• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetapan Status Kesehatan Kucing Kampung (Felis domestica) Melalui Pemeriksaan Eritrosit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penetapan Status Kesehatan Kucing Kampung (Felis domestica) Melalui Pemeriksaan Eritrosit"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

domestica) Through Erythrocyte Examination. Under supervision of ANITA ESFANDIARI and SUS DERTHI WIDHYARI.

The objective of this experiment was to study the health status of domestic cats (Felis domestica) through the erythrocyte examinations i.e erythrocyte count, hemoglobin concentration, and hematocrit value. Twelve domestic cats (7 females and 5 males) were used in this experiment. The blood was taken from femoralis vein with dysposable syringe and EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid) vacutainer to determine erythrocyte count, hemoglobin concentration, and hematocrit values. Results of this study showed that erythrocytes count, hemoglobin concentration, and hematocrit values were (7,00±1,30) 106/µl, (9,66± I,56) g/dL,and (31,16±4,68) %, respectively. In conclusion, erythrocyte count, hemoglobin concentration, and hematocrit values of domestic cats were in normal range.

(2)

Melalui Pemeriksaan Eritrosit . Dibimbing oleh ANITA ESFANDIARI dan SUS DERTHI WIDHYARI.

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari status kesehatan kucing kampung (Felis domestica) melalui pemeriksaan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit. Sebanyak 12 ekor kucing kampung (7 ekor betina dan 5 ekor jantan) yang tidak dipelihara digunakan dalam penelitian ini. Sampel darah diambil melalui vena femoralis menggunakan dysposable syringe dan tabung EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid) untuk dianalisis terhadap jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit, berturut-turut adalah 7,00 x 106 /µl, 9,66 ± I,56 g/dl, 31,16 ± 4,68%. Sebagai kesimpulan, kucing kampung (Felis domestica) memiliki jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit dalam nilai interval normal.

(3)

PENETAPAN STATUS KESEHATAN KUCING KAMPUNG

(Felis domestica) MELALUI PEMERIKSAAN ERITROSIT

WIDIA SISKA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Penetapan Status Kesehatan Kucing Kampung (Felis domestica) Melalui Pemeriksaan Eritrosit adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012

(5)

domestica) Through Erythrocyte Examination. Under supervision of ANITA ESFANDIARI and SUS DERTHI WIDHYARI.

The objective of this experiment was to study the health status of domestic cats (Felis domestica) through the erythrocyte examinations i.e erythrocyte count, hemoglobin concentration, and hematocrit value. Twelve domestic cats (7 females and 5 males) were used in this experiment. The blood was taken from femoralis vein with dysposable syringe and EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid) vacutainer to determine erythrocyte count, hemoglobin concentration, and hematocrit values. Results of this study showed that erythrocytes count, hemoglobin concentration, and hematocrit values were (7,00±1,30) 106/µl, (9,66± I,56) g/dL,and (31,16±4,68) %, respectively. In conclusion, erythrocyte count, hemoglobin concentration, and hematocrit values of domestic cats were in normal range.

(6)

Melalui Pemeriksaan Eritrosit . Dibimbing oleh ANITA ESFANDIARI dan SUS DERTHI WIDHYARI.

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari status kesehatan kucing kampung (Felis domestica) melalui pemeriksaan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit. Sebanyak 12 ekor kucing kampung (7 ekor betina dan 5 ekor jantan) yang tidak dipelihara digunakan dalam penelitian ini. Sampel darah diambil melalui vena femoralis menggunakan dysposable syringe dan tabung EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid) untuk dianalisis terhadap jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit, berturut-turut adalah 7,00 x 106 /µl, 9,66 ± I,56 g/dl, 31,16 ± 4,68%. Sebagai kesimpulan, kucing kampung (Felis domestica) memiliki jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit dalam nilai interval normal.

(7)

PENETAPAN STATUS KESEHATAN KUCING KAMPUNG

(Felis domestica) MELALUI PEMERIKSAAN ERITROSIT

WIDIA SISKA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

NRP : B04080109

Disetujui

Dr. drh. Anita Esfandiari, M.Si Dr. drh. Sus Derthi Widhyari, M.Si Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui

drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(9)

dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Penetapan Status Kesehatan Kucing Kampung (Felis domestica) Melalui Pemeriksaan Eritrosit”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan skripsi ini, terutama kepada:

1. Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi dan Dr. drh. Sus Derthi Widhyari, MSi selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingannya, pengarahan dan masukan yang telah diberikan kepada penulis.

2. Prof. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D, PAVet selaku Ketua Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi.

3. Dr. drh. H. Idwan Sudirman selaku pembimbing akademik.

4. Ibu, Ayah, Yuk Meta, Dek Riki dan Dek Bara, serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, nasihat dan motivasi kepada penulis.

5. Pak Djajat, Pak Suryono, Pak Kamidi, Pak Bambang, dan Bu Leli atas bantuannya.

6. Cupu Nara atas suka duka dan bantuannya selama penelitian.

7. “Paguyuban” tersayang, Juju Intan, Farah, Riris, Susi, Mutia, Jami, Aji, Hafiz Pea, Fatma, Ridwan, Dian, Awan, Rizal, dan lainnya atas waktu dan informasi terkininya.

8. Candra, Azmi, Purnomo, Mursyid dan teman-teman FKH 45 lainnya atas bantuan selama penelitian dan pengalaman hidup selama ini.

9. Nae, Lista, Devi, Steffi, Dewi, Nanda, dan Muti atas kebersamaan dan semangat yang kalian berikan.

10. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengharapkan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, November 2012

(10)

1991. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan ayah bernama Warsil A. Wahab dan ibu bernama Nurhawa Ali.

Penulis menempuh pendidikan formal di SMA Plus Negeri 2 Banyuasin III pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008. Tahun 2008, penulis diterima sebagai Mahasiswi Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih Program Studi Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

(11)

DAFTAR TABEL………... x

Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)……... 13

(12)

1 Gambaran normal darah kucing………... 5 2 Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai

hematokrit pada kucing kampung (Felis domestica)……... 16 3 Rataan jumlah eritrosit (106 /µl) pada kucing kampung (Felis

domestica) jantan dan betina………... 17 4 Rataan konsentrasi hemoglobin (g/dl) pada kucing kampung (Felis

domestica) jantan dan betina………... 20 5 Rataan Nilai Hematokrit ( %) pada kucing kampung (Felis

(13)
(14)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kucing kampung (Felis domestica), disebut juga kucing rumahan,

merupakan salah satu hewan kesayangan yang dipelihara oleh sebagian besar

masyarakat. Kucing kampung hidup secara “liar” (tidak dipelihara) disekitar

lingkungan manusia dan sebagian lainnya hidup dipelihara. Kucing jenis ini

mempunyai kemampuan beradaptasi dan mampu mempertahankan diri dalam

lingkungan yang kurang bersahabat. Sebagian besar kucing kampung yang tidak

dipelihara umumnya sangat penakut dan cenderung menghindari kehadiran

manusia, hidup menyendiri, dan memiliki wilayah kekuasaan (Sunquist dan

Sunquist 2002).

Masalah gizi sering menjadi kendala sehingga dapat berpengaruh

terhadap status kesehatan hewan tersebut. Pengawasan terhadap kesehatan hewan

kesayangan oleh pemilik hewan kadang terabaikan. Hal tersebut terjadi, terutama

pada kucing kampung yang hidup secara “liar”, dimana status kesehatan

cenderung lebih buruk dibandingkan dengan kucing kampung yang hidup

dipelihara (Triastuti 2006).

Kucing kampung yang hidup secara “liar” membutuhkan pakan untuk

mempertahankan hidupnya. Faktor wilayah kekuasaan sangat berpengaruh pada

kebutuhan nutrisi. Kucing dapat saling mengawasi dan berkuasa pada wilayah

tertentu (kucing kampung jantan yang aktif secara seksual), sehingga kucing lain

tidak memungkinkan untuk masuk wilayah kucing tersebut untuk mendapatkan

pakan. Hal ini menyebabkan kurangnya asupan nutrisi pada kucing kampung yang

hidup secara “liar”. Gizi yang kurang terpenuhi dan lingkungan yang kurang layak

membuat hewan liar rentan terkena penyakit (Moleon dan Gil-Sanchez 2002).

Oleh karena itu diperlukan data untuk mengetahui status kesehatannya.

Pemeriksaan status kesehatan hewan, selain dilakukan melalui

pemeriksaan klinis, dapat juga dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium, salah

satunya melalui pemeriksaan darah. Darah termasuk jaringan primer yang dapat

teridentifikasi apabila terjadi gangguan pada kesehatan (Schaer 2008).

(15)

hematologi rutin meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai

hematokrit, jumlah leukosit total, hitung jenis leukosit, jumlah trombosit, dan laju

endap darah (Pusparini 2005).

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status kesehatan kucing

kampung (Felis domestia) melalui pemeriksaan parameter eritrosit (sel darah

merah), yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan nilai

hematokrit.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai status

kesehatan kucing kampung (Felis domestica) yang hidup secara “liar” (tidak

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Kucing

Kucing kampung (Felis domestica) termasuk dalam ordo karnivora

(pemakan daging). Fowler (1993) mengklasifikasikan kucing kampung (Felis

domestica) sebagai berikut:

persilangan antara Felis silvestris dengan Lybica yang berasal dari keturunan spesies Fellis silves (Kucing Abissian) (Mason 1984). Terdapat sekitar 40 spesies kucing liar di dunia, dimana 9 (sembilan) spesies diantaranya dapat ditemukan di

Indonesia. Kucing telah hidup bersama manusia sejak 3500 tahun yang lalu dan

orang mesir kuno memanfaatkannya sebagai pengusir hama tikus dan hama yang

dapat mengancam hasil panen pertaniannya (Mason 1984).

Spesies kucing liar merupakan jenis kucing yang hidup di alam bebas.

Kucing termasuk dalam famili Felidae, termasuk di dalamnya spesies kucing

besar seperti harimau, singa, macan tutul dan jaguar. Kucing kampung (Felis

domestica) merupakan salah satu predator terhebat di dunia dan dapat membunuh atau memakan beberapa ribu spesies hewan kecil (Moleon dan Gil-Sanchez

2002). Kucing dianggap sebagai karnivora sempurna dengan gigi taring yang

(17)

pertama membentuk sepasang taring di setiap sisi mulut yang bekerja efektif

seperti gunting untuk merobek daging. Meskipun ciri ini terdapat pula pada famili

Canidae (anjing), namun demikian ciri ini berkembang lebih baik pada kucing

(Yasuma dan Alikodra 1992).

Kucing memiliki tubuh yang seimbang dan proporsional ditunjang oleh

tulang yang kuat membuat gerakannya semakin lincah dan mampu berlari

kencang (Suwed dan Budiana 2006). Kucing juga mempunyai kemampuan untuk

menyesuaikan posisi tubuh ketika jatuh dari ketinggian, karena kucing memiliki

terminal velocity atau kecepatan jatuh maksimum, yakni 60 mil perjam. Kucing juga termasuk hewan yang suka merawat diri. Air liur atau saliva kucing yang dijilatkan ke tubuh dapat membersihkan bagian tubuhnya (RED 2003).

Darah

Darah merupakan jaringan konektif. Jaringan ini berupa cairan yang

mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah pada sistem kardiovaskular

(Colville dan Bassert 2002). Darah membawa berbagai kebutuhan hidup bagi

semua sel tubuh dan menerima produk buangan hasil metabolisme untuk

diekskresikan melalui organ ekskresi (Jain 1993).

Darah terbagi menjadi dua bagian, yaitu cairan dan padatan (sel). Bagian

cairan disebut plasma yang sebagian besar terdiri atas 91-94% air, dan bagian

padatan yang berkisar antara 30-45% dari total kandungan (Lawhead dan Baker

2005). Bagian padatan terbagi dalam tiga jenis, yaitu sel darah merah (eritrosit),

sel darah putih (leukosit) dan platelet (trombosit) (Meyer dan Harvey 2004). Total volume darah pada kucing berkisar antara 6-8% dari bobot badan (Meyer dan

Harvey 2004).

Menurut Colville dan Bassert (2002), darah memiliki tiga fungsi utama,

yaitu sebagai sistem transportasi, sistem regulasi dan sistem pertahanan tubuh.

Darah sebagai sistem transportasi berperan dalam membawa oksigen, zat nutrisi,

hasil sisa metabolisme, dan hormon. Perannya sebagai sistem regulasi adalah

menjaga homeostasis dan suhu tubuh, sedangkan dalam pertahanan tubuh

(18)

Proses pembentukan darah secara umum disebut hematopoiesis. Sel

darah ini tidak abadi, suatu ketika akan mengalami kerusakan dan kematian,

sehingga harus digantikan dan diproduksi secara teratur. Hal inilah yang

menjadikan hematopoiesis sebagai suatu proses yang berkelanjutan (Colville dan

bassert 2002). Tabel 1 memperlihatkan nilai darah kucing kampung normal.

Tabel 1 Gambaran normal darah kucing (Jain 1993).

Parameter Kisaran Rata-rata

Hematopoiesis atau haemopoiesis merupakan proses pembentukan dan

perkembangan sel-sel darah (Dorland 1998). Secara umum aktivitas

hematopoiesis dapat dideteksi pada minggu ketiga kehidupan prenatal. Saat postnatal, proses hematopoiesis pada mamalia berlangsung di sumsum tulang. Sumsum tulang memiliki fungsi sebagai tempat memproduksi eritrosit, granulosit,

monosit, platelet dan limfosit B serta menyimpan stem cell (Jain 1993). Proses hematopoiesis melibatkan beberapa organ yang memiliki fungsi dalam sirkulasi

darah (Schalm 2010).

Gambar 1 menjelaskan tentang pembentukan sel-sel darah dari sel bakal

pluripotensial (stem cell) menjadi sel-sel yang berdiferensiasi. Sumsum tulang

merah bervaskularisasi di jaringan penghubung antara tuberkula dari spons

jaringan tulang. Sebesar 0,05-0,1% dari sumsum tulang merah merupakan derivat

sel masenkim yang disebut sel bakal pluripoten. Saat kelahiran, sumsum tulang

(19)

peningkatan produksi sel darah, sumsum tulang merah menjadi inaktif dan

digantikan sumsum tulang kuning yang sebagian besar merupakan sel lemak.

Eritroblas Retikulosit Eritrosit

Eosinofil

Mieloblas Granulosit Basofil Sel-mast

Neutrofil

Sel Bakal Monoblas Monosit Makrofag

Pluripotensial

Megakarioblas Megakaryosit Trombosit

Prolimpoblas Sel Bakal Limfosit B

Limfoid Limfosit T

Gambar 1 Diferensiasi sel darah di sumsum tulang (Tortora dan Bryan 2006).

Eritropoiesis

Eritropoiesis adalah proses pembentukan eritrosit (Dorland 1998). Saat

eritrosit diproduksi, eritrosit yang belum dewasa (retikulosit) masih mengandung

nukleus (Meyer dan Harvey 2004). Eritropoietin (EPO), suatu hormon

glikoprotein, merupakan faktor utama yang merangsang produksi eritrosit

(Guyton dan Hall 1997). Hormon ini akan dilepaskan ketika sel ginjal mendeteksi

adanya hipoksia pada jaringan dan merangsang sumsum tulang untuk

memproduksi lebih banyak eritrosit (Colville dan Bassert 2002; Dorland 1998).

Eritropoietin diproduksi oleh ginjal dan beberapa diantaranya disintesis

oleh hati (Jain 1993). Menurut Ganong (2001), eritropoietin akan meningkatkan

jumlah stem cell (sel bakal) di sumsum tulang. Stem cell akan menjadi prekursor

eritrosit dan akhirnya menjadi eritrosit. Proses eritropoiesis dikendalikan oleh

kadar oksigen di dalam jaringan (Jain 1993). Pembentukan eritrosit dihambat oleh

meningkatnya jumlah eritrosit di dalam sirkulasi darah yang berada pada kisaran

(20)

menstimulasi untuk terjadinya eritropoiesis. Mekanisme eritropoiesis terus

berlanjut selama keadaan hipoksia di dalam sel belum berkurang. Jika penyebab

hipoksia dihilangkan, kelebihan eritrosit akan membuat sumsum tulang berespons

untuk mengurangi laju eritropoiesis (Frandson 1996). Jumlah seluruh eritrosit

dalam sirkulasi darah tergantung pada kecepatan produksi eritrosit dalam sumsum

tulang (Guyton dan Hall 1997).

Apabila terjadi pendarahan, sintesis hemoglobin meningkat, dan

pembentukan serta pelepasan eritrosit dari sumsum tulang akan meningkat (Bast

et al. 2000) Menurut Ganong (1997), kadar eritropoietin dalam darah sangat meningkat pada keadaan anemia. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit yang

rendah akan merangsang ginjal untuk mensekresikan eritropoietin sampai

keadaan anemia dapat diatasi.

Proeritroblas Basofil eritroblas Polikromatofil eritroblas

Eritrosit Retikulosit Ortokromatil eritroblas

Gambar 2 Pembentukan eritrosit (Guyton dan Hall 1997).

Tahapan diferensiasi eritrosit ditunjukkan pada Gambar 2. Sel pertama

yang dibentuk dalam rangkaian pembentukan eritrosit adalah proeritroblas yang

akan membelah menjadi basofil eritroblas. Selanjutnya sel sudah dipenuhi oleh

hemoglobin dengan konsentrasi 34%, menyebabkan nukleus memadat menjadi

kecil, dan pada saat bersamaan retikulum endoplasma direabsorpsi. Sel pada tahap

ini disebut retikulosit dan masih mengandung sedikit bahan basofilik yang secara

normal akan menghilang, dan sel kemudian akan menjadi eritrosit matang

(Guyton dan Hall 1997). Selama proses pematangan eritrosit, setelah

pembentukan hemoglobin dan pelepasan inti sel masih diperlukan waktu selama

(21)

akhir, eritrosit selain mengandung sisa-sisa DNA juga mengandung berbagai

fragmen mitokondria dan organel lainnya (Hoffbrand et al. 2005).

Eritrosit (Sel Darah Merah)

Eritrosit merupakan salah satu unsur yang dibentuk dalam sumsum

tulang (Dorland 1998). Eritrosit memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai alat

transportasi oksigen (O2) menuju jaringan, transportasi karbon dioksida (CO2)

menuju paru-paru dan sistem buffer ion hidrogen (H+) (Meyer dan Harvey 2004).

Eritrosit memiliki masa hidup yang terbatas dan secara tetap akan digantikan

secara terus-menerus (Lawhead dan baker 2005). Sel ini secara normal

bersirkulasi dalam darah selama beberapa bulan (Meyer dan Harvey 2004). Umur

eritrosit pada hewan domestik berkisar antara 2-5 bulan, tergantung pada spesies

(Meyer dan Harvey 2004). Eritrosit kucing berada dalam sirkulasi selama 70-80

hari (Craigmyle 1994).

Eritrosit pada mamalia berbentuk bikonkaf (cekung), tidak memiliki

nukleus dan organel sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mensintesis

protein (Weiss dan Wardrob 2010). Kucing memiliki eritrosit yang berbentuk

cakram bikonkaf tanpa inti (Craigmyle 1994) (Gambar 3). Eritrosit kucing sedikit

berbeda dibandingkan dengan eritrosit anjing (Cowell et al. 2008), dimana eritrosit anjing memiliki bentuk bikonkaf yang terlihat lebih jelas dibandingkan

dengan eritrosit kucing (Swenson dan Reece 1993).

Eritrosit dibentuk melalui proses pematangan yang terdiri dari beberapa

tahap yaitu pembelahan dan perubahan morfologi sel berinti, mulai dari rubriblas,

prorubrisit, rubrisit, dan metarubrisit (Bast et al. 2000). Rubriblas disebut juga pronormoblas atau proeritroblas. Sel ini mempunyai inti yang bulat dengan

beberapa anak inti serta khromatin yang halus. Ukuran sel rubriblas berkisar

antara 18-25 µm. Jumlah rubriblas dalam sumsum tulang pada keadaan normal

kurang dari 1% dari seluruh sel berinti (Bast et al. 2000).

Prorubrisit disebut juga normoblas basofilik atau eritroblas basofilik.

Prorubrisit mempunyai khromatin inti yang terlihat kasar dan anak inti yang tidak

terlalu jelas. Sitoplasmanya mulai mengandung hemoglobin sehingga warna

(22)

dengan rubriblas. Jumlah prorubrisit pada keadaan normal berkisar antara 1-4%

dari seluruh sel di dalam sumsum tulang. Prorubrisit dapat diwarnai dengan warna

basa dan sel inti akan mengumpulkan sedikit hemoglobin (Bast et al. 2000).

Rubrisit disebut juga normoblas polikromatik yang memiliki inti sel yang

mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur (Bast et al. 2000). Tidak ditemukan anak inti, dan sitoplasma lebih banyak mengandung

warna merah (kandungan hemoglobin) dan warna biru (kandungan asam

ribonukleat). Warna merah terlihat lebih dominan pada sel rubrisit karena banyak

mengandung hemoglobin (Bast et al. 2000).

Metarubrisit disebut juga normoblas ortokromatik atau eritroblas

ortokromatik (Bast et al. 2000). Sel ini memiliki inti sel yang kecil dan mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya lebih merah, walaupun

masih tersisa warna biru. Jumlah metarubrisit pada keadaan normal berkisar

antara 5-10% pada sumsum tulang.

Menurut Frandson (1996), beberapa faktor fisiologis yang mempengaruhi

jumlah eritrosit di dalam sirkulasi darah meliputi jenis hewan, jenis kelamin, dan

umur. Jumlah eritrosit pada kucing berkisar antara 5.00-10.00 x106 /µl (Jain

1993). Hewan dengan ukuran eritrosit yang kecil memiliki jumlah eritrosit lebih

tinggi, dan sebaliknya hewan yang memiliki ukuran eritrosit lebih besar memiliki

jumlah eritrosit yang lebih rendah (Jain 1993). Jumlah eritrosit pada kucing

jantan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kucing betina, karena pada kucing

jantan dipengaruhi oleh hormon androgen (Schalm 2010). Berdasarkan umur,

jumlah eritrosit pada saat kelahiran hampir 12 kali lipat dibandingkan dengan

kucing dewasa (Schalm 1986).

Faktor-faktor patologis yang dapat mempengaruhi jumlah eritrosit yaitu

defisiensi besi, penyakit hati, penyakit ginjal, dan nutrisi. Sintesis hemoglobin

pada kasus defisiensi besi terganggu sehingga pembentukan eritrosit terhambat.

Defisiensi besi, Cu, vitamin, dan asam amino sangat berpengaruh pada jumlah

eritrosit seperti yang dilaporkan oleh Triastuti (2006).

Penyakit hati dan ginjal kronis dapat menyebabkan terjadinya penurunan

jumlah eritrosit. Ginjal merupakan tempat utama diproduksinya eritropoietin,

(23)

dibentuk di hati pada masa fetus, dan di ginjal pada saat dewasa (Meyer et al. 1992). Bila masa ginjal berkurang akibat penyakit ginjal, maka hati tidak dapat

mengkompensasi dan terjadilah anemia (Ganong 1997).

Gambar 3 Eritrosit Kucing(Schalm 2010).

Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin merupakan pigmen pembawa oksigen, terdiri atas empat

rantai polipeptida globin yang berbeda dan masing-masing terdapat beberapa ratus

asam amino (Dorland 1998). Hemoglobin terdiri atas dua komponen yaitu heme dan globin (Colville dan Bassert 2002). Menurut Ganong (2001), kemampuan

eritrosit mengikat oksigen disebabkan oleh adanya Hb.

Hemoglobin diproduksi oleh eritrosit selama proses pematangan. Sintesis

heme berlangsung di mitokondria, sedangkan globin merupakan bagian protein

yang diproduksi di ribosom (Colville dan Bassert 2002). Setiap kelompok heme mengandung atom besi (Fe++) yang akan mengikat, mengangkut, dan memberikan

oksigen ke jaringan (Weiss dan Wardrob 2010). Empat heme dalam setiap kelompok melekat dengan molekul globin sehingga setiap molekul Hb akan

membawa empat molekul oksigen (Colville dan Bassert 2002).

Menurut McCurnin dan Bassert (2006), hemoglobin bertanggung jawab

dalam membawa oksigen dari paru paru menuju jaringan. Afinitas Hb terhadap

oksigen dapat dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3-difosfogliserat

(2,3-DPG) dalam eritrosit (Colville dan Bassert 2002). Keadaan pH yang asam, akan

membuat oksigen di dalam jaringan berkurang sehingga kemampuan Hb

membawa oksigen menurun. Hemoglobin mempunyai tiga fungsi diantaranya,

(24)

mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan tubuh,

dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh sebagai hasil metabolisme ke

paru-paru untuk dibuang (McCurnin dan Bassert 2006).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi Hb diantaranya

beberapa keadaan seperti gangguan sintesis Hb, defisiensi besi, dan infeksi kronis

(Cunningham 1997). Gangguan pada sintesis Hb misalnya thalassemia (kongenital) (Sodikoff 1995) dan anemia defisiensi zat besi. Thalassemia merupakan kelompok anemia hemolitik herediter yang ditandai dengan penurunan

kecepatan sintesis satu rantai atau lebih polipeptida Hb, sehingga pada kasus

tersebut akan mempengaruhi konsentrasi Hb (Dorland 1998).

Hematokrit / Packed Cell Volume (PCV)

Hematokrit merupakan persentase eritrosit dari total volume darah

(Dorland 1998). Nilai ini didapatkan dengan melihat tiga bagian hasil dari

sentrifugasi eritrosit yang mengendap yaitu eritrosit di lapisan dasar, leukosit dan

trombosit pada lapisan tengah (buffy coat), dan plasma darah di lapisan atas. Nilai

normal hematokrit bervariasi diantara spesies, dan tergantung pada umur dan jenis

kelamin dari setiap individu (Schalm 1986; Jain 1993).

Faktor fisiologis lainnya yang dapat mempengaruhi nilai hematokrit yaitu

jenis kelamin dan dehidrasi (Stockham dan Scott 2008). Saat dehidrasi, tubuh

mengambil cairan vaskular untuk melakukan homeostasis, sehingga terjadi

peningkatan konsentrasi hematokrit dalam darah (Stockham dan Scott 2008).

Luka terbuka dan infeksi parasit merupakan faktor yang bersifat patologis yang

dapat mempengaruhi nilai hematokrit dalam darah. Jumlah eritrosit pada kasus

tersebut berkurang secara cepat, sehingga konsentrasi hematokrit dalam darah

berkurang, dan hewan akan mengalami anemia. Anemia juga dapat terjadi apabila

eritrosit mengalami hemolisis yang lebih cepat dibandingkan dengan

pembentukannya atau apabila sel eritrosit tidak berhasil matang secara normal

(Frandson 1996).

Hemokonsentrasi atau disebut juga polisitemia merupakan kebalikan dari

anemia yang berarti bahwa rasio sel darah merah terhadap cairan berada diatas

(25)

disebabkan oleh jumlah eritrosit yang bertambah maupun jumlah cairan vaskular

yang menurun (Stockham dan Scott 2008).

Indeks Eritrosit

Indeks eritrosit terdiri atas MCV (mean corpuscular volume), MCH

(mean corpuscular hemoglobin), dan MCHC (mean corpuscular hemoglobin concentration). Indeks eritrosit digunakan untuk mengklasifikasi jenis anemia secara morfologi (Riswanto 2009). Jenis anemia berdasarkan indeks eritrosit dapat

digolongkan menjadi enam, yaitu anemia normocytic normochromic, macrocytic hypochromic, macrocytic normochromic, microcytic hypochromic, microcytic normochromic, dan normocytic hypocromic (Sodikoff 1995).

Mean Corpuscular Volume (MCV)

Mean Corpuscular Volume menggambarkan rataan volume eritrosit. Nilai ini mengindikasikan eritrosit tersebut termasuk mikrositik, normositik, atau

makrositik. Nilai MCV bervariasi pada setiap spesies. Hewan mamalia memiliki

ukuran eritrosit yang lebih kecil dibandingkan dengan burung, reptil, amfibi.

Ukuran eritrosit yang kecil pada mamalia ini menyebabkan hewan mamalia

memiliki jumlah eritrosit yang lebih banyak (Meyer dan Harvey 2004).

Menurut Schalm (2010), nilai MCV yang normal menggambarkan

ukuran eritrosit yang normal. Nilai MCV yang rendah memiliki ukuran eritrosit

yang lebih kecil dari ukuran normal. Nilai MCV yang rendah dapat ditemukan

pada anemia mikrositik. Penyebab anemia mikrositik yaitu defisiensi besi dan

penyakit kronis (Nordenson 2006). Eritrosit yang berukuran besar merupakan

eritrosit muda dan yang berukuran kecil merupakan eritrosit yang sudah dewasa.

Apabila di dalam sirkulasi darah banyak terdapat eritrosit yang berukuran kecil,

dimungkinkan terjadi kegagalan dalam proses eritropoiesis. Nilai MCV diperoleh

dari penghitungan rumus sebagai berikut :

(26)

Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)

Mean Corpuscular Hemoglobin merupakan penghitungan massa hemoglobin dalam eritrosit. Mean Corpuscular Hemoglobin menggambarkan rataan bobot hemoglobin dalam eritrosit. Nilai ini selalu berkorelasi dengan MCV

dan MCHC. Nilai MCH diperoleh dari penghitungan rumus sebagai berikut :

(Schalm 1986).

Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)

Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration menggambarkan rataan konsentrasi hemoglobin dalam eritrosit. Nilai MCHC mengindikasikan eritrosit

dalam keadaan normokromik atau hipokromik. Normokromik mengacu pada nilai

MCHC yang normal, sedangkan apabila lebih rendah dari nilai normal disebut

hipokromik (Meyer et al 1992). Nilai MCHC diekspresikan dalam g/dl eritrosit (Meyer & Harvey 2004). Rendahnya nilai MCHC dapat disebabkan oleh

gangguan sintesis hemoglobin, sintesis eritrosit, atau keadaan darah yang encer

akibat peningkatan cairan plasma atau kehilangan sejumlah eritrosit (Cunningham

1997). Nilai MCHC dapat diperoleh dari penghitungan rumus sebagai berikut :

(27)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Penyakit

Dalam, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran

Hewan, Institut Pertanian Bogor dan di lingkungan lingkar kampus IPB Dramaga.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011- Januari 2012.

Bahan dan Alat

Hewan coba yang digunakan adalah 12 ekor kucing kampung (Felis

domestica) yang hidup secara “liar” (tidak dipelihara) di daerah lingkar kampus IPB Dramaga, Bogor Bahan yang digunakan adalah kapas, tisu, aquadestilata,

alkohol 70%, larutan Hayem, HCl 0.1 N.

Alat yang digunakan untuk pemeriksaan darah meliputi tabung EDTA

(Ethylene Diamine Tetraacetic Acid), disposable syringe 3 ml, mikroskop, sentrifus, hemositometer, tabung mikrohematokrit, hemometer, hand counter, cover glass.

Metode Penelitian

Darah diambil dari vena femoralis sebanyak 1 ml, menggunakan disposable syringe berukuran 3 ml. Sampel darah kemudian dimasukkan ke dalam vacutainer berantikoagulan EDTA. Sampel darah yang diambil kemudian diperiksa terhadap jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit.

Jumlah Eritrosit

Jumlah eritrosit dihitung menggunakan metode hemositometer (Schalm

1986). Darah dihisap menggunakan menggunakan pipet pengencer eritrosit dan

aspiratornya sampai batas garis 0.5, kemudian dilanjutkan dengan menghisap

larutan hayem sampai batas 101. Campuran di dalam pipet eritrosit dihomogenkan

dengan gerakan memutar membentuk angka delapan. Sebelum dimasukkan ke

kamar hitung, campuran yang tidak ikut terkocok yang berada di ujung pipet

(28)

ke kamar hitung dengan menyentuhkan ujung pipet pada pertemuan antara kamar

hitung dengan cover glass. Penghitungan eritrosit dilakukan pada ruang hitung untuk eritrosit, yaitu pada kelima kotak yang terletak diagonal pada lima bujur

sangkar besar yang berada tepat ditengah kamar hitung, menggunakan mikroskop

dengan perbesaran 10 x 40. Hasil yang diperoleh = a x 104/µl.

Konsentrasi Hemoglobin

Pengukuran konsentrasi hemoglobin dilakukan menggunakan metode

Sahli (Schalm 1986). Sampel darah dihisap menggunakan pipet Sahli sampai

batas angka 20 (0.02ml). Sebelumnya tabung Sahli telah diisi dengan HCl 0.1N

sampai angka 10 (garis terbawah dari tabung). Kemudian darah dari pipet

dipindahkan ke dalam tabung Sahli. Tabung yang telah berisi campuran tersebut

diletakkan diantara kedua bagian standar warna dalam alat hemometer. Dibiarkan

sebentar selama tiga menit sampai terbentuk asam hematin berwarna coklat.

Kemudian ditambahkan aquades dengan menggunakan pipet tetes sambil diaduk

sampai warna campuran sama dengan warna standar yang terdapat pada tabung

Sahli. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam gram %.

Nilai Hematokrit

Nilai hematokrit ditentukan dengan menggunakan metode

mikrohematokrit (Schalm 1986). Sampel darah diambil menggunakan tabung

mikrohematokrit. Darah dibiarkan masuk sampai mengisi 4/5 bagian dari tabung

mikrohematokrit. Ujung tabung kemudian disumbat dengan creatoseal. Setelah itu disentrifus dengan kecepatan 12000 rpm selama lima menit. Persentase

volume eritrosit diukur dengan menggunakan alat baca microhematocrit reader.

Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam %.

Analisis Data

Data jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah)

Profil parameter eritrosit yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi

hemoglobin, dan nilai hematokrit kucing kampung (Felis domestica) ditampilkan

pada Tabel 2. Jumlah eritrosit semua kucing kampung percobaan bervariasi

diantara individu, yaitu berkisar antara 5.10-9.22 x106/µl, dengan rataan sebesar

7.00 1.30 x106/µl.

Tabel 2 Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit

pada kucing kampung (Felis domestica). Kisaran 5.10-9.22 8.20-12.20 24.00-39.00 Referensi*) 5.00 – 10.00 8.00 – 15.00 24.00 – 45.00 *)

Jain (1993)

Jumlah eritrosit pada kucing normal menurut Jain (1993) berkisar antara

5.00–10.00 ×106/µl. Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah eritrosit tertinggi yaitu

9.22 x106/µl, dan terendah adalah 5.10 x106/µl. Secara umum jumlah eritrosit

pada kucing kampung yang diamati masih berada pada interval normal menurut

(30)

Tabel 3 Rataan jumlah eritrosit (106 /µl) pada kucing kampung (Felis domestica)

Tabel 3 memperlihatkan perbandingan jumlah eritrosit pada kucing

kampung (Felis domestica) jantan dan betina. Jika diamati berdasarkan jenis

kelamin, rataan jumlah eritrosit pada kucing kampung jantan lebih tinggi

dibandingkan dengan kucing kampung betina. Rataan jumlah eritrosit pada kucing

kampung jantan adalah 7.57 1.52 x106/µl (kisaran 5.60-8.52 x106/µl), sedangkan

pada kucing kampung betina 6.58 1.04 x106/µl (kisaran 5.10-9.22 x 106/µl).

Rataan jumlah eritrosit pada kucing kampung jantan normal menurut Triastuti

(2006), yang melakukan penelitian terhadap kucing kampung yang dipelihara,

adalah 6.32 1.91x106/µl, dan pada kucing kampung betina yaitu 6.02 2.20

x106/µl. Jumlah eritrosit pada percobaan ini menunjukkan hasil yang hampir sama

bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Triastuti (2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit di dalam sirkulasi

darah meliputi faktor fisiologis dan patologis. Beberapa faktor fisiologis

diantaranya jenis kelamin, umur, kondisi kebuntingan, laktasi, dan tempat

ketinggian (Riswan 2003; Jain 1993). Faktor yang bersifat patologis yang juga

mempengaruhi jumlah eritrosit diantaranya hemoragi, hemolisis, gangguan

sumsum tulang, penyakit akibat virus (mis Feline Leukemia virus), gangguan hormonal, gagal ginjal kronis, infeksi parasit kronis, dan defisiensi nutrisi

pembentuk hemoglobin (Dorland 1998; Stockham dan Scott 2008). Biasanya

ditandai dengan menurunnya salah satu parameter eritrosit di dalam sirkulasi

(31)

Rendahnya atau menurunnya salah satu dari parameter eritrosit, yang

meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi Hb, dan nilai hematokrit, dalam sirkulasi

darah dibawah nilai interval normal disebut anemia. Anemia merupakan kondisi

patologis akibat menurunnya kapasitas angkut O2. Anemia bukan merupakan

penyakit melainkan gejala klinis. Biasanya muncul sebagai respons sekunder

akibat adanya penyakit atau gangguan fungsi organ. Keadaan anemia merupakan

salah satu gangguan respon eritrosit yang paling sering dijumpai pada hewan

anjing dan kucing (Jain 1993).

Anemia dapat ditemukan pada kondisi kebuntingan dan menyusui,

karena pada kondisi tersebut zat besi banyak dialihkan ke fetus maupun ke anak

pada saat proses menyusui (Riswan 2003). Suplai zat besi pada saat bunting

dialihkan pada fetus untuk pembentukan sel darah merah (Tumbelaka et al. 2005).

Anemia juga dapat terjadi pada kasus hemolisis dan hemoragi (Dorland 1998).

Menurut Dorland (1998), pada kasus hemoragi, apabila terjadi kehilangan darah

dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan jumlah eritrosit berkurang secara

drastis.

Berdasarkan jenis kelamin (Tabel 3), rataan jumlah eritrosit baik pada

kucing kampung jantan maupun betina, masih berada dalam nilai interval normal

menurut Jain (1993). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah eritrosit pada

kucing kampung jantan lebih tinggi dibandingkan dengan kucing kampung betina.

Jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya

jenis kelamin (Jain 1993). Jumlah eritrosit pada kucing jantan sedikit lebih tinggi

apabila dibandingkan dengan kucing betina (Schalm 2010). Hormon kelamin

jantan diketahui dapat meningkatkan produksi eritropoietin (Spence dan Mason

1987), sedangkan estrogen yang merupakan hormon kelamin betina diketahui

dapat menekan produksi eritropoietin (Spence dan Mason 1987). Eritropoietin

merupakan hormon yang merangsang proses pembentukan eritrosit (eritropoiesis)

(Dorland 1998).

Jumlah eritrosit dapat pula dipengaruhi oleh nutrisi dalam pakan seperti

zat besi, Cu, vitamin dan asam amino (Frandson 1992). Defisiensi vitamin B12 dan

asam folat dapat menyebabkan kegagalan proses eritropoiesis, sehingga produksi

(32)

(Guyton dan Hall 1997). Menurut jain (1993), jumlah eritrosit mengalami

peningkatan seiring dengan pertambahan umur, dan pada umur satu tahun

mencapai nilai yang stabil. Jumlah eritrosit pada saat kelahiran hampir 12 kali

lipat lebih banyak dibandingkan dengan jumlah eritrosit pada hewan dewasa

(Schalm 1986). Guyton dan Hall (1997) berpendapat bahwa kadar oksigen di

daerah dataran tinggi sangat rendah. Adanya hipoksia jaringan akan merangsang

diproduksinya eritropoietin sehingga produksi eritrosit meningkat.

Hasil pengamatan secara umum menunjukkan bahwa rataan jumlah

eritrosit pada kucing kampung masih berada dalam nilai interval normal.

Pengamatan secara individu juga menunjukkan bahwa ke-12 ekor kucing

kampung memiliki jumlah eritrosit yang masih berada dalam nilai interval normal

menurut Jain (1993).

Konsentrasi Hemoglobin (Hb)

Rataan konsentrasi Hb pada kucing kampung dapat dilihat pada Tabel 2.

Rataan konsentrasi Hb yang diperoleh adalah 9.66 g/dl (kisaran 8.20-12.20 g/dl). Menurut Jain (1993), rataan konsentrasi Hb pada kucing normal adalah

11.00 g/dl (dengan kisaran antara 8.00–15.00 g/dl), sedangkan menurut Muir et al.

(1995) berkisar antara 8.50–16.00 g/dl. Tabel 3 menunjukkan bahwa konsentrasi

Hb tertinggi sebesar 12.20 g/dl dan terendah 8.20 g/dl. Dengan demikian, secara

umum konsentrasi Hb pada ke-12 ekor kucing kampung yang tidak dipelihara

masih berada dalam nilai interval normal menurut Jain (1993) dan Muir et al. (1995).

Jika diamati berdasarkan jenis kelamin, konsentrasi Hb pada kucing

kampung jantan memiliki rataan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kucing

kampung betina (Tabel 4). Rataan konsentrasi Hb kucing kampung betina yaitu

9.30 1.46 g/dl (kisaran 8.30–11.80 g/dl), sedangkan rataan konsentrasi Hb pada

kucing kampung jantan 10.18 1.52 g/dl (kisaran 8.20-12.20 g/dl). Menurut

Triastuti (2006), konsentrasi Hb pada kucing kampung jantan sebesar 9.74 4.28

g/dl, dan pada kucing kampung betina 9.67 4.24 g/dl. Konsentrasi Hb pada

percobaan ini menunjukkan hasil yang hampir sama bila dibandingkan dengan

(33)

Tabel 4 Rataan konsentrasi hemoglobin (g/dl) pada kucing kampung (Felis

Rataan konsentrasi Hb pada kucing kampung jantan hasil pengamatan

memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kucing kampung

betina. Menurut Guyton dan Hall (1997), konsentrasi Hb dipengaruhi oleh banyak

faktor diantaranya jenis kelamin, nutrisi, ras, umur, musim, waktu pengambilan

sampel, metode penelitian dan antikoagulan yang dipakai dalam penelitian

(Guyton dan Hall 1997; Mbassa dan Poulsen 1993). Menurut Spence dan Mason

(1987), hormon kelamin jantan diketahui dapat merangsang produksi eritropoietin

(Swenson 1997).

Konsentrasi Hb yang rendah dapat ditemukan pada beberapa kasus

seperti defisiensi zat besi, infeksi kronis, inflamasi, malnutrisi, thalassemia minor (Andrews 1999). Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi konsentrasi Hb

diantaranya kecukupan zat besi dalam tubuh (Gunadi 2008). Zat besi dibutuhkan

dalam produksi hemoglobin, sehingga anemia akibat defisiensi besi akan

menyebabkan terbentuknya ukuran eritrosit yang lebih kecil dengan kandungan

Hb yang rendah (Gunadi 2008). Zat besi juga berperan dalam sintesis Hb dalam

eritrosit dan mioglobin dalam sel otot (Riswan 2003).

Zat besi dibutuhkan dalam sintesis heme sehingga dapat mempengaruhi

konsentrasi Hb (Meyer dan Harvey 2004). Menurut Cunningham (2002),

meningkatnya konsentrasi Hb (dari konsentrasi yang rendah) dapat menyebabkan

kemampuan membawa oksigen ke dalam jaringan lebih baik dan eksresi

karbondioksida lebih efisien sehinggga keadaan dan fungsi sel membaik (Guyton

(34)

Hasil pengamatan secara umum menunjukkan bahwa rataan konsentrasi

Hb pada kucing kampung masih berada dalam nilai interval normal. Pengamatan

secara individu juga menunjukkan hasil yang sama, dimana ke-12 ekor kucing

kampung memiliki konsentrasi hemoglobin yang masih berada dalam nilai

interval normal menurut Jain (1993).

Nilai Hematokrit

Nilai hematokrit menggambarkan persentase eritrosit dalam volume

darah (Dorland 1998). Berkurangnya plasma darah membuat persentase sel darah

terhadap cairannya meningkat, berbanding lurus dengan nilai hematokrit yang

dihasilkan (Tumbelaka et al. 2005). Rataan nilai hematokrit pada semua kucing yang diperoleh pada penelitian ini adalah 31.16±4.68 % (kisaran 24-39%).

Menurut Jain (1993), rataan nilai hematokrit pada kucing normal adalah 34.50 %

dengan kisaran 24.00–45.00%. Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai hematokrit hasil

pengamatan terhadap 12 ekor kucing kampung yang tidak dipelihara masih berada

dalam nilai interval normal menurut Jain (1993).

Rataan nilai hematokrit yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin dapat

dilihat pada Tabel 5. Rataan nilai hematokrit kucing kampung jantan lebih tinggi

dibandingkan dengan kucing kampung betina. Rataan nilai hematokrit pada

kucing kampung jantan sebesar 32.00 4.48 % dengan kisaran 27.00–37.00 %,

sedangkan pada kucing kampung betina adalah 30.58 5.14 % dengan kisaran

24.00–39.00 %. Menurut Triastuti (2006), nilai hematokrit pada kucing kampung

jantan sebesar 26.50 10.55 % dan pada kucing kampung betina 25.84 10.83 %.

Rataan nilai hematokrit kucing kampung jantan dan betina hasil pengamatan

(35)

Tabel 5 Rataan nilai hematokrit (%) pada kucing kampung (Felis domestica)

Banyak faktor yang mempengaruhi nilai hematokrit. Menurut Foster

(2009), nilai hematokrit yang tinggi dapat dijumpai pada hewan yang mengalami

dehidrasi, berada pada dataran tinggi, dan pada lingkungan yang rendah oksigen.

Beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi nilai hematokrit yaitu jenis

kelamin, status nutrisi, keadaan hipoksia dan ukuran eritrosit (Swenson 1997).

Aktivitas yang tinggi dapat menyebabkan tubuh kehilangan cairan

melalui penguapan (keringat), urinasi dan pernapasan. Kondisi kekurangan cairan

tersebut menyebabkan tubuh akan merespon dengan mengambil cairan vaskular

melalui proses homeostasis untuk memenuhi kebutuhan terhadap cairan tubuh

sehingga konsentrasi darah dalam vaskular meningkat. Menurut Frandson (1992),

nilai hematokrit yang tinggi dapat mengindikasikan terjadinya dehidrasi pada

hewan tersebut. Dehidrasi merupakan suatu keadaan dimana keseimbangan cairan

tubuh terganggu karena hilangnya cairan tubuh baik cairan intraseluler maupun

ekstraseluler tanpa diimbangi dengan konsumsi cairan yang cukup.

Peningkatan jumlah eritrosit berbanding lurus dengan peningkatan nilai

hematokrit (Guyton dan Hall 1997). Menurut Spence dan Mason (1987), kucing

jantan cenderung memiliki jumlah eritrosit lebih tinggi dibandingkan dengan

kucing betina karena pengaruh hormon kelamin jantan.

Secara umum, rataan nilai hematokrit pada kucing kampung hasil

pengamatan (Tabel 2) masih berada dalam interval normal. Pengamatan secara

(36)

memiliki nilai hematokrit yang masih berada dalam nilai interval normal menurut

Jain (1993).

Hasil pengamatan terhadap ketiga parameter eritrosit, yang meliputi

jumlah eritrosit, konsentrasi Hb, dan nilai hematokrit yang masih berada dalam

nilai interval normal menunjukkan bahwa ke-12 ekor kucing kampung yang

diamati tidak terindikasi anemia atau polisitemia. Hasil pemeriksaan fisik

terhadap keadaan umum kucing yang meliputi frekuensi nafas, frekuensi pulsus,

(37)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap 12 ekor kucing

kampung (Felis domestica) di daerah Lingkar Kampus Dramaga Bogor, dapat

disimpulkan bahwa jumlah eritrosit (7,00 x106/µl), konsentrasi hemoglobin (9,66±I,56 g/dl), dan nilai hematokrit (31,16±4,68%) yang diperoleh berada dalam

nilai interval normal.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang status kesehatan kucing

kampung (Felis domestica) melalui pemeriksaan eritrosit dengan jumlah hewan

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Andrews NC. 1999. J Med. Disorders of iron metabolism. 341(26): 1986-1995.

Bast RC, Donald WK, Raphael EP, Ralph RW, James FH, Emil F. 2000. Cancer Medicine. Ed Ke-5. New York : BDC Decker Inc.

Hematology Of The Dog And Cat. Ed ke-3. Missouri : Mosby Elsevier.

Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. Ed ke-3. Philadephia: WB Saunders Company.

Cunningham JG. 1997. Textbook of Veterinary Physiology. Ed ke-2. Philadephia: WB Saunders Company.

Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed Ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ganong WF. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed Ke-20. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Ganong WF. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed Ke-17. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

(39)

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hoffbrand AV, JE Petit, PAH Moss. 2005. Hematologi. Ed Ke-4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia : Lea & Febiger.

Lawhead JB, JM Baker. 2005. Introduction to Veterinary Science. Australia : Thomson and Learning.

Mason IL. 1984. Evaluation of domesticated animal longman group limited New York. USA. Di dalam : Ratnawati. Pengaruh berat badan kucing lokal saat lahir terhadap pertumbuhan gigi dan pertambahan berat badan [skripsi]. 2001. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Mbassa GK, Poulsen JSD. 1993. Reference ranges for hematological value in landrace goats. Small Ruminant Research. 9(4): 367-376.

McCurnin DM, Bassert JM. 2006. Clinical Textbook for Veterinarians Technician. Ed ke-6. Philadelphia : Elsevier Saunders.

Meyer DJ, JW Harvey. 2004. Veterinary Laboratory Medicine. Missouri : Elsevier Saunders.

Meyer DJ, LH Coles, LJ Rich. 1992. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and Diagnosis. Philadelphia USA :WB Saunders Company.

Moleon M, Gil-Sanchez JM. 2002. Food Habits Of The Wildcat (Felis silvetris) In A Peculiar Habitat : The Mediteranian High Mountain. Spanyol :

Pusparini. 2005. Pemeriksaan Laboratorium Berkala Sebagai Deteksi Dini Penyakit Kronis pada Lansia. Vol 24(1): 43-50.

[RED] Redaksi Ensiklopedi Indonesia. 2003. Ensiklopedia Indonesia Buku Petunjuk Anatomi. Jakarta : PT Ikrar Mandiri Abadi.

Riswan. 2003. Anemia defisiensi besi pada wanita hamil di beberapa praktek swasta dalam kota madya medan [tesis]. Medan : Universitas Sumatera Utara.

(40)

Riswanto. 2009. Hitung eritrosit [terhubung berkala]. http://www.labkesehatan. California : The Benjamin / cummings Publishing Company.inc

Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology. Ed Ke-2. USA : Blackwell Publishing.

Sunquist M, Sunquist F. 2002. Wild Cats Of The World. Chicago : University Of Chicago Press.

Suwed MA, Budiana NS. 2006. Membiakkan Kucing Ras. Jakarta : Penebar Swadaya.

Swenson MJ. 1997. Duke’s Physiology Of Domestic Animal. Ed ke-8. London : Cornell University Press.

Swenson M, Reece WO. 1993. Duke’s Physiology Of Domestic Animal. Ed ke-7. London : Cornell University Press.

Tortora GJ, Bryan D. 2006. Principle Of Anatomy And Physiology. Ed ke-11. USA : John Wiley & Sons Inc.

Triastuti FN. 2006. Gambaran darah kucing kampung (Felis domestica) di daerah Bogor [skripsi]. Bogor: IPB.

(41)
(42)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kucing kampung (Felis domestica), disebut juga kucing rumahan,

merupakan salah satu hewan kesayangan yang dipelihara oleh sebagian besar

masyarakat. Kucing kampung hidup secara “liar” (tidak dipelihara) disekitar

lingkungan manusia dan sebagian lainnya hidup dipelihara. Kucing jenis ini

mempunyai kemampuan beradaptasi dan mampu mempertahankan diri dalam

lingkungan yang kurang bersahabat. Sebagian besar kucing kampung yang tidak

dipelihara umumnya sangat penakut dan cenderung menghindari kehadiran

manusia, hidup menyendiri, dan memiliki wilayah kekuasaan (Sunquist dan

Sunquist 2002).

Masalah gizi sering menjadi kendala sehingga dapat berpengaruh

terhadap status kesehatan hewan tersebut. Pengawasan terhadap kesehatan hewan

kesayangan oleh pemilik hewan kadang terabaikan. Hal tersebut terjadi, terutama

pada kucing kampung yang hidup secara “liar”, dimana status kesehatan

cenderung lebih buruk dibandingkan dengan kucing kampung yang hidup

dipelihara (Triastuti 2006).

Kucing kampung yang hidup secara “liar” membutuhkan pakan untuk

mempertahankan hidupnya. Faktor wilayah kekuasaan sangat berpengaruh pada

kebutuhan nutrisi. Kucing dapat saling mengawasi dan berkuasa pada wilayah

tertentu (kucing kampung jantan yang aktif secara seksual), sehingga kucing lain

tidak memungkinkan untuk masuk wilayah kucing tersebut untuk mendapatkan

pakan. Hal ini menyebabkan kurangnya asupan nutrisi pada kucing kampung yang

hidup secara “liar”. Gizi yang kurang terpenuhi dan lingkungan yang kurang layak

membuat hewan liar rentan terkena penyakit (Moleon dan Gil-Sanchez 2002).

Oleh karena itu diperlukan data untuk mengetahui status kesehatannya.

Pemeriksaan status kesehatan hewan, selain dilakukan melalui

pemeriksaan klinis, dapat juga dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium, salah

satunya melalui pemeriksaan darah. Darah termasuk jaringan primer yang dapat

teridentifikasi apabila terjadi gangguan pada kesehatan (Schaer 2008).

(43)

hematologi rutin meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai

hematokrit, jumlah leukosit total, hitung jenis leukosit, jumlah trombosit, dan laju

endap darah (Pusparini 2005).

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status kesehatan kucing

kampung (Felis domestia) melalui pemeriksaan parameter eritrosit (sel darah

merah), yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan nilai

hematokrit.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai status

kesehatan kucing kampung (Felis domestica) yang hidup secara “liar” (tidak

(44)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Kucing

Kucing kampung (Felis domestica) termasuk dalam ordo karnivora

(pemakan daging). Fowler (1993) mengklasifikasikan kucing kampung (Felis

domestica) sebagai berikut:

persilangan antara Felis silvestris dengan Lybica yang berasal dari keturunan spesies Fellis silves (Kucing Abissian) (Mason 1984). Terdapat sekitar 40 spesies kucing liar di dunia, dimana 9 (sembilan) spesies diantaranya dapat ditemukan di

Indonesia. Kucing telah hidup bersama manusia sejak 3500 tahun yang lalu dan

orang mesir kuno memanfaatkannya sebagai pengusir hama tikus dan hama yang

dapat mengancam hasil panen pertaniannya (Mason 1984).

Spesies kucing liar merupakan jenis kucing yang hidup di alam bebas.

Kucing termasuk dalam famili Felidae, termasuk di dalamnya spesies kucing

besar seperti harimau, singa, macan tutul dan jaguar. Kucing kampung (Felis

domestica) merupakan salah satu predator terhebat di dunia dan dapat membunuh atau memakan beberapa ribu spesies hewan kecil (Moleon dan Gil-Sanchez

2002). Kucing dianggap sebagai karnivora sempurna dengan gigi taring yang

(45)

pertama membentuk sepasang taring di setiap sisi mulut yang bekerja efektif

seperti gunting untuk merobek daging. Meskipun ciri ini terdapat pula pada famili

Canidae (anjing), namun demikian ciri ini berkembang lebih baik pada kucing

(Yasuma dan Alikodra 1992).

Kucing memiliki tubuh yang seimbang dan proporsional ditunjang oleh

tulang yang kuat membuat gerakannya semakin lincah dan mampu berlari

kencang (Suwed dan Budiana 2006). Kucing juga mempunyai kemampuan untuk

menyesuaikan posisi tubuh ketika jatuh dari ketinggian, karena kucing memiliki

terminal velocity atau kecepatan jatuh maksimum, yakni 60 mil perjam. Kucing juga termasuk hewan yang suka merawat diri. Air liur atau saliva kucing yang dijilatkan ke tubuh dapat membersihkan bagian tubuhnya (RED 2003).

Darah

Darah merupakan jaringan konektif. Jaringan ini berupa cairan yang

mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah pada sistem kardiovaskular

(Colville dan Bassert 2002). Darah membawa berbagai kebutuhan hidup bagi

semua sel tubuh dan menerima produk buangan hasil metabolisme untuk

diekskresikan melalui organ ekskresi (Jain 1993).

Darah terbagi menjadi dua bagian, yaitu cairan dan padatan (sel). Bagian

cairan disebut plasma yang sebagian besar terdiri atas 91-94% air, dan bagian

padatan yang berkisar antara 30-45% dari total kandungan (Lawhead dan Baker

2005). Bagian padatan terbagi dalam tiga jenis, yaitu sel darah merah (eritrosit),

sel darah putih (leukosit) dan platelet (trombosit) (Meyer dan Harvey 2004). Total volume darah pada kucing berkisar antara 6-8% dari bobot badan (Meyer dan

Harvey 2004).

Menurut Colville dan Bassert (2002), darah memiliki tiga fungsi utama,

yaitu sebagai sistem transportasi, sistem regulasi dan sistem pertahanan tubuh.

Darah sebagai sistem transportasi berperan dalam membawa oksigen, zat nutrisi,

hasil sisa metabolisme, dan hormon. Perannya sebagai sistem regulasi adalah

menjaga homeostasis dan suhu tubuh, sedangkan dalam pertahanan tubuh

(46)

Proses pembentukan darah secara umum disebut hematopoiesis. Sel

darah ini tidak abadi, suatu ketika akan mengalami kerusakan dan kematian,

sehingga harus digantikan dan diproduksi secara teratur. Hal inilah yang

menjadikan hematopoiesis sebagai suatu proses yang berkelanjutan (Colville dan

bassert 2002). Tabel 1 memperlihatkan nilai darah kucing kampung normal.

Tabel 1 Gambaran normal darah kucing (Jain 1993).

Parameter Kisaran Rata-rata

Hematopoiesis atau haemopoiesis merupakan proses pembentukan dan

perkembangan sel-sel darah (Dorland 1998). Secara umum aktivitas

hematopoiesis dapat dideteksi pada minggu ketiga kehidupan prenatal. Saat postnatal, proses hematopoiesis pada mamalia berlangsung di sumsum tulang. Sumsum tulang memiliki fungsi sebagai tempat memproduksi eritrosit, granulosit,

monosit, platelet dan limfosit B serta menyimpan stem cell (Jain 1993). Proses hematopoiesis melibatkan beberapa organ yang memiliki fungsi dalam sirkulasi

darah (Schalm 2010).

Gambar 1 menjelaskan tentang pembentukan sel-sel darah dari sel bakal

pluripotensial (stem cell) menjadi sel-sel yang berdiferensiasi. Sumsum tulang

merah bervaskularisasi di jaringan penghubung antara tuberkula dari spons

jaringan tulang. Sebesar 0,05-0,1% dari sumsum tulang merah merupakan derivat

sel masenkim yang disebut sel bakal pluripoten. Saat kelahiran, sumsum tulang

(47)

peningkatan produksi sel darah, sumsum tulang merah menjadi inaktif dan

digantikan sumsum tulang kuning yang sebagian besar merupakan sel lemak.

Eritroblas Retikulosit Eritrosit

Eosinofil

Mieloblas Granulosit Basofil Sel-mast

Neutrofil

Sel Bakal Monoblas Monosit Makrofag

Pluripotensial

Megakarioblas Megakaryosit Trombosit

Prolimpoblas Sel Bakal Limfosit B

Limfoid Limfosit T

Gambar 1 Diferensiasi sel darah di sumsum tulang (Tortora dan Bryan 2006).

Eritropoiesis

Eritropoiesis adalah proses pembentukan eritrosit (Dorland 1998). Saat

eritrosit diproduksi, eritrosit yang belum dewasa (retikulosit) masih mengandung

nukleus (Meyer dan Harvey 2004). Eritropoietin (EPO), suatu hormon

glikoprotein, merupakan faktor utama yang merangsang produksi eritrosit

(Guyton dan Hall 1997). Hormon ini akan dilepaskan ketika sel ginjal mendeteksi

adanya hipoksia pada jaringan dan merangsang sumsum tulang untuk

memproduksi lebih banyak eritrosit (Colville dan Bassert 2002; Dorland 1998).

Eritropoietin diproduksi oleh ginjal dan beberapa diantaranya disintesis

oleh hati (Jain 1993). Menurut Ganong (2001), eritropoietin akan meningkatkan

jumlah stem cell (sel bakal) di sumsum tulang. Stem cell akan menjadi prekursor

eritrosit dan akhirnya menjadi eritrosit. Proses eritropoiesis dikendalikan oleh

kadar oksigen di dalam jaringan (Jain 1993). Pembentukan eritrosit dihambat oleh

meningkatnya jumlah eritrosit di dalam sirkulasi darah yang berada pada kisaran

(48)

menstimulasi untuk terjadinya eritropoiesis. Mekanisme eritropoiesis terus

berlanjut selama keadaan hipoksia di dalam sel belum berkurang. Jika penyebab

hipoksia dihilangkan, kelebihan eritrosit akan membuat sumsum tulang berespons

untuk mengurangi laju eritropoiesis (Frandson 1996). Jumlah seluruh eritrosit

dalam sirkulasi darah tergantung pada kecepatan produksi eritrosit dalam sumsum

tulang (Guyton dan Hall 1997).

Apabila terjadi pendarahan, sintesis hemoglobin meningkat, dan

pembentukan serta pelepasan eritrosit dari sumsum tulang akan meningkat (Bast

et al. 2000) Menurut Ganong (1997), kadar eritropoietin dalam darah sangat meningkat pada keadaan anemia. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit yang

rendah akan merangsang ginjal untuk mensekresikan eritropoietin sampai

keadaan anemia dapat diatasi.

Proeritroblas Basofil eritroblas Polikromatofil eritroblas

Eritrosit Retikulosit Ortokromatil eritroblas

Gambar 2 Pembentukan eritrosit (Guyton dan Hall 1997).

Tahapan diferensiasi eritrosit ditunjukkan pada Gambar 2. Sel pertama

yang dibentuk dalam rangkaian pembentukan eritrosit adalah proeritroblas yang

akan membelah menjadi basofil eritroblas. Selanjutnya sel sudah dipenuhi oleh

hemoglobin dengan konsentrasi 34%, menyebabkan nukleus memadat menjadi

kecil, dan pada saat bersamaan retikulum endoplasma direabsorpsi. Sel pada tahap

ini disebut retikulosit dan masih mengandung sedikit bahan basofilik yang secara

normal akan menghilang, dan sel kemudian akan menjadi eritrosit matang

(Guyton dan Hall 1997). Selama proses pematangan eritrosit, setelah

pembentukan hemoglobin dan pelepasan inti sel masih diperlukan waktu selama

(49)

akhir, eritrosit selain mengandung sisa-sisa DNA juga mengandung berbagai

fragmen mitokondria dan organel lainnya (Hoffbrand et al. 2005).

Eritrosit (Sel Darah Merah)

Eritrosit merupakan salah satu unsur yang dibentuk dalam sumsum

tulang (Dorland 1998). Eritrosit memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai alat

transportasi oksigen (O2) menuju jaringan, transportasi karbon dioksida (CO2)

menuju paru-paru dan sistem buffer ion hidrogen (H+) (Meyer dan Harvey 2004).

Eritrosit memiliki masa hidup yang terbatas dan secara tetap akan digantikan

secara terus-menerus (Lawhead dan baker 2005). Sel ini secara normal

bersirkulasi dalam darah selama beberapa bulan (Meyer dan Harvey 2004). Umur

eritrosit pada hewan domestik berkisar antara 2-5 bulan, tergantung pada spesies

(Meyer dan Harvey 2004). Eritrosit kucing berada dalam sirkulasi selama 70-80

hari (Craigmyle 1994).

Eritrosit pada mamalia berbentuk bikonkaf (cekung), tidak memiliki

nukleus dan organel sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mensintesis

protein (Weiss dan Wardrob 2010). Kucing memiliki eritrosit yang berbentuk

cakram bikonkaf tanpa inti (Craigmyle 1994) (Gambar 3). Eritrosit kucing sedikit

berbeda dibandingkan dengan eritrosit anjing (Cowell et al. 2008), dimana eritrosit anjing memiliki bentuk bikonkaf yang terlihat lebih jelas dibandingkan

dengan eritrosit kucing (Swenson dan Reece 1993).

Eritrosit dibentuk melalui proses pematangan yang terdiri dari beberapa

tahap yaitu pembelahan dan perubahan morfologi sel berinti, mulai dari rubriblas,

prorubrisit, rubrisit, dan metarubrisit (Bast et al. 2000). Rubriblas disebut juga pronormoblas atau proeritroblas. Sel ini mempunyai inti yang bulat dengan

beberapa anak inti serta khromatin yang halus. Ukuran sel rubriblas berkisar

antara 18-25 µm. Jumlah rubriblas dalam sumsum tulang pada keadaan normal

kurang dari 1% dari seluruh sel berinti (Bast et al. 2000).

Prorubrisit disebut juga normoblas basofilik atau eritroblas basofilik.

Prorubrisit mempunyai khromatin inti yang terlihat kasar dan anak inti yang tidak

terlalu jelas. Sitoplasmanya mulai mengandung hemoglobin sehingga warna

(50)

dengan rubriblas. Jumlah prorubrisit pada keadaan normal berkisar antara 1-4%

dari seluruh sel di dalam sumsum tulang. Prorubrisit dapat diwarnai dengan warna

basa dan sel inti akan mengumpulkan sedikit hemoglobin (Bast et al. 2000).

Rubrisit disebut juga normoblas polikromatik yang memiliki inti sel yang

mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur (Bast et al. 2000). Tidak ditemukan anak inti, dan sitoplasma lebih banyak mengandung

warna merah (kandungan hemoglobin) dan warna biru (kandungan asam

ribonukleat). Warna merah terlihat lebih dominan pada sel rubrisit karena banyak

mengandung hemoglobin (Bast et al. 2000).

Metarubrisit disebut juga normoblas ortokromatik atau eritroblas

ortokromatik (Bast et al. 2000). Sel ini memiliki inti sel yang kecil dan mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya lebih merah, walaupun

masih tersisa warna biru. Jumlah metarubrisit pada keadaan normal berkisar

antara 5-10% pada sumsum tulang.

Menurut Frandson (1996), beberapa faktor fisiologis yang mempengaruhi

jumlah eritrosit di dalam sirkulasi darah meliputi jenis hewan, jenis kelamin, dan

umur. Jumlah eritrosit pada kucing berkisar antara 5.00-10.00 x106 /µl (Jain

1993). Hewan dengan ukuran eritrosit yang kecil memiliki jumlah eritrosit lebih

tinggi, dan sebaliknya hewan yang memiliki ukuran eritrosit lebih besar memiliki

jumlah eritrosit yang lebih rendah (Jain 1993). Jumlah eritrosit pada kucing

jantan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kucing betina, karena pada kucing

jantan dipengaruhi oleh hormon androgen (Schalm 2010). Berdasarkan umur,

jumlah eritrosit pada saat kelahiran hampir 12 kali lipat dibandingkan dengan

kucing dewasa (Schalm 1986).

Faktor-faktor patologis yang dapat mempengaruhi jumlah eritrosit yaitu

defisiensi besi, penyakit hati, penyakit ginjal, dan nutrisi. Sintesis hemoglobin

pada kasus defisiensi besi terganggu sehingga pembentukan eritrosit terhambat.

Defisiensi besi, Cu, vitamin, dan asam amino sangat berpengaruh pada jumlah

eritrosit seperti yang dilaporkan oleh Triastuti (2006).

Penyakit hati dan ginjal kronis dapat menyebabkan terjadinya penurunan

jumlah eritrosit. Ginjal merupakan tempat utama diproduksinya eritropoietin,

Gambar

Tabel 1 Gambaran normal darah kucing (Jain 1993).
Gambar 1 Diferensiasi sel darah di sumsum tulang (Tortora dan Bryan 2006).
Tabel 2 Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit
Tabel 1 Gambaran normal darah kucing (Jain 1993).
+4

Referensi

Dokumen terkait

Menyajikan hasil analisis tentang interaksi sosial dalam ruang dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan budaya dalam nilai dan norma, serta kelembagaan

Curah hujan merupa- kan salah satu faktor iklim yang paling dominan dalam penyebaran penyakit malaria karena dapat mempengaruhi jumlah habitat maupun kepadatan nyamuk anopheles

Pada unit slow sand filter, zat organik dalam air baku cenderung menurun. Gradik hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 5., Gambar 6., dan Gambar 7. Titik klimaks

Laju dosis efektif yang dipaparkan oleh radionuklida paling besar tedapat pada sampel pasir yaitu 0,243 µSv yang masih dibawah nilai batas dosis efektif untuk

mengakibatkan berbagai hal, antara lain: a) Kualitas dan kuantitas produk kripik dan rengginang singkong ini menjadi semakin rendah, kalah bersaing dengan produk

Hasil penelitian menunjukan bahwa pengrajin berpendidikan rendah, pengrajin memiliki jumlah anak sedikit, pengrajin memiliki jumlah tanggungan tergolong kecil, seluruh

reward and punishment bagi mereka yang berkenan membayar lebih atau justru sebaliknya, alpa membayar jasa energi, baik warga masyarakat maupun unit usaha. Dalam konteks

Berdasarkan hasil pengamatan gejala penyakit di lapangan pada tanaman cabai di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian ditemukan adanya penyakit bercak daun yang diduga disebabkan