• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketersediaan biologis (bioavailabilitas) kalsium secara in vitro pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ketersediaan biologis (bioavailabilitas) kalsium secara in vitro pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

EVA FITRINA PURWAWINANGSIH

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

Crackers with African Catfish’s (Clarias gariepinus) Head Flour. Under direction of EVY DAMAYANTHI.

Crackers with African catfish’s head flour (ACHF) as many as 12,5 g contains high calcium which contributes 24% to Indonesian’s RDA for adolescents. Investigation of in vitro bioavailability for ACHF-cracker’s calcium was the major target of this study because the high calcium content in food does not describe whether the absorbed calcium was also high. Types of crackers did not significantly affect the water content (p>0,05), but it significantly affected the protein content, phosphorus content, calcium total, calcium bioavailability, and available calcium total (p<0,05). ACHF-crackers contain protein 11,41% (dry basic), which is higher than other crackers. While in dry basic ACHF-crackers contain phosphorus (107,13 mg 100 g-1), calcium total, (568,29 mg 100 g-1)and available calcium total (80,31 mg 100 g-1), which are lower than commercial crackers but higher than control crackers. In contrast, calcium bioavailability from ACHF-crackers (14,53%) is lower than control crackers but higher than commercial crackers.

(3)

KalsiumSecara In Vitro pada Crackers dengan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Dibimbing oleh EVY DAMAYANTHI.

Kalsium merupakan salah satu mineral makro yang penting untuk pembentukan tulang dan gigi yang normal. Sumber utama kalsium untuk masyarakat pada negara-negara maju adalah susu dan hasil olahannya namun rata-rata konsumsi susu pada remaja di Kota Bogor masih jauh dari angka kecukupan yang dianjurkan. Crackers dengan tepung kepala ikan lele sebanyak 12,5 gram mengandung 239,2 mg kalsium per takaran saji (44 g) dan dapat berkontribusi terhadap kecukupan kalsium remaja berdasarkan AKG 2004 sebesar 24%. Penambahan kalsium dalam produk pangan harus disertai dengan pengetahuan akan nilai ketersediaan biologis nya (bioavailabilitas) karena total kalsium yang tinggi dalam suatu produk belum menjamin jumlah kalsium yang diserap oleh tubuh yang tinggi pula.

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada crackers dengan dengan tepung kepala ikan lele dumbo. Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah (1) mengkaji pengaruh jenis crackers terhadap kadar air, protein, fosfor, dan total kalsium produk crackers dan (2) mengkaji pengaruh jenis crackers terhadap bioavailabilitas kalsium dan total kalsium tersedia produk crackers.

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu (1). pembuatan crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo, (2) analisis kadar air, protein, fosfor dan total kalsium crackers, dan (3) analisis bioavailabiitas kalsium in vitro crackers. Analisis bioavailabilitas dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap pencernaan in vitro kalsium pada crackers dan tahap kedua yaitu pengabuan basah dialisat sebagai preparasi untuk mengetahui kadar kalsium yang berada dalam kantung dialisis yang menunjukkan kalsium yang diserap. Analisis sidik ragam terhadap data-data yang diperoleh menggunakan one way ANOVA, sedangkan uji lanjutnya adalah uji lanjut Duncan.

Tiga jenis crackers yang diteliti yaitu crackers kontrol, crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo sebanyak 12,5 g, dan crackers komersial high calcium original. Pemilihan ketiga jenis crackers pada penelitian ini didasarkan pada perbedaan komposisi bahan baku yang diduga akan menyebabkan perbedaan total kalsium. Metode yang digunakan dalam pembuatan crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo adalah metode all in dough yaitu semua bahan dicampur sekaligus menjadi adonan dan difermentasi bersama-sama.

(4)

crackers kontrol memiliki total kalsium lebih rendah daripada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (p<0,05). Bioavailabilitas kalsium crackers berkisar antara 8,00% sampai dengan 17,40%. Bioavailabilitas kalsium crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo secara nyata lebih tinggi daripada crackers komersial, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan crackers kontrol (p<0,05). Sementara itu, Total kalsium tersedia pada crackers berkisar antara 15,03 mg/100g sampai 96,83 mg/100 g. Crackers komersial secara nyata memiliki total kalsium tersedia paling tinggi, sedangkan total kalsium tersedia paling rendah terdapat pada crackers kontrol (p<0,05).

Kandungan kalsium dan fosfor crackers memiliki korelasi negatif terhadap bioavailabilitas kalsium yang nyata (p<0,05), sedangkan kandungan protein crackers tidak berkorelasi secara nyata (p>0,05) terhadap bioavailabilitas kalsium crackers. Hal ini memiliki arti bahwa semakin tinggi kadar kalsium atau fosfor maka bioavailabilitas kalsium crackers semakin rendah. Sementara itu, kadar protein crackers tidak mempengaruhi bioavailabilitas kalsium pada crackers.

(5)

EVA FITRINA PURWAWINANGSIH

Skripsi

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)

Nama : Eva Fitrina Purwawinangsih NIM : I14062461

Disetujui : Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS. NIP. 19621204 198903 2 002

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. NIP. 19621218 198703 1 001

(7)

Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) Kalsium secara In Vitro pada Crackers dengan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Wawan Kuswandi, Ibunda Sriningsih, Muhammad Dwipa Aditya, Ade Fachry Tridiva, Herlan serta seluruh keluarga penulis atas kasih sayang, perhatian, dan dukungan materiil maupun spirituil. Selain itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahan,

2. Ir. Eddy Setyo Mudjajanto selaku dosen pemandu seminar,

3. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dalam perbaikan skripsi ini,

4. dr. Yekti Hartati Effendi sebagai dosen pembimbing akademik,

5. Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto MS. atas izin penggunaan tepung kepala ikan lele dumbo,

6. Dr. Ir. Lilik Kustiyah M.Si, Bapak Mashudi, dan Ka Herviana Ferazuma atas motivasi dan bantuannya

7. Keluarga besar Gizi Masyarakat: para pengajar, laboran-laboran dan staf atas segala bantuannya,

8. Teman-teman pembahas: Ummi Rufaizah, Dudung Angkasa, dan Suci Apriyani serta sahabat seperjuangan : Nurhidayah dan Miftakhurrahmah atas saran dan kerjasamanya,

9. Sahabat terbaik: Yustika Sekar Negari, Deristyani, Andri Susanti, Karlina Nurcahyo, dan Andy Aditya Atmaja atas pengertian dan perhatiannya. Sahabat KOPLAG ’43 (Yule, Aim, Fitri, Dita, Irni, Rakhma, Reti, Risti, Dinov dll), GM ’43, ’44, ‘45 dan Wisma Amany (Nadh, Yuli, Hany, Putri, Refi, Lusi, Dewi, Icha, Ayu, Indri, dll) atas canda tawa dan semangat yang diberikan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, namun tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2011

(8)

Kuswandi dan Ibu Sriningsih. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis mengawali pendidikan formal di Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Bagoang, Bogor (1994-2000), kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Jasinga, Bogor (2000-2003). Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Jasinga, Bogor (2003-2006).

Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama penulis mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) kabinet Laskar Pelangi sebagai staf divisi Komunikasi dan Informasi (KOMINFO). Selain itu, penulis juga mengikuti organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) sebagai Public Relation External, dan aktif di Organisasi Ikatan Lembaga Mahasiswa Gizi Indonesia (ILMAGI) sebagai staf divisi kewirausahaan. Penulis juga aktif sebagai panitia dalam kegiatan FUNNY FAIR 2008, NUTRITION FAIR, The Power of Diet 2009, dll.

(9)

DAFTAR ISI

Faktor fisiologis yang mempengaruhi absorpsi kalsium ... 10

Status vitamin D ... 10

Defisinsi kalsium dan fosfor ... 11

Daur kehidupan ... 11

Bioavailabilitas berbagai garam kalsium ... 12

Crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo ... 13

Bioavailabilitas kalsium dan total kalsium tersedia ... 33

Bioavailabilitas kalsium ... 33

(10)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 43

Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Angka kecukupan rata-rata kalsium yang dianjurkan ... 4 2. Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992) ... 13 3. Hasil analisis sifat kimia tepung kepala ikan lele dumbo ... 16 4. Hasil analisis proksimat, fosfor dan kalsium crackers dengan tepung

kepala ikan lele dumbo……… 16 5. Resep crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele

dumbo ... 18 6. Hasil analisis rata-rata kadar air (%) pada produk crackers ... 28 7. Hasil analisis rata-rata kandungan protein (%) pada produk crackers .... 29 8. Hasil analisis rata-rata kadar fosfor (mg/100g) pada produk crackers .... 31 9. . Hasil analisis rata-rata total kalsium (mg/100g) pada crackers ... 32 10. Persentase kontribusi total kalsium crackers terhadap kecukupan

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kepala ikan lele dumbo segar (Ferazuma 2009) ... 14 2. Diagram alir pembuatan crackers kontrol dan crackers dengan tepung

kepala ikan lele dumbo (Ferazuma 2009)Produk Crackers yang diteliti . 20 3. Tahap-tahap persiapan sampel ... 21 4. Prosedur pencernaan kalsium secara in vitro dalam analisis

ketersediaan biologis (bioavailabilitas) kalsium dengan metode dialisis (Roig et al. 1999) ... 22 5. Prosedur pengabuan basah dalam analisis total kalsium dalam dialisat

maupun pada crackers dengan metode AAS. ... 23 6. Skema penelitian bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada crackers

dengan tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 24 7. Produk Crackers yang diteliti ... 26 8. Tahap persiapan inkubasi: Gelas piala berisis kantung dialisis dalam

larutan buffer NaHCO3 (a) dan tabung shaker berisi kantung dialisis dalam suspensi sampel (b) ... 34 9. Inkubasi sampel bioavailabilitas kalsium in vitro dalam penangas air

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Penentuan Kadar Air (Apriyantono et al. 1989) ... 49

2. Analisa Protein Metode Semi Mikro Kjeldahl (Sulaeman et al 1994) ... 49

3. Perhitungan Analisis Kadar Air Crackers ... 50

4. Perhitungan Analisis Kadar Protein Crackers ... 50

5. Perhitungan Analisis Kadar Fosfor Crackers ... 51

6. Perhitungan Analisis Kadar Total Kalsium Crackers ... 52

7. Perhitungan Analisis Bioavailabilitas Kalsium Crackers ... 54

8. Hasil Sidik Ragam (One Way ANOVA) Kadar Air, Protein, Fosfor, Kalsium, Bioavailabilitas Kalsium, dan Total Kalsium Tersedia ... 57

9. Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap kadar Air, Protein, fosfor, Kalsium dan Bioavailabilitas kalsium ... 58

10. Hasil Uji Korelasi Pearson ... 59

11. Hasil Pembacaan Standar Kalsium dan Total kalsium Crackers dengan menggunakan AAS... 60

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kalsium merupakan salah satu mineral makro yang penting untuk pembentukan tulang dan gigi yang normal. Kalsium juga berperan dalam proses pembekuan darah, kontraksi otot, metabolisme sel, dan mengirimkan isyarat saraf ke sel (Bredbenner et al. 2007). Berdasarkan hasil SUSENAS, konsumsi kalsium pada tahun 2002 menurun menjadi 331,74 mg/hari dibandingkan tahun 1999 yang mencapai 421,17 mg/hari (Soekatri & Kartono 2004). Kebutuhan kalsium terbesar adalah pada waktu pertumbuhan dan akan terus berlanjut meskipun sudah mencapai usia dewasa (Winarno 2008). Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan seperti tulang kurang kuat, mudah bengkok dan rapuh atau pada orang dewasa biasa disebut osteoporosis (Almatsier 2006). Berdasarkan hasil penelitian Puslitbang Gizi dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) pada tahun 2008, risiko osteoporosis di tiga Provinsi di Indonesia (Sulawesi Utara, Yogyakarta, dan Jawa Barat) adalah sebesar 22.3% dan osteopenia sebesar 32.7%. Proporsi risiko osteoporosis pada laki-laki cenderung lebih tinggi dari perempuan yaitu 24.4% dan 21.2% (Prihatini 2008).

Sumber utama kalsium untuk masyarakat pada negara-negara maju adalah susu dan hasil olahannya yang mengandung sekitar 1150 mg kalsium per liter (Soekatri & Kartono 2004), Namun menurut Hardinsyah et al. (2008), rata-rata konsumsi susu pada remaja Di Kota Bogor adalah 170 ml/hari. Konsumsi ini memang memberikan kontribusi kalsium terbesar yaitu 250 mg/hari dibandingkan pangan sumber kalsium lainnya, namun angka tersebut masih jauh dari angka kecukupan yang dianjurkan yaitu sebesar 1000 mg/hari. Makanan yang dibuat dengan menggunakan susu dan hasil olahannya, seperti roti putih, rolls, dan crackers juga dapat berkontribusi terhadap pemenuhan kecukupan kalsium (Bredbenner et al. 2007).

(15)

tepung kepala ikan lele dumbo yang mengandung 239,2 mg kalsium per sajian (44 g) yang dapat berkontribusi terhadap kebutuhan kalsium remaja, dan dewasa berturut-turut sebesar 24%, dan 30% (Ferazuma 2009). Kontribusi tersebut cukup tinggi bagi pemenuhan kecukupan kalsium harian walaupun kontribusi tersebut masih lebih kecil jika dibandingkan dengan crackers komersial high calcium crackers yangmemberikan kontribusi 44% untuk konsumsinya sebanyak 44 gram (setara dengan 13 keping).

Penggunaan tepung kepala ikan pada crackers tersebut selain untuk meningkatkan kalsium crackers juga dapat menjadi alternatif pengurangan limbah ikan. Produksi ikan lele dumbo pada tahun 2003 mencapai 360 juta ekor. Ferazuma (2009) menyatakan bahwa limbah kepala ikan lele dumbo adalah 10% dari ikan segarnya sehingga limbah yang dihasilkan sebesar 36 juta kepala ikan. Berdasarkan Adawyah (2008) limbah kepala dan sirip ikan  mengandung komponen berupa garam kalsium fosfat, dan senyawa nitrogen yang dapat dimanfaatkan menjadi tepung tulang ikan.  

Penambahan kalsium dalam produk pangan harus disertai dengan pengetahuan akan ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas) karena total kalsium yang tinggi dalam suatu produk belum menjamin jumlah kalsium yang diserap oleh tubuh yang tinggi pula. Jika bioavailabilitasnya rendah maka jumlah kalsium yang diserap oleh tubuh pun menjadi rendah (Puspita 2003). Ketersediaan biologis (bioavailabilitas) dapat diartikan sebagai jumlah mineral dalam bahan pangan yang dapat diserap dan dipergunakan oleh tubuh. Bioavailabilitas kalsium dapat dianalisis dengan metode in vivo maupun in vitro. Namun, metode in vitro selama ini dinilai lebih menguntungkan karena cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, baik itu faktor pendorong maupun faktor penghambat. Faktor yang dapat meningkatkan absorpsi kalsium antara lain vitamin D dalam bentuk aktif (1,25(OH)2D3), fosfor, protein, dan laktosa (Almatsier 2006). Adapun faktor yang menghambat penyerapan kalsium diantaranya kekurangan vitamin D dalam bentuk aktif (1,25(OH)2D3), adanya asam oksalat dan asam fitat, serat, kation divalen, serta lemak.

(16)

untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih kudapan yang baik dalam rangka memenuhi kecukupan kalsium untuk mempertahankan kondisi fisiologis dan metabolis tubuh yang normal.

Tujuan Penelitian Tujuan umum :

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo

Tujuan khusus :

Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah mengkaji pengaruh jenis crackers terhadap:

1. Kadar air, protein, fosfor, dan total kalsium pada crackers

2. Bioavailabilitas kalsium dan total kalsium tersedia pada crackers. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada konsumen mengenai bioavailabilitas kalsium dari produk crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo. Dengan demikian masyarakat dapat memenuhi kecukupan kalsium dari berbagai pangan sumber atau tinggi kalsium di samping susu dan olahannya. Selain itu, penggunaan tepung kepala ikan pada pengembangkan produk crackers yang memiliki kalsium tinggi dengan memanfaatkan hasil sampingan dari ikan atau hasil sampingan produk pangan lainnya dapat mengurangi masalah limbah ikan.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Kalsium

Mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia adalah kalsium, yaitu sebanyak 1,5 sampai 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1 kg. Sebanyak 99% dari jumlah tersebut terdapat pada jaringan keras, yaitu tulang dan gigi, selebihnya kalsium tersebar dalam tubuh. Angka kecukupan kalsium rata-rata yang dianjurkan per hari dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Angka kecukupan rata-rata kalsium yang dianjurkan

Kelompok Kecukupan Kalsium (mg/hari)

Bayi (bulan)

(18)

Berdasarkan Almatsier (2006), kalsium mempunyai fungsi dalam pembentukan tulang dan gigi, katalisator reaksi-reaksi biologik, dan kontraksi otot. Pada pembentukan tulang, kalsium di dalam tulang mempunyai dua fungsi yaitu sebagai bagian integral dari struktur tulang dan sebagai tempat menyimpan kalsium. Selain itu, beberapa reaksi biologik yang menggunakan kalsium sebagai katalisator adalah absorpsi vitamin B12, tindakan enzim pemecah lemak, aktivasi lipase pankreas, ekskresi insulin oleh pankreas, dan proses pemecahan serta pembentukan asetilkolin.

Defisiensi kalsium

Ketidakcukupan asupan kalsium, rendahnya absorpsi kalsium dan atau kehilangan kalsium yang berlebihan berkontribusi terhadap defisiensi kalsium. defisiensi kalsium akan menyebabkan ketidaknormalan pada tulang seperti riketsia dan osteoporosis. Selain itu, defisiensi kalsium juga berasosiasi dengan kejadian kejang (tetani), hipertensi, kanker kolon, dan obesitas atau berat badan berlebih. Riketsia terjadi pada anak-anak ketika penambahan jumlah kalsium per unit matriks tulang defisien sehingga mineralisasi tulang terganggu. Riketsia biasanya tampak pada pergelangan tangan, mata kaki, dan lutut (Gropper et al. 2005).

Osteoporosis merupakan gangguan yang menyebabkan penurunan secara bertahap jumlah dan kekuatan jaringan tulang. Penurunan tersebut disebabkan oleh terjadinya demineralisasi yaitu tubuh yang kekurangan kalsium akan mengambil simpanan kalsium yang ada pada tulang dan gigi (Soekarti & Kartono 2004). Bredbenner et al. (2007) menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi untuk mempertahankan massa tulang yang cukup mula-mula akan mengarah pada osteopenia yaitu massa tulang rendah. Osteoporosis didiagnosa ketika kehilangan massa dan penurunan kekuatan tulang signifikan sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Osteopenia dan osteoporosis didefinisikan berdasarkan kriteria WHO (World Health Organization), dimana densitas massa tulang 0.759 sampai 0.909 g/cm2 disebut osteopenia sedangkan densitas massa tulang di bawah 0.759 g/cm2 disebut osteoporosis (Varena et al. 2007) .

(19)

kolon melalui kemampuannya mengikat asam empedu dan asam lemak bebas yang keberadaannya dapat memicu terjadinya kanker melalui hiperproliferasi kolon (Gropper et al. 2005). Sirkulasi level vitamin D yang merupakan respon terhadap rendahnya asupan kalsium menyebabkan jalur kalsium terbuka pada membran di sel-sel tertentu (contohnya otot halus dan adiposit). Hal tersebut memiliki konsekuensi terjadinya aktivasi respon spesifik dari berbagai jaringan seperti kontraksi otot halus pada arteri, peningkatan sintesis lemak dan penurunan lipolisis pada adiposit. Mekanisme tersebut merupakan dampak kurangnya asupan kalsium terhadap berkembangnya hipertensi dan obesitas (Weaver & Heaney 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Varena et al. (2007) menunjukkan bahwa pada wanita posmenopause awal, asupan kalsium dan variabel densitas mineral tulang lumbar secara statistik memiliki asosiasi berlawanan dengan status overweight. Pada setiap kelas densitas massa tulang, proporsi wanita overweight ditingkatkan dengan penurunan asupan produk susu dan olahannya.

Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) Kalsium

Kalsium dalam suatu bahan pangan tidak semua dapat dimanfaatkan untuk keperluan tubuh. Hal ini bergantung pada ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas). Bioavailabilitas kalsium menunjukkan proporsi kalsium yang tersedia untuk digunakan dalam proses metabolis terhadap kalsium yang dikonsumsi (Miller 1996). Semakin tingggi kebutuhan dan semakin rendah persediaan kalsium dalam tubuh akan menyebabkan absorpsi kalsium yang efisien (Almatsier 2006).

(20)

usus. Namun jika konsentrasi kalsium darah meningkat, kelenjar tiroid akan melepaskan calcitonin yang kemudian akan mengembalikan konsentrasi kalsium ke dalam range normal dengan jalan mengurangi perombakan kalsium dari tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal (Bredbenner et al. 2007).

Terdapat beberapa cara untuk mengukur bioavailabilitas dari kalsium. Metode tersebut antara lain metode keseimbangan kalsium dan isotop kalsium. Kedua metode pengukuran tersebut biasanya dilakukan secara in vivo yaitu mengukur absorpsi pada manusia atau hewan. Metode keseimbangan kalsium dilakukan untuk mengukur absorpsi nyata kalsium yang merupakan selisih antara kalsium yang dikonsumsi dengan kalsium yang diekskresikan lewat feses. Absorpsi nyata kalsium berkisar antara 20% sampai 40%. Keseimbangan kalsium diperoleh ketika asupan kalsium cukup untuk mengcover kehilangan kalsium lewat urin, feses dan keringat. Keseimbangan kalsium positif dibutuhkan pada saat pertumbuhan, kehamilan, dan laktasi. Ketidakakuratan pengukuran dengan metode ini akan terjadi apabila pengumpulan sampel feses tidak tepat dan adanya perubahan efiisensi absorpsi yang disebabkan oleh adaptasi tubuh terhadap level asupan kalsium yang berubah. Dengan prinsip yang hampir sama dengan metode keseimbangan kalsium, pada metode isotop kalsium dilakukan dengan menginjeksikan isotop kalsium baik yang bersifat radioaktif maupun yang stabil lewat intravena (Allen 1982).

Selain secara in vivo, pengukuran bioavailabilitas kalsium juga dapat dilakukan secara in vitro. Metode in vitro merupakan simulasi proses pencernaan bahan pangan dengan menggunakan enzim komersial. Enzim pepsin dan pankreatin bile yang biasa digunakan berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis (Roig et al. 1999). Metode in vitro selama ini dinilai lebih menguntungkan karena cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, baik itu faktor pendorong maupun faktor penghambat. Allen (1982) mengelompokkan faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium menjadi dua kelompok yaitu faktor komponen makanan dan faktor fisiologis.

Komponen makanan yang mempengaruhi absorpsi kalsium

(21)

bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi dua) juga dapat mengurangi absorpsi kalsium. Penjelasan dari masing-masing masing-masing faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium adalah sebagai berikut:

Fosfor. Kalsium dan fosfor saling berpengaruh erat dalam proses absorpsi kalsium. Secara teoritis, pengaruh fosfor terhadap absorpsi kalsium terjadi melalui dua jalan yaitu 1). secara langsung mempengaruhi ketersediaan kalsium melalui interaksinya dalam diet, dan 2). secara tidak langsung dimediasi melalui respon hormonal tubuh terhadap kekurangan atau kelebihan fosfor (Allen 1982). Berdasarkan Linder (2006), konsumsi kalsium hendaknya dalam kisaran yang sama dengan konsumsi fosfor walaupun rasio kalsium dengan fosfor 1:1,5 mungkin dapat diterima. Tetapi rasio yang lebih dari 1:2, terutama jika konsumsi kalsium rendah, akan menyebabkan pengaruh negatif seperti demineralisasi tulang. Hasil penelitian Bernhart et al. tahun 1969 pada sejumlah tikus membuktikan bahwa diet yang mengandung cukup kalsium dengan jumlah fosfor yang sedikit lebih rendah dan sedikit lebih tinggi dari kalsium dapat mendukung tingkat pertumbuhan yang hampir maksimal dan pembentukan tulang. Perbandingan kalsium dan fosfor terbaik dalam penelitian tersebut adalah 1:0,6, 1:0,9, dan 1:1,4 (Broody 1999).

Protein. Selain fosfor, beberapa penelitian menyebutkan bahwa protein harian berkaitan erat dengan absorpsi kalsium. Hasil penelitian Heaney (2002) menjelaskan bahwa peningkatan asupan protein akan meningkatkan ekskresi kalsium di urin dan menyebabkan keseimbangan kalsium negatif. Menurut Broody (1999) efek ini disebut calciuric effect of protein. Heaney (2002) menjelaskan bahwa hal ini disebabkan karena asupan protein yang tinggi akan menigkatkan laju filtrasi glomerolus sehingga resorpsi kalsium di dalam tubulus ginjal akan berkurang, dengan demikian kalsium lebih banyak dibuang ke urin.

Menurut Hugges dan Harris (2002), pada asupan kalsium harian yang rendah (<800 mg/hr), asupan protein 20% lebih tinggi berasosiasi dengan penurunan jumlah kalsium yang diabsorpsi sebanyak 23%. Heaney (2002) menyimpulkan bahwa protein dan kalsium bersifat sinergis terhadap tulang jika keduanya tersedia dalam jumlah yang cukup dalam diet, dan bersifat antagonis jika asupan kalsium rendah.

(22)

diklasifikasikan sebagai materi penyusun dinding sel tumbuhan (selulosa, polisakarida nonselulosa, dan lignin) atau polisakarida nonstruktural seperti pektin, gum, musilage, dan beberapa hemiselulosa (Allen 1982). Selulosa dapat meningkatkan massa feses dalam usus dan mengurangi transit time sehingga mengurangi waktu yang tersedia untuk absorpsi kalsium. hemiselulosa menstimulasi proliferasi oleh mikroba, yang pada akhirnya akan mengikat kalsium sehingga kalsium tidak dapat diabsorpsi (Gropper et al. 2005)

Adanya asam fitat akan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut sehingga tidak dapat diabsorpsi (Almatsier 2006). Fitat atau juga sering disebut asam fitat atau mioinositol heksafosfat ditemukan pada beberapa pangan yang berasal dari tumbuhan seperti kacang-kacangan, biji-bijian dan sereal. Fitat mengikat kalsium dan menurunkan ketersediaannya khususnya jika rasio fitat : kalsium lebih dari 0.2 (Gropper et al 2005).

Oksalat terdapat dalam jumlah yang besar pada sayuran daun berwarna hijau seperti bayam. Rasio kalsium dengan oksalat biasanya kurang dari 0,5, yang mengindikasikan bahwa semua kalsium yang terkandung dalam sayuran daun hijau seluruhnya berada dalam bentuk terikat dengan oksalat (Allen 1982). Absorpsi kalsium di usus dihambat oleh oksalat dengan mengkelat kalsium dan meningkatkan ekskresinya lewat feses (Gropper et al 2005). Absorpsi kalsium dalam bentuk kalsium oksalat hanya sekitar 10%. Kalsium yang berasal dari bayam hanya diabsorpsi sekitar 5% (Broody 1999). Sama halnya dengan oksalat dan fitat, keberadaan tanin dalam teh juga akan menghambat penyerapan kalsium (Bredbenner et al. 2007).

Laktosa. Laktosa juga akan meningkatkan absorpsi bila tersedia cukup enzim laktase. Laktosa meningkatkan transpor kalsium melalui difusi di ileum dibandingkan dengan transpor aktif (Allen 1982). Reiser (1988) menjelaskan bahwa laktosa diduga dapat meningkatkan potensial transmembran mukosa dan mendorong influks kalsium lewat brush border dan dengan demikian akan meningkatkan absorpsi kalsium.

(23)

Lemak. Asam lemak makanan yang tidak terabsorpsi memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya steatorea yang dapat menurunkan absorpsi kalsium melalui pembentukan kompleks asam lemak dan kalsium (insoluble calcium shoaps) dalam lumen di usus halus yang tidak dapat diabsorpsi dan akan diekskresikan lewat feses (Gropper et al. 2005). Pembentukan kompleks asam lemak dan kalsium akan meningkatkan panjang rantai asam lemak dan menurunkan tingkat ketidakjenuhannya (Allen 1982).

Kation divalen. Gropper et al. (2005) menjelaskan bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi 2) seperti magnesium dan seng dapat mengurangi absorpsi kalsium ketika magnesium atau seng berada dalam keadaan berlebih dalam saluran pencernaan karena kedua mineral tersebut akan saling berkompetisi dalam hal penyerapannya di usus. Pengaruh kation divalen dalam bioavailabilitas kalsium dapat dikurangi jika konsumsinya tidak bersamaan sehingga keberadaannya dalam usus lebih rendah dari kalsium.

Faktor fisiologis yang mempengaruhi absorpsi kalsium

Selain komponen makanan, faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi absorpsi kalsium adalah status vitamin D, defisiensi kalsium dan fosfor, serta perbedaan kondisi fisiologis dan kebutuhan pada setiap tahap dalam daur kehidupan (Allen 1982). Tahap dalam daur kehidupan yang dimaksud adalah bayi, anak-anak dan remaja, dewasa, ibu hamil dan menyusui, wanita menopause serta lansia.

Status vitamin D. Vitamin D dalam bentuk aktif atau biasa disebut calcitriol akan meningkat jika sekresi hormon paratiroid tinggi, asupan kalsium harian rendah, dan dalam kondisi hamil dan menyusui (Allen 1982). Calcitriol akan meningkatkan absorpsi kalsium pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium (CaBP/Calsium binding protein) yang juga biasa disebut calbindin D9k (Gropper et al. 2005).

(24)

Defisiensi kalsium dan fosfor. Kebiasaan asupan kalsium harian baik rendah maupun tinggi dalam jangka panjang akan mempengaruhi efisiensi absorpsi kalsium melalui mekanisme adaptasi. Jika terjadi defisiensi kalsium, efisensi absorpsi kalsium akan meningkat dengan jalan meningkatkan transpor kalsium yang dibantu vitamin D. Penelitian pada tikus memperlihatkan peningkatan absorpsi kalsium di duodenum dan ileum berturut-turut yaitu 200% dan 400%. Tingginya absorpsi kalsium di usus disertai peningkatan asupan kalsium harian akan mengurangi demineralisasi tulang dan akan mengembalikan keseimbangan kalsium menjadi positif (Allen 1982). Namun, jika asupan kalsium tidak ditingkatkan, absorpsi kalsium akan menurun karena jumlah kalsium yang dapat diserap bekurang (Almatsier 2006).

Defisiensi fosfor juga akan meningkatkan absorpsi kalsium. Penelitian yang dilakukan oleh Dominguez et al. tahun 1976 menunjukan bahwa defisiensi fosfor meningkatkan produksi 1,25-(OH)2-vit D3 yang kemudian akan meningkatkan absorpsi kalsium (Allen 1982).

Daur kehidupan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Younoszai tahun 1981 memperlihatkan bahwa terdapat hubungan linier antara konsumsi dan absorpsi kalsium pada bayi. Pada asupan kalsium yang rendah, efisiensi absorpsi kalsium pada bayi berkurang daripada dewasa. Hal ini disebabkan karena mekanisme adaptasi tubuh terhadap asupan kalsium yang rendah tidak terjadi dan transpor kalsium biasanya hanya terjadi lewat difusi. Beberapa susu formula yang mengandung cukup kalsium dapat diabsorpsi 30%, sedangkan asupan 239 mg/kg/hari kalsium dari susu formula yang mengandung vitamin D dan trigliserida dapat diabsorpsi sebanyak 73% (Allen 1982).

Kemampuan untuk absorpsi kalsium lebih tinggi pada masa pertumbuhan dan menurun pada proses penuaan. Kebutuhan kalsium pada masa pertumbuhan lebih tinggi karena itu secara alamiah tubuh akan menyerap lebih banyak kalsium. Remaja cenderung menyerap kalsium lebih banyak daripada orang lanjut usia (Almatsier 2006).

(25)

Pada wanita menopause, penurunan sekresi hormon esterogen akan menyebabkan demineralisasi tulang (Linder 2006). Terapi esterogen selama 6 bulan dapat meningkatkan level calcitriol serum sebesar 40%. Peningkatan calcitriol serum tersebut meningkatkan absorpsi kalsium sebesar 20% dan reabsorpsi kalsium di renal ginjal. Absorpsi kalsium pada lansia dengan diet tinggi kalsium (2000 mg/hr) yaitu sekitar 20% sedangkan pada diet rendah kalsium (300 mg/hr), absorpsi kalsium meningkat menjadi 40% (Allen 1982). Bioavailabilitas berbagai garam kalsium

Bentuk kimia dari kalsium yang ditambahkan dalam produk dapat mempengaruhi bioavailabilitas kalsium (Rajagukguk 2004). Menurut Gropper et al. (2005), terdapat beberapa bentuk garam kalsium yang biasanya digunakan dalam suplemen dan fortifikasi yaitu kalsium karbonat, kalsium laktat, kalsium sitrat dan kalsium glukonat. Garam kalsium akan bersifat bioavailable dalam bentuk terlarut. Kalsium karbonat umumnya terdapat dalam bahan pangan dalam jumlah yang tinggi namun kelarutannya rendah (Muchtadi 2008). Kressel et al. (2010) menyatakan bahwa pada suhu 21oC, kalsium karbonat hampir tidak larut dalam air (0,014 g/l) dan dalam jus apel yang bersifat asam sekalipun (3 g/l) sehingga bioavailabilitasnya juga rendah (5,5%).

Sementara itu, beberapa macam garam kalsium yang mempunyai sifat kelarutan yang baik, misalnya kalsium glukonat, kalsium laktat. Kalsium laktat yang tersedia dalam bentuk pentahidrat (5H2O), mengandung 13% kalsium. Garam kalsium ini mempunyai sifat kelarutan dalam air yang tinggi (9,3 g/l), sehingga paling banyak digunakan dalam industri minuman, sedangkan kalsium glukonat memiliki kelarutan sebesar 3,5 g/l (Muchtadi 2008).

(26)

Fortifikasi kalsium juga terkadang menggunakan gabungan dari dua garam organik seperti kalsium laktat glukonat, kalsium laktat malat, dan kalsium laktat sitrat. Kalsium laktat glukonat merupakan garam kalsium yang sangat mudah larut dalam air (45 - 50 g/l) (Muchtadi 2008). Pada suhu 21oC, kelarutan kalsium laktat malat dalam air adalah 115 g/l, sedangkan kelarutan kalsium laktat sitrat sebesar 98 g/l (Kressel et al. 2010).

Crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Crackers adalah jenis biskuit yang terbuat dari adonan keras melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang mengarah kepada rasa asin dan renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis. Crackers tanpa pemanis merupakan tipe yang paling populer yang dapat dikonsumsi sebagai pengganti roti dan penggunaannya lebih luas sebagai makanan diet. Ciri-ciri crackers yang baik adalah tekstur yang renyah, tidak keras apabila digigit, tidak hancur dan mudah mencair apabila dikunyah (Manley 2000). Pengembangan produk crackers terus dilakukan baik untuk meningkatkan palatabilitas maupun kandungan zat gizinya. Salah satu pengembangan produk crackers yang dirancang untuk memberikan kontribusi kalsium terhadap pemenuhan AKG remaja adalah crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo (Ferazuma 2009). Tabel 2 menyajikan syarat mutu crackers mengacu pada biskuit.

Tabel 2 Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992)

Komponen Syarat Mutu

Air Maksimum 5%

Protein Minimum 9%

Lemak Minimum 9.5%

Karbohidrat Minimum 70%

Abu Maksimum 1.5%

Logam Berbahaya Negatif

Serat Kasar Maksimum 0.5% Kalori (per 100 gr) Minimum 400 Jenis Tepung Terigu

Bau dan Rasa Normal, tidak tengik

Warna Normal Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992)

Bahan baku Crackers

(27)

bahan pelembut tekstur. Bahan pengikat atau pembentuk adonan yang kuat adalah tepung terigu, air, dan garam, sedangkan bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelembut tekstur adalah gula, mentega, dan leavening agent (baking powder) sebagai bahan pengembang (Manley 2000).

Tepung terigu berfungsi sebagai pembentuk adonan selama proses pencampuran, menarik, atau mengikat bahan lainnya serta mendistribusikannya secara merata, mengikat gas selama proses fermentasi dan selama pemanggangan. Selain itu, tepung juga memegang peranan penting dalam pembentukan cita rasa (Matz & Matz 1978). Tepung terigu yang digunakan adalah tepung terigu yang terbuat dari gandum lemah, mempunyai daya serap air rendah, adonan yang terbentuk kurang elastis dan ekstensibel (Sijabat 2003). Air merupakan medium untuk membentuk adonan, melarutkan bahan, dan mendistribusikannya ke seluruh massa adonan. Kualitas air yang digunakan mempengaruhi karakteristik adonan.

Dalam pembuatan crackers, gula berkontribusi sebagai pemberi aroma melalui browning nonenzimatis dan sebagai pemanis. Gula menyediakan substrat untuk terjadinya fermentasi pada produk yang diolah menggunakan ragi. Selain itu, pada produk yang mengalami tahap pengadonan, gula berfungsi dalam pengatur keempukan (Penfield & Campbell 1990). Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan crackers karena berfungsi sebagai bahan pengemulsi yang menghasilkan tekstur yang renyah dan lembut pada kue (Manley 2000).

Bahan pengembang (Leavening agent) merupakan senyawa kimia yang bila terurai akan menghasilkan gas dalam adonan. Pada pembuatan crackers, bahan pengembang berfungsi dalam pembentukan volume dan membuat produk jadi ringan. Saat pemanggangan, gas yang dihasilkan bersama dengan udara dan uap air yang ikut terperangkap dalam adonan menyebabkan mengembang (Winarno 2008).

Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

(28)

kesamaan ciri morfologi yaitu bentuk tubuh bulat memanjang, licin, berlendir, tidak bersisik, memiliki tiga buah sirip tunggal (punggung, ekor, dubur) dan dua pasang sirip dada yang berfungsi sebagai senjata (patil), serta alat pernapasan tambahan berbentuk pohon yang biasa disebut arborescent organ yang memungkinkan lele dapat mengambil oksigen langsung dari udara bebas.

Perbedaan ciri morfologi keduanya terlihat pada ukuran, bentuk mulut, warna tubuh, dan kumis. Pada lele dumbo, ukuran tubuh dan bentuk relatif lebih besar daripada lele lokal. Lele dumbo memiliki warna tubuh yang akan berubah menjadi pucat saat terkena matahari dan menjadi loreng seperti mozaik hitam putih jika terkejut atau kaget, sedangkan pada lele lokal warna tubuh bersifat permanen. Selain itu, disekitar mulutnya lele dumbo memiliki delapan buah kumis yang berfungsi sebagai alat peraba saat bergerak dan saat mencari makan, sedangkan lele lokal hanya memiliki dua buah kumis. Ikan lele dumbo diklasifikasikan ke dalam Filum Chordata, Sub Filum Vertebrata, Kelas Pisces, Sub Kelas Teleostei, Ordo Ostariophysi, Sub Ordo Clariidae, Genus Clarias, dan Spesies Clarias gariepinus (Khairuman & Amri 2008).

Produksi ikan lele dumbo di indonesia pada tahun 2003 mencapai 360 juta ekor dan ditargetkan meningkat rata-rata 21,64% pada akhir tahun 2009 (Mahyuddin 2008). Khusus pada ikan, bagian yang dapat dimakan kira-kira hanya sebesar 70% sisanya adalah limbah ikan berupa kepala, sirip, ekor, dan isi perut yang umumnya tidak dapat digunakan sebagai makanan. Berdasarkan Adawyah (2008) limbah kepala dan sirip ikan mengandung komponen berupa garam kalsium, fosfat, dan senyawa nitrogen yang dapat dimanfaatkan menjadi tepung ikan. Ferazuma (2009) menambahkan bahwa pada lele dumbo, limbah kepala yang dihasilkan adalah 10% dari berat ikan segarnya.

(29)

Pembuatan tepung kepala ikan lele dumbo yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan crackers tersebut dimulai dengan sortasi ikan, kemudian dipisahkan antara kepala dan badannya lalu dilanjutkan dengan pemasakan dengan tekanan tinggi, pengepresan, pengeringan dengan drum dryer, dan penggilingan dengan willey mill (Ferazuma 2009). Hasil analisis sifat kimia tepung kepala ikan lele dumbo disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil analisis sifat kimia tepung kepala ikan lele dumbo

No Zat Gizi Tepung kepala Ikan lele dumbo (%bb)

1 Air 8,72

2 Abu 16,53

3 Protein 51,15

4 Lemak 8,56

5 Karbohidrat 15,03

6 Kalsium 5,68

7 Fosfor 3,78

Sumber: Ferazuma (2009)

Selain sifat kimia, pada pembuatan tepung kepala ikan lele dumbo tersebut juga dianalisis sifat fisik yang meliputi densitas kamba, derajat putih, dan aktivitas air (aw). Densitas kamba tepung kepala ikan lele dumbo sebesar 0,45 g/ml. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tepung kepala ikan lele dumbo berada dalam kisaran densitas kamba secara umum. Nilai derajat putih tepung kepala ikan dumbo sebesar 29,02%, sedangkan aktivitas air (aw) tepung kepala ikan lele dumbo sebesar 0,66 (Ferazuma 2009)

Berdasarkan hasil uji organoleptik yang dilakukan, crackers yang disukai adalah crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo sebanyak 12,5 g (Ferazuma 2009). Crackers ini memberi kontribusi kalsium pada anak-anak, remaja, dan dewasa sebesar 40%; 24%; 30% dari AKG Kandungan gizi crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo sebanyak 12,5 g disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil analisis proksimat, fosfor dan kalsium crackers dengan tepung

kepala ikan lele dumbo

Zat gizi Kandungan gizi per 100 g

Air 3,10 %

Abu 3,95 %

Protein 9,90 %

Lemak 18,60 %

Karbohidrat 64,50 %

Kalsium 543 mg

Fosfor 305 mg

(30)

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2010.

Pembuatan crackers dilakukan di Laboratorium Percobaan Makanan. Analisis

kimia crackers dan bioavailabilitas kalsium pada crackers dilakukan di

Laboratorium Analisis Kimia dan Pangan Departeman Gizi Masyarakat, Fakultas

Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga jenis

crackers. Crackers pertama adalah crackers kontrol. Crackers kedua yaitu

crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo sebanyak 12,5 g. Crackers

ketiga yaitu crackers komersial hi-calcium original. Bahan-bahan utama yang

digunakan dalam pembuatan crackers adalah tepung terigu, tepung kepala ikan

lele dumbo, gula, susu skim, margarin, mentega, garam, baking powder, dan

ragi. Tepung kepala ikan lele dumbo telah tersedia karena merupakan hasil

penelitian Ferazuma (2009).

Selain itu, bahan-bahan kimia yang diperlukan adalah bahan untuk

analisis kimia yang meliputi analisis kadar protein, total kalsium, dan

bioavailabilitas kalsium. bahan-bahan tersebut adalah air destilata, asam sulfat

(H2SO4), asam nitrat, selenium mix, HCl, asam borat (H3BO3), kalium hidroksida

(KOH), air bebas ion, enzim pepsin (Merck dari porsin), pankreatin (Sigma

P-170), ekstrak bile (Sigma B-8631), dan larutan natrium bikarbonat (NaHCO3).

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan crackers adalah mixer,

loyang, baskom, timbangan, oven, dan roller. Alat-alat lain yang digunakan

adalah alat untuk analisis kimia yang meliputi kadar protein, total kalsium, dan

bioavailabilitas kalsium. alat-alat tersebut terdiri dari erlenmeyer, labu takar,

magnetic stirrer, labu destilasi, labu Kjehdahl, buret, gelas piala, blender, neraca analitik, pH meter, pipet mohr, pipet tetes, pipet volumetrik, tabung reaksi,

aspirator (bulb), corong, spatula, botol semprot, plastik, gunting, karet gelang, kertas saring Whatman no.42, kantung dialisis (Spectrapor I, MWCO 6000-8000,

dia: 32,8 mm, flat width: 50 mm, vol/length: 8 ml/cm), penangas air bergoyang,

Spektrofotometer double beam, dan AAS (Atomic Absorption

(31)

Tahapan Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam beberapa tahap sebagai berikut :

1. Pembuatan crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele

dumbo

2. Analisis kadar air, protein, fosfor, dan total kalsium pada ketiga crackers 3. Analisis bioavailabilitas in vitro kalsium pada ketiga crackers

Tahap 1. Pembuatan crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo

Resep crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele

dumbo mengacu pada penelitian Ferazuma (2009). Resep crackers disajikan

dalam Tabel 5.

Tabel 5 Resep crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo

Komponen

Resep

Crackers kontrol Crackers dengan tepung

kepala ikan lele dumbo Adonan :

Sumber : Ferazuma (2009)

Tahap 2. Analisis Kadar Air, Protein, dan Fosfor Crackers

Crackers dianalisis sifat kimianya yang meliputi analisis kadar air, protein, fosfor dan total kalsium. Prosedur analisis kadar air dan protein dapat dilihat

(32)

Analisa Fosfor Metode Vanadat-Molibdat (Sulaeman et al. 1994)

a. Persiapan pereaksi Vanadat-Molibdat

20 gram ammonium molibdat dilarutkan dalam 400 ml akuades hangat

kemudian didinginkan. Timbang 1,0 gram vanadat dilarutkan ke dalam 300 ml

akuades mendidih. Setelah dingin, tambahkan asam nitrat pekat sambil

diaduk. Larutan molibdat dimasukkan ke dalam larutan vanadat, diaduk.

Larutan molibdat dimasukkan kedalam larutan vanadat, diaduk lalu

diencerkan hingga volume 1 liter.

b. Persiapan larutan fosfat standar

3,834 gram potassium dihidrogen fosfat kering dilarutkan di dalam akuades

dan diencerkan hingga volume 1 liter. Sebanyak 25 ml larutan tersebut

dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml dan diencerkan sampai tanda tera ( 1

ml = 0,2 P2O5).

c. Pembuatan kurva standar

Larutan fosfat standar diambil sebanyak 0; 0,025; 0,050; 0,100; 0,125; 0,150;

dan 0,200 ml lalu dimasukkan dalam labu takar 100 ml. Masing-masing

ditambah 25 ml pereaksi vanadat-molibdat kemudian ditera. Larutan

didiamkan selama 10 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan

spektrofotometer dengan panjang gelombang 400 nm.

d. Penetapan sampel

Sampel yang telah dipreparasi dipipet 1 ml dan dimasukkan ke dalam labu

takar 100 ml. Tambahkan 25 pereaksi vanadat-molibdat pada masing-masing

labu takar dan diencerkan sampai tanda tera. Setelah didiamkan sampel

diukur panjang absorbannya pada panjang gelombang 400 nm. Konsentrasi

fosfor dapat diketahui melalui kurva standar berdasarkan absorbans yang

terbaca.

Cara untuk menghitung kadar fosfor dapat dilihat sebagai berikut :

Kadar P205 = (100/1000 x fp x konsentrasi fosfor x 100) / mg sampel

Kadar P = berat atom P x 2 x kadar P2O5

berat molekul P2O5

(33)

Diagram pembuatan crackers disajikan pada Gambar 2:

Gula halus Tepung terigu

Baking powder Tepung kepala ikan lele dumbo*

Ragi Garam Susu Skim

Dicampur dengan mixer

Ditambah margarin

Diuleni dengan tangan sampai adonan kalis

Ditutupi lap yang telah dibasahi oleh air hangat

Difermentasi selama 1 jam

Dibuat lembaran** Ditaburi campuran margarin tepung terigu dan garam

Dilipat menjadi dua bagian**

Digiling kembali dengan roller menjadi lembaran**

Dipotong

Didiamkan selama 5 menit

Dipanggang

Crackers

Ket : * ditambahkan pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo

** proses ini dilakukan selama 5 kali

(34)

Tahap 3. Analisis Bioavailabilitas in vitro kalsium Crackers metode Dialisis (Roig et al. 1999)

a. Bahan dan Alat

Semua peralatan gelas dicuci, direndam dalam larutan HNO3 10% (v/v)

selama 24 jam dan dibilas dengan air bebas ion sebelum digunakan. Bahan dan

alat meliputi :

1. HCl 37%

2. Suspensi Pepsin :

1,6 g pepsin didispersikan ke dalam 0,1 M HCl dan ditepatkan volumenya

menjadi 10 ml. suspensi ini dibuat sewaktu akan digunakan.

3. Campurkan pankreatin :

Sebanyak 1 g pankreatin dan 6,25 g ekstrak bile didispersikan dalam 0,1

M NaHCO3 dan ditepatkan volumenya menjadi 250 ml. Campuran ini

dibuat sewaktu akan digunakan.

4. Kantung Dialisis :

Kantung dialisis dipotong dengan panjang 20 cm dan kemudian direndam

dalam air bebas ion sampai akan digunakan.

5. Botol-botol gelas :

Botol-botol gelas dengan ukuran yang sesuai dan mencukupi, digunakan

untuk tempat sampel dan kantung dialisis.

b. Persiapan sampel (Gambar 3)

crackers diblender kering sampai menyerupai bubuk

Ditimbang setara 2 gram protein

Analisis ketersediaaan kalsium

Gambar 3 Tahap-tahap persiapan sampel

c. Prinsip analisis

Kalsium sampel dihirolisis dari ikatannya dengan protein menggunakan

enzim-enzim pencernaan yang terdapat di lambung dan usus halus.

Kalsium bebas yang terdapat dalam larutan sampel akan berdifusi melalui

membran semipermeabel ke dalam kantung dialisis yang berisi buffer

NaHCO3. Kalsium dalam dialisat menunjukkan jumlah kalsium yang

(35)

d. Pencernaan in vitro kalsium pada crackers (Gambar 4)

 

 

 

Gambar 4 Prosedur pencernaan kalsium secara in vitro dalam analisis

ketersediaan biologis (bioavailabilitas) kalsium dengan metode dialisis (Roig et al. 1999)

Sampel

+ H20 bebas ion 100 ml

Atur pH menjadi 2,0 dengan HCl 4N

Timbang gelas piala bersama sampel (A)

Timbang 20 g (T1) Timbang 20 g (T2)

+ suspensi Pepsin 1 ml 1,6 g pepsin dilarutkan + suspensi Pepsin 1 ml dalam 10 ml HCl 0,1 N

Inkubasi 370 C 120 mnt kec 5 Inkubasi 370 C 120 mnt kec 5

Masukkan ke dalam freezer Masukkan ke dalam freezer

+ 5 ml pancreatin bile

+ 5 ml pancreatin bile

Inkubasi 370C 2 jam kec 5

Angkat kantung dialisis

Titrasi dgn kOH standar sampai pH 7

Cuci dengan air bebas ion

Hitung kebutuhan NaHCO3

Timbang dialisatnya

1 gr pankreatin (sigma p 170) + 6,23 ekstrak bile

(sigma B-8631) larutkan dalam 250 ml NaHCO3 0,1 N

Thawing dalam shaker 370C

Kantung dialisis dimasukkan

Inkubasi 370C 30 menit kec 5

Potong kantung ± 12 cm, rendam dlm air bebas ion

lalu ikat salah satu ujungnya dan isi dengan

20 ml larutan NaHCO3

hasil perhitungan

(36)

e. Pengabuan basah untuk analisis kandungan kalsium pada dialisat dan crackers

Gambar 5. Prosedur pengabuan basah dalam analisis total kalsium dalam

dialisat maupun pada crackers dengan metode AAS.

f. Perhitungan

1) Berat sampel setara 2 g protein = (2/protein sampel) x 100

2) % x %

3)

4) % x %

ket; fp = faktor pengenceran (1 dan 10)

5) Total Ca tersedia (mg/100g) = Ca sampel (mg/100 g) x (% Bioavailabilitas) Timbang ± 2 gr dialisat

Encerkan dalam labu 50 ml Panaskan sampai jernih

Diamkan semalam

Saring dengan whatman

+ H2O bebas ion

+ H2SO4 10 ml

+ 10 ml HNO3 pekat

(37)

Skema penelitian bioavailabilitas kalsium pada crackers disajikan pada Gambar 6.

Larutan sampel

Kantung dialisis

Gambar 6 Skema penelitian bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada crackers

dengan tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada data hasil analisis

bioavailabilitas kalsium adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua kali

ulangan. Model yang digunakan adalah sebagai berikut :

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan respon karena pengaruh jenis crackers ke-I pada

ulangan ke-j terhadap kadar air, protein, fosfor, total kalsium, dan

bioavailabilitas kalsium.

µ = Nilai rata-rata pengamatan

τI = Pengaruh jenis crackers ke-I (kontrol, dengan tepung kepala ikan lele

dumbo, dan komersial)

εij = Kesalahan penelitian karena pengaruh jenis crackers ke-i pada

ulangan ke-j (j = 1,2)

Yij = µ + τI + εij Ca2+ 

(38)

Pengolahan dan Analisis Data

Perhitungan kadar air, protein, fosfor, total kalsium, bioavailabilitas

kalsium, dan total kalsium tersedia pada penelitian ini dilakukan secara manual.

Analisis sidik ragam dan uji lanjut kadar air, protein, fosfor, total kalsium, dan

bioavailabilitas kalsium crackers. Analisis sidik ragam yang digunakan adalah

one way ANOVA, sedangkan uji lanjutnya adalah uji lanjut Duncan. Selain kedua analisis tersebut, dilakukan uji korelasi antara kadar protein, kadar fosfor, kadar

kalsium dengan bioavailabilitas kalsium crackers menggunakan uji korelasi

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Produk Crackers

Crackers adalah jenis biskuit yang terbuat dari adonan keras melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang mengarah kepada

rasa asin dan renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya

berlapis-lapis (Manley 2000). Jenis crackers yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga macam, yaitu crackers kontrol, crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo, dan crackers komersial high calcium original. Pemilihan ketiga jenis crackers

tersebut didasarkan pada perbedaan komposisi bahan baku yang diduga akan

menyebabkan perbedaan total kalsium. Produk crackers yang diteliti disajikan

pada Gambar 7.

Gambar 7. Produk Crackers yang diteliti

Crackers kontrol merupakan jenis crackers dimana bahan bakunya

merupakan bahan-bahan yang umum digunakan untuk pembuatan crackers,

artinya tidak ada bahan khusus yang digunakan untuk memperkaya atau

meningkatkan kandungan zat gizi khususnya kalsium. Sebagian besar

kandungan kalsium pada crackers kontrol berasal dari susu skim dan tepung

terigu. Pada crackers kedua dilakukan pemanfaatan tepung kepala ikan lele

dumbo sebanyak 12,5 g. Crackers ini dipilih karena berdasarkan Ferazuma

(2009) tergolong ke dalam “tinggi” kalsium sehingga dapat dijadikan pangan yang

dapat berkontribusi terhadap kecukupan kalsium harian. Selain itu, crackers

tersebut merupakan crackers formulasi terbaik yang dipilih oleh 20 panelis

berdasarkan uji organoleptik hedonik dan mutu hedonik. Crackers

kontrol

Crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo

(40)

Crackers komersial high calcium original merupakan jenis crackers

komersial yang memiliki klaim “tinggi” kalsium. Selain itu, pemilihan crackers ini didasarkan karena cukup dikenal masyarakat. Di pasaran, crackers ini terdiri atas dua macam yaitu original, dan vegetable. Pada penelitian ini, yang dipilih adalah

yang original. Pemilihan tersebut atas pertimbangan bahwa jenis bahan baku

yang digunakan diharapkan menghasilkan karakteristik yang hampir sama

dengan kedua crackers lainnya sehingga ketiganya dapat dibandingkan.

Keberadaan serat pada crackers komersial high calcium vegetable juga dapat

mempengaruhi bioavailabilitas kalsium yang merupakan inti dari penelitian ini.

Beberapa penelitian secara in vitro menjelaskan bahwa serat makanan mengikat beberapa mineral sehingga menurunkan tingkat kelarutan dan bioavailabilitasnya

(Ink 1988).

Pada penelitian ini, crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo didapatkan dengan cara membuatnya sendiri, sedangkan

crackers komersial didapat dengan cara membeli. Metode yang digunakan dalam pembuatan crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo

adalah metode all in dough yaitu semua bahan dicampur sekaligus menjadi

adonan dan difermentasi bersama-sama. Proses pencampuran bahan-bahan

crackers bertujuan untuk membentuk adonan yang dikehendaki hingga tercapai konsistensi adonan (Ferazuma 2009).

Semua bahan yang digunakan diaduk sampai kalis yaitu bersifat plastis

(dapat ditarik membentuk film tipis) tetapi tidak lengket dan tidak mudah sobek.

Manley (2000) menyatakan bahwa proses pengadukan adonan bertujuan untuk

memperoleh campuran adonan yang homogen. Menurut Ferazuma (2009),

waktu pengadukan yang dibutuhkan sampai kalis sekitar 30-35 menit. Setelah

adonan kalis dilakukan fermentasi selama satu jam. Boekhoet dan Robert (2003)

menjelaskan bahwa pada saat pencampuran adonan, jaringan gluten

mengembang akibat reaksi oksidasi antara ragi dan tepung terigu. Selama

fermentasi terbentuk gas CO2 dan adonan menjadi lebih kenyal. Selain gas CO2,

fermentasi ragi juga menghasilkan etanol yang dapat memberikan aroma harum

pada saat adonan dipanggang.

Langkah selanjutnya setelah proses fermentasi dilakukan proses

pembuatan lembaran. Adonan ditekan dan dipipihkan dengan menggunakan

(41)

lubang, dan tepinya rata. Setelah pembuatan lembaran selesai dilakukan, proses

selanjutnya adalah pelipatan dan pemberian taburan campuran margarin, garam,

dan mentega. Pada penelitian ini, tahap tersebut dilakukan dengan cara melipat

lembaran sehingga setengah bagian lembaran menutupi setengah bagian

lembaran yang lain (Ferazuma 2009). Proses pembuatan lembaran dilakukan

lima kali dengan tingkat ketebalan yang diinginkan terus diturunkan mulai 7, 5,

sampai 3 mm. Sama halnya dengan pembuatan lembaran dan pelipatan,

pemberian taburan campuran margarin, garam, dan mentega juga dilakukan

sebanyak lima kali. Menurut Manley (2000), tahap ini dilakukan untuk

memperbaiki lembaran adonan yang kurang baik, memperoleh lembaran adonan

yang lebih seragam, dan membentuk konsistensi yang baik (mempengaruhi

struktur produk akhir). Lembaran adonan yang sudah tipis dan merata didiamkan

selama 5-10 menit sebelum dilakukan proses pencetakan. Tahap pengistirahatan

ini dilakukan untuk mengontrol bentuk crackers setelah dipanggang.

Setelah pengistirahatan, adonan kemudian dicetak dan dipanggang

dengan suhu yang digunakan sebesar 180ºC selama lima menit. Kemudian suhu

diturunkan menjadi 150ºC selama 10-15 menit. Menurut Manley (2000), selama

pemanggangan terjadi beberapa perubahan, yaitu pengembangan struktur

produk, penurunan kadar air 1%-5% dan perubahan warna pada permukaan

biskuit.

Keragaan Kadar Air, Protein, Fosfor, dan Total Kalsium Crackers Kadar Air

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena dapat

mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa makanan. Selain itu,

kandungan air juga menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan

itu (Winarno 2008). Analisis kadar air bertujuan untuk mengetahui kadar zat gizi

dalam basis basah dan kering. Hasil analisis kadar air crackers dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil analisis rata-rata kadar air (%) pada produk crackers

No Jenis Crackers Kadar Air (% bb)*

1 Kontrol 2,57 ± 0,11a

2 Dengan tepung kepala ikan lele dumbo 2,94 ± 0,49a

3 Komersial 1,55 ± 0,31a

(42)

Berdasarkan tabel di atas, kadar air crackers (basis basah) berkisar antara 1,55% sampai dengan 2,94%. Nilai tersebut sudah sesuai dengan SNI

01-2973-1992 yang menyatakan bahwa syarat kadar air biskuit adalah maksimal 5%

basis basah.

Jenis crackers tidak berpengaruh nyata terhadap kadar airnya (p>0,05). Hal ini diduga disebabkan karena proses pemanggangan yang hampir sama.

Proses pemanggangan menyebabkan terjadinya penguapan air bebas dalam

bahan baku penyusun crackers. Nilai kadar air crackers dipengaruhi oleh suhu dan lama waktu pemanggangan dalam oven. Selain itu, banyaknya air yang

ditambahkan ke dalam adonan dapat menyebabkan persamaan kadar air produk

tersebut. Ferazuma (2009) menyatakan bahwa biskuit dengan kadar air yang

terlalu tinggi menyebabkan tekstur biskuit kurang renyah.

Kadar Protein

Protein merupakan bagian dari semua sel hidup yang terbentuk dari

asam-asam amino dalam jumlah besar setelah air, yaitu seperlima bagian tubuh.

Protein terdapat pada otot, tulang, kulit, dan jaringan lain serta cairan tubuh

berupa enzim, hormon, pengangkut zat gizi dan darah, matriks intraseluler, dan

sebagainya. Protein berfungsi sebagai sumber energi juga berfungsi sebagai zat

pembangun dan zat pengatur (Almatsier 2006).

Pada penelitian ini, analisis kandungan protein bertujuan untuk

mendapatkan berat sampel setara 2 g protein yang akan digunakan untuk

analisis bioavailabilitas kalsium. Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa

kadar rata-rata protein (basis basah) produk crackers berkisar antara 6,46%

sampai dengan 11,10%, sedangkan dalam basis kering, kadar protein crackers

berkisar antara 6,64% sampai dengan 11,41%.

Tabel 7 Hasil analisis rata-rata kandungan protein (%) pada produk crackers

No Jenis Crackers Kadar Protein**

(% basis basah) (% basis kering)*

1 Kontrol 8,99 ± 0,07 9,24 ± 0,07b

2 Dengan tepung kepala ikan lele dumbo 11,10 ± 0,25 11,41 ± 0,25a

3 Komersial 6,46 ± 0,44 6,64 ± 0,45c

Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

** n=2

Secara nyata kandungan protein tertinggi terdapat pada produk crackers

dengan tepung kepala ikan lele dumbo dan yang terendah adalah crackers

(43)

mensyaratkan kandungan protein crackers minimum 9% basis basah, hanya

crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo yang memenuhi syarat tersebut.

Berdasarkan label kemasan, crackers komersial memiliki kadar protein 15%.

Perbedaan kadar protein hasil analisis dan informasi label kemasan diduga

disebabkan karena perbedaan metode yang digunakan dalam pegukuran kadar

protein crackers.

Hasil sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa jenis produk crackers

sangat berpengaruh terhadap kandungan protein crackers tersebut (p<0,05).

Berdasarkan uji lanjut (Lampiran 9a) dapat dilihat bahwa kandungan protein

crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo lebih tinggi dari kedua jenis

crackers lainnya. Hal ini diduga karena perbedaan bahan baku yang digunakan. Setiap bahan baku yang digunakan memiliki kandungan zat gizi yang

berbeda-beda. Tepung kepala ikan lele dumbo yang digunakan dalam pembuatan

crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu 51,15% (bb) sehingga diduga mempengaruhi kandungan protein

crackers yang dihasilkan. Persen kontribusi protein dalam satu takaran saji (44 g)

crackers kontrol, crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo, dan crackers

komersial terhadap kecukupan protein (60 g) berturut-turut adalah 6,59%,

8,14%, dan 4,73%. Berdasarkan kontribusi tersebut, ketiga crackers bukan

merupakan sumber protein.

Kandungan Fosfor

Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh setelah

kalsium. Dalam tubuh fosfor mempunyai peran struktural dan fungsional. Secara

struktural sebagian besar (85%) fosfor bersama-sama kalsium berada dalam

tulang rangka dan gigi (Soekatri & Kartono 2004), sedangkan secara fungsional

fosfor berperan untuk: (1) mengatur pelepasan energi selama pembakaran atau

oksidasi hidrat arang, lemak, dan protein (2) fosforilasi monosakarida dan lemak

untuk memfasilitasi jalan ke sel membran, (3) penyerapan dan transportasi zat

gizi, (4) mengatur keseimbangan asam basa, dan (5) merupakan bagian DNA

dan RNA (Linder 2006).

Pada penelitian ini metode yang digunakan untuk menganalisis

kandungan fosfor dalam produk crackers adalah metode vanadat-molibdat. Hasil

pengabuan basah crackers setelah direaksikan dengan pereaksi

vanadat-molibdat kemudian dibaca serapannya dengan menggunakan Spektrofotometer

(44)

bahwa kandungan fosfor produk crackers berkisar antara 78,79 sampai dengan

152,21 mg/100g (basis basah) atau 80,99 sampai dengan 156,48 mg/100 g

(basis kering).

Tabel 8 Hasil analisis rata-rata kadar fosfor (mg/100g) pada produk crackers

No Jenis Crackers Kadar Fosfor**

(mg/100g basis basah) (mg/100g basis kering)*

1 Kontrol 78,79 ± 5,67 81,00 ± 5,83a

2 Dengan tepung kepala ikan lele dumbo

104,21 ± 6,98 107,13 ± 7,17a

3 Komersial 152,21 ± 13,48 156,48 ± 13,86b

Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

** n = 2

Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 8) diketahui bahwa jenis

crackers berpengaruh nyata terhadap kandungan fosfornya (p<0,05). Hasil uji

lanjut (Lampiran 9b) menunjukkan bahwa kandungan fosfor crackers komersial

lebih tinggi secara nyata daripada crackers kontrol (p<0,05). Hal ini disebabkan

karena adanya perbedaan bahan baku crackers tersebut. Menurut Ferazuma

(2009), semakin tinggi penambahan tepung kepala ikan lele dumbo, maka

semakin tinggi kadar fosfor crackers. Sementara itu, kandungan fosfor crackers

formulasi tidak berbeda nyata dengan crackers konvensional. Satu takaran saji

(44 g) crackers kontrol, dengan tepung kepala ikan lele dumbo, dan komersial

dapat memberikan kontribusi dalam pemenuhan kecukupan fosfor (600 mg)

berturut-turut sebesar 3,47%, 4,59%, dan 6,70%. Berdasarkan kontribusi

tersebut, ketiga crackers bukan merupakan sumber fosfor. Kondisi ini cukup baik bagi penyerapan kalsium.

Total Kalsium

Kalsium terkandung dalam tubuh kita dalam jumlah lebih banyak dari

mineral lainnya. Diperkirakan 1,5% sampai 2% berat badan orang dewasa dan

39% dari total mineral tubuh. Sebanyak 99% dari jumlah tersebut terdapat pada

jaringan keras, yaitu tulang dan gigi, selebihnya kalsium tersebar dalam darah

dan cairan ekstraseluler (Anderson 2004).

Total kalsium menunjukkan jumlah kalsium yang terkandung dalam suatu

bahan pangan. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui total kalsium pada

penelitian ini adalah analisis total kalsium metode AAS (Atomic Absorption

(45)

panjang gelombang (λ) 422,7 nm. Tabel 9 menyajikan hasil analisis total kalsium

produk crackers

Tabel 9 Hasil analisis rata-rata total kalsium (mg/100g) pada crackers

No Jenis Crackers Total Kalsium**

(mg/100g basis basah) (mg/100g basis kering)

1 Kontrol 86,28 ± 4,34 88,70 ± 4,46a

2 Dengan tepung kepala ikan lele dumbo

552,79 ± 9,83 568,29 ± 10,11b

3 Komersial 1210,04 ± 6,37 1243,97 ± 6,55c

Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

** n=2

Berdasarkan Tabel 9, total kalsium produk crackers berkisar antara 86,29 sampai dengan 1210,04 mg/100g (basis basah) atau 88,70 sampai dengan

1243,9719 mg/100 g (basis kering). Hasil sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan

bahwa jenis crackers berpengaruh nyata terhadap total kalsium (p<0,05).

Kemudian, berdasarkan hasil uji lanjut (Lampiran 9c) diketahui bahwa total

kalsium ketiga crackers berbeda nyata satu sama lain.

Sama halnya dengan kandungan fosfor, perbedaan yang signifikan dari

total kalsium crackers disebabkan karena adanya perbedaan bahan baku

crackers tersebut. Total kalsium pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo lebih tinggi secara nyata daripada crackers kontrol (p<0,05) disebabkan

karena adanya penambahan tepung kepala ikan lele dumbo pada crackers

tersebut. Menurut Ferazuma (2009), semakin tinggi penambahan tepung kepala

ikan lele dumbo, maka semakin tinggi kadar kalsium dan fosfor crackers.

Sementara itu, tingginya total kalsium dalam crackers komersial disebabkan

adanya penambahan kalsium karbonat. Hal ini sesuai dengan keterangan yang

tercantum pada kemasan bahwa penambahan kalsium karbonat bertujuan untuk

memperkaya kalsium pada crackers komersial..

Perbedaan total kalsium dalam crackers tentu saja akan menyebabkan

perbedaan kontribusinya terhadap kecukupan kalsium harian. Tabel di bawah ini

menunjukkan kontribusi total kalsium yang terkandung dalam crackers per

takaran saji (44 g) terhadap pemenuhan kalsium harian. Berdasarkan Tabel 10,

kontribusi total kalsium crackers per takaran saji terhadap AKG kalsium dengan pendekatan ALG umum kalsium tahun 2007 berkisar antara 4,75% sampai

Gambar

Tabel 1 Angka kecukupan rata-rata kalsium yang dianjurkan
Tabel 2 Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992)
Gambar 1 Kepala ikan lele dumbo segar (Ferazuma 2009)
Tabel 4 Hasil analisis proksimat, fosfor dan kalsium crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Tingginya tingkat insidensi parasit di kolam sidat pada BBAT Tatelu disebabkan oleh kondisi kolam dengan dasar berlumpur, sirkulasi atau pergantian air yang minim

x Mahasiswa mampu menggunakan konsep kontrol optimal dalam desain sistem kontrol plant nonlinear serta mampu melakukan validasi sistem kontrol hasil desain secara simulasi

and Their Rationale”, Journal of Criminal Law and Criminology , Vol. Hudson, Understanding Justice an Introduction to Ideas Perspectives and Controversies in Modern Penal Theory,

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi dengan judul “Pengaruh Substitusi Tepung

Salah sattu solusinya adalah menggunakan AVR yaitu yang bekerja untuk mengatur besar arus dan tegangan eksitasi pada eksiter (penguat medan) generator Dan memanfaatkan

◦ Larutan tanah (sifatnya tersedia untuk diserap oleh akar tanaman) ◦ Bahan organik (mengalami proses perombakan).. ◦ Organisme tanah (komponen

Empat jenis kepiting dari famili Ocypodidae berhasil dikoleksi dari dua ekosistem di Legon Cibariang, Pulau Panaitan dan Cikawung TN Ujung Kulon dengan komposisi