PERANAN KREDIT MIKRO DAN KECIL TERHADAP
KINERJA USAHA KECIL DAN EKONOMI WILAYAH
DI PROVINSI JAWA TENGAH
BAYU NUSWANTARA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
PERANAN KREDIT MIKRO DAN KECIL TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DAN EKONOMI WILAYAH
DI PROVINSI JAWA TENGAH
Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2012
BAYU NUSWANTARA. Role of Micro and Small Credits on the Performance of Small Enterprises and Regional Economy in Central Java Province. (Advisory Committee: KUNTJORO as Chairman, D.S. PRIYARSONO and ANNA FARIYANTI as Members)
Development of the Indonesian economy can not be separated from the role of micro and small enterprises. This strategic role can be seen from the number of enterprise units, providing employment opportunities, as well as the contribution of the Gross Regional Domestic Product (GRDP). Hence efforts to develop and strengthen the potential of small enterprises at the local level should be able to form strong and independent local economic entity by improving the role of micro and small credits.
The objectives of the research were, (1) to analyze the influence of micro and small credits on small enterprises performance, (2) to analyze the influence of micro and small credits from microfinance institutions on the regional economy, and (3) to formulate the policies for development of micro and small credits that can promote the performance of small enterprises. This research used an econometric analysis in the form of simultaneous equation towards two models, (1) the model of small enterprises economic consists of eight behavioral equations and three identity relationships, and (2) the model of credit and regional economy linkage consists of eleven behavioral equations and two identity relationships. Estimation for structural equation parameters used the method of Two Stage Least Squares (2SLS).
The research conclusions are as follows: (1) the micro and small credits have an influence on the enterprise revenue, which is the main performance indicator of small enterprises, (2) the micro and small credits taken by these small enterprises will increases with the reduced interest rates, which in turn will increase the enterprise capital, the use of raw materials, fuel and labor, and finally increase the enterprise revenue, (3) the micro and small credits from cooperatives and commercial banks as well as from rural banks have only a little influence each on the GRDP in the manufacturing and trade sector as well as the services sector as a proxy of regional economy. Nevertheless the micro and small credits from rural banks and cooperatives can not be showed significantly influence in GRDP of agriculture sector, and (4) the simultaneous combination of policies with an increased credits taken by small enterprises, increased selling price of product, and expansion of product marketing areas will bring about the greatest increase in a row on: enterprise capital, enterprise revenue, enterprise income, and the use of raw materials.
BAYU NUSWANTARA, Peranan Kredit Mikro dan Kecil terhadap Kinerja Usaha Kecil dan Ekonomi Wilayah di Provinsi Jawa Tengah. (Komisi Pembimbing: KUNTJORO sebagai Ketua, D.S. PRIYARSONO dan ANNA FARIYANTI, sebagai Anggota).
Perkembangan perekonomian Indonesia tidak terlepas dari adanya peran usaha mikro dan kecil. Peran strategis ini dapat dilihat dari jumlah unit usaha, penyediaan lapangan kerja, serta kontribusi dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Karena itu upaya pengembangan dan penguatan potensi usaha kecil di tingkat lokal harus mampu membentuk pelaku ekonomi lokal yang kuat dan mandiri. Salah satu kebijakan yang dapat dilakukan adalah memperkuat usaha kecil, melalui peningkatan peran kredit mikro dan kecil.
Usaha kecil di Indonesia seperti di negara sedang berkembang lainnya, memiliki ciri-ciri: (1) jumlah unit usaha mikro dan kecil sangat besar dan tersebar di seluruh pelosok perdesaan, (2) umumnya bersifat padat karya, sehingga berpotensi besar menumbuhkan kesempatan kerja, (3) menggunakan teknologi yang sesuai terhadap proporsi faktor produksi dan kondisi lokal setempat, yaitu sumberdaya alam dan tenaga kerja berpendidikan rendah, (4) mempunyai kegiatan produksi yang umumnya berbasis pertanian, dan (5) sebagian besar pembiayaan untuk kegiatan produksi adalah tabungan pribadi, ditambah pinjaman atau bantuan dari kerabat, atau dari pemberi kredit informal, pedagang pengumpul, pemasok bahan baku, dan pembayaran di muka dari konsumen.
Provinsi Jawa Tengah secara administratif terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota, dengan luas wilayah 3 254 412 hektar. Jumlah penduduk pada tahun 2009 tercatat 32.864.563 jiwa, dan secara ekonomi provinsi Jawa Tengah mempunyai potensi sangat besar dalam perkembangan kredit mikro dan kecil, serta upaya pengembangan usaha kecil.
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis pengaruh kredit mikro dan kecil terhadap kinerja usaha kecil, (2) menganalisis pengaruh kredit mikro dan kecil dari lembaga keuangan mikro terhadap ekonomi wilayah, dan (3) merumuskan kebijakan pengembangan kredit mikro dan kecil yang mampu meningkatkan kinerja usaha kecil.
Untuk mencapai tujuan pertama dan ketiga, dilakukan penelitian dengan mengambil contoh sebanyak 90 responden usaha kecil, yang memproduksi makanan olahan berbasis produk pertanian lokal, di tiga kabupaten yaitu kabupaten: Semarang, Magelang dan Klaten, dimana masing-masing diambil 15 responden, 50 responden dan 25 responden, sehingga didapat data cross-section.
Penentuan tiga lokasi kabupaten penelitian dilakukan secara sengaja
(purpusive) dengan pertimbangan (1) merupakan daerah dengan sentra produksi
usaha kecil makanan olahan yang menonjol di Jawa Tengah, dan (2) merupakan kabupaten dengan tingkat kegagalan pengembalian kredit kecil (non performing
loans) yang paling rendah di Jawa Tengah, sehingga dapat menjadi benchmark
bagi wilayah lain dalam melihat peranan kredit terhadap kinerja usaha kecil.
persamaan simultan digunakan terhadap 2 model, yaitu : (1) model ekonomi usaha kecil terdiri atas 8 persamaan perilaku dan 3 persamaan identitas, dan (2) model keterkaitan kredit dan ekonomi wilayah terdiri atas 11 persamaan perilaku dan 2 persamaan identitas. Pendugaan untuk parameter persamaan struktural digunakan metode Two Stage Least Squares (2SLS).
Berdasarkan hasil analisis dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: (1) kredit mikro dan kecil berpengaruh terhadap penerimaan usaha yang merupakan indikator kinerja usaha kecil, penerimaan usaha merupakan komponen utama pendapatan bersih usaha yang akan mendorong peningkatan terhadap pengeluaran untuk pendidikan dan sosial, konsumsi, dan tabungan yang dilakukan oleh usaha kecil, (2) kredit mikro dan kecil yang diambil oleh usaha kecil akan meningkat dengan adanya penurunan suku bunga kredit sehingga akan menambah modal usaha, peningkatan modal usaha ini akan meningkatkan penggunaan bahan baku, bahan bakar dan tenaga kerja sehingga meningkatkan penerimaan usaha, (3) kredit mikro dan kecil yang berasal dari: koperasi simpan pinjam (KSP), dan kredit usaha kecil (KUK) dari bank umum, hanya berpengaruh kecil masing-masing terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) di sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan, demikian pula kredit mikro dan kecil dari BPR dan KUK juga hanya berpengaruh kecil terhadap PDRB di sektor jasa propinsi Jawa Tengah sebagai proksi ekonomi wilayah, sedangkan produk domestik regional bruto di sektor pertanian tidak dipengaruhi secara nyata oleh kredit dari bank perkreditan rakyat (BPR) dan kredit dari koperasi simpan pinjam (KSP), dan (4) kebijakan kenaikan pengambilan kredit oleh usaha kecil akan memberikan dampak kenaikan paling besar berturut-turut pada: modal usaha, penggunaan bahan baku, penerimaan usaha, dan pendapatan usaha, sedangkan kombinasi kebijakan kenaikan pengambilan kredit oleh usaha kecil, kenaikan harga jual produk, dan perluasan wilayah pemasaran hingga mencapai Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya secara bersamaan, akan memberikan kenaikan paling besar berturut-turut pada: modal usaha, pendapatan usaha, penerimaan usaha, dan penggunaan bahan baku.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang.
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
PERANAN KREDIT MIKRO DAN KECIL TERHADAP
KINERJA USAHA KECIL DAN EKONOMI WILAYAH
DI PRO
V
INSI JAWA TENGAH
BAYU NUSWANTARA
DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi
Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Harianto, MS
Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
2. Dr. Ir. Mat Syukur, MS
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena Kasih-Nya yang tak berkesudahan menyertai penulis sampai selesainya penulisan disertasi ini dengan judul : Peranan Kredit Mikro dan Kecil terhadap Kinerja Usaha Kecil dan Ekonomi Wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Disertasi ini merupakan tugas akhir dari tugas belajar di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik berkat arahan dan dorongan yang besar dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang besar kepada:
1. Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan kuliah ke program doktor. 2. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Dekan Sekolah Pascasarjana, yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua Program Studi, yang telah banyak memberikan arahan dan nasihat selama penulis kuliah di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB Bogor, serta atas pertanyaan dan saran untuk perbaikan pada tahap Ujian Tertutup.
yang selalu bersedia meluangkan waktu ditengah kesibukan beliau untuk memberikan bimbingan dan membuka wawasan dalam mengkaji penulisan disertasi ini.
6. Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan tekun memberikan bimbingan, masukan, dan terus mendorong penulis untuk menyelesaikan studi di IPB.
7. Bapak Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah membimbing dan memberikan wawasan kepada penulis selama penyusunan disertasi ini, namun karena kesibukan beliau sehingga tidak dapat melanjutkan sebagai pembimbing.
8. Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS dan Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi selaku Penguji pada tahap Ujian Tertutup, atas segala pertanyaan, masukan, dan saran perbaikan bagi penulis.
9. Bapak Dr. Muhammad Firdaus, SP, MS selaku Pimpinan Sidang pada tahap Ujian Tertutup, atas pertanyaan dan saran perbaikan bagi penulis.
10. Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc selaku Pimpinan Sidang pada tahap Ujian Terbuka, yang telah memberikan pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan pada tahap Ujian Terbuka.
yang telah berkenan meluangkan waktu dan memberikan arahan, pertanyaan dan saran perbaikan untuk masukan penulis.
13. Bapak Dr. Ir. Mat Syukur, MS selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka yang telah berkenan memberikan arahan, pertanyaan dan saran perbaikan untuk masukan penulis.
14. Seluruh Dosen dan Staf Administrasi pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
15. Istri tercinta A. Diah Kristianawati dan ananda terkasih Adrian Bless Driyarka, yang selalu memberikan bantuan, semangat, dorongan, serta doa yang tulus dalam menyelesaikan studi doktor di Bogor.
16. Seluruh keluarga, yaitu: Ayahanda Soetito dan Ibunda Sulastri, orangtua tercinta yang ada di Surabaya, yang selama ini telah membesarkan dan mendidik, serta terus mendoakan dan memberi restu. Adik-adik Anung, Dodi, Eri dan Evi, atas bantuan dan doa untuk keberhasilan penulis selama menyelesaikan studi di Bogor.
17. Bapak A. Krismanto dan Ibu B. Diah Swasananingsih, bapak dan ibu mertua tercinta yang selalu mendukung dan mendoakan, adinda Iin sekeluarga atas bantuan selama menyelesaikan studi di Bogor.
19. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu di kesempatan ini, baik yang berada dalam lingkungan akademik, pekerjaan atau pertemanan selama menyelesaikan studi di Bogor, penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya.
Disertasi ini merupakan karya tulis penulis, semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi pembaca.
Bogor, Januari 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan pada tanggal 26 Januari 1963 sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Soetito dan Ibu Sulastri.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1975 di SD Kanisius Pugeran Yogyakarta. Pada tahun 1979 menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri I Manado. Tahun 1982 menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri I Manado.
Jenjang pendidikan tinggi ditempuh dengan masuk sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, hingga pada tahun 1988 lulus dan meraih gelar Sarjana Pertanian di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UKSW Salatiga. Tahun 1992 penulis menyelesaikan jenjang studi master di Bidang Konsentrasi Keuangan dan Perbankan dari Program Magister Manajemen (MM) Angkatan IV di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Selanjutnya dengan beasiswa dari BPPS Departemen Pendidikan Nasional penulis melanjutkan studi doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah Pascasarjana, IPB Bogor.
Halaman DAFTAR TABEL …………..………... xxvii DAFTAR GAMBAR ...………....…………..………... xxx DAFTAR LAMPIRAN ... xxxi I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ....……….…..………... 1 1.2. Perumusan Masalah ………... 8 1.3. Tujuan Penelitian ...………...………... 14 1.4. Ruang lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 14 II. TINJAUAN PUSTAKA ... 17 2.1. Kredit dan Usaha Kecil ... 17 2.1.1. Pengertian dan Peranan Kredit ... 17 2.1.2. Kredit Mikro dan Lembaga Keuangan Mikro ... 21 2.1.3. Klasifikasi Kredit Mikro dan Kecil ... 25 2.1.4. Pengertian dan Klasifikasi Usaha Kecil ... 25 2.2. Pertumbuhan Ekonomi ... 28 2.2.1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi ... 29 2.2.2. Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ... 31 2.3. Studi Terdahulu ... 32 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS ... 37 3.1. Usaha Kecil dan Pengambilan Kredit ... 37
3.1.1. Perilaku Ekonomi Usaha Kecil ... 39 3.1.1.1. Kegiatan Produksi dan Biaya Produksi ... 40 3.1.1.2. Penggunaan Kredit dan
Halaman 3.2. Kinerja Usaha kecil ... 63 3.3. Lembaga Keuangan Mikro dan Ekonomi Wilayah ... ... 67 3.3.1. Transmisi Kebijakan Moneter ke Sektor Riil ... ... 68 3.3.1.1. Transmisi melalui Jalur Kredit ... 72 3.3.1.2. Transmisi melalui Jalur Suku Bunga ... 74 3.3.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 78 3.4. Lembaga Keuangan Mikro Dan Peningkatan
Pendapatan ... 80 3.5. Kerangka Pemikiran Operasional ... 84 3.6. Hipotesis ... 90 IV. METODE PENELITIAN ... 91 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 91 4.2. Metode Pengambilan Contoh ... 92 4.3. Metode Pengumpulan Data ... 93 4.4. Perumusan Model ... 94 4.4.1. Model Ekonomi Usaha Kecil ...…... 94 4.4.2. Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah ... 99 4.5. Prosedur Estimasi ... 102 4.5.1. Identifikasi Model ...……... 102 4.5.2. Pendugaan Model ... 103 4.5.2.1. Model Ekonomi Usaha Kecil ... 103 4.5.2.2. Model Keterkaitan Kredit dan
Halaman 7.1.1. Dampak Kebijakan Perubahan Suku Bunga Kredit .... 181 7.1.2. Dampak Perubahan Pengambilan Kredit ... 183 7.1.3. Dampak Perubahan Sumber Kredit ... 184 7.1.4. Dampak Kenaikan Harga Jual Produk ... 186 7.1.5. Dampak Perubahan Daerah Pemasaran ... 187 7.1.6. Dampak Kenaikan Pengambilan Kredit, Kenaikan
Harga Jual Produk dan Perubahan
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah
dan Besar di Indonesia Tahun 2007-2009 ... 2 2. Indikator Makro Ekonomi Propinsi Jawa Tengah Tahun 2005 ... .... 111 3. Karakteristik Rumah Tangga Usaha Kecil ... 113 4. Jenis Usaha Kecil yang Dilakukan ... 114 5. Karakteristik Kredit dan Pinjaman yang Diambil Usaha Kecil ... .... 118 6. Karakteristik Perijinan dan Pemasaran Produk ... 122 7. Jumlah Kredit Koperasi Simpan Pinjam Tingkat Kabupaten
di Jawa Tengah Tahun 2001 – 2005 ... 124 8. Jumlah Penyaluran Kredit BPR Sektoral Tingkat Kabupaten
di Jawa Tengah Tahun 2005 ... 126 9. Jumlah Penyaluran Kredit Kupedes BRI Tingkat Kabupaten
di Jawa Tengah Tahun 2002 – 2005 ... 127 10. Jumlah Penyaluran Kredit Usaha Kecil (KUK) Tingkat
Kabupaten di Jawa Tengah Tahun 2002 – 2005 ... 129 11. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah Tahun 2003–2005
Sektor Pertanian ... 131 12. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah Tahun 2003–2005
Sektor Industri ... 132 13. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah Tahun 2003–2005
Sektor Perdagangan ... 133 14. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah Tahun 2003–2005
Sektor Jasa-Jasa ... 134 15. Porsi Kredit Mikro dan Kecil serta Nilai
PDRB per Sektor Ekonomi Tahun 2005 ... 135 16. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengambilan Kredit (PKM) .... 140 17. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan
Bahan Baku (PBM) ... 146 18. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan
Nomor Halaman 19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan
Tenaga Kerja (PTK) ... 151 20. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penerimaan Usaha (PENU) .... 153 21. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tabungan (TABS) ... 158 22. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Konsumsi (PKON) ... .... 160 23. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pendidikan (PPKS) ... .... 163 24. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kredit dari BPR ... .... 169 25. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan
Kredit Usaha Kecil dari Bank Umum ... 171 26. Hasil Pendugaan Persamaan Kredit Umum
Perdesaan (Kupedes) dari BRI Unit ... 173 27. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pinjaman
dari Koperasi Simpan Pinjam (KKSP) ... 174 28. Jumlah Giro Masyarakat di Bank Umum (JG) ... 175 29. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) Sektor Pertanian,
Sektor Industri, Sektor Perdagangan, dan Sektor Jasa ... 178 30. Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Simulasi Kebijakan Dasar ... 180 31. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen
Akibat Penurunan Suku Bunga Kredit (SBK) sebesar 20 persen ... 182 32. Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen
Akibat Kenaikan Pengambilan Kredit sebesar 100 persen ... 184 33. Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen
Akibat Perubahan Sumber Kredit dari Non Bank Menjadi
Sumber Kredit dari Bank ... 185 34. Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen
Akibat Perubahan Sumber Kredit dari Bank Menjadi
Sumber Kredit dari Non Bank ... 186 35. Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen
Akibat Kenaikan Harga Jual Produk sebesar 10 persen ... 187 36. Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Perluasan
Daerah Pemasaran Produk dari Hanya di Wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah Menjadi Wilayah Pemasaran Mencakup Jatim, Jabar,
Nomor Halaman 37. Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Perubahan
Daerah Pemasaran Produk dari Mencakup Wilayah Jatim, Jabar, Jakarta dan Sekitarnya Menjadi Hanya di Wilayah Pemasaran
Yogyakarta dan Jawa Tengah (DPP = 0) ... 190 38. Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat
Kombinasi Simulasi 2 dan Simulasi 5 ... 191 39. Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat
Kombinasi Simulasi 2 dan Simulasi 6 ... 192 40. Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat
Kombinasi Simulasi 2, Simulasi 5, dan Simulasi 6 ... 193 41. Prosentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman 1. Pengaruh Adanya Kredit terhadap Komposisi Masukan dan Biaya
Minimum, serta Jalur Perluasan Usaha ... 44 2. Pengaruh Tingkat Bunga terhadap Jumlah Pinjaman,
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Program Estimasi Model Ekonomi Usaha Kecil Menggunakan Metode Two-Stage Least Squares (2SLS) dan Prosedur SYSLIN
dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 211 2. Hasil Estimasi Model Ekonomi Usaha Kecil Menggunakan
Metode Two-Stage Least Squares (2SLS) dan Prosedur SYSLIN
dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 212 3. Program Validasi Model Ekonomi Usaha Kecil Menggunakan
Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software
SAS/ETS 9.1 ... 218 4. Hasil Validasi Model Ekonomi Usaha Kecil Menggunakan
Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software
SAS/ETS 9.1 ... 219 5. Program Simulasi 1. Penurunan Suku Bunga Kredit (SBK)
sebesar 20 persen Menggunakan Metode NEWTON dan
Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 221 6. Hasil Simulasi 1. Penurunan Suku Bunga Kredit (SBK)
sebesar 20 persen Menggunakan Metode NEWTON dan
Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 222 7. Program Simulasi 2. Kenaikan Pengambilan Kredit (PKM)
sebesar 100 persen Menggunakan Metode NEWTON dan
Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 223 8. Hasil Simulasi 2. Kenaikan Pengambilan Kredit (PKM)
sebesar 100 persen Menggunakan Metode NEWTON dan
Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 224 9. Program Simulasi 3. Perubahan Sumber Kredit (DSK) dari
Non Bank Menjadi Sumber Kredit yang Berasal dari Bank Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN
dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 225 10. Hasil Simulasi 3. Perubahan Sumber Kredit (DSK) dari
Non Bank Menjadi Sumber Kredit yang Berasal dari Bank Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN
Nomor Halaman 11. Program Simulasi 4. Perubahan Sumber Kredit (DSK) dari
Bank Menjadi Sumber Kredit yang Berasal dari Non Bank Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN
dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 227 12. Hasil Simulasi 4. Perubahan Sumber Kredit (DSK) dari
Bank Menjadi Sumber Kredit yang Berasal dari Non Bank Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN
dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 228 13. Program Simulasi 5. Kenaikan Harga Jual Produk (PO)
sebesar 10 persen Menggunakan Metode NEWTON dan
Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 229 14. Hasil Simulasi 5. Kenaikan Harga Jual Produk (PO)
sebesar 10 persen Menggunakan Metode NEWTON dan
Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 230 15. Program Simulasi 6. Perluasan Daerah Pemasaran Produk (DPP)
dari Hanya di Wilayah Yogayakarta dan Jawa Tengah Menjadi Wilayah yang Mencakup Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya, Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur
SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 231 16. Hasil Simulasi 6. Perluasan Daerah Pemasaran Produk (DPP)
dari Hanya di Wilayah Yogayakarta dan Jawa Tengah Menjadi Wilayah yang Mencakup Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya, Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur
SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 232 17. Program Simulasi 7. Perubahan Daerah Pemasaran Produk (DPP)
dari yang Mencakup Wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya Menjadi Hanya di Wilayah Yogayakarta dan Jawa Tengah, Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur
SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 233 18. Hasil Simulasi 7. Perubahan Daerah Pemasaran Produk (DPP)
dari yang Mencakup Wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya Menjadi Hanya di Wilayah Yogayakarta dan Jawa Tengah, Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur
SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 234 19. Program Simulasi 8. Kombinasi Simulasi 2, dan Simulasi 5
Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN
Nomor Halaman 20. Hasil Simulasi 8. Kombinasi Simulasi 2, dan Simulasi 5
Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN
dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 236 21. Program Simulasi 9. Kombinasi Simulasi 2, dan Simulasi 6
Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN
dengan Software SAS/ETS 9.1 ... ... 237 22. Hasil Simulasi 9. Kombinasi Simulasi 2, dan Simulasi 6
Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN
dengan Software SAS/ETS 9.1 ... ... 238
23. Program Simulasi 10. Kombinasi Simulasi 2, Simulasi 5, dan Simulasi 6 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur
SIMLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 239 24. Hasil Simulasi 10. Kombinasi Simulasi 2, Simulasi 5, dan
Simulasi 6 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur
SIMLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 240 25. Program Estimasi Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi
Wilayah Menggunakan Metode Two-Stage Least Squares (2SLS)
dan Prosedur SYSLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ... 241 26. Hasil Estimasi Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah
Wilayah Menggunakan Metode Two-Stage Least Squares (2SLS)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada tahun 2005 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mencanangkan
tahun keuangan mikro (international microfinance year 2005), dimana lembaga
keuangan mikro juga telah berkembang sebagai alat pembangunan ekonomi,
antara lain bertujuan menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan dengan cara
menciptakan dan mengembangkan usaha mikro dan kecil, meningkatkan
produktivitas dan pendapatan kelompok yang rentan, mengurangi ketergantungan
masyarakat perdesaan terhadap risiko gagal panen karena musim, dan
diversifikasi kegiatan usaha yang dapat menghasilkan pendapatan (Arsyad, 2008).
Dalam kaitan ini maka peranan kredit terhadap perekonomian menjadi penting,
baik dari aspek makro pada pertumbuhan ekonomi maupun aspek mikro pada
usaha mikro dan kecil.
Perkembangan ini pula sejalan dengan perekonomian Indonesia yang tidak
dapat dilepaskan dari adanya peran sektor usaha mikro dan kecil. Keberadaan
usaha mikro dan kecil di setiap sektor ekonomi tersebut mencerminkan wujud
nyata kehidupan sosial dan ekonomi yang menjadi bagian terbesar dari rakyat.
Adapun peranan strategis usaha mikro dan kecil dapat dilihat dari berbagai aspek
(Bank Indonesia, 2005), yaitu:
1. Jumlah unit usahanya banyak dan terdapat hampir di setiap sektor ekonomi.
2. Potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja.
3. Kontribusi usaha mikro dan kecil dalam Produk Domestik Bruto (PDB)
nasional yang cukup besar, serta potensinya dalam perkembangan nilai ekspor
Berdasarkan data Kemenkop dan UKM tahun 2009, tercatat 52 723 470
unit Usaha Mikro dan Kecil (UMK) atau 99 persen lebih dari total pelaku usaha
yaitu UMK dan Usaha Besar (UB) di Indonesia, yang tersebar di sembilan sektor
ekonomi, dengan urutan terbesar adalah sektor: (1) pertanian 50.49 persen, (2)
perdagangan 28.98 persen, (3) industri pengolahan 6.15 persen, (4) pengangkutan
dan komunikasi 6.49 persen, dan (5) jasa-jasa 4.32 persen. Ini mengindikasikan
[image:34.595.82.484.158.806.2]usaha mikro dan kecil banyak terkonsentrasi di perdesaan.
Tabel 1. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Besar di Indonesia Tahun 2007-2009
No Indikator Satuan Tahun
2007 2008 2009
I Total Unit Usaha Unit 50 150 263 51 414262 52 769 280
1 Usaha Mikro Unit 49 608 953 50 847771 52 176 795
2 Usaha Kecil Unit 498 565 522124 546 675
3 Usaha Menengah Unit 38 282 39717 41 133
4 Usaha Besar Unit 4 463 4 650 4 677
II Total Tenaga Kerja Orang 93 027 341 96 780 483 98 886 003
1 Usaha Mikro Orang 84 452 002 87 810 366 90 012 694
2 Usaha Kecil Orang 3 278 793 3 519 843 3 521 073
3 Usaha Menengah Orang 2 761 135 2 694 069 2 677 565
4 Usaha Besar Orang 2 535 411 2 756 205 2 674 671
III Total PDB.1)
Rp.Miliar 1 883 549.0 1 997 937.9 2 088 292.3
1 Usaha Mikro Rp.Miliar 620 864.0 655 703.8 682 462.4
2 Usaha Kecil Rp.Miliar 204 395.4 217 130.2 225 478.3
3 Usaha Menengah Rp.Miliar 275 411.4 292 919.1 306 784.6
4 Usaha Besar Rp.Miliar 782 878.2 832 184.8 873 567.0
IV Total Ekspor Non Migas Rp.Miliar 794 872.1 983 540.4 953 089.9
1 Usaha Mikro Rp.Miliar 12 917.5 16 464.8 14 375.3
2 Usaha Kecil Rp.Miliar 31 619.5 40 062.5 36 839.7
3 Usaha Menengah Rp.Miliar 95 826.8 121 481.0 111 039.6
4 Usaha Besar Rp.Miliar 654 508.3 805 532.1 790 835.3
Keterangan:1)Total PDB Harga Konstan 2000
Sumber: Kemenkop dan UKM, 2009 (diolah)
Besarnya potensi usaha mikro dan kecil, ditunjukkan oleh terus
meningkatnya jumlah unit usaha mikro selama kurun waktu tahun 2007–2009
rata-rata sebesar 2.59 persen per tahun, sedangkan jumlah unit usaha kecil
mikro sebanyak 52 176 795 unit atau mencapai 98.88 persen dari total jumlah
usaha mikro, kecil, menengah dan besar, sedangkan jumlah usaha kecil tercatat
sebanyak 546.675 unit atau sekitar 1.04 persen.
Perkembangan penyerapan tenaga kerja periode tahun 2007–2009 oleh
usaha mikro dan kecil terus menunjukkan peningkatan, penyerapan tenaga kerja
usaha mikro meningkat rata-rata 3.29 persen per tahun, sedangkan penyerapan
tenaga kerja usaha kecil meningkat rata-rata 3.69 persen per tahun. Dalam hal
penyerapan tenaga kerja, peran UMK pada tahun 2009 sebesar 96 211 332 orang
atau 94.59 persen dari total penyerapan tenaga kerja UMKM dan UB, tercatat
usaha mikro menyerap tenaga kerja 91.03 persen dan usaha kecil menyerap tenaga
kerja 3.56 persen, dengan rata-rata penggunaan tenaga kerja per unit usaha untuk
usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar masing-masing
sebesar 1.7 orang, 6.4 orang, 65 orang, dan 669 orang. Untuk usaha mikro, sektor
pertanian tercatat memiliki peran terbesar dalam penyerapan tenaga kerja, yaitu
42 041 979 orang atau 46.71 persen dari total tenaga kerja di usaha mikro.
Sedangkan untuk usaha kecil penyerapan tenaga kerja terbesar, tercatat di industri
pengolahan, yaitu 966 708 orang atau 27.45 persen. Hal ini mengindikasikan
bahwa penyerapan tenaga kerja sektor primer dan sekunder masih di dominasi
usaha mikro dan kecil (Kemenkop dan UKM, 2009).
Pada tahun 2009, nilai PDB nasional menurut harga konstan tahun 2000
sebesar Rp 2 088 292.3 miliar, dengan kontribusi usaha mikro sebesar 32.68
persen dari total PDB nasional, kontribusi usaha kecil sebesar 10.80 persen, dan
sementara kontribusi usaha menengah sebesar 14.69 persen, sedangkan usaha
bisa menggambarkan bahwa kapitalisasi usaha per unit masih rendah di usaha
mikro dan kecil.
Perkembangan lain di sisi ekspor non migas juga mencatat peningkatan
selama periode tahun 2007–2009. Namun demikian pada ekspor non migas
sampai tahun 2009 kontribusi paling besar masih dipegang oleh usaha besar yang
mencatat sebesar 82.98 persen, sedangkan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha
menengah berturut-turut mencatat 1.51 persen, 3.87 persen, dan 11.65 persen.
Masih rendahnya kontribusi usaha mikro dan kecil terhadap total ekspor non
migas ini di sisi yang lain memberikan peluang untuk terus menggarap pasar
ekspor bagi produk-produk yang dihasilkan oleh usaha mikro dan kecil.
Besarnya penyerapan tenaga kerja oleh usaha mikro dan kecil ini juga
diikuti dengan intensifnya dalam penggunaan sumberdaya lokal di perdesaan,
sehinggga pertumbuhan usaha mikro dan kecil ini akan menimbulkan dampak
positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, pemerataan dalam distribusi
pendapatan dan pembangunan ekonomi di perdesaan (Kuncoro, 2003). Namun
demikian potensi besar yang dimiliki oleh usaha mikro dan kecil terutama dalam
upaya penyediaan lapangan kerja, pembentukan unit usaha dan pemerataan
pendapatan ternyata belum banyak dimanfaatkan oleh pemerintah. Oleh karena itu
perlu diagendakan upaya untuk meningkatkan peran usaha mikro, kecil, dan
menengah, terutama dalam mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi dan
memperbaiki pola pertumbuhan ekonomi (Bank Indonesia, 2005).
Seperti di negara sedang berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin,
usaha mikro dan kecil di Indonesia juga berperan sangat penting khususnya dari
distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan, dan pembangunan ekonomi
perdesaan. Karena itu menurut Priyarsono (2011), pengembangan industri kecil
akan memberikan dampak positif yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi,
serta akan mendorong terwujudnya distribusi pendapatan yang lebih merata antara
kelompok masyarakat. Secara sektoral sub-sektor industri pengolahan yang
berbasis pertanian (agroindustri), menunjukkan kinerja yang lebih baik dari
sub-sektor industri pengolahan lainnya karena mampu mewujudkan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi sekaligus distribusi secara merata.
Jika dilihat dari sumbangannya terhadap pembentukan Produk Domestik
Bruto (PDB) Nasional dan ekspor non migas, khususnya produk manufaktur serta
inovasi dan pengembangan teknologi, peran usaha mikro dan kecil di
negara-negara sedang berkembang masih relatif rendah, dan ini juga yang sebenarnya
menjadi perbedaan yang utama dengan usaha mikro, kecil dan menengah di
negara-negara maju. Usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia seperti juga
negara-negara sedang berkembang lainnya, secara spesifik memiliki ciri-ciri
sebagai berikut (Tambunan, 2009):
1. Jumlah perusahaan, terutama dari kelompok usaha mikro dan kecil sangat
besar dan tersebar di seluruh pelosok perdesaan.
2. Umumnya bersifat padat karya, sehingga berpotensi menumbuhkan
kesempatan kerja yang sangat besar.
3. Usaha mikro dan kecil menggunakan teknologi yang lebih sesuai terhadap
proporsi faktor produksi dan kondisi lokal setempat, yaitu sumberdaya alam
4. Karena banyak tersebar di perdesaan, usaha mikro dan kecil mempunyai
kegiatan produksi yang umumnya berbasis pertanian.
5. Pemilik usaha mikro dan kecil pada umumnya membiayai sebagian besar
kegiatan produksinya dengan tabungan pribadi, ditambah pinjaman atau
bantuan dari kerabat, atau dari pemberi kredit informal, pedagang pengumpul,
pemasok bahan baku, dan pembayaran di muka dari konsumen.
Secara spesifik pula sektor usaha mikro dan kecil di Indonesia memiliki
karakteristik yang berbeda dengan usaha besar, antara lain terlihat pada
kebanyakan usaha mikro dan kecil yang belum berbadan hukum dan merupakan
usaha perorangan yang tidak memiliki laporan keuangan yang terpisah antara
usaha dan pemiliknya. Manajemen usaha mikro dan kecil umumnya merupakan
usaha keluarga yang dikelola secara turun temurun (Bank Indonesia, 2005).
Dari sisi modal, kebanyakan usaha mikro dan kecil memulai usahanya
dengan modal sendiri dan sebagian kecil yang telah melakukan pendekatan
terhadap lembaga keuangan dalam rangka memperoleh pinjaman usahanya. Masih
rendahnya tingkat pinjaman usaha mikro dan kecil kepada lembaga keuangan
formal disebabkan beberapa permasalahan antara lain: (1) kurangnya aksesibilitas
usaha mikro dan kecil kepada lembaga keuangan formal terutama informasi dan
persyaratan kredit, (2) tidak adanya agunan kredit, (3) kurangnya kemampuan
manajemen keuangan, (4) rendahnya kualitas sumberdaya manusia, dan (5)
terbatasnya kompetensi kewirausahaan dan permodalan (Bank Indonesia, 2005).
Kredit mikro dan kecil yang diperuntukkan khusus untuk usaha mikro,
usaha kecil dan usaha menengah yang difasilitasi atau disubsidi oleh pemerintah
1960-an. Pemberian kredit bersubsidi oleh pemerintah diawali dengan pola kredit
bimas (bimbingan massal) dan pada awal tahun 1970-an Bank Indonesia (BI)
meluncurkan antara lain dua skema kredit program yang sangat populer yaitu:
Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Namun
kredit program ini setelah diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, kemudian dialihkan ke lembaga khusus yaitu PT. Permodalan Nasional
Mandiri (PNM) (Tambunan, 2009).
Namun demikian masih banyak usaha mikro dan kecil yang belum
terjangkau lembaga keuangan formal termasuk lembaga keuangan mikro, seperti
tercermin oleh hasil survei dari Badan Pusat Statistik terhadap usaha mikro dan
kecil di industri pengolahan yang menunjukkan bahwa sumber modal usaha mikro
dan kecil, terbesar bukan dari lembaga kredit, tetapi dari modal sendiri (BPS,
2006). Karena itu sudah mendesak saatnya bagi perbankan nasional untuk
menggarap usaha mikro dan kecil secara lebih serius, untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional. Selain karena terbukti dapat menyerap tenaga
kerja dalam jumlah besar, usaha mikro dan kecil juga mampu menghasilkan
produk dalam jumlah besar sekaligus bersaing di dunia internasional, mengingat
jumlah unit usahanya yang sangat besar di Indonesia.
Data pada tahun 2002 dari sekitar 42 juta unit usaha mikro, kecil dan
menengah di Indonesia, ternyata hanya sekitar 22.14 persen yang menikmati akses
permodalan dari perbankan maupun lembaga keuangan mikro. Kondisi ini
menggambarkan masih besarnya permasalahan yang dihadapi usaha mikro dan
kecil dalam akses permodalan. Namun di sisi yang lain hal ini memberikan
yang luas untuk skim-skim kredit skala mikro dan kecil (Wijono, 2005). Kondisi
lainnya juga digambarkan bahwa pasar usaha mikro dan kecil yang digarap oleh
perbankan baru sekitar 30 persen saja secara nasional, dan 70 persen sisanya,
belum tergarap oleh perbankan nasional (Abdullah, 2006). Hal ini merupakan
peluang bagi lembaga keuangan mikro, baik bank maupun non bank untuk terus
menggarap usaha mikro dan kecil, terutama usaha yang belum bankable.
1.2. Rumusan Masalah
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan
jumlah penduduk yang besar. Pada tahun 2009 tercatat 32 864 563 jiwa dengan
kepadatan sekitar 1 010 jiwa per km2. Wilayahnya terletak diantara dua provinsi
besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur, sebelah utara berbatasan dengan laut
Jawa dan di sebelah selatan berbatasan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Samudra Hindia. Secara administratif provinsi Jawa Tengah mempunyai luas
wilayah 3 254 412 hektar atau sekitar 25.04 persen dari luas pulau Jawa atau 1.7
persen dari luas Indonesia (BPS Semarang, 2009).
Angkatan kerja di Jawa Tengah berjumlah sekitar 17 087 649 jiwa atau
51.99 persen jumlah penduduk. Dari total angkatan kerja ini terdapat 15 835 383
jiwa atau 92.67 persen adalah angkatan kerja yang bekerja. Sementara itu dari
total angkatan kerja yang bekerja ini, tercatat 2 942 281 jiwa bekerja berusaha
sendiri, 3 650 147 jiwa bekerja berusaha dibantu buruh tidak tetap, dan 405 682
jiwa bekerja berusaha dibantu buruh tetap. Kelompok inilah yang akan menjadi
basis dari unit usaha dan tenaga kerja pada kegiatan usaha mikro dan kecil di Jawa
Jumlah 29 kabupaten yang ditetapkan melalui Undang-undang pada tahun
1950 hingga sekarang tidak mengalami pemekaran wilayah, dan dengan jumlah
penduduk yang besar mencapai 32 juta jiwa lebih serta kondisi sosial politik yang
stabil dalam kurun waktu sekitar tiga dekade terakhir ini maka provinsi Jawa
Tengah merupakan wilayah yang sangat potensial bagi upaya pengembangan
usaha mikro dan kecil, serta diharapkan bisa memberikan kontribusi yang besar
terhadap ekonomi wilayah. Bank Indonesia (BI) Semarang (2008) menyatakan
besarnya jumlah dan keberadaan usaha mikro, kecil dan menengah, serta
tingginya penyaluran kredit yang diberikan oleh perbankan, membuat Jawa
Tengah mendapat sebutan heart of small medium enterprises.
Berdasarkan data Sensus Ekonomi BPS (2006), di Jawa Tengah
tercatat 3 673 009 unit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), terdiri
dari 3 605 499 unit usaha mikro atau 98.16 persen, 63 346 unit usaha kecil atau
1.73 persen, dan 4 164 unit usaha menengah atau 0.11 persen. Sedangkan jumlah
tenaga kerja yang terserap oleh UMK ini sebanyak 7 461 797 orang,
masing-masing 6 570 731 orang di usaha mikro atau 88.06 persen, 550 222 orang di usaha
kecil atau 7.37 persen, dan 340 844 orang di usaha menengah atau 4.57 persen.
Rata-rata penggunaan tenaga kerja per unit usaha untuk usha mikro, usaha kecil,
dan usaha menengah masing-masing 1.8 orang, 8.7 orang, dan 81 orang. Angka
ini diatas rata-rata nasional.
Data Bank Indonesia (2006), mencatat jumlah kantor BRI unit sebanyak
688 kantor dengan 640 255 peminjam dan total pinjaman (outstanding Kupedes)
sebesar Rp 3 208.23 miliar. Jumlah bank BPR sejumlah 542 kantor dengan tingkat
rata-rata Ratio Kecukupan Modal (CAR) sebesar 18.59 persen. Data jumlah Koperasi
Simpan Pinjam (KSP/USP) tercatat 5 920 unit koperasi dengan jumlah anggota
koperasi sebanyak 2 553 086 orang (Kemenkop dan UKM, 2006).
Posisi kredit mikro, kecil dan menengah yang diberikan bank umum (bank
pemerintah, swasta nasional, dan swasta asing) dan BPR, menurut plafond kredit
di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009, tercatat Rp 69 148 miliar dengan rincian
untuk kredit mikro (sampai dengan Rp.50 juta) sebesar Rp 27 165 miliar atau
39.28 persen, untuk kredit kecil (diatas Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta)
sebesar Rp 24 451 miliar atau 35.36 persen, dan untuk kredit menengah (diatas
Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 miliar) sebesar Rp 17 532 miliar atau 25.35
persen (Bank Indonesia Semarang, 2009). Dari total posisi kredit mikro, kecil dan
menengah sebesar Rp 69 148 miliar, sebanyak 92.53 persen disalurkan oleh bank
umum (pemerintah maupun swasta) sedangkan sisanya 7.47 persen disalurkan
melalui Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Di Jawa Tengah keberadaan unit usaha mikro, kecil dan menengah banyak
terkonsentrasi di sektor perdagangan, industri pengolahan, dan pertanian (BPS
Semarang, 2006). Sementara kontribusi sektoral terhadap Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) tercatat sektor industri pengolahan mencapai 30.82
persen, sektor perdagangan 21.50 persen, sektor pertanian 19.89 persen, dan
sektor jasa mencapai 10.90 persen (BPS Semarang, 2009). Kondisi ini bisa
menggambarkan kontribusi usaha mikro dan kecil terhadap PDRB sektoral
sebagai proksi ekonomi wilayah. Apabila kredit mikro dan kecil yang disalurkan
mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Namun demikian masih ada beberapa
kendala bagi usaha mikro dan kecil dalam mengakses kredit dari perbankan.
Menggunakan data hasil survei (BPS, 2006), terlihat bahwa kebutuhan
modal bagi usaha mikro sebanyak 82.41 persen diperoleh dari modal sendiri, 2.86
persen berasal dari pinjaman, dan 14.73 persen berasal dari gabungan modal
sendiri dan pinjaman. Sedangkan untuk usaha kecil kebutuhan sumber modal
68.85 persen berasal dari modal sendiri, 1.75 persen berasal dari pinjaman, dan
29.40 persen diperoleh dari gabungan modal sendiri dan pinjaman. Sedangkan
untuk asal pinjaman dari usaha mikro 54.54 persen berasal bank, dan sisanya
45.46 persen berasal dari koperasi, modal ventura, lembaga non bank, keluarga,
perorangan, dan lainnya. Untuk usaha kecil pinjaman diperoleh 15.62 persen dari
bank, sisanya 84.38 persen berasal dari koperasi, modal ventura, lembaga non
bank, keluarga, perorangan, dan sumber lainnya.
Sementara itu hasil survei database terhadap pelaku UMKM (Bank
Indonesia Semarang, 2008), menunjukkan: (1) aspek keuangan, sekitar 61 persen
sumber dana UMKM berasal dari modal sendiri, dan hanya sekitar 39 persen yang
berasal dari modal pinjaman. Suku bunga pinjaman paling murah 0.12 persen per
bulan dan paling mahal 3 persen per bulan. Sebagian besar sekitar 44 persen
agunan berupa tanah dan bangunan, (2) aspek hukum dan manajemen, sekitar
45.71 persen pelaku usaha hanya memiliki satu macam perijinan, dalam arti
belum semuanya perijinan dimiliki. Berkaitan dengan pengalaman berwirausaha,
sekitar 61.90 persen pelaku usaha telah memiliki pengalaman bekerja sebelumnya
sebagai wirausaha dalam jenis usaha yang lain maupun sebagai karyawan.
atau yang setara, dan (3) aspek produksi dan pasar, terdapat 56.52 persen usaha
beroperasi sebanding atau lebih besar dari kapasitas produksi. Sistem pembayaran
bahan baku yang dilakukan 76.81 persen adalah tunai. Wilayah pemasaran produk
sekitar 70.84 persen di wilayah Jawa Tengah, sekitar 27 persen di luar wilayah
Jawa Tengah, dan untuk pemasaran ke luar negeri hanya 2.52 persen yang mampu
mengaksesnya. Sistem pembayaran penjualan 63.81 persen adalah tunai.
Usaha kecil umumnya lebih efisien dibandingkan usaha besar atau usaha
menengah, dimana usaha kecil berada pada mekanisme pasar yang kompetitif.
Besarnya kontribusi terhadap pendapatan nasional menunjukkan bahwa usaha
kecil dapat diandalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (Tambunan,
2004). Namun demikian dinamika usaha pada kelompok usaha mikro dan kecil
cukup tinggi, karena iklim usaha yang sangat kompetitif, hambatan masuk yang
rendah, margin keuntungan yang tidak terlalu tinggi, dan perputaran usaha yang
cepat, serta tingkat drop-out usaha yang tinggi (Kuncoro, 2003). Hal ini
memerlukan perhatian yang lebih serius dalam upaya mengembangkan usaha
mikro, kecil dan menengah.
Kebutuhan kredit mikro dan kecil bagi usaha kecil selama juga ini
dilayani oleh lembaga keuangan mikro. Selain menyediakan beragam jenis
pelayanan keuangan, seperti kredit mikro dan kecil, tabungan, pembayaran,
maupun deposito, lembaga keuangan mikro dalam berbagai pendekatannya juga
mencakup, (1) pelayanan terhadap kelompok rakyat miskin, seperti kelompok
yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal, dan (2) menggunakan prosedur
Jenis lembaga keuangan mikro sangat bervariasi, baik ditinjau dari sisi
kelembagaan, tujuan pendirian, budaya masyarakat, maupun sasaran lainnya.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi
dua jenis, yaitu bank dan non bank. LKM bank terdiri dari Bank Perkreditan
Rakyat (BPR), dan BRI Unit, sementara LKM non bank yang formal mencakup
Koperasi (Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Unit Desa) dan Pegadaian.
Adapun LKM non bank yang informal terdiri dari berbagai Kelompok dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (KSM dan LSM), Baitul Maal wat Tamwil
(BMT), Lembaga Ekonomi Produktif Masyarakat Mandiri (LEPMM), serta
berbagai bentuk kelompok lainnya (Ibrahim, 2003). Lembaga-lembaga keuangan
mikro ini masih berperan besar bagi masyarakat, terutama yang berada di
perdesaan.
Dari uraian tersebut diatas terdapat beberapa fakta yang patut dicatat
dalam merumuskan permasalahan secara umum: (1) kontribusi perbankan dalam
menggarap pasar usaha mikro dan kecil secara nasional, baru mencapai angka
sekitar 30 persen ini mengindikasikan adanya kesulitan usaha mikro dan kecil
untuk memperoleh kredit atau adanya kesenjangan antara pengetahuan UMKM
dengan produk dan prosedur perkreditan perbankan, (2) kontribusi usaha mikro
dan kecil dalam penciptaan dan penyerapan tenaga kerja di Jawa Tengah
sangatlah besar, hingga mencapai sekitar 95 persen pasar tenaga kerja dan
menyerap sekitar 6.9 juta tenaga kerja, dan (3) kemampuan daya tahan usaha
mikro dan kecil selama pasca krisis ekonomi menunjukkan bahwa usaha mikro
khususnya, sangatlah feasible secara bisnis tetapi belum bankable dalam
Berdasarkan uraian diatas maka secara spesifik dapat dirumuskan
permasalahan dari penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana peranan kredit mikro dan kecil terhadap kinerja usaha kecil?
2. Sejauhmana peranan kredit dari lembaga keuangan mikro terhadap ekonomi
wilayah?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis pengaruh kredit mikro dan kecil terhadap kinerja usaha kecil.
2. Menganalisis pengaruh kredit mikro dan kecil dari lembaga keuangan mikro
terhadap ekonomi wilayah.
3. Merumuskan kebijakan pengembangan kredit mikro dan kecil yang mampu
meningkatkan kinerja usaha kecil.
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bahan masukan dalam pengelolaan kebijakan pengembangan kredit
mikro dan kecil untuk meningkatkan kinerja usaha kecil serta kaitannya
dengan pengembangan ekonomi wilayah.
2. Sebagai sumbangan akademis dalam penelitian mengenai pengembangan
kredit mikro dan kecil dari lembaga keuangan mikro dimasa mendatang,
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Jawa Tengah dengan dua fokus
utama, yaitu: (1) peranan kredit mikro dan kecil terhadap kinerja usaha kecil, dan
(2) peranan kredit mikro dan kecil dari lembaga keuangan mikro yang dikaitkan
dengan upaya peningkatan ekonomi wilayah. Adapun lingkup penelitian ini
meliputi:
1. Contoh (sampel) adalah pelaku usaha kecil yang bergerak dalam kegiatan
usaha produk makanan olahan, yang memperoleh kredit mikro atau kredit
kecil, baik yang berasal dari bank maupun dari non bank.
2. Pelaku usaha kecil yang menjadi contoh diambil dari wilayah Kabupaten
Semarang, Magelang, dan Klaten. Wilayah ini merupakan sentra kegiatan
usaha kecil yang potensial di Jawa Tengah.
3. Kinerja usaha kecil yang diamati adalah dengan melihat indikator utama pada
penerimaan usaha kecil, sedangkan indikator kinerja usaha yang juga dilihat
adalah pendapatan usaha, penggunaan bahan baku, bahan bakar dan tenaga
kerja, serta pengambilan kredit.
4. Usaha kecil yang bergerak dalam makanan olahan ini, masing-masing
menghasilkan produk yang tidak selalu sama, baik jenis maupun satuannya.
Karena itu digunakan satuan rupiah per tahun, untuk menghitung nilai
penggunaan sarana produksi, pengambilan kredit, serta hasil produksi.
5. Untuk melihat peranan kredit mikro dan kecil dari lembaga keuangan mikro
terhadap ekonomi wilayah, akan diamati data kredit mikro dan yang disalurkan
pinjaman dari koperasi simpan pinjam, serta indikator ekonomi wilayah yang
mengacu pada PDRB sektor : pertanian, industri, perdagangan, dan jasa-jasa.
6. Untuk keperluan analisis digunakan model ekonometrika menggunakan
persamaan simultan, dengan metode Two Stage Least Squares (2SLS),
menggunakan data primer (cross section) dari hasil recall data melalui kegiatan
survei dan data primer berupa data pool (cross section dan time series), dari
model ekonomi usaha kecil, dan model keterkaitan kredit dan ekonomi
wilayah.
Sedangkan keterbatasan penelitian ini meliputi:
1. Model ekonomi usaha kecil, hanya melibatkan usaha kecil yang bergerak pada
kegiatan produksi makanan olahan yang berbasis bahan baku lokal, seperti:
ketela pohon, tepung tapioka, tepung aren, pisang, kedelai, dan kulit rambak.
2. Penelitian ekonomi usaha kecil penerima kredit mikro dan kecil yang
dilakukan hanya di wilayah Kabupaten Semarang, Magelang, dan Klaten.
3. Model keterkaitan kredit dan ekonomi wilayah merupakan model ekonomi
tertutup yang tidak memasukkan data ekspor-impor kabupaten.
4. Penelitian ini menggunakan data kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Tengah
yang berjumlah 29 kabupaten, tetapi tidak termasuk 6 (enam) kota yang ada
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kredit dan Usaha Kecil
2.1.1. Pengertian dan Peranan Kredit
Di beberapa literatur disebutkan istilah kredit berasal dari bahasa Latin
credo atau credere, yang berarti kepercayaan atau trust. Kredit mengandung
pengertian adanya suatu kepercayaan dari pihak pemberi pinjaman kepada
penerima pinjaman, bahwa di masa datang akan mampu memenuhi segala
kewajiban yang telah diperjanjikan (Rivai dan Veithzal, 2007).
Beberapa pengertian tentang kredit secara luas, antara lain:
1. Kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau
mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan
dilakukan pada suatu jangka waktu yang disepakati (Kohler, 1964).
2. Kredit adalah pertukaran sesuatu yang berharga dengan barang lainnya baik
itu berupa uang, barang maupun jasa dengan keyakinan bahwa yang
bersangkutan akan bersedia dan mampu untuk membayar dengan harga yang
sama dimasa yang akan datang (Firdaus, 2004).
3. Kredit adalah kemampuan pinjaman dan merupakan sebagian dari sumber
penting bagi likuiditas, serta merupakan suatu asset yang dapat dikelola bagi
usaha produksi suatu perusahaan (Baker, 1968 dalam Kuntjoro,1983).
4. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (Undang-undang
Fungsi kredit pada dasarnya ialah pemenuhan jasa untuk melayani
kebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan melancarkan produksi,
perdagangan dan konsumsi, sehingga pada akhirnya akan menaikkan pendapatan
masyarakat (Firdaus, 2004). Fungsi-fungsi kredit secara spesifik meliputi: (1)
mendorong tukar menukar barang dan jasa, (2) mengaktifkan alat pembayaran
yang idle, (3) menciptakan alat pembayaran baru, (4) sebagai alat pengendalian
harga, dan (5) meningkatkan kegunaan (utility) potensi-potensi ekonomi yang ada.
Adapun jenis-jenis kredit menurut tujuan penggunannya terdiri dari:
1. Kredit Konsumtif yaitu kredit untuk membiayai pembelian barang dan jasa
yang dapat memberikan kepuasan langsung terhadap kebutuhan individu.
2. Kredit Produktif yaitu kredit untuk tujuan-tujuan produktif dalam arti dapat
meningkatkan kegunaan (utility). Kredit produktif ini terdiri:
a. Kredit Investasi : untuk membiayai pembelian barang modal tetap,
umumnya berjangka waktu menengah dan panjang.
b. Kredit Modal Kerja: untuk membiayai modal lancar bagi proses produksi,
umumnya berjangka waktu pendek atau menengah. Fasilitas yang bisa
diberikan untuk kredit ini adalah revolving, yaitu dapat diperpanjang setiap
periodenya tanpa permohonan kredit baru, dan einmaleg yaitu, harus
mengajukan permohonan baru bila menghendaki kredit ini pada periode
selanjutnya (Triandaru dan Budisantoso, 2007).
3. Kredit Likuiditas : tidak secara langsung mempunyai tujuan konsumtif dan
produktif, tetapi bertujuan untuk membantu perusahaan yang sedang dalam
kesulitan likuiditas dalam rangka menjaga kebutuhan minimalnya. Tujuan
Tipe atau jenis kredit lainnya menurut jangka waktu terdiri dari, (1) kredit
jangka pendek (short-term credit), adalah kredit dengan jangka waktu sampai
dengan satu tahun, (2) kredit jangka menengah (intermediate credit), umumnya
adalah kredit dengan jangka waktu satu hingga lima tahun, dan (3) kredit jangka
panjang (long term credit), merupakan kredit dengan jangka waktu lebih dari
lima tahun (Kamerschen, 1984).
Kredit dalam perekonomian memegang peranan penting bagi pertumbuhan
ekonomi. Kredit konsumtif awalnya bersifat konsumtif, namun melalui efek
multiplier dengan keterkaitan ke depan secara tidak langsung akan bersifat
produktif yaitu meningkatkan produksi barang dan jasa yang dibeli konsumen.
Sedangkan kredit produktif mendorong pertumbuhan ekonomi, karena kredit ini
ditujukan untuk pendirian, modernisasi, rehabilitasi dan ekspansi usaha.
Unsur kepercayaan dan jaminan bahwa kredit yang diberikan akan
kembali merupakan unsur yang mutlak. Pada lembaga pemberi kredit formal,
unsur kepercayaan dinyatakan dalam persyaratan yang diminta dalam
menyalurkan kredit kepada nasabah. Persyaratan pemberian kredit secara umum
dinyatakan dalam Prinsip 6 C (Rose,1999) untuk mengetahui kelayakan calon peminjam untuk mendapatkan kredit (creditworthiness), dengan rincian sebagai
berikut:
1. Character menunjukkan karakter calon peminjam, apakah mempunyai
tanggung jawab, kejujuran, kesungguhan dalam mencapai tujuan, dan
kesungguhan untuk mengembalikan kredit yang diterima.
2. Capacity menunjukkan persyaratan yang wajib dimiliki oleh kegiatan usaha
historis usaha, legalitas, kepemilikan usaha, sifat kegiatan usaha dan produk,
konsumen dan pemasok.
3. Cash menunjukkan kemampuan calon peminjam untuk menghasilkan uang
tunai dari hasil usahanya. Aspek yang dilihat adalah laporan dan proyeksi arus
tunai usaha, ketersediaan aktiva yang likuid, perputaran usaha, dan kualitas
manajemen usaha.
4. Collateral menunjukkan bagian modal calon peminjam yang wajib dijadikan
sebagai agunan. Agunan dilihat dari aspek kepemilikan, kerentanan terhadap
keusangan, tingkat kegunaan, hak gadai, tingkat penguasaan atau
pengambilalihan.
5. Conditions merupakan persyaratan kelayakan usaha dilihat dari posisi industri
atau usaha, prakiraan pangsa pasar, kinerja usaha sejenis, permintaan pasar,
serta regulasi, lingkungan usaha dan kondisi politik yang mungkin
berpengaruh terhadap peminjam, usaha atau industri tersebut.
6. Control faktor terakhir ini untuk melihat kemampuan dalam hal pengawasan
terhadap calon peminjam, sehingga tidak menimbulkan kejadian yang
mempunyai efek merugikan. Bila hal ini tidak diperhatikan, bisa menyebabkan
terjadinya persengketaan perdata. Faktor pengawasan ini pula dapat
menghindarkan dari kemungkinan terjadinya salah pilih. Aspek penting yang
diperhatikan adalah bukti dokumen administrasi dan legal.
Apabila persyaratan tersebut dianggap telah terpenuhi oleh calon
peminjam, maka usaha dan colan peminjam tersebut dianggap bankable, artinya
kredit yang akan dibiayai telah memenuhi kriteria safety, yaitu dapat diyakini
kriteria effectiveness, yaitu kredit yang diberikan benar-benar digunakan untuk
pembiayaan sebagaimana dicantumkan dalam rencana pengajuan kreditnya
(Hasibuan, 2008).
Seberapa besar intensitas, penekanan dan kelengkapan persyaratan
tersebut, akan bervariasi antar lembaga dan jenis skim kredit yang diberikan. Bagi
kredit-kredit program, beberapa persyaratan tertentu bahkan dihilangkan.
Contohnya persyaratan Collateral atau agunan untuk kredit usaha kecil yang bisa
dalam bentuk lebih ringan.
2.1.2. Kredit Mikro dan Lembaga Keuangan Mikro
Istilah kredit mikro (microcredit) erat kaitannya dengan kredit bagi usaha
skala mikro dan kecil. Kredit mikro ini merupakan kredit dengan plafon pinjaman
kurang dari Rp.50 juta dan terdiri dari kredit modal kerja, kredit investasi dan
kredit konsumsi (Bank Indonesia, 2006). Kredit mikro menjadi populer karena
“metode kontroversial” dikembangkan di negara-negara miskin dan juga di negara
kaya, karena bank komersial sulit untuk memenuhi permintaan kredit dari rakyat
miskin yang tidak memiliki agunan fisik (physical collateral) tetapi layak
mendapat kredit (creditworthy) (Hollis dan Sweetman, 1998).
Konsep kredit mikro merupakan inovasi dari Grameen bank, yaitu
pinjaman dalam jumlah minimal tanpa agunan kepada rakyat miskin untuk
memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pendapatan keluarga. Sejak
dikembang-kan tahun 1976 sistem penyaluran kredit ini telah membuat Grameen bank
menjadi lembaga penyalur kredit mikro terbesar di Bangladesh. Di tahun 1980-an
skim kredit mikro yang diperuntukan bagi kelompok perempuan miskin ini telah
Pengalaman dari Grameen bank memperlihatkan bahwa pinjaman bagi
orang miskin dapat menciptakan wirausaha dan memberi pendapatan.
Kemampuan wirausaha itu ternyata universal, hampir setiap orang punya bakat
mengenali peluang disekitarnya. Realitas di perdesaan menunjukkan rumahtangga
merupakan unit produksi dan wirausaha sebagai cara bagi orang untuk mencari
nafkah. Dari pengamatan langsung terhadap perilaku orang yang dipinjami uang,
segera diketahui bahwa meminjamkan uang kepada perempuan jauh memberikan
manfaat bagi seluruh keluarga. Dengan begitu, meminjamkan kepada perempuan
menciptakan efek air terjun (cascading effect) yang bermanfaat bagi seluruh
keluarga dan akhirnya kepada seluruh komunitas (Yunus dan Weber, 2008).
Penambahan modal dari luar juga akan memberikan pertumbuhan yang tinggi
kepada kelompok yang menerima pinjaman dengan adanya snowball effect,
sehingga dalam jangka panjang mampu memberi harapan pada masyarakat
berpenghasilan rendah (Raynor, 2003).
Ada tiga karakteristik kredit mikro ini sehingga dapat berkembang dan
terus berkelanjutan hingga saat ini, yaitu: (1) ditujukan bagi rakyat miskin dalam
rangka meningkatkan aktivitas usaha mikro (produksi dan konsumsi), (2) fokus
pada kelompok perempuan yang merupakan kontributor utama dalam keluarga,
dan (3) memakai tehnik penyaluran kelompok dan pertemuan kelompok, yang
potensial membangun modal sosial ( Anderson et al., 2002 ).
Lembaga Keuangan Mikro (microfinance institutionals atau MFIs) adalah
institusi yang menyediakan jasa-jasa keuangan kepada penduduk yang
mikro (LKM) ini bersifat spesifik karena mempertemukan permintaan dana
penduduk miskin atas ketersediaan dana. LKM dapat dibedakan tiga jenis, yakni :
1. LKM formal bank : terdiri dari BPR, BRI Unit, dan BKD
2. LKM formal non bank : antara lain Koperasi, LDKP, Pegadaian, dan BKK
3. LKM informal non bank : antara lain BMT, Kelompok Arisan,
Simpan-Pinjam, Pelepas Uang, dll, termasuk lembaga-lembaga yang didirikan atas
dasar program pemerintah di departemen teknis (Bintoro, 2003).
Ada beberapa pengertian tentang keuangan mikro ( microfinance):
1. Keuangan mikro merupakan aktifitas yang mengacu pada jasa keuangan
skala kecil baik kredit atau simpanan yang ditujukan untuk masyarakat
petani atau nelayan atau peternak yang melakukan usaha mikro atau kecil
dan yang menghasilkan suatu produk, mendaur-ulang produk, memperbaiki
produk; atau berdagang; jasa-jasa; berkerja untuk mendapat upah atau
komisi; menyewakan tanah, hewan beban, kendaraan, atau peralatan dan
mesin; dan yang dilakukan oleh individu atau kelompok di negara-negara
berkembang, baik di perdesaan maupun perkotaan (Robinson, 2001).
2. Keuangan mikro didefinisikan sebagai penyediaan sejumlah jasa keuangan
seperti: simpanan, kredit, jasa pembayaran, transfer uang dan asuransi untuk
rumahtangga miskin atau berpenghasilan rendah dan usaha mikro (Asian
Development Bank, 2010).
3. Keuangan mikro secara luas didefinisikan sebagai penyedia jasa keuangan
bagi pengusaha mikro dan kecil, serta berfungsi sebagai alat pembangunan
bagi masyarakat perdesaan yang mencakup aspek intermediasi finansial dan
Pengertian tentang keuangan mikro (microfinance) menurut definisi
Robinson (2001), lebih menggambarkan perkembangan dari lembaga keuangan
mikro di Indonesia, yang terdiri dari lembaga formal baik bank (BRI Unit dan
BPR) maupun non bank (Koperasi, Pegadaian, BKK) dan lembaga informal
(BMT, Kelompok Simpan Pinjam, Kelompok Arisan, dll) yang tersebar luas di
wilayah perdesaan dan perkotaan di Indonesia dan melayani hampir semua sektor
ekonomi, baik pertanian maupun non pertanian.
Ada beberapa karakteristik dari lembaga keuangan mikro, yang
sebenarnya juga menggambarkan suatu fenomena yang kompleks berdimensi
ekonomi dan sosio-kultural, seperti dikatakan Arsyad (2008), yang meliputi: (1)
merupakan sebuah kesatuan dari tata-kelola yang dinamis, inovatif, dan lentur
(adaptif) yang dibuat sesuai kondisi lingkungan sosial dan ekonomi lokal,
kelenturan ini dicapai karena jumlah aturan yang tidak terlalu banyak, ukurannya
kecil, beroperasi di wilayah yang relatif terbatas (market niche) sehingga
mengenal peminjam secara pribadi, (2) jenis transaksi kecil dan jangka pendek
yang didasarkan pada hubungan pribadi atau pengetahuan tentang peminjam
secara pribadi, dan (3) biaya transaksi yang relatif rendah karena memiliki:
informasi yang cukup tentang peminjam, biaya administrasi yang relatif rendah,
tingkat bunga yang fleksibel, dan tidak memiliki kewajiban pencadangan modal
(reserve requirement). Menurut Otero (1999) microfinance dapat menjadi strategi
pembangunan yang berhasil apabila mampu menjaga: hubungan dengan
nasabahnya, kepercayaan pada kelembagaannya, dan kaitan dengan sistem
keuangan negaranya. Selain itu microfinance juga perlu untuk tetap menjaga
masyarakat bawah dan kepentingan komersialisasi yang semata-mata hanya demi
menjaga aspek keberlanjutan (sustainability) lembaga (Olivares-Polanco, 2005).
2.1.3. Klasifikasi Kredit Mikro dan Kecil
Kredit mikro dan kredit kecil, yang digunakan oleh Bank Indonesia
berdasarkan kesepakatan bersama Menko Kesra Tahun 2002 (SK, No.11/KEP
/MENKO/KESRA/IV/2002 dan No.4/2/KEP.GBI/2002 tanggal 22 April 2002)
yang memberikan batasan kredit mikro dan kredit kecil sebagai berikut:
1. Kredit Mikro adalah kredit yang diberikan kepada nasabah usaha mikro, baik
langsung maupun tidak langsung, yang dimiliki dan dijalankan oleh penduduk
miskin dengan kriteria penduduk miskin menurut Badan Pusat Statistik,
dengan plafon kredit maksimal Rp 50 juta.
2. Kredit Kecil adalah kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil yang
memiliki kekayaan bersih maksimal Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan
tempat usaha atau yang memiliki hasil penjualan maksimal Rp 1 miliar per
tahun, dengan plafon kredit maksimum sebesar Rp 500 juta.
Berdasarkan batasan kredit mikro dan kredit kecil ini, terlihat ada kaitan
yang erat mengelompokkan usaha mikro dan kecil dengan penentuan kriteria
kredit mikro dan kecil, yang ditetapkan oleh pemerintah selaku regulator dan
Bank Indonesia selaku otoritas moneter dalam menggerakkan sektor riil.
2.1.4. Pengertian dan Klasifikasi Usaha Kecil
Usaha kecil didefinisikan sebagai usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha, dan tidak terkait dengan
tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Dalam analisis teori mikroekonomi,
usaha kecil sebagai suatu badan yang melakukan kegiatan usaha melalui proses
produksi dengan mengubah masukan (input) yang disebut juga faktor produksi
termasuk segala sesuatu yang harus digunakannya, menjadi keluaran yang sering
disebut produk (output) (Pindyck dan Rubinfeld, 2001). Sebagai contoh sebuah
usaha makanan olahan menggunakan masukan yang mencakup tenaga kerja,
bahan baku (tepung, gula, bumbu-bumbu lainnya), dan modal yang digunakan
(pemanggang, mixer, peralatan lainnya) untuk memproduksi keluaran, berupa
keripik, getuk, kerupuk, dan makanan kecil lainnya.
Ada bebera