ARIFIN DERAJAT SURYANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
Laporan Tugas Akhir yang berjudul :
PENGEMBANGAN SISTEM PENGUKURAN KINERJA PROGRAM KEMITRAAN di PKBL PT. SUCOFINDO JAKARTA merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan dari komisi
pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tugas akhir ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan
tinggi lainnya.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan ini.
Bogor, Februari 2013
ARIFIN DERAJAT SURYANA. Development of the System of Performance Measurement partnership program in PCDP PT. Sucofindo, Jakarta. Supervised by SAPTA RAHARJA as chairman and H. AMIRUDDIN SALEH as member.
The partnership program is a part of the activity in the Partnership and Community Development Program (PCDP) as a form of responsibility by revolving funds and part of its profits. Up to now, revolving fund of the partnerships program has reached IDR 18.17 trillion and is growing every year, So is need of good management and accurate performance measurement. Until now, the partnership program performance was measured by indicators of the effectiveness of distribution and level of collectibility loan repayment. There Indicators are still not able to describe the overall performance of the partnerships program, which may cause the dysfunction of organization, which may be detrimental to all. Therefore, a research was done to develop a performance measurement system partnerships program. Development was started by identifying stakeholders’ expectations, then analyzing the methods of ranking, classification, Logical Framework Analysis (LFA), suitability analysis, Analytical Hierarchy Process (AHP), Focus Group Discussion (FGD), and Objective Matrix (OMAX). Analysis has produced eight new indicators with the a weight and the maximum and minimum values which are made equal to a score of zero to 10. The hope was done by survey for stakeholder communities and small businesses with a sample of 30 respondents for each group stakeholder, while for stakeholders’ employees, management, and state ministries was done by census. Respondents selected purposively. The total value from the assessment are classified as follows: 0-200 very poor performance, 201-400 poor performance, 401-600 moderate performance, 601-800 good performance, and 801-1000 excellent performance. The new system of performance measurement was applied to assess the implementation of PCDP PT. Sucofindo Jakarta, which give the total value 639.9, as mentioned as good performance.
Program Kemitraan di PKBL PT. Sucofindo Jakarta. Di bawah bimbingan SAPTA
RAHARJA sebagai ketua dan H. AMIRUDDIN SALEH sebagai anggota.
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) merupakan program pembinaan usaha kecil dan pemberdayaan kondisi lingkungan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai wujud kepedulian BUMN kepada masyarakat khususnya untuk usaha kecil melalui pemanfaatan dana dari sebagian labanya. Terdapat dua jenis program dalam PKBL yaitu Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh, mandiri dan membentuk calon mitra binaan baru serta pemberdayaan kondisi sosial masyarakat.
Sampai dengan saat ini dana bergulir program kemitraan PKBL seluruh BUMN telah mencapai Rp. 18,17 trilliun dan bertambah setiap tahunnya. Jumlah dana yang tidak kecil tersebut menuntut pengelolaan yang baik sehingga dapat mencapai apa yang diharapkan dengan efisien dan efektif. Salah satu cara untuk melihat apakah dana tersebut telah dikelola dengan baik adalah menilai kinerja dari PKBL pada BUMN tersebut.
Saat ini kinerja program kemitraan PKBL hanya diukur berdasarkan indikator efektivitas penyaluran dan tingkat kolektibilitas pengembalian pinjaman. Indikator tersebut dirasa belum dapat menggambarkan kinerja PKBL secara keseluruhan. Pengukuran kinerja yang tidak tepat sasaran akan menyebabkan disfungsi organisasi. Disfungsi organisasi akan merugikan semua pihak yang terkait dengan organisasi tersebut.
Dari uraian di atas maka dilakukan penelitian untuk mengembangkan sistem pengukuran kinerja program kemitraan PKBL BUMN. Hal ini karena program kemitraan memiliki dampak yang lebih luas dan berisiko tinggi dibanding dengan bina lingkungan. Pengembangan dimulai dari melakukan identifikasi sistem pengukuran kinerja PKBL BUMN saat ini, mengembang-kannya dan kemudian diimplementasikan pada PKBL PT. Sucofindo Jakarta.
Identifikasi sistem pengukuran kinerja PKBL dilakukan dengan menelaah dokumen dan wawancara mendalam dengan manajemen PKBL PT. Sucofindo. Identifikasi menghasilkan bahwa sistem pengukuran kinerja PKBL BUMN
mengacu pada Keputusan Menteri BUMN nomor Kep-100/MBU/2002 tentang
Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara. Dalam keputusan menteri tersebut kinerja PKBL BUMN dinilai dari efektivitas penyaluran dan tingkat kolektibilitas pengembalian pinjaman.
dengan aspek yang sesuai. Harapan stakeholder yang didapat, kenudian dianalisis dengan Logical Framework Analysis (LFA) sehingga diperoleh 16 indikator sebagai alat ukur untuk pemenuhan harapan stakeholder tersebut. Indikator yang didapat dianalisis kesesuaiannya dengan persyaratan indikator yaitu specific, measurable, achievable, realistic, timely, continuously improve,
relevan, prioritas, dan layak. Seluruh indikator memenuhi persyaratan di atas. Selanjutnya dilakukan pemilihan Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan sekaligus dilakukan pembobotan terhadap indikator tersebut. Didapat 10 IKU yaitu peningkatan parameter skala usaha mitra binaan (bobot 22), tingkat kepuasan pelanggan (bobot 17), kegiatan sosialisasi (bobot 13), efektivitas penyaluran (bobot 12), tingkat kolektibilitas (bobot 9), System Operating Procedure (SOP) kegiatan (bobot 8), laporan kegiatan dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) (bobot 6), kampanye anti Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) (bobot 5), aturan yang jelas untuk penyimpangan KKN (bobot 4), dan tingkat kepuasan karyawan (bobot 4). Untuk indikator peningkatan parameter skala usaha terdiri dari tiga parameter yaitu aset (bobot 7,3), omzet (bobot 7,3), dan laba (bobot 7,4). Di samping itu ditentukan pula dokumen sumber verifikasi sebagai bukti pelaksanaan kegiatan. Kesepuluh indikator dengan bobotnya masing-masing diberi skor 0 sampai 10 dengan metode Objective Matrix (OMAX). Dilakukan Focus Group Discussion (FGD) untuk menentukan nilai tiap indikator dalam skor pada OMAX. Hasil akhir nilai kinerja diklasifikasikan sebagai berikut: nilai 0 - 200 kinerja sangat buruk, 201 – 400 kinerja buruk, 401 – 600 kinerja sedang, 601 – 800 kinerja baik, dan 801 – 1000 kinerja sangat baik.
© Hak Cipta IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB
ARIFIN DERAJAT SURYANA
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada
Program Studi Industri Kecil Menengah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama Mahasiswa
:
Arifin Derajat SuryanaNomor Pokok
:
P054110025Program Studi
:
Industri Kecil MenengahDisetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Sapta Raharja, DEA Dr.Ir.H. Amiruddin Saleh, MS Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Industri Kecil Menengah
Prof.Dr.Ir.H. Musa Hubies, MS,Dipl.Ing, DEA Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Segala puji dipanjatkan bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang karena
atas berkat dan rahmat-Nya tugas akhir ini dapat diselesaikan. Tugas akhir yang
berjudul Pengembangan Sistem Pengukuran Kinerja Program Kemitraan di PKBL PT.
Sucofindo Jakarta, ini merupakan salah satu syarat untuk penyelesaian studi pada
Program Studi Magister Profesional Industri Kecil Menengah, Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih disampaikan atas bantuan yang diberikan oleh berbagai
pihak sehingga tugas akhir ini bisa diselesaikan. Untuk itu, disampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr.Ir. Sapta Raharja, DEA selaku pembimbing utama yang telah memberikan
arahan, bimbingan dan dorongan selama kegiatan kajian dan penulisan tugas akhir
ini.
2. Dr.Ir. H. Amiruddin Saleh, MS selaku pembimbing anggota yang juga telah
memberikan pengarahan dan bimbingannya.
3. Seluruh dosen pengajar PS MPI IPB yang telah memberikan dukungan kepada
mahasiswa agar dapat menyelesaikan kuliahnya dalam kesempatan pertama dan
seluruh staf administrasi PS MPI IPB yang telah turut memberi bantuan dan
dukungan.
4. Kepala unit, para manager dan seluruh staf Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan PT. Sucofindo yang selalu mendorong dan memudahkan kami dalam
memperoleh data.
5. Istriku dan anak-anakku tersayang atas dukungan, serta dorongan semangat yang
luar biasa dan memberikan inspirasi bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan
ini.
6. Teman-teman MPI angkatan ke-15 yang sudah ikut memberikan dorongan dan
bantuan moril dalam penulisan karya akhir ini.
7. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian tulisan ini.
jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik sangat diharapkan untuk
kesempurnaannya. Semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkannya.
Bogor, Februari 2013
Penulis lahir di Jakarta, pada tanggal 02 Juni 1967 sebagai putra kesembilan
dari pasangan Bapak Agus Suherman (Alm.) dan Ibu Kunmaryati Kuningsih (Almh).
Tahun 1982, penulis lulus Sekolah Dasar (SD) RIA Persit KCK Jakarta,
kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 20 Jakarta dan
lulus tahun 1985. Selanjutnya penulis diterima di Sekolah Menengah Atas (SMA)
Negeri 14 Jakarta dan lulus tahun 1987. Gelar sarjana diperoleh penulis tahun 1992
dari Program Studi Keteknikan Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Setelah memperoleh gelar kesarjanaan, penulis pada tahun 1992 diterima
bekerja sebagai inspektur PT. Sucofindo (Persero) cabang Jakarta. Pada tahun 1998
penulis ditugaskan ke PT. Sucofindo cabang Bandung selama dua tahun. Kemudian
Penulis kembali ditugaskan ke PT. Sucofindo cabang Manado dari tahun 2000
sampai dengan tahun 2002. Dari tahun 2002 sampai saat ini penulis bekerja di PT.
Sucofindo kantor pusat.
Penulis menikah dengan Mila Aviany pada tahun 1992 dan dikaruniai dua orang
putra dan dua orang putri yaitu Muhammad Luthfan Farizan, (18 tahun), Veivira
Vianisa Fauziany (15 tahun), Vinalia Khoirunnisa Aviari (12 tahun) dan Muhammad
Faqih Ilmi (5 tahun). Dalam usaha meningkatkan kualitas individu dan
mengembangkan wawasan untuk lingkungan kantor maupun lingkungan di luar
kantor, penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana pada Program Studi Industri
Kecil Menengah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2011
iii
1. Realisasi dan Anggaran Penyaluran Dana Program Kemitraan dan Bina
v
vi
Halaman
1. Hasil Survei untuk Uji Validasi dan Reliabilitas Kuesioner Masyarakat 98
A. Latar Belakang
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) merupakan Program
Pembinaan Usaha Kecil dan pemberdayaan kondisi lingkungan oleh Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) melalui pemanfaatan dana dari sebagian labanya. Jumlah
penyisihan laba untuk pendanaan program maksimal sebesar 2% (dua persen) dari
laba bersih untuk Program Kemitraan dan maksimal 2% (dua persen) dari laba bersih
untuk Program Bina Lingkungan (Kemeneg BUMN, 2007).
Peran PKBL BUMN diharapkan mampu mewujudkan 3 pilar utama
pembangunan yang telah dicanangkan pemerintah dan merupakan janji politik
kepada masyarakat, yaitu: (1) pengurangan jumlah pengangguran (pro-job) (2)
pengurangan jumlah penduduk miskin (pro-poor) dan (3) peningkatan pertumbuhan
ekonomi (pro-growth). Di samping itu melalui PKBL diharapkan terjadi peningkatan
partisipasi BUMN untuk memberdayakan potensi dan kondisi ekonomi, sosial, dan
lingkungan masyarakat dengan fokus diarahkan pada pengembangan ekonomi
kerakyatan untuk menciptakan pemerataan pembangunan. PKBL adalah bentuk
tanggung jawab Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada masyarakat.
Kegiatan PKBL dilaksanakan dengan berpedoman pada UU No.19 tahun 2003
tentang BUMN serta Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2007 yang
menyatakan maksud dan tujuan pendirian BUMN tidak hanya mengejar keuntungan
melainkan turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Terdapat dua jenis program dalam PKBL yaitu Program Kemitraan dan
Program Bina Lingkungan. Program Kemitraan yaitu program untuk meningkatkan
kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana
dari bagian laba BUMN (Kementerian Negara BUMN, 2007). Program Bina
Lingkungan yaitu program untuk membentuk calon mitra binaan baru dan
pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari
bagian laba BUMN (Kementerian Negara BUMN, 2007), yang terdiri dari:
a. Bantuan Korban Bencana Alam
b. Bantuan Pendidikan dan atau Pelatihan
c. Bantuan Peningkatan Kesehatan
e. Bantuan Sarana Ibadah
f. Bantuan Pelestarian Alam.
Sampai saat ini ada 141 BUMN yang telah melaksanakan program ini dan
setiap tahunnya menggulirkan dana yang tidak sedikit, seperti contoh sampai dengan
tahun ini total dana yang dikeluarkan telah mencapai Rp. 25,76 trilliun. Khusus
program kemitraan dana yang dikelola adalah dana yang harus dikembalikan sehingga
bergulir dari tahun ke tahun terus bertambah sehingga semakin lama semakin besar
seperti terlihat dalam Tabel 1 berikut:
Tabel 1 Realisasi dan Anggaran Penyaluran Dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan Kementerian Negara BUMN
Program
Tahun (Rp. Trilliun)
2008 2009 2010 2011 2012*) Total
1991 s/d 2012*)
Kemitraan 1,31 1,50 2,00 2,70 3,59 18,17
Bina Lingkungan 0,42 0,46 0,93 2,10 2,57 7,59
Jumlah 1,73 1,96 2,93 4,80 6,16 25,76
Sumber: Laporan Kinerja Kementerian Negara BUMN 2011-2012 *) Anggaran
Jumlah dana yang tidak kecil tersebut menuntut pengelolaan yang baik
sehingga dapat mencapai apa yang diharapkan dengan efisien dan efektif. Terlebih
program kemitraan, dimana dana yang dikeluarkan merupakan dan bergulir yang
harus dikembalikan. Hal ini memerlukan pengelolaan yang lebih rumit dan memiliki
risiko tinggi. Salah satu cara untuk melihat apakah dana tersebut telah dikelola dengan
baik adalah menilai kinerjanya. Kinerja yang baik menunjukkan bahwa pengelolaan
berjalan dengan baik sehingga memberikan manfaat maksimal kepada usaha kecil
yang merupakan sasaran program ini.
Sampai saat ini kinerja BUMN diukur berdasarkan Kepmen Negara BUMN
No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik
Negara, yang termasuk di dalamnya pengukuran kinerja PKBLnya. Dalam Keputusan
Menteri tersebut (lampiran II: 13/18) dinyatakan bahwa kinerja Pembinaan Usaha
Kecil dan Koperasi (PUKK) (sekarang PKBL) dinilai berdasarkan indikator
efektivitas penyaluran dan tingkat kolektibilitas pengembalian pinjaman. Penilaian
kinerja tersebut di atas dirasakan belum cukup menggambarkan keberhasilan PKBL
dalam melaksanakan tugasnya dan mencapai tujuannya. Bahkan dalam peraturan
dikatakan bahwa instansi pemerintah belum disebut berkinerja sebelum dapat
menunjukkan keberhasilan pencapaian outcome-nya. Seringkali kegiatan sudah
dianggap sebagai kinerja organisasi padahal yang dimaksud kinerja adalah
pengukuran hasil dari kegiatan tersebut. Seperti halnya efektivitas penyaluran dan
tingkat kolektibilitas yang merupakan kegiatan PKBL sedangkan hasilnya adalah
terbantunya usaha kecil sehingga bisa tangguh dan mandiri. Maka indikator
pengukuran kinerja PKBL seharusnya dapat mengukur hasil yang diharapkan
sehingga dapat menggambarkan keberhasilan PKBL dalam melaksanakan tugasnya.
Perusahaan PT. Sucofindo merupakan salah satu BUMN yang melaksanakan
program PKBL, melakukan penyaluran dana setiap tahunnya dan sampai dengan
tahun ini telah mengeluarkan sebesar Rp. 247,15 milliar dan terus bertambah setiap
tahunnya seperti terlihat dalam Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 Realisasi dan Anggaran Penyaluran Dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan PT. Sucofindo
Program
Tahun (Rp. Miliar)
2007 2008 2009 2010 2011 2012*) Total
1991 s/d 2012*)
Kemitraan 10,96 9,41 12,83 14,07 14,22 13,84 217,64
Bina Lingkungan 0,15 0,13 0,31 0,46 0,73 0,96 29,51
Jumlah 11,11 9,54 13,14 14,53 14,95 14,80 247,15
Sumber: PKBL PT. Sucofindo, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011a. *) : Anggaran
Pengelolaan program PKBL di PT. Sucofindo dilakukan oleh PKBL yang di
antaranya adalah PKBL PT. Sucofindo Jakarta. PKBL ini merupakan dengan
pengelolaan dana terbesar dari semua PKBL yang ada di PT. Sucofindo.
Dari latar belakang di atas maka dirasakan perlu pengembangan sistem
pengukuran program kemitraan PKBL PT. Sucofindo sebagai pemacu peningkatan
kinerjanya sesuai dengan tujuan dan harapan stakeholder-nya.
B. Perumusan Masalah
Indikator pengukuran kinerja PKBL sesuai Kepmen BUMN No.
KEP-100/MBU/2002 yaitu efektivitas penyaluran dan tingkat kolektibilitas pengembalian
pinjaman dipandang belum dapat memberikan informasi yang cukup untuk seluruh
kegiatannya sesuai dengan tujuan pembentukannya yaitu turut aktif memberikan
bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan
ukuran-ukuran keuangan dapat menjadi pemicu disfungsi organisasi dan sering
menghilangkan sudut pandang lain yang tidak kalah pentingnya (Monika, 2000).
Disfungsi organisasi dapat terjadi dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, dapat mendorong tindakan jangka pendek yang tidak sesuai dengan
kepentingan jangka panjang perusahaan dan tujuan pembentukkan organisasi
(Anthony dan Govindarajan, 2011). Contoh pada PKBL BUMN akan mendorong
manajemen PKBL menyalurkan dana sebanyak-banyaknya untuk mencapai anggaran
penyaluran dengan kriteria yang penting bisa mengembalikan dengan lancar.
Manajemen PKBL tidak lagi memperhatikan perkembangan usaha/kegiatan bisnis
mitra binaan, pengembalian pinjaman yang lancar sudah lebih dari cukup bagi
manajemen PKBL menunjukkan kinerjanya. Hal ini mendorong penyaluran pinjaman
tidak tepat sasaran.
Kedua, dapat mendorong tindakan yang menghalalkan segala cara untuk
mencapai target tujuan. Tindakan tersebut dapat membahayakan diri sendiri dan juga
organisasi serta dapat mengganggu kondisi/suasana lingkungan kerja. Di samping itu
juga dapat merusak hubungan antar anggota organisasi dimana pimpinan lebih
mementingkan target dari pada hubungan dengan bawahan.
Ketiga, dari sisi perusahaan (BUMN itu sendiri) program PKBL merupakan
program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP). Disfungsi akan terjadi karena manajemen PKBL hanya mengejar target anggaran penyaluran dan tingkat
pengembalian, tidak memperhatikan pemberdayaan potensi, kondisi ekonomi dan
sosial lingkungan masyarakat sehingga program TSP tidak berjalan sesuai harapan.
Disfungsi seperti di atas sangat merugikan UKM, dunia usaha dan masyarakat serta
juga perusahaan BUMN itu sendiri.
Pengukuran kinerja program kemitraan harus dapat mencerminkan
keberhasilan PKBL dari kegiatan yang dilaksanakan yaitu: turut aktif memberikan
bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah/ koperasi/
masyarakat, dan meningkatkan kemampuan usaha kecil. Di samping itu harus sesuai
dengan tujuan organisasi, menggambarkan aktivitas-aktivitas kunci manajemen, dapat
dimengerti pegawai, mudah diukur dan dievaluasi serta dapat digunakan oleh
organisasi secara konsisten.
Untuk itu perlu adanya pengembangan indikator kinerja program kemitraan
terhadap dana masyarakat yang dikelola. Dari uraian di atas maka disusunlah
beberapa rumusan masalah yang menjadi kajian pada tugas akhir ini, yaitu:
1. Seperti apakah sistem pengukuran kinerja program kemitraan PKBL PT.
Sucofindo Jakarta saat ini?
2. Adakah pengembangan sistem pengukuran kinerja program kemitraan yang
dilakukan di PKBL PT. Sucofindo Jakarta?
3. Bagaimana pengembangan indikator pada sistem pengukuran kinerja program
kemitraan PKBL di PT. Sucofindo Jakarta diimplementasikan?
C. Tujuan
Pengukuran kinerja hendaknya dapat mencermikan seluruh kegiatan dan
harapan stakeholder. Rumusan di atas merupakan permasalahan yang diwujudkan
dalam suatu penelitian dari suatu pengembangan sistem sehingga dilakukan penelitian
yang bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi sistem pengukuran kinerja program kemitraan PKBL
PT. Sucofindo Jakarta,
2. Mengembangkan sistem pengukuran kinerja program kemitraan PKBL
PT. Sucofindo Jakarta,
3. Mengukur kinerja program kemitraan PKBL PT. Sucofindo Jakarta dengan
A. Program Kemitraan dan Bina Lingkungan Badan Usaha Milik Negara
1. Gambaran Umum PKBL BUMN
Badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara
yang dipisahkan disebut Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Kemeneg BUMN,
2007). Terdapat 141 BUMN dalam Negara kita yang bergerak di berbagai bidang,
mulai bidang perdagangan, perindustrian, pertambangan hingga usaha jasa.
Sesuai dengan komitmennya membantu usaha kecil, pemerintah melalui Menteri
Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor:
1232/KMK.013/1989 yang mewajibkan semua BUMN menyisihkan laba sebesar
1-3 persen, untuk pembinaan pengusaha golongan ekonomi lemah dan Koperasi
(Pegelkop). Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor: 316/KMK.016/1994 program ini berganti nama menjadi program
Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK), terakhir melalui Peraturan
Menteri Negara BUMN Nomor: Per-05/MBU/2007 nama program diganti
menjadi Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan
Program Bina Lingkungan, yang dinamakan sebagai Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan atau PKBL.
PKBL pada BUMN merupakan organisasi khusus yang mengelola
Program Kemitraan (PK) dan Program Bina Lingkungan (BL) yang merupakan
bagian dari organisasi BUMN pembina yang berada di bawah pengawasan
seorang direksi (Kemeneg BUMN, 2007). Terdapat dua program dalam PKBL
yaitu Program Kemitraan (PK) dan program Bina Lingkungan (BL). Program
Kemitraan adalah pemberian pinjaman lunak dan pembinaan Usaha Kecil untuk
meningkatkan kemampuannya agar menjadi tangguh dan mandiri, sedangkan
program Bina Lingkungan adalah kegiatan pemberdayaan kondisi sosial
masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN
(Kemeneg BUMN, 2007).
PT. Sucofindo merupakan salah satu BUMN yang bergerak di bidang jasa
surveyor dan memiliki cabang di seluruh Indonesia. Setiap cabang memiliki
adalah PKBL Jakarta dengan wilayah kerja meliputi Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Usaha Kecil yang mendapatkan pinjaman dari Program Kemitraan disebut
mitra binaan. Usaha kecil mitra binaan yang dapat ikut serta dalam Program
Kemitraan (Kemeneg BUMN, 2007) yaitu :
(1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil
penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);
(2) Milik Warga Negara Indonesia;
(3) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung
dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar;
(4) Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan
hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi;
(5) Mempunyai potensi dan prospek usaha untuk dikembangkan;
(6) Telah melakukan kegiatan usaha minimal 1 (satu) tahun;
(7) Belum memenuhi persyaratan perbankan (non bankable).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa terdapat pihak-pihak pemangku
kepentingan (stakeholder) pada PKBL. Pemangku kepentingan (stakeholder)
dalam perusahaan seperti diilustrasikan dalam Gambar 1 (Wibisono, 2011).
Pemangku kepentingan mana yang harus mendapatkan prioritas utama untuk
dilayani sangat bervariasi, tergantung pada jenis organisasinya, ketersediaan
sumber daya yang dimiliki, dan berbagai perubahan lingkungan usaha yang
berlangsung secara terus-menerus.
Dari penjelasan di atas maka stakeholder PKBL adalah pihak-pihak yang
memiliki kepentingan dengan PKBLseperti: Masyarakat, usaha kecil, Pemerintah
Gambar 1 Pemangku Kepentingan Utama (Wibisono, 2011)
2. Tujuan Pembentukan PKBL di BUMN
Pembinaan usaha kecil oleh BUMN dilaksanakan sejak terbitnya Peraturan
Pemerintah (PP) nomor 3 tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan
Pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan
Perusahaan Perseroan (Persero). Pada PP nomor 3 tahun 1983 tersebut di atas
BAB I pasal 2 ayat 2 butir f menyatakan bahwa maksud dan tujuan kegiatan
Perum, Perjan dan Persero adalah turut aktif memberikan bimbingan kegiatan
kepada sektor swasta, khususnya pengusaha golongan ekonomi lemah dan sektor
koperasi, turut aktif melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan
program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan pada umumnya.
Kemudian dilanjutkan dengan diterbitkannya keputusan Menteri sebagai pedoman
pelaksanaan pembinaan usaha kecil oleh BUMN, yaitu Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 1232/KMK.013/1989 tanggal 11 Nopember 1989 tentang
Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan
Usaha Milik Negara, dana pembinaan disediakan dari penyisihan sebagian laba
sebesar 1-5 persen dari laba setelah pajak. Nama program saat itu lebih dikenal
dengan Program Pembinaan Pengusaha Golongan Ekonomi Lemah dan Koperasi
No.: 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman Pembinaan
Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan
Usaha Milik Negara, nama program diganti menjadi program PUKK (Pembinaan
Usaha Kecil dan Koperasi).
Pada tahun 2003 peran BUMN di masyarakat diperkuat dengan terbitnya
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN. Senada dengan UU
nomor 3 tahun 1983 pada pasal 2 ayat (1) butir d dan e UU nomor 19 tahun 2003
disebutkan bahwa maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah menjadi perintis
kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan
koperasi dan turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Dukungan maksud dan
tujuan pendirian BUMN di atas tersurat juga pada pasal 88 ayat (1) yang
mencantumkan bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk
keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar
BUMN. Adapun pada ayat duanya menyatakan, bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai penyisihan dan penggunaan laba sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Untuk kegiatan amal atau sosial BUMN dapat berperan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan dalam pasal 90 UU nomor
19 than 2003. Sebagai pelaksanaan dari UU nomor 19 tahun 2003 tersebut, maka
dikeluarkan keputusan Menteri BUMN nomor KEP-236/MBU/2003 tentang
Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program
Bina Lingkungan. Keputusan Menteri BUMN nomor 236 tersebut menjelaskan
bahwa yang dimaksud Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil adalah
program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan
mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Adapun Program
Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh
BUMN di wilayah usaha BUMN tersebut melalui pemanfaatan dana dari bagian
laba BUMN. Pada pasal (2) Kepmen BUMN nomor 236 dikatakan bahwa BUMN
wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan. Sebagai
petunjuk pelaksanaan kedua program tersebut dikeluarkan surat edaran Menteri
2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Kemitraan Badan Usaha Milik
Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (BL).
Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara nomor
PER-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan Badan
Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan,
menegaskan kembali bahwa BUMN dan anak perusahaannya wajib melaksanakan
program kemitraan dan bina lingkungan. Kewajiban ini diikuti dengan wajib
membentuk PKBL dan menyusun Standard Operating Procedure (SOP) untuk
pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL yang dituangkan dalam Surat
Keputusan Direksi. Di samping itu diwajibkan juga dalam hal:
(1) Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Program Kemitraan dan
Program BL;
(2) Melakukan evaluasi dan seleksi atas kelayakan usaha dan menetapkan calon
Mitra Binaan;
(3) Menyiapkan dan menyalurkan dana Program Kemitraan kepada Mitra Binaan
dan Program BL kepada masyarakat;
(4) Melakukan pemantauan dan pembinaan terhadap Mitra Binaan;
(5) Mengadministrasikan kegiatan pembinaan;
(6) Melakukan pembukuan atas Program Kemitraan dan Program BL;
(7) Menyampaikan laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL
yang meliputi laporan berkala baik triwulanan maupun tahunan kepada
Menteri dengan tembusan kepada Koordinator BUMN Pembina di wilayah
masing-masing.
3. Program Kemitraan dan Bina Lingkungan di PT. Sucofindo
(1) Visi dan misi
Untuk mencapai sasaran program kemitraan dan bina lingkungan
ditetapkan visi yaitu “Menjadi Pembina dan pengembang usaha kecil layak bina menjadi layak kredit yang menjadi rujukan BUMN lainnya.” Sebagai upaya mewujudkan visi di atas, manajemen bertekad melakukan misi ( PKBL
PT. Sucofindo, 2011b) sebagai berikut:
a) Membina usaha kecil menjadi tangguh, mandiri dan layak kredit sehingga
b)Membantu pengembangan ekspor nonmigas produk usaha kecil dengan
pembinaan yang terpadu dan berkesinambungan melalui pemanfaatan
jaringan yang luas, sistem informasi dan manajemen.
c) Membantu perusahaan di dalam mengembangkan company image yang
positif di masyarakat melalui pemberdayaan kondisi social masyarakat
sehingga dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi kelangsungan usaha
PT. Sucofindo.
(2) Sasaran Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
Visi dan misi yang telah ditetapkan diwujudkan dengan menentukan
sasaran program kemitraan dan bina lingkungan ( PKBL PT. Sucofindo,
2011b) yaitu:
a) kinerja efektivitas penyaluran pinjaman mencapai > 100 %,
b)kinerja efektivitas dana bina lingkungan mencapai > 90 %,
c) kinerja kolektibilitas pengembalian mencapai > 80 persen.
(3) Strategi Program Kerja PKBL PT. Sucofindo
Sesuai Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) tahun 2012 PKBL
PT. Sucofindo, dalam rangka pencapaian sasaran Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan telah ditetapkan strategi program kemitraan dan bina
lingkungan yang efisien dan efektif dalam pembinaan dan pengembangan
usaha kecil dan koperasi untuk menjadi usaha kecil yang tangguh dan mandiri.
Adapun strategi Program Kemitraan dan Bina Lingkungan PT. Sucofindo
tahun 2012 adalah sebagai berikut :
a) Penyaluran pinjaman dialokasikan pada 12 Provinsi atau sesuai dengan
RKA PKBL tahun 2012.
b) Penyaluran pinjaman diprioritaskan kepada sektor usaha yang potensial
dan produktif dengan karakter pengusaha yang baik serta mengedepankan
prinsip kehati-hatian.
c) Menerapkan pola inti plasma dan cluster serta pembinaan yang
berkelanjutan.
d) Monitoring dan penagihan angsuran pinjaman secara intensif dan
mengoptimalkan peran forum komunikasi di seluruh cabang serta
bekerjasama dengan pihak terkait khusus untuk menangani piutang
e) Kegiatan Program Bina Lingkungan dilaksanakan oleh Divisi terkait,
Kantor Pusat atau langsung oleh bagian PKBL setelah mendapatkan
rekomendasi dari Direktur Keuangan dan Administrasi serta persetujuan
dari Direktur Utama.
Kebijakan dan program kerja yang mendukung atas pelaksanaan
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan sehingga strategi program
kemitraan dan bina lingkungan dapat dilaksanakan dengan baik dan tepat
sasaran adalah :
a) Pola penyaluran dana
i. Keputusan layak bina ditetapkan oleh Cabang dan penyaluran
pinjaman dana ditetapkan oleh Kantor Pusat.
ii. Kegiatan hibah di seluruh cabang harus mendapatkan rekomendasi
PKBL Kantor Pusat.
iii. Menerapkan pola/konsep pinjaman khusus di seluruh Cabang.
iv. Penyaluran pinjaman diprioritaskan kepada mitra binaan yang telah
melunasi pinjaman dengan kategori lancar.
v. Penyaluran dana kepada mitra binaan per wilayah disesuaikan dengan
kontribusi dana masing-masing cabang.
b) Tertib Administrasi Program PKBL
Penerapan sistem dan prosedur yang konsisten, seluruh kegiatan
PKBL dilaksanakan berdasarkan aturan (sistem dan prosedur) yang
berlaku baik prosedur, kebijakan dan peraturan dari Kementerian BUMN
atau prosedur yang telah ditetapkan secara internal.
c) Sistem Pengelolaan Kinerja
Penerapan sistem pengelolaan kinerja diterapkan di Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan dalam rangka meningkatkan motivasi
staf PKBL dalam mencapai sasaran kerja yang telah ditetapkan, diberikan
penghargaan berupa reward, khususnya terhadap pencapaian kinerja
kolektibilitas dan penyaluran. Di samping itu diterapkan pula punishment
berupa penghentian penyaluran dana kemitraan bagi cabang-cabang yang
d) Biaya Operasional
Untuk efisiensi dan efektivitas pengelolaan biaya operasional
seluruh PKBL dilakukan sendiri dari rekening yang dikelolanya, untuk
PKBL cabang sebesar 80% dari jasa administrasi yang diterima dan
kantor pusat 20% dari jasa administrasi konsolidasi sehingga secara total
diperkirakan maksimal mencapai 100% dari jasa administrasi yang
diterima.
(4) Program Kerja PKBL PT. Sucofindo
Program kerja PKBL dibagi dua yaitu program kemitraan dan program
bina lingkungan. Program kerja program kemitraan yang akan dilaksanakan
pada tahun 2012 adalah:
a) Melakukan survei dan evaluasi kepada calon mitra binaan.
b) Calon mitra binaan diprioritaskan maksimal kurang lebih 150 km dari
lokasi kantor.
c) Melakukan kerjasama penyaluran dan pinjaman kepada mitra binaan dan
lembaga yang kredibel.
d) Melakukan monitoring dan penagihan kepada usaha kecil di seluruh
wilayah secara rutin.
e) Melakukan kerjasama dengan instansi/lembaga lain seperti kejaksaan atau
KPKNL untuk penanganan koleksi pengembalian pinjaman usaha kecil
bermasalah dengan kategori macet.
f) Optimalisasi peran Himpunan Pengusaha Mitra Binaan (HPMB) di setiap
wilayah untuk membangun jaringan antara sesama mitra binaan untuk
kemajuan usaha.
g) Peningkatan kualitas sumber daya manusia PKBL, melalui program
pelatihan dan pendidikan, khususnya pelatihan terkait komunikasi, analisa
kelayakan usaha dan penanganan usaha kecil bermasalah.
h) Optimalisasi penerapan cost reduction programme di PKBL.
i) Melakukan kerjasama dengan lembaga/instansi/LSM yang kompeten di
bidangnya melalui program pelatihan, asistensi, pemetaan, pemasaran/
promosi dalam rangka mendorong perkembangan usaha mitra binaan dan
Program kerja bina lingkungan yang akan dilaksanakan pada tahun
2012 adalah sebagai berikut:
a) Bantuan untuk korban bencana alam yaitu bantuan yang diberikan untuk
meringankan beban para korban yang diakibatkan bencana alam.
b) Bantuan untuk pendidikan dan atau pelatihan yaitu bantuan yang diberikan
dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan usaha kecil dan
masyarakat di lingkuangan sekitar perusahaan.
c) Peningkatan kesehatan yaitu bantuan yang diberikan dalam rangka
meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.
d) Pengembangan prasarana dan sarana umum yaitu bantuan yang diberikan
dalam rangka meningkatkan fasilitas kesejahteraan masyarakat.
e) Sarana ibadah yaitu bantuan untuk meningkatkan kualitas sarana ibadah
masyarakat.
f) Bantuan untuk pelestarian alam yaitu bantuan yang diberikan kepada
masyarakat berupa pelestarian dan keindahan lingkungan.
(5) Prosedur Operasi PKBL PT. Sucofindo
Saat ini PKBL PT. Sucofindo telah memiliki prosedur operasi untuk
mengatur hal-hal pokok dalam melakukan kegiatannya. Pokok-pokok prosedur
tersebut adalah:
a) Plafon Pinjaman
Pinjaman dana pembinaan kepada Usaha Kecil dan Koperasi (UKK) diberikan dalam bentuk satu paket dengan plafon dana sebesar Rp. 100 Juta per UKK, yang terdiri dari :
i. Modal kerja, bunga 6 %/th/sliding Rp. 60 Juta. ii. Investasi, bunga 4 %/th/sliding Rp. 25 Juta. iii. Konsultasi Manajemen (hibah) Rp. 15 Juta.
Nilai tersebut merupakan plafon tertinggi, realisasi jumlah pinjaman adalah yang dinyatakan dalam Memorandum of Agreement (MOA) antara PT.Sucofindo (Persero) dengan UKK yang bersangkutan. Dengan jangka waktu pinjaman selama tiga tahun dan dapat diperpanjang selama-lamanya dua tahun.
pinjaman tersebut disalurkan melalui bank yang telah ditunjuk berdasarkan persetujuan kedua belah pihak (PT. Sucofindo dan UKK). Penyaluran dana pinjaman kepada UKK diatur sebagai berikut :
i. Pinjaman lunak kepada UKK yang telah mempunyai badan hukum, atau legalitas usaha yang lengkap, dapat diberikan secara langsung kepada UKK yang akan dibina.
ii. Pinjaman lunak kepada UKK yang tidak mempunyai badan hukum, atau tidak mempunyai legalitas usaha yang lengkap, dapat diberikan melalui ketua kelompok atau wadah yang dibentuk secara resmi, dan telah diketahui oleh instansi pemerintah terkait.
Didalam melaksanakan pembinaan kepada UKK, PT. Sucofindo dapat bekerjasama dengan instansi terkait, lembaga pendidikan, dan konsultan yang profesional di bidangnya.
b) Persyaratan Pengajuan Pinjaman Lunak
Untuk mengajukan pinjaman lunak usaha kecil harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
i. Harus mempunyai SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan) yang dikeluarkan oleh Departemen Perdagangan.
ii. Belum pernah dibantu dalam permodalan baik oleh lembaga keuangan atau BUMN lain.
iii. Omzet Maksimal Rp. 1 miliar setahun
iv. Aset Maksimal Rp. 200 juta (diluar tanah dan bangunan) v. Minimal 1 tahun telah berusaha di sektor yang sama
vi. Sektor Usaha Industri kecil, agribisnis, jasa (waserda, bahan bangunan, bengkel mobil/motor, wartel)
vii. Diprioritaskan usaha yang menyerap tenaga kerja dan tidak padat modal.
c) Prosedur Pengajuan Pinjaman Lunak
Alur proses prosedur pengajuan pinjaman lunak dapat dilihat pada
Gambar 2 dengan uraiannya sebagai berikut:
ii. Surat Pemohonan dilampirkan dengan proposal pinjaman lunak, secara garis besar proposalnya berisikan latar belakang usaha, laporan keuangan, pemasaran hasil usaha, penentuan usulan pinjaman, proyeksi keuntungan, dan foto copy dokumen legal.
iii. Proposal diserahkan ke PT. Sucofindo, agar dapat dimonitor dengan baik.
iv. Evaluasi administrasi oleh petugas PT. Sucofindo dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan
d) Program Konsultasi Manajemen
Setiap proposal yang telah diterima menjadi mitra binaan Sucofindo, di samping mereka mendapatkan pinjaman lunak, juga diberikan pembinaan dalam bentuk hibah berupa konsultasi manajemen yang meliputi :
i. Pemasaran, terdiri dari pameran, pembuatan brosur, leaflet, billboard, dan sebagainya.
ii. Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), terdiri atas: pelatihan manajemen, pelatihan ISO (International Standard Organization) 9000, seminar-seminar, dan program pemagangan.
B. Sistem Pengukuran Kinerja
Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang hendak atau telah
dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas
terukur (Kemeneg BUMN, 2011a). Pengukuran kinerja adalah proses penilaian
kinerja atas dasar data kinerja yang telah dikumpulkan melalui indikator kinerja.
(Kemeneg Keu, 2010). Apabila kata kinerja, pengukuran dan sistem dirangkai akan
menjadi sistem pengukuran kinerja yang memiliki arti tata cara penilaian hasil
melalui indikator sehubungan dengan penggunaan anggaran.
Dalam sejarahnya sistem pengukuran kinerja organisasi hanya fokus pada
keinginan investor saja tetapi saat ini berkembang sampai kesemua pihak
(stakeholder). Perusahaan akan dapat bersaing dan bertahan dalam kondisi persaingan
yang semakin global dan intens jika dalam pengelolaannya memperhatikan pemangku
kepentingan (stakeholder) (Wibisono, 2011). Pergeseran fokus pengelolaan
perusahaan tersebut dapat digambarkan pada Gambar 3.
Dalam perkembangannya sampai saat ini telah banyak model sistem pengukuran
kinerja terintegrasi berhasil dibuat oleh para akademisi dan praktisi, di antaranya
adalah: Balanced Scorecard dari Kaplan dan Norton, (1996), Integrated Performance
Measurement System (IPMS) dari Bititci et al. (1997), Performance Prism dari
Neely dan Adam (2000) dan SMART System dari Wang Laboratory, Inc. Lowell,
Massachucets Galayani et al. (1997). Masing-masing sistem pengkuran terdapat
kelebihan dan kelemahan. Pemilihan sistem pengukuran kinerja disesuaikan dengan
Gambar 3 Pergeseran Fokus Pengelolaan Perusahaan (Wibisono, 2011)
Balance Scorecard adalah sistem pengukuran kinerja yang mengembangkan
kerangka kerja menggunakan empat perspektif dengan titik awal strategi sebagai
dasar perancangannya. Adapun keempat perspektif tersebut meliputi: financial
perspective, customer perspective, internal business process perspective, dan learning
and growth perspective. Keterkaitan antar obyektif dan ukuran kinerja dinyatakan
dengan cause-and-effect relationship, di mana terjadi kulminasi kinerja pada financial
perspective. Saat ini Kementerian Keuangan menjadikan Balance Scorecard sebagai
pedoman pengelolaan kinerja di lingkungan Kementerian Keuangan yang dituangkan
ke dalam Panduan Pengelolaan Kinerja Berbasis Balanced Scorecard di lingkungan
Kementerian Keuangan.
Berbeda dengan model Balanced Scorecard yang menggunakan strategi menjadi
titik awal dalam melakukan perancangannya, model Integrated Performance
Measurement System (IPMS) adalah model sistem pengukuran kinerja yang
dikembangkan di Center for Strategic Manufacturing dari University of Strathclyde,
Glasgow. Tujuan dari model IPMS agar sistem pengukuran kinerja lebih terintegrasi,
efektif, dan efisien. Model ini menjadikan keinginan stakeholder menjadi titik awal
dalam melakukan perancangan sistem pengukuran kinerjanya. Stakeholder tidak
berarti hanya pemegang saham (shareholder), melainkan beberapa pihak yang
Metode Performance Prism adalah suatu metode pengukuran kinerja yang
mengedepankan pentingnya menyelaraskan seluruh aspek (stakeholder) ke dalam
suatu framework pengukuran yang strategis. Semua stakeholder akan dipuaskan
secara seimbang dengan metode ini.
Model SMART (Strategic Management Analysis and Reporting Technique)
merupakan model yang dibuat oleh Wang Laboratory dengan menggunakan strategi
obyektif sebagai titik awal perancangannya. Perspektif berdasarkan strategi
obyektifnya diyakini mampu menunjang operasional perusahaan. Susunan strategi
obyektif disusun sesuai tingkatan dalam manajemen perusahaan manufaktur sehingga
tersusun seperti piramida. Banyak perusahaan kecil dan menengah tidak memiliki visi
dan strategi yang jelas. Orientasi yang lebih terfokus pada kinerja operasional lebih
mendominasi. Oleh karena itu, model ini sering dipakai oleh perusahaan kecil dan
menengah untuk mengukur kinerja organisasinya.
Dalam sistem pengukuran kinerja dikenal adanya indikator sedangkan dalam
kumpulan indikator terdapat indikator kunci yang merupakan indikator utama yang
sangat mempengaruhi kinerja organisasi. Jadi Indikator Kinerja Utama (IKU) adalah
sekumpulan indikator yang dapat dianggap sebagai indikator kinerja kunci, baik yang
bersifat finansial maupun nonfinansial untuk melaksanakan operasional pada bisnis
(Moeheriono, 2011). Indikator Kinerja Utama (IKU) juga biasa disebut Key
Performance Indikator (KPI). Keduanya (IKU dan KPI) pada dasarnya adalah bagian
dari Performance Indikators atau indikator kinerja organisasi. Keunggulan IKU
dibandingkan dengan indikator-indikator kinerja lainnya, adalah bahwa IKU
merupakan indikator kunci yang benar-benar mampu mempresentasikan kinerja
organisasi secara keseluruhan. Jumlah indikator kinerja yang dipilih sebagai IKU ini
biasanya tidak banyak, namun demikian hasil pengukuran melalui indikator tersebut
dapat digunakan untuk menilai tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan
dan sasaran yang telah ditetapkan (Asropi, 2007).
Sebagai alat ukur kinerja strategis organisasi, IKU dapat mengindikasikan
kesehatan dan perkembangan organisasi, dan atau keberhasilan kegiatan, program
atau penyampaian pelayanan untuk mewujudkan target-target atau sasaran organisasi.
IKU dapat berbentuk ukuran kuantitatif maupun kualitatif. Namun demikian, dalam
praktek penyusunan IKU oleh berbagai organisasi publik dan private, sebagian besar
mudah digunakan dalam proses penggalian data maupun pada saat pengukuran dan
evaluasi, sedangkan untuk ukuran kualitatif, biasanya memerlukan survei atau
kegiatan penelitian sebagai upaya untuk memperoleh data kinerja yang diperlukan.
Proses penggalian data untuk ukuran kualitatif ini seringkali memerlukan waktu dan
biaya yang tidak sedikit.
Pemilihan terhadap bentuk IKU, apakah kuantitatif atau kualitatif, tergantung
pada kebutuhan dan karakter organisasi. Tidak dapat dipaksakan bahwa semua IKU
harus kuantitatif atau harus kualitatif. Adapun pertimbangan utama yang harus
menjadi dasar dalam pemilihan IKU adalah bahwa indikator tersebut dapat diukur
(measurable). Hal ini berarti bahwa untuk setiap IKU baik ukuran kuantitatif maupun
kualitatif sudah tersedia informasi tentang jenis data yang akan digali, sumber data,
dan cara mendapatkan data tersebut.
Selain kriteria ”dapat diukur,” indikator kinerja juga harus memiliki sejumlah kriteria lain. Pada beberapa literatur disebutkan kriteria-kriteria indikator kinerja yang
antara lain meliputi: Specific, Achievable, Realistic, dan Timely, yang jika
digabungkan dengan kriteria Measurable (dapat diukur) dapat diringkas dalam
akronim SMART. Dalam Buku Panduan Pengelolaan Kinerja Berbasis Balanced
Scorecard di lingkungan Kementerian Keuangan (Kementerian Keuangan, 2010),
dikatakan dalam perumusan IKU seyogyanya memenuhi karakteristik indikator kinerja yang baik dan cukup memadai guna pengukuran kinerja menggunakan prinsip
SMART-C, yaitu:
Specific : harus mampu menyatakan sesuatu yang khas/unik dalam
menilai kinerja suatu kerja.
Measurable : harus dapat diukur dengan jelas, memiliki satuan
pengukuran, dan jelas pula cara pengukurannya.
Achievable : harus dapat dicapai oleh penanggung jawab/ In Charge
Realistic : harus sesuai dengan visi dan misi, serta tujuan strategi organisasi
Time-bounded : harus memiliki batas waktu pencapaian
Continuously Improve : harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan strategi organisasi.
Pada Petunjuk Penyusunan Indikator Kinerja Utama dari Kementerian Negara
yang harus dipenuhi oleh suatu indikator kinerja. Syarat-syarat yang berlaku untuk
semua indikator kinerja tersebut adalah sebagai berikut:
1. Relevan; indikator kinerja harus berhubungan dengan apa yang diukur dan secara
obyektif dapat digunakan untuk pengambilan keputusan atau kesimpulan tentang
pencapaian apa yang diukur.
2. Penting/menjadi prioritas dan harus berguna untuk menunjukkan keberhasilan,
kemajuan, atau pencapaian (accomplishment);
3. Efektif dan layak; data/informasi yang berkaitan dengan indikator kinerja yang
bersangkutan dapat dikumpulkan, diolah, dan dianalisis dengan biaya yang layak.
Dalam Petunjuk Penyusunan Indikator Kinerja Utama dari Kementerian Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) berdasarkan tipenya, indikator kinerja dapat
dibagi menjadi:
1. Kualitatif, menggunakan skala (seperti: baik, cukup, kurang).
2. Kuantitatif absolut: menggunakan angka absolut (seperti: 30 orang, 80 ).
3. Persentase: menggunakan perbandingan angka absolut dari yang diukur dengan
populasinya (seperti: 50%, 100%).
4. Rasio: rnembandingkan angka absolut dengan angka absolut lain yang terkait
(seperti: rasio jumlah guru dibandingkan jumlah rnurid).
5. Rata-rata: angka rata-rata dari suatu populasi atau total kejadian (seperti: rata-rata
biaya pelatihan per peserta dalam suatu diklat).
6. Indeks: angka patokan dari beberapa variabel kejadian berdasarkan suatu rumus
tertentu (seperti: indeks harga saham, indeks pembangunan manusia).
Untuk tujuan analisis dan perencanaan indikator kinerja juga dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis, seperti:
1. Gambaran mengenai sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan output dan
outcome(kuantitas, kualitas, dan kehematan)
2. Gambaran mengenai langkah-langkah yang dilaksanakan dalam menghasilkan
barang atau jasa (frekuensi proses, ketaatan terhadap jadwal dan ketaatan terhadap
ketentuan/standar)
3. Gambaran mengenai output dalam bentuk barang atau jasa yang dihasilkan dari
suatu kegiatan (kuantitas, kualitas, dan efisiensi)
4. Gambaran mengenai hasil aktual atau yang diharapkan dari barang atau jasa yang
peningkatan kualitas, perubahan perilaku, peningkatan efektivitas, dan peningkatan
pendapatan)
5. Gambaran mengenai akibat langsung atau tidak langsung dari tercapainya tujuan.
lndikator dampak adalah indikator outcome pada tingkat yang lebih tinggi .
Menentukan indikator kinerja suatu organisasi memerlukan suatu proses
langsung yang meliputi penyaringan yang berulang-ulang, kerjasama, dan
pengembangan konsensus serta pemikiran yang hati-hati. Penetapannya wajib
menggunakan prinsip kehati-hatian, kecermatan, keterbukaan, dan transparansi guna
menghasilkan informasi kinerja yang handal. Indikator kinerja pada setiap tingkatan
organisasi meliputi indikator keluaran (output) dan hasil (outcome). Pada petunjuk
penyusunan indikator kinerja utama yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), indikator kinerja ditentukan dengan tatanan
sebagai berikut: Pada tingkat kementerian Negara/Departemen/Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya menggunakan indikator hasil
(outcome) sesuai dengan kewenangan, tugas dan fungsinya. Pada organisasi setingkat
eselon I menggunakan indikator hasil (outcome) dan atau keluaran (output) yang
setingkat lebih tinggi dari keluaran (output) kerja di bawahnya. Pada organisasi
setingkat eselon II/ kerja mandiri sekurang-kurangnya menggunakan indikator
keluaran (output).
Dengan memperhatikan persyaratan dan kriteria indikator kinerja, maka
langkah-langkah yang umum dalam penentuan Indikator kinerja organisasi dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Tahap pertama, klarifikasi apa yang menjadi kinerja utama, pernyataan hasil
(result statement) atau tujuan/sasaran yang ingin capai. Suatu indikator kinerja yang
baik, diawali dengan suatu pernyataan hasil yang dapat dimengerti atau dipahami
orang banyak. Untuk dapat menghasilkan pernyataan hasil yang baik dan dapat
dimengerti/dipahami orang banyak, perlu diperhatikan hal-ha1 sebagai berikut:
1. Secara hati-hati tentukan hasil yang akan dicapai.
2. Hindari pernyataan hasil yang terlalu luas/makro.
3. Pastikan jenis perubahan yang dimaksudkan.
4. Pastikan dimana perubahan akan terjadi.
5. ldentifikasikan target khusus perubahan dengan lebih cepat.
Tahap kedua, menyusun daftar awal Indikator Kinerja Utama. Terdapat
beberapa jenis indikator kinerja yang dapat digunakan untuk mengukur suatu
outcome, namun dari indikator-indikator kinerja tersebut biasanya hanya beberapa
indikator saja yang dapat digunakan dengan tepat. Daftar awal indikator kinerja ini
disusun setelah mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan akan informasi kinerja dan
kewajiban-kewajiban pelaporan akuntabilitas, dengan memperhatikan hal-ha1 yang
diuraikan di dalam kerangka kerja penyusunan indikator kinerja di atas. Proses
identifikasi dapat dimulai dari hal-ha1 yang terkecil, misalnya pada tingkat kegiatan.
Penyusunan daftar awal indikator kinerja ini paling tidak sudah dapat menyebut nama
atau judul indikator dan untuk apa indikator itu diperlukan (rasional, atau alasan
mengapa diperlukan). Dalam menyusun daftar awal indikator kinerja, perlu dilakukan
hal-ha1 sebagai berikut:
1. Brainstorming internal oleh tim perumus.
2. Konsultasi dengan para ahli di bidang yang sedang dibahas.
3. Menggunakan pengalaman pihak lain dengan kegiatan yang sama atau sejenis.
Tahap ketiga, melakukan penilaian setiap IKU yang terdapat dalam daftar awal
indikator kinerja. Setelah berhasil membuat daftar awal IKU, langkah selanjutnya
adalah melakukan evaluasi setiap indikator yang tercantum dalam daftar awal
indikator kinerja. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan setiap indikator kinerja
dalam daftar dengan kriterianya. Dengan skala yang sederhana, misalnya satu sampai
lima, setiap indikator kinerja yang dievaluasi dapat ditetapkan nilainya. Pemberian
nilai ini akan memberikan pemahaman yang menyeluruh terhadap kepentingan
masing-masing indikator yang dievaluasi dan membantu proses pemilihan indikator
yang paling tepat. Pendekatan dengan metode ini harus diterapkan secara fleksibel
dan dengan pertimbangan yang matang, karena setiap kriteria tidak memiliki bobot
yang sama.
Tahap keempat, memilih IKU. Sumber data kinerja tahap akhir dari proses ini
adalah memilih IKU. Indikator-indikator kinerja tersebut, harus disusun dalam suatu
set indikator yang optimal yang dapat memenuhi kebutuhan manajemen, yaitu
informasi yang berguna dengan biaya yang wajar. Dalam pemilihan ini harus selektif.
Pilihlah indikator kinerja yang dapat mewakili dimensi yang paling rnendasar dan
penting dari setiap tujuan/sasaran. Kerangka kerja penyusunan seperangkat IKU
indikator pada daftar awal (list) yang diusulkan sampai pada penilaian, seleksi
pemilihan, penentuan pemilihan, penetapan resmi dan pengorganisasian
penerapannya. Kerangka kerja ini merupakan inti dari petunjuk ini agar dapat
dihasilkan indikator-indikator yang baik dalam proses ini.
Pencetus dan ahli Balanced Scorecard yaitu Kaplan dan Norton telah
menganjurkan bahwa penggunaan IKU tidak boleh lebih dari 20 parameter. Adapun
Hope dan Fraser (Moeheriono, 2011) menganjurkan kurang dari 10 parameter. Moeheriono (2011) dalam bukunya “Indikator Kinerja Utama” mengatakan bahwa dalam pemerintahan penilaian kinerja sangat berguna untuk menilai kuantitas,
kualitas, dan efisiensi pelayanan dan motivasi birokrat pelaksana untuk melakukan
pekerjaan lebih baik lagi. Organisasi publik memiliki stakeholder yang lebih banyak
dan kompleks dari pada organisasi privat atau swasta. Stakeholder organisasi publik
seringkali memiliki kepentingan yang berbenturan satu sama lainnya. Akibatnya
ukuran kinerja organisasi publik di mata para stakeholder akhirnya juga
berbeda-beda. Banyak birokrasi menempatkan pencapaian target sebagai ukuran kinerja,
sedangkan masyarakat sebagai pengguna jasa, lebih suka kualitas layanan sebagai
ukuran kinerja.
Ada tiga konsep yang dapat digunakan mengukur kinerja organisasi publik
(Moeheriono, 2011) yaitu:
1. Responsivitas (responsiveness), yaitu menggambarkan kemampuan organisasi
publik dalam menjalankan misi dan tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.
2. Responsibilitas (responsibility), yaitu pelaksanaan kegiatan organisasi publik
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan
kebijakan secara implisit maupun eksplisit.
3. Akuntabilitas (accountability), yaitu menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan
kegiatan organisasi publik yang diharapkan dari masyarakat, bisa berupa penilaian
dari wakil rakyat, pejabat, dan masyarakat.
Pemerintah telah menyusun alat ukur untuk mengukur kinerja pelayanan publik
secara eksternal melalui keputusan Menpan nomor 25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang
Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Pelayanan Instansi
Pemerintah. Berdasarkan keputusan tersebut terdapat 14 indikator kriteria pengukuran
1. Prosedur Pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
2. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan
untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.
3. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang
memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggung jawabnya).
4. Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan
pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang
berlaku.
5. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung
jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.
6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang
dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat.
7. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu
yang telah ditentukan oleh penyelenggara pelayanan.
8. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak
membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.
9. Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling
menghargai dan menghormati.
10.Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya
biaya yang ditetapkan oleh pelayanan.
11.Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan
biaya yang telah ditetapkan.
12.Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
13.Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang
bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima
pelayanan.
14.Keamanan Pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan
penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat
merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap risiko-risiko yang
C.Aplikasi Sistem Pengukuran Kinerja
1. Aspek Pengukuran Kinerja Organisasi
Dari beberapa sistem pengukuran yang dibuat para pakar tersebut terlihat
aspek pengukuran kinerja yang bervariasi. Beberapa contoh aspek pengukuran
kinerja pada sistem pengukuran kinerja yang dibuat para pakar dapat dilihat pada
Tabel 3.
Perbedaan jumlah dan jenis tinjauan aspek dalam sistem pengukuran kinerja
yang telah ada memberikan informasi bahwa aspek pengukuran kinerja tergantung
dari sifat, maksud/tujuan pendirian, visi dan misi serta kebutuhan organisasi.
Organisasi non profit berbeda dengan organisasi yang berorientasi pada profit.
Meskipun aspeknya dapat sama tetapi tinjauannya dapat berbeda seperti aspek
keuangan. Aspek keuangan pada organisasi non profit meninjau efisiensi kegiatan,
sedangkan aspek keuangan pada organisasi profit menekankan pada penjualan dan
laba.
Tabel 3 Aspek Pengukuran Kinerja
Sistem Pengukuran Kinerja Aspek Pengukuran Kinerja
Balance Scorecard 1. Financial
Performance Prism 1. Stakeholder Satisfaction
Sistem Pengukuran Kinerja Aspek Pengukuran Kinerja Parmenter dalam Moheriono, 2011)
1. Keuangan
Dari aspek pengukuran kinerja di atas di beberapa literatur penelitian
didapatkan indikator sebagaimana tertera pada Tabel 4. Indikator-indikator tersebut
merupakan hasil penelitian yang disesuaikan dengan kondisi organisasi setempat
dan kebutuhan dari upaya peningkatan kinerja organisasi tersebut. Setiap kondisi
dan kebutuhan organisasi yang berbeda akan menghasilkan indikator yang berbeda
kinerja yang sama dapat memiliki indikator yang berbeda. Hal ini juga disebabkan
oleh jenis usaha, kondisi ataupun tujuan organisasi yang berbeda.
Contoh indikator pada Tabel 4 merupakan alternatif indikator yang dapat
dipilih beberapa atau kesemuanya atau ada indikator lainnya. Organisasi dapat
memilih indikator sesuai dengan kesepakatan dengan pihak lain yang
berkepentingan, baik pihak eksternal maupun internal. Indikator merupakan alat
ukur kinerja manajemen organisasi sehingga harus benar-benar mencerminkan
kualitas kegiatan yang dilakukan. Di samping itu indikator biasanya disesuaikan
dengan prosedur atau dokumen yang ada sehingga tidak menyulitkan pada saat
pengukuran. Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan indikator
baik jumlah dan jenisnya adalah waktu dan biaya pengukuran. Apabila dalam
melakukan pengukuran suatu indikator memerlukan waktu yang lama dan biaya
yang besar maka harus dikaji ulang seberapa besar manfaatnya. Apalagi untuk
usaha kecil, pengukuran indikator diupayakan yang paling sederhana sehingga
mudah dan tidak memberatkan.
Tabel 4 Macam Indikator Kinerja Organisasi Aspek Pengukuran
5. Prosentase Sales Growth Total Asset Turnover
(TATO)
6. Efektivitas penyaluran dana pinjaman dan hibah 7. Tingkat kolektibilitas pengembalian pinjaman
Internal Business Processes
1. Supplier Lead Time (SLT) 2. Persentage of Defective (PDU)
3. Number of Transaction proses inovasi (penelitian dan pengembangan produk)
4. Proses inovasi: penelitian dasar dan terapan, pengem-bangan produk
5. Proses operasi: efisiensi proses, konsistensi dan ketepatan waktu (time, quality, cost)