DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Dari Buku-Buku
Agus, Fadillah., Hukum Humaniter – Suatu Perspektif, (Jakarta : Pusat Studi
Hukum Humaniter Universitas USAKTI, 1997)
Ball, Nicole., Making Peace Work, (Washington DC : Overseas Development
Council, 1996)
Bassiouni, M. Cherif., A Draft International Criminal Code and Draft Statue for
an International Criminal Tribunal, (Leiden : Martinus Nijhoff, 1987) Diantha, I Made Pasek., Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika
Pengadilan Pidana Internasional, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2014) Donelly, Jack., Universal Human Rights in Theory and Practice, (London :
University Press, 2003)
Efendi, Tolib., Hukum Pidana Internasional, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia,
2014)
Hadi, Syamsul dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru, (Jakarta : Cires, 2007)
Haryomataram, KGPH., Pengantar Hukum Humaniter, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2005)
Hiariej, Eddy Omar Sharif., Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta :
Iskandarsyah., Pengantar Hukum Humaniter, ICRC (International Committee of
Red Cross), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1999)
Istanto, F. Sugeng., Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat
Semesta dan Hukum Internasional, (Yogyakarta : Andi Offset, 1992)
Jabri, Viviene., Discourse on Violence : Conflict Analysis Reconsidered,
(Manchester : Manchester University Press, 1996)
J Harris, D., Cases and Materials on International Law, (London : Street and
Maxwell, 1973)
Knight, Andy., Peace Building Theory and Practice, (Edmonton : University of
Alberta, 2004)
Kusumaatmadja, Mochtar., Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, (Bandung :
Alumni, 2002)
Miall, Hugh et. al., Resolusi Damai Konfli Kontemporer : Menyelesaikan,
Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, (Jakarta : Rajawali Press, 2002)
Parthiana, I Wayan., Hukum Pidana Internasional, (Bandung : Yrama Widya,
2006)
Paust, Jordan J., International Criminal Law, (Carolina : Academic Press, 1996)
Siswanto, Dadang., Hubungan Antara Kejahatan Terhadap Kemanusiaan,
Sujatmoko, Andrey., Hukum HAM dan Hukum Humaniter, (Jakarta : Raja
Grafindo, 2015)
Wahjoe, Untung., Hukum Pidana Internasional, (Jakarta : Erlangga, 2011)
Widyawati, Anis., Hukum Pidana Internasional, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014)
Yudhawiranata, Agung., Pengadilan HAM Internasional, (Yogyakarta : Pusham
UII, 2006)
B. Makalah, Karya Ilmiah, Artikel dan Jurnal
Wagiman, Wahyu., Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Jakarta :
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Seri Bahan Bacaan Kursus
HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Arief, Barda Nawawi., Perlindungan Korban Kejahatan dalam Proses Peradilan
Pidana, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol.1, 1998
Gayatri, Irine H., Civil Rights dan Demokratisasi : Pengalaman Indonesia II,
Jawa Barat, Forum Diskusi Interseksi tanggal 27-29 Januari 2003
Green, L.C., International Crimes and the Legal Process, Internatinal and
Comparative Law Quarterly Vol.29, 1980
International Law Commission Yearbook, Vol. II Part Two, 1994
Veuthey, M., The International Committee of the Red Cross and Human Rights,
Unpublished Paper, Paper presented at International Conference on
C. Konvensi Dan Undang-Undang
Den Hague Convention 1899/1907.
Geneva Conventions of 1949 and Additional Protocols 1977.
International Criminal Tribunal of Rwanda Statute 1994.
International Criminal Tribunal of Yugoslavia Statute 1993.
International Military Tribunal for the Far East, Tokyo Tribunals 1946.
Lieber Code 1863.
Rome Statute of the International Criminal Court 1998.
Saint Petersburg Declaration 1868.
Nuremberg Charter 1945.
UN General Assembly Resolution No. 2392 (XXIII), 26 November 1968.
Undang-undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
D. Situs Web
http://www.aljazeera.com
http://www.amnesty.org
http://www.articles.latimes.com
http://www.bbc.co.uk
http://www.enoughproject.org
http://www.hcr.org
http://www.komnas-tpnpb.net
http://www.landasanteori.com
http://www.mochamaddidi.wordpress.com
http://www.news.okezone.com
http://www.re-tawon.com
http://www.republika.co.id
http://www.rfi.fr
http://www.sais.jhu.id
http://www.satuharapan.com
http://www.suburwatch.blogspot.com
http://www.theguardian.com
http://www.time.com
http://ww.un.org
http://www.unhcr.org
http://www.unic-jakarta.org
http://www.voaindonesia.com
A.Pengertian Penduduk Sipil
Dalam hukum humaniter dikenal adanya asas pembedaan (distinction
principle) yakni merupakan suatu asas dalam hukum humaniter yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang,
atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua golongan besar, yakni
kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian).
Kombatan sendiri adalah merupakan golongan penduduk yang secara aktif
turut serta dalam suatu pertempuran atau permusuhan (hostilities), sedangkan
penduduk sipil adalah golongan penduduk yang bukan merupakan angkatan
bersenjata dan tidak berhak untuk turut serta dalam suatu pertempuran atau
permusuhan (hostilities). Adapun diadakannya pembedaan yang demikian adalah
untuk mengetahui pihak mana saja yang berhak dan boleh turut serta dalam
pertempuran di medan peperangan.
Menurut Konvensi Jenewa ke-IV, penduduk sipil di defenisikan sebagai
orang yang bukan merupakan anggota militer. Militer sendiri merupakan angkatan
bersenjata dari suatu negara dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
angkatan bersenjata biasanya terdiri atas para prajurit atau serdadu.
tidak sedang melakukan penyerangan secara sengaja atau menghancurkan atau
mengambil barang milik seorang warga sipil secara tidak perlu. Meskipun begitu,
barang milik seorang warga sipil boleh dihancurkan jika ada tujuan militer;
barang milik seorang warga boleh disita untuk keperluan militer; dan kerusakan
secara tidak sengaja merupakan sesuatu yang dapat diterima dalam suatu perang.
Sedangkan pengertian penduduk sipil yang terdapat pada Pasal 50
Protokol Tambahan I 1977 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penduduk
sipil adalah orang-orang selain daripada kategori yang dimaksud dalam Pasal 4
(A)(1),(2),(3) dan (6) konvensi ke-III dan Pasal 43 Protokol Tambahan I 1977.
Pada intinya penduduk sipil adalah bukan pihak yang berperang dan tidak boleh
membawa senjata.
Menurut Sugeng Istanto dalam bukunya menjelaskan penduduk sipil
adalah orang, seorang atau sekumpulan orang, yang bukan anggota angkatan
bersenjata, yang karenanya tidak berhak ikut serta langsung dalam permusuhan.22
Pada hakikatnya penduduk sipil adalah seseorang atau warga masyarakat yang
tidak ikut ambil bagian dalam suatu konflik bersenjata, permusuhan, perang
ataupun suatu pertempuran dan bukan merupakan bagian dari sebuah angkatan
bersenjata serta tidak berhak turut dalam sebuah pertempuran dan harus dilindungi
serta dihormati hak-haknya oleh karena bukan merupakan sasaran penyerangan
atau bagian objek militer.
22
B. Status dan Kedudukan Penduduk Sipil Menurut Konvensi Den Haag
1907, Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
Seperti telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya, penduduk sipil
pada hakikatnya adalah seseorang atau warga masyarakat yang tidak ikut ambil
bagian dalam sebuah konflik bersenjata, permusuhan, perang ataupun suatu
pertempuran dan bukan merupakan bagian dari sebuah angkatan bersenjata serta
tidak berhak turut dalam sebuah pertempuran dan harus dilindungi serta dihormati
hak-haknya oleh karena bukan merupakan sasaran penyerangan atau bagian objek
militer.
Adapun status dan kedudukan penduduk sipil pada dasarnya bersumber
pada asas pembedaan yang memiliki tujuan untuk melindungi penduduk sipil
dengan cara mengategorikan serta membedakan antara kombatan maupun
penduduk sipil. Dengan adanya asas pembedaan ini diharapkan pihak yang
terlibat dalam suatu konflik bersenjata ataupun perang dapat membedakan obyek
penyerangan dan sasaran dalam suatu pertempuran.
Menurut Jean Pictet, asas pembedan ini berasal dari asas umum yang
dinamakan asas pembatasan (ratione personae) yang menyatakan “The civilian
population and individual civilians shall enjoy general protection against danger arising from military operation” yang berarti bahwa penduduk sipil dan orang-orang sipil harus mendapatkan perlindungan umum bahaya yang ditimbulkan
Asas ini membutuhkan penjabaran ke dalam sejumlah asas pelaksanaan
(principal of aplication) antara lain : Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat
harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan
penduduk sipil dan obyek-obyek sipil; Penduduk sipil demikian pula orang sipil
secara perorangan, tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun dalam hal
reprisal (pembalasan); Tindakan maupun ancaman kekerasan dengan tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang;
Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang
memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk
menekankan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil
mungkin; Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan
menahan musuh. Secara normatif prinsip ini dapat mengeliminasi kemungkinan
terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil.
Adapun kombatan dalam halnya sebagai sasaran penyerangan dapat
dikategorikan dalam beberapa golongan dan kian memperjelas kedudukan
penduduk sipil yang bukan merupakan sasaran ataupun obyek penyerangan,
berikut penggolongan kombatan23 :
1. Angkatan Bersenjata resmi (reguler) dari suatu negara;
2. Milisi dan Korps Sukarela;
3. Levee en masse;
23
4. Gerakan perlawanan yang terorganisir (Organized Resistance Movement),
seperti yang dikenal dengan sebutan : guerillas, partisans, maquisard,
freedom fighters, insurgent, sandinistas, peshmergars, panjsheries,
mujahideen, motariks, contras, muchachos, khmer rouge / liberation tiger,
mau-mau, fedayins, dan sebagainya.
Pada Konvensi Den Hague 1907 artikel ke-3 penggolongan angkatan
bersenjata terdiri dari kombat dan nonkombatan. Nonkombatan disini bukanlah
penduduk sipil melainkan angkatan bersenjata yang tidak turut bertempur seperti
petugas medis (medical personel) maupun rohaniawan (chaplain) yang tergabung
dalam angkatan bersenjata tetapi tidak ikut ambil bagian secara langsung
dilindungi dikarenakan tugas khusus mereka.
Menurut Konvensi Jenewa 1949, tidak dengan tegas disebutkan adanya
penggolongan kombatan dan penduduk sipil, namun ketentuan dalam pasal-pasal
tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk diberlakukan bagi kombatan. Mereka
yang dapat dimasukkan dalam kategori kombatan adalah :
1. Mereka yang memiliki pemimpin yang bertanggung jawab atas
bawahannya;
2. Mereka yang mengenakan tanda-tanda tertentu yang dapat dikenal dari
jarak jauh;
3. Mereka yang membawa senjata secara terbuka;
Dalam Protokol Tambahan Tahun 1977 ini istilah kombatan dinyatakan
kombatan. Mereka yang digolongkan sebagai kombatan adalah mereka yang
termasuk dalam pengertian angkatan bersenjata (armed force). Pengertian
angkatan bersenjata adalah mereka yang memiliki hak untuk berperang secara
langsung dalam permusuhan. Mereka terdiri atas : Angkatan bersenjata yang
terorganisir (organized armed force); Kelompok-kelompok atau unit-unit yang
berada di bawah satu komando yang bertanggungjawab atas tingkah laku
bawahannya kepada pihak yang bersangkutan.
Dalam Protokol Tambahan Tahun 1977 ini defenisi nonkombatan pun
diperluas, sehingga nonkombatan adalah kombatan yang tidak dapat bertempur
lagi; dan warga negara netral (termasuk personil militer) yang tidak berjuang
untuk salah satu pihak yang terlibat perang dalam konflik bersenjata.
Protokol ini semakin mempertegas status dan kedudukan penduduk sipil
dan obyek-obyek sipil, maka dari itu pihak-pihak yang bersengketa setiap saat
harus membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dan juga antara
obyek-obyek sipil dan militer, serta harus mengarahkan operasi mereka hanya terhadap
sasaran-sasaran militer. Dengan adanya asas pembedaan dan perkembangannya
melalui Konvensi maupun Protokol Tambahan yang mengatur serta
mendefenisikan warga negara yang sedang melakukan pertikaian dapat
dikategorikan menjadi dua golongan besar, kombatan dan penduduk sipil,
memperjelas status dan kedudukan penduduk sipil dalam suatu konflik bersenjata
yang tidak tergabung kedalam angkatan bersenjata militer, milisi, leeve and masse
maupun gerakan perlawanan maka berhak mendapat perlindungan sebagai mana
C. Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Pada Konflik Bersenjata
Menurut Hukum Humaniter Internasional
Perlindungan penduduk sipil dalam Hukum Humaniter Internasional
dibedakan menurut bentuk dan isinya yang tertuang dalam hukum internasional
kebiasaan dan hukum internasional perjanjian. Adapun aturan-aturan tersebut
berdiri sendiri terlepas dari satuan pengaturan lainnya. Aturan-aturan dalam
halnya perlindungan penduduk sipil ini terdapat pada Instruksi Lieber tahun 1863
yang berbentuk HHI kebiasaan, dan yang berbentuk HHI perjanjian meliputi
Konvensi Jenewa 1864, Konvensi Den Haag 1899/1907, Konvensi Jenewa 1949
dan Protokol Tambahan 1977.24
Dimulai dari Instruksi Lieber tahun 1863, Instruksi pemerintah Amerika
Serikat, yang dianggap sebagai kodifikasi hukum perang internasional dengan
menggunakan kata-kata seperti “unarmed citizens”, “private citizens”,
“inoffensive citizens”, “private individuals” dan “non-combatant” menetapkan
beberapa ketentuan yang mengatur orang sipil. Instruksi itu membedakan orang
sipil dalam tiga kelompok, yakni orang sipil yang “inoffensive”, orang sipil yang
ikut serta langsung dalam permusuhan, dan orang sipil yang terkait dalam
pelaksanaan tugas angkatan bersenjata. Bagi mereka instruksi tersebut
menetapkan perlindungan dan larangan.25
Orang sipil yang “inoffensive” mendapatkan perlindungan pribadi, harta
dan kehormatannya. Mereka tidak boleh dibunuh, dijadikan budak, dipindah
24
Fadillah Agus, Hukum Humaniter-Suatu Perspektif, Jakarta, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas USAKTI, 1997, hal. 42
25
paksakan atau dipaksa bekerja pada pihak yang menang. Kesucian hubungan
keluarga juga tidak boleh dicemarkan. Orang sipil yang turut serta langsung dalam
permusuhan sebagai peserta “leeve en masse” diberi kedudukan sebagai
“belligerent”. Orang sipil yang terkait aktif dalam pelaksanaan tugas angkatan
bersenjata bila tertangkap musuh berhak mendapatkan status tahanan perang.
Disamping perlindungan itu instruksi tersebut juga menetapkan laranga bagi
penduduk sipil, misalnya larangan dilakukannya perbuatan perang oleh orang
sipil. Di wilayah pendudukan orang sipil dilarang melakukan perlawanan
bersenjata.26 Ketentuan hukum humaniter internasional dalam instruksi lieber
1863 yang mengatur penduduk sipil itu berlaku pada penduduk sipil beserta
perlindungan yang ditetapkannya sebagai ketentuan hukum humaniter
internasioanl kebiasaan.27
Selanjutnya pengaturan perlindungan penduduk sipil dalam bentuk
perjanjian internasional ialah Konvensi Jenewa tahun 1864. Merupakan perjanjian
internasional hukum humaniter internasional pertama yang menetapkan
perlindungan bagi korban perang. Konvensi yang dimaksudkan untuk melindungi
korban perang ini menetapkan perlindungan bagi mereka yang luka di medan
perang, personil dan kesatuan medik beserta peralatannya. Ketentuan ini juga
mengatur tingkah laku orang sipil dalam konflik bersenjata dan perlindungan
terhadapnya.
26
F. Sugeng Istanto, Op.cit., hal. 21
27
Kemudian pada tahun 1868 muncullah deklarasi yang disebut Deklarasi
St. Petersburg yang merupakan perjanjian internasional pertama yang melarang
penggunaan senjata tertentu di dalam perang. Meskipun deklarasi ini secara
eksplisit tidak mengatur orang sipil, namun deklarasi ini menetapkan
perlindungan bagi orang sipil secara implisit. Hal itu ditandai dengan adanya asas
pembedaan antara penduduk sipil dan kombatan dalam konsiderannya.
Konsideran itu menetapkan bahwa satu-satunya sasaran sah yang dapat dituju
dalam perang adalah melemahkan angkatan bersenjata pihak lawan. Perlunya asas
pembedaan ini adalah untuk mengetahui mereka yang boleh turut serta dalam
permusuhan , sehingga boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan, dan mereka
yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan sehingga tidak boleh dijadikan
objek kekerasan. Penduduk sipil yang tidak turut serta dalam permusuhan
tersebut, harus dilindungi dari tindakan peperangan itu.
Di rasa perlu untuk memperbaharui aturan sebelumnya, maka pada tahun
1899 dan tahun 1907 diadakan Konvensi Den Haag untuk menetapkan aturan
tentang hukum dan kebiasaan perang darat “Regulations respecting the Laws and
Custom of war on Land” atau disebut juga Pengaturan Den Haag “Hague Regulations”. Pengaturan Den Hag ini lebih banyak mengatur “belligerents”, baik kualifikasi maupun hak dan kewajibannya. “Belligerents” adalah mereka yang
tunduk pada hukum perang. Dalam istilah sekarang mereka dikategorikan sebagai
kombatan. Pengaturan Den Haag tidak menetapkan batasan pengertian orang sipil.
Namun dalam pengaturan Den Haag terdapat ketentuan-ketentuan orang-orang
permusuhan “hostilities” atau dengan kata lain disebut sebagai penduduk sipil.
Pengaturan Den Haag ini melindungi penduduk sipil yang berada di wilayah
pendudukan. Bentuk perlindungan tersebut ialah perlindungan terhadap tindakan
sewenang-wenang dari musuh yang menguasainya. Bentuk perlindungan tersebut
antara lain28 :
1. Larangan pemaksaan penduduk sipil memberikan informasi tentang
angkatan besenjata pihak lawan bertikai atau tentang perlengkapan
pertahanan;
2. Larangan meminta sumpah kepada penduduk sipil untuk setia kepada
penguasa pendudukan;
3. Penghormatan hak-hak pribadi penduduk sipil;
4. Larangan menjarah penduduk sipil;
5. Larangan pemungutan pajak dan pungutan lain secara sewenang-wenang;
6. Larangan penghukuman kolektif pada orang sipil;
7. Larangan pencabutan hak milik penduduk sipil secara sewenang-wenang.
Dalam Konvensi Den Haag ini diatur pula mengenai penggunaan senjata
atau alat berperang secara rinci dalam hal bentuk perlindungan terhadap pihak
yang bersengketa (Kombatan dan Nonkombatan), untuk itu pihak yang
bersengketa dilarang untuk29 :
28
Ibid., hal. 44-45
29
1. Menggunakan senjata racun/beracun;
2. Membunuh/melukai secara keji;
3. Membunuh/melukai musuh yang telah menyerah/meletakkan senjata
(nonkombatan);
4. Menggunakan senjata/peluru yang menimbulkan penderitaan berlebihan
(superfluous injury);
5. Menggunakan/memperlakukan secara tidak layak terhadap bendera putih,
bendera negara, tanda-tanda/seragam tentara, maupun tanda (emblem)
pembeda yang diatur Konvensi Jenewa;
6. Menghancurkan/merampas harta benda musuh; dan
7. Menyatakan dihapuskan, ditunda, atau tidak dapat diklaim dihadapan
pengadilan hak-hak dan hak untuk bertindak dari warga negara musuh.
Pada perkembangannya dalam pengaturan perlindungan penduduk sipil,
pada tahun 1949 diadakan Konvensi Jenewa tentang perlindungan korban perang.
Konvensi Jenewa sendiri terdiri dari empat konvensi. Konvensi pertama, kedua,
ketiga mengatur perlindungan korban perang anggota angkatan perang. Kemudian
Konvensi Jenewa yang ke empat mengatur tentang perlindungan korban perang
orang sipil di masa perang.
Konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi Jenewa 1949 sendiri memiliki
perbedaan pada subyek dan obyek yang diatur. Subyek yang diatur pada Konvensi
Haag sedangkan pada Konvensi Jenewa 1949 yang menjadi subyeknya adalah
para pihak yang telah mengikatkan diri pada Hukum Jenewa 1949 dan berkonflik
dengan pihak bukan subyek yang diakui oleh hukum internasional. Dari segi
obyek, maka Konvensi Den Haag 1907 hanya mengatur cara perang dan alat
perang, sedangkan Konvensi Jenewa 1949 mengatur tidak hanya cara perang dan
alat perang tetapi juga mengatur perlindungan korban perang dari pihak penduduk
sipil maupun kombatan.
Adapun orang-orang yang dilindungi pada Konvensi Jenewa I, II, III
terdiri dari enam kelompok, yaitu30 :
1. Anggota angkatan perang dari pihak yang bertikai;
2. Anggota milisi, anggota barisan sukarelawan, anggota gerakan perlawanan
dari pihak yang bertikai yang memenuhi persyaratan tertentu;
3. Anggota angkatan perang dari penguasa yang tidak diakui negara penahan;
4. Anggota yang menyertai angakatan perang tanpa menjadi anggotanya;
5. Anggota awak kapal sipil atau pesawat terbang sipil dari pihak yang
bertikai;
6. Peserta “leeve en masse”.
Pada pengelompokan diatas, kelompok ke-3 dan ke-4 orang yang dilindungi
adalah orang sipil, meskipun begitu mereka tetap mendapatkan perlindungan
30
hukum humaniter internasional yang diperuntukkan bagi kombatan pada konvensi
tersebut.
Konvensi Jenewa IV tahun 1949 menetapkan perlindungan bagi mereka
yang tidak termasuk dalam kategori orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa
tahun 1949 yang lain (Konvesi Jenewa I, II, & III). Orang sipil yang dilindungi
Konvensi Jenewa IV tidaklah mencakup semua orang sipil. Orang sipil yang
dilindungi dalam Konvensi Jenewa ini pada umumnya hanyalah orang sipil yang
berada di tangan musuh, baik di wilayah musuh, di wilayah yang di duduki,
maupun di wilayah pertempuran, Perlindungan tersebut antara lain31 :
1. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang musuh yang
menguasainya di wilayah pihak yang bertikai, di wilayah pendudukan, di
interniran;
2. Bantuan kantor penerangan;
3. Penghormatan pribadi manusia;
4. Penghormatan hak-hak dasar pribadi manusia pria ataupun wanita;
5. Larangan penghukuman kolektif, penyanderaan, penghinaan;
6. Kesempatan meninggalkan wilayah musuh;
7. Jaminan mendapatkan makan dan obat-obatan di wilayah pendudukan.
Konvensi Jenewa ke IV tahun 1949 ini mengatur perlindungan untuk
orang sipil secara luas. Orang sipil yang dilindungi Konvensi Jenewa ke IV tahun
31
1949 bagian II mencakup kelompok orang sipil yang lebih luas disebabkan
perlindungan bagian tersebut tidak hanya terbatas pada orang sipil warga negara
musuh, warga negara netral, warga negara sekutu yang tidak mempunyai
hubungan diplomatik normal dengan negara yang menguasainya dan mereka yang
tidak mempunyai kewarganegaraan. Perlindungan bagian II ini mencakup semua
orang tanpa membedakan kewarganegaraannya. Perlindungan ini juga dikaitkan
dengan tempat tertentu seperti daerah Rumah Sakit ataupun daerah keselamatan
perlindungan yang ditetapkan bagi orang-orang itu ditempat tersebut agar
terhindar dari pemboman musuh.
Dikarenakan adanya perkembangan pemahaman tentang pertikaian
bersenjata, kebutuhan perlindungan yang lebih luas bagi mereka yang luka, sakit
dan korban karam serta perkembangan cara dan sarana perang beberapa waktu
yang lalu lahirlah Protokol Tambahan tahun 1977. Protokol Tambahan ini
merupakan tambahan pada Konvensi Jenewa 1949, namun melihat dari isi aturan
yang terkandung di dalamnya Protokol Tambahan 1977 ini juga merupakan
tambahan Konvensi Den Haag 1907 karena memuat aturan dan tata cara serta
sarana pertikaian besenjata. Keberadaan dari Protokol Tambahan adalah sebagai
bentuk penyempurnaan dari Konvensi Jenewa 1949. Bukan sebagai pengganti dari
Konvensi Jenewa tahun 1949. Protokol ini sendiri terdiri dari dua bagian, yakni
Protokol Tambahan I dan Protokol tambahan II. Protokol Tambahan I memuat
aturan tentang perlindungan korban konflik bersenjata yang bersifat internasional,
sedangkan Protokol Tambahan II memuat aturan perlindungan korban konflik
Pada Protokol Tambahan I tahun 1977 ini secara eksplisit membatasi
defenisi orang sipil yang diartikan sebagai setiap orang yang bukan anggota
angkatan bersenjata pihak yang bertikai, sedangkan anggota angkatan bersenjata
disebut sebagai kombatan dan mereka berhak ikut serta dalam pertikaian/konflik
bersenjata. Ketentuan pokok yang terdapat dalam Protokol Tambahan I 1977
antara lain : Melarang serangan yang membabi-buta dan reprisal terhadap :
Penduduk sipil dan orang-orang sipil; Obyek-obyek yang sangat penting bagi
kelangsungan hidup penduduk sipil; Benda-benda budaya dan juga tempat-tempat
religius; Bangunan dan instalansi berbahaya; Lingkungan alam. Memperluas
perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam Konvensi Jenewa kepada
semua personil medis, unit-unit dan alat-alat transportasi medis, baik yang berasal
dari organisasi sipil maupun militer. Menentukan kewajiban bagi Pihak Peserta
Agung untuk mencari orang- orang yang hilang (missing persons). Menegaskan
ketentuan-ketentuan mengenai suplai bantuan (relief supplies) yang ditujukan
pada penduduk sipil. Memberikan perlindungan terhadap seluruh
kegiatan-kegiatan organisasi pertahanan sipil. Mengkhususkan adanya tindakan-tindakan
yang harus dilakukan oleh negara-negara untuk memfasilitasi implementasi
hukum humaniter. Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang
tertulis dalam subbab (1) di atas, maka pelanggaran tersebut dapat dianggap
sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum humaniter dan dikategorikan ke
dalam bentuk kejahatan perang (war crimes).32
32
Tidak hanya pada Protokol Tambahan I, Protokol Tambahan II juga
memiliki beberapa hal yang diatur khusus di dalamnya. Ketentuan-ketentuan
dalam Protokol II antara lain menentukan hal-hal sebagai berikut :33 Mengatur
jaminan-jaminan yang sifatnya fundamental bagi semua orang, apakah mereka
yang terlibat atau tidak dalam suatu pertempuran. Menentukan hal-hal bagi
orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang adil.
Memberikan perlindungan penduduk sipil dan obyek-obyek perlindungan
Melarang dilakukannya tindakan intervensi secara sengaja.
Mengenai ruang lingkupnya, Pasal 1 Ayat (1) Protokol Tambahan II yang
tidak lain sebagai pelengkap Konvensi Jenewa tahun 1949, menetapkan bahwa
Protokol Tambahan II ini berlaku kepada semua konflik bersenjata yang tidak
dirumuskan dalam Pasal 1 Protokol Tambahan I 1977 tentang Perlindungan
Korban Konflik Bersenjata Internasional. Ketentuan-ketentuan ini hanya berlaku
dalam konflik bersenjata yang berlangsung di wilayah negera-negara peserta
konvensi. Konflik yang terjadi antara angkatan perangnya dan angkatan perang
pemberontak atau milisi bersenjata pemberontak lainnya yang sifatnya
terorganisir. Dalam artian bahwa milisi bersenjata pemberontak tersebut berada di
bawah komando yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan kekuasaan atas suatu
bagian dari wilayahnya, yang memungkinkan mereka untuk melaksankan operasi-
operasi militer secara terus menerus.
Keberadaan Protokol II ini menyatakan bahwa setiap pihak yang menjadi
korban dari konflik bersenjata non-internasional, dapat menerima perlindungan
33
sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977. Perlindungan ini
diberikan secara menyeluruh tanpa adanya diskriminasi seperti yang berlaku pada
ketentuan mengenai konflik bersenjata internasional. Protokol Tambahan II tahun
1977, Pasal 2 Ayat (1).
Dalam Protokol Tambahan II ini, ditegaskan bahwa negara yang sedang
dilanda konflik bersenjata dalam negeri memiliki kedaulatan yang penuh untuk
melakukan tindakan penyelamatan dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa tidak ada satu pun ketentuan dari Protokol ini yang boleh
digunakan sebagai suatu pembenaran bagi campur tangan (intervensi) pihak luar
di dalam konflik bersenjata atau di dalam urusan dalam negeri atau luar negeri
suatu negara. Protokol Tambahan II tahun 1977, Pasal 3 Ayat (2).
Sebagaimana tidak ada satu pun dari ketentuan Protokol ini yang boleh
dipergunakan untuk dijadikan peluang untuk mempengaruhi kedaulatan suatu
negara atau tanggungjawab pemerintah yang berupaya dengan segala cara yang
sah untuk mempertahankan dan memulihkan kembali hukum dan ketertiban atau
untuk mempertahankan persatuan nasional dan keutuhan wilayah negara
itu.Protokol Tambahan II tahun 1977, Pasal 3 Ayat (1). Hal ini semakin
menegaskan kedaulatan yang dimiliki oleh setiap negara tanpa terkecuali.
Protokol I dan II tahun 1977 juga menjabarkan dalam hal menetapkan
perlindungan bagi orang sipil antara lain34 :
Protokol Tambahan I tahun 1977 menetapkan a.1 :
34
1. Larangan menyerang orang sipil;
2. Keharusan dilakukannya penghati-hatian dalam melakukan perbuatan
perang demi untuk melindungi orang sipil;
3. Larangan dilakukannya kekerasan kepada orang sipil;
4. Larangan pemindahan paksa orang sipil;
5. Jaminan mendapatkan bantuan;
6. Kesempatan memberi bantuan korban konflik bersenjata.
Protokol Tambahan II tahun 1977 menetapkan a.1 :
1. Perlindungan terhadap operasi militer;
2. Larangan dijadikannya orang sipil sebagai sasaran konflik bersenjata;
3. Larangan menjadikan kelaparan orang sipil sebagai sarana pertikaian;
4. Larangan menyerang bangunan dan instalasi yang mengandung kekuatan
berbahaya;
5. Larangan pemindahan paksa orang sipil;
6. Perlindungan kumpulan dan orang sipil penolong korban pertikaian
bersenjata.
Hukum humaniter internasional mewajibkan pihak-pihak yang
bersengketa untuk membedakan antara penduduk sipil dengan kombatan. Pasal
48 Protokol Tambahan I 1977. Istilah penduduk sipil mencakup semua orang
sipil yang berdomisili di daerah-daerah terjadinya konflik bersenjata atau
penduduk sipil yang berdomisili di daerah-daerah pendudukan.35
Berdasarkan hal tersebut, yang dimaksud dengan orang sipil adalah setiap
orang yang tidak ikut berperang. Jika terdapat suatu keraguan apakah seseorang
tersebut adalah seorang sipil atau kombatan, maka ia harus dianggap sebagai
orang sipil36. Perlindungan penduduk sipil ini juga mencakup terhadap orang-
orang yang bekerja sebagai penolong, wartawan maupun anggota organisasi
pertahanan sipil. Orang-orang sipil harus diperlakukan dengan perlakuan yang
manusiawi tanpa suatu pembedaan diskriminatif yang didasarkan atas jenis
kelamin, warna kulit, ras, agama atau kepercayaan, pandangan politik atau
pandangan-pandangan lainnya, asal kebangsaan dan sosial, kekayaan, keturunan,
dan standar-standar pembedaan serupa lainnya.
Pada konflik bersenjata non-internasional, perlindungan terhadap
penduduk sipil telah mendapatkan perhatian yang cukup dalam hukum humaniter
internasional. Ketetapan tentang perlindungan bagi penduduk sipil tersebut telah
dijelaskan pada Bab IV dalam Protokol Tambahan II tahun 1977. Pasal 13
Protokol Tambahan II menegaskan bahwa penduduk sipil dan orang-orang sipil
berhak menerima perlindungan umum dari bahaya yang ditimbulkan oleh operasi-
operasi militer.37
35
“Konvensi Jenewa 1949 Tentang Korban Perlindungan Perang, Tehadap Warga Sipil dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional” sebagaimana dimuat dalam www.landasanteori.com, terakhir diakses 29 Mei 2016 pukul 17.34
36
Pasal 50 Protokol Tambahan I 1977
37
Untuk menekankan pentingnya perlindungan tersebut, ditegaskan larangan
menjadikan penduduk sipil dan orang-orang sipil sebagai sasaran serangan.
Sebagaimana dilarang melakukan ancaman-ancaman kekerasan yang tujuan
utamanya adalah menyebarkan teror di kalangan penduduk sipil. Penduduk sipil
dan orang-orang sipil ini berhak menerima jaminan perlindungan yang ada,
selama tidak turut serta melakukan aksi-aksi perlawanan secara langsung.38
Protokol Tambahan II juga melarang bentuk-bentuk pemaksaan agar
penduduk sipil meninggalkan tempat tinggal mereka karena alasan-alasan yang
berkaitan dengan sengketa. Mereka juga dilarang dipindah tempatkan kecuali jika
ada alasan-alasan militer yang sangat mendesak, dengan syarat aspek keselamatan
dan keamanan proses pemindahan itu terjamin. Protokol Tambahan II tersebut
juga telah menetapkan jaminan perlindungan terhadap obyek-obyek yang sangat
diperlukan penduduk sipil.39
Dalam hal ini, turut disebutkan tentang larangan menimbulkan kelaparan
pada penduduk sipil sebagai salah satu strategi perang. Oleh karena itu, dilarang
menyerang, merusak, memindahkan atau menjadikan tidak berfungsi
obyek-obyek yang diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk sipil.
Ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi penduduk sipil dalam konflik bersenjata internasional
hampir tidak berbeda dengan ketentuan yang harus diterapkan pada konflik
38
Ibid.
39
bersenjata non-internasional. Hal ini berlandaskan pada prinsip kemanusiaan yang
harus diterapkan dalam konflik bersenjata jenis apapun.40
Sudah semestinya pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian atau konflik
bersenjata memperhatikan hak-hak penduduk sipil yang patut dilindungi dan
dihormati dengan menaati dan tidak melakukan tindakan pelanggaran dengan
menyerang penduduk sipil yang notabene bukan merupakan sasaran atau obyek
penyerangan dalam suatu pertikaian atau konflik bersenjata, sehingga tidak
menimbulkan korban yang tidak semestinya (collateral damage) bahkan pihak
yang bertikai dalam suatu konflik bersenjata juga tidak diperbolehkan menjadikan
penduduk sipil sebagai alat pertikaian atau konflik bersenjata, menyebarkan teror
dan kelaparan demi mendapatkan keuntungan terhadap jalannya pertikaian atau
konflik bersenjata tersebut.
40
INTERNASIONAL
A. Sejarah dan Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Kemanusiaan
Terhadap Penduduk Sipil di Republik Afrika Tengah
Republik Afrika Tengah. Sebuah negara tanpa wilayah laut yang berlokasi
tepat di tengah-tengah Benua Afrika. Republik Afrika Tengah atau RAT bisa
dibilang sebagai salah satu negara yang asing karena minimnya pemberitaan
seputar mereka. Namun sejak akhir tahun 2012, Republik Afrika Tengah secara
mendadak mulai mendominasi pemberitaan media-media internasional menyusul
pecahnya konflik bersenjata di negara tersebut akibat pemberontakan yang
dilakukan oleh Seleka.41
Seleka atau lengkapnya Seleka CPSK-CPJP-UFDR adalah nama dari
kelompok pemberontak Republik Afrika tengah yang aslinya merupakan
persekutuan atau aliansi dari 3 kelompok pemberontak berbeda : CPSK, CPJP, &
UFDR. Pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut
sebenarnya bukanlah pemberontakan baru karena selain CPSK,
kelompok-kelompok tadi sudah melakukan pemberontakan sejak tahun 2004 & sempat
setuju untuk meletakkan senjata pada tahun 2007 sebelum kembali mengangkat
41
senjata pada tahun 2012 dengan nama Seleka. Terhitung sejak bulan Maret 2013,
Seleka menjadi penguasa baru Republik Afrika Tengah pasca keberhasilannya
menggusur rezim pimpinan Francois Bozize.42
Tahun 2003, Francois Bozize berhasil naik menjadi penguasa baru
Republik Afrika Tengah lewat kudeta militer dengan bantuan Chad, negara
tetangga RAT di utara. Keberhasilan Bozize menjadi penguasa negara bekas
jajahan Perancis tersebut lewat jalur militer lantas memunculkan penolakan dari
sebagian penduduk RAT. Penolakan tersebut semakin kuat menyusul adanya
tuduhan bahwa rezim Bozize melakukan praktik KKN (korupsi, kolusi,
nepotisme) & mengeksploitasi tambang-tambang berlian di Republik Afrika
Tengah untuk memperkaya dirinya sendiri.43
Pada periode yang bersamaan, terjadi konflik bersenjata di Republik
Demokratik (RD) Kongo & Darfur, Sudan. Berkecamuknya konflik di
negara-negara tetangga Republik Afrika Tengah tersebut lantas membuat sebagian
persenjataan yang ada di sana masuk ke wilayah Republik Afrika Tengah secara
ilegal. Senjata-senjata tersebut lantas dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak
menyukai Bozize untuk memulai pemberontakan. Adapun kelompok pertama
yang memulai perlawanan bersenjata adalah Union des Forces Democratiques
42
“Seleka” sebagaimana dimuat dalam www.wikipedia.org, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 19.10 WIB
43
pour le Rassemblement (UFDR; Persatuan Pasukan Perdamaian untuk Kesatuan),
kelompok pemberontak yang anggotanya didominasi oleh etnis Ronga.44
Sesudah kemunculan UFDR, muncul lagi kelompok-kelompok
pemberontak yang lain. Salah satu kelompok tersebut adalah Convention of
Patriots for Justice and Peace (CPJP; Konvensi Patriot untuk Keadilan & Perdamaian) yang komposisi anggotanya didominasi oleh etnis Goula. Bersama
dengan kelompok-kelompok pemberontak lainnya seperti APRD & MLJC,
mereka pun mulai mengancam kelangsungan rezim Bozize lewat aktivitas
perlawanan bersenjata. Rezim Bozize lantas merespon perlawanan tersebut
dengan mengerahkan militer RAT sehingga perang sipil di Afrika Tengah juga
dikenal dengan nama "Perang Belukar Afrika Tengah" (Central African bush war)
menjadi tak terelakkan.45
Tahun 2007, perang belukar Afrika Tengah akhirnya berhenti setelah
pemerintah RAT & kelompok-kelompok pemberontak menandatangani perjanjian
damai di Birao, sebuah kota di RAT. Beberapa poin penting dari perjanjian damai
tersebut adalah kelompok-kelompok pemberontak akan membiarkan senjatanya
dilucuti. Sebagai gantinya, mereka akan direkrut menjadi tentara RAT &
kelompok-kelompok tadi berubah menjadi partai politik yang legal. Namun
seiring berjalannya waktu, rasa tidak puas mulai bermunculan karena para anggota
44
“War in Darfur” sebagaimana dimuat dalam www.wikipedia.org, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 19.30 WIB
45
kelompok pemberontak tidak kunjung direkrut oleh militer RAT & aparat RAT
melakukan penindasan pada penduduk Afrika Tengah bagian utara.46
Bulan Juli 2012, sejumlah anggota pemberontak yang tidak puas dengan
pelaksanaan perjanjian damai membentuk kelompok baru yang bernama
Convention Patriotique pour le Salut du Kodro (CPSK; Rapat Patriotik untuk menyelamatkan Negara). Beberapa bulan kemudian, kelompok tersebut lalu
membentuk aliansi dengan kelompok CPJP & UFDR sehingga terciptalah
kelompok baru yang bernama "Seleka CPSK-CPJP-UFDR". Nama "Seleka"
sendiri berasal dari kata dalam bahasa Sango yang merupakan salah satu bahasa
asli Afrika Tengah berarti "aliansi". Terbentuknya Seleka sekaligus menandai fase
kritis baru dalam perkembangan sosial politik Afrika Tengah karena perang sipil
baru di negara tersebut ibarat hanya masalah waktu.47
Tanggal 15 Desember 2012, Seleka menampakkan aktivitas bersenjata
pertamanya ketika pada tanggal tersebut, mereka menyerang & merebut kota
Bamingui secara mendadak. 3 hari kemudian, Seleka berhasil menduduki kota
Bria yang kaya akan berlian. Sehari sesudahnya, giliran kota Kabo yang jatuh ke
tangan pasukan Seleka. Keberhasilan Seleka sendiri tidak lepas dari lemahnya
motivasi & perlengkapan perang yang dimiliki oleh militer RAT. Situasi yang
46
“Central African Republic Bush War” sebagaimana dimuat dalam www.wikipedia.org, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 19.55 WIB
47
ironisnya tercipta akibat kebijakan rezim Bozize sendiri yang khawatir bila militer
RAT terlampau kuat, maka dirinya akan dikudeta oleh mereka.48
Menyusul keberhasilan Seleka merebut kota demi kota, pemerintah RAT
pun meminta negara-negara luar termasuk AS & Perancis agar mau mengirimkan
bantuan militer ke RAT demi menumpas Seleka. Pasukan Chad negara tetangga
sekaligus sekutu terdekat RAT adalah pasukan asing pertama yang tiba di RAT
untuk membantu rezim Bozize, tepatnya pada tanggal 18 Desember. Perancis
selaku negara bekas penjajah RAT juga ikut mengirimkan pasukan, namun bukan
untuk membantu rezim Bozize, melainkan untuk melindungi warga negara &
perusahaan-perusahaan milik Perancis yang beroperasi di Republik Afrika
Tengah.49
Datangnya pasukan Chad tidak serta merta membuat Seleka gentar. Pada
tanggal 23 Desember, Seleka berhasil merebut kota Bambari sehingga mereka pun
semakin dekat dengan Bangui, ibukota dari RAT. Pasukan RAT sebenarnya
sempat melancarkan serangan ke Bambari pada tanggal 28 Desember untuk
merebut kembali kota tersebut, namun serangan tersebut berhasil dipatahkan oleh
pasukan Seleka. Pasca pertempuran di Bambari, pasukan Seleka berhasil merebut
kota Sibut yang berjarak 150 km di sebelah Utara Bangui, sementara pasukan
48
Ibid.
49
RAT & Chad dikonsentrasikan di kota Damara yang terletak di antara Sibut &
Bangui.50
Pasca keberhasilan Seleka menduduki kota Sibut, pasukan Seleka
menghentikan pergerakannya menyusul datangnya tawaran perundingan damai
dari rezim Bozize. Perundingan damai yang dimaksud akhirnya dilakukan pada
tanggal 10 Januari 2013 di Libreville, Gabon. Kemauan Seleka menerima tawaran
perundingan damai sendiri tidak lepas dari kondisi di medan perang yang semakin
tidak bersahabat bagi mereka menyusul datangnya pasukan Kamerun, Gabon,
Kongo, & Afrika Selatan ke ibukota RAT.51
Kembali soal perundingan yang diikuti oleh Seleka. Perundingan damai
yang dilakukan di Libreville akhirnya menghasilkan poin-poin kesepakatan
berikut : pihak-pihak yang bertikai sepakat untuk meletakkan senjata, para
anggota Seleka akan direkrut menjadi tentara RAT yang baru, Bozize tidak akan
mencalonkan diri lagi pada pemilihan presiden berikutnya, komposisi parlemen
RAT akan dirombak ulang, & perdana menteri yang baru akan diangkat dari pihak
oposisi. Dengan dicapainya perjanjian damai tersebut, pemberontakan bersenjata
yang dilakukan Seleka pun berakhir - untuk beberapa lama.52
Tanggal 22 Maret 2013, dengan alasan bahwa rezim Bozize gagal
melaksanakan poin-poin perjanjian damai Libreville, pasukan Seleka secara
mendadak memulai kembali pemberontakan bersenjatanya. Hanya dalam waktu
50
“Central African Republic Civil War (2012–present)” sebagaimana dimuat dalam www.wikipedia.org, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 20.10 WIB
51
Ibid.
52
singkat, pasukan Seleka sukses menduduki ibukota Bangui & menggulingkan
rezim Bozize. Bozize sendiri selamat karena sebelum pasukan Seleka mencapai
Bangui, ia berhasil melarikan diri ke Kamerun. Di luar Bangui, pasukan Seleka
juga sempat menyerang pangkalan militer Afrika Selatan yang ada di RAT,
namun serangan tersebut berhasil dibendung oleh pasukan Afrika Selatan yang
ditempatkan di sana.53
Pasca keberhasilan menduduki Bangui, kelompok-kelompok yang
menyusun Seleka sempat berselisih mengenai siapa yang harus menjadi pemimpin
baru RAT. Michael Djotodia lalu mengangkat dirinya secara sepihak sebagai
presiden Republik Afrika Tengah yang baru & berjanji bahwa pemilu nasional
akan digelar 3 tahun kemudian. Namun, naiknya Djotodia sebagai pemimpin RAT
yang baru tidak diakui oleh organisasi Uni Afrika sehingga organisasi yang
beranggotakan negara-negara Afrika tersebut membekukan keanggotaan RAT &
mengancam bahwa Djotodia bisa diseret ke pengadilan internasonal karena
tindakannya merebut kekuasaan lewat jalur militer.54
Kemenangan Seleka & jatuhnya rezim Bozize juga diikuti dengan
penarikan mundur pasukan Afrika Selatan dari RAT. Sejak awal, pengiriman
pasukan Afrika Selatan ke RAT memang banyak diwarnai pro kontra di dalam
negeri karena labilnya kondisi sosial politik RAT & adanya tuduhan bahwa
pasukan Afrika Selatan dikirim ke RAT demi kepentingan bisnis segelintir pihak
semata. Pergantian kekuasaan mendadak di RAT juga membuat pasukan
53
“Central African Republic Civil War (2012–present)” sebagaimana dimuat dalam www.wikipedia.org, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 20.10 WIB
54
gabungan AS & negara-negara Afrika menghentikan operasi militernya di Afrika
Tengah untuk sementara waktu di mana tujuan mereka berada di Afrika Tengah
adalah untuk menangkap Joseph Kony, pemimpin tertinggi dari kelompok
pemberontak fenomenal Lord's Resistance Army (LRA; Tentara Perlawanan
Tuhan).55
Sementara itu di luar RAT, Bozize melancarkan tuduhan bahwa Chad
berada di balik kemenangan Seleka. Dasar dari tuduhannya adalah menjelang
serangan Seleka ke Bangui, ada iring-iringan truk pengangkut logistik yang
datang dari arah Chad. Tuduhan yang cukup mengejutkan mengingat Chad selama
ini merupakan negara sekutu terdekat dari rezim Bozize & menjadi negara
pertama yang mengirimkan pasukannya untuk memerangi Seleka.56
Namun sejak September 2013, kekuatan Djotodia melemah dan
mengakibatkan kekosongan kekuasaan (vacuum of power), yang akhirnya diambil
alih oleh kelompok Anti-Balaka yang membalaskan dendam terhadap Seleka
dengan cara membantai Muslim di negara tersebut. Anti-balaka sendiri adalah
kata yang digunakan untuk menyebut milisi Kristen dan animis yang dibentuk di
Republik Afrika Tengah setelah Michel Djotodia terpilih sebagai presiden57.
Anti-Balaka berarti "anti-parang" atau "anti-pedang" dalam bahasa Sango dan
55
“South Africa to withdraw troops from CAR” sebagaimana dimuat dalam www.aljazeera.com, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 20.40 WIB dan “US offers up to $5m for leads on Uganda warlord Kony” sebagaimana dimuat dalam www.bbc.co.uk, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 21.00 WIB
56
“Ousted CAR president François Bozizé says no plans for asylum” sebagaimana dimuat dalam www.rfi.fr, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 21.30 WIB
57
Mandja58. Milisi Anti-Balaka awalnya dibentuk tahun 1990-an sebagai pasukan
pertahanan desa.59 Karena terbiasa dengan perang dan pembantaian, milisi
Anti-Balaka mulai melakukan serangkaian tindak kekerasan. Pada tahun 2014,
Amnesty International melaporkan adanya beberapa pembantaian yang dilakukan
Anti-Balaka terhadap warga sipil Muslim sehingga memaksa ribuan penduduk
Muslim untuk mengungsi ke luar RAT.60 Dengan munculnya Anti-Balaka ini
telah menjadikan situasi konflik di RAT semakin panas dan sangat
mengkhawatirkan. Aksi balas dendam menjadi acuan utama dari kelompok
Anti-Balaka setelah kelompok Seleka yang berbasis Islam minoritas melakukan aksi
pemberontakan terhadap warga sipil yang mayoritas beragama Kristen. Bentrokan
pertama antara Anti-Balaka dan eks-milisi Seleka terjadi pada 5 Desember 2013.
Bertempat di ibukota Bangui, pasukan Anti-Balaka melancarkan
serangan-serangan secara sporadis dengan menargetkan tidak hanya eks-milisi anggota
Seleka, melainkan warga sipil Muslim juga menjadi sasaran. Sebagai reaksi dari
serangan yang dilakukan Anti-Balaka, eks-milisi Seleka pun membalas dengan
menyerang balik sehingga pertumpahan darah terjadi di Bangui. Akibat dari
pertempuran ini diperkirakan ribuan orang mati baik dari Kristen maupun Islam.
Menurut laporan OHCHR pada 3 Januari 2014, setengah dari penduduk RAT
935.000 orang adalah pengungsi, termasuk setengah dari penduduk Bangui
58
“Hundreds dead in Central African Republic violence” sebagaimana dimuat dalam www.bbc.co.uk, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 21.50 WIB
59
“A Question of Humanity: Witness to the Turning Point In Central African Republic” sebagaimana dimuat dalam www.time.com, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 21.40 WIB
60
513.000 orang dengan 233.000 lainnya di negara-negara tetangga akibat
pertempuran yang terjadi antara Anti-Balaka dengan eks-milisi Seleka.61
Keadaan semakin memburuk ketika pada 10 Januari 2014 Presiden Michel
Djtodia mengundurkan diri dan mengasingkan diri ke Benin dan digantikan oleh
Catherine Samba-Panza pada 23 Januari 2014. Kekuatan pasukan Seleka mulai
berkurang dan dalam waktu singkat kekuatan Anti-Balaka menguat dengan
menguasai pos-pos yang ditinggalkan oleh Seleka. Kemarahan Anti-Balaka atas
perlakuan Seleka terus berlanjut dengan melakukan serangan-serangan lain
terhadap populasi sipil Muslim di Bouali, Boyali, Bossembele, Baoro, Bawi,
Yaloke, Boda, dan Bocaranga. Selain menyebabkan kematian dan kehancuran,
serangan terhadap Muslim yang dilakukan Anti-Balaka diketahui juga untuk
mengeluarkan secara paksa populasi ini dari Republik Afrika Tengah.62
Selain itu, aksi kekerasan yang terus menerus terjadi di RAT sejak 2012
juga telah mengakibatkan ketakutan terhadap warga sipil. Menurut laporan
UNHCR, lebih dari 700.000 orang telah mengungsi, dimana 273.000 orang di
Bangui yang tersebar di 66 lokasi, dan lebih dari 288.000 orang telah melarikan
diri ke negara-negara tetangga seperti Kamerun, Chad, Republik Demokratik
Kongo, dan Republik Kongo.63 Pertimbangan keamanan negara yang berada
dalam situasi konflik telah memaksa mereka untuk mencari perlindungan ke
61
“Preliminary Findings” OHCHR Monitoring Mission in the Central African Republic (CAR)” sebagaimana dimuat dalam www.ohcr.org, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 22.20 WIB
62
“Ethnic Cleansing and Sectarian Killings in The Central African Republic” sebagaimana dimuat dalam www.amnesty.org, terakhir diakses pada tanggal 22.40 WIB
63
tempat yang lebih aman. Konflik internal yang terjadi di Republik Afrika Tengah
antara Anti-Balaka dengan eks-milisi Seleka telah menjadikan konflik semakin
kompleks.
Konflik yang selama beberapa dekade terjadi antara pemerintahan yang
berkuasa dengan para oposisi pemerintah, kemudian berubah menjadi konflik
berbasis agama. Kehadiran Anti-Balaka yang pada mulanya sebagai kelompok
yang ingin mempertahankan diri dari aksi pemberontakan eks-milisi Seleka,
kemudian berubah menjadi kelompok brutal dengan tujuan menghilangkan
populasi Muslim yang minoritas di Republik Afrika Tengah. Kondisi ekonomi
yang tidak seimbang pun menjadi faktor pemicu pertikaian bersenjata ini terjadi,
karena pada kenyataannya mengakibatkan kecemburuan dan frustasi sosial
didalam masyarakat wilayah utara. Kelompok-kelompok etnis muncul ke
permukaan yang dibarengi dengan aksi pemberontakan dan penjarahan atas
sumber daya alam yang ada. Kehadiran kelompok-kelompok tersebut selanjutnya
menghadirkan aksi brutal yang menyebabkan ketegangan dengan pemerintah
Bozize. Konflik yang pada mulanya berakar pada kesenjangan politik dan
ekonomi ini, berujung pada kekerasan sektarian yang terjadi hampir di semua
wilayah RAT. RAT yang 80% warganya beragama Kristen menganggap bahwa
Seleka adalah orang asing di negaranya. Parahnya, serangan-serangan milisi telah
menyebabkan warga Muslim meninggalkan tempat asal mereka dalam skala yang
belum pernah terjadi sebelumnya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab
utama krisis di Republik Afrika Tengah adalah tidak berfungsinya pemerintahan
B. Kejahatan Kemanusiaan di Republik Afrika Tengah Ditinjau Dari
Hukum Internasional
Berbagai macam tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan
melibatkan milisi Seleka maupun Anti-Balaka terjadi di Republik Afrika Tengah.
Hal ini dapat dilihat dari laporan-laporan terkait kejahatan kemanusiaan yang
terjadi di Republik Afrika Tengah. Badan Hak Asasi Manusia Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat berbagai pelanggaran hak asasi manusia antara
lain pembunuhan ekstra-yudisial, pemerkosaan secara sistematis, penghilangan
secara paksa, pemindahan penduduk secara paksa, pelarangan ibadah serta
pemakaian pakaian agama, mutilasi, kanibalisme dan sebagainya.
Kelompok Hak Asasi Manusia Amnesty Internasional mengatakan daerah
pedesaan menjadi target pembersihan etnis. Dalam upaya menghapus masyarakat
muslim dari Republik Afrika Tengah.64 Dalam laporan Amnesty berjudul
"Identitas Terhapus: Muslim di Daerah Etnis Dibersihkan dari Republik Afrika
Tengah". Penasehat respon krisis senior Amnesty, Joanne Mariner mengatakan
umat Islam di Afrika Tengah sedang ditekan dan dipaksa meninggalkan agama
mereka. Laporan Amnesty ini berdasarkan serangkaian wawancara dengan warga
di RAT. Mereka mengatakan milisi menimbulkan gelombang kekerasan
pembersihan etnis yang ditujukan memaksa umat Islam meninggalkan negara itu.
64
Bahkan bentuk pelanggaran yang menjadikan penduduk sipil sebagai
sasaran balasan (reprisal) juga terjadi,65 mengindikasikan konflik bersenjata di
RAT jelas-jelas mengabaikan asas pembedaan (distinction principle) yang mana
dalam hal ini tak lagi membedakan sasaran yang seharusnya tetapi menjadikan
penduduk sipil menjadi sasaran penyerangan. Dalam asas pembedaan ini
bertujuan untuk melindungi penduduk sipil dari bahaya operasi militer, penduduk
sipil tidak boleh menjadi objek serangan walaupun untuk membalas serangan
(reprisal), terlebih lagi penduduk sipil tidak boleh dijadikan sasaran kekerasan
dengan tujuan menyebarkan teror untuk kepentingan pihak yang bertikai. Bila
melihat dari berbagai macam bentuk pelanggaran HAM di RAT tersebut maka
pelanggaran yang terjadi tergolong pelanggaran berat (grave breaches).
Kejahatan kemanusiaan merupakan tindak pidana internasional, untuk itu
penulis akan membahas lebih dalam mengenai tindak pidana internasional.
Definisi tindak pidana internasional dapat ditemukan dalam putusan Peradilan
Tindak Pidana Perang di Amerika Serikat dalam kasus Hostages, yang
menyatakan sebagai berikut :
“An international crime is such an act universally recognized as a
criminal which is considired a grave matter of international concern and for some valid reason cannot be left within the exclusive jurisdiction of the state, that would have control over it under normal circumtances”66
65
“Deadly Reprisal Attacks Hit Central African Republic” sebagaimana dimuat dalam www.aljazeera.com, terakhir diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 23.45 WIB.
66
Dari uraian defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak pidana
internasional adalah suatu tindakan yang secara universal diakui sebagai suatu
tindak pidana. Pengakuan secara internasional itu disebabkan karena tindak
pidana tersebut merupakan persoalan yang sangat besar dan menjadi perhatian
masyarakat internasional. Dengan demikian, terhadap tindak pidana ini tidak
hanya tunduk pada yurisdiksi negara tertentu saja, tetapi dapat tunduk pada
yurisdiksi semua negara atau dapat diterapkan yurisdiksi universal.67
Perbuatan melawan hukum internasional dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana internasional (kriminalisasi) apabila memenuhi tiga faktor, yaitu:
(1) perbuatan itu melanggar kepentingan internasional yang sangat signifikan; (2)
perbuatan itu melanggar nilai-nilai bersama masyarakat dunia; (3) perbuatan itu
menyangkut lebih dari satu negara atau melintasi batas-batas wilayah negara, baik
itu karena pelaku, korban, maupun perbuatannya sendiri.68 Tindak pidana
internasional disebut juga delicto jus gentium atau oleh beberapa sarjana hukum
internasional terkemuka dinyatakan bahwa tindak pidana internasional adalah
tindak pidana terhadap kemanusiaan atau seluruh dunia, yang pelakunya
merupakan musuh seluruh umat manusia (enemies of the whole human family).69
Perbuatan melawan hukum internasional yang merupakan tindak pidana
internasional mempunyai tiga kriteria utama, yaitu : (a) melanggar kepentingan
fundamental masyarakat internasional secara keseluruhan atau lebih dari kerangka
bilateral atau; (b) pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran berat baik bagi
67
Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasional, Jakarta, Erlangga, 2011, hal. 27
68
M. Cherif Bassiouni, A Draft International Criminal Code and Draft Statue for an International Criminal Tribunal, Leiden, Martinus Nijhoff, 1987, hal. 56
69
kuantitatif maupun kualitatif; dan (c) berdasarkan praktik dan pengalaman yang
dialami, pelanggaran tersebut diakui oleh masyarakat internasional sebagai tindak
pidana.70 Adapun persyaratan tindak pidana internasional menurut bassiouni
sebagai berikut71:
1. Memiliki unsur internasional
Hal yang dimaksudkan dengan memiliki unsur internasional adalah
kejahatan tersebut dapat mengancam, baik langsung maupun tidak langsung,
perdamaian dan keamanan umat manusia secara keseluruhan. Selain itu pula,
kejahatan tersebut diakui sebagai perbuatan yang menggoncangkan hati nurani
umat manusia atau melanggar nilai-nilai bersama umat manusia.
2. Memiliki unsur transnasional
Unsur ini menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut mempengaruhi
keselamatan umum dan kepentingan ekonomi lebih dari suatu negara. Tindak
pidana tersebut biasanya melintasi batas-batas wilayah negara lebih dari satu
negara dan menggunakansarana dan prasaran atau cara-cara yang bersifat lintas
batas negara.
3. Memiliki unsur keharusan
Unsur ini dimaksudkan bahwa dalam rangka pemberantasan dan
penegakan hukum pidana internasional, diperlukan kerja sama internasional.
Kerja sama tersebut dikarenakan kejahatan tersebut sudah menjadi delicto jus
70
International Law Commission Yearbook, Vol. II Part Two, 1994, hal. 140
71
gentium yang menjadi perhatian lebih dari suatau negara, bahkan seluruh masyarakat dunia.
Setelah unsur-unsur suatu tindak pidana internasional, berikut merupakan
ciri-ciri tindak pidana internasional, antara lain72 : (1) terdapat pengakuan secara
eksplisit bahwa suatu tindakan merupakan tindak pidana, tindak pidana
internasional, tindak pidana di bawah hukum internasional; (2) diakui memiliki
sifat pidana dengan menetapkan kewajiban untuk melarang dilakukan, mencegah,
menuntut, memidana dan sebagainya; (3) memberikan sifat pidana pada suatu
tindakan; (4) terdapat kewajiban atau hak untut menuntut; (5) terdapat kewajiban
atau hak memidana; (6) terdapat kewajiban atau hak untuk mengekstradisikan; (7)
memiliki kewajiban atau hak untuk bekerja sama dalam hal penuntutan dan
pemidanaan (termasuk memberikan bantuan hukum dalam acara pidana); (8)
menetapkan dasar-dasar yurisdiksi kriminal (teori atau prioritas); (9)
mendukung/menunjang ditetapkannya pengadilan atau internasional tribunal; dan
(10) menghindarkan pembelaan dengan alasan perintah atasan.
Dalam hal ini kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan salah satu
tindak pidana internasional yang sesuai dengan pemahaman konsep tindak pidana
yang tergolong tindak pidana internasional dan telah memenuhi unsur-unsur suatu
tindak pidana internasional, kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dilakukan
dengan berbagai bentuk tindak pidana yang dilakukan secara sistematis dan
langsung membuat pendertitaan baik fisik maupun mental menyebabkan
terbunuhnya manusia serta melanggar prinsip-prinsip hukum internasional,
72
sebagaiamana telah dinyatakan dalam forum pengadilan Nuremberg segala bentuk
penghancuran kehidupan masyarakat sipil adalah perbuatan terkutuk dan
merupakan tindak pidana terhadap kemanusiaan. Perbuatan melawan hukum
internasional yang tergolong pelanggaran berat terhadap perlindungan
kepentingan fundamental masyarakat internasional (erga omnes violation)
sebagaimana telah dituliskan Pasal 19 Draft Articles adalah tindak pidana
internasional.73
Berbagai bentuk pelanggaran HAM berat terjadi di Republik Afrika
Tengah merupakan suatu bentuk Tindak Pidana Internasional, bentuk tindak
pidana internasional tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tindak
pidana yang tergolong kejahatan kemanusiaan antara lain74 : pembunuhan;
pemusnahan; perbudakan; deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa;
pengurungan atau pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang-wenang dan
melanggar aturan-aturan dasar Hukum Internasional; penyiksaan, pemerkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan secara paksa, sterilisasi
secara paksa atau berbagai bentu kekerasan seksual lainnya; penindasan terhadap
suatu kelompok yang dikenal atau terhadap suatu kelompok politik, ras, bangsa,
etnis, kebudayaan, agama, gender/jenis kelamin, sebagaimana dijelaskan dalam
ayat (3) atau kelompok-kelompok lainnya, yang secara universal tidak
diperbolehkan dalam hukum internasional, sehubungan dengan perbuatan yang
diatur dalam ayat ini atau tindak pidana dalam yurisdiksi mahkamah;
penghilangan orang secara paksa; tindak pidana rasial (apartheid); perbuatan tidak
73
Oentoeng Wahjoe, Op.cit., hal. 60
74
manusiawi lainnya yang serupa yang dengan sengaja mengakibatkan penderitaan
yang berat, luka serius terhadap tubuh, mental atau kesehatan fisik seseorang.
Tindak pidana tersebut tidak hanya dilakukan begitu saja, ada hal yang
sangat fundamental mengapa tindak pidana yang telah disebutkan dalam pasal 7
(1) Statuta Roma 1998 tersebut dapat digolongkan sebagai kejahatan
kemanusiaan, hal tersebut merupakan unsur yang mengikuti tindak pidana
tersebut, ialah sistematis (systematic) dan meluas (widespread). Maksud dari
sistematis, yaitu mensyaratkan adanya kebijakan atau tindakan negara untuk
aparat negara dan kebijakan organisasi untuk pelaku diluar negara. Sedangkan
pengertian meluas juga merujuk pada maksud dari sistematik, untuk membedakan
tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau sasaran (targetnya) secara acak.
Korban tersebut memiliki karakteristik tertentu misalnya agama, politik, ras,
etnik, atau gender.
Tindak pidana yang terjadi di Republik Afrika Tengah ini telah memenuhi
apa yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Pembunuhan
ekstra-yudisial, pemerkosaan secara sistematis berdasarkan agama, penghilangan
secara paksa, pemindahan penduduk secara paksa, penyiksaan, penganiyaan,
mutilasi, pelarangan ibadah serta pemakaian pakaian agama.75 Tindakan-tindakan
tersebut dilakukan secara sistematis dan meluas dengan sasaran yang tidak acak
(pada agama atau etnis tertentu) hal ini merupakan suatu tindak pidana
75
“Terjadi pelanggaran HAM Berat di Afrika Tengah” sebagaimana dimuat dalam www.satuharapan.com, terakhir diakses pada tanggal 31 Mei 2016 pukul 20.00 WIB, dan “PBB
Resmi laksanakan Operasi Perdamaian di CAR” sebagaimana dimuat dalam