 1-50%. This study is an attempt to reduce postharvest losses of caisin and pak choi in the vegetable processing unit, Pekanbaru-Riau. The study was began by identifying of existing posharvest handling of vegetables, optimization of hydrocooling and storage temperature and optimization of vegetables export schedule. There was two of hydrocooling treatments and one control: without immersion(32oC) (A1), immersion in wells water(28oC) (A2) and soaking with ice water(5oC) (A3), and two cold chain temperature treatments: 4oC (B1) and 0oC (B2). The parameters observed were weight loss, leaf discoloration and organoleptic test. Postharvest handling in the processing unit consisted of harvesting, transportation to packing house, air precooling, trimming and sortation, packaging and storage. The losses of existing postharvest handling was 17,86% and 22,77% for caisin and pak choi. The results showed that hydrocooling of caisin and pak choi gave significant effect to weight loss. The combination of hydrocooling and storage temperature gave also significant effect to weight loss. Meanwhile, total weight losses for caisin on hydrocooling at 28oC and storage at 4oC and pak choi on hydrocooling at 28oC and storage at 0oC combination treatment gave the smallest weight loss influence about 7,83% and 8,35% respectively. The hydrocooling at 28oC and storage at 4oC (caisin) and 0oC(pak choi) is optimum postharvest treatment for decreasing weight losses. The results showed that hydrocooling treatment for both caisin and pak choi did not significantly affect to leaf color (L, a, and b). While combination of hydrocooling and storage temperature provided a significant effect on leaf color. The export optimization is reached by scheduling vegetables delivery during the period of a month.

(4)

RINGKASAN

MOHAMMAD KHAMSI PURNAMA. Optimasi Rantai Dingin dan Penjadwalan Kirim untuk Peningkatan Ekspor Sayuran (Studi Kasus Unit Prosesing Sayuran Datran Rendah di Pekanbaru Riau). Dibimbing oleh EMMY DARMAWATI dan I WAYAN BUDIASTRA.

Permasalahan yang ada pada produk sayuran adalah rentannya sayuran segar terhadap kemunduran mutu kesegaran dan kerusakan mekanis yang terjadi selama proses penanganan pascapanen hingga sampai ketangan konsumen, semuanya tergantung pada komoditas, lokasi panen dan musim. Perkiraan kehilangan pascapanen pada negara berkembang sangat bervariasi mulai dari 1% sampai 50% bahkan lebih (FAO 1981; National Academy of Science 1978 diacu dalam Kader 2002). Kandungan air yang tinggi pada sayuran menyebabkan penanganan, pengangkutan dan pemasarannya menjadi masalah khusus terutama di daerah tropika (Williams et all. 1991).Kemunduran mutu kesegaran sayuran terjadi karena karakteristik fisiologis pasca panen yang masih aktif melaksanakan metabolisme. Ditambah lagi adanya kecenderungan penyimpanan, transportasi, distribusi, dan pemasarannya yang memerlukan waktu relatif panjang, adanya waktu pemajangan pada pedagang eceran, dan waktu penundaan penyiapan atau pengolahan untuk dikonsumsi di tingkat rumah tangga.

Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan pada produk sayuran adalah dengan menjaga suhu optimum produk mulai saat panen sampai produk berada di tangan konsumen. Untuk mengendalikan aktivitas metabolisme dan meningkatkan daya tahan sayur dapat dilakukan dengan menaikkan kelembaban relatif udara (90-95%), menurunkan suhu penyimpanan (0-15oC), serta mengurangi pertukaran udara dengan menggunakan kemasan yang tepat (Vita . et al. 2006). Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: (1) melakukan identifikasi susut bobot dalam rantai dingin sayuran dataran rendah, (2) melakukan optimasi rantai dingin dalam penanganan pascapanen sayuran dataran rendah dan (3) Melakukan optimasi ekspor melalui penjadwalan pengiriman produk.

Penelitian dilakukan di Unit Prosesing Sayuran dataran rendah di Pekanbaru, Riau dan laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Pertanian, FATETA, IPB, pada bulan Maret 2010 sampai dengan Mei 2010.

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah pak choi (xiao bay chay) dan caisin (chay sin) yang dipanen pada umur 30 – 35 hari setelah tanam, plastik kemasan dan karton untuk mengemas produk. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah timbangan digital merk ACS type 788, kamera digital merk SONY cyber-shot 12,1 mega pixels dan chromamater Konica Minolta, refrigerator, thermometer dan stopwacth.

(5)

mengukur waktu dengan menggunakan stopwatch yang akan menjadi acuan dalam penelitian tahap II serta mengukur susut bobot yang terjadi.

Penelitian Tahap II: Penelitian tahap II adalah untuk menguji kombinasi perlakuan precooling(hydrocooling) dan suhu penyimpanan pada sayuran dataran rendah jenis caisin dan pak choi terhadap susut bobot dan perubahan warna serta penerimaan konsumen selama penanganan pascapanen. Penelitian disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 2 faktor untuk melihat pengaruh kombinasi perlakuan hydrocooling dengan suhu penyimpanan, faktor pertama yaitu perlakuan hydrcooling dengan 3 taraf yaitu A1=tanpa hydrocooling

; A2=hydrocooling dengan menggunakan air bersuhu 27-29oC; A3=hydrocooling

dengan menggunakan air es pada kisaran suhu 4-6oC. Faktor kedua adalah perlakuan suhu penyimpanan dengan 2 taraf yaitu B1=4oC; dan B2=0oC.

Penelitian Tahap III: Penelitian Tahap III adalah melakukan optimasi ekspor dengan membuat simulasi jadwal pengiriman produk selama satu bulan, dimana terlebih dahulu dilakukan optimasi terhadap proses penanganan pascapanen.

Penelitian Tahap I telah diidentifikasi bahwa untuk semua jenis sayuran melalui tahapan yang sama mulai proses pemanenan sampai sayuran dikirim ke tempat tujuan. Adapun tahapan yang dilalui dimulai dengan pemanenan, pengumpulan sayur di lahan yang selanjutnya ditransportasikan ke tempat prosesing. Sampai di tempat prosesing dilakukan precooling(air cooling) terhadap sayur, kemudian dilanjutkan dengan proses trimming, sortasi, penimbangan dan pengemasan. Setelah sayuran dikemas lalu disimpan pada penyimpanan dingin sambil menunggu proses pengiriman. Pada tahapan panen sampai produk dibawa ke tempat prosesing, sayuran berada pada suhu yang tinggi yaitu antara 30-32oC selama 1 sampai 2 jam. Kondisi ini dapat mempercepat terjadinya susut bobot dan kerusakan pada sayuran. Dari seluruh tahapan diketahui bahwa untuk kondisi yang biasa dilakukan, seluruh tahapan kecuali tahapan panen mengalami penyusutan bobot, dimana penyusutan bobot tertinggi terjadi pada tahap trimming. Pada sayuran jenis pakchoi total penyusutan rata-rata mencapai 22,77% sedangkan pada jenis caisin mencapai 17,86%. Dengan diidentifikasinya waktu dan suhu pada masing-masing tahapan, maka dilakukan upaya untuk memperbaiki kondisi tersebut terutama menjaga suhu dalam tiap tahapan tetap optimum pada penelitian tahap II. Dengan suhu optimum maka diharapkan susut bobot akan dapat dikurangi.

Setelah diketahui tahapan penanganan pascapanen pada penelitian tahap pertama maka untuk memperbaiki kondisi pascapanen yang ada selama ini maka pada penelitian tahap kedua ditambahkan beberapa perlakuan hydrocooling/perendaman dan penyimpanan pada suhu yang berbeda. Penggunaan air dalam proses hydrocooling dilapangan merupakan alternatif penanganan yang mudah dan murah, selain itu hydrocooling dapat menghilangkan panas lapang produk dengan cepat dan seragam. Sementara penambahan suhu penyimpanan 0oC diharapkan dapat menurunkan laju respirasi dan aktifitas fisiologis lainnya.

(6)

penyimpanan pada suhu 0oC pada pak choi memberikan efek susut bobot yang terkecil dengan nilai masing-masing sebesar 7,83% dan 8,35%. Menurunnya susut bobot yang terjadi pada sayur yang diberikan perlakuan diperkirakan oleh difusi air yang terjadi selama proses perendaman serta air rendaman yang turut menempel pada permukaan sayuran setelah perendaman.

Perlakuan hydrocooling yang dilakukan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap warna daun(L, a dan b), sementara kombinasi perlakuan hydrocooling memberikan pengaruh nyata terhadap warna daun.

Berdasarkan uji organoleptik terhadap warna dan kesegaran daun, kekerasan petiole dan penilaian secara umum memperlihatkan pola yang beragam, namun secara umum panelis masih dapat menerima sayuran pada berbagai kombinasi perlakuan. Hal ini dapat diindikasikan dari rata-rata skor penilaian yang berada diantara 2,86 sampai dengan 5,00 yang berarti panelis memberikan penilaian biasa-biasa saja/netral sampai suka terhadap sayuran, baik caisin maupun pak choi. Skor tersebut di atas batas penolakan penelis yaitu 2,50. Dengan demikian sampai dengan hari ke-7 penyimpanan sayuran masih layak untuk dijual ke pasar lokal jika ekspor gagal dilaksanakan.

Dengan simulasi yang dilakukan ternyata dapat memberikan pengeluaran yang optimum untuk setiap pengiriman selama satu bulan, dimana setiap pengiriman memberikan jumlah pengeluaran rata-rata mendekati 15.000 kg. Dari keluaran simulasi memberikan antisipasi awal bagi pemasaran produk, kemungkinan tambahan jam kerja serta penggunaan fasilitas prosesing yang ada.

Kata kunci: caisin; pak choi; rantai dingin; optimasi

(7)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

OPTIMASI RANTAI DINGIN DAN PENJADWALAN KIRIM

UNTUK PENINGKATAN EKSPOR SAYURAN

(Studi Kasus Unit Prosesing Sayuran Dataran Rendah

di Pekanbaru Riau)

Mohammad Khamsi Purnama

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Tesis : OPTIMASI RANTAI DINGIN DAN PENJADWALAN KIRIM UNTUK PENINGKATAN EKSPOR SAYURAN (Studi Kasus Unit Prosesing Sayuran Dataran Rendah di Pekanbaru Riau)

Nama : Mohammad Khamsi Purnama NIM : F153080111

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Emmy Darmawati, MS Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Pascapanen

Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)

Karya ini ku persembahkan buat orang-orang yang selalu membantu dan mendoakanku serta senantiasa memberikan dorongan dan motivasi

Buat ibunda ku tercinta

Istriku yang penuh pengertian mendampingiku Rahma yanti

Anak-anak ku tersayang: Thoriq, Qonita dan Rifky

Kakak dan abangku: Ita, Yan, Wati dan Abdi Teman-teman TPP 2008:

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Optimasi Rantai Dingin dan Penjadwalan Kirim untuk Peningkatan Ekspor Sayuran(Studi Kasus Unit Prosesing Sayuran Dataran Rendah di Pekanbaru Riau) berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan Mei 2010 di Unit Prosesing Sayuran di Pekanbaru Riau dan Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Emmy Darmawati, MS dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Budiastra, Magr sebagai pembimbing serta Bapak Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si sebagai dosen penguji luar komisi. Ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Pemerintah Daerah Propinsi Riau atas dukungan dana selama penulis melaksanakan studi sampai selesainya penulisan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, istri, anak-anak, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Di samping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Muhaji, Bapak Untung dan Bapak Juta yang telah banyak membantu dalam pengambilan data dilapangan, teman-teman seperjuangan TPP 2008, Bapak Sulyaden, Ibu Desmayanti dan segala pihak yang membantu penyelesaian tesis ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2010

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 4 Oktober 1979. Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara, putra dari pasangan H. Mohammad Arief (alm) dan Hj. Rosda.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 001 Lima Puluh Pekanbaru pada tahun 1992 dan SLTP Negeri 1 Pekanbaru pada tahun 1995. Penulis melanjutkan sekolah menengah di SMU Negeri 8 Pekanbaru dan lulus pada tahun 1998. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor lewat jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada tahun 1998 dan lulus sebagai Sarjana Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian pada tahun 2002. Penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Mayor Teknologi Pasca Panen, Departemen Teknik Pertanian pada tahun 2008.

(13)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Sayuran ... 5

Pascapanen Sayuran ... 9

Rantai Dingin(Cold Chain) ... 19

Teknik Optimasi ... 21

METODA PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 25

Bahan dan Alat ... 25

Prosedur Penelitian ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama(Identifikasi Tahapan Pascapanen Saat Ini)... 36

Penelitian Tahap Kedua(Kajian Hydrocooling dan Suhu Penyimpanan terhadap Susut Sayuran) ... 40

Penelitian Tahap Ketiga(Optimasi Penanganan Pascapanen dan Ekspor).. 65

KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kandungan gizi caisin per 1 gelas bahan ... 8

2. Kandungan gizi pak choi per 100 gr bahan ... 9

3. Klasifikasi Sayuran Berdasarkan Laju Respirasi ... 11

4. Klasifikasi Sayuran Berdasarkan Laju Produksi Etilen ... 12

5. Kriteria penilaian sensoris skala 1 sampai 5 ... 32

6. Tahapan penanganan pasca panen, alokasi waktu, suhu dan persentase susut bobot caisin(Brassica campestris) dan pak choi(Brassica rapa) ... 39

7. Uji lanjut Duncan nilai L daun caisin ... 51

8. Uji lanjut Duncan nilai a daun caisin ... 52

9. Uji lanjut Duncan nilai b daun caisin ... 52

10. Uji lanjut Duncan nilai L daun pak choi ... 56

11. Uji lanjut Duncan nilai a daun pak choi ... 56

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram alir penanganan pascapanen sayuran ... 14

2. Skema jaringan rantai dingin ... 21

3. Diagram alir penelitian tahap I ... 26

4. Diagram alir penelitian tahap II ... 29

5. Diagram alir penelitian tahap III ... 34

6. Diagram optimasi penanganan pascapanen ... 35

7. Diagram alir penanganan pascapanen sayuran yang berlaku ... 36

8. Armada transportasi pada unit prosesing sayuran …... 38

9. Standar mutu caisin(Brassica campestris) pada saat sortasi ... 38

10. Standar mutu pak choi(Brassica rapa) pada saat sortasi ... 39

11. Diagram alir penanganan pasca panen sayuran penelitian tahap II ... 41

12. Rata-rata susut bobot sayuran caisin pada berbagai perlakuan hydrocooling ... 44

13. Rata-rata susut bobot sayuran pak choi pada berbagai perlakuan hydrocooling ... 44

14. Rata-rata susut bobot sayuran caisin akibat trimming pada berbagai perlakuan hydrocooling ... 45

15. Rata-rata susut bobot sayuran pak choi akibat trimming pada berbagai perlakuan hydrocooling ... 46

16. Rata-rata susut bobot caisin selama penyimpanan dalam berbagai perlakuan ... 47

17. Rata-rata susut bobot pak choi selama penyimpanan dalam berbagai perlakuan ... 48

18. Total susut bobot caisin selama penanganan pascapanen ... 50

19. Total susut bobot pak choi selama penanganan pascapanen ... 50

20. Warna daun caisin pada awal(a) dan pada akhir penyimpanan(b) ... 52

21. Perubahan nilai variabel L, a dan b daun caisin pada berbagai perlakuan ... 53

22. Warna daun pak choi pada awal(a) dan pada akhir penyimpanan(b) ... 54

(16)

xv

24. Skor penilaian warna dan kesegaran daun caisin pada berbagai

perlakuan ... 58

25. Skor penilaian warna dan kesegaran daun pak choi pada berbagai perlakuan ... 59

26. Skor penilaian kekerasan petiole caisin pada berbagai perlakuan ... 61

27. Skor penilaian kekerasan petiole pak choi pada berbagai perlakuan ... 62

28. Skor penilaian umum caisin pada berbagai perlakuan ... 63

29. Skor penilaian umum pak choi pada berbagai perlakuan ... 64

30. Masukan data simulasi pengiriman sayur ... 66

31. Jadwal kirim pada simulasi pengiriman sayur ... 68

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data susut bobot dan jumlah susut caisin tiap tahap pada berbagai

perlakuan ... 73 2. Data susut bobot dan jumlah susut pak choi (xiao bay chai) tiap tahap

pada berbagai perlakuan ... 75 3. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan susut bobot caisin pada tahap

panen sampai precooling II dalam berbagai perlakuan ... 77 4. Analisa sidik ragam susut bobot caisin pada tahap trimming dalam

berbagai perlakuan ... 77 5. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan susut bobot caisin pada

hari ke-3 penyimpanan dalam berbagai perlakuan ... 78 6. Analisa sidik ragam susut bobot caisin pada hari ke-5 penyimpanan dalam

berbagai perlakuan ... 79 7. Analisa sidik ragam susut bobot caisin pada hari ke-7 penyimpanan dalam

berbagai perlakuan ... 79 8. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan susut bobot pak choi pada tahap

panen sampai precooling II dalam berbagai perlakuan ... 80 9. Analisa sidik ragam susut bobot pak choi pada tahap trimming dalam

berbagai perlakuan ... 80 10. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan susut bobot pak choi pada

hari ke-3 penyimpanan dalam berbagai perlakuan ... 81 11. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan susut bobot pak choi pada

hari ke-5 penyimpanan dalam berbagai perlakuan ... 82 12. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan susut bobot pak choi pada

hari ke-7 penyimpanan dalam berbagai perlakuan ... 83 13. Analisa sidik ragam uji organoleptik warna dan kesegaran daun caisin

sesaat setelah perendaman dalam berbagai perlakuan ... 89 14. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan uji organoleptik warna dan

kesegaran caisin pada hari ke-3 penyimpanan ... 89 15. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan uji organoleptik warna dan

kesegaran daun caisin pada hari ke-5 penyimpanan ... 90 16. Analisa sidik ragam uji organoleptik warna dan kesegaran daun caisin

pada hari ke-7 penyimpanan dalam berbagai perlakuan ... 91 17. Analisa sidik ragam uji organoleptik kekerasan petiole caisin sesaat

setelah perendaman dalam berbagai perlakuan ... 91 18. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan uji organoleptik kekerasan

petiole caisin pada hari ke-3 penyimpanan dalam berbagai perlakuan 92 19. Analisa sidik ragam uji organoleptik kekerasan petiole caisin pada

hari ke-5 penyimpanan dalam berbagai perlakuan ... 93 20. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan uji organoleptik kekerasan

petiole caisin pada hari ke-7 penyimpanan dalam berbagai perlakuan 93 21. Analisa sidik ragam uji organoleptik penilaian secara umum caisin

(18)

xvii

22. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan uji organoleptik penilaian secara umum caisin pada hari ke-3 penyimpanan ... 95 23. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan uji organoleptik penilaian

secara umum caisin pada hari ke-5 penyimpanan ... 96 24. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan uji organoleptik penilaian

secara umum caisin pada hari ke-7 penyimpanan ... 97 25. Analisa sidik ragam uji organoleptik warna dan kesegaran daun

pak choi sesaat setelah perendaman dalam berbagai perlakuan ... 98 26. Analisa sidik ragam uji organoleptik warna dan kesegaran daun pak choi

pada hari ke-3 penyimpanan dalam berbagai perlakuan ... 98 27. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan uji organoleptik warna dan

kesegaran daun pak choi pada hari ke-5 penyimpanan dalam berbagai perlakuan ... 99 28. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan uji organoleptik warna

dan kesegaran daun pak choi pada hari ke-7 penyimpanan dalam

berbagai perlakuan ... 100 29. Analisa sidik ragam uji organoleptik kekerasan petiole pak choi

sesaat setelah perendaman dalam berbagai perlakuan ... 101 30. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan uji organoleptik kekerasan

petiole pak choi pada hari ke-3 penyimpanan ... 101 31. Analisa sidik ragam uji organoleptik kekerasan petiole pak choi pada

hari ke-5 penyimpanan dalam berbagai perlakuan ... 102 32. Analisa sidik ragam uji organoleptik kekerasan petiole pak choi pada

hari ke-7 penyimpanan dalam berbagai perlakuan ... 102 33. Analisa sidik ragam uji organoleptik penilaian secara umum pak choi

sesaat setelah perendaman dalam berbagai perlakuan ... 103 34. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan uji organoleptik penilaian

secara umum pak choi pada hari ke-3 penyimpanan ... 103 35. Analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan uji organoleptik penilaian

secara umum pak choi pada hari ke-5 penyimpanan ... 104 36. Analisa sidik ragam uji organoleptik penilaian secara umum pak choi

pada hari ke-7 penyimpanan dalam berbagai perlakuan ... 105

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia berpeluang besar dalam menyediakan beragam jenis sayuran yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Berdasarkan posisi geografisnya, Indonesia yang terletak di daerah tropika dapat menghasilkan beraneka ragam jenis sayuran tropika. Berdasarkan keragaman topografinya, sayuran sub-tropikapun dapat dibudidayakan di wilayah Indonesia dengan produktivitas tinggi.

Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan negara Singapura dan Malaysia, memiliki luas area sebesar 8.915.015,09 hektar dan sebagian besar berada di dataran rendah. Wilayahnya membentang dari lereng Bukit barisan sampai dengan Selat Malaka. Daerah ini beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 2000-3000 mm per tahun yang dipengaruhi musim kemarau dan musim hujan. Menurut catatan Stasiun Meteorologi Simpang Tiga, suhu udara rata-rata di Kota Pekanbaru tahun 2007 adalah 27,1o C, dengan suhu maksimum 34,4oC dan suhu minimum 20,1OC.

Kondisi geografis dan klimatologi Propinsi Riau berpotensi untuk pengembangan budi daya pertanian, maka Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau melihat peluang untuk mengembangkan budidaya sayur-sayuran dataran rendah dengan tujuan pasar ke negara tetangga khususnya Singapura. Melalui berbagai penjajakan dan negosiasi yang difasilitasi Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Riau, maka sejak tahun 2002 dimulailah kerjasama antara pihak swasta di Indonesia dengan Singapura untuk memasok beberapa jenis sayuran terutama sawi-sawian bagi kebutuhan pasar swalayan di Singapura.

Pihak swasta bekerjasama dengan petani untuk memenuhi kebutuhan ekspor sayuran. Persyaratan jenis dan mutu sayuran yang diekspor cukup ketat, maka pola kerjasama yang diterapkan adalah eksportir menyediakan bibit dan kelambu naungan lahan serta menjadi bapak angkat bagi para petani pemilik lahan. Luas lahan yang diusahakan disesuaikan dengan permintaan ekspor.

(20)

2

umum yang ada pada produk sayuran yaitu rentannya sayuran segar terhadap kemunduran mutu kesegaran dan kerusakan mekanis. Kemunduran mutu kesegaran sayuran terjadi karena karakteristik fisiologis pasca panen yang masih aktif melakukan metabolisme. Adapun kerusakan mekanis terjadi karena karakteristik fisik-morfologis jaringan kulit atau dermalnya yang lemah dan sangat mudah mengalami kerusakan. Faktor eksternal yang mempengaruhi kemunduran mutu sayuran antara lain: penyimpanan, transportasi, distribusi, dan pemasarannya yang memerlukan waktu relatif panjang, ditambah dengan waktu pemajangan pada pedagang-pedagang eceran.

Kendala yang terjadi mulai saat panen sampai pasca panen berujung pada tidak terpenuhinya target pengiriman. Dengan tidak terpenuhinya target produksi menyebabkan biaya operasional ekspor menjadi meningkat sehingga kelayakan secara finansial juga perlu dilakukan pengkajian ulang.

Pada saat ini lahan yang diusahakan seluas 27 hektar yang tersebar pada beberapa sentra produksi di sekitar Pekanbaru. Tiap-tiap sentra produksi memiliki kemampuan produksi yang berbeda dengan kisaran yang sangat luas yaitu antara 5 ton/ha sampai dengan 12,5 ton/ha dengan tingkat kehilangan pascapanen 20% - 30%. Sementara sayuran yang diusahan terdiri dari 4 jenis sayuran yaitu bay chay (bc), xiao bay chay (xbc), chinese cabbage (cc) dan chay sin (cn). Dari keempat jenis sayuran tersebut xbc dan cc memiliki umur panen 30 - 35 hari serta bc dan cn memiliki umur panen 28 - 33 hari. Dari perbandingan kuantitas ekspor xbc dan cn masing-masing 40% dari total ekspor dan bc dan cc masing-masing 10% dari total ekspor.

(21)

3

Sayur dari Riau di Singapura hingga akhir 2008 lalu dihargai 1,7 $Sin untuk tiap kilogram atau bila di kurskan ke rupiah sekitar Rp 11.000,- /kg, sementara harga ditingkat petani berada pada kisaran Rp 3.000,- /kg. Dengan harga Rp 11.000,- / kg maka Break Even Point (BEP) akan berada pada jumlah ekspor 8.5 ton per pengiriman.

Melihat kondisi saat ini dimana kapasitas ekspor 5 ton – 9 ton / ekspor maka akan sangat sulit ekspor terus dapat dilakukan, karena secara ekonomis sudah tidak layak lagi. Hal ini disebabkan oleh produksi sayuran di lahan tidak dapat memenuhi kapasitas optimal kapal, sehingga biaya produksi menjadi meningkat. Namun bila melihat data dan fakta dilapangan masih sangat memungkinkan produktifitas dan efisiensi untuk dapat ditingkatkan untuk mencapai tingkat kelayakan secara ekonomis, terutama dengan lebih mengoptimalkan rantai dingin pada proses penanganan pascapanen. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah optimasi untuk mencapai tingkat kelayakan secara ekonomi. Beberapa alternatif yang mungkin dapat dilakukan adalah:

1. Mengurangi kehilangan pasca panen dengan melakukan perbaikan pada sistem ranti dingin yang sudah ada.

2. Melakukan optimasi penanganan pasca panen dengan fasilitas yang ada. 3. Melakukan optimasi penjadwalan ekspor.

4. Melakukan penjadwalan panen dengan lahan yang tersedia saat ini

Namun pada penelitian ini lebih fokus pada aspek pasca panen, sehingga alternatif 1 sampai 3 menjadi pilihan yang akan dilakukan dengan asumsi produksi tetap pada kondisi saat ini.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Melakukan identifikasi susut dalam rantai dingin sayuran dataran rendah. 2. Melakukan optimasi rantai dingin dalam penanganan pascapanen sayuran

dataran rendah.

(22)

4

Hipotesis

Dengan adanya optimasi rantai dingin dalam penanganan pascapanen dan optimasi jadwal ekspor maka kehilangan pasca panen dapat diminimalkan, ekspor dapat dilakukan pada volume yang ekonomis.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan adalah:

1. Memberikan gambaran tentang rangkaian rantai dingin optimum yang dapat diterapkan di lapangan sehingga dapat meminimalkan susut yang terjadi selama rantai penanganan pascapanen.

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Sayuran

Istilah sayuran biasanya digunakan untuk merujuk pada tunas, daun, buah dan akar tanaman yang lunak dan dapat dimakan secara utuh atau sebagian, segar/mentah atau dimasak, sebagai pelengkap pada makanan berpati dan daging. Kebanyakan dari mereka adalah herbaseus (berbatang basah) dan definisi ini tidak mencakup buah-buah manis pencuci mulut (dessert). Kandungan air yang tinggi pada sayuran menyebabkan penanganan, pengangkutan dan pemasarannya menjadi masalah khusus terutama di daerah tropika (Williams et all., 1993).

Jangkauan (range) jenis sayuran yang diusahakan dan ditemukan dipasaran jauh lebih besar di negara-negara tropis daripada di negara-negara iklim sedang (subtropis). Lebih dari 100 jenis (spesies) tanaman dibudidayakan sebagai sayuran diberbagai negara tropis dan masih kira-kira 50 jenis lagi yang hidup secara liar di alam. Sedangkan pada negara subtropis jenis sayurannya hanya puluhan saja dan dari sekian itu cukup banyak yang berasal dari daerah tropis (Williams et all., 1993).

Indonesia sebagai salah satu negara tropis memiliki potensi sayuran yang melimpah, namun umumnya berupa sayuran dataran tinggi. Sayuran yang tumbuh di dataran rendah lebih sedikit jumlahnya. Sulitnya sayuran di daerah dataran rendah karena petaninya kurang terbiasa membudidayakan sayur-sayuran. Mereka terbiasa dengan budidaya tanaman perkebunan atau tanaman keras. Budi daya sayur hanya berupa kegiatan sampingan saja (Nazaruddin, 2000).

Ada dua golongan besar sayur-sayuran berdasarkan suhu dan ketinggian tempat dari permukaan laut. Kedua golongan ini sebenarnya tidak terpisah secara nyata. Batasan antara keduanya masih belum jelas, jenis yang satu bisa masuk ke golongan yang lain dan sebaliknya. Kedua jenis itu ialah sayur dataran tinggi dan sayuran dataran rendah.

(24)

paru-6

paru dan menurunkan komplikasi yang berkaitan dengan diabetes. Di dalam sayuran dan buah juga terdapat vitamin yang bekerja sebagai antioksidan. Antioksidan dalam sayur dan buah bekerja dengan cara mengikat lalu menghancurkan radikal bebas dan mampu melindungi tubuh dari reaksi oksidatif yang menghasilkan racun(http://kliniku.wordpress.com/2007/11/13/manfaat-sayur-dan-buah/.29 Juni 2010). Selain itu sayuran berwarna hijau juga banyak mengandung vitamin C dan B kompleks zat besi, kalsium, magnesium, fosfor, betakaroten, dan serat. Kekurangan sayuran berwarna hijau menyebabkan kulit jadi kasar dan bersisik. Sayuran yang berwarna hijau tua diantaranya adalah kangkung, daun singkong, daun katuk, daun papaya, genjer,daun kelor dan adalah bayam, caisin, sawi,hijau,bokcoi, brokoli (http://www.scribd.com/doc/18049851/ Manfaat-Warna-Pada-Buah-Dan-Sayur. 29 Juni 2010).

Sayuran Dataran Rendah

Kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan sayur dataran rendah lebih besar daripada sayur dataran tinggi. Jenis tanaman ini akan tumbuh baik pada suhu rata-rata bulanan 21oC ke atas. Rata-rata suhu untuk pertumbuhan optimum ialah 26 – 28,5oC. Bila suhu minimum rata-rata lebih kecil dari 10oC maka pertumbuhan tanaman akan terganggu.

Beberapa sifat sayur dataran rendah merupakan kebalikan sifat sayur dataran tinggi. Sayur dataran rendah peka terhadap suhu rendah karena dapat mengurangi laju pertumbuhan tanaman. Kecambahnya membutuhkan kelembaban tanpa suhu dingin. Sayur dataran rendah memiliki daerah perakaran yang relatif lebih dalam. Kedalaman perakarannya bisa 2 - 3 kali lipat perakaran sayur dataran tinggi, atau bisa mencapai 120 – 180 cm untuk jenis sayuran tertentu (Nazaruddin, 2000).

Jenis sayuran yang baik diusahakan di dataran rendah antara lain cabai, tomat, kacang panjang, terung, caisin, mentimun, kangkung, bawang putih, bawang merah dan bayam. Selain itu selada, bawang daun, kemangi, kecipir, labu dan pare juga tumbuh baik di beberapa daerah dataran rendah.

(25)

7

rendah menjadi penghasil sayur-sayuran adalah hal yang menguntungkan, sekaligus merupakan suatu potensi besar bagi Indonesia.

Tanaman Sawi

Sawi-sawian adalah sekelompok tumbuhan dari Genus Brassica bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Namun, karena Indonesia mempunyai kecocokan terhadap iklim dan tanahnya maka sawi dikembangkan di Indonesia. Tanaman sawi dapat tumbuh baik di tempat yang berhawa panas maupun berhawa dingin, sehingga dapat diusahakan dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Daerah penanaman yang cocok adalah mulai dari ketinggian 5 meter sampai dengan 1.200 meter di atas permukaan laut. Tanaman sawi tahan terhadap air hujan, sehingga dapat di tanam sepanjang tahun. Pada musim kemarau yang perlu diperhatikan adalah penyiraman secara teratur. Berhubung dalam pertumbuhannya tanaman ini membutuhkan hawa yang sejuk, maka tanaman lebih cepat tumbuh apabila ditanam dalam suasana lembab. Akan tetapi tanaman ini juga tidak senang pada air yang menggenang. Dengan demikian, tanaman ini cocok bila ditanam pada akhir musim penghujan. Tanah yang cocok untuk ditanami sawi adalah tanah gembur, banyak mengandung humus, subur, serta pembuangan airnya baik. Derajat kemasaman (pH) tanah yang optimum untuk pertumbuhannya adalah pada pH antara 6 sampai 7.

Caisin(Brassica campestris) dan pak choi(Brassica rapa) merupakan tanaman sayur berdaun lebar yang termasuk dalam kelompok sawi-sawian. Konsumen menggunakan daun caisin dan pak choi baik sebagai bahan pokok maupun sebagai pelengkap masakan tradisional dan masakan cina (Haryanto et al., 2001).

a. Caisin

Menurut klasifikasi dalam tata nama (sistematika) tumbuhan, maka caisin termasuk dalam :

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

(26)

8

Sub Kelas : Dilleniidae Ordo : Capparales

Famili : Brassicaceae (suku sawi-sawian) Genus : Brassica

Spesies : Brassica campestris

Ciri-ciri caisin adalah daunnya memiliki permukaan lebih kasar dan tidak mampu membentuk krop(telur). Tangkai daun langsing dengan penampilan lebih memanjang. Caisin biasa dipanen pada umur 30 - 35 hari setelah tanam. Caisin merupakan sayuran yang kaya akan serat, vitamin dan mineral yang penting bagi tubuh. Tabel 1. memaparkan beberapa kandungan gizi caisin.

Tabel 1. Kandungan gizi caisin per 1 gelas bahan(jus)

Bahan Penyusun Jumlah

Protein (g) Serat (g) Vitamin A (IU) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin B3 (mg) Vitamin B6 (mg) Vitamin C (mg) Vitamin E (mg) Vitamin K (mkg) Folat (mkg) Triptofon (g) Mangan (mg) Kalsium (mg) Kalium (mg) Tembaga (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Magnesium (mg) 3,16 2,8 4243,4 0,06 0,09 0,61 0,14 35,42 2,81 419,3 102,76 0,04 0,38 103,6 282,8 0,12 57,4 0,98 21

(27)

9

b. Pak choi

Menurut klasifikasi dalam tata nama (sistematika) tumbuhan, maka pak choi termasuk dalam :

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub Kelas : Dilleniidae

Ordo : Capparales

Famili : Brassicaceae (suku sawi-sawian) Genus : Brassica

Spesies : Brassica rapa

Ciri-ciri pak choi adalah : daunnya halus (tidak berbulu) dan tidak mampu membentuk krop (telur). Meskipun ada beberapa varietas pak choi berkrop, namun kropnya tidak padat. Selain itu tangkai daunnya lebar dan kokoh dengan penampilan lebih pendek dari sawi biasa dan kompak.

Pak choi siap dipanen pada umur 30 – 40 hari setelah tanam, pembentukan daunnya cukup maksimal dengan daun-daun muda yang berukuran besar. Tanaman ini termasuk sayuran daun yang cepat rusak atau susut, biasanya dikonsumsi dalam bentuk lalap segar dan aneka masakan cina lainnya (Rukmana 1994). Pak choi merupakan tanaman sayur daun yang kaya akan serat, vitamin dan mineral, berikut pada Tabel 2. tertera kandungan gizi yang terdapat pada pak choi.

Tabel 2. Kandungan gizi pak choi per 100 gr bahan

Bahan Penyusun Jumlah

Energi (kcal) Karbohidrat (g) Serat (g) Lemak (g) Protein (g) Vitamin C (mg) Sodium (mg)

10 (50 kJ) 2.2 1.0 0.2 1.5 45 65

(28)

10

Pascapanen Sayuran

Kegiatanpenanganan pasca panen hortikultura didefinisikan sebagai suatu kegiatan penanganan produk hasil hortikultura sejak pemanenan hingga siap menjadi bahan baku atau produk akhir siap dikonsumsi, dimana didalamnya juga termasuk distribusi dan pemasarannya (Vita. et al., 2006). Selain itu menurut Studman, C.J (2001) teknologi pasca panen terdiri dari penanganan, sortasi, penyimpanan, transportasi, pemasaran dan manajemen produk segar mulai dari panen sampai dikonsumsi. Menurut Kitinoja L dan Kader (2002) tiga tujuan utama untuk menerapkan teknologi pasca panen buah-buahan dan sayuran adalah: 1. Menjaga mutu (kenampakan, tekstur, citarasa dan nilai nutrisi)

2. Melindungi keamanan pangannya, dan

3. Mengurangi susut dari saat panen sampai produk tersebut dikonsumsi.

Sayuran setelah dipanen secara fisiologis masih melakukan aktivitas kehidupan atau metabolism. Proses ini perlu dikendalikan dan tidak dibiarkan berlansung dengan cepat, sehingga perlu dilakukan pengaturan aktivitas laju respirasinya agar berjalan lambat. Selain mengalami proses respirasi, produk sayuran juga mengalami pelayuan akibat proses tranpirasi. Untuk menghindari aktivitas tersebut dan meningkatkan daya tahan dapat dilakukan dengan menaikkan kelembaban relatif udara (90-95%), menurunkan suhu penyimpanan (5-15oC), serta mengurangi pertukaran udara dengan menggunakan kemasan yang tepat (Vita. et al., 2006).

(29)

11

Penanganan pasca panen yang baik dan benar (Good Handling Practice GHP) pada sayuran merupakan salah satu mata rantai dalam pencapaian standar mutu yang ditetapkan secara nasional dalam Standar Nasional Indonesia (SNI).

Penerapan teknik pascapanen yang efektif dapat berarti adanya perbedaan antara keuntungan dan kehilangan pada stadia keseluruhan sistem. Produk yang diperlakukan dengan baik dan dalam kondisi yang baik dapat relatif bertahan dari stress waktu, suhu, penanganan, transportasi dan mikroorganisme pembusuk selama proses pendistribusian. Dengan demikian fase pascapanen adalah sangat penting bagi petani, pedagang besar, pengecer dan konsumen (Made, 2005).

Penanganan pasca panen secara baik dan benar dapat menekan kehilangan/kerusakan hasil, mempertahankan mutu dan daya simpan produk sesuai SNI yang telah ditetapkan sehingga mudah bersaing di pasar, baik pasar domestik maupun internasional. Untuk menerapkan penanganan pasca panen sayuran secara baik dan benar, maka perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penanganan pasca panen adalah :

Faktor Biologi

1. Respirasi

Respirasi merupakan suatu proses pemecahan unsur-unsur organik kompleks seperti karbohidrat, protein dan lemak menjadi senyawa-senyawa sederhana dan energi. Pemecahan substrat dasar ini menggunakan oksigen (O2)

dan menghasilkan karbondioksida (CO2). Laju respirasi berbanding lurus dengan

laju penurunan mutu produk yang dipanen.

Respirasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana produk tersebut disimpan, misalnya cahaya, bahan kimia seperti fumigan, radiasi, tekanan air, tingkat pertumbuhan dan pathogen perusak.

(30)

12

Tabel 3. Klasifikasi sayuran berdasarkan laju respirasi

No. Kelas Laju Respirasi

(mg.C02/kg-hr)

Komoditi

1 Paling rendah <5 Sayuran kering, kacang-kacangan

2 Rendah 5-10 Seledri, Bawang Putih, Kentang

3 Sedang 10-20 Wortel, Ketimun, Tomat, Kubis Cina-

4 Tinggi 20-40 Wortel dengan daun, Kembang Kol, Bawang

Perai, Slada

5 Sangat Tinggi 40-60 Brokoli, Kecambah, Bunga Potong, Okra,

Kale, Snap Bean, Seledri Air

6 Paling Tinggi >60 Asparagus, Jamur, Bayam, Jagung Manis,

Parsely

Sumber : Adel A. Kader, 1992

2. Produksi etilen

Etilen merupakan hormon tanaman berbentuk gas yang mempengaruhi proses fisiologis tanaman, dihasilkan secara alami dari metabolisme tanaman dalam proses respirasi dan mikroorganisme. Klasifikasi komoditas sayuran berdasarkan produksi etilen seperti tercantum pada Tabel 4.

Etilen berpengaruh terhadap proses pematangan (senescence) produk hortikultura, karena itu penyimpanan produk sebaiknya dikelompokkan berdasarkan tingkat produksi etilennya.

Tabel 4. Klasifikasi sayuran berdasarkan laju produksi etilen

No. Kelas Laju produksi etilen ( IC2H/kg-hr) (range 20° C)

Komoditi

1 Paling rendah <0,1 Asparagus, Kembang Kol,

Sayuran

Berdaun, Sayuran Berumbi, Kentang

sebagian besar Bunga Potong

2 Rendah 0,1-1,0 Ketimun, Terung, Okra,

Olive, Labu Kuning,

Tamarilio

3 Sedang 1,0-10,0 Plantain, Tomat

Sumber : Adel A. Kader, 1992

3. Perubahan komposisi kimia

(31)

13

4. Transpirasi

Kehilangan air merupakan penyebab utama dari kerusakan sayuran yang akan menyebabkan penurunan kesegaran sayuran. Kehilangan air dapat menyebabkan penyusutan secara kualitas dan kuantitas sayuran (kekerutan, pelunakan, kehilangan kerenyahan dan susut bobot). Laju transpirasi dipengaruhi faktor internal dan ekternal. Faktor internal meliputi karakteristik morfologi, rasio luas permukaan dan volume, luas permukaan yang terinfeksi dan tingkat kematangan. Faktor eksternal atau lingkungan meliputi suhu, kelembaban, pergerakan udara (angin) maupun tekanan udara.

Faktor Lingkungan

1. Suhu

Suhu merupakan faktor lingkungan/eksternal yang sangat mempengaruhi laju penurunan mutu sayuran. Untuk setiap peningkatan suhu 10 °C di atas batas optimum, kecepatan penurunan mutu dapat meningkat 2 - 3 kali lipat. Suhu juga mempengaruhi produksi etilen/laju respirasi dan transpirasi.

2. Kelembaban

Kelembaban ruang adalah salah satu penyebab kehilangan air setelah panen. Kehilangan air berarti kehilangan berat dan kenampakan. Kehilangan air tidak dapat dihindarkan namun dapat ditoleransi. Tanda-tanda kehilangan air bervariasi pada produk yang berbeda, dan tanda-tanda kerusakan baru tampak saat jumlah kehilangan air berbeda-beda pula. Umumnya tanda-tanda kerusakan jelas terlihat bila kehilangan air antara 3-8% dari beratnya (Made, 2001).

3. Komposisi atmosfir

Pengurangan oksigen dan peningkatan karbondioksida secara intensional melalui aplikasi Modified Atmosphere Packaging (MAP) dan Controlled Atmosphere Storage (CAS) serta unintensional melalui aplikasi ventilasi pada Kontainer maupun angkutan dapat memperlambat kerusakan sayuran. Tingkat konsentrasi 02 sekitar 2-3% berguna untuk mengurangi laju respirasi dan reaksi

metabolik lainnya. Pada beberapa komoditas, peningkatan C02 dapat mengurangi

(32)

14

penanganan pasca panen secara umum dapat digambarkan pada diagram alir pada Gambar 1.

Kajian pascapanen dilakukan dengan mengamati setiap tahapan pascapanen yang dilakukan pada unit prosesing sayuran yang akan diekspor dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana pengaruh introduksi teknologi terhadap setiap tahapan yang dilakukan dan sistem secara keseluruhan. Dengan kajian ini dilihat sejauh mana peran teknologi dalam peningkatan efisiensi waktu dan peningkatan kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan. Selain itu juga akan diamati kemungkinan bottleneck effect yang terjadi. Agar proses yang terjadi secara keseluruhan meningkat, salah satu yang harus diidentifikasi adalah proses bottleneck effect dimana akan membatasi arus produksi. Bottleneck adalah proses pembatas dimana dikaitkan dengan tiap peralatan atau sumberdaya seperti permintaan bermacam kebutuhan, tenaga kerja, bahan baku dan sumberdaya lainnya (Athimulam et al. 2006).

Panen

Panen merupakan upaya yang dilakukan oleh manusia untuk memisahkan suatu produk yang berasal dari organism hidup dari media tumbuhnya. Pemanen dapat dilakukan dengan tangan(manual) maupun dengan bantuan alat atau mesin pemanenan(mekanis).

(33)
[image:33.595.118.390.80.531.2]

15

Gambar 1. Diagram alir penanganan pasca panen sayuran.

Pengumpulan

Setelah panen dilakukan maka selanjutnya produk hasil panen dikumpulkan pada satu atau beberapa titik pengumpulan guna memudahkan dalam usaha penanganan selanjutnya.

Sortasi

Sortasi biasanya dilakukan untuk mengeliminasi produk yang luka, busuk atau cacat lainnya sebelum pendinginan atau penanganan berikutnya. Pre-sorting akan menghemat tenaga karena produk-produk cacat tidak ikut tertangani.

PANEN

PENGUMPULAN

SORTASI

PEMBERSIHAN/PENCUCIAN

GRADING

PENGEMASAN

PENYIMPANAN/PENDINGINAN

(34)

16

Memisahkan produk busuk akan menghindarkan penyebaran infeksi ke produk-produk lainnya, khususnya bila pestisida pascapanen tidak dipergunakan.

Pembersihan/pencucian

Kebanyakan buah dan sayuran membutuhkan pembersihan untuk menghilangkan kotoran seperti debu, insekta atau residu penyemprotan yang dilakukan sebelum panen. Pembersihan dapat dilakukan dengan sikat atau melakukan pada semprotan udara. Namun lebih umum digunakan dengan penyemprotan air atau mencelupkan ke dalam air. Bila kotoran agak sulit dihilangkan maka dapat ditambahkan deterjen. Sementara pencucian yang dilakukan sudah efektif menghilangkan kotoran, maka disinfektan dapat ditambahkan untuk mengendalikan bakteri dan beberapa jamur pembusuk. Klorin adalah bahan kimia yang umum ditambahkan untuk pengendalian mikroorganisme tersebut. Namun klorin efektif bila larutan dijaga pada pH netral. Perlakuan klorin dengan konsentrasi 100-150 ppm dapat membantu mengendalikan patogen selama operasi lebih lanjut.

Grading

Buah-buahan, sayur-sayuran dan bunga-bungaan adalah kelompok produk yang non-homogenous. Mereka bervariasi a) antar group, b) antar individu dalam kelompok dan c) antar daerah produksi.

Perbedaan timbul karena perbedaan kondisi lingkungan, praktik budidaya dan perbedaan varietas. Sebagai akibatnya, setiap operasi grading harus menangani variasi dalam total volume produk, ukuran individu produk, kondisi produk (kematangan dan tingkat kerusakan mekanis) dan keringkihan dari produk. Beberapa faktor lainnya juga berpengaruh terhadap mutu sebelum produk degrading, meliputi:

 Stadia kematangan saat pemanenan

 Metode untuk mentransfer produk dari lapangan ke tempat grading

 Metode panen

 Waktu yang dibutuhkan antara panen dan grading.

(35)

17

 Ukurannya seragam untuk dijual

 Kematangan seragam

 Didapatkan produk yang tidak lecet atau tidak rusak

 Tercapai keuntungan lebih baik karena keseragaman produk

 Menghemat biaya dalam transport dan pemasarannya karena bahan-bahan

rusak di sisihkan.

Alat grading dapat saja yang canggih dan mahal tetapi membutuhkan biaya yang mahal. Pada sisi lain, sistem grading sederhana akan membantu memanfaatkan tenaga kerja manual. Beberapa parameter dapat digunakan sebagai basis grading:

 Ukuran. Parameter ini umum digunakan karena kesesuaiannya dengan aplikasi mekanis. Ukuran dapat ditentukan oleh berat atau dimensi.

 Menyisihkan produk yang tidak diinginkan. Ini sering dibutuhkan untuk

memisahkan produk dengan produk yang luka karena perlakuan mekanis, karena penyakit dan insekta, karena kotoran yang dibawa dari lapang dan sebagainya.

 Warna. Beberapa produk sangat ditentukan oleh warna dalam penjualannya. Kematangan sering dihubungkan dengan warna dan digunakan sebagai basis sortasi, seperti pada tomat.

Pengemasan

Dalam keseluruhan sistem penanganan pascapanen, pengemasan dapat sebagai alat bantu maupun sebagai penghambat untuk mencapai masa simpan mutu yang maksimum. Pengemas membutuhkan ventilasi namun harus cukup kuat untuk mencegah kerusakan karena beban. Kemasan atau kontainer hendaknya tidak diisi terlalu sedikit atau terlalu ketat untuk mendapatkan hasil yang baik. Produk dikemas terlalu longgar dapat menggetarkan unit produk lainnya yang mengakibatkan memar, sementara kalau dikemas berlebihan berakibat pada memar karena tekanan.

(36)

18

1. Menjaga produk bahan pangan atau hasil pertanian agar tetap bersih dan terlindung dari kotoran dan kontaminasi.

2. Melindungi makanan dari kerusakan fisik, perubahan kadar air dan penyinaran.

3. Mempunyai kemudahan dalam membuka atau menutup, dan juga memudahkan dalam tahap-tahap penanganan, pengangkutan dan distribusi. 4. Mempunyai fungsi yang baik efisien dan ekonomis, aman untuk lingkungan. 5. Mempunyai ukuran, bentuk dan bobot yang sesuai dengan norma atau standar

yang ada, mudah dibuang dan mudah dibentuk atau dicetak.

6. Menampilkan identifikasi, informasi, daya tarik dan penampilan yang jelas sehingga dapat membantu promosi atau penjualan.

Kemasan dapat digolongkan berdasarkan berbagai hal, antara lain: berdasarkan frekuensi pemakaian, struktur sistem kemasan, sifat kekakuan bahan pengemas, sifat perlindungan terhadap lingkungan, tingkat kesiapan pakai dan sifat edible.

Berdasarkan frekuensi pemakaiannya kemasan dapat dikelompokkan menjadi:

a. Kemasan sekali pakai (disposable), yaitu kemasan yang langsung dibuang setelah satu kali pakai. Contohnya: bungkus plastik untuk es, bungkus permen dari kertas, bungkus yang berasal dari daun-daunan, kaleng hermetis, karton dus.

b. Kemasan yang dapat dipakai berulang kali (multi trip), seperti beberapa jenis botol minuman (limun, bir), botol kecap. Wadah-wadah ini umumnya tidak dibuang oleh konsumen, akan tetapi dikembalikan lagi pada agen penjual untuk kemudian dimanfaatkan ulang oleh pabrik.

c. Kemasan atau wadah yang tidak dibuang atau dikembalikan oleh konsumen (semi disposible). Setelah dipakai, wadah-wadah tersebut biasanya digunakan untuk kepentingan lain di rumah konsumen, seperti beberapa jenis botol, wadah dari kaleng (susu, makanan bayi, dan lain-lain).

(37)

19

a. Kemasan primer, yaitu apabila bahan pengemas langsung mewadahi atau membungkus bahan pangan (kaleng susu, botol minuman, bungkus tempe, dan lain-lain).

b. Kemasan sekunder, yaitu kemasan yang fungsi utamanya melindungi kelompok-kelompok kemasan lainnya, seperti halnya kotak karton untuk wadah susu dalam kaleng, kotak kayu untuk wadah buah-buahan yang sudah dibungkus, keranjang tempe, dan sebagainya.

c. Kemasan tersier, kuartener, yaitu apabila masih diperlukan lagi pengemasan setelah kemasan primer, sekunder, dan tersier (untuk kemasan kuartener). Umumnya digunakan sebagai pelindung selama pengangkutan.

Sementara itu berdasarkan sifat kekakuan bahan kemas kemasan terbagi menjadi:

a. Kemasan fleksibel, yaitu bila bahan pengemas mudah dilenturkan tanpa adanya retak atau patah. Bahan pengemas jenis ini pada umumnya tipis, misalnya: plastik, kertas, foil. Kemasan fleksibel sering disebut pengemas bentuk.

b. Kemasan kaku, yaitu bila bahan pengemas bersifat keras, kaku, tidak tahan benturan, patah bila dipaksa dibengkokkan. Relatif lebih tebal daripada kemasan fleksibel, misalnya: kayu, gelas dan logam.

c. Kemasan semi kaku atau semi fleksibel, yaitu bahan pengemas yang memiliki sifat-sifat antara kemasan fleksibel dan kemasan kaku, seperti: botol plastik (susu, kecap, saus) dan wadah bahan yang berbentuk pasta.

(38)

20

Pendinginan Pendahuluan (Precooling)

Precooling adalah pendinginan cepat untuk mengambil panas sensible (panas lapang) sebelum produk mengalami transportasi atau penyimpanan dan hal ini dianggap penting dan esensial bagi komoditi hortikultura yang mudah rusak. Karena kerusakan terjadi jauh lebih cepat pada suhu yang hangat dibanding suhu dingin. Semakin cepat panas lapang dibuang segera setelah dipanen semakin baik, karena akan mengakibatkan semakin lama masa simpan dan masa pemasaran produk (Winarno, 2002).

Pendinginan pendahuluan bertujuan untuk memperlambat respirasi, memperkecil kerentanan terhadap serangan mikroorganisme, mengurangi kehilangan air dan meringankan beban sistem pendinginan pada kendaraan pengangkutan (Akamine et al., 1997).

Gast dan Flores (1991); Jobling (2000) dalam Dewi (2008) menyebutkan, precooling dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pendinginan dengan media air (hydrocooling) dengan pencelupan dalam air, dalam air dingin atau es; pendinginan ruang (room cooling); pendingin dengan hampa udara (vacum cooling); dengan hembusan udara dingin (forced air cooling) atau melalui sentuhan dengan es (top icing).

Hydrocooling merupakan cara precooling dimana produk dituangkan ke dalam air dengan suhu sekitar 0oC. Dalam pelaksanaan yang baik, cara tersebut dianggap suatu metode yang paling efektif guna membuang panas lapang (Winarno, 2002). Hal yang sama juga disampaikan oleh DeEll (2003) dalam Dewi (2008), bahwa metode precooling dengan hydrocooling efektif untuk pendinginan sayur-sayuran dalam kemasan atau curah secara cepat.

Sementara itu menurut Kader (2002) salah satu metode alternatif yang dapat digunakan dalam hydrocooling adalah dengan menggunakan air sumur, karena air sumur sering lebih dingin dibandingkan suhu udara dikebanyakan daerah di dunia.

Rantai Dingin(Cold Chain)

(39)

21

untuk memperpanjang umur penggunaan produk seperti produk segar pertanian(hortikultura), pangan terolah, film photograpi, bahan kimia dan obat-obatan farmasi.

Pada produk hortikultura sangatlah penting untuk memahami bagaimana rantai dingin yang ideal dan layak untuk menyimpan produk yang mudah rusak pada suhu rendah untuk memastikan umur penggunaan yang lebih panjang, penyusutan pasca panen fisik dan ekonomis yang lebih rendah dan untuk memelihara kualitas produksi (bentuk, warna, aroma, rasa dan kandungan nutrisi). Pada kenyataannya naik turunnya suhu sering tidak terkendali selama rantai penanganan sehingga memberikan efek yang sangat merugikan bagi produk hortikultura (Nunes et all. 1999; Nunes et al. 2001 dalam Brecht, J.K et al. 2003).

Dalam mempertahankan rantai dingin pada produk hortikultura yang mudah rusak maka beberapa hal yang harus dilakukakan menurut Kitinoja, L dan Adel a. Kader (2002) adalah :

1. Panen

 Lindungi produk dari panas matahari

 Transportasikan secepatnya ke rumah pengemas/prosesing 2. Pendinginan

 Hindari penundaan untuk pendingin

 Dinginkan produk secara menyeluruh secepat mungkin 3. Penyimpanan sementara

 Jaga suhu produk pada suhu optimum

 Kirim ke pasar secepat memungkinkan 4. Transportasi

 Gunakan area loading/pemuatan berpendingin

 Dinginkan truk sebelum transportasi

 Isi palet ke bagian tengah dalam truk

 Hindari penundaan selama transportasi

 Monitor suhu produk selama transportasi

5. Penanganan di tempat tujuan

 Gunakan area unloading/pembongkaran yang berpendingin

(40)

22

 Pindahkan produk secepatnya ke area penyimpanan berpendingin yang memadai

 Transportasikan ke pasar retail atau operasi pelayanan makanan dalam truk berpendingin

 Display atau pajang produk pada kisaran suhu yang memadai 6. Penanganan di food service outlet/rumah

 Jaga produk pada suhu yang memadai  Gunakan/konsumsi produk sesegera mungkin

Pada produk hortikultura rantai dingin dalam pelaksanaan dapat dimulai dalam kawasan produksi. Salah satu upaya untuk menjaga suhu produk pada kawasan ini adalah dengan memberikan perlakuan precooling sesaat setelah panen. Selanjutnya ketika produk dikirim ke pasar induk, kepedagang pengecer, suhu produk diusahakan untuk dijaga dalam kondisi optimum dengan menggunakan sarana transportasi yang dilengkapi pendingin. Sarana transportasi tersebut dapat berupa truk, kapal laut, kereta api, pesawat udara dan alat transportasi lainnya yang memungkinkan. Skema jaringan rantai dingin selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.

[image:40.595.107.513.159.757.2]

Sumber : http://www.yanmar.co.jp

(41)

23

Teknik Optimasi

Optimasi adalah kumpulan proses untuk mendapatkan gugus kondisi yang diperlukan dalam mencapai hasil terbaik dari situasi tertentu (Beveridge et all. 1979). Masalah optimasi meliputi penentuan satu atau lebih variabel, pemilihan fungsi tujuan dan pengidentifikasian gugus kendala.

Teknik optimasi saat ini sudah banyak digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang kompleks baik di bidang ilmu teknik, operation research, maupun ilmu ekonomi. Teknik ini berkembang pesat khususnya setelah G. Danzig pada tahun 1947 memperkenalkan metode simplex untuk menyelesaikan linear programming (LP). LP merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk menyelesaikan permasalahan alokasi sumber daya secara efisien. Sebelum itu, J. von Neumann dan O. Morgenstern memperkenalkan game theory yang erat hubungannya dengan LP diikuti oleh penemuan H.W. Kuhn dan A.W. Tucker yang memberikan landasan untuk menyelesaikan nonlinear programming (Fryer and Greenman, 1987; Cornuejols and Trick,1998 dalam Sugiyono A. dan Suarna E. 2006).

Dalam penyelesaian masalah optimasi diperlukan suatu penyelesaian yang terstruktur yang dalam arti luas dapat diartikan sebagai penerapan metoda-metoda, teknik-teknik dan alat-alat terhadap masalah-masalah yang menyangkut operasi-operasi dari sistem-sistem sedemikian rupa sehingga memberikan penyelesaian yang optimal atau yang biasa disebut penelitian operasional(Operation Research) (Churchman et all. dalam Mulyono S, 1991).

Operasional Research menurut Mulyono S (1991) memiliki beberapa ciri-ciri antara lain :

1. Merupakan pendekatan kelompok antar disiplin untuk mencari hasil optimum.

2. Menggunkan teknik penelitian ilmiah untuk mendapatkan solusi optimum. 3. Hanya memberikan jawaban yang jelek terhadap persoalan jika tersedia

jawaban yang lebih jelek, sehingga Operasional Research hanya memperbaiki kualitas solusi.

(42)

24

1. Merumuskan masalah

Dalam perumusan masalah ini ada tiga pertanyaan penting yang harus dijawab :

a. Variabel keputusan yaitu unsur-unsur dalam persoalan yang dapat dikendalikan oleh pengambil keputusan. Ia sering disebut sebagai instrument.

b. Tujuan (objective). Penetapan tujuan membantu pengambil keputusan memusatkan perhatian pada persoalan dan pengaruhnya terhadap organisasi. Tujuan ini diekspresikan dalam variabel keputusan.

c. Kendala (constraint) adalah pembatas-pembatas terhadap alternatif tindakan yang tersedia.

2. Pembentukan model

Model merupakan ekspresi kuantitatif dari tujuan dan kendala-kendala persoalan dalam variabel keputusan. Jika model yang dihasilkan cocok dengan salah satu model matematika yang biasa (misalnya linier), maka solusinya dapat dengan mudah diperoleh dengan program linier. Jika hubungan matematika model begitu rumit untuk penerapan solusi analitik, maka suatu model probabilitas mungkin lebih cocok. Atau bahkan kombinasi model matematika dan probabilitas memungkinkan untuk diterapkan.

3. Mencari penyelesaian masalah

Pada tahap ini bermacam-macam teknik dan metoda solusi kuantitatif dapat menjadi alternatif dalam Operasional Research. Penyelesaian masalah sesungguhnya merupakan aplikasi satu atau lebih teknik-teknik ini terhadap model. Seringkali solusi terhadap model berarti nilai-nilai variabel keputusan yang mengoptimumkan salah satu fungsi tujuan dengan nilai fungsi tujuan lain yang dapat diterima.

(43)

25

4. Validasi model

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam pembentukan model harus absah. Dengan kata lain model harus diperiksa apakah mencerminkan berjalannya sistem yang diwakili. Suatu metoda yang biasa digunakan untuk menguji validitas model adalah membandingkan performancenya dengan data masa lalu yang tersedia. Model dikatakan valid jika dengan kondisi input yang serupa dapat menghasilkan kembali performance seperti masa lampau.

5. Penerapan hasil akhir

(44)

METODA PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Unit Prosesing Sayuran dataran rendah di Pekanbaru, Riau dan laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Pertanian IPB, pada bulan Maret 2010 sampai dengan Mei 2010.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah pak choi (xiao bay chay) dan caisin (chay sin) yang dipanen pada umur 28 – 35 hari setelah tanam, plastik kemasan dan karton untuk mengemas produk.

Alat yang digunakan adalah timbangan digital merk ACS type 788, kamera digital merk SONY cyber-shot 12,1 mega pixels dan chromamater ColorTec-PCMTM untuk mengukur warna, refrigerator untuk menyimpan produk, thermometer untuk mengukur suhu, stopwacth untuk mengukur waktu serta alat pendukung untuk uji organoleptik.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dalam 3(tiga) tahap yaitu :

Penelitian Pendahuluan/Tahap Pertama (Identifikasi Tahapan Pascapanen,

Berlaku Saat Ini)

Penelitian pendahuluan adalah untuk mengidentifikasi suhu, alokasi waktu dan susut untuk tiap tahapan cold chain yang selama ini menjadi standar prosedur yang berlaku di unit prosesing. Penelitian dilakukan dengan mengukur suhu ruang dengan thermometer dan mengukur waktu tiap tahapan dengan menggunakan stopwatch yang akan menjadi acuan dalam penelitian tahap II.

Dari empat jenis sayuran yang ada saat ini maka akan diteliti dua jenis sayuran saja yang memiliki permintaan pasar masing-masing 40% dari total permintaan yang ada. Dua jenis sayuran tersebut adalah xiao bay chay dan chay sin.

(45)

27

[image:45.595.109.500.58.795.2]

teridentifikasi dilanjutkan dengan mengumpulkan informasi terhadap rantai dingin yang terdapat didalam tahapan pascapanen yang ada. Dilanjutkan dengan pengumpulan informasi dan pengukuran langsung terhadap alokasi waktu tiap tahapan dan suhu yang digunakan untuk masing-masing tahapan rantai dingin yang ada. Dari data dan informasi yang terkumpul untuk tahap selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap susut bobot yang terjadi selama ini. Seluruh tahapan ditampilkan dalam bentuk diagram alir pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram alir penelitian tahap I.

Penelitian Tahap Kedua (Optimasi Precooling dan Suhu Rantai Dingin

Terhadap Susut Sayuran)

Penelitian tahap II adalah untuk menguji kombinasi perlakuan precooling dan suhu rantai dingin optimal pada sayuran dataran rendah jenis caisin dan pak choi terhadap susut bobot dan perubahan warna serta penerimaan konsumen

Identifikasi Rantai Dingin Sayuran Dataran Rendah

Identifikasi Suhu & Alokasi Waktu Rantai Dingin

Rantai Dingin yang ada

Suhu & Alokasi Waktu Tiap Tahapan Identifikasi Tahap

Pascapanen Tahapan Pascapanen

(46)

28

selama penanganan pascapanen sampai ke tangan konsumen. Penelitian tahap II ini disusun secara Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 2 faktor, faktor pertama yaitu perlakuan precooling dengan air (hydrocooling) dengan 3 taraf yaitu A1=tanpa perendaman ; A2=dengan menggunakan air dengan suhu 27-29oC;

A3=dengan menggunakan air es pada kisaran suhu 4-6oC. Faktor kedua adalah

perlakuan suhu penyimpanan dengan 2 taraf yaitu B1=4oC; dan B2=0oC.

Xiao bay chay(pak choi) dan chay sin(caisin) yang dipanen pada umur 30 – 35 hari setelah tanam dan sesuai standar ekspor diberi perlakuan hydrocooling selama 5 menit. Air dengan suhu 27-29oC berasal dari air sumur di lokasi panen sayur, sedangkan air es dengan suhu 4-6oC di dapat dari pencampuran 10 liter air dengan 4 kg es. Selanjutnya dari masing-masing perlakuan diambil sampel secara acak untuk dievaluasi mutu sayuran (warna, bobot dan uji organoleptik). Prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan dalam tahap ini adalah:

Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor dan 3 kali ulangan.

A = Perlakuan Hydrocooling A1 = tanpa perendaman

A2 = menggunakan air sumur

A3 = menggunakan air es dengan kisaran suhu 4-6oC

B = Suhu Cold Chain B1 = 4oC

B2 = 0oC

Jumlah satuan percobaan adalah 3 x 2 x 3 = 18 unit. Model rancangan yang digunakan yang dikemukan oleh Aunuddin (2005) adalah :

Yijk =

μ

+ Ai + Bj + (AB)ij +

ε

ijk.

Keterangan :

Yijk = respon tiap parameter yang diamati

μ

= nilai rata-rata umum

Ai = pengaruh perlakuan hydrocooling

(47)

29

[image:47.595.61.505.74.761.2]

(AB)ij = pengaruh interaksi perlakuan precooling dan perlakuan suhu cold chain

ε

ijk = pengaruh galat percobaan

Gambar 4. Diagram alir penelitian tahap II.

Sayuran Dataran

Pengumpulan

Analisa:

1) Susut bobot 2) Warna daun 3) Uji organoleptik

Cold chain

Perlakuan:

Suhu rantai dingin 4oC dan 0oC

Preecoling:

1) Tanpa Hydrocoling (kontrol)

2) Hydrocooling menggunakan air bersuhu 27-29oC 3) Hydrocooling menggunakan air es dengan suhu 4-6oC

Panen

Analisa:

(48)

30

Pengamatan dan Pengukuran

Parameter yang diamati adalah susut bobot, warna dan uji organoleptik terhadap warna dan kesegaran, kekerasan serta penilaian secara umum.

1. Susut Bobot

Susut bobot dapat dikelompok kepada dua bagian yaitu susut bobot akibat aktivitas fisiologi produk (respirasi, transpirasi, dll) dan susut bobot akibat triming. Kehilangan bobot dapat dihitung dengan menimbang sayur diawal dan akhir setiap tahapan dan mengurangi hasil timbangan akhir dengan hasil timbangan awal.

Untuk menghitung kehilangan bobot digunakan persamaan: KB = Wawal– Wakhir

KB(%) = x100%

Wawal Wakhir Wawal

Dimana:

KB : kehilangan bobot, kg Wawal : berat awal, kg

Wakhir : berat akhir, kg

Penghitungan susut bobot dilakukan untuk setiap tahapan pasca panen yang dilakukan, khusus pada tahap penyimpanan dilakukan penghitungan setiap hari selama tujuh hari penyimpanan.

2. Warna

Sistem notasi warnanya dinyatakan dengan menggunakan sistem Hunter yang dicirikan dengan 3 parameter yaitu L, a dan b. Nilai L menyatakan kecerahan (cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu dan hitam) yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menyatakan warna kromatik campuran merah hijau dengan nilai +a dari 0 sampai 60 untuk warna merah dan –a dari 0 sampai -60 untuk warna hijau. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran kuning biru dengan nilai +b dari 0 sampai +60 untuk warna kuning dan nilai –b dari 0 samapai -60 untuk warna biru.

(49)

31

30 cm) yang dirancang khusus dengan meminimalkan pengaruh cahaya dari lingkungan. Foto diambil dengan 3 kali ulangan dari contoh yang berbeda dari jarak 30 cm dan fokus 4,5 mm. Hasil L, a dan b yang berasal dari software dilakukan kalibrasi dengan chromameter yang ada. Kalibrasi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Ukur L, a dan b pada sampel dengan alat chromameter sehingga diperoleh nilai L, a dan b.

b. Dengan sampel yang sama dilakukan pemotretan sampel dengan kamera digital sehingga diperoleh foto sampel.

c. Foto yang diperoleh diproses dengan software yang ada sehingga juga diperoleh nilai r,g dan b yang kemudian dimasukkan ked

Gambar

Gambar 1. Diagram alir penanganan pasca panen sayuran.
Gambar 2. Skema jaringan rantai dingin
Gambar 3. Diagram alir penelitian tahap I.
Gambar 4. Diagram alir penelitian tahap II.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika Peserta didik dapat menuliskan syarat dan rukun shalat jenazah yang akan dimandikan sangat lengkap dan sempurna, skor 4.. Jika Peserta didik dapat menuliskan syarat dan

Kontrak / Surat Perjanjian / SPMK / Referensi Kerja dan Pengalaman Kerja pada pekerjaan sejenis sesuai LDK, Berita Acara Serah Terima Pekerjaan serta Bukti

Beberapa hal yang ditemukan dalam penelitian ini adalah, bahwa terdapat permasalahan pada proses studi mahasiswa asal Halmahera angkatan 2001-2004 di UKSW yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh secara serempak dan parsial dari kepribadian (X1) dan lingkungan keluarga (X2), terhadap Minat Berwirausaha

Sehubungan Pengadaan Langsung pada Kegiatan Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru Tahun Anggaran 2013 dan berdasarkan Berita Acara Hasil Pengadaan Langsung (BAHPL) Nomor

Jika pada tanggal / waktu tersebut diatas Saudara atau yang mewakili Saudara (yang ditunjukkan dengan Surat Kuasa dari Perusahaan ) tidak dapat hadir dan/atau

ppx gagian perlengkapan Sekretariat Daerah

PPK Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah