• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sektor Dan Komoditas Unggulan Di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Sektor Dan Komoditas Unggulan Di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SEKTOR DAN KOMODITAS UNGGULAN

DI KABUPATEN MAMUJU SULAWESI BARAT

ACHMAD MASNAWI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Sektor dan Komoditas Unggulan di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015

Achmad Masnawi

(4)
(5)

RINGKASAN

ACHMAD MASNAWI. Analisis Sektor dan Komoditas Unggulan di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan BOEDI TJAHJONO.

Pembangunan merupakan upaya untuk memacu perkembangan wilayah (growth), mengurangi kesenjangan antarwilayah (equity), dan menjaga kelestarian lingkungan hidup (sustainability). Pada skala makro/nasional, berdasarkan indikator ekonomi makro ditunjukkan beberapa daerah di Indonesia telah terjadi disparitas antara kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), terutama dalam ketersediaan infrastruktur sehingga memperlemah fundamen ekonomi, ketahanan dan kesejahteraan masyarakat. Pada skala meso/regional, terjadi ketimpangan pembangunan antar wilayah kabupaten/kota dan provinsi di Pulau Sulawesi yang diindikasikan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Sejak tahun 2004 hingga 2014, Kabupaten Mamuju merupakan salah satu daerah yang terus tercatat tergolong sebagai daerah tertinggal. Salah satu strategi pemerintah dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah adalah dengan mengembangkan sector/komoditas unggulan sesuai dengan potensi wilayahnya.

Tujuan utama penelitian ini adalah menguraikan potensi wilayah dan karakteristik fisik-geografis wilayah di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat dalam dimensi regional dan lokal, yang didukung dengan tiga tujuan antara yaitu, (1) mengidentifikasi potensi wilayah Kabupaten Mamuju dalam perspektif Pulau Sulawesi, (2) mengidentifikasi sektor dan komoditas unggulan di dalam Kabupaten Mamuju, dan (3) Menyusun arahan pengembangan wilayah di Kabupaten Mamuju. Metode analisis yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah analisis LQ dan SSA,

Typology Klassen, analisis Geomorfologi berdasarkan kemampuan dan kesesuaian tipe penggunaan lahan, dan analisis matriks DS dan LQ. Dengan mengetahui deskriptif potensi wilayah dan karakteristik fisik-geografis wilayah, dapat berkembang/maju, saling berinteraksi dan saling menguntungkan dengan wilayah lain se-Pulau Sulawesi dan secara lokal, dapat melakukan proses perencanaan dan pengembangan wilayah, untuk memacu perkembangan wilayah (growth), mengurangi kesenjangan antarwilayah (equity), dan menjaga kelestarian lingkungan hidup

(sustainability).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam perspektif Pulau Sulawesi, sektor pertanian di Kabupaten Mamuju memiliki keunggulan komparatif yang tinggi (khususnya tanaman pangan dan perkebunan), namun memiliki keunggulan kompetitif yang rendah. Sektor dan komoditas unggulan di tingkat kecamatan yakni sektor pertanian subsektor tanaman pangan dengan komoditas unggulan padi sawah dan subsektor perkebunan komoditas unggulan kakao dan komoditas unggulan kelapa sawit. Karakteristik fisik-geografis wilayah di dominasi bentanglahan (landscape)

(6)

kemampuan lahan I (6.52%), II (15.58%), IV (3.95%), serta penggunaan lahan sesuai dengan kelas kemampuan lahannya 109 341.12ha (49.75%). Arahan pengembangan wilayah untuk kawasan pertanian komoditas unggulan padi sawah berada di wilayah Kecamatan Tapalang Barat, Kalukku, Sampaga, Tommo dan Kalumpang. Komoditas unggulan kakao berada di wilayah Kecamatan Sampaga dan Papalang, dan komoditas unggulan kelapa sawit berada di wilayah Kecamatan Tommo.

(7)

SUMMARY

ACHMAD MASNAWI. Analysis of leading sectors and commodities in Mamuju Regency, West Sulawesi. Supervised by ERNAN RUSTIADI and BOEDI TJAHJONO.

Regional development is a systematic effort to enhance regional economic growth, to reduce regional disparities and preserving the environment. In fact, on a macro/national scale, there has been a disparity between the eastern region of Indonesia (KTI) and the western region (KBI), mainly due to less access in infrastructure other comparative and competitive factors. On mesa/regional scale, development disparity occurs between districts/municipalities and provinces in Sulawesi indicated uneven economic growths. From 2004 to 2014, Mamuju regency is constantly recorded classified as disadvantaged region. One of the government's strategies to accelerate economic growth in the region is to develop the sector/the leading commodity in accordance with the potential of the region.

The objectives of the study are (1) to identify the potential of Mamuju regency in the context of Sulawesi Island, (2) to identify the leading sectors in Mamuju regency, and (3) to construct the direction of regional development in Mamuju regency. This study employed Location Quotient and Shift-Share Analyses, Klassen’s Typology, as well as Geomorphologic analyses. To construct the direction of development, this study develops a matrix of land capability and suitability land, DS and LQ.

The results showed that the agricultural sector has comparative advantage in the context of Sulawesi island but lack on its competitiveness. Agricultural commodities with better comparative advantage are paddy, cocoa and palm-oil commodities, but still weak on a competitive basis. The geographical characteristics of Mamuju region are dominated by the landscape of the tectonic/structural, landforms was hills structural Sulawesi, the potential of the area to be developed consists of class I, II, and IV, in accordance with the ability of 109 341.12ha (49.75%). The leading sectors of the regency are (1) food crops of paddy commodities in Tapalang Barat, Kalukku, Sampaga, Tommo and Kalumpang subdistrict (kecamatan), and cocoa commodities in of Sampaga and Papalang subdistricts, and palm oil commodities in of Tommo subdistrict.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

ACHMAD MASNAWI

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah perencanaan dan pengembangan wilayah, dengan judul Analisis Sektor dan Komoditas Unggulan di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr dan Bapak Dr Boedi Tjahjono, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ir Santun RP Sitorus selaku ketua program studi ilmu perencanaan wilayah, yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Arman S.P, MSi, Muh, Arman SP, M.Si beserta kawan-kawan Rumahna SulSel-Bar mahasiswa Pascasarjana IPB asal Sulawesi Selatan dan Barat, serta Ahmad Firman Ashari, SP, M.Si beserta Muh. Fitrah Irawan, SP, M.Si, yang telah membantu selama pengumpulan data dan terkhusus Irwani Basri, S.Pt. mengajarkan arti kehidupan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Kerangka Pemikiran Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 6

Pembangunan 6

Indikator Pembangunan 6

Konsepsi Wilayah 9

Pengembangan Wilayah 11

Urgensi Pembangunan Antar Wilayah 15

Penelitian Terdahulu 16

METODE PENELITIAN 17

Tempat dan Waktu Penelitian 17

Jenis Data dan Sumber Data Tahun 17

Bagian Alir Penelitian 18

Metode Analisis Data 20

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 30

Gambar Umum Karaktersitik Fisik wilayah 30

Kependudukan 38

Ekonomi Wilayah 39

HASIL DAN PEMBAHASAN 41

Potensi Wilayah Kabupaten Mamuju dalam perspektif Pulau Sulawesi 41

Sektor dan Komoditas Unggulan di dalam Kabupaten Mamuju 47

Arahan Pengembangan Wilayah di Kabupaten Mamuju 64

SIMPULAN DAN SARAN 74

Simpulan 74

Saran 74

DAFTAR PUSTAKA 74

LAMPIRAN 79

(14)

DAFTAR TABEL

1 Indikator-indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/pendekatan

pengelompokannya 8

2 Jenis dan sumber data tahun yang digunakan, metode dan teknik analisis data dan output yang diharapkan 19

21 Perkembangan produktivitas, luas lahan komoditas padi sawah di Kabupaten Mamuju Tahun 2010 dan Tahun 2014 50

22 Perkembangan produksi, produktivitas, dan luas lahan komoditas padi sawah di Pulau Sulawesi Tahun 2007-2012 50

23 Perkembangan produksi, produktivitas, dan luas lahan komoditas padi sawah di Pulau Sulawesi Tahun 2013 51

24 Perkembangan produksi komoditas kakao, kelapa, kelapa sawit di Kabupaten Mamuju Tahun 2010 dan Tahun 2014 51

32 Kesesuaian penggunaan lahan pertanian lahan kering semusim Kabupaten Mamuju 62

33 Nilai LQ Komoditas padi sawah tiap kecamatan di Kabupaten Mamuju 65

34 Nilai ShiftShare komoditas padi sawah tiap kecamatan di Kabupaten Mamuju 65

(15)

36 Nilai Shift Share komoditi kakao, kelapa dan kelapa sawit tiap kecamatan di

Kabupaten Mamuju 68

37 Matriks arahan pengembangan wilayah dan pembangunan tiap kecamatan di Kabupaten Mamuju 71

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pikir Penelitian 5

2 Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja pembangunan wilayah 7

3 Peta Kabupaten Mamuju 17

4 Bagan alir penelitian 20

5 Matriks kuadran DS dan LQ 25

6 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan penggunaan lahan 26

13 Laju perkembangan ekonomi wilayah (PDRB) di Kabupaten Mamuju tahun 2003-2013 atas dasar harga konstan tahun 2000 39

14 Struktur ekonomi wilayah di Kabupaten Mamuju tahun 2003-2013 40

15 Pergeseran kontribusi sektor ekonomi wilayah dalam PDRB di Kabupaten Mamuju tahun 2003-2013 atas dasar harga konstan tahun 2000 40

2 Hasil Differential Shift, Propositional Shift dan Regional Share Pulau Sulawesi 82

3 Hasil SSA Kab/Kota se- Pulau Sulawesi 84

4 Hasil SSA Kecamatan se-Kabupaten Mamuju 86

5 Karakteristik fisik-geografis wilayah Kabupaten Mamuju 87

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan mempunyai tujuan agar suatu wilayah berkembang menuju tingkat perkembangan wilayah yang diinginkan secara berkelanjutan (Mike 2012), adanya kompleksitas pertumbuhan ekonomi antar wilayah (Kumar et al. 2013) dan dalam konteks pembangunan multidimensional, regional dan lokal (Edgington et al.

2013). Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi dan pembangunan adalah juga mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada (Rustiadi

et al. 2011).

Pada skala makro/nasional berdasarkan indikator ekonomi makro perkembangan wilayah dan pembangunan Indonesia, ditunjukkan dengan adanya disparitas antar Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) (Abel 2006; Pravitasari 2009). Di samping itu, disparitas juga terjadi pada pulau-pulau di Indonesia, di antaranya Pulau Sumatera antar kawasan barat dan kawasan timur, Pulau Jawa antar kawasan utara dan kawasan selatan, Pulau Kalimantan antar kawasan bagian daratan pantai dan bagian dalam, yang membawa implikasi pada disparitas pembangunan dan mengganggu stabilitas sosial budaya masyarakat (Depertemen Pekerjaan umum 2006). Dari 413 kabupaten di Indonesia, terdapat 188 kabupaten yang tergolong masih tertinggal, dimana 65 kabupaten berada di KBI dan 123 kabupaten berada di KTI (Perpres no. 5 Tahun 2010 Tentang RPJM Nasional 2014).

Pada skala mezzo/regional Pulau Sulawesi, salah satu indikator perkembangan wilayah dan pembangunan daerah dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau human development index (HDI) sebagai ukuran kualitas hidup manusia (Hastoto 1999; Adifa 2005; Wajdi 2011; Tan et al. 2013). Pada tahun 2010-2012 nilai IPM yang berada di atas IPM nasional adalah Sulawesi Utara sebesar 76.09 (2) dan merupakan IPM tertinggi di Pulau Sulawesi, kemudian Sulawesi Selatan sebesar 71.62 (19), Sulawesi Tengah sebesar 71.14 (22), Gorontalo sebesar 70.28 (24) dan Sulawesi Tenggara sebesar 70 (25). Sebaliknya, untuk IPM ter-rendah terdapat di Sulawesi Barat sebesar 69.64 (27) (BPS 2012). Hal ini mengindikasikan perkembangan wilayah dan pembangunan daerah yang belum merata di wilayah Pulau Sulawesi. Selanjutnya, perbandingan Product Domestic Regional Bruto (PDRB) yang tercipta pada suatu wilayah dapat menunjukkan adanya disparitas ekonomi antar wilayah (Conceicao 2000; Carroll et al. 2007; Jing et al. 2009; Djakapermana 2010; Akkemik 2011; Sjafrizal 2012; Tan et al. 2013), ditunjukkan dengan PDRB perkapita Sulawesi Utara tertinggi sebesar 7.456 ribu rupiah dan Sulawesi Tengah sebesar 6.400 ribu rupiah. Sebaliknya, untuk Gorontalo dan Sulawesi Barat masing-masing 2.755 ribu rupiah dan 3.919 ribu rupiah (BAPPENAS 2012). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah belum merata dan adanya ketimpangan ekonomi di wilayah tersebut.

(18)

(Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Republik Indonesia Nomor: 006/KEP/M-PDT/1/2010). Hal ini diindikasikan sebagai akibat dari ketidakfokusan intervensi kebijakan Pemerintah Daerah (PEMDA), ketidakharmonisan hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah (Winters 2012), sehingga pembangunan infrastruktur terutama jalan yang menghubungkan wilayah antar kecamatan di wilayah tersebut masih minim, mengakibatkan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial terabaikan (Yulisa 2011).

Dalam pengembangan wilayah setiap daerah memiliki sumberdaya dan kekhasannya masing-masing (Gantara et al. 2012) dan adanya keterakaitan hubungan antar daerah (Saefulhakim 2008) dengan mengembangakan sistem pusat-pusat pertumbuhan (growth center) dengan berbagai ukuran dan karakteristik fungsional secara terpadu dimulai dengan pendekatan pertanian dibandingkan pengembangan lainnya (Rustiadi et al. 2011), merupakan stimulasi bagi daerah untuk dapat berkembang/maju dan kunci yang kuat dalam pembangunan daerah baik secara regional maupun lokal (David et al. 2013). Maka dari itu, perlu arahan pengembangan wilayah dan pembangunan di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat kedepannya, perhatian yang lebih serius dan tata kelola yang lebih baik guna mengejar ketertinggalan pembangunan yang terjadi di wilayah tersebut, dengan mendelegasikan kekuasaan yang lebih ekonomis untuk daerah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah (Sharma et al. 2013), dengan melakukan proses perencanaan dan pengembangan wilayah, yang didasarkan pada potensi wilayah dan karakteristik fisik geografis wilayah yang dimiliki.

Perumusan Masalah

Secara singkat ada dua dimensi perumusan masalah dalam analisis pengembangan wilayah dan pembangunan di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat.

Pertama, permasalahan yang berdimensi regional Pulau Sulawesi yaitu lebarnya

kesenjangan pembangunan jika dilihat dari perolehan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau human development index (HDI) dan dari nilai PDRB/PDRB perkapita yang tercipta antara wilayah regional Pulau Sulawesi. Hal ini diindikasikan oleh perkembangan wilayah dan pembangunan untuk aktivitas ekonomi masyarakat yang belum merata dan terjadi ketimpangan ekonomi wilayah. Kedua, permasalahan yang berdimensi lokal antar wilayah di Kabupaten Mamuju itu sendiri, jika dilihat dari kebijakan pembangunan berdasarkan status wilayah. Kabupaten Mamuju merupakan salah satu daerah tertinggal sejak tahun 2004-2014 (10 tahun) dalam hal pembangunan. Hal ini muncul sebagai akibat dari ketidakfokusan intervensi kebijakan Pemerintah Daerah (PEMDA), sehingga pembangunan infrastruktur terutama jalan yang menghubungkan wilayah antar kecamatan masih minim, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial terabaikan, diikuti dengan penanganan wilayah yang masih kental dengan nuansa sentralistik. Secara umum, dapat dikatakan bahwa perkembangan wilayah dan pembangunan di wilayah ini kurang berpengaruh terhadap kemajuan ekonomi dan kurang berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga kegiatan yang ada hanya berskala lokal, parsial, dan kurang terkoordinasi dengan baik, sehimgga membuat wilayah ini mengalami keterbelakangan yang sangat jauh dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain.

(19)

kekhasan wilayah, sehingga masing-masing wilayah memiliki potensi supply dan potensi demand yang berbeda-beda. Perbedaan ini bisa diakibatkan oleh faktor fisik-geografis wilayah maupun sosial-ekonomi wilayah. Kedua, adanya interaksi antar wilayah sebagai kekhasan wilayah, sebagaimana dikemukakan oleh saefulhakim (2008) dan Gantara et al. (2012), bahwa terdapat 2 dimensi spatial penting yang perlu diperhatikan yaitu (1) spatial characteristic/spatial uniqueness/spatial variation

(kekhasan wilayah) dan (2) spatial interaction/spatial lingkages (keterkaitan antar wilayah). Maka dari itu, dari permasalahan yang ada sangatlah perlu untuk dilakukan suatu penelitian yang bertujuan, menguraikan potensi wilayah dan karakteristik fisik-geografis wilayah. Dalam dimensi regional berdasarkan potensi wilayah di Kabupaten Mamuju dalam perspektif Pulau Sulawesi dan dimensi lokal berdasarkan sektor unggulan kecamatan di Kabupaten Mamuju serta tingkat disparitas pembangunan yang terjadi di Kabupaten Mamuju.

Dengan adanya deskripsi wilayah baik secara regional maupun lokal, diharapkan perencanaan dan pengembangan wilayah dapat memacu pertumbuhan ekonomi wilayah

(growth), mengurangi kesenjangan antar wilayah (equity), dan menjaga kelestarian

lingkungan hidup (sustainability), didasarkan pada potensi wilayah dan karakteristik fisik-geografis wilayah yang dimiliki.

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah disusun beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apa potensi wilayah yang dimiliki Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat dalam perspektif Pulau Sulawesi?

2. Apa sektor dan komoditas unggulan di dalam Kabupaten Mamuju? 3. Menyusun arahan pengembangan wilayah di Kabupaten Mamuju

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi potensi wilayah Kabupaten Mamuju dalam perspektif Pulau Sulawesi.

2. Mengidentifikasi sektor dan komoditas unggulan di dalam Kabupaten Mamuju. 3. Menyusun arahan pengembangan wilayah di Kabupaten Mamuju

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran, masukan dan informasi bagi perencanaan pembangunan wilayah di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat, untuk mengurangi tingkat disparitas pembangunan yang terjadi. 2. Sebagai bahan pembelajaran dan pengembangan perencanaan wilayah dengan isu

pemerataan pembangunan antar wilayah.

Kerangka Pemikiran Penelitian

Penelitian ini dibangun atas dasar kerangka pemikiran bahwa pengembangan wilayah (regional development) dan pembangunan merupakan upaya untuk memacu pertumbuhan ekonomi wilayah (growth), mengurangi kesenjangan antarwilayah

(20)

pengembangan wilayah dan pembangunan harus disesuaikan dengan potensi wilayah dan karakteristik fisik-geografis wilayah yang dimiliki, untuk arahan pengembangan wilayah dan pembangunan daerah kedepannya.

Potensi wilayah dan karakteristik fisik-geografis wilayah mempunyai pengaruh yang kuat pada terciptanya pola pembangunan wilayah secara keseluruhan. Perbedaan potensi wilayah melahirkan pola pembangunan wilayah yang beragam (timpang), sehingga pembangunan wilayah menimbulkan disparitas pembangunan. Tingginya disparitas pembangunan mengindikasikan tidak meratanya pembangunan terutama dalam hal pertumbuhan ekonomi wilayah. Untuk mengidentifikasi sektor potensial ekonomi wilayah dapat dilihat dari keunggulan komparatif (comparative advantage), keunggulan kompetitif (competitiveness advantage), sektor unggulan (leading sector) (komparatif dan kompetitif) wilayah tersebut, terhadap sektor yang sama dalam konteks pembangunan dalam dimensi regional dan lokal untuk dapat dijadikan penggerak pertumbuhan ekonomi daerah.

Selain itu, tingginya ketimpangan juga memperlihatkan adanya heterogenitas sumberdaya alam antar wilayah secara fisik-geografis wilayah, untuk mengidentifikasi sektor potensial fisik wilayah dapat dilihat dari kondisi karakteristik fisik-geografis wilayah secara keseluruhan, berdasarkan unit geomorfologi, kemampuan dan kesesuaian lahan pada tipe penggunaan lahan yang ada (kondisi eksisting fisik wilayah), agar pengembangan wilayah dan pembangunan daerah kedepannya dapat menjaga kelestarian lingkungan hidup secara berkelanjutan (sustainability), jika antar wilayah terdapat keberagaman, maka kebijakan dalam pembangunan wilayah tidak bisa dilakukan secara seragam, diperlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lokal daerah dan perlakuan khusus (treatment) yang berbeda antar daerah sesuai dengan potensi wilayah dan karakteristik fisik-geografis wilayah yang dimiliki.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah menguraikan potensi wilayah dan karakteristik fisik-geografis wilayah Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat dalam dimensi regional dan lokal, yang didukung dengan tiga tujuan antara, yaitu, (1) mengidentifikasi

potensi wilayah Kabupaten Mamuju dalam perspektif Pulau Sulawesi, (2) mengidentifikasi sektor dan komoditas unggulan di dalam Kabupaten Mamuju, dan

(3) Menyusun arahan pengembangan wilayah di Kabupaten Mamuju.

(21)

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian Pengembangan Wilayah Arahan pengembangan wilayah di Kabupaten Mamuju Analisis sektor unggulan dalam

perspektif Pulau Sulawesi Kondisi eksisting fisik

wilayah

Analisis kemampuan dan

kesesuaian fisik wilayah Sektor unggulan eksisting dan potensial wilayah

Analisis sektor unggulan di Kabupaten Mamuju

Sektor unggulan dan komoditas kecamatan di

Kabupaten Mamuju Data pendukung,

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan

Rustiadi et al. (2011) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Pembangunan dapat di konseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi dan pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada.

Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upaya-upaya pembangunan harus diarahkan pada efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al. 2011) dalam memberikan panduan pada alokasi segala sumberdaya (semua capital yang berkaitan dengan natural, human, man-made maupun social), baik pada tingkatan nasional, regional, maupun lokal.

Dalam kerangka pembangunan Nasional di Indonesia, pada Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993, pembangunan daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menggerakkan prakarsa dan peranserta masyarakat dalam pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu. Pemerataan dan keberimbangan dapat di wujudkan melalui pembangunan daerah yang mampu mengembangkan potensi-potensi pembangunan sesuai kapasitasnya, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Menurut Pravitasari (2009) paradigma baru pembangunan menuntut adanya keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan atau growth with

equity. Strategi demikian juga merupakan koreksi atas kebijakan pembangunan

terhadulu, yang dikenal dengan istilah tricle down effect. Strategi tricle down effect

mengasumsikan perlunya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan pemerataan. Kenyataannya di banyak negara termasuk Indonesia, teori ini gagal menciptakan kemakmuran untuk semua. Sebagaimana konsep temuan Kuznets (1945) kurva U-terbalik yang mengatakan bahwa bagi Negara yang pendapatannya rendah, tumbuhnya perekonomian harus mengorbankan pemerataan

(trade off antara pertumbuhan dan pemerataan).

Indikator Pembangunan

Indikator pembangunan adalah ukuran kualitatif dan/atau kuantitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi.

(23)

Sumber : Rustiadi et al. (2011)

Gambar 2 Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja pembangunan wilayah

Indikator Kinerja Pembangunan

Daerah

Indikator berdasarkan

“Tujuan Pembangunan”

Indikator berdasarkan

“Kapasitas

Sumber Daya

Pembangunan”

Indikator berdasarkan

“Proses Pembangunan”

“Growth” (Produktivitas, Efisiensi dan Pertumbuhan)

“Equity” (Pemerataan, Keadilan dan keberimbangan) “Sustainability”

(Keberlanjutan)

Sumberdaya Alam

Sumberdaya Manusia

Sumberdaya Buatan

Sumberdaya Sosial

Input

Implementasi/proses

Output

Outcome

Benefit

(24)

Tabel 1 Indikator-indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/pendekatan pengelompokannya

Basis/ Pendekatan Kelompok Indikator-indikator

Operasional

Tujuan 1.Produktivitas, Efisiensi a. Pendapatan wilayah

(25)

Sumber: Rustiadi et al. (2011)

Konsepsi Wilayah

Dalam proses pengembangan wilayah harus dipahami terlebih dahulu konsep mengenai wilayah. Ada beberapa pengertian wilayah yang terkait aspek keruangan yang harus dipahami terlebih dahulu. Konsep wilayah dalam proses penataan ruang harus

Tabel 1 (lanjutan)

Basis/ Pendekatan Kelompok Indikator-indikator

Operasional Manusia (IPM) atau Human

Development Index (HDI)

2. Sumberdaya Alam a. Tekanan (Degradasi)

4. Sumberdaya Sosial

(26)

meliputi konsep ruang sebagai ruang wilayah ekonomi, ruang wilayah social budaya, ruang wilayah ekologi, dan ruang wilayah politik. Wilayah itu sendiri adalah batasan geografis (deliniasi yang dibatasi oleh koordinat geografis) yang mempunyai pengertian/maksud tertentu atau sesuai fungsi pengamatan tertentu (Djakapermana, 2010).

Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang penataaan Ruang,

pengertian wilayah adalah “ruang” yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap

unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi atau aspek fungsional. Sementara itu, pengertian ruang menurut Undang-Undang yang sama adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lain, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Dengan pengertian ruang tersebut, maka ada ruang untuk kegiatan manusia melakukan kegiatannya (budidaya) dan ada ruang untuk kelangsungan makhluk hidup lainnya yang harus dipelihara, dijaga, dan bahkan dilindungi agar kehidupannya bias tetap berlangsung (ruang yang harus dilindungi).

Berdasarkan pengertian Undang-Undang tersebut, ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam konsep wilayah yaitu: Pertama, didsalam wilayah adan unsur-unsur yang saling terkait yaitu ruang yang berfungsi lindung yang harus selalu dijaga keberadaannya dan ruang yang berbungsi budidaya sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya untuk kelangsungan hidupnya, yang pada dasarnya, keduanya tidak bisa hidup dan berkembang serta survive (berkelanjutan) secara sendiri-sendiri, dan Kedua adanya pengertian deliniasi fungsi berdasarkan koordinasi geografis (batasan berdasarkan titik-titik koordinat) yang deliniasinya bisa wilayah administrasi (pemerintahan) dan wilayah fungsi tertentu lainnya. Untuk yang pertam ini, maka tidak bisa tidak pendekatan dalam konsep pengembangan wilayah haruslah pendekatan sistem yang mempertimbangkan aspek-aspek tersebut secara keseluruhan (komperhensif) dan terpadu (integralistik/saling terkait) (Djakapermana 2010).

Pengertian wilayah ini menurut Rustiadi et al. (2011) akan selalu terkait aspek kepentingan sosial, ekonomi, budaya, politik, keamanan dan pertahanan. Secara umum beberapa pengertian wilayah ini dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) ruang wilayah ekologis adalah deliniasi fungsi kesatuan ekosistem berbagai kehidupan alam dan buatan yang membentuk pola ruang ekotipe dan struktur hubungan yang hirakhis antara ekotipe, misalnya tropis dengan struktur bagian hutan tropisnya, (2) ruang wilayah ekonomi adalah deliniasi wilayah yang berorentasi menggambarkan maksud fungsi (manfaat-manfaat) ekonomi seperti wilayah produksi, konsumsi, perdagangan, aliran barang dan jasa, (3) ruang budaya adat/marga, suku, maupun wilayah pengaruh kerajaan, (4) wilayah politik, yaitu deliniasi wilayah yang terkait dengan batasan administrasi, yaitu batasan ruang kewenangan kepala pemerintahan yang mengatur dan mengelola berbagai sumber daya alam dan pemanfaatannya untuk kepentingan pengembangan wilayah yang akan diatur dan yang menjadi kewenangan politiknya selaku penguasa wilayah (Rustiadi et al. 2011).

(27)

Pengembangan Wilayah

Untuk pertama kalinya konsep pengembangan wilayah yang dikaitkan dengan aspek pengaturan ruang (spatial) telah diperkenalkan oleh Hirschman (1958) dan Myrdal (1957) yang “menjembatani” model pertumbuhan ekonomi wilayah dengan teori pengembangan wilayah (United Nations, 1979). Konsep ini mempertegas adanya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dalam suatu entitias wilayah (growth pole). Konsep ini didasarkan atas pemikiran, bahwa kondisi yang terjadi saat itu semua pertumbuhan ekonomi wilayah terjadi secara tidak merata dan terjadi ketimpangan pembangunan.

Ketimpangan pembangunan antar wilayah secara alamiah terjadi bisa disebabkan oleh dua faktor penentu yaitu aspek kepemilikan sumberdaya alam yang berbeda, dimana salah satu wilayah diberi kelimpahan sumberdaya alam yang lebih dibanding wilayah lain. Aspek posisi geografis, dimana suatu wilayah memiliki keunggulan posisi geografis dibanding wilayah lain dan ketimpangan juga bisa terjadi bukan karena faktor penentu alamiah di atas, tetapi oleh perbedaan sumberdaya manusia (SDM) dan sumberdaya sosial (SDS). Wilayah yang memiliki tradisi yang kuat dan sangat mementingkan proses pendidikan akan memiliki SDM serta SDS yang lebih baik akan lebih maju dibanding dengan wilayah yang memilki SDM dan SDS yang kurang baik (Rustiadi et al. 2011).

Menurut Murty (2000) pembangunan regional yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama, atau mempunyai tingkat industrialisasi yang sama atau mempunyai pola ekonomi yang sama, atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi, yang lebih penting adalah adanya

“pertumbuhan yang optimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah

sesuai dengan kapasitasnya”. Dengan demikian, diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat. Konsep Integrasi fungsional spasial adalah pendekatan dengan mengembangakan sistem pusat-pusat pertumbuhan dengan berbagai ukuran dan karakteristik fungsional secara terpadu. Sistem seperti ini diharapkan dapat lebih mampu memfasilitasi dan memberikan pelayanan regional yang jauh lebih luas. Bahwa untuk pembangunan di negara yang sedang berkembang, stimulan dari pengembangan regional harus dimulai dari pendekatan pertanian dibandingkan pengembangan industri (Rustiadi et al. 2011).

Rondinelli (1985) mengidentifikasikan setidaknya tiga konsep pengembangan wilayah, yakni (1) Konsep kutub pertumbuhan (growth pole), (2) Integrasi

(keterpaduan) fungsional spasial, dan (3) pendekatan “Decentralized territorial”. Konsep growth pole sangat menekankan investasi pada industri padat modal di pusat-pusat urban utama. Dengan berkembangnya kutub pertumbuhan ini, pemerintahan di negara-negara yang sedang berkembang berharap dapat menstimulasi dan menciptakan penyebaran pertumbuhan (spread effect) sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi wilayah yang lebih luas. Dengan mengedepankan pengembangan kota-kota besar utama diharapkan tercapai tingkat timbal balik investasi (return of investment)

pembangunan yang sangat tinggi, mendukung pelayanan komersial, administrasi dan infrastruktur yang dibutuhkan industri-industri untuk bekerja secara efisien. Dengan demikian, kutub pertumbuhan tidak lain berperan seperti mesin pembangunan (engine

of development). Namun dalam perkembangannya, secara umum hasil pengalaman di

(28)

pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah. Proses penetesan

(trickle down) dan penyebaran (spread effect) yang ditimbulkan tidak cukup kuat untuk

menggerakan perekonomian wilayah. Bahkan seringkali kutub-kutub pertumbuhan hanya berkembang ibarat enclave dari sektor ekonomi modern yang telah “menguras”,

menyerap dan mengalirkan bahan mentah, modal, tenaga kerja dan bakat-bakat

entrepreneur dari perdesaan ke wilaya lain. Seperti yang diungkapkan Hansen (1982)

bahwa proses penetesan dari modernisasi gagal menyentuh kelompok masyarakat miskin terutama yang di perdesaan. Pandangan-pandangan optimis yang memandang pertumbuhan ekonomi pada akhinya meningkatkan pendapatan perkapita secara regional, pada umumnya tidak didukung fakta-fakta empirik.

Keterkaitan Pengembangan Wilayah dan Disparitas Pembangunan

Menurut Chaniago et al. (2000) disparitas atau kesenjangan dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan wilayah yang ditunjukkan oleh perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Kesenjangan pertumbuhan antar wilayah tergantung pada perkembangan struktur ekonomi dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan prasarana sosial-ekonomi seperti sarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, sanitasi dan lain-lain). Kesenjangan pembangunan yang terjadi dapat menyebabkan munculnya berbagai permasalahan, baik masalah sosial, politik, ekonomi maupun masalah lingkungan.

Pada sebagaian besar negara berkembang, wilayah perdesaan memiliki tingkat kesehatan, sanitasi, perumahan dan penyediaan air minum yang berada pada tingkat yang sangat rendah (Gilbert, 1974). Hal ini sejalan dengan hipotesis yang dikembangkan oleh Kuznets (1954) bahwa pada awalnya disparitas meningkat dan selanjutanya akan menurun sejalan dengan proses pembangunan, namun tidak mungkin sama dengan nol. Disparitas dalam suatu pembangunan adalah hal yang tidak mungkin dihapuskan sama sekali, namun tetap harus dikurangi, baik kesenjangan masyarakat antar kelompok maupun antar daerah dapat selalu terjadi. Persoalannya adalah apakah kesenjangan tersebut menurun atau meningkat sejalan dengan perubahan waktu atau kenaikan rata-rata kesejahteraan. Lebih lanjut, apakah kesenjangan tersebut menyebabkan sesuatu hal yang tidak bisa di tolerir lagi. Kesenjangan yang terus terjadi merupakan awal dari timbulnya konflik finansial, ekonomi, sosial politik yang berakhir pada terjadinya krisis multidimensi (Anwar 2005). Untuk mengatasi terjadi krisis multidimensi yang diakibatkan oleh kesenjangan pembangunan, Todaro dan Smith (2003) berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan kesenjangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan.

(29)

Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah. Faktor-faktor ini terkait dengan variabel fisik dan sosial ekonomi wilayah. Menurut Murty (2000), faktor-faktor utama tersebut adalah sebagai berikut:

1) Faktor Geografi

Pada suatu wilayah atau daerah yang cukup luas akan terjadi perbedaan distribusi sumberdaya alam, sumberdaya pertanian, topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lain sama, maka kondisi geografi yang lebih baik akan menyebabkan suatu wilayah akan berkembang lebih baik.

2) Faktor Sejarah

Tingkat perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah sangat tergantung dari apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan

enterpreneurship.

3) Faktor Politik

Instabilitas politik sangat mempengaruhi proses perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Politik yang tidak stabil akan menyebabkan ketidakpastian di berbagai bidang terutama ekonomi. Ketidakpastian tersebut mengakibatkan keraguan dalam berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang, bahkan mungkin saja terjadi pelarian modal ke luar wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil. 4) Faktor Kebijakan

Disparitas antar wilayah juga bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah (Rustiadi dan Pribadi 2006). Menurut Nurzaman (2002), diduga sejak tahun1980-an, yaitu sejak diterapkannya kebijakan pembangunan dengan penekanan pada sektor industri, kesenjangan wilayah di Indonesia makin membesar, baik antar sektor, antar pelaku ekonomi, maupun antar wilayah.

5) Faktor Administratif

Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena perbedaan kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien.

6) Faktor Sosial

Masyarakat yang tertinggal pada umumnya tidak memiliki institusi dan perilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian. Mereka masih percaya pada kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya, masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah.

7) Faktor Ekonomi

(30)

a) Faktor ekonomi yang terkait dengan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan.

b) Faktor ekonomi yang terkait dengan akumulasi dari berbagai faktor. Salah satu contohnya adalah lingkaran setan kemiskinan, kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. Sebaliknya, diwilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan taraf hidup masyarakat.

c) Faktor ekonomi yang terkait dengan kekuatan pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect. Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktivitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di wilayah maju.

d) Faktor ekonomi yang terkait dengan distorsi pasar, seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja dan sebagainya.

Menurut Tambunan (2003) faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas ekonomi wilayah di Indonesia adalah:

1) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang meyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat, sedangkan daerah dengan tingkat konsentrasi ekonomi rendah cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.

2) Alokasi Investasi

Indikator lain yang juga menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Kurangnya investasi langsung di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per-kapita di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur. 3) Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antar Daerah

Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti upah/gaji dan tingkat suku bunga atau tingkat pengembalian dari investasi langsung antar provinsi juga merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Relasi antara mobilitas faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan atau pertumbuhan antar provinsi dapat dijelaskan dengan pendekatan analisismekanisme pasar output dan pasar input. Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antar provinsi membuat terjadinya perbedaan tingkat pendapatan per kapita antar provinsi, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar

output dan input bebas, mempengaruhi mobilitas atau (re)alokasi faktor produksi antar

provinsi. Jika perpindahan faktor produksi antar daerah tidak ada hambatan, maka pembangunan ekonomi yang optimal antar daerah akan tercapai dan semua daerah akan lebih baik.

(31)

Pembangunan ekonomi di daerah yang kaya sumberdaya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin sumberdaya alam.

5) Perbedaan Kondisi Demografis Antar Wilayah

Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan kondisi demografis antar provinsi, terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja. Faktor-faktor ini mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting bagi produksi.

6) Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Provinsi

Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga merupakan unsur yang turut menciptakan ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Ketidaklancaran tersebut disebabkan terutama oleh keterbatasan transportasi dan komunikasi. Perdagangan antar provinsi meliputi barang jadi, barang modal, input perantara, bahan baku, material-material lainnya untuk produksi dan jasa. Tidak lancarnya arus barang dan jasa antar daerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu provinsi.

Menurut Anwar (2005) dan Gantara et al. (2012) beberapa hal yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah adalah (1) perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource endowment); (2) perbedaan demografi; (3) perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); (4) perbedaan potensi lokasi; (5) perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan (6) perbedaan dari aspek potensi pasar. Faktor-faktor di atas menyebabkan perbedaan karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: (1) Wilayah maju; (2) Wilayah sedang berkembang; (3) Wilayah belum berkembang; dan (4) Wilayah tidak berkembang.

Menurut Gama (2007) dibukanya lapangan kerja yang padat dan tetap mempertimbangkan pemerataan fisik dan prasarana pendidikan disetiap wilayah merupakan upaya yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan antar wilayah.

Urgensi Pembangunan Antar Wilayah Secara Berimbang

Meskipun disparitas antar wilayah merupakan suatu hal wajar yang bisa ditemui, baik di negara maju maupun berkembang, namun seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan suatu kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Kemiskinan di suatu tempat akan sangat berbahaya bagi kesejahteraan di semua tempat sedangkan kesejahteraan di suatu tempat harus didistribusikan ke semua tempat.

Menurut Rustiadi et al. (2011) setiap pemerintah baik di negara berkembang

(developing countries) maupun belum berkembang (less developed countries) selalu

(32)

sumberdaya, (4) untuk meningkatkan lapangan kerja, (5) untuk mengurangi beban sektor pertanian, (6) untuk mendorong desentralisasi, (7) untuk menghindari konflik internal dan instabilitas politik disintegratif dan (8) untuk meningkatkan ketahanan nasional.

Untuk itu, dibutuhkan pemecahan melalui kebijakan terhadap permasalahan disparitas antar wilayah dan perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan wilayah yang berimbang. Keberimbangan antar wilayah menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris mampu mengurangi disparitas antar wilayah, dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh.

PenelitianTerdahulu

Penelitian mengenai pengembangan wilayah dan pembangunan mulai marak dilakukan sejak tahun 1970-an. Kemudian diikuti oleh penelitian-penelitian dalam negeri mengenai pengembangan wilayah.

Salah satunya Adifa tahun 2005 hingga 2006 di Kabupaten Alor dengan judul

“Analisis Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten

Alor” dengan menggunakan indeks williamson sebagai salah satu analisis untuk mendeteksi ketimpangan yang terjadi di Kabupaten Alor (Adifa 2006). Indeks Williamson tersebut memberikan indikasi bahwa ketimpangan pendapatan pada kurun waktu 1999-2004 menunjukkan bahwa rata-rata ketimpangan pendapatan tingkat Kabupaten jauh lebih tinggi dari pada rata-rata ketimpangan pendapatan antar ketiga Satuan Wilayah Pengembangan. Ukuran ketimpangan perkembangan wilayah lain juga dilihat dengan penggunaan Indeks Skalogram yang dicirikan oleh ketersediaan penyediaan jumlah sarana dan prasarana yang tersedia di desa-desa antar satuan wilayah pengembangan sehingga dari hasil analisis ini diperoleh kesimpulan bahwa kota-kota hierarki yang ditetapkan berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Kabupaten Alor Tahun 1991 antar SWP hingga tahun 2003 menunjukkan perkembangan yang tidak signifikan, bahkan pada beberapa hierarki yang berperan sebagai pusat aktivitas kecamatan menunjukkan indeks perkembangan yang kurang bahkan sangat kurang dan penelitian ini juga menggunakan analisis sektor basis/komoditi Unggulan seperti Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis

(SSA) untuk melihat potensi wilayah dan komoditi unggulan di setiap wilayah.

(33)

Penelitian lain yang dilakukan oleh Wajdi (2011) dengan judul “Analisis Ketimpangan Pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan. Analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi tingkat ketimpangan wilayah Provinsi Sulawesi Selatan serta penyebabnya dengan analisis Indeks Williamson dan Indeks Theil. Hasil analisis indeks Williamson menginformasikan bahwa terdapat ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan dengan kecenderungan yang meningkat. Ketimpangan ini terlihat dari hasil yang ditunjukkan di enam tahun terakhir. Indeks Theil menunjukkan bahwa komposisi terbesar penyebab ketimpangan yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan lebih disebabkan karena ketimpangan yang terjadi di dalam Kab/Kota.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Mamuju terletak di Provinsi Sulawesi Barat, Pulau Sulawesi. Berdasarkan posisi dan letak geografis wilayah, berada pada koordinat 1038’110”-2054’552” lintang selatan dan 1054’47”-1305’35” bujur timur.

Kabupaten Mamuju yang ber-ibukota di Mamuju sekaligus Ibukota dari Provinsi Sulawesi Barat, di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Majene, Kabupaten Mamasa dan Provinsi Sulawesi Selatan, di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan, dan disebelah barat berbatasan dengan selat Makassar (Gambar 3).

Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2014 hingga Desember 2015, termasuk kegiatan lapangan, penulisan tesis, pembuatan jurnal, seminar, dan ujian.

(34)

Jenis Data dan Sumber Data Tahun

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan dinas-dinas terkait. Sumber data tahun yang digunakan tahun 2002, 2006, 2009, 2013 dan 2015. Sumber data juga diakses melalui publikasi artikel maupun makalah/jurnal ilmiah dari internet untuk mendukung ketersediaan data lainnya yang lebih lengkap. Jenis data yang dikumpulkan disesuaikan dengan tujuan penelitian sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah menguraikan sektor potensial ekonomi wilayah dan karakteristik fisik-geografis wilayah di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat dalam dimensi regional dan lokal, yang didukung dengan tiga tujuan antara yaitu, (1) mengidentifikasi potensi wilayah Kabupaten Mamuju dalam perspektif Pulau Sulawesi, (2) mengidentifikasi sektor dan komoditas unggulan di dalam Kabupaten Mamuju dan (3) Menyusun arahan pengembangan wilayah di Kabupaten Mamuju.

Bagan Alir Penelitian

Bagan alir penelitian ini didasarkan atas 2 bagian, yaitu sektor potensi ekonomi wilayah dan Karakteristik fisik-geografis wilayah Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat dalam dimensi regional dan lokal. Untuk itu, dilakukan dengan 4 tahapan penelitian, yaitu tahapan analisis permasalahan wilayah dengan indikator perkembangan wilayah, tahapan pengumpulan data, tahapan analisis data, dan tahapan interpretasi hasil. Pada tahap permasalahan dilakukan analisis dengan kondisi eksiting Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat dengan indikator perkembangan wilayah dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), PDRB/PDRB perkapita dan kebijakan pembangunan.

Tahapan pengumpulan data yang diperlukan untuk dilakukan analisis sektor unggulan eksisting dan potensi wilayah, yaitu untuk sektor unggulan dalam perspektif Pulau Sulawesi berupa unit data PDRB Kab/Kota se-pulau Sulawesi kemudian sektor unggulan dan komoditas unggulan kecamatan di Kabupaten Mamuju data PDRB/PDRB perkapita se-kecamatan Kabupaten Mamuju, produktivitas, produksi dan luas lahan di Kabupaten Mamuju. Karakteristik fisik geografis wilayah berupa data fisik-georafis wilayah pulau Sulawesi berupa Peta Ecoregion Pulau Sulawesi, peta administrasi, data geologi, data topografi, elevasi, kemiringan lereng, data jenis tanah, dan data land use.

Pada tahapan analisis data, dalam dimensi regional, untuk mengetahui potensi wilayah Kabupaten Mamuju dalam perspektif pulau Sulawesi sektor potensial ekonomi wilayah digunakan unit data PDRB Kab/Kota se-pulau Sulawesi dengan analisis LQ-SSA dan analisis Typology Klassen untuk memperoleh keunggulan Kabupaten Mamuju, dan untuk mengetahui karateristik fisik-geografis wilayah dalam perspektif pulau Sulawesi, digunakan data fisik wilayah Pulau Sulawesi berupa unit peta administrasi, Peta Ecoregion Pulau Sulwesi dengan analisis geomorfologi, dan data geologi, data topografi, elevasi, kemiringan lereng, data jenis tanah, dan data land use untuk memperoleh gambaran umum fisik-geografis wilayah Kabupaten Mamuju.

(35)

Tabel 2 Jenis dan sumber data tahun yang digunakan, metode dan teknik analisis data dan output yang diharapkan

Tujuan

Mengidentifikasi potensi wilayah Kabupaten Mamuju dalam perspektif Pulau Sulawesi

Sektor potensial

(36)

Gambar 4 Bagan alir penelitian

Metode Analisis Data

Mengidentifikasi Potensi Wilayah Kabupaten Mamuju Dalam Perspektif Pulau Sulawesi

Mengidentifikasi potensi wilayah Kabupaten Mamuju dalam perspektif Pulau Sulawesi di dasarkan pada 2 pendekatan, yaitu sektor potensial ekonomi wilayah dan karakteristik fisik-geografis wilayah, sebagai berikut :

Sektor Potensial Ekonomi Wilayah

Untuk mengidentifikasi potensi wilayah dalam perspektif Pulau Sulawesi, melalui perkembangan ekonomi wilayah dilakukan dengan analisis Location Quotient

(LQ), analisis shift-share (SSA) dan Typology Klassen.

Metode Location Quotient (LQ), merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis (sektor basis) sebagai langkah awal untuk melihat sektor kegiatan ekonomi wilayah yang menjadi pemacu pertumbuhan pembangunan daerah. Metode LQ digunakan untuk mengkaji kondisi perekonomian mengarah pada identifikasi spesialisasi kegiatan perekonomian (Carroll et al. 2007; Chiang 2008; Jing et al. 2009), sehingga nilai LQ yang sering digunakan untuk penentuan sektor basis dapat dikatakan sebagai sektor yang akan mendorong tumbuhnya ANALISIS

2. PDRB /PDRB Perkapita 3. Kebijakan Pembangunan

KONDISI EKSITING

1. Kesenjangan Pembangunan 2. Pertumbuhan Ekonomi Arahan pengembangan wilayah di Kabupaten Mamuju

TAHAP PENGUMPULAN

DATA PDRB Kab/Kota Se-Sulawesi dan

PDRB/PDRB perkapita kecamatan

Peta Administrasi dan Data Ekoregioan se-Pulau Sulawesi dan data fisik

lahan Kab. Mamuju

Karakteristik fisik-geografis dan Potensi Fisik Wilayah Analisis Unit Geomorfologi

(37)

atau berkembangnya sektor lain serta berdampak pada penciptaan nilai tambah (Shukla 2000). Untuk mendapatkan nilai LQ digunakan persamaan analisis LQ sebagai berikut (Sjafrizal 2012) :

 ΣPDRB Kab.Kota Sulawesi : Total PDRB Kab/Kota se-Pulau Sulawesi pada tahun tertentu

Berdasarkan formulasi yang ditunjukkan dalam persamaan di atas, maka ada tiga kemungkinan nilai LQ yang dapat diperoleh (Sjafrizal 2012), yaitu:

 Nilai LQ = 1 Ini berarti bahwa tingkat spesialisasi sektor i di Kabupaten Mamuju dalam perspektif Pulau Sulawesi adalah sama dalam perekonomian regional

 Nilai LQ > 1 Ini berarti bahwa tingkat spesialisasi sektor i di Kabupaten Mamuju dalam perspektif Pulau Sulawesi adalah lebih besar dalam perekonomian regional

 Nilai LQ < 1 Ini berarti bahwa tingkat spesialisasi sektor i di Kabupaten Mamuju dalam perspektif Pulau Sulawesiadalah lebih kecil dalam perekonomian regional

Jika nilai LQ>1, maka dapat disimpulkan bahwa sektor tersebut merupakan sektor basis dan potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian wilayah. Sebaliknya, Jika nilai LQ<1, maka sektor tersebut bukan merupakan sektor basis dan kurang potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian wilayah. Data yang digunakan dalam analisis Location Quotient (LQ), yaitu data PDRB wilayah Kab/Kota se-Pulau Sulawesi berdasarkan atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha tahun 2006.

Selanjutnya, analisis shift-share (SSA) digunakan untuk mengetahui perubahan dan pergeseran sektor perekonomian wilayah (Akkemik 2011). Hasil analisis shift share

akan menggambarkan kinerja sektor-sektor dalam PDRB di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat dibandingkan PDRB Kab/Kota se-Pulau Sulawesi. Kemudian dilakukan analisis terhadap penyimpangan yang terjadi sebagai hasil perbandingan tersebut. Jika nilai tersebut positif (+), maka dikatakan sektor dalam PDRB memiliki keunggulan kompetitif atau sebaliknya. Data yang digunakan dalam analisis shift share, yaitu unit data PDRB wilayah Kab/Kota se-Pulau Sulawesi 2 titik tahun, berdasarkan atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha tahun 2002 dan 2006. Penggunaan data harga konstan dengan tahun dasar yang sama agar bobotnya (nilai riilnya) bisa sama dan perbandingan menjadi valid (Tarigan 2007; Rustiadi et al. 2011).

(38)

1. Regional Share (RS), adalah pertumbuhan total wilayah Pulau Sulawesi pada dua titik tahun yang menunjukkan dinamika total wilayah.

2. Proportional Shift (PS) adalah menunjukkan pertumbuhan total aktivitas sektor

di Kab/Kota secara relatif di wilayah agregat yang lebih luas.

3. Differential Shift (DS) adalah menunjukkan tingkat kompetisi (competitiveness)

suatu aktivitas/sektor di Kab/Kota yang bersangkutan.

Secara matematis, Regional Share (RS), Proportional Shift (PS) dan Differential Shift

(DS) dapat diformulasikan (Rustiadi et al. 2011), sebagai berikut:

a b c

Dimana :

a : komponen regional share (RS) b : komponen proportional shift (PS) c : komponen differential shift (DS)

X.. : Nilai total aktivitas/sektor dalam total regional Sulawesi Xi. : Nilai aktivitas/sektor ke-i dalam total regional Sulawesi Xij : Nilai aktivitas/sektor ke-i dalam unit wilayah Kab/Kota ke-j t1 : titik tahun akhir

t0 : titik tahun awal

Selanjutnya Typology Klassen digunakan untuk memperoleh klasifikasi posisi pertumbuhan sektor perekonomian wilayah. Analisis Typology Klassen digunakan dengan tujuan mengidentifikasi posisi sektor ekonomi unggulan wilayah dengan memperhatikan sektor pertumbuhan sektoral (SSA pada nilai differential shift) dan pemusatan aktivitas ekonomi (Location Quotient) dengan menggunakan Klassen

(Typology Klassen) (Rustiadi et al. 2011). Dalam analisis pertumbuhan ekonomi

regional komponen nilai differential shift (DS) lebih penting dibandingkan dengan komponen regional share (Freddy 2001). Hal ini disebabkan nilai differential shift (DS) digunakan untuk melihat kompetisi perubahan pertumbuhan dari suatu kegiatan ekonomi wilayah sedangkan nilai Location Quotient (LQ) untuk melihat pemusatan aktivitas ekonomi terhadap aktivitas ekonomi total wilayah atau sebagai sektor basis ekonomi/sektor komparatif wilayah. Dari kedua komponen ini jika besaran DS dan LQ dinyatakan dalam suatu bidang datar, dengan nilai DS sebagai sumbu vertical (y) dan nilai LQ sebagai sumbu horizontal (x), maka diperoleh empat kategori posisi relatif ekonomi tersebut, dapat dilihat pada Tabel 3.

Menurut Hill dalam Kuncoro (2004) analisis tipologi wilayah yang diamati dapat dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu:

1. High growth and high income (daerah cepat maju dan cepat tumbuh)

2. High growth but low income (daerah berkembang cepat/potensial)

3. High income but low growth (daerah maju tapi tertekan)

4. Low growth and low income (daerah relatif tertinggal)

Dengan Kriteria sebagai berikut:

1 High growth and high income, Kuadran I (DS positif dan LQ positif/>1) adalah

wilayah/sektor maju dengan pertumbuhan sangat cepat (rapid growth

(39)

2 High growth but low income, Kuadran II (DS positif dan LQ negatif/<1) adalah wilayah/sektor dengan kecepatan pertumbuhan terhambat namun cenderung berpotensi (depressed region/industry yang berpotensi).

3 High growth but low income, Kuadran III (DS negatif dan LQ positif/>1) adalah

wilayah/sektor dengan kecepatan pertumbuhan terhambat tapi maju/berkembang

(depressed region/industry yang berkembang/ developing).

4 Low growth and low income, Kuadran IV (DS negatif dan LQ negatif/<1) adalah

wilayah/sektor depressed region/industry relatif tertinggal dengan daya saing lemah dan juga peranan terhadap wilayah rendah.

Tabel 3 Kriteria Typology Wilayah

Location Quotient (LQ)

Differential Shift (DS)

Negatif (-) Positif (+)

Positif (+/>1) sektor potensial atau masih dapat berkembang dengan

cepat (kuadran II)

sektor maju dan tumbuh cepat (kuadran I) Negatif (-/<1) sektor relatif tertinggal

(Kuadran IV)

sektor maju tapi tertekan (Kuadran III) Sumber: Hill dalam Kuncoro (2004)

Mengidentifikasi Sektor dan Komoditas Unggulan di dalam Kabupaten Mamuju

Untuk mengetahui sektor unggulan pembangunan wilayah kecamatan dengan cara mengidentifikasi potensi unggulan pembangunan tiap kecamatan di Kabupaten Mamuju berdasarkan unit administrasi kecamatan yang dilakukan dengan mengkombinasikan hasil analisis Location Quotient (LQ), dan hasil Shift Share Analysis

(SSA) pada komponen nilai differential shift (DS) digunakan analisis matriks DS dan LQ. Data yang digunakan pada analisis Location Quotient (LQ), yaitu unit data PDRB kecamatan Kabupaten Mamuju berdasarkan atas dasar harga konstan tahun 2000 untuk lapangan usaha tahun 2013. Data yang digunakan pada analisis analisis Shift Share

Analysis (SSA), yaitu unit data PDRB kecamatan Kabupaten Mamuju dua titik tahun,

berdasarkan atas dasar harga konstan tahun 2000 untuk lapangan usaha tahun 2006 dan 2013.

Metode analisis Location Quotient (LQ) digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas ekonomi wilayah (Jin et al. 2009) dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas dan dapat mengidentifikasi keungulan komparatif suatu wilayah dengan asumsi (1) kondisi geografis relatif sama, (2) pola-pola aktivitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama (Shukla 2000). Dengan persamaan analisis LQ diformulasikan sebagai berikut (Sjafrizal 2012):

Dimana :

PDRB Kecamatan,i : PDRB sektor i di kecamatan pada tahun tertentu.

(40)

ΣPDRB Kabupaten : Total PDRB Kabupaten Mamuju pada tahun tertentu. Berdasarkan formulasi yang ditunjukkan dalam persamaan di atas, maka ada tiga kemungkinan nilai LQ yang dapat diperoleh (Sjafrizal 2012 ), yaitu:

 Nilai LQ = 1 Ini berarti bahwa tingkat spesialisasi sektor i potensi unggulan pembangunan kecamatan adalah sama dalam pembangunan di Kabupaten Mamuju

 Nilai LQ > 1 Ini berarti bahwa tingkat spesialisasi sektor i potensi unggulan pembangunan kecamatan adalah lebih besar dalam pembangunan di Kabupaten Mamuju

 Nilai LQ < 1 Ini berarti bahwa tingkat spesialisasi sektor i potensi unggulan pembangunan kecamatan adalah lebih kecil dalam pembangunan di Kabupaten Mamuju

Jika nilai LQ>1, maka sektor tersebut merupakan sektor basis dan potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak pembangunan wilayah. Sebaliknya, jika nilai LQ<1, maka sektor tersebut bukan merupakan sektor basis dan kurang potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak pembangunan wilayah.

Selain LQ yang digunakan dalam menganalisis sektor unggulan juga digunakan SSA untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif (competitiveness) wilayah, berdasarkan kinerja sektor lokal (local sector) di wilayah tersebut. Teknik analisis SSA bertujuan untuk menganalisa pergeseran kinerja suatu sektor di suatu wilayah untuk dipilah berdasarkan sumber-sumber penyebab pergeseran, untuk melihat keungulan kompetitif dan mengetahui sektor apa saja yang memberikan kontribusi terbesar dalam pertumbuhan wilayah (Rustiadi et al. 2011). Ada tiga sumber penyebab pergeseran pertumbuhan sebagai berikut:

 Komponen regional share (RS), merupakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik tahun yang menunjukkan dinamika total wilayah.

 Komponen proportional shift (PS), menunjukkan pertumbuhan total aktivitas/sector secara relatif di wilayah agregat yang lebih luas.

 Komponen differential shift (DS), menunjukkan tingkat kompetitif (competitiveness)

aktivitas/sektor tertentu disuatu wilayah.

Jika komponen differential shift bernilai positif, maka suatu wilayah dianggap memiliki keunggulan kompetitif aktivitas/sektor tertentu karena secara fundamental masih memiliki potensi untuk terus tumbuh meskipun faktor-faktor eksternal (komponen share dan proportional shift) tidak mendukung.

Rumus umum dari persamaan Shift Share Analysis (SSA) sebagai berikut (Rustiadi et

X.. : Nilai total aktivitas/sektor dalam total wilayah kecamatan yang terjadi Xi : Nilai aktivitas/sektor ke-i dalam total wilayah kecamatan

Xij : Nilai aktivitas/sektor ke-i dalam unit wilayah kecamatan ke-j t1 : Titik tahun akhir

Gambar

Gambar 3 Peta Kabupaten Mamuju
Tabel 2 Jenis dan sumber data tahun yang digunakan, metode dan teknik analisis
Gambar 4 Bagan alir penelitian
Gambar 5 Matriks kuadran DS dan LQ
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam teknik LQ berbagai peubah (faktor) dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan wilayah, misalnya kesempatan kerja (tenaga kerja) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, dapat diketahui bahwa potensi wilayah pengembangan sayuran unggulan di Kabupaten Batang ma sih cukup besar, walaupun

Kabupaten Sukabumi memiliki potensi sumberdaya perikanan tangkap dan budidaya yang cukup besar. Potensi yang besar ini dapat dimanfaatkan secara maksimal guna

Penelitian yang terkait dengan penentuan wilayah basis produksi ubi kayu dan karakteristik penyebarannya di Kabupaten Pacitan pernah dilakukan oleh Zulaika (2002) yang

Kabupaten Bone merupakan salah satu kabupaten yang menjadi simpul pertanian pangan Sulawesi Selatan (MP3EI) dengan potensi utama di sektor pertanian yang menyumbang 49%

Berdasarkan analisis potensi wilayah baik potensi fisik maupun non fisik serta analisis kegiatan wisata dan kearifan lokal maka dapat dibuat model pengembangan desa

Hasil analisis gabungan LQ dan DLQ menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan laju hasil produksi komoditas perkebunan serupa yang dihasilkan oleh Kabupaten lain di Provinsi

Menyadari kondisi geografis Kabupaten Halmahera Selatan dimana didominasi oleh wilayah laut yang memiliki beraneka ragam potensi wilayah terbentang luas, sehingga