• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kejahatan Kemanusiaan sebagai Pelanggaran HAM Berat Terhadap Penduduk Sipil di Republik Afrika Tengah Ditinjau dari Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kejahatan Kemanusiaan sebagai Pelanggaran HAM Berat Terhadap Penduduk Sipil di Republik Afrika Tengah Ditinjau dari Hukum Internasional"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Dari Buku-Buku

Agus, Fadillah., Hukum Humaniter – Suatu Perspektif, (Jakarta : Pusat Studi

Hukum Humaniter Universitas USAKTI, 1997)

Ball, Nicole., Making Peace Work, (Washington DC : Overseas Development

Council, 1996)

Bassiouni, M. Cherif., A Draft International Criminal Code and Draft Statue for

an International Criminal Tribunal, (Leiden : Martinus Nijhoff, 1987) Diantha, I Made Pasek., Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika

Pengadilan Pidana Internasional, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2014) Donelly, Jack., Universal Human Rights in Theory and Practice, (London :

University Press, 2003)

Efendi, Tolib., Hukum Pidana Internasional, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia,

2014)

Hadi, Syamsul dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru, (Jakarta : Cires, 2007)

Haryomataram, KGPH., Pengantar Hukum Humaniter, (Jakarta : Raja Grafindo

Persada, 2005)

Hiariej, Eddy Omar Sharif., Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta :

(2)

Iskandarsyah., Pengantar Hukum Humaniter, ICRC (International Committee of

Red Cross), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1999)

Istanto, F. Sugeng., Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat

Semesta dan Hukum Internasional, (Yogyakarta : Andi Offset, 1992)

Jabri, Viviene., Discourse on Violence : Conflict Analysis Reconsidered,

(Manchester : Manchester University Press, 1996)

J Harris, D., Cases and Materials on International Law, (London : Street and

Maxwell, 1973)

Knight, Andy., Peace Building Theory and Practice, (Edmonton : University of

Alberta, 2004)

Kusumaatmadja, Mochtar., Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, (Bandung :

Alumni, 2002)

Miall, Hugh et. al., Resolusi Damai Konfli Kontemporer : Menyelesaikan,

Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, (Jakarta : Rajawali Press, 2002)

Parthiana, I Wayan., Hukum Pidana Internasional, (Bandung : Yrama Widya,

2006)

Paust, Jordan J., International Criminal Law, (Carolina : Academic Press, 1996)

Siswanto, Dadang., Hubungan Antara Kejahatan Terhadap Kemanusiaan,

(3)

Sujatmoko, Andrey., Hukum HAM dan Hukum Humaniter, (Jakarta : Raja

Grafindo, 2015)

Wahjoe, Untung., Hukum Pidana Internasional, (Jakarta : Erlangga, 2011)

Widyawati, Anis., Hukum Pidana Internasional, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014)

Yudhawiranata, Agung., Pengadilan HAM Internasional, (Yogyakarta : Pusham

UII, 2006)

B. Makalah, Karya Ilmiah, Artikel dan Jurnal

Wagiman, Wahyu., Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Jakarta :

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Seri Bahan Bacaan Kursus

HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007

Arief, Barda Nawawi., Perlindungan Korban Kejahatan dalam Proses Peradilan

Pidana, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol.1, 1998

Gayatri, Irine H., Civil Rights dan Demokratisasi : Pengalaman Indonesia II,

Jawa Barat, Forum Diskusi Interseksi tanggal 27-29 Januari 2003

Green, L.C., International Crimes and the Legal Process, Internatinal and

Comparative Law Quarterly Vol.29, 1980

International Law Commission Yearbook, Vol. II Part Two, 1994

Veuthey, M., The International Committee of the Red Cross and Human Rights,

Unpublished Paper, Paper presented at International Conference on

(4)

C. Konvensi Dan Undang-Undang

Den Hague Convention 1899/1907.

Geneva Conventions of 1949 and Additional Protocols 1977.

International Criminal Tribunal of Rwanda Statute 1994.

International Criminal Tribunal of Yugoslavia Statute 1993.

International Military Tribunal for the Far East, Tokyo Tribunals 1946.

Lieber Code 1863.

Rome Statute of the International Criminal Court 1998.

Saint Petersburg Declaration 1868.

Nuremberg Charter 1945.

UN General Assembly Resolution No. 2392 (XXIII), 26 November 1968.

Undang-undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

D. Situs Web

http://www.aljazeera.com

http://www.amnesty.org

http://www.articles.latimes.com

http://www.bbc.co.uk

http://www.enoughproject.org

(5)

http://www.hcr.org

http://www.komnas-tpnpb.net

http://www.landasanteori.com

http://www.mochamaddidi.wordpress.com

http://www.news.okezone.com

http://www.re-tawon.com

http://www.republika.co.id

http://www.rfi.fr

http://www.sais.jhu.id

http://www.satuharapan.com

http://www.suburwatch.blogspot.com

http://www.theguardian.com

http://www.time.com

http://ww.un.org

http://www.unhcr.org

http://www.unic-jakarta.org

http://www.voaindonesia.com

(6)

A.Pengertian Penduduk Sipil

Dalam hukum humaniter dikenal adanya asas pembedaan (distinction

principle) yakni merupakan suatu asas dalam hukum humaniter yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang,

atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua golongan besar, yakni

kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian).

Kombatan sendiri adalah merupakan golongan penduduk yang secara aktif

turut serta dalam suatu pertempuran atau permusuhan (hostilities), sedangkan

penduduk sipil adalah golongan penduduk yang bukan merupakan angkatan

bersenjata dan tidak berhak untuk turut serta dalam suatu pertempuran atau

permusuhan (hostilities). Adapun diadakannya pembedaan yang demikian adalah

untuk mengetahui pihak mana saja yang berhak dan boleh turut serta dalam

pertempuran di medan peperangan.

Menurut Konvensi Jenewa ke-IV, penduduk sipil di defenisikan sebagai

orang yang bukan merupakan anggota militer. Militer sendiri merupakan angkatan

bersenjata dari suatu negara dan segala sesuatu yang berhubungan dengan

angkatan bersenjata biasanya terdiri atas para prajurit atau serdadu.

(7)

tidak sedang melakukan penyerangan secara sengaja atau menghancurkan atau

mengambil barang milik seorang warga sipil secara tidak perlu. Meskipun begitu,

barang milik seorang warga sipil boleh dihancurkan jika ada tujuan militer;

barang milik seorang warga boleh disita untuk keperluan militer; dan kerusakan

secara tidak sengaja merupakan sesuatu yang dapat diterima dalam suatu perang.

Sedangkan pengertian penduduk sipil yang terdapat pada Pasal 50

Protokol Tambahan I 1977 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penduduk

sipil adalah orang-orang selain daripada kategori yang dimaksud dalam Pasal 4

(A)(1),(2),(3) dan (6) konvensi ke-III dan Pasal 43 Protokol Tambahan I 1977.

Pada intinya penduduk sipil adalah bukan pihak yang berperang dan tidak boleh

membawa senjata.

Menurut Sugeng Istanto dalam bukunya menjelaskan penduduk sipil

adalah orang, seorang atau sekumpulan orang, yang bukan anggota angkatan

bersenjata, yang karenanya tidak berhak ikut serta langsung dalam permusuhan.22

Pada hakikatnya penduduk sipil adalah seseorang atau warga masyarakat yang

tidak ikut ambil bagian dalam suatu konflik bersenjata, permusuhan, perang

ataupun suatu pertempuran dan bukan merupakan bagian dari sebuah angkatan

bersenjata serta tidak berhak turut dalam sebuah pertempuran dan harus dilindungi

serta dihormati hak-haknya oleh karena bukan merupakan sasaran penyerangan

atau bagian objek militer.

22

(8)

B. Status dan Kedudukan Penduduk Sipil Menurut Konvensi Den Haag

1907, Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan

Seperti telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya, penduduk sipil

pada hakikatnya adalah seseorang atau warga masyarakat yang tidak ikut ambil

bagian dalam sebuah konflik bersenjata, permusuhan, perang ataupun suatu

pertempuran dan bukan merupakan bagian dari sebuah angkatan bersenjata serta

tidak berhak turut dalam sebuah pertempuran dan harus dilindungi serta dihormati

hak-haknya oleh karena bukan merupakan sasaran penyerangan atau bagian objek

militer.

Adapun status dan kedudukan penduduk sipil pada dasarnya bersumber

pada asas pembedaan yang memiliki tujuan untuk melindungi penduduk sipil

dengan cara mengategorikan serta membedakan antara kombatan maupun

penduduk sipil. Dengan adanya asas pembedaan ini diharapkan pihak yang

terlibat dalam suatu konflik bersenjata ataupun perang dapat membedakan obyek

penyerangan dan sasaran dalam suatu pertempuran.

Menurut Jean Pictet, asas pembedan ini berasal dari asas umum yang

dinamakan asas pembatasan (ratione personae) yang menyatakan “The civilian

population and individual civilians shall enjoy general protection against danger arising from military operation” yang berarti bahwa penduduk sipil dan orang-orang sipil harus mendapatkan perlindungan umum bahaya yang ditimbulkan

(9)

Asas ini membutuhkan penjabaran ke dalam sejumlah asas pelaksanaan

(principal of aplication) antara lain : Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat

harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan

penduduk sipil dan obyek-obyek sipil; Penduduk sipil demikian pula orang sipil

secara perorangan, tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun dalam hal

reprisal (pembalasan); Tindakan maupun ancaman kekerasan dengan tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang;

Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang

memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk

menekankan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil

mungkin; Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan

menahan musuh. Secara normatif prinsip ini dapat mengeliminasi kemungkinan

terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil.

Adapun kombatan dalam halnya sebagai sasaran penyerangan dapat

dikategorikan dalam beberapa golongan dan kian memperjelas kedudukan

penduduk sipil yang bukan merupakan sasaran ataupun obyek penyerangan,

berikut penggolongan kombatan23 :

1. Angkatan Bersenjata resmi (reguler) dari suatu negara;

2. Milisi dan Korps Sukarela;

3. Levee en masse;

23

(10)

4. Gerakan perlawanan yang terorganisir (Organized Resistance Movement),

seperti yang dikenal dengan sebutan : guerillas, partisans, maquisard,

freedom fighters, insurgent, sandinistas, peshmergars, panjsheries,

mujahideen, motariks, contras, muchachos, khmer rouge / liberation tiger,

mau-mau, fedayins, dan sebagainya.

Pada Konvensi Den Hague 1907 artikel ke-3 penggolongan angkatan

bersenjata terdiri dari kombat dan nonkombatan. Nonkombatan disini bukanlah

penduduk sipil melainkan angkatan bersenjata yang tidak turut bertempur seperti

petugas medis (medical personel) maupun rohaniawan (chaplain) yang tergabung

dalam angkatan bersenjata tetapi tidak ikut ambil bagian secara langsung

dilindungi dikarenakan tugas khusus mereka.

Menurut Konvensi Jenewa 1949, tidak dengan tegas disebutkan adanya

penggolongan kombatan dan penduduk sipil, namun ketentuan dalam pasal-pasal

tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk diberlakukan bagi kombatan. Mereka

yang dapat dimasukkan dalam kategori kombatan adalah :

1. Mereka yang memiliki pemimpin yang bertanggung jawab atas

bawahannya;

2. Mereka yang mengenakan tanda-tanda tertentu yang dapat dikenal dari

jarak jauh;

3. Mereka yang membawa senjata secara terbuka;

Dalam Protokol Tambahan Tahun 1977 ini istilah kombatan dinyatakan

(11)

kombatan. Mereka yang digolongkan sebagai kombatan adalah mereka yang

termasuk dalam pengertian angkatan bersenjata (armed force). Pengertian

angkatan bersenjata adalah mereka yang memiliki hak untuk berperang secara

langsung dalam permusuhan. Mereka terdiri atas : Angkatan bersenjata yang

terorganisir (organized armed force); Kelompok-kelompok atau unit-unit yang

berada di bawah satu komando yang bertanggungjawab atas tingkah laku

bawahannya kepada pihak yang bersangkutan.

Dalam Protokol Tambahan Tahun 1977 ini defenisi nonkombatan pun

diperluas, sehingga nonkombatan adalah kombatan yang tidak dapat bertempur

lagi; dan warga negara netral (termasuk personil militer) yang tidak berjuang

untuk salah satu pihak yang terlibat perang dalam konflik bersenjata.

Protokol ini semakin mempertegas status dan kedudukan penduduk sipil

dan obyek-obyek sipil, maka dari itu pihak-pihak yang bersengketa setiap saat

harus membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dan juga antara

obyek-obyek sipil dan militer, serta harus mengarahkan operasi mereka hanya terhadap

sasaran-sasaran militer. Dengan adanya asas pembedaan dan perkembangannya

melalui Konvensi maupun Protokol Tambahan yang mengatur serta

mendefenisikan warga negara yang sedang melakukan pertikaian dapat

dikategorikan menjadi dua golongan besar, kombatan dan penduduk sipil,

memperjelas status dan kedudukan penduduk sipil dalam suatu konflik bersenjata

yang tidak tergabung kedalam angkatan bersenjata militer, milisi, leeve and masse

maupun gerakan perlawanan maka berhak mendapat perlindungan sebagai mana

(12)

C. Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Pada Konflik Bersenjata

Menurut Hukum Humaniter Internasional

Perlindungan penduduk sipil dalam Hukum Humaniter Internasional

dibedakan menurut bentuk dan isinya yang tertuang dalam hukum internasional

kebiasaan dan hukum internasional perjanjian. Adapun aturan-aturan tersebut

berdiri sendiri terlepas dari satuan pengaturan lainnya. Aturan-aturan dalam

halnya perlindungan penduduk sipil ini terdapat pada Instruksi Lieber tahun 1863

yang berbentuk HHI kebiasaan, dan yang berbentuk HHI perjanjian meliputi

Konvensi Jenewa 1864, Konvensi Den Haag 1899/1907, Konvensi Jenewa 1949

dan Protokol Tambahan 1977.24

Dimulai dari Instruksi Lieber tahun 1863, Instruksi pemerintah Amerika

Serikat, yang dianggap sebagai kodifikasi hukum perang internasional dengan

menggunakan kata-kata seperti “unarmed citizens”, “private citizens”,

“inoffensive citizens”, “private individuals” dan “non-combatant” menetapkan

beberapa ketentuan yang mengatur orang sipil. Instruksi itu membedakan orang

sipil dalam tiga kelompok, yakni orang sipil yang “inoffensive”, orang sipil yang

ikut serta langsung dalam permusuhan, dan orang sipil yang terkait dalam

pelaksanaan tugas angkatan bersenjata. Bagi mereka instruksi tersebut

menetapkan perlindungan dan larangan.25

Orang sipil yang “inoffensive” mendapatkan perlindungan pribadi, harta

dan kehormatannya. Mereka tidak boleh dibunuh, dijadikan budak, dipindah

24

Fadillah Agus, Hukum Humaniter-Suatu Perspektif, Jakarta, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas USAKTI, 1997, hal. 42

25

(13)

paksakan atau dipaksa bekerja pada pihak yang menang. Kesucian hubungan

keluarga juga tidak boleh dicemarkan. Orang sipil yang turut serta langsung dalam

permusuhan sebagai peserta “leeve en masse” diberi kedudukan sebagai

“belligerent”. Orang sipil yang terkait aktif dalam pelaksanaan tugas angkatan

bersenjata bila tertangkap musuh berhak mendapatkan status tahanan perang.

Disamping perlindungan itu instruksi tersebut juga menetapkan laranga bagi

penduduk sipil, misalnya larangan dilakukannya perbuatan perang oleh orang

sipil. Di wilayah pendudukan orang sipil dilarang melakukan perlawanan

bersenjata.26 Ketentuan hukum humaniter internasional dalam instruksi lieber

1863 yang mengatur penduduk sipil itu berlaku pada penduduk sipil beserta

perlindungan yang ditetapkannya sebagai ketentuan hukum humaniter

internasioanl kebiasaan.27

Selanjutnya pengaturan perlindungan penduduk sipil dalam bentuk

perjanjian internasional ialah Konvensi Jenewa tahun 1864. Merupakan perjanjian

internasional hukum humaniter internasional pertama yang menetapkan

perlindungan bagi korban perang. Konvensi yang dimaksudkan untuk melindungi

korban perang ini menetapkan perlindungan bagi mereka yang luka di medan

perang, personil dan kesatuan medik beserta peralatannya. Ketentuan ini juga

mengatur tingkah laku orang sipil dalam konflik bersenjata dan perlindungan

terhadapnya.

26

F. Sugeng Istanto, Op.cit., hal. 21

27

(14)

Kemudian pada tahun 1868 muncullah deklarasi yang disebut Deklarasi

St. Petersburg yang merupakan perjanjian internasional pertama yang melarang

penggunaan senjata tertentu di dalam perang. Meskipun deklarasi ini secara

eksplisit tidak mengatur orang sipil, namun deklarasi ini menetapkan

perlindungan bagi orang sipil secara implisit. Hal itu ditandai dengan adanya asas

pembedaan antara penduduk sipil dan kombatan dalam konsiderannya.

Konsideran itu menetapkan bahwa satu-satunya sasaran sah yang dapat dituju

dalam perang adalah melemahkan angkatan bersenjata pihak lawan. Perlunya asas

pembedaan ini adalah untuk mengetahui mereka yang boleh turut serta dalam

permusuhan , sehingga boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan, dan mereka

yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan sehingga tidak boleh dijadikan

objek kekerasan. Penduduk sipil yang tidak turut serta dalam permusuhan

tersebut, harus dilindungi dari tindakan peperangan itu.

Di rasa perlu untuk memperbaharui aturan sebelumnya, maka pada tahun

1899 dan tahun 1907 diadakan Konvensi Den Haag untuk menetapkan aturan

tentang hukum dan kebiasaan perang darat “Regulations respecting the Laws and

Custom of war on Land” atau disebut juga Pengaturan Den Haag “Hague Regulations”. Pengaturan Den Hag ini lebih banyak mengatur “belligerents”, baik kualifikasi maupun hak dan kewajibannya. “Belligerents” adalah mereka yang

tunduk pada hukum perang. Dalam istilah sekarang mereka dikategorikan sebagai

kombatan. Pengaturan Den Haag tidak menetapkan batasan pengertian orang sipil.

Namun dalam pengaturan Den Haag terdapat ketentuan-ketentuan orang-orang

(15)

permusuhan “hostilities” atau dengan kata lain disebut sebagai penduduk sipil.

Pengaturan Den Haag ini melindungi penduduk sipil yang berada di wilayah

pendudukan. Bentuk perlindungan tersebut ialah perlindungan terhadap tindakan

sewenang-wenang dari musuh yang menguasainya. Bentuk perlindungan tersebut

antara lain28 :

1. Larangan pemaksaan penduduk sipil memberikan informasi tentang

angkatan besenjata pihak lawan bertikai atau tentang perlengkapan

pertahanan;

2. Larangan meminta sumpah kepada penduduk sipil untuk setia kepada

penguasa pendudukan;

3. Penghormatan hak-hak pribadi penduduk sipil;

4. Larangan menjarah penduduk sipil;

5. Larangan pemungutan pajak dan pungutan lain secara sewenang-wenang;

6. Larangan penghukuman kolektif pada orang sipil;

7. Larangan pencabutan hak milik penduduk sipil secara sewenang-wenang.

Dalam Konvensi Den Haag ini diatur pula mengenai penggunaan senjata

atau alat berperang secara rinci dalam hal bentuk perlindungan terhadap pihak

yang bersengketa (Kombatan dan Nonkombatan), untuk itu pihak yang

bersengketa dilarang untuk29 :

28

Ibid., hal. 44-45

29

(16)

1. Menggunakan senjata racun/beracun;

2. Membunuh/melukai secara keji;

3. Membunuh/melukai musuh yang telah menyerah/meletakkan senjata

(nonkombatan);

4. Menggunakan senjata/peluru yang menimbulkan penderitaan berlebihan

(superfluous injury);

5. Menggunakan/memperlakukan secara tidak layak terhadap bendera putih,

bendera negara, tanda-tanda/seragam tentara, maupun tanda (emblem)

pembeda yang diatur Konvensi Jenewa;

6. Menghancurkan/merampas harta benda musuh; dan

7. Menyatakan dihapuskan, ditunda, atau tidak dapat diklaim dihadapan

pengadilan hak-hak dan hak untuk bertindak dari warga negara musuh.

Pada perkembangannya dalam pengaturan perlindungan penduduk sipil,

pada tahun 1949 diadakan Konvensi Jenewa tentang perlindungan korban perang.

Konvensi Jenewa sendiri terdiri dari empat konvensi. Konvensi pertama, kedua,

ketiga mengatur perlindungan korban perang anggota angkatan perang. Kemudian

Konvensi Jenewa yang ke empat mengatur tentang perlindungan korban perang

orang sipil di masa perang.

Konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi Jenewa 1949 sendiri memiliki

perbedaan pada subyek dan obyek yang diatur. Subyek yang diatur pada Konvensi

(17)

Haag sedangkan pada Konvensi Jenewa 1949 yang menjadi subyeknya adalah

para pihak yang telah mengikatkan diri pada Hukum Jenewa 1949 dan berkonflik

dengan pihak bukan subyek yang diakui oleh hukum internasional. Dari segi

obyek, maka Konvensi Den Haag 1907 hanya mengatur cara perang dan alat

perang, sedangkan Konvensi Jenewa 1949 mengatur tidak hanya cara perang dan

alat perang tetapi juga mengatur perlindungan korban perang dari pihak penduduk

sipil maupun kombatan.

Adapun orang-orang yang dilindungi pada Konvensi Jenewa I, II, III

terdiri dari enam kelompok, yaitu30 :

1. Anggota angkatan perang dari pihak yang bertikai;

2. Anggota milisi, anggota barisan sukarelawan, anggota gerakan perlawanan

dari pihak yang bertikai yang memenuhi persyaratan tertentu;

3. Anggota angkatan perang dari penguasa yang tidak diakui negara penahan;

4. Anggota yang menyertai angakatan perang tanpa menjadi anggotanya;

5. Anggota awak kapal sipil atau pesawat terbang sipil dari pihak yang

bertikai;

6. Peserta “leeve en masse”.

Pada pengelompokan diatas, kelompok ke-3 dan ke-4 orang yang dilindungi

adalah orang sipil, meskipun begitu mereka tetap mendapatkan perlindungan

30

(18)

hukum humaniter internasional yang diperuntukkan bagi kombatan pada konvensi

tersebut.

Konvensi Jenewa IV tahun 1949 menetapkan perlindungan bagi mereka

yang tidak termasuk dalam kategori orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa

tahun 1949 yang lain (Konvesi Jenewa I, II, & III). Orang sipil yang dilindungi

Konvensi Jenewa IV tidaklah mencakup semua orang sipil. Orang sipil yang

dilindungi dalam Konvensi Jenewa ini pada umumnya hanyalah orang sipil yang

berada di tangan musuh, baik di wilayah musuh, di wilayah yang di duduki,

maupun di wilayah pertempuran, Perlindungan tersebut antara lain31 :

1. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang musuh yang

menguasainya di wilayah pihak yang bertikai, di wilayah pendudukan, di

interniran;

2. Bantuan kantor penerangan;

3. Penghormatan pribadi manusia;

4. Penghormatan hak-hak dasar pribadi manusia pria ataupun wanita;

5. Larangan penghukuman kolektif, penyanderaan, penghinaan;

6. Kesempatan meninggalkan wilayah musuh;

7. Jaminan mendapatkan makan dan obat-obatan di wilayah pendudukan.

Konvensi Jenewa ke IV tahun 1949 ini mengatur perlindungan untuk

orang sipil secara luas. Orang sipil yang dilindungi Konvensi Jenewa ke IV tahun

31

(19)

1949 bagian II mencakup kelompok orang sipil yang lebih luas disebabkan

perlindungan bagian tersebut tidak hanya terbatas pada orang sipil warga negara

musuh, warga negara netral, warga negara sekutu yang tidak mempunyai

hubungan diplomatik normal dengan negara yang menguasainya dan mereka yang

tidak mempunyai kewarganegaraan. Perlindungan bagian II ini mencakup semua

orang tanpa membedakan kewarganegaraannya. Perlindungan ini juga dikaitkan

dengan tempat tertentu seperti daerah Rumah Sakit ataupun daerah keselamatan

perlindungan yang ditetapkan bagi orang-orang itu ditempat tersebut agar

terhindar dari pemboman musuh.

Dikarenakan adanya perkembangan pemahaman tentang pertikaian

bersenjata, kebutuhan perlindungan yang lebih luas bagi mereka yang luka, sakit

dan korban karam serta perkembangan cara dan sarana perang beberapa waktu

yang lalu lahirlah Protokol Tambahan tahun 1977. Protokol Tambahan ini

merupakan tambahan pada Konvensi Jenewa 1949, namun melihat dari isi aturan

yang terkandung di dalamnya Protokol Tambahan 1977 ini juga merupakan

tambahan Konvensi Den Haag 1907 karena memuat aturan dan tata cara serta

sarana pertikaian besenjata. Keberadaan dari Protokol Tambahan adalah sebagai

bentuk penyempurnaan dari Konvensi Jenewa 1949. Bukan sebagai pengganti dari

Konvensi Jenewa tahun 1949. Protokol ini sendiri terdiri dari dua bagian, yakni

Protokol Tambahan I dan Protokol tambahan II. Protokol Tambahan I memuat

aturan tentang perlindungan korban konflik bersenjata yang bersifat internasional,

sedangkan Protokol Tambahan II memuat aturan perlindungan korban konflik

(20)

Pada Protokol Tambahan I tahun 1977 ini secara eksplisit membatasi

defenisi orang sipil yang diartikan sebagai setiap orang yang bukan anggota

angkatan bersenjata pihak yang bertikai, sedangkan anggota angkatan bersenjata

disebut sebagai kombatan dan mereka berhak ikut serta dalam pertikaian/konflik

bersenjata. Ketentuan pokok yang terdapat dalam Protokol Tambahan I 1977

antara lain : Melarang serangan yang membabi-buta dan reprisal terhadap :

Penduduk sipil dan orang-orang sipil; Obyek-obyek yang sangat penting bagi

kelangsungan hidup penduduk sipil; Benda-benda budaya dan juga tempat-tempat

religius; Bangunan dan instalansi berbahaya; Lingkungan alam. Memperluas

perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam Konvensi Jenewa kepada

semua personil medis, unit-unit dan alat-alat transportasi medis, baik yang berasal

dari organisasi sipil maupun militer. Menentukan kewajiban bagi Pihak Peserta

Agung untuk mencari orang- orang yang hilang (missing persons). Menegaskan

ketentuan-ketentuan mengenai suplai bantuan (relief supplies) yang ditujukan

pada penduduk sipil. Memberikan perlindungan terhadap seluruh

kegiatan-kegiatan organisasi pertahanan sipil. Mengkhususkan adanya tindakan-tindakan

yang harus dilakukan oleh negara-negara untuk memfasilitasi implementasi

hukum humaniter. Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang

tertulis dalam subbab (1) di atas, maka pelanggaran tersebut dapat dianggap

sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum humaniter dan dikategorikan ke

dalam bentuk kejahatan perang (war crimes).32

32

(21)

Tidak hanya pada Protokol Tambahan I, Protokol Tambahan II juga

memiliki beberapa hal yang diatur khusus di dalamnya. Ketentuan-ketentuan

dalam Protokol II antara lain menentukan hal-hal sebagai berikut :33 Mengatur

jaminan-jaminan yang sifatnya fundamental bagi semua orang, apakah mereka

yang terlibat atau tidak dalam suatu pertempuran. Menentukan hal-hal bagi

orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang adil.

Memberikan perlindungan penduduk sipil dan obyek-obyek perlindungan

Melarang dilakukannya tindakan intervensi secara sengaja.

Mengenai ruang lingkupnya, Pasal 1 Ayat (1) Protokol Tambahan II yang

tidak lain sebagai pelengkap Konvensi Jenewa tahun 1949, menetapkan bahwa

Protokol Tambahan II ini berlaku kepada semua konflik bersenjata yang tidak

dirumuskan dalam Pasal 1 Protokol Tambahan I 1977 tentang Perlindungan

Korban Konflik Bersenjata Internasional. Ketentuan-ketentuan ini hanya berlaku

dalam konflik bersenjata yang berlangsung di wilayah negera-negara peserta

konvensi. Konflik yang terjadi antara angkatan perangnya dan angkatan perang

pemberontak atau milisi bersenjata pemberontak lainnya yang sifatnya

terorganisir. Dalam artian bahwa milisi bersenjata pemberontak tersebut berada di

bawah komando yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan kekuasaan atas suatu

bagian dari wilayahnya, yang memungkinkan mereka untuk melaksankan operasi-

operasi militer secara terus menerus.

Keberadaan Protokol II ini menyatakan bahwa setiap pihak yang menjadi

korban dari konflik bersenjata non-internasional, dapat menerima perlindungan

33

(22)

sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977. Perlindungan ini

diberikan secara menyeluruh tanpa adanya diskriminasi seperti yang berlaku pada

ketentuan mengenai konflik bersenjata internasional. Protokol Tambahan II tahun

1977, Pasal 2 Ayat (1).

Dalam Protokol Tambahan II ini, ditegaskan bahwa negara yang sedang

dilanda konflik bersenjata dalam negeri memiliki kedaulatan yang penuh untuk

melakukan tindakan penyelamatan dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu, dapat

disimpulkan bahwa tidak ada satu pun ketentuan dari Protokol ini yang boleh

digunakan sebagai suatu pembenaran bagi campur tangan (intervensi) pihak luar

di dalam konflik bersenjata atau di dalam urusan dalam negeri atau luar negeri

suatu negara. Protokol Tambahan II tahun 1977, Pasal 3 Ayat (2).

Sebagaimana tidak ada satu pun dari ketentuan Protokol ini yang boleh

dipergunakan untuk dijadikan peluang untuk mempengaruhi kedaulatan suatu

negara atau tanggungjawab pemerintah yang berupaya dengan segala cara yang

sah untuk mempertahankan dan memulihkan kembali hukum dan ketertiban atau

untuk mempertahankan persatuan nasional dan keutuhan wilayah negara

itu.Protokol Tambahan II tahun 1977, Pasal 3 Ayat (1). Hal ini semakin

menegaskan kedaulatan yang dimiliki oleh setiap negara tanpa terkecuali.

Protokol I dan II tahun 1977 juga menjabarkan dalam hal menetapkan

perlindungan bagi orang sipil antara lain34 :

Protokol Tambahan I tahun 1977 menetapkan a.1 :

34

(23)

1. Larangan menyerang orang sipil;

2. Keharusan dilakukannya penghati-hatian dalam melakukan perbuatan

perang demi untuk melindungi orang sipil;

3. Larangan dilakukannya kekerasan kepada orang sipil;

4. Larangan pemindahan paksa orang sipil;

5. Jaminan mendapatkan bantuan;

6. Kesempatan memberi bantuan korban konflik bersenjata.

Protokol Tambahan II tahun 1977 menetapkan a.1 :

1. Perlindungan terhadap operasi militer;

2. Larangan dijadikannya orang sipil sebagai sasaran konflik bersenjata;

3. Larangan menjadikan kelaparan orang sipil sebagai sarana pertikaian;

4. Larangan menyerang bangunan dan instalasi yang mengandung kekuatan

berbahaya;

5. Larangan pemindahan paksa orang sipil;

6. Perlindungan kumpulan dan orang sipil penolong korban pertikaian

bersenjata.

Hukum humaniter internasional mewajibkan pihak-pihak yang

bersengketa untuk membedakan antara penduduk sipil dengan kombatan. Pasal

48 Protokol Tambahan I 1977. Istilah penduduk sipil mencakup semua orang

(24)

sipil yang berdomisili di daerah-daerah terjadinya konflik bersenjata atau

penduduk sipil yang berdomisili di daerah-daerah pendudukan.35

Berdasarkan hal tersebut, yang dimaksud dengan orang sipil adalah setiap

orang yang tidak ikut berperang. Jika terdapat suatu keraguan apakah seseorang

tersebut adalah seorang sipil atau kombatan, maka ia harus dianggap sebagai

orang sipil36. Perlindungan penduduk sipil ini juga mencakup terhadap orang-

orang yang bekerja sebagai penolong, wartawan maupun anggota organisasi

pertahanan sipil. Orang-orang sipil harus diperlakukan dengan perlakuan yang

manusiawi tanpa suatu pembedaan diskriminatif yang didasarkan atas jenis

kelamin, warna kulit, ras, agama atau kepercayaan, pandangan politik atau

pandangan-pandangan lainnya, asal kebangsaan dan sosial, kekayaan, keturunan,

dan standar-standar pembedaan serupa lainnya.

Pada konflik bersenjata non-internasional, perlindungan terhadap

penduduk sipil telah mendapatkan perhatian yang cukup dalam hukum humaniter

internasional. Ketetapan tentang perlindungan bagi penduduk sipil tersebut telah

dijelaskan pada Bab IV dalam Protokol Tambahan II tahun 1977. Pasal 13

Protokol Tambahan II menegaskan bahwa penduduk sipil dan orang-orang sipil

berhak menerima perlindungan umum dari bahaya yang ditimbulkan oleh operasi-

operasi militer.37

35

“Konvensi Jenewa 1949 Tentang Korban Perlindungan Perang, Tehadap Warga Sipil dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional” sebagaimana dimuat dalam www.landasanteori.com, terakhir diakses 29 Mei 2016 pukul 17.34

36

Pasal 50 Protokol Tambahan I 1977

37

(25)

Untuk menekankan pentingnya perlindungan tersebut, ditegaskan larangan

menjadikan penduduk sipil dan orang-orang sipil sebagai sasaran serangan.

Sebagaimana dilarang melakukan ancaman-ancaman kekerasan yang tujuan

utamanya adalah menyebarkan teror di kalangan penduduk sipil. Penduduk sipil

dan orang-orang sipil ini berhak menerima jaminan perlindungan yang ada,

selama tidak turut serta melakukan aksi-aksi perlawanan secara langsung.38

Protokol Tambahan II juga melarang bentuk-bentuk pemaksaan agar

penduduk sipil meninggalkan tempat tinggal mereka karena alasan-alasan yang

berkaitan dengan sengketa. Mereka juga dilarang dipindah tempatkan kecuali jika

ada alasan-alasan militer yang sangat mendesak, dengan syarat aspek keselamatan

dan keamanan proses pemindahan itu terjamin. Protokol Tambahan II tersebut

juga telah menetapkan jaminan perlindungan terhadap obyek-obyek yang sangat

diperlukan penduduk sipil.39

Dalam hal ini, turut disebutkan tentang larangan menimbulkan kelaparan

pada penduduk sipil sebagai salah satu strategi perang. Oleh karena itu, dilarang

menyerang, merusak, memindahkan atau menjadikan tidak berfungsi

obyek-obyek yang diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk sipil.

Ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi penduduk sipil dalam konflik bersenjata internasional

hampir tidak berbeda dengan ketentuan yang harus diterapkan pada konflik

38

Ibid.

39

(26)

bersenjata non-internasional. Hal ini berlandaskan pada prinsip kemanusiaan yang

harus diterapkan dalam konflik bersenjata jenis apapun.40

Sudah semestinya pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian atau konflik

bersenjata memperhatikan hak-hak penduduk sipil yang patut dilindungi dan

dihormati dengan menaati dan tidak melakukan tindakan pelanggaran dengan

menyerang penduduk sipil yang notabene bukan merupakan sasaran atau obyek

penyerangan dalam suatu pertikaian atau konflik bersenjata, sehingga tidak

menimbulkan korban yang tidak semestinya (collateral damage) bahkan pihak

yang bertikai dalam suatu konflik bersenjata juga tidak diperbolehkan menjadikan

penduduk sipil sebagai alat pertikaian atau konflik bersenjata, menyebarkan teror

dan kelaparan demi mendapatkan keuntungan terhadap jalannya pertikaian atau

konflik bersenjata tersebut.

40

(27)

INTERNASIONAL

A. Sejarah dan Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Kemanusiaan

Terhadap Penduduk Sipil di Republik Afrika Tengah

Republik Afrika Tengah. Sebuah negara tanpa wilayah laut yang berlokasi

tepat di tengah-tengah Benua Afrika. Republik Afrika Tengah atau RAT bisa

dibilang sebagai salah satu negara yang asing karena minimnya pemberitaan

seputar mereka. Namun sejak akhir tahun 2012, Republik Afrika Tengah secara

mendadak mulai mendominasi pemberitaan media-media internasional menyusul

pecahnya konflik bersenjata di negara tersebut akibat pemberontakan yang

dilakukan oleh Seleka.41

Seleka atau lengkapnya Seleka CPSK-CPJP-UFDR adalah nama dari

kelompok pemberontak Republik Afrika tengah yang aslinya merupakan

persekutuan atau aliansi dari 3 kelompok pemberontak berbeda : CPSK, CPJP, &

UFDR. Pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut

sebenarnya bukanlah pemberontakan baru karena selain CPSK,

kelompok-kelompok tadi sudah melakukan pemberontakan sejak tahun 2004 & sempat

setuju untuk meletakkan senjata pada tahun 2007 sebelum kembali mengangkat

41

(28)

senjata pada tahun 2012 dengan nama Seleka. Terhitung sejak bulan Maret 2013,

Seleka menjadi penguasa baru Republik Afrika Tengah pasca keberhasilannya

menggusur rezim pimpinan Francois Bozize.42

Tahun 2003, Francois Bozize berhasil naik menjadi penguasa baru

Republik Afrika Tengah lewat kudeta militer dengan bantuan Chad, negara

tetangga RAT di utara. Keberhasilan Bozize menjadi penguasa negara bekas

jajahan Perancis tersebut lewat jalur militer lantas memunculkan penolakan dari

sebagian penduduk RAT. Penolakan tersebut semakin kuat menyusul adanya

tuduhan bahwa rezim Bozize melakukan praktik KKN (korupsi, kolusi,

nepotisme) & mengeksploitasi tambang-tambang berlian di Republik Afrika

Tengah untuk memperkaya dirinya sendiri.43

Pada periode yang bersamaan, terjadi konflik bersenjata di Republik

Demokratik (RD) Kongo & Darfur, Sudan. Berkecamuknya konflik di

negara-negara tetangga Republik Afrika Tengah tersebut lantas membuat sebagian

persenjataan yang ada di sana masuk ke wilayah Republik Afrika Tengah secara

ilegal. Senjata-senjata tersebut lantas dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak

menyukai Bozize untuk memulai pemberontakan. Adapun kelompok pertama

yang memulai perlawanan bersenjata adalah Union des Forces Democratiques

42

“Seleka” sebagaimana dimuat dalam www.wikipedia.org, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 19.10 WIB

43

(29)

pour le Rassemblement (UFDR; Persatuan Pasukan Perdamaian untuk Kesatuan),

kelompok pemberontak yang anggotanya didominasi oleh etnis Ronga.44

Sesudah kemunculan UFDR, muncul lagi kelompok-kelompok

pemberontak yang lain. Salah satu kelompok tersebut adalah Convention of

Patriots for Justice and Peace (CPJP; Konvensi Patriot untuk Keadilan & Perdamaian) yang komposisi anggotanya didominasi oleh etnis Goula. Bersama

dengan kelompok-kelompok pemberontak lainnya seperti APRD & MLJC,

mereka pun mulai mengancam kelangsungan rezim Bozize lewat aktivitas

perlawanan bersenjata. Rezim Bozize lantas merespon perlawanan tersebut

dengan mengerahkan militer RAT sehingga perang sipil di Afrika Tengah juga

dikenal dengan nama "Perang Belukar Afrika Tengah" (Central African bush war)

menjadi tak terelakkan.45

Tahun 2007, perang belukar Afrika Tengah akhirnya berhenti setelah

pemerintah RAT & kelompok-kelompok pemberontak menandatangani perjanjian

damai di Birao, sebuah kota di RAT. Beberapa poin penting dari perjanjian damai

tersebut adalah kelompok-kelompok pemberontak akan membiarkan senjatanya

dilucuti. Sebagai gantinya, mereka akan direkrut menjadi tentara RAT &

kelompok-kelompok tadi berubah menjadi partai politik yang legal. Namun

seiring berjalannya waktu, rasa tidak puas mulai bermunculan karena para anggota

44

“War in Darfur” sebagaimana dimuat dalam www.wikipedia.org, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 19.30 WIB

45

(30)

kelompok pemberontak tidak kunjung direkrut oleh militer RAT & aparat RAT

melakukan penindasan pada penduduk Afrika Tengah bagian utara.46

Bulan Juli 2012, sejumlah anggota pemberontak yang tidak puas dengan

pelaksanaan perjanjian damai membentuk kelompok baru yang bernama

Convention Patriotique pour le Salut du Kodro (CPSK; Rapat Patriotik untuk menyelamatkan Negara). Beberapa bulan kemudian, kelompok tersebut lalu

membentuk aliansi dengan kelompok CPJP & UFDR sehingga terciptalah

kelompok baru yang bernama "Seleka CPSK-CPJP-UFDR". Nama "Seleka"

sendiri berasal dari kata dalam bahasa Sango yang merupakan salah satu bahasa

asli Afrika Tengah berarti "aliansi". Terbentuknya Seleka sekaligus menandai fase

kritis baru dalam perkembangan sosial politik Afrika Tengah karena perang sipil

baru di negara tersebut ibarat hanya masalah waktu.47

Tanggal 15 Desember 2012, Seleka menampakkan aktivitas bersenjata

pertamanya ketika pada tanggal tersebut, mereka menyerang & merebut kota

Bamingui secara mendadak. 3 hari kemudian, Seleka berhasil menduduki kota

Bria yang kaya akan berlian. Sehari sesudahnya, giliran kota Kabo yang jatuh ke

tangan pasukan Seleka. Keberhasilan Seleka sendiri tidak lepas dari lemahnya

motivasi & perlengkapan perang yang dimiliki oleh militer RAT. Situasi yang

46

“Central African Republic Bush War” sebagaimana dimuat dalam www.wikipedia.org, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 19.55 WIB

47

(31)

ironisnya tercipta akibat kebijakan rezim Bozize sendiri yang khawatir bila militer

RAT terlampau kuat, maka dirinya akan dikudeta oleh mereka.48

Menyusul keberhasilan Seleka merebut kota demi kota, pemerintah RAT

pun meminta negara-negara luar termasuk AS & Perancis agar mau mengirimkan

bantuan militer ke RAT demi menumpas Seleka. Pasukan Chad negara tetangga

sekaligus sekutu terdekat RAT adalah pasukan asing pertama yang tiba di RAT

untuk membantu rezim Bozize, tepatnya pada tanggal 18 Desember. Perancis

selaku negara bekas penjajah RAT juga ikut mengirimkan pasukan, namun bukan

untuk membantu rezim Bozize, melainkan untuk melindungi warga negara &

perusahaan-perusahaan milik Perancis yang beroperasi di Republik Afrika

Tengah.49

Datangnya pasukan Chad tidak serta merta membuat Seleka gentar. Pada

tanggal 23 Desember, Seleka berhasil merebut kota Bambari sehingga mereka pun

semakin dekat dengan Bangui, ibukota dari RAT. Pasukan RAT sebenarnya

sempat melancarkan serangan ke Bambari pada tanggal 28 Desember untuk

merebut kembali kota tersebut, namun serangan tersebut berhasil dipatahkan oleh

pasukan Seleka. Pasca pertempuran di Bambari, pasukan Seleka berhasil merebut

kota Sibut yang berjarak 150 km di sebelah Utara Bangui, sementara pasukan

48

Ibid.

49

(32)

RAT & Chad dikonsentrasikan di kota Damara yang terletak di antara Sibut &

Bangui.50

Pasca keberhasilan Seleka menduduki kota Sibut, pasukan Seleka

menghentikan pergerakannya menyusul datangnya tawaran perundingan damai

dari rezim Bozize. Perundingan damai yang dimaksud akhirnya dilakukan pada

tanggal 10 Januari 2013 di Libreville, Gabon. Kemauan Seleka menerima tawaran

perundingan damai sendiri tidak lepas dari kondisi di medan perang yang semakin

tidak bersahabat bagi mereka menyusul datangnya pasukan Kamerun, Gabon,

Kongo, & Afrika Selatan ke ibukota RAT.51

Kembali soal perundingan yang diikuti oleh Seleka. Perundingan damai

yang dilakukan di Libreville akhirnya menghasilkan poin-poin kesepakatan

berikut : pihak-pihak yang bertikai sepakat untuk meletakkan senjata, para

anggota Seleka akan direkrut menjadi tentara RAT yang baru, Bozize tidak akan

mencalonkan diri lagi pada pemilihan presiden berikutnya, komposisi parlemen

RAT akan dirombak ulang, & perdana menteri yang baru akan diangkat dari pihak

oposisi. Dengan dicapainya perjanjian damai tersebut, pemberontakan bersenjata

yang dilakukan Seleka pun berakhir - untuk beberapa lama.52

Tanggal 22 Maret 2013, dengan alasan bahwa rezim Bozize gagal

melaksanakan poin-poin perjanjian damai Libreville, pasukan Seleka secara

mendadak memulai kembali pemberontakan bersenjatanya. Hanya dalam waktu

50

“Central African Republic Civil War (2012–present)” sebagaimana dimuat dalam www.wikipedia.org, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 20.10 WIB

51

Ibid.

52

(33)

singkat, pasukan Seleka sukses menduduki ibukota Bangui & menggulingkan

rezim Bozize. Bozize sendiri selamat karena sebelum pasukan Seleka mencapai

Bangui, ia berhasil melarikan diri ke Kamerun. Di luar Bangui, pasukan Seleka

juga sempat menyerang pangkalan militer Afrika Selatan yang ada di RAT,

namun serangan tersebut berhasil dibendung oleh pasukan Afrika Selatan yang

ditempatkan di sana.53

Pasca keberhasilan menduduki Bangui, kelompok-kelompok yang

menyusun Seleka sempat berselisih mengenai siapa yang harus menjadi pemimpin

baru RAT. Michael Djotodia lalu mengangkat dirinya secara sepihak sebagai

presiden Republik Afrika Tengah yang baru & berjanji bahwa pemilu nasional

akan digelar 3 tahun kemudian. Namun, naiknya Djotodia sebagai pemimpin RAT

yang baru tidak diakui oleh organisasi Uni Afrika sehingga organisasi yang

beranggotakan negara-negara Afrika tersebut membekukan keanggotaan RAT &

mengancam bahwa Djotodia bisa diseret ke pengadilan internasonal karena

tindakannya merebut kekuasaan lewat jalur militer.54

Kemenangan Seleka & jatuhnya rezim Bozize juga diikuti dengan

penarikan mundur pasukan Afrika Selatan dari RAT. Sejak awal, pengiriman

pasukan Afrika Selatan ke RAT memang banyak diwarnai pro kontra di dalam

negeri karena labilnya kondisi sosial politik RAT & adanya tuduhan bahwa

pasukan Afrika Selatan dikirim ke RAT demi kepentingan bisnis segelintir pihak

semata. Pergantian kekuasaan mendadak di RAT juga membuat pasukan

53

“Central African Republic Civil War (2012–present)” sebagaimana dimuat dalam www.wikipedia.org, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 20.10 WIB

54

(34)

gabungan AS & negara-negara Afrika menghentikan operasi militernya di Afrika

Tengah untuk sementara waktu di mana tujuan mereka berada di Afrika Tengah

adalah untuk menangkap Joseph Kony, pemimpin tertinggi dari kelompok

pemberontak fenomenal Lord's Resistance Army (LRA; Tentara Perlawanan

Tuhan).55

Sementara itu di luar RAT, Bozize melancarkan tuduhan bahwa Chad

berada di balik kemenangan Seleka. Dasar dari tuduhannya adalah menjelang

serangan Seleka ke Bangui, ada iring-iringan truk pengangkut logistik yang

datang dari arah Chad. Tuduhan yang cukup mengejutkan mengingat Chad selama

ini merupakan negara sekutu terdekat dari rezim Bozize & menjadi negara

pertama yang mengirimkan pasukannya untuk memerangi Seleka.56

Namun sejak September 2013, kekuatan Djotodia melemah dan

mengakibatkan kekosongan kekuasaan (vacuum of power), yang akhirnya diambil

alih oleh kelompok Anti-Balaka yang membalaskan dendam terhadap Seleka

dengan cara membantai Muslim di negara tersebut. Anti-balaka sendiri adalah

kata yang digunakan untuk menyebut milisi Kristen dan animis yang dibentuk di

Republik Afrika Tengah setelah Michel Djotodia terpilih sebagai presiden57.

Anti-Balaka berarti "anti-parang" atau "anti-pedang" dalam bahasa Sango dan

55

“South Africa to withdraw troops from CAR” sebagaimana dimuat dalam www.aljazeera.com, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 20.40 WIB dan “US offers up to $5m for leads on Uganda warlord Kony” sebagaimana dimuat dalam www.bbc.co.uk, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 21.00 WIB

56

“Ousted CAR president François Bozizé says no plans for asylum” sebagaimana dimuat dalam www.rfi.fr, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 21.30 WIB

57

(35)

Mandja58. Milisi Anti-Balaka awalnya dibentuk tahun 1990-an sebagai pasukan

pertahanan desa.59 Karena terbiasa dengan perang dan pembantaian, milisi

Anti-Balaka mulai melakukan serangkaian tindak kekerasan. Pada tahun 2014,

Amnesty International melaporkan adanya beberapa pembantaian yang dilakukan

Anti-Balaka terhadap warga sipil Muslim sehingga memaksa ribuan penduduk

Muslim untuk mengungsi ke luar RAT.60 Dengan munculnya Anti-Balaka ini

telah menjadikan situasi konflik di RAT semakin panas dan sangat

mengkhawatirkan. Aksi balas dendam menjadi acuan utama dari kelompok

Anti-Balaka setelah kelompok Seleka yang berbasis Islam minoritas melakukan aksi

pemberontakan terhadap warga sipil yang mayoritas beragama Kristen. Bentrokan

pertama antara Anti-Balaka dan eks-milisi Seleka terjadi pada 5 Desember 2013.

Bertempat di ibukota Bangui, pasukan Anti-Balaka melancarkan

serangan-serangan secara sporadis dengan menargetkan tidak hanya eks-milisi anggota

Seleka, melainkan warga sipil Muslim juga menjadi sasaran. Sebagai reaksi dari

serangan yang dilakukan Anti-Balaka, eks-milisi Seleka pun membalas dengan

menyerang balik sehingga pertumpahan darah terjadi di Bangui. Akibat dari

pertempuran ini diperkirakan ribuan orang mati baik dari Kristen maupun Islam.

Menurut laporan OHCHR pada 3 Januari 2014, setengah dari penduduk RAT

935.000 orang adalah pengungsi, termasuk setengah dari penduduk Bangui

58

“Hundreds dead in Central African Republic violence” sebagaimana dimuat dalam www.bbc.co.uk, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 21.50 WIB

59

“A Question of Humanity: Witness to the Turning Point In Central African Republic” sebagaimana dimuat dalam www.time.com, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 21.40 WIB

60

(36)

513.000 orang dengan 233.000 lainnya di negara-negara tetangga akibat

pertempuran yang terjadi antara Anti-Balaka dengan eks-milisi Seleka.61

Keadaan semakin memburuk ketika pada 10 Januari 2014 Presiden Michel

Djtodia mengundurkan diri dan mengasingkan diri ke Benin dan digantikan oleh

Catherine Samba-Panza pada 23 Januari 2014. Kekuatan pasukan Seleka mulai

berkurang dan dalam waktu singkat kekuatan Anti-Balaka menguat dengan

menguasai pos-pos yang ditinggalkan oleh Seleka. Kemarahan Anti-Balaka atas

perlakuan Seleka terus berlanjut dengan melakukan serangan-serangan lain

terhadap populasi sipil Muslim di Bouali, Boyali, Bossembele, Baoro, Bawi,

Yaloke, Boda, dan Bocaranga. Selain menyebabkan kematian dan kehancuran,

serangan terhadap Muslim yang dilakukan Anti-Balaka diketahui juga untuk

mengeluarkan secara paksa populasi ini dari Republik Afrika Tengah.62

Selain itu, aksi kekerasan yang terus menerus terjadi di RAT sejak 2012

juga telah mengakibatkan ketakutan terhadap warga sipil. Menurut laporan

UNHCR, lebih dari 700.000 orang telah mengungsi, dimana 273.000 orang di

Bangui yang tersebar di 66 lokasi, dan lebih dari 288.000 orang telah melarikan

diri ke negara-negara tetangga seperti Kamerun, Chad, Republik Demokratik

Kongo, dan Republik Kongo.63 Pertimbangan keamanan negara yang berada

dalam situasi konflik telah memaksa mereka untuk mencari perlindungan ke

61

“Preliminary Findings” OHCHR Monitoring Mission in the Central African Republic (CAR)” sebagaimana dimuat dalam www.ohcr.org, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 22.20 WIB

62

“Ethnic Cleansing and Sectarian Killings in The Central African Republic” sebagaimana dimuat dalam www.amnesty.org, terakhir diakses pada tanggal 22.40 WIB

63

(37)

tempat yang lebih aman. Konflik internal yang terjadi di Republik Afrika Tengah

antara Anti-Balaka dengan eks-milisi Seleka telah menjadikan konflik semakin

kompleks.

Konflik yang selama beberapa dekade terjadi antara pemerintahan yang

berkuasa dengan para oposisi pemerintah, kemudian berubah menjadi konflik

berbasis agama. Kehadiran Anti-Balaka yang pada mulanya sebagai kelompok

yang ingin mempertahankan diri dari aksi pemberontakan eks-milisi Seleka,

kemudian berubah menjadi kelompok brutal dengan tujuan menghilangkan

populasi Muslim yang minoritas di Republik Afrika Tengah. Kondisi ekonomi

yang tidak seimbang pun menjadi faktor pemicu pertikaian bersenjata ini terjadi,

karena pada kenyataannya mengakibatkan kecemburuan dan frustasi sosial

didalam masyarakat wilayah utara. Kelompok-kelompok etnis muncul ke

permukaan yang dibarengi dengan aksi pemberontakan dan penjarahan atas

sumber daya alam yang ada. Kehadiran kelompok-kelompok tersebut selanjutnya

menghadirkan aksi brutal yang menyebabkan ketegangan dengan pemerintah

Bozize. Konflik yang pada mulanya berakar pada kesenjangan politik dan

ekonomi ini, berujung pada kekerasan sektarian yang terjadi hampir di semua

wilayah RAT. RAT yang 80% warganya beragama Kristen menganggap bahwa

Seleka adalah orang asing di negaranya. Parahnya, serangan-serangan milisi telah

menyebabkan warga Muslim meninggalkan tempat asal mereka dalam skala yang

belum pernah terjadi sebelumnya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab

utama krisis di Republik Afrika Tengah adalah tidak berfungsinya pemerintahan

(38)

B. Kejahatan Kemanusiaan di Republik Afrika Tengah Ditinjau Dari

Hukum Internasional

Berbagai macam tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan

melibatkan milisi Seleka maupun Anti-Balaka terjadi di Republik Afrika Tengah.

Hal ini dapat dilihat dari laporan-laporan terkait kejahatan kemanusiaan yang

terjadi di Republik Afrika Tengah. Badan Hak Asasi Manusia Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat berbagai pelanggaran hak asasi manusia antara

lain pembunuhan ekstra-yudisial, pemerkosaan secara sistematis, penghilangan

secara paksa, pemindahan penduduk secara paksa, pelarangan ibadah serta

pemakaian pakaian agama, mutilasi, kanibalisme dan sebagainya.

Kelompok Hak Asasi Manusia Amnesty Internasional mengatakan daerah

pedesaan menjadi target pembersihan etnis. Dalam upaya menghapus masyarakat

muslim dari Republik Afrika Tengah.64 Dalam laporan Amnesty berjudul

"Identitas Terhapus: Muslim di Daerah Etnis Dibersihkan dari Republik Afrika

Tengah". Penasehat respon krisis senior Amnesty, Joanne Mariner mengatakan

umat Islam di Afrika Tengah sedang ditekan dan dipaksa meninggalkan agama

mereka. Laporan Amnesty ini berdasarkan serangkaian wawancara dengan warga

di RAT. Mereka mengatakan milisi menimbulkan gelombang kekerasan

pembersihan etnis yang ditujukan memaksa umat Islam meninggalkan negara itu.

64

(39)

Bahkan bentuk pelanggaran yang menjadikan penduduk sipil sebagai

sasaran balasan (reprisal) juga terjadi,65 mengindikasikan konflik bersenjata di

RAT jelas-jelas mengabaikan asas pembedaan (distinction principle) yang mana

dalam hal ini tak lagi membedakan sasaran yang seharusnya tetapi menjadikan

penduduk sipil menjadi sasaran penyerangan. Dalam asas pembedaan ini

bertujuan untuk melindungi penduduk sipil dari bahaya operasi militer, penduduk

sipil tidak boleh menjadi objek serangan walaupun untuk membalas serangan

(reprisal), terlebih lagi penduduk sipil tidak boleh dijadikan sasaran kekerasan

dengan tujuan menyebarkan teror untuk kepentingan pihak yang bertikai. Bila

melihat dari berbagai macam bentuk pelanggaran HAM di RAT tersebut maka

pelanggaran yang terjadi tergolong pelanggaran berat (grave breaches).

Kejahatan kemanusiaan merupakan tindak pidana internasional, untuk itu

penulis akan membahas lebih dalam mengenai tindak pidana internasional.

Definisi tindak pidana internasional dapat ditemukan dalam putusan Peradilan

Tindak Pidana Perang di Amerika Serikat dalam kasus Hostages, yang

menyatakan sebagai berikut :

“An international crime is such an act universally recognized as a

criminal which is considired a grave matter of international concern and for some valid reason cannot be left within the exclusive jurisdiction of the state, that would have control over it under normal circumtances”66

65

“Deadly Reprisal Attacks Hit Central African Republic” sebagaimana dimuat dalam www.aljazeera.com, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 23.45 WIB.

66

(40)

Dari uraian defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak pidana

internasional adalah suatu tindakan yang secara universal diakui sebagai suatu

tindak pidana. Pengakuan secara internasional itu disebabkan karena tindak

pidana tersebut merupakan persoalan yang sangat besar dan menjadi perhatian

masyarakat internasional. Dengan demikian, terhadap tindak pidana ini tidak

hanya tunduk pada yurisdiksi negara tertentu saja, tetapi dapat tunduk pada

yurisdiksi semua negara atau dapat diterapkan yurisdiksi universal.67

Perbuatan melawan hukum internasional dapat dikategorikan sebagai

tindak pidana internasional (kriminalisasi) apabila memenuhi tiga faktor, yaitu:

(1) perbuatan itu melanggar kepentingan internasional yang sangat signifikan; (2)

perbuatan itu melanggar nilai-nilai bersama masyarakat dunia; (3) perbuatan itu

menyangkut lebih dari satu negara atau melintasi batas-batas wilayah negara, baik

itu karena pelaku, korban, maupun perbuatannya sendiri.68 Tindak pidana

internasional disebut juga delicto jus gentium atau oleh beberapa sarjana hukum

internasional terkemuka dinyatakan bahwa tindak pidana internasional adalah

tindak pidana terhadap kemanusiaan atau seluruh dunia, yang pelakunya

merupakan musuh seluruh umat manusia (enemies of the whole human family).69

Perbuatan melawan hukum internasional yang merupakan tindak pidana

internasional mempunyai tiga kriteria utama, yaitu : (a) melanggar kepentingan

fundamental masyarakat internasional secara keseluruhan atau lebih dari kerangka

bilateral atau; (b) pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran berat baik bagi

67

Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasional, Jakarta, Erlangga, 2011, hal. 27

68

M. Cherif Bassiouni, A Draft International Criminal Code and Draft Statue for an International Criminal Tribunal, Leiden, Martinus Nijhoff, 1987, hal. 56

69

(41)

kuantitatif maupun kualitatif; dan (c) berdasarkan praktik dan pengalaman yang

dialami, pelanggaran tersebut diakui oleh masyarakat internasional sebagai tindak

pidana.70 Adapun persyaratan tindak pidana internasional menurut bassiouni

sebagai berikut71:

1. Memiliki unsur internasional

Hal yang dimaksudkan dengan memiliki unsur internasional adalah

kejahatan tersebut dapat mengancam, baik langsung maupun tidak langsung,

perdamaian dan keamanan umat manusia secara keseluruhan. Selain itu pula,

kejahatan tersebut diakui sebagai perbuatan yang menggoncangkan hati nurani

umat manusia atau melanggar nilai-nilai bersama umat manusia.

2. Memiliki unsur transnasional

Unsur ini menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut mempengaruhi

keselamatan umum dan kepentingan ekonomi lebih dari suatu negara. Tindak

pidana tersebut biasanya melintasi batas-batas wilayah negara lebih dari satu

negara dan menggunakansarana dan prasaran atau cara-cara yang bersifat lintas

batas negara.

3. Memiliki unsur keharusan

Unsur ini dimaksudkan bahwa dalam rangka pemberantasan dan

penegakan hukum pidana internasional, diperlukan kerja sama internasional.

Kerja sama tersebut dikarenakan kejahatan tersebut sudah menjadi delicto jus

70

International Law Commission Yearbook, Vol. II Part Two, 1994, hal. 140

71

(42)

gentium yang menjadi perhatian lebih dari suatau negara, bahkan seluruh masyarakat dunia.

Setelah unsur-unsur suatu tindak pidana internasional, berikut merupakan

ciri-ciri tindak pidana internasional, antara lain72 : (1) terdapat pengakuan secara

eksplisit bahwa suatu tindakan merupakan tindak pidana, tindak pidana

internasional, tindak pidana di bawah hukum internasional; (2) diakui memiliki

sifat pidana dengan menetapkan kewajiban untuk melarang dilakukan, mencegah,

menuntut, memidana dan sebagainya; (3) memberikan sifat pidana pada suatu

tindakan; (4) terdapat kewajiban atau hak untut menuntut; (5) terdapat kewajiban

atau hak memidana; (6) terdapat kewajiban atau hak untuk mengekstradisikan; (7)

memiliki kewajiban atau hak untuk bekerja sama dalam hal penuntutan dan

pemidanaan (termasuk memberikan bantuan hukum dalam acara pidana); (8)

menetapkan dasar-dasar yurisdiksi kriminal (teori atau prioritas); (9)

mendukung/menunjang ditetapkannya pengadilan atau internasional tribunal; dan

(10) menghindarkan pembelaan dengan alasan perintah atasan.

Dalam hal ini kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan salah satu

tindak pidana internasional yang sesuai dengan pemahaman konsep tindak pidana

yang tergolong tindak pidana internasional dan telah memenuhi unsur-unsur suatu

tindak pidana internasional, kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dilakukan

dengan berbagai bentuk tindak pidana yang dilakukan secara sistematis dan

langsung membuat pendertitaan baik fisik maupun mental menyebabkan

terbunuhnya manusia serta melanggar prinsip-prinsip hukum internasional,

72

(43)

sebagaiamana telah dinyatakan dalam forum pengadilan Nuremberg segala bentuk

penghancuran kehidupan masyarakat sipil adalah perbuatan terkutuk dan

merupakan tindak pidana terhadap kemanusiaan. Perbuatan melawan hukum

internasional yang tergolong pelanggaran berat terhadap perlindungan

kepentingan fundamental masyarakat internasional (erga omnes violation)

sebagaimana telah dituliskan Pasal 19 Draft Articles adalah tindak pidana

internasional.73

Berbagai bentuk pelanggaran HAM berat terjadi di Republik Afrika

Tengah merupakan suatu bentuk Tindak Pidana Internasional, bentuk tindak

pidana internasional tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tindak

pidana yang tergolong kejahatan kemanusiaan antara lain74 : pembunuhan;

pemusnahan; perbudakan; deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa;

pengurungan atau pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang-wenang dan

melanggar aturan-aturan dasar Hukum Internasional; penyiksaan, pemerkosaan,

perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan secara paksa, sterilisasi

secara paksa atau berbagai bentu kekerasan seksual lainnya; penindasan terhadap

suatu kelompok yang dikenal atau terhadap suatu kelompok politik, ras, bangsa,

etnis, kebudayaan, agama, gender/jenis kelamin, sebagaimana dijelaskan dalam

ayat (3) atau kelompok-kelompok lainnya, yang secara universal tidak

diperbolehkan dalam hukum internasional, sehubungan dengan perbuatan yang

diatur dalam ayat ini atau tindak pidana dalam yurisdiksi mahkamah;

penghilangan orang secara paksa; tindak pidana rasial (apartheid); perbuatan tidak

73

Oentoeng Wahjoe, Op.cit., hal. 60

74

(44)

manusiawi lainnya yang serupa yang dengan sengaja mengakibatkan penderitaan

yang berat, luka serius terhadap tubuh, mental atau kesehatan fisik seseorang.

Tindak pidana tersebut tidak hanya dilakukan begitu saja, ada hal yang

sangat fundamental mengapa tindak pidana yang telah disebutkan dalam pasal 7

(1) Statuta Roma 1998 tersebut dapat digolongkan sebagai kejahatan

kemanusiaan, hal tersebut merupakan unsur yang mengikuti tindak pidana

tersebut, ialah sistematis (systematic) dan meluas (widespread). Maksud dari

sistematis, yaitu mensyaratkan adanya kebijakan atau tindakan negara untuk

aparat negara dan kebijakan organisasi untuk pelaku diluar negara. Sedangkan

pengertian meluas juga merujuk pada maksud dari sistematik, untuk membedakan

tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau sasaran (targetnya) secara acak.

Korban tersebut memiliki karakteristik tertentu misalnya agama, politik, ras,

etnik, atau gender.

Tindak pidana yang terjadi di Republik Afrika Tengah ini telah memenuhi

apa yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Pembunuhan

ekstra-yudisial, pemerkosaan secara sistematis berdasarkan agama, penghilangan

secara paksa, pemindahan penduduk secara paksa, penyiksaan, penganiyaan,

mutilasi, pelarangan ibadah serta pemakaian pakaian agama.75 Tindakan-tindakan

tersebut dilakukan secara sistematis dan meluas dengan sasaran yang tidak acak

(pada agama atau etnis tertentu) hal ini merupakan suatu tindak pidana

75

“Terjadi pelanggaran HAM Berat di Afrika Tengah” sebagaimana dimuat dalam www.satuharapan.com, terakhir diakses pada tanggal 31 Mei 2016 pukul 20.00 WIB, dan “PBB

Resmi laksanakan Operasi Perdamaian di CAR” sebagaimana dimuat dalam

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma, dengan tegas menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah serangkaian perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan

Dan pada bab ini dijelaskan mengenai Bentuk-Bentuk masalahh Pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Ukraina, berbagai Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Rakyat Ukraina Dilihat Dari

Selain itu penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan gambaran atas bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang dialami oleh warga sipil Suriah dan bagaimana upaya dunia

(yang termasuk kejahatan kemanusiaan adalah pembunuhan, pemusnahan, pebudakan, deportasi dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil mana pun,

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah (1) bagaimana pengaturan pelanggaran kejahatan HAM berat menurut hukum internasional; (2) bagaimana tanggung jawab individu

Permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana bentuk-bentuk masalah pelanggaran HAM terhadap muslim di Uighur, bagaimana kejahatan kemanusiaan terhadap

26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang dapat diadili di Pengadilan HAM adalah pelanggaran HAM berat yaitu kejahatan genosida

Pelanggaran HAM adalah segala pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh aparat negara state actor lewat sebuah penyalahgunaan kekuasaan abuse power, baik berupa tindakan langsung