• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur (Kemeneg BUMN, 2011a). Pengukuran kinerja adalah proses penilaian kinerja atas dasar data kinerja yang telah dikumpulkan melalui indikator kinerja. (Kemeneg Keu, 2010). Apabila kata kinerja, pengukuran dan sistem dirangkai akan menjadi sistem pengukuran kinerja yang memiliki arti tata cara penilaian hasil melalui indikator sehubungan dengan penggunaan anggaran.

Dalam sejarahnya sistem pengukuran kinerja organisasi hanya fokus pada keinginan investor saja tetapi saat ini berkembang sampai kesemua pihak (stakeholder). Perusahaan akan dapat bersaing dan bertahan dalam kondisi persaingan yang semakin global dan intens jika dalam pengelolaannya memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholder) (Wibisono, 2011). Pergeseran fokus pengelolaan perusahaan tersebut dapat digambarkan pada Gambar 3.

Dalam perkembangannya sampai saat ini telah banyak model sistem pengukuran kinerja terintegrasi berhasil dibuat oleh para akademisi dan praktisi, di antaranya adalah: Balanced Scorecard dari Kaplan dan Norton, (1996), Integrated Performance Measurement System (IPMS) dari Bititci et al. (1997), Performance Prism dari Neely dan Adam (2000) dan SMART System dari Wang Laboratory, Inc. Lowell, Massachucets Galayani et al. (1997). Masing-masing sistem pengkuran terdapat kelebihan dan kelemahan. Pemilihan sistem pengukuran kinerja disesuaikan dengan kebutuhan organisasi yang akan diukur kinerjanya.

19

Gambar 3 Pergeseran Fokus Pengelolaan Perusahaan (Wibisono, 2011)

Balance Scorecard adalah sistem pengukuran kinerja yang mengembangkan kerangka kerja menggunakan empat perspektif dengan titik awal strategi sebagai dasar perancangannya. Adapun keempat perspektif tersebut meliputi: financial perspective, customer perspective, internal business process perspective, dan learning and growth perspective. Keterkaitan antar obyektif dan ukuran kinerja dinyatakan dengan cause-and-effect relationship, di mana terjadi kulminasi kinerja pada financial perspective. Saat ini Kementerian Keuangan menjadikan Balance Scorecard sebagai pedoman pengelolaan kinerja di lingkungan Kementerian Keuangan yang dituangkan ke dalam Panduan Pengelolaan Kinerja Berbasis Balanced Scorecard di lingkungan Kementerian Keuangan.

Berbeda dengan model Balanced Scorecard yang menggunakan strategi menjadi titik awal dalam melakukan perancangannya, model Integrated Performance Measurement System (IPMS) adalah model sistem pengukuran kinerja yang dikembangkan di Center for Strategic Manufacturing dari University of Strathclyde, Glasgow. Tujuan dari model IPMS agar sistem pengukuran kinerja lebih terintegrasi, efektif, dan efisien. Model ini menjadikan keinginan stakeholder menjadi titik awal dalam melakukan perancangan sistem pengukuran kinerjanya. Stakeholder tidak berarti hanya pemegang saham (shareholder), melainkan beberapa pihak yang memiliki kepentingan atau dipentingkan oleh organisasi.

Metode Performance Prism adalah suatu metode pengukuran kinerja yang mengedepankan pentingnya menyelaraskan seluruh aspek (stakeholder) ke dalam suatu framework pengukuran yang strategis. Semua stakeholder akan dipuaskan secara seimbang dengan metode ini.

Model SMART (Strategic Management Analysis and Reporting Technique) merupakan model yang dibuat oleh Wang Laboratory dengan menggunakan strategi obyektif sebagai titik awal perancangannya. Perspektif berdasarkan strategi obyektifnya diyakini mampu menunjang operasional perusahaan. Susunan strategi obyektif disusun sesuai tingkatan dalam manajemen perusahaan manufaktur sehingga tersusun seperti piramida. Banyak perusahaan kecil dan menengah tidak memiliki visi dan strategi yang jelas. Orientasi yang lebih terfokus pada kinerja operasional lebih mendominasi. Oleh karena itu, model ini sering dipakai oleh perusahaan kecil dan menengah untuk mengukur kinerja organisasinya.

Dalam sistem pengukuran kinerja dikenal adanya indikator sedangkan dalam kumpulan indikator terdapat indikator kunci yang merupakan indikator utama yang sangat mempengaruhi kinerja organisasi. Jadi Indikator Kinerja Utama (IKU) adalah sekumpulan indikator yang dapat dianggap sebagai indikator kinerja kunci, baik yang bersifat finansial maupun nonfinansial untuk melaksanakan operasional pada bisnis (Moeheriono, 2011). Indikator Kinerja Utama (IKU) juga biasa disebut Key Performance Indikator (KPI). Keduanya (IKU dan KPI) pada dasarnya adalah bagian dari Performance Indikators atau indikator kinerja organisasi. Keunggulan IKU dibandingkan dengan indikator-indikator kinerja lainnya, adalah bahwa IKU merupakan indikator kunci yang benar-benar mampu mempresentasikan kinerja organisasi secara keseluruhan. Jumlah indikator kinerja yang dipilih sebagai IKU ini biasanya tidak banyak, namun demikian hasil pengukuran melalui indikator tersebut dapat digunakan untuk menilai tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan (Asropi, 2007).

Sebagai alat ukur kinerja strategis organisasi, IKU dapat mengindikasikan kesehatan dan perkembangan organisasi, dan atau keberhasilan kegiatan, program atau penyampaian pelayanan untuk mewujudkan target-target atau sasaran organisasi. IKU dapat berbentuk ukuran kuantitatif maupun kualitatif. Namun demikian, dalam praktek penyusunan IKU oleh berbagai organisasi publik dan private, sebagian besar IKU berupa ukuran kuantitatif. Hal ini dikarenakan, ukuran kuantitatif relatif lebih

21

mudah digunakan dalam proses penggalian data maupun pada saat pengukuran dan evaluasi, sedangkan untuk ukuran kualitatif, biasanya memerlukan survei atau kegiatan penelitian sebagai upaya untuk memperoleh data kinerja yang diperlukan. Proses penggalian data untuk ukuran kualitatif ini seringkali memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Pemilihan terhadap bentuk IKU, apakah kuantitatif atau kualitatif, tergantung pada kebutuhan dan karakter organisasi. Tidak dapat dipaksakan bahwa semua IKU harus kuantitatif atau harus kualitatif. Adapun pertimbangan utama yang harus menjadi dasar dalam pemilihan IKU adalah bahwa indikator tersebut dapat diukur (measurable). Hal ini berarti bahwa untuk setiap IKU baik ukuran kuantitatif maupun kualitatif sudah tersedia informasi tentang jenis data yang akan digali, sumber data, dan cara mendapatkan data tersebut.

Selain kriteria ”dapat diukur,” indikator kinerja juga harus memiliki sejumlah kriteria lain. Pada beberapa literatur disebutkan kriteria-kriteria indikator kinerja yang antara lain meliputi: Specific, Achievable, Realistic, dan Timely, yang jika digabungkan dengan kriteria Measurable (dapat diukur) dapat diringkas dalam akronim SMART. Dalam Buku Panduan Pengelolaan Kinerja Berbasis Balanced Scorecard di lingkungan Kementerian Keuangan (Kementerian Keuangan, 2010),

dikatakan dalam perumusan IKU seyogyanya memenuhi karakteristik indikator kinerja yang baik dan cukup memadai guna pengukuran kinerja menggunakan prinsip SMART-C, yaitu:

Specific : harus mampu menyatakan sesuatu yang khas/unik dalam menilai kinerja suatu kerja.

Measurable : harus dapat diukur dengan jelas, memiliki satuan pengukuran, dan jelas pula cara pengukurannya.

Achievable : harus dapat dicapai oleh penanggung jawab/ In Charge Realistic : harus sesuai dengan visi dan misi, serta tujuan strategi

organisasi

Time-bounded : harus memiliki batas waktu pencapaian

Continuously Improve : harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan strategi organisasi.

Pada Petunjuk Penyusunan Indikator Kinerja Utama dari Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) (Kemeneg PAN, 2004) terdapat syarat-syarat

yang harus dipenuhi oleh suatu indikator kinerja. Syarat-syarat yang berlaku untuk semua indikator kinerja tersebut adalah sebagai berikut:

1. Relevan; indikator kinerja harus berhubungan dengan apa yang diukur dan secara obyektif dapat digunakan untuk pengambilan keputusan atau kesimpulan tentang pencapaian apa yang diukur.

2. Penting/menjadi prioritas dan harus berguna untuk menunjukkan keberhasilan, kemajuan, atau pencapaian (accomplishment);

3. Efektif dan layak; data/informasi yang berkaitan dengan indikator kinerja yang bersangkutan dapat dikumpulkan, diolah, dan dianalisis dengan biaya yang layak.

Dalam Petunjuk Penyusunan Indikator Kinerja Utama dari Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) berdasarkan tipenya, indikator kinerja dapat dibagi menjadi:

1. Kualitatif, menggunakan skala (seperti: baik, cukup, kurang).

2. Kuantitatif absolut: menggunakan angka absolut (seperti: 30 orang, 80 ).

3. Persentase: menggunakan perbandingan angka absolut dari yang diukur dengan populasinya (seperti: 50%, 100%).

4. Rasio: rnembandingkan angka absolut dengan angka absolut lain yang terkait (seperti: rasio jumlah guru dibandingkan jumlah rnurid).

5. Rata-rata: angka rata-rata dari suatu populasi atau total kejadian (seperti: rata-rata biaya pelatihan per peserta dalam suatu diklat).

6. Indeks: angka patokan dari beberapa variabel kejadian berdasarkan suatu rumus tertentu (seperti: indeks harga saham, indeks pembangunan manusia).

Untuk tujuan analisis dan perencanaan indikator kinerja juga dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis, seperti:

1. Gambaran mengenai sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan output dan

outcome(kuantitas, kualitas, dan kehematan)

2. Gambaran mengenai langkah-langkah yang dilaksanakan dalam menghasilkan barang atau jasa (frekuensi proses, ketaatan terhadap jadwal dan ketaatan terhadap ketentuan/standar)

3. Gambaran mengenai output dalam bentuk barang atau jasa yang dihasilkan dari suatu kegiatan (kuantitas, kualitas, dan efisiensi)

4. Gambaran mengenai hasil aktual atau yang diharapkan dari barang atau jasa yang dihasilkan (peningkatan kuantitas, perbaikan proses, peningkatan efisiensi,

23

peningkatan kualitas, perubahan perilaku, peningkatan efektivitas, dan peningkatan pendapatan)

5. Gambaran mengenai akibat langsung atau tidak langsung dari tercapainya tujuan. lndikator dampak adalah indikator outcome pada tingkat yang lebih tinggi .

Menentukan indikator kinerja suatu organisasi memerlukan suatu proses langsung yang meliputi penyaringan yang berulang-ulang, kerjasama, dan pengembangan konsensus serta pemikiran yang hati-hati. Penetapannya wajib menggunakan prinsip kehati-hatian, kecermatan, keterbukaan, dan transparansi guna menghasilkan informasi kinerja yang handal. Indikator kinerja pada setiap tingkatan organisasi meliputi indikator keluaran (output) dan hasil (outcome). Pada petunjuk penyusunan indikator kinerja utama yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), indikator kinerja ditentukan dengan tatanan sebagai berikut: Pada tingkat kementerian Negara/Departemen/Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya menggunakan indikator hasil (outcome) sesuai dengan kewenangan, tugas dan fungsinya. Pada organisasi setingkat eselon I menggunakan indikator hasil (outcome) dan atau keluaran (output) yang setingkat lebih tinggi dari keluaran (output) kerja di bawahnya. Pada organisasi setingkat eselon II/ kerja mandiri sekurang-kurangnya menggunakan indikator keluaran (output).

Dengan memperhatikan persyaratan dan kriteria indikator kinerja, maka langkah-langkah yang umum dalam penentuan Indikator kinerja organisasi dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tahap pertama, klarifikasi apa yang menjadi kinerja utama, pernyataan hasil (result statement) atau tujuan/sasaran yang ingin capai. Suatu indikator kinerja yang baik, diawali dengan suatu pernyataan hasil yang dapat dimengerti atau dipahami orang banyak. Untuk dapat menghasilkan pernyataan hasil yang baik dan dapat dimengerti/dipahami orang banyak, perlu diperhatikan hal-ha1 sebagai berikut:

1. Secara hati-hati tentukan hasil yang akan dicapai. 2. Hindari pernyataan hasil yang terlalu luas/makro. 3. Pastikan jenis perubahan yang dimaksudkan. 4. Pastikan dimana perubahan akan terjadi.

5. ldentifikasikan target khusus perubahan dengan lebih cepat.

Tahap kedua, menyusun daftar awal Indikator Kinerja Utama. Terdapat beberapa jenis indikator kinerja yang dapat digunakan untuk mengukur suatu

outcome, namun dari indikator-indikator kinerja tersebut biasanya hanya beberapa indikator saja yang dapat digunakan dengan tepat. Daftar awal indikator kinerja ini disusun setelah mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan akan informasi kinerja dan kewajiban-kewajiban pelaporan akuntabilitas, dengan memperhatikan hal-ha1 yang diuraikan di dalam kerangka kerja penyusunan indikator kinerja di atas. Proses identifikasi dapat dimulai dari hal-ha1 yang terkecil, misalnya pada tingkat kegiatan. Penyusunan daftar awal indikator kinerja ini paling tidak sudah dapat menyebut nama atau judul indikator dan untuk apa indikator itu diperlukan (rasional, atau alasan mengapa diperlukan). Dalam menyusun daftar awal indikator kinerja, perlu dilakukan hal-ha1 sebagai berikut:

1. Brainstorming internal oleh tim perumus.

2. Konsultasi dengan para ahli di bidang yang sedang dibahas.

3. Menggunakan pengalaman pihak lain dengan kegiatan yang sama atau sejenis.

Tahap ketiga, melakukan penilaian setiap IKU yang terdapat dalam daftar awal indikator kinerja. Setelah berhasil membuat daftar awal IKU, langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi setiap indikator yang tercantum dalam daftar awal indikator kinerja. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan setiap indikator kinerja dalam daftar dengan kriterianya. Dengan skala yang sederhana, misalnya satu sampai lima, setiap indikator kinerja yang dievaluasi dapat ditetapkan nilainya. Pemberian nilai ini akan memberikan pemahaman yang menyeluruh terhadap kepentingan masing-masing indikator yang dievaluasi dan membantu proses pemilihan indikator yang paling tepat. Pendekatan dengan metode ini harus diterapkan secara fleksibel dan dengan pertimbangan yang matang, karena setiap kriteria tidak memiliki bobot yang sama.

Tahap keempat, memilih IKU. Sumber data kinerja tahap akhir dari proses ini adalah memilih IKU. Indikator-indikator kinerja tersebut, harus disusun dalam suatu set indikator yang optimal yang dapat memenuhi kebutuhan manajemen, yaitu informasi yang berguna dengan biaya yang wajar. Dalam pemilihan ini harus selektif. Pilihlah indikator kinerja yang dapat mewakili dimensi yang paling rnendasar dan penting dari setiap tujuan/sasaran. Kerangka kerja penyusunan seperangkat IKU merupakan keseluruhan pola tindak mulai dari identifikasi dan pengumpulan sejumlah

25

indikator pada daftar awal (list) yang diusulkan sampai pada penilaian, seleksi pemilihan, penentuan pemilihan, penetapan resmi dan pengorganisasian penerapannya. Kerangka kerja ini merupakan inti dari petunjuk ini agar dapat dihasilkan indikator-indikator yang baik dalam proses ini.

Pencetus dan ahli Balanced Scorecard yaitu Kaplan dan Norton telah menganjurkan bahwa penggunaan IKU tidak boleh lebih dari 20 parameter. Adapun Hope dan Fraser (Moeheriono, 2011) menganjurkan kurang dari 10 parameter.

Moeheriono (2011) dalam bukunya “Indikator Kinerja Utama” mengatakan bahwa dalam pemerintahan penilaian kinerja sangat berguna untuk menilai kuantitas, kualitas, dan efisiensi pelayanan dan motivasi birokrat pelaksana untuk melakukan pekerjaan lebih baik lagi. Organisasi publik memiliki stakeholder yang lebih banyak dan kompleks dari pada organisasi privat atau swasta. Stakeholder organisasi publik seringkali memiliki kepentingan yang berbenturan satu sama lainnya. Akibatnya ukuran kinerja organisasi publik di mata para stakeholder akhirnya juga berbeda- beda. Banyak birokrasi menempatkan pencapaian target sebagai ukuran kinerja, sedangkan masyarakat sebagai pengguna jasa, lebih suka kualitas layanan sebagai ukuran kinerja.

Ada tiga konsep yang dapat digunakan mengukur kinerja organisasi publik (Moeheriono, 2011) yaitu:

1. Responsivitas (responsiveness), yaitu menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

2. Responsibilitas (responsibility), yaitu pelaksanaan kegiatan organisasi publik dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan secara implisit maupun eksplisit.

3. Akuntabilitas (accountability), yaitu menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik yang diharapkan dari masyarakat, bisa berupa penilaian dari wakil rakyat, pejabat, dan masyarakat.

Pemerintah telah menyusun alat ukur untuk mengukur kinerja pelayanan publik secara eksternal melalui keputusan Menpan nomor 25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Pelayanan Instansi Pemerintah. Berdasarkan keputusan tersebut terdapat 14 indikator kriteria pengukuran kinerja organisasi, yaitu:

1. Prosedur Pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.

2. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.

3. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggung jawabnya). 4. Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan

pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku.

5. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.

6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat. 7. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu

yang telah ditentukan oleh penyelenggara pelayanan.

8. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.

9. Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.

10.Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh pelayanan.

11.Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan.

12.Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

13.Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan.

14.Keamanan Pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap risiko-risiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.

27