OLEH
SARI MAULIDYAWATI H14070064
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
RINGKASAN
SARI MAULIDYAWATI. Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG Terhadap Struktur Subsidi APBN dan Efisiensi Usaha Mikro Di Kota Bogor (Periode 2005-2010) (dibimbing olehDIDIN S. DAMANHURI).
Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas Bumi merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pemerintah menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Terjadinya kenaikan harga minyak mentah di dunia dari awal tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 ini ternyata berdampak terhadap harga minyak mentah di Indonesia. Hal ini tentunya akan mempengaruhi besarnya beban subsidi BBM yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Sehingga salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan ini melalui kebijakan program konversi minyak tanah bersubsidi ke LPG 3 kg pada pertengahan tahun 2007 yang berakhir pada tahun 2012.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG di Indonesia dari tahun 2005 sampai tahun 2010, untuk melihat dampak program konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010) dan untuk melihat dampak program konversi minyak tanah ke LPG terhadap usaha mikro dalam hal ini pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dan kuesioner kepada usaha mikro yaitu 30 pedagang bakso kaki lima yang mewakili enam Kecamatan di Kota Bogor. Sedangkan data sekunder diperoleh dari BPS, Kementerian Keuangan, Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor, Ditjen Migas dan ESDM (Energi dan Sumberdaya Mineral), Pertamina. Analisis kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG di Indonesia dilakukan dengan metode deskriptif. Metode deskriptif juga digunakan untuk menganalisis dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010) dan efisiensi usaha mikro yaitu pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor.
minyak tanah dirasa lebih besar dibandingkan LPG 3 kg, dan besarnya penerimaan pedagang bakso mengalami peningkatan karena pedagang bakso menetapkan harga yang lebih tinggi setelah program konversi. Sebagian besar pedagang bakso kaki lima menyatakan sangat setuju dengan penggunaan LPG 3 kg yang lebih menguntungkan dibandingkan minyak tanah dan setuju menerima LPG 3 kg sebagai pengganti minyak tanah serta tidak ada unsur keterpaksaan dalam menjalankan program konversi.
DAMPAK KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG TERHADAP
STRUKTUR SUBSIDI APBN DAN EFISIENSI USAHA MIKRO DI
KOTA BOGOR
(PERIODE 2005-2010)
Oleh
SARI MAULIDYAWATI H14070064
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Nama : Sari Maulidyawati
NIM : H14070064
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. NIP. 19520408 198403 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 19641022 198903 1 003
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2011
Bogor. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Warsono
dan Nunung Yuliati, S.Pd. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Negeri
Kotabatu 06 pada tahun 2001. Di tahun yang sama, penulis melanjutkan ke SLTP
Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2004. Penulis kemudian diterima di SMA
Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan
diterima masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Saringan
Masuk IPB (USMI). Di tahun berikutnya, penulis mendapatkan Mayor di Ilmu
Ekonomi dan Minor Ekonomi Pertanian di Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif di beberapa organisasi seperti FOSMA
IPB, COAST Tari BEM FEM IPB, dan HIPOTESA. Penulis menjadi pengurus
divisi Training ESQ FOSMA IPB pada tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis
menjadi pengurus COAST Tari BEM FEM IPB. Dan pada tahun 2009 penulis
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Tidak lupa penulis juga memanjatkan shalawat serta salam ke hadirat Nabi Besar
Muhammad SAW. Judul skripsi ini adalah “Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Struktur Subsidi APBN dan Efisiensi Usaha Mikro Di Kota Bogor (Periode 2005-2010)”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah memberikan
bantuan dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain:
1. Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A., selaku Dosen
Pembimbing Skripsi yang telah memberikan saran, pengarahan, dan
bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam proses
penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr., sebagai Dosen Penguji Utama dalam
sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat
berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.
3. Dr. Muhammad Findi Alexandi, M.E., selaku Dosen Penguji Komisi
Pendidikan yang memberikan banyak informasi mengenai tatacara
penulisan skripsi yang baik, juga memberikan perbaikan pada substansi
skripsi.
4. Seluruh jajaran staf Departemen Ilmu Ekonomi atas segala bantuan dan
kerjasamanya.
5. Kedua orang tua penulis, Ibunda Nunung Yuliati dan Ayahanda Warsono,
serta adik penulis Kharisma Muhamad Naufal atas doa, dorongan moral
dan materi, serta pandangan hidup atas kebahagiaan yang besar artinya
6. Teman-teman tersayang d’rempongs Wahyu Putri Pamungkas, Dyah
Pramita Raharti, Resti Anditya, Ranty Purnamasari, Putri Nilam Kencana,
dan Hilman Kurniawan yang selalu memberikan semangat dan menemani
penulis selama masa perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.
7. Dian Nurdiana sebagai teman bimbingan atas dukungan dan kerjasamanya
selama ini.
8. Teman-teman tercinta d’cabs Nhimas Anthyan, Novia Handayani, dan
Retno Khairunnisa yang selalu memberikan inspirasi dan menghibur
penulis selama perkuliahan di Ilmu Ekonomi.
9. Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 44 Winda Aprianti, Lilih Suprianti,
Andi Inggryd Cheryana, Elvha Aditia Sidik dan semua teman-teman yang
tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan doa, semangat
dan dukungan selama penulis menyusun skripsi.
10. Teman-teman semasa di Tingkat Persiapan Bersama Indira Indraswari dan
Ganisa Kusumawardhani atas motivasi dan semangat yang telah diberikan
selama ini.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini
namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, Juli 2011
iii
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN...
2.1. Bahan Bakar Minyak dan Gas...
2.1.1 Minyak Tanah...
2.1.2 LPG (Liquefied Petroleum Gas)... 2.2. Dampak...
2.3. Konversi Energi Minyak Tanah ke LPG...
2.4. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)...
2.9. Hipotesis Penelitian... 36
III. METODOLOGI PENELITIAN………..
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian………...
3.2. Jenis dan Sumber Data………...
3.3. Kerangka Sampel………...
3.4. Metode Analisis dan Pengolahan Data...
3.4.1 Analisis Kondisi Penggunaan Minyak Tanah dan LPG...
3.4.2 Analisis Dampak Konversi terhadap Struktur Subsidi APBN...
3.4.3 Analisis Dampak Konversi terhadap Efisiensi Usaha Mikro.... 37
4.1. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)……...
4.2. Kondisi Geografis dan Demografi Kota Bogor………...
4.2.1 Perkembangan Usaha Mikro di Kota Bogor………...
4.2.2 Perkembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) Kota Bogor... 43
5.1. Kondisi Penggunaan Minyak Tanah dan LPG di Indonesia dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010………... 5.2. Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Struktur Subsidi
APBN (2007-2010)………... 5.3. Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Efisiensi Usaha
Mikro (Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor)………..…. 5.3.1 Karakteristik Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor...
5.3.2 Efisiensi (Hemat) Pedagang Bakso Kaki Lima Kota Bogor...
5.3.3 Pengeluaran Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor...
5.3.4 Penerimaan Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor...
v
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Perkembangan Jumlah Perusahaan Menurut Skala Usaha Di Kota
Bogor……….... 6
1.2. Pengurangan Subsidi Melalui Konversi Minyak Tanah ke LPG…..…... 7
4.1. Ringkasan APBN Tahun 2010 (Triliun Rupiah)... 44
4.2. Perkembangan Jumlah UKM dan Tenaga Kerja Di Kota Bogor…..….. 49
4.3. Jumlah PKL Kota Bogor Hasil Pemetaan 2010... 51
5.1. Produksi Minyak Tanah dan LPG tahun 2005-2009... 53
5.2. Penggunaan Minyak Tanah dan LPG 3 kg Tahun 2005-2010... 54
5.3. Neraca Penggunaan LPG di Indonesia Tahun 2007-2009 (dalam ribu ton)... 56
5.4. Subsidi, 2005-2010 (Miliar Rupiah)... 58
5.5. Besarnya Subsidi Untuk Minyak Tanah dan LPG 3 Kg………..… 59
5.6. Karakteristik Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor... 64
5.7. Harga Terjangkau (%) Pedagang Bakso Kaki Lima... 65
5.8. Harga Sebelum Program Konversi (%) Pedagang Bakso Kaki Lima... 66
5.9. Harga Setelah Program Konversi (%) Pedagang Bakso Kaki Lima... 66
5.10. Harga Perlengkapan Kompor (%) Pedagang Bakso Kaki Lima... 67
5.11. Biaya Pemeliharaan Kompor (%) Pedagang Bakso Kaki Lima... 68
5.12. Lama Waktu Memasak (%) Pedagang Bakso Kaki Lima... 69
5.13. Memerlukan Bantuaan saat Mengangkat dan Proses Penggantian (%) Pedagang Bakso Kaki Lima... 70
5.14. Memerlukan Bantuaan dalam Pemeliharaan Kompor (%) Pedagang Bakso Kaki Lima... 71
5.15. Penggunaan Bahan Bakar (%) Pedagang Bakso Kaki Lima... 71
5.16. Jarak Pembelian Bahan Bakar (%) Pedagang Bakso Kaki Lima... 72
5.17. Pengeluaran (%) Pedagang Bakso Kaki Lima………..…... 74
5.18. Penerimaan (%) Pedagang Bakso Kaki Lima... 74
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1. Perkembangan Permintaan, Penawaran dan Harga Minyak Dunia,
2005-2009………... 1
1.2. Distribusi Penyebaran Perusahaan Menurut Skala Usaha………... 5
2.1. Efisiensi Produksi dan Alokasi……… 22
2.2. Diagram Kotak Edgeworth untuk Efisiensi dalam Produksi…………... 25
2.3. Efisiensi dari Segi Usaha………... 26
2.4. Efisiensi dari Segi Hasil………... 27
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas Bumi merupakan kekayaan alam
yang dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Pemerintah menjamin ketersediaan dan
kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital dan menguasai
hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, hal ini tercantum dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Pasal 8.
Pemanfaatan Minyak dan Gas Bumi ini secara langsung diimplementasikan
melalui penyediaan BBM murah dengan adanya subsidi BBM yang merupakan
pengeluaran rutin Negara.1
Gambar 1.1. Perkembangan Permintaan, Penawaran dan Harga Minyak Dunia, 2005-2009
1
Harga minyak dunia dari awal tahun 2005 sampai dengan pertengahan
tahun 2008 mengalami peningkatan yang sangat signifikan (Gambar 1.1).
Rata-rata harga minyak dunia (West Texas Intermediate Spot Average) tahun 2005 sebesar USD 53,4 per barel meningkat menjadi USD 64,3 per barel pada tahun
2006 dan USD 72,3 per barel pada tahun 2007. Pada awal tahun 2008, terjadi
peningkatan yang cukup drastis yaitu pada bulan Juni yang mencapai USD 97,0
per barel. Namun, memasuki semester kedua tahun 2008, harga minyak dunia
mengalami penurunan. Sementara itu, pemulihan ekonomi dunia yang utamanya
didorong oleh pemulihan ekonomi dua raksasa, yaitu China dan India, telah
memberikan dampak pada naiknya permintaan minyak dunia pada tahun 2009.
Permintaan minyak dunia yang berfluktuasi kecenderungan meningkat,
diikuti pula dengan peningkatan harga minyak dunia (WTI). Seiring dengan
perubahan pergerakan minyak dunia (WTI), harga minyak mentah Indonesia
(Indonesian Crude-Oil Price/ ICP) juga mengalami peningkatan. Dalam semester I pada tahun 2009 harga minyak ICP mencapai rata-rata sebesar USD 51,6 per
barel, kemudian pada semester II mengalami peningkatan menjadi USD 71,6 per
barel, sehingga selama tahun 2009 harga rata-rata minyak ICP mencapai USD
61,6 per barel.2
Terjadinya persoalan kenaikan harga minyak dunia yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia ini, memaksa pemerintah untuk mengambil keputusan yang
amat berat dengan menaikkan harga BBM selama dua kali pada tahun 2005.
2
3
Selain itu, adanya kenaikan harga minyak mentah Internasional memberikan
dampak terhadap meningkatnya beban subsidi BBM dalam APBN.
Beban subsidi BBM yang terus meningkat ini akan mengganggu
keberlanjutan (sustainability) anggaran pemerintah, yang nantinya dapat mengancam stabilitas perekonomian dan mengurangi kepercayaan terhadap
ekonomi Indonesia. Selain itu, peningkatan beban subsidi BBM akan membawa
akibat kepada pengurangan anggaran pemerintah untuk berbagai program penting
bagi kesejahteraan rakyat, seperti alokasi untuk kemiskinan dan infrastruktur.
Oleh karena itu, stabilitas makro harus tetap dijaga.
Untuk mengendalikan beban subsidi BBM ini, pemerintah mengambil
salah satu kebijakan untuk mengurangi besarnya pengeluaran negara dalam
mensubsidi bahan bakar minyak tanah bagi masyarakat melalui langkah-langkah
penghematan subsidi, salah satunya dengan melaksanakan program konversi
minyak tanah bersubsidi ke LPG (Liquid Petroleum Gas) 3 kg pada tahun 2007. Jika subsidi minyak terus dipertahankan, hal ini dinilai akan membebani anggaran
pemerintah. Isu inilah yang digunakan oleh pemerintah untuk mencapai targetnya
dalam mengurangi subsidi bahkan hingga tercapainya target akhir yaitu
menghapus subsidi.
Dasar persiapan pemasaran LPG 3 kg untuk penggantian minyak tanah
terdapat dalam surat dari Menteri ESDM No.32429/26/MEM/2006 tanggal 31
Agustus 2006 tentang P.T. Pertamina untuk melakukan pengalihan minyak tanah
No.20/WP/9/2006 tanggal 1 September 2006 Perihal : Konversi Pemakaian Mitan
ke Elpiji .
Melalui program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg ini, diharapkan dapat
memangkas subsidi minyak tanah dari 35 trilyun rupiah menjadi 17,5 trilyun
rupiah atau setara dengan 50 persen pada tahun 2008. Regulasi pemerintah
mencanangkan konversi penggunaan sekitar 5,2 kilo liter minyak tanah kepada
pengguna 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 yang dimulai dengan 1 juta kilo
liter minyak tanah pada tahun 2007.3
Program konversi minyak tanah ke LPG dipandang sebagai bahan bakar
pengganti yang lebih murah, yang lebih ditujukkan bagi masyarakat miskin
pengguna minyak tanah yang kemudian beralih ke bahan bakar gas melalui
pembagian kompor gas dan tabung gas 3 kg pada tiap kepala keluarga (KK).
Selain ditujukan bagi masyarakat miskin, program konversi BBM ini tentunya
akan berpengaruh juga kepada para pelaku usaha, dalam hal ini usaha mikro
khususnya pedagang mikro yang menggunakan minyak tanah untuk bahan bakar
memasak dalam usahanya, yang kini harus beralih ke bahan bakar gas guna
menghemat pengeluaran.
Menurut laporan hasil penelitian oleh World Bank (2006), menunjukkan
99 persen perusahaan negara berkembang di seluruh dunia, dengan pekerja kurang
dari 50 orang adalah usaha mikro, kecil dan menengah. Kategori usaha di sektor
3
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral 2007 dalam Simanjuntak, M., R.A.B. Kusumo, dan M. Nasarullah. 2009. “Pola Pengeluaran, Persepsi, dan Kepuasan Keluarga Terhadap Perubahan Penggunaan Energi dari Minyak Tanah ke LPG”. Jurnal Ilmu Keluarga dan
5
ini juga merupakan kesempatan kerja yang paling realistis bagi masyarakat
miskin. Gambaran distribusi penyebaran perusahaan menurut skala usaha ini
berdasarkan Sensus Ekonomi 2006 (BPS, 2006) terlihat sebagai berikut:
Sumber: BPS, 2006.
Gambar 1.2. Distribusi Penyebaran Perusahaan Menurut Skala Usaha Dari grafik pie-chart diatas (Gambar 1.2.) memberikan gambaran dan
penjelasan lebih detail mengenai penyebaran usaha di Indonesia. Terlihat bahwa
skala usaha mikro mendominasi yaitu sebesar 83,27 persen atau sebanyak 18,933
juta dibandingkan 15,81 persen usaha kecil dan 0,67 persen usaha menengah. Hal
ini jelas memberi gambaran bahwa UKM di Indonesia sangat penting, dan
kebijakan yang menyentuh kepadanya harus sistematis dan jelas.
Begitu pula di Kota Bogor, adanya perkembangan dari tahun 2007 hingga
tahun 2009 pada perusahaan menurut skala usaha seperti terlihat pada Tabel 1.1.
Dapat dilihat bahwa usaha mikro juga mendominasi di Kota Bogor, serta adanya
peningkatan dari tahun 2007 sebanyak 23.873 menjadi 25.804 pada tahun 2009,
jika dibandingkan dengan usaha kecil yaitu sebanyak 6.366 pada tahun 2007
Tabel 1.1. Perkembangan Jumlah Perusahaan Menurut Skala Usaha Di Kota Bogor
No. Jenis Usaha 2007 2008 2009
1. Usaha Mikro 23.873 25.718 25.804
2. Usaha Menengah 1.598 1.607 1.614
3. Usaha Kecil 6.366 4.822 4.838
Sumber: Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, 2009.
Pada usaha mikro ini, didalamnya terdapat pedagang mikro yang terkena
dampak dari adanya program konversi minyak tanah ke LPG terhadap kegiatan
usaha mereka.
Oleh karena itu, judul Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG Terhadap Struktur Subsidi APBN dan Efisiensi Usaha Mikro di Kota Bogor (Periode 2005-2010) dipilih untuk dikaji lebih lanjut, dengan menganalisis struktur subsidi energi dalam APBN yaitu subsidi BBM serta dampaknya terhadap
efisiensi pada usaha mikro.
1.2 Perumusan Masalah
Apabila subsidi BBM dilanjutkan, hal ini dapat mengakibatkan tingginya
subsidi dalam penyediaan energi khususnya BBM dan potensi pemborosan yang
semakin besar dalam APBN. BBM dalam hal ini minyak tanah, digunakan
sebagian besar oleh rumah tangga Indonesia dan disubsidi secara besar-besaran
oleh pemerintah (volume 9,9 juta KL–Rp 37 T/ tahun menurut data tahun 2007).
Sedangkan LPG hanya digunakan 10 persen rumah tangga dan harga per tabung
jauh lebih mahal dari harga subsidi eceran minyak tanah.
Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi tingginya beban subsidi
7
bahan bakar alternatif karena nilai kalor efektif LPG lebih tinggi dibandingkan
minyak tanah, selain karena aspek kelestarian lingkungan, LPG lebih ramah
lingkungan karena gas buangnya bersih. Oleh karena itu, diversifikasi dari minyak
tanah ke LPG merupakan bagian dari kebijakan energi nasional.
Dalam konversi minyak tanah ke LPG ini, dapat dilihat bahwa pemerintah
mendapatkan keuntungan berupa pengurangan subsidi yang harus dikeluarkan
seperti terlihat dalam Tabel 1.2. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh
Direktorat Riset Energi dan Manajemen Indonesia tahun 2007 dengan asumsi
seluruh minyak tanah telah dikonversi ke LPG 3 kg. Dari Tabel 1.2. dapat dilihat
bahwa pemerintah Indonesia dapat menghemat subsidi sebesar 20 triliun rupiah
per tahun. Program konversi seluruh minyak tanah bersubsidi ke LPG 3 kg akan
selesai dalam jangka waktu 5 tahun (dimulai tahun 2007 dan selesai tahun 2012).
Tabel 1.2. Pengurangan Subsidi Melalui Konversi Minyak Tanah ke LPG.
Perbandingan Minyak Tanah LPG
Minyak Tanah Subsidi 10.000.000 kilo liter 5.746.095 MT/Tahun Asumsi Harga
Keekonomian
Rp 5.665/ltr Rp 7.127/kg
Harga Jual Rp 2.000/ltr Rp 4.250/kg
Besaran Subsidi Rp 3.665/ltr Rp 2.877/kg
Total Subsidi Rp 36,65 Triliun/Tahun Rp 16,53 Triliun/Tahun
Selisih Rp 20,12 Triliun/Tahun
Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2007.
Kota Bogor dijadikan daerah studi kasus karena memiliki usaha mikro
sebanyak 25.804 dan mendominasi diantara usaha menengah yaitu sebanyak
1.614 dan usaha kecil sebanyak 4.838 pada tahun 2009. Menurut Kepala Bidang
Kota Bogor, pada 3.600 usaha mikro kecil menengah (UMKM) diantaranya
memproduksi tekstil, sandal, sepatu, tas, dan makanan. Selain itu, usaha mikro
yang meliputi pedagang mikro didalamnya, dengan adanya program konversi
minyak tanah ke LPG ini tentunya akan memengaruhi efisiensi biaya, waktu dan
tenaga usaha mikro.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG di Indonesia dari
tahun 2005 sampai dengan tahun 2010?
2. Bagaimana dampak setelah diterapkannya program konversi minyak tanah ke
LPG terhadap struktur subsidi APBN tahun 2007 sampai dengan tahun 2010?
3. Bagaimana efisiensi usaha mikro di Kota Bogor khususnya pedagang bakso
kaki lima setelah diterapkannya program konversi minyak tanah ke LPG?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG di Indonesia dari
kurun waktu tahun 2005 sampai dengan tahun 2010.
2. Menganalisa struktur subsidi APBN dari tahun 2007 sampai dengan tahun
2010 setelah diterapkannya program konversi minyak tanah ke LPG.
3. Menganalisa efisiensi usaha mikro di Kota Bogor, dalam hal ini efisiensi
9
penerimaan dan persepsinya setelah diterapkannya program konversi minyak
tanah ke LPG.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bagi penulis maupun
pihak-pihak lain yang berkepentingan. Manfaat yang diharapkan tersebut antara
lain adalah :
1. Bagi pemerintah atau instansi pengambil keputusan terkait diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan baik dalam perencanaan
maupun dalam pengambilan keputusan terkait dengan kelanjutan program
konversi minyak tanah ke LPG.
2. Bagi pembaca diharapakan dapat menjadi sumber informasi dan masukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
3. Bagi penulis diharapkan dapat menjadi tempat untuk pengaplikasian ilmu pengetahuan sekaligus menambah pengalaman selama menuntut ilmu di
Institut Pertanian Bogor.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian untuk menganalisa dampak konversi minyak tanah ke LPG
terhadap struktur subsidi APBN sebelum adanya program konversi dibatasi pada
periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2006 dan setelah adanya program
konversi minyak tanah ke LPG yaitu periode tahun 2007 sampai dengan tahun
Untuk usaha mikro, studi kasus pada penelitian ini adalah Kota Bogor
pada periode tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 dimana tahun 2007 dijadikan
baseline karena dianggap sebagai titik dimulainya program konversi minyak tanah
ke LPG dan untuk responden dapat dipastikan masih memiliki ingatan yang baik
pada tahun tersebut.
Adapun usaha mikro disini dibatasi dengan pedagang mikro yaitu
pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor yang awalnya menggunakan bahan
II.TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai beberapa pustaka yang dijadikan
dasar teori dalam penelitian ini. Adapun pustaka tersebut adalah bahan bakar
minyak dan gas, dampak, konversi energi dalam hal ini minyak tanah ke LPG,
struktur subsidi APBN dan usaha mikro. Selain itu dalam bab ini juga akan
dijelaskan mengenai konsep efisiensi, dan beberapa penelitian terdahulu yang
menjadi referensi dalam penyusunan penelitian. Kemudian, di bagian terakhir
dalam bab ini akan dibahas tentang kerangka pemikiran penulis yang mendasari
dimulainya penelitian ini.
2.1. Bahan Bakar Minyak dan Gas
BBM (bahan bakar minyak) adalah jenis bahan bakar (fuel) yang dihasilkan dari pengilangan (refining) minyak mentah (crude oil). Merupakan minyak mentah dari perut bumi diolah dalam pengilangan (refinery) terlebih dahulu untuk menghasilkan produk-produk minyak (oil products), yang termasuk di dalamnya adalah BBM. Selain menghasilkan BBM, pengilangan minyak
mentah menghasilkan berbagai produk lain terdiri dari gas, hingga ke
produk-produk seperti naphta, light sulfur wax residue (LSWR) dan aspal.4
4
2.1.1 Minyak Tanah
Minyak tanah adalah bahan bakar minyak jenis distilat tidak berwarna
yang jernih. Pengguna minyak tanah pada umumnya untuk keperluan bahan bakar
di rumahtangga, tetapi pada beberapa industri juga memerlukan minyak tanah
untuk beberapa peralatan pembakarannya. Pertamina, sesudah kebijakan
pemerintah telah membatasi pemakaian minyak tanah untuk keperluan industri
(harga dengan izin khusus). Minyak tanah disebut jugakerosene.5
Minyak tanah atau kerosene merupakan bagian dari minyak mentah yang memiliki titik didih antara 150 °C dan 300 °C serta tidak berwarna. Minyak tanah
digunakan selama bertahun-tahun sebagai alat bantu penerangan, memasak,water heating, dan lain-lain yang umumnya merupakan pemakaian domestik (rumahan).6
2.1.2 LPG (Liquefied Petroleum Gas)
LPG (Liquefied Petroleum Gas), merupakan nonbahan bakar minyak yang merupakan gas minyak cair. Merupakan gas hidrokarbon yang dicairkan dengan
tekanan untuk memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya.
Gas minyak cair yang dipasarkan dengan nama elpiji ini, di Indonesia pada
dasarnya terdiri atas propana, butana atau campuran keduanya.7
5
Mayawati, Tuti dan Tri Hidayatno. 2008.Statistika Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 2003-2007. BPS, Jakarta. Hal. 62.
6
PERTAMINA. http://www.pertamina.com/index.php/detail/read/fuel-minyak-tanah. [ 01 Maret 2011 ]
7
13
LPG adalah produk gas yang dihasilkan dari penyulingan minyak bumi
atau juga produk gas yang dihasilkan dari kondensasi gas bumi di unit pengolahan
pabrik. LPG digunakan sebagai bahan bakar untuk rumahtangga dan industri.
LPG ini banyak digunakan terutama oleh masyarakat tingkat menengah yang
kebutuhannya semakin meningkat dari tahun ke tahun dan selain itu LPG juga
merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan. Aplikasinya pada kawasan
industri, produk LPG digunakan sebagai pengganti Freon, Aerosol, Refrigerant/ Cooling Agent, kosmetik dan juga digunakan sebagi bahan baku produk khusus. Adapun spesifikasinya, yaitu berdasarkan penggunaannya LPG dibedakan sebagai
berikut :8
a. LPG Mix, adalah campuran Propana dan Butana dengan komposisi antara 50
persen dan 50 persen dari volume serta ditambah bau (Mercaptant) dan umumnya digunakan untuk bahan bakar di rumah tangga.
b. LPG Propane dan LPG Butan, adalah LPG yang mengandung 95 persen
Propane dan Butan 97,5 persen dari volume masing-masing dan ditambah bau
(Mercaptant), umumnya digunakan untuk industri.
2.2. Dampak
Dampak dapat diartikan sebagai benturan, pengaruh kuat yang
mendatangkan akibat, baik akibat yang negatif maupun akibat yang positif.
Dampak negatif merupakan pengaruh kuat yg mendatangkan akibat yang negatif,
8
sedangkan dampak positif merupakan pengaruh kuat yang mendatangkan akibat
yang positif. Dampak ekonomis merupakan pengaruh suatu penyelenggaraan
kegiatan terhadap perekonomian.9
Sedangkan pengertian dampak secara umum, dalam hal ini adalah segala
sesuatu yang ditimbulkan akibat adanya sesuatu. Dampak itu sendiri juga bisa
berarti, konsekuensi sebelum dan sesudah adanya sesuatu.10
Dampak disini, penulis ingin menjelaskan mengenai dampak adanya
konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN dari tahun 2007
sampai tahun 2010 dan efisiensi usaha mikro.
2.3. Konversi Minyak Tanah ke LPG
Konversi energi adalah perubahan bentuk energi dari yang satu menjadi
bentuk energi lain. Dalam textbook buku fisika tentang hukum konversi energi mengatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan (dibuat) ataupun dimusnahkan
akan tetapi dapat berubah bentuk dari bentuk yang satu ke bentuk lainnya.11
Dalam hal konversi minyak tanah ke LPG menurut electroniclab, dapat dijelaskan sebagai bentuk pengalihan pemakaian bahan bakar minyak tanah ke
LPG yang dilakukan oleh Pemerintah, dalam upaya mengurangi kelangkaan
9
Anonim. 2011.Definisi Dampak. http://www.artikata.com/arti-324325-dampak.htm. [ 5 Mei 2011 ]
10
_______. 2008. Pengertian Dampak. http://mediabelajarkoe.worspress.com/2008/11/24/ dampak-implementasi-it-di-organisasi/ [ 5 Mei 2011 ]
11
_______. 2009. “Konversi Energi”. http://www.electroniclab.com/index.php?option =com_content&view=article&id=5:konversi-energi&catid=1:archive-alias&Itemid=3.
15
minyak tanah yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia yang diakibatkan
karena semakin melambungnya harga minyak dunia yang berdampak terhadap
harga minyak Indonesia. Hal ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan
terhadap minyak tanah.
Program konversi minyak tanah ke gas (LPG) ini, dicanangkan melalui
regulasi pemerintah dengan melakukan konversi penggunaan sekitar 5,2 kilo liter
minyak tanah kepada pengguna 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 yang dimulai
dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007.12
Berdasarkan surat Menteri ESDM Nomor 3249/26/MEM/2006 tentang
hasil rapat koordinasi terbatas yang dipimpin oleh Wakil Presiden mengenai
program konversi mitan ke elpiji yang menunjuk Pertamina sebagai pelaksana
program bagi konsumen rumah tangga (31 Agustus 2006).
2.4. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
didasarkan pada ketentuan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
telah diubah menjadi pasal 23 ayat (1), (2) dan (3) Amendemen UUD 1945 yang
berbunyi:
(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (2) Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan
12
_________. 2009. “Konversi Energi”. http://www.electroniclab.com/index.php?option =com_content&view=article&id=5:konversi-energi&catid=1:archive-alias&Itemid=3.
Perwakilan Rakyat dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.13
APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan ditetapkan dengan undang-undang
(menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 1 ayat 7).
APBN juga merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap
tahun dengan undang-undang. Semua penerimaan yang menjadi hak dan
pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam 1 tahun anggaran (1 Januari–
31 Desember) harus dimasukkan dalam APBN.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam APBN 2010,
merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam
rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan,
sekaligus sebagai penentu arah dan prioritas kebijakan pembangunan nasional.
Jadi, APBN berfungsi sebagai otoritas, perencanaan, pengawasan, alokasi,
distribusi, dan stabilisasi. Oleh karena itu, semua penerimaan yang menjadi hak
dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam satu tahun anggaran harus
dimasukkan dalam APBN.14
13
Ismawanto. 2009. Ekonomi 2: Untuk SMA dan MA Kelas XI, Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Hal. 27-29.
14
17
2.4.1 Struktur Subsidi APBN
Dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) dan Presiden Republik Indonesia, memutuskan dan
menetapkan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran (APBN) 2010 Pasal 1 ayat 16 dan 17 dalam Undang-undang ini,
yang dimaksud dengan subsidi:
(16) Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/ lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat. (17) Subsidi energi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan atau lembaga yang memproduksi dan/ atau menjual bahan bakar minyak (BBM), bahan bakar nabati (BBN), Liquefied Petroleum Gas (LPG), dan tenaga listrik sehingga harga jualnya terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan.15
Dalam hal dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur
subsidi APBN tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, dapat dilihat dari besarnya
subsidi BBM dalam anggaran belanja negara. Adanya kenaikan harga minyak
dunia yang berdampak terhadap harga minyak Indonesia menyebabkan terjadinya
kelangkaan minyak, sehingga pemerintah harus mengurangi subsidi BBM. Dalam
hal ini melalui bentuk konversi minyak tanah ke LPG terutama untuk LPG 3 kg
bagi seluruh masyarakat, baik bagi rumah tangga maupun pelaku usaha dalam hal
ini usaha mikro. Hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi besarnya
subsidi terhadap minyak dalam anggaran belanja negara.
15
2.5. Usaha Mikro
Kriteria kelompok usaha mikro adalah usaha produktif milik orang
perorangan dan/ atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria memiliki
kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan
tahunan paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).16
Usaha Mikro yaitu usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga
Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp.100.000.000,00
(seratus juta rupiah) per tahun, dan dapat mengajukan kredit kepada bank paling
banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).17
Adapun ciri-ciri usaha mikro:
1. Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat
berganti;
2. Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat;
3. Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan
tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha;
4. Sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha
yang memadai;
5. Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah;
16
Bank Indonesia. 2003. Usaha Mikro sebagaimana dimaksud menurut Keputusan menteri Keuangan No. 40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003. www.bi.go.id/biweb/utama/ peraturan/pib-5-18-03.pdf. [27 Oktober 2010]
17
19
6. Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka
sudah akses ke lembaga keuangan non bank;
7. Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya
termasuk NPWP.
Adapun contoh usaha mikro adalah sebagai berikut:
1. Usaha tani pemilik dan penggarap perorangan, peternak, nelayan dan
pembudidaya;
2. Industri makanan dan minuman, industri meubelair pengolahan kayu dan
rotan, industri pandai besi pembuat alat-alat;
3. Usaha perdagangan seperti kaki lima serta pedagang di pasar dan lain-lain;
4. Peternak ayam, itik dan perikanan;
5. Usaha jasa-jasa seperti perbengkelan, salon kecantikan, ojek dan penjahit
(konveksi).
Usaha mikro dalam hal ini merupakan studi kasus usaha mikro di Kota
Bogor, yaitu usaha pedagang bakso yang merupakan pedagang kaki lima di Kota
Bogor. Pedagang bakso kaki lima ini termasuk usaha mikro yang terkena dampak
dari adanya kebijakan pemerintah melalui konversi minyak tanah ke LPG, dimana
mereka harus menyesuaikan dalam penggunaan minyak tanah sebagai bahan
bakar kemudian beralih ke LPG.
2.5.1 Pedagang Mikro
Pedagang Mikro adalah suatu bentuk kegiatan ekonomi yang berskala
kecil yang banyak dilakukan oleh sebagian masyarakat lapisan bawah dengan
pendidikan formal yang tinggi, keterampilan rendah, pelanggannya banyak
berasal dari kelas bawah, sebagian pekerja adalah keluarga dan dikerjakan secara
padat karya serta penjualan eceran, dengan modal pinjaman dari bank formal
kurang dari dua puluh lima juta rupiah guna modal usahanya.18
2.5.2 Pedagang Kaki Lima
Pedagang kaki lima yang dapat disingkat PKL adalah penjual barang dan
atau jasa yang secara perorangan dan atau kelompok berusaha dalam kegiatan
ekonomi yang tergolong dalam skala usaha mikro atau kecil yang menggunakan
fasilitas umum dan bersifat sementara/tidak menetap dengan menggunakan
peralatan bergerak maupun tidak bergerak dan atau menggunakan sarana
berdagang yang mudah dipindahkan dan dibongkar pasang.19
PKL adalah termasuk usaha kecil yang berorientasi pada laba (profit)
layaknya sebuah kewirausahaan (entrepreneurship). PKL mempunyai cara tersendiri dalam mengelola usahanya agar mendapatkan keuntungan dan menjadi
manajer tunggal yang menangani usahanya mulai dari perencanaan usaha,
menggerakkan usaha sekaligus mengontrol atau mengendalikan usahanya,
padahal fungsi-fungsi manajemen tersebut jarang atau tidak pernah mereka
dapatkan dari pendidikan formal. Manajemen usahanya berdasarkan pada
pengalaman dan alur pikir mereka yang otomatis terbentuk sendiri berdasarkan
18
Deperindag dan Abdullah et. all: 1996 dalam Moh. Ridwan. 2006. Determinan Dari Kredit Rentenir Untuk Pedagang (Studi Kasus Pada Pedagang Mikro di Pasar Tradisional Gunungkidul, Yogyakarta) [skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.
19
21
arahan ilmu manajemen pengelolaan usaha, hal inilah yang disebut “learning by
experience” (belajar dari pengalaman). Kemampuan manajerial memang sangat
diperlukan PKL guna meningkatkan kinerja usaha mereka, selain itu motivasi juga
sangat diperlukan guna memacu keinginan para PKL untuk mengembangkan
usahanya.20
2.6. Teori Efisiensi
2.6.1 Efisiensi dalam Ekonomi
Efisiensi ekonomi mempersyaratkan penghindaran pemborosan sumber
daya, hal ini guna memastikan pemanfaatan sepenuhnya semua sumber daya.
Sumber ketidakefisienan mengisyaratkan kondisi penting yang harus dipenuhi
agar efisiensi ekonomi tercapai. Kondisi ini dikelompokkan menjadi efisiensi produksi dan efisiensi alokasi. Efisiensi produksi mempersyaratkan bahwa tiap-tiap perusahaan memproduksi keluarannya dengan mengkombinasikan
faktor-faktor produksi sedemikian hingga rasio hasil marjinal dari setiap pasang faktor-faktor
dibuat sama dengan rasio harga mereka. Sedangkan efisiensi alokasi dimana
alokasi sumber daya ekonomi dikatakan efisien bila, untuk setiap barang yang
diproduksi, biaya marginal produksinya sama dengan harganya. Hal ini telah
ditelaah oleh ahli pakar ekonomi Italia Vilfredo Pareto (1848-1923). Karenanya,
20
Mulyanto (2007) dalam Santoso, S. 2008. “Konsep Sektor Informal: Pedagang Kaki Lima”.
efisiensi dalam penggunaan sumber daya sering kali dinamai optimalisasi pareto
atau efisiensi pareto untuk menghormatinya.21
Gambar 2.1. Efisiensi Produksi dan Alokasi.
Kurva pada Gambar 2.1. ini memperlihatkan semua kombinasi dua barang
X dan Y yang dapat diproduksi bilamana sumber daya ekonomi dimanfaatkan
sepenuhnya dan digunakan dengan efisiensi produksi. Sembarang titik pada kurva
kemungkinan produksi adalah efisien dari segi produksi, tidak semua titik pada
kurva ini efisien dari segi alokasi.
Sembarang titik dalam kurva, seperti a, tidak efisien dari segi produksi.
Jika ketidak-efisienan terjadi dalam industri x, produksi dapat direalokasikan
diantara perusahaan-perusahaan dalam industri tersebut sedemikian hingga
menaikkan produksi X dari X1ke X2. Ini akan memindahkan ekonommi dari titik
a ke titik c, meningkatkan produksi X tanpa mengurangi produksi Y. Demikian
pula, jika ketidak-efisienan terjadi di industri Y, produksi Y dapat ditingkatkan
21
Lipsey et all, 1997.Pengantar Mikroekonomi Edisi Kesepuluh Jilid Dua. Binarupa Aksara. Jakarta. Bab 15 Kebijakan Publik Terhadap Monopoli dan Persaingan Sub Bab Efisiensi Ekonomi, hal. 96-99.
b
d
c a
X1 X2
Y2
Y1
23
dari Y1ke Y2, yang akan memindahkan ekonomi dari titik a ke titik b. Jika kedua
industri tidak efisien dari segi alokasi, produksi dapat ditingkatkan untuk
membawa ekonomi ke titik tertentu pada kurva diantara b dan c, dan dengan
demikian meningkatkan produksi kedua komoditas tersebut.
Efisiensi alokasi menyangkut penetapan titik paling efisien pada kurva
kemungkinan produksi. Menetapkan efisiensi alokasi berarti menilai berbagai titik
pada kurva, seperti b, c, dan d. Biasanya hanya satu titik seperti itu yang efisien
dari segi alokasi, sedangkan titik-titik lainnya akan tidak efisien.
Ada beberapa cara untuk mengukur dan atau membandingkan tingkat
efisiensi antar kelompok perusahaan dalam suatu proses produksi (Saragih, 1980),
yaitu :22
1. Efisiensi teknis; dua perusahaan mempunyai efisiensi teknis yang berbeda jika pada tingkat penggunaan input yang sama tingkat output yang dihasiilkan
berbeda.
2. Efisiensi harga; dua perusahaan mempunyai efisiensi harga berbeda bila masing-masing perusahaan mempunyai kesanggupan yang berbeda dalam hal
menyamakan nilai produksi marginal suatu input tidak tetap dengan harga
input tidak tetap bersangkutan.
3. Efisiensi ekonomi; dua perusahaan mempunyai efisiensi ekonomi yang berbeda walupun keduanya beroperasi pada kondisi pasar input maupun pasar
22
output yang sama tetapi mungkin masing-masing mendapat perlakuan harga
yang berbeda, atau dapat dikatakan bahwa efisiensi ekonomi merupakan
gabungan antara efisiensi teknis dan efisiensi harga.
Alokasi yang Efisien Pareto (Pareto Efficient Alocation) menurut
Nicholson (1999), alokasi sumber daya bersifat efisien pareto jika tidak mungkin
lagi (melalui alokasi ulang) bagi seseorang untuk berada dalam kondisi yang lebih
baik tanpa membuat seseorang lainnya menjadi lebih buruk. Kondisi ini
dikelompokkan menjadiefisiensi dalam produksidanefisiensi dalam pertukaran. Namun dalam hal ini saya hanya akan menjelaskan efisiensi dalam produksi.
2.6.1.1 Efisiensi dalam Produksi
Alokasi sumber daya adalah efisien dalam produksi (atau efisiensi teknis)
jika tidak ada lagi alokasi ulang lebih lanjut yang akan memungkinkan
peningkatan produksi salah satu barang tanpa menurunkan produksi barang
lainnya.23
Pada diagram di bawah ini, menggambarkan kurva produksi sama untuk X
dan Y (Gambar 2.2.) Jadi diagram ini memperlihatkan cara-cara yang efisien
secara teknis untuk mengalokasikan jumlah K dan L yang tetap di antara produksi
dua keluaran. Garis yang menghubungkan Ox dan Oy adalah tempat kedudukan
titik-titik yang efisien ini. Di sepanjang garis ini, RTS (dari L terhadap K) dalam
produksi barang X adalah sama terhadap RTS dalam produksi Y.
23
25
Qy
Q
Total K
Qx Total L
Gambar 2.2. Diagram Kotak Edgeworth untuk Efisiensi dalam Produksi Perimbangan di antara keluaran diperlukan berdasarkan pergerakan di
sepanjang batas kemungkinan produksi yang mencerminkan sifat efisien secara
teknis dari semua alokasi di batas kemungkinan produksi itu. Efisiensi teknis
adalah prasyarat yang jelas untuk efisiensi Pareto secara keseluruhan. Peningkatan
keluaran ini dapat diberikan kepada seseorang membuatnya berada dalam posisi
yang lebih baik (dan tidak seorang pun menjadi lebih buruk). Jadi, inefisiensi
dalam produksi juga inefisiensi pareto. Tetapi, seperti yang akan kita lihat dalam
bagian berikutnya, efisiensi teknis tidak menjamin efisiensi pareto. Sebuah
perekonomian dapat efisiensi dalam memproduksi barang yang salah.
2.6.2 Asas-asas Efisiensi
Penataan terhadap tatausaha dan pelaksanaan bidang kerja harus selalu
berkiblat pada efisiensi. Efisiensi ini sendiri perlu sekali dijadikan satu-satunya
dasar pemikiran, ukuran baku, dan tujuan pokok bagi semua pelaksanaan kerja
ketatausahaan. Efisiensi adalah suatu asas dasar tentang perbandingan terbaik Y1
Y2 P4
Y3 P3 X3 X4
P2
Y4 P1
X1 A
antara suatu usaha dengan hasilnya. Perbandingan ini dapat dilihat dari 2 segi
yaitu :24
1. Segi Usaha: suatu kegiatan dapat dikatakan efisien jika sesuatu hasil tertentu
tercapai dengan usaha yang sekecil-kecilnya. Pengertian usaha
dapat dikembalikan pada 5 unsur yang dapat juga disebut
sumber-sumber kerja, yakni:
a. Pikiran (untuk mencapai cara yang termudah)
b. Tenaga (untuk mencapai cara yang teringan)
c. Waktu (untuk mencapai cara yang tercepat)
d. Ruang (untuk mencapai cara yang terdekat)
e. Benda, termasuk uang (untuk mencapai cara yang termurah).
Gambar 2.3. Efisiensi dari Segi Usaha
24
The Liang Gie, PhD. 1995. Administrasi Perkantoran Modern Edisi Keempat (dengan tambahan). Liberty Yogyakarta. Bab 10 Efisiensi Perkantoran, hlm. 171-172.
A
B
c
Hasil tertentu
27
Dari Gambar 2.3. diatas, dapat dilihat bahwa usaha huruf C adalah efisien
karena memberikan perbandingan yang terbaik dilihat dari sudut usaha, yaitu
paling sedikit mengeluarkan lima sumber kerja untuk mencapai hasil tertentu yang
diharapkan.
2. Segi Hasil: suatu kegiatan dapat disebut efisien jika dengan sesuatu usaha
tertentu memberikan hasil yang sebanyak-banyaknya, baik yang
mengenai mutunya ataupun jumlah satuan hasil itu.
Gambar 2.4. Efisiensi dari Segi Hasil
Dari Gambar 2.4. diatas, dapat dilihat bahwa hasil huruf C adalah yang
efisien karena menunjukkan perbandingan yang terbaik ditinjau dari sudut hasil,
yaitu memberikan hasil yang paling besar mengenai jumlah atau mutunya.
Efisiensi pada usaha mikro dalam hal ini pedagang bakso kaki lima, erat
kaitannya dengan penggunaan input produksi seperti bahan bakar untuk
menghasilkan suatu output tertentu yaitu bakso. Efisiensi disini lebih kepada
efisiensi teknis, dimana dampak adanya konversi minyak tanah ke LPG, yaitu C
B A
Usaha tertentu
Hasil biasa
Hasil lebih besar
input bahan bakar minyak tanah dialokasikan kepada input bahan bakar LPG.
Selain itu, efisiensi disini juga meliputi efisiensi dari segi usaha yang berupa
pengematan terhadap benda termasuk uang (untuk mencapai cara yang termurah),
tenaga (untuk mencapai cara yang teringan), waktu (untuk mencapai cara yang
tercepat) dan pikiran (untuk mencapai cara yang termudah). Hal ini tentunya akan
berdampak pada produksi pedagang bakso kaki lima, juga akan berdampak
tehadap pengeluarannya untuk membeli bahan bakar tersebut serta penerimaan
pedagang bakso kaki lima.
2.7. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian terdahulu terdapat beberapa penelitian yang dapat
dikategorikan berdasarkan metode yang digunakan, serta berdasarkan penelitian
yang sejenis. Penelitian terdahulu tersebut adalah penelitian mengenai perubahan
penggunaan energi dari minyak tanah ke gas, kenaikkan dan subsidi BBM serta
pola efisiensi industri kecil. Sedangkan perbedaan dari penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya, bahwa pada penelitian yang berjudul dampak konversi
minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010) dan efisiensi
usaha mikro (studi kasus Kota Bogor) dengan menggunakan analisis deskriptif,
belum pernah dilakukan. Penelitian ini akan menjelaskan adanya konversi minyak
tanah ke LPG dampaknya terhadap struktur subsidi dalam APBN dan dampaknya
terhadap efisiensi usaha mikro dimana studi kasus yang diambil adalah pedagang
29
a. Penelitian terdahulu tentang Perubahan Penggunaan Energi dari Minyak Tanah ke LPG.
Penelitian tentang perubahan penggunaan energi dari minyak tanah ke
LPG, mengenai “Pola Pengeluaran, Persepsi, dan Kepuasan Keluarga terhadap
Perubahan Penggunaan Energi dari Minyak Tanah ke LPG”. Penelitian ini
dilakukan di dua Desa yaitu Desa Cikarang Kabupaten Bogor dan Desa Setu
Gede Kotamadya Bogor pada Oktober 2008. Metode yang digunakan pada
penelitian ini adalah metode survei, dengan mengambil total contoh penelitian
yaitu sebanyak 30 rumah tangga, dengan masing-masing contoh penelitian setiap
desa adalah 15 rumah tangga.
Hasil penelitiannya menunjukkan, rata-rata pengeluaran rumah tangga per
bulan untuk pembelian bahan bakar setelah program konversi BBM dilaksanakan
mengalami penurunan. Sebelum program konversi dilaksanakan rata-rata
pengeluaran untuk membeli bahan bakar dari Rp 96.500,00 per bulan, dan setelah
program konversi menjadi Rp 58.800,00 per bulan atau terjadi penghematan
pengeluaran rumah tangga sebesar Rp 37.700,00 per bulan. Sebagian besar
responden menyetujui program konversi yang dapat membantu mengurangi
pengeluaran rumah tangga, penggunaan LPG lebih menguntungkan dibandingkan
minyak tanah, menerima LPG sebagai pengganti minyak tanah, dan tidak ada
unsur keterpaksaan dalam menjalankan program konversi ini. Dilihat dari tingkat
kepuasan, responden lebih merasa puas dengan keamanan menggunakan minyak
tanah dan kebutuhan biaya untuk membeli bahan bakar. Meskipun, masih terdapat
penggunaan LPG juga dirasakan lebih efisien dari segi waktu, lebih bersih, dan
lebih praktis dibandingkan dengan menggunakan minyak tanah.25
b. Penelitian terdahulu tentang Dampak Kenaikan BBM.
Studi mengenai“Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Pendapatan dan
Pengeluaran Rumah Tangga di Kota Bogor (Studi Kasus Rumah Tangga Pengojek
Pengguna Kredit Motor)”. Penelitian ini menganalisis pengaruh kenaikan harga
BBM terhadap pendapatan dan pengeluaran konsumsi rumah tangga pengojek,
serta pengaruhnya terhadap daya bayar cicilan kredit motor. Penelitian tersebut
menggunakan data primer, selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan uraian.
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan dijabarkan dalam pendeskripsian.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa adanya kenaikan harga BBM berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap pendapatan rumah tangga pengojek motor.
Sementara itu, kenaikan harga BBM berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pengeluaran konsumsi rumah tangga pengojek.26
c. Penelitian Terdahulu tentang Subsidi BBM
Studi mengenai “Apakah persoalannya pada subsidi BBM? Tinjauan
terhadap masalah subsidi BBM, ketergantungan pada minyak bumi, manajemen
energi nasional, dan pembangunan infrastruktur energi”, menguraikan tentang
25
Simanjuntaki, M., R.A.B. Kusumo, dan M. Nasarullah. 2009. “Pola Pengeluaran,Persepsi, dan
kepuasan Keluarga Terhadap Perubahan Penggunaan Energi dari Minyak tanah ke LPG”.Jurnal Ilmu keluarga dan Konsumen, Volume 2 Nomor 2 ISSN : 1907 – 6037. Fakultas Ekologi Manusia IPB. Bogor. [28 Oktober 2010]
26
31
pengertian dasar, praktek, dan kritik mengenai subsidi BBM yang diterapkan di
Tanah Air. Dikemukakan perkembangan perdagangan minyak bumi yang
dilakukan Indonesia. Lebih jauh, melihat bahwa masalah subsidi BBM sangat erat
kaitannya dengan ketergantungan Indonesia yang sangat besar terhadap BBM
dalam konsumsi energi nasionalnya, suatu hal yang tidak sehat karena negeri ini
memiliki berbagai macam sumber energi yang lain. Dikemukakan langkah keluar
dari perangkap subsidi BBM, bahwa sebagian masalah subsidi BBM dapat diatasi
melalui pengembangan manajemen energi nasional, yang menekankan efisiensi
konsumsi BBM dan pengembangan diversifikasi sumber energi. Upaya
diversifikasi energi dipertegas melalui rencana pembangunan infrastruktur
energi.27
Kemudian studi mengenai “Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Iklim
Usaha (Studi Kasus Pemotongan Subsidi BBM)”, menguraikan tentang kenaikan
harga BBM sebesar 28,7 persen diprediksikan akan berdampak pada peningkatan
nilai produksi usaha mikro 8,4 persen, usaha kecil 7,1 persen dan usaha menengah
15 persen. Tetapi kenaikan harga BBM tersebut berakibat pada kenaikan biaya
produksi UMKM, biaya produksi usaha mikro 34 persen, usaha kecil 24,6 persen
dan usaha menengah 129,6 persen. Akibatnya usaha mikro menderita kerugian
20,56 persen, usaha kecil 21,8 persen dan usaha menengah 12,2 persen. Kenaikan
harga BBM juga telah menyebabkan menurunnya penyerapan tenaga kerja oleh
27
Nugroho, Hanan. 2005. “Apakah Persoalannya pada Subsidi BBM? Tinjauan terhadap Masalah Subsidi BBM, Ketergantungan pada Minyak Bumi, Manajemen Energi Nasional, dan
usaha mikro sebesar 1,5 persen, usaha kecil 3,2 persen dan usaha menengah 2,5
persen. Untuk mengantisipasi menurunnya kualitas dan kuantitas keberhasilan
program pemberdayaan UKM, idealnya memang perlu dipikirkan solusi
penggunaan dana hasil pemotongan subsidi BBM, untuk mendukung
program-program perkuatan UMKM dan Koperasi. Beberapa langkah kebijakan
pemerintah seperti BLT, Raskin dan Askeskin tidak akan berperan dalam
mengatasi masalah yang dihadapi UMKM sedangkan efektifitas Program KUR,
dan PNPM-Mandiri masih perlu dikaji lebih lanjut. Oleh karena sekarang ini
belum ada program-program yang dapat menjamin peningkatan upaya
pemberdayaan khususnya untuk dapat mengatasi dampak kenaikan harga BBM
maka diperlukan adanya solusi dalam bentuk konsep kebijakan pemerintah. Salah
satu solusi tersebut dengan mengembangkan program perkuatan UMKM dalam
banyak hal dapat mengindikasikan kemampuannya untuk meningkatkan
keberhasilan usaha dan pendapatan UMKM.28
d. Penelitian Terdahulu tentang Efisiensi
Studi mengenai efisiensi industri kecil, data yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan data sekunder baik dari media cetak maupun media
elektronik. Hasil penelitian diperoleh bahwa untuk tetap bertahan, industri kecil
pengolahan pangan melakukan efisiensi meliputi penyesuaian terhadap input,
proses produksi, output dan manajemen. Efisiensi dari sisi input, industri kecil
28
33
melakukan perluasan lokasi sumber bahan baku dan pembelian bahan baku secara
kelompok, dari sisi proses produksi industri kecil pangan melakukan perubahan
pada proses sehingga meningkatkan keawetan pangan maupun rasa yang lebih
menarik konsumen, dari sisi output industri kecil melakukan difersifikasi produk
secara kelompok, memilih bahan kemasan yang lebih menarik, dan dari sisi
manajemen industri melakukan sistem pengupahan berdasarkan prestasi kerja,
penataan tata letak atau lay-out side plan, dan pengelolaan mutu secara keseluruhan.29
2.8. Kerangka Pemikiran
Alur pemikiran konseptual dalam penelitian ini berawal dari kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada 1 Oktober 2005 yang disebabkan oleh
tingginya harga minyak dunia (West Texas Intermediate Spot Average) yaitu rata-rata sebesar USD 53,4 per barel yang kemudian meningkat menjadi USD 64,3 per
barel dan USD 72,3 per barel pada tahun 2006 dan 2007.
Kenaikan harga minyak dunia yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia ini,
memaksa Pemerintah untuk mengambil keputusan yang amat berat dengan
menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selama dua kali pada tahun 2005.
Hal ini menyebabkan semakin mahalnya biaya yang ditanggung masyarakat untuk
membeli BBM. Selain itu, kenaikkan harga minyak mentah Internasional ini
29
Siahaan, UB. H. dan Sunaridjan. 1999. “Pola Efisiensi Industri Kecil”. Pusat Analisa
memberikan dampak semakin besarnya beban subsidi yang harus ditanggung oleh
pemerintah. Sehingga terjadinya defisit anggaran pemerintah untuk mensubsidi
BBM. Meningkatnya beban subsidi BBM akan membawa akibat terhadap
pengurangan anggaran belanja pemerintah terhadap struktur subsidi dalam APBN.
Untuk mengurangi beban anggaran subsidi BBM dalam APBN,
pemerintah melakukan salah satu upaya melalui program konversi minyak tanah
ke LPG, yang dimulai dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2012. Melalui
program konversi minyak tanah ke LPG khususnya LPG 3 kg, akan dilihat
bagaimana pengaruhnya terhadap kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG 3
kg (2005-2010) serta pengaruhnya terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010)
dan pengaruhnya terhadap efisiensi usaha bagi usaha mikro khususnya pedagang
bakso kaki lima di Kota Bogor. Hal ini akan dijelaskan dengan menggunakan
analisis deskriptif. Dampaknya pada efisiensi usaha mikro dilihat dari sisi efisiensi
produksi atau efisiensi teknis dan efisiensi atau hemat dari sisi biaya, waktu serta
tenaga pada pedagang bakso kaki lima, yang kemudian berpengaruh terhadap
pengeluaran serta penerimaannya, dan persepsi dari pedagang bakso atas program
konversi tersebut. Sehingga nantinya diharapkan dapat memberikan saran serta
rekomendasi agar program konversi ini dapat memberikan dampak positif bagi
para pelaku usaha khususnya usaha mikro dan bagi pemerintah untuk mengambil
kebijakan. Kerangka pemikiran aliran dampak konversi minyak tanah ke LPG
terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010) dan efisiensi usaha mikro (studi
35
Gamabar 2.5. Kerangka Pemikiran Harga minyak dunia semakin
tinggi.
Harga minyak Indonesia tinggi.
Program konversi minyak tanah ke LPG
(2007-2012)
Efisiensi usaha mikro (pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor) Struktur subsidi
APBN (2007-2010)
Defisit Anggaran
Pengurangan subsidi BBM
Analisis deskriptif
Saran dan rekomendasi
Analisis efisiensi teknis, efisiensi (hemat) biaya, waktu dan tenaga pedagang
bakso kaki lima
Perubahan pengeluaran dan penerimaan pedagang bakso
Persepsi pedagang bakso Kondisi penggunaan
2.9. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini berupa dugaan mengenai
dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN
(2007-2010) dan pola efisiensi usaha mikro (studi kasus Kota Bogor) adalah sebagai
berikut:
1. Melalui program konversi minyak tanah ke LPG ini diharapkan dapat
mengurangi defisit anggaran APBN.
2. Melalui program konversi minyak tanah ke LPG ini diharapkan dapat
mengurangi besarnya subsidi BBM dalam APBN.
3. Para pelaku usaha mikro diharapkan dapat memperoleh keuntungan dengan
adanya program konversi minyak tanah ke LPG.
4. Usaha mikro khususnya pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor, diharapkan
melalui program konversi minyak tanah ke LPG ini dapat melakukan efisiensi
III. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai metodologi penelitian yang
digunakan dalam menganalisa dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap
struktur subsidi APBN tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 dan efisiensi usaha
mikro di Kota Bogor. Bab ini diawali dengan pembahasan mengenai lokasi dan
waktu penelitian, jenis dan sumber data, kerangka sampel, kemudian diikuti
dengan penjelasan mengenai metode analisis dan pengolahan data yang
digunakan.
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian untuk usaha mikro khususnya pedagang mikro yaitu pedagang
bakso kaki lima dilaksanakan di Kota Bogor. Kegiatan penelitian dilaksanakan
selama bulan Maret sampai dengan bulan April 2011. Waktu tersebut digunakan
untuk pengambilan informasi dan data dari pedagang bakso kaki lima di Kota
Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (Purposive) dengan mempertimbangkan bahwa pedagang bakso kaki lima banyak berjualan di lokasi
tersebut dan awalnya mereka menggunakan bahan bakar minyak tanah kemudian
beralih ke gas (LPG 3 kg).
3.2 Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan meliputi data primer dan data
langsung menggunakan kuesioner dengan pelaku usaha mikro khususnya
pedagang mikro di Kota Bogor yaitu pedagang bakso kaki lima. Dimana
pedagang bakso disini awalnya menggunakan bahan bakar minyak tanah
kemudian beralih ke LPG 3 kg.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari pihak-pihak yang terkait antara
lain: berasal dari BPS, Kementerian Keuangan, Dinas Koperasi dan UMKM Kota
Bogor, Ditjen Migas dan ESDM (Energi dan Sumberdaya Mineral),
PERTAMINA, dan data-data penunjang laporan hasil penelitian terkait, jurnal,
buletin, internet, serta sumber-sumber lainnya yang relevan.
3.3 Kerangka Sampel
Penelitian untuk dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap usaha
mikro, dengan melakukan pengambilan sampel pada usaha mikro di Kota Bogor
dengan ruang lingkup pedagang mikro yaitu pedagang bakso kaki lima yang
berlokasi di enam Kecamatan di Kota Bogor. Pedagang kaki lima (PKL) ini yang
berlokasi:
Kecamatan Bogor Tengah : diwakili oleh Jl. Dewi Sartika, Jl. Kapten Muslihat
dan Jl. Merdeka.
Kecamatan Bogor Selatan : diwakili oleh Jl. Surya Kencana dan Jl. Cikaret.
Kecamatan Bogor Barat : diwakili oleh Jl. Semeru dan Jl. Sawojajar.
Kecamatan Bogor Timur : diwakili oleh Jl. Siliwangi, Jl. Malabar dan Jl.
39
Kecamatan Bogor Utara : diwakili oleh Jl. Raya Kedung Halang dan Jl. Villa
Bogor Indah.
Kecamatan Tanah Sareal : diwakili oleh Kebon Pedes dan Jl. Cimanggu
Permai.
Lokasi tersebut dipilih sebagai PKL sampel untuk usaha mikro karena
sebagian besar PKL yang berlokasi di jalan tersebut terdapat PKL dalam jumlah
yang banyak. Penarikan sampel dilakukan kepada 30 pedagang bakso kaki lima
pada beberapa lokasi yang mewakili keenam kecamatan di Kota Bogor tersebut
untuk memenuhi syarat sebaran normal.
Pemilihan sampel pedagang bakso kaki lima dilakukan dengan metode
Purposive Sampling atau yang disebut juga judgemented sampling, yaitu penarikan sampel berdasarkan pertimbangan objektif dan kriteria tertentu dari
penelitian.30Sampel pedagang bakso kaki lima yang dipilih dengan kriteria adalah
pedagang-pedagang yang minimal berdagang sejak tahun 2006 dan sebelumnya
menggunakan bahan bakar minyak tanah kemudian beralih ke bahan bakar LPG 3
kg. Hal ini dilakukan mengingat tujuan penelitian adalah untuk menganalisis
dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap efisiensi usaha mikro.
3.4 Metode Analisis dan Pengolahan Data
Analisis data dilakukan setelah data berhasil dikumpulkan dari kegiatan
penelitian. Data tersebut selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan uraian.
30
Sebagian data didapat melalui kuesioner dan wawancara terstruktur dengan
pedagang sampel, pengamatan langsung di wilayah sampel dan pendukung
lainnya. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif. Data kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunakMicrosoft Excel 2007.
3.4.1 Analisis Kondisi Penggunaan Minyak Tanah dan LPG di Indonesia dari Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2010
Analisis diawali dengan menjelaskan kondisi produksi minyak tanah dan
LPG serta kondisi masyarakat Indonesia dalam penggunaan minyak tanah yang
kemudian beralih ke LPG. Dimana dibatasi oleh peneliti, produksi dan
penggunaan minyak tanah serta LPG pada masyarakat yaitu dimulai dari tahun
2005 sampai dengan tahun 2010 yaitu sebelum dan sesudah program konversi
minyak tanah ke LPG berlangsung. Untuk melihat adanya perubahan pada
produksi dan konsumsi atau penggunaan minyak tanah serta LPG ini akan
dijelaskan dengan tabel dan dijabarkan dalam pendeskripsian.
3.4.2 Analisis Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Struktur Subsidi APBN
Dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN
akan dijelaskan melalui tabel Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang berasal dari Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dalam hal ini subsidi energi
yaitu subsidi BBM/ LPG dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010.
Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan struktur subsidi
APBN sebelum dan sesudah adanya program konversi minyak tanah ke LPG.