• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kejahatan Kemanusiaan sebagai Pelanggaran HAM Berat Terhadap Penduduk Sipil di Republik Afrika Tengah Ditinjau dari Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kejahatan Kemanusiaan sebagai Pelanggaran HAM Berat Terhadap Penduduk Sipil di Republik Afrika Tengah Ditinjau dari Hukum Internasional"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

INTERNASIONAL

A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan

Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul pada tahun 1915

untuk menggambarkan suatu kejahatan luar biasa berupa pembunuhan

besar-besaran di Kerajaan Ottoman. Pada saat itu muncul permasalahan yuridis

berhubungan dengan berlakunya asas nonretroaktif dalam hukum pidana dimana

asas tersebut tidak memungkinkan mengadili suatu tindak pidana yang mana

tindak pidana tersebut belum ada hukum yang mengatur.7

Pada tanggal 28 Mei 1915 pemerintah Perancis, Inggris, dan Rusia

memutuskan untuk melakukan deklarasi terakit kasus pembunuhan massal

terhadap orang-orang Armenia di Kerajaan Ottoman. Deklarasi bersama tiga

negara tersebut melahirkan istilah kejahatan terhadap kemanusiaan, namun istilah

tersebut hanya mendapatkan perhatian jangka pendek dalam menyelesaikan

permasalahan politik, Hal ini terlihat setelah deklarasi tersebut yang tidak ada

upaya yang konkret dari deklarasi bersama tersebut.8

Definisi mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against

Humanity) berawal dari ketentuan yang tercantum di dalam Piagam Nuremberg

7

(2)

yang juga membentuk Mahkamah Militer Internasional Nuremberg, diatur di

dalam Pasal 6 (c) yang mendefenisikan kejahatan kemanusiaan adalah9 :

Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan secara paksa dan

tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masyarakat sipil,

sebelum atau selama perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras atau

agama dalam pelaksanaan atau dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah

perbuatan tersebut baik yang melanggar atau tidak hukum dimana perbuatan

tersebut dilakukan”.

Formulasi yang terdapat dalam pasal diatas merupakan preseden pertama kalinya

dalam hukum pidana internasional positif dimana istilah khusus dari kejahatan

terhadap kemanusiaan (Crimes against Humanity) diperkenalkan dan

didefenisikan.

Dalam perkembangannya, pada tahun 1944, bangsa-bangsa di dunia yang

terbentuk dalam International Law Comission telah merumuskan suatu draft

Statute for an Internasional Criminal Court yang selanjutnya menjadi cikal bakal

dari Statuta Roma. Kemudian tahun 1998 oleh International Diplomatic

Confrence di Roma telah menyepakati Statuta Roma (Rome Statute) menjadi

dasar hukum dalam mengadili kejahatan yang merupakan tergolong pelanggaran

berat termasuk didalamnya Kejahatan Genosida, Kejahatan Perang, Kejahatan

terhadap Kemanusiaan dan Kejahatan Agresi. Kejahatan kemanusiaan sendiri

merupakan tindakan penyerangan yang dilakukan dengan terorganisasi terhadap

manusia (masyarakat) yang mengakibatkan banyak korban.

9

(3)

Kejahatan terhadap kemanusian mempunyai pengertian yang sistematis

(systematic) dan meluas (widespread). Maksud dari sistematis, yaitu

mensyaratkan adanya kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan

kebijakan organisasi untuk pelaku diluar negara. Sedangkan pengertian meluas

juga merujuk pada maksud dari sistematik, untuk membedakan tindakan yang

bersifat meluas tetapi korban atau sasaran (targetnya) secara acak. Korban tersebut

memiliki karakteristik tertentu misalnya agama, politik, ras, etnik, atau gender.10

Kejahatan kemanusiaan menurut Statuta Roma 1998 merupakan salah satu

dari perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan

meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil,

yang meliputi pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; deportasi atau pemindahan

penduduk secara paksa; pengurungan atau pencabutan kemerdekaan fisik secara

sewenang-wenang dan melanggar aturan-aturan dasar Hukum Internasional;

penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan

secara paksa, sterilisasi secara paksa atau berbagai bentu kekerasan seksual

lainnya; penindasan terhadap suatu kelompok yang dikenal atau terhadap suatu

kelompok politik, ras, bangsa, etnis, kebudayaan, agama, gender/jenis kelamin,

sebagaimana dijelaskan dalam ayat (3) atau kelompok-kelompok lainnya, yang

secara universal tidak diperbolehkan dalam hukum internasional, sehubungan

dengan perbuatan yang diatur dalam ayat ini atau tindak pidana dalam yurisdiksi

mahkamah; penghilangan orang secara paksa; tindak pidana rasial (apartheid);

perbuatan tidak manusiawi lainnya yang serupa yang dengan sengaja

(4)

mengakibatkan penderitaan yang berat, luka serius terhadap tubuh, mental atau

kesehatan fisik seseorang.

Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan perluasan dari kejahatan

perang, apabila kejahatan perang yang dilakukan memenuhi unsur-unsur delik

kejahatan terhadap kemanusiaan dimana kejahatan yang dilakukan sebagai bagian

dari serangan yang meluas dan sistematis, yang diketahui bahwa serangan tersebut

ditujukan secara langsung pada penduduk sipil, serta perbuatan-perbuatan yang

dimaksud dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000.11 Adapun penjelasan Pasal 9 UU

No. 26 Tahun 2000 yang dimaksud dengan ”Penyerangan yang ditujukan

langsung pada penduduk sipil”, adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan

terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau akibat

kebijakan yang berhubungan dengan organisasi”. Jadi unsur esensial dari

kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu adanya pengetahuan dari pelaku bahwa

kejahatan yang dilakukan merupakan bagian dari kebijakan penguasa atau

organisasi.

Dalam UU No. 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan HAM

mengemukakan pengertian pelanggaran HAM secara jelas, Kejahatan

Kemanusiaan merupakan bentuk pelanggaran HAM Berat. Pengertian

pelanggaran HAM sendiri adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang

termasuk juga aparat negara, yang baik disengaja maupun tidak disengaja atau

kelalaian yang secara hukum mengurangi, membatasi, menghalangi dan mencabut

11

(5)

hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU dan

tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum

yang benar dan adil, yang didasarkan pada mekanisme hukum yang berlaku.

Dengan demikian pelanggaran HAM adalah tindakan pelanggaran

kemanusiaan, yang baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara

atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan

yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya. pelanggaran HAM

dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu : (1) pelanggaran HAM berat dan (2)

pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM berat yaitu meliputi kejahatan

genosida dan kejahatan kemanusiaan. Bentuk pelanggaran HAM ringan ialah

pelanggaran HAM yang dilakukan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM

berat tersebut.

Dengan demikian, tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan

pelanggaran HAM Berat yang dilakukan secara sistematis dan langsung membuat

penderitaan baik fisik maupun mental, terbunuhnya manusia yang bertentangan

dengan peradaban manusia serta melanggar prinsip-prinsip hukum internasional.

Sebagaimana dinyatakan dalam forum pengadilan Nuremberg, segala bentuk

penghancuran kehidupan masyarakat sipil adalah perbuatan terkutuk dan

merupakan tindak pidana terhadap kemanusiaan.

B. Jenis- Jenis Kejahatan Kemanusiaan

Adapun jenis-jenis dan penjabaran kejahatan terhadap kemanusiaan dapat

(6)

hukum Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) dalam

kewenangan dan yurisdiksinya mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan adalah

sebagai berikut12 :

“Serangan yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil”

berarti serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda dari

perbuatan yang dimaksud dalam ayat 1 terhadap kelompok penduduk sipil, sesuai

dengan atau sebagai kelanjutan dari kebijakan Negara atau organisasi untuk

melakukan serangan tersebut;

“Pemusnahan” mencakup ditimbulkannya secara sengaja pada kondisi

kehidupan, antara lain dihilangkannya akses kepada pangan dan obat-obatan, yang

diperhitungkan akan membawa kehancuran terhadap sebagian penduduk.

“Perbudakan” berarti pelaksanaan dari setiap atau semua kekuasaan yang

melekat pada hak kepemilikan atas seseorang dan termasuk dilaksanakannya

kekuasaan tersebut dalam perdagangan manusia, khususnya orang perempuan dan

anak-anak;

“Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa” berarti perpindahan

orang-orang yang bersangkutan secara paksa dengan pengusiran atau perbuatan

pemaksaan lainnya dari daerah di mana mereka hidup secara sah, tanpa alasan

yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional;

“Penyiksaan” berarti ditimbulkannya secara sengaja rasa sakit atau

penderitaan yang hebat, baik fisik atupun mental, terhadap seseorang yang ditahan

12

(7)

atau di bawah penguasaan tertuduh; kecuali kalau siksaan itu tidak termasuk rasa

sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, yang melekat pada atau sebagai

akibat dari, sanksi yang sah;

“Penghamilan paksa” berarti penahanan tidak sah, terhadap seorang

perempuan yang secara paksa dibuat hamil, dengan maksud mempengaruhi

komposisi etnis dari suatu kelompok penduduk atau melaksanakan suatu

pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Definisi ini betapapun juga tidak

dapat ditafsirkan sebagai mempengaruhi hukum nasional yang berkaitan dengan

kehamilan;

“Penganiayaan” berarti perampasan secara sengaja dan kejam terhadap

hak-hak dasar yang bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan

identitas kelompok atau kolektivitas tersebut;

“Kejahatan apartheid” berarti perbuatan tidak manusiawi dengan sifat

yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat 1, yang dilakukan dalam

konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi sistematik

oleh satu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain

dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu.

“Penghilangan paksa” berarti penangkapan, penahanan atau penyekapan

orang-orang oleh, atau dengan kewenangan, dukungan atau persetujuan

diam-diam dari, suatu Negara atau suatu organisasi politik, yang diikuti oleh penolakan

(8)

nasib atau keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk memindahkan

mereka dari perlindungan hukum untuk suatu kurun waktu yang lama.

C. Hukum Internasional Terkait Yang Mengatur Kejahatan Kemanusiaan Perkembangan kehidupan masyarakat internasional dengan berbagai

kemajuan pengetahuan serta kemampuan dapat menjadi salah satu faktor

pendorong bentuk-bentuk kejahatan yang mengarah pada

pelanggaran-pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Peristiwa yang pernah dialami oleh

masyarakat internasional, khususnya terhadap masyarakat bangsa-bangsa dan

negara-negara telah trauma terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh Perang

Dunia II yang berdampak pada kesengsaraan, ketakutan dan mengerikan. Dari

kejadian tersebut perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan rasa

kemanusiaan mendapatkan perhatian yang sangat luar biasa serta memperoleh

perioritas dalam pengaturan internasional. Bentuk nyata pengaturan mengenai

perlindungan yang termasuk dalam kerangka perlindungan Hak Asasi Manusia

seperti Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of

Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948, Konvensi Genosida 1949, dan

Konvensi Genewa 1949 tentang perlindungan korban. Selanjutnya pada tahun

1966, oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan dua

instrumen internasional menyangkut perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia,

diantaranya International Covenant on Civil Political Rights (ICCPR) dan

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESR).13

13

(9)

Upaya dalam menangani berbagai peristiwa kejahatan-kejahatan yang

pernah terjadi bagi masyarakat internasional ditandai dengan terbentuknya

organisasi-organisasi internasional yang mempunyai peran untuk memeriksa dan

mengadili para pelaku kejahatan-kejahatan tersebut. Sebagai contoh Pengadilan

Tokyo dan Nuremberg tahun 1945 dengan peradilan yang mengadili

kejahatan-kejahatan internasional, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap perdamaian (crimes against

peace), kejahatan perang (war crime), dan kejahatan terhadap kemanusiaan

(crimes against humanity) yang menjadi kewenangan dan yurisdiksinya.14

Selain itu, pengadilan internasional yang juga memberikan sumbangan

dalam penanganan dan mengadili para pelaku kejahatan internasional, yaitu

Pengadilan Perang Bekas Yugoslavia dengan berdasar pada keluarnya Statuta

Pengadilan Internasional Eks Yugoslavia (International Criminal Tribunal for

Yugoslavia/ICTY) dan Pengadilan Perang Rwanda dengan Statuta International

Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dengan beberapa kewenangan peradilan

dalam mengadili kejahatan diantaranya kejahatan genosida (crime of genocide),

kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan pelanggaran pasal

3 dalam Konvensi Genewa 1949 beserta Protokol Tambahan II tahun 1977.

Terbentuknya badan-badan peradilan diatas hanya bersifat sementara (ad hoc)

yang ketika itu sangat dibutuhkan dalam menangani kejahatan-kejahatan

internasional yang sangat meresahkan bagi masyarakat internasional.15

14

(10)

Pada tahun 1944, bangsa-bangsa di dunia yang terbentuk dalam

International Law Comission telah merumuskan suatu Draft Statute for an

Internasional Criminal Court yang selanjutnya menjadi cikal bakal dari Statuta

Roma. Kerangka yang dimaksudkan oleh Komisi Pidana Internasional tersebut

menyebutkan bahwa tindak pidana yang termasuk dalam kewenangan atau

yurisdiksi oleh Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court)

dalam kejahatan genosida (crime of genocide), kejahatan perang (war crime),

kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan kejahatan agresi

(crime of aggression). Kemudian tahun 1998 oleh International Diplomatic

Conference di Roma telah menyepakati Statuta Roma (Rome Statute) menjadi

dasar hukum dengan resminya berdirinya Mahkamah Pidana Internasional

(International Criminal Court) dengan kewenangan dan yurisdiksi dalam

mengadili kejahatn-kejahatan yang dimilikinya dan menjadi lembaga pengadilan

yang permanen.16

Adapun aturan-aturan terkait kejahatan terhadap kemanusiaan ditandai

dengan masuknya prinsip kemanusiaan pada Klausula Martin pada pembukaan

Konvensi Den Haag tahun 1899 dan Konven Den Haag ke-IV tahun 1907 yang

berisi :

Until a more complete code of the laws of war issued, the High Contracting

Parties think it right to declare that in cases not included in the Regulations

adopted by them, populations and belliegerents remain under the protection

and empire of the principles of international law, as they result from the usages

16

(11)

established between civilized nations, from the laws of humanity, and the

requirements of the public conscience

Klausula ini secara garis besar menentukan bahwa apabila hukum

humaniter belum mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah

tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus mengacu kepada

prinsip-prinsip hukum internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantara

negara-negara yang beradab; dari hukum kemanusiaan; serta dari pendapat publik.

Klausula Martin ini penting karena dengan mengacu pada hukum

kebiasaan internasional, klausula ini menekankan pentingnya norma-norma

kebiasaan dalam pengaturan sengketa bersenjata. Selanjutnya, klausula ini juga

mengacu pada ‘prinsip-prinsip kemanusiaan’ (principles of humanity) dan

‘pendapat publik’ (the dictates of public conscience). Kedua istilah ini harus

sepenuhnya dimengerti. Ungkapan “principles of humanity” adalah serupa dengan

laws of humanity” (hukum kemanusiaan). Klausula ini merupakan contoh yang

jelas menggambarkan nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya.17

Selain dari Konvensi Den Haag yang menjadi dasar berawalnya hukum

kemanusiaan dalam tatanan aturan hukum internasional pada perkembangan

selanjutnya aturan berkenaan hal ini juga terdapat pada Piagam Nuremberg yang

merupakan hukum pidana internasional positif dalam memberikan definisi dan

aturan secara khusus mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against

(12)

humanity). Aturan yang dimaksud terdapat pada Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg

yang mendefenisikan kejahatan kemanusiaan sebagai berikut :

Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan secara paksa dan

tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masyarakat sipil,

sebelum atau selama perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras atau

agama dalam pelaksanaan atau dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah

perbuatan tersebut baik yang melanggar atau tidak hukum dimana perbuatan

tersebut dilakukan”.

Selanjutnya, pada Pasal 5 (c) International Military Tribunal for the Far

East (IMTFE) atau yang dikenal dengan Tokyo Tribunal menyatakan bahwa:

Yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pembunuhan,

pemusnahan, perbudakan, deportasi dan tindakan tidak manusiawi lainnya

yang dilakukan terhadap populasi sipil manapun, sebelum dan selama masa

perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras, sebagai bagian atau

dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lainnya yang masuk dalam

yurisdiksi pengadilan, baik tindakan tersebut dianggap sebagai kejahatan atau

tidak.”

Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Konvensi tentang

Ketidakberlakuan Pembatasan Aturan Hukum untuk Kejahatan Perang dan

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Resolusi Majelis Umum PBB 2392 (XXIII),

(13)

Kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang dilakukan dalam waktu perang

maupun dalam waktu damai seperti yang didefinisikan dalam Piagam Tribunal

Militer Internasional, Nuremberg, 8 Agustus 1945 dan yang dikuatkan dengan

resolusi-resolusi Majelis Umum PBB, 3 (1) 13 Februari 1946 dan 95 (1) 11

Desember 1946, pengusiran dengan bersenjata, atau pendudukan dan

apartheid dan kejahatan genosida, seperti didefinisikan dalam Konvensi 1948

tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida,

sekalipun perbuatan-perbuatan tersebut tidak merupakan kejahatan terhadap

hukum domestik dari negara tempat kejahatan-kejahatan dilakukan”18

Perkembangan tentang pengaturan kejahatan terhadap kemanusiaan

selanjutnya dapat ditemukan pada Statuta Pengadilan Perang Bekas Yugoslavia

(International Criminal Tribunal of Yugoslavia Statute) dan terdapat pula di

dalam Statuta Pengadilan Perang Kasus Rwanda (International Criminal Tribunal

of Rwanda Statute).

Pasal 5 Statuta Pengadilan Perang Bekas Yugoslavia (International

Criminal Tribunal of Yugoslavia Statute), tentang Kejahatan terhadap

Kemanusiaan mengatakan bahwa:

Pengadilan Internasional memiliki kemampuan untuk menuntut setiap orang

yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ini yang dilakukan selama

konflik bersenjata berlangsung, yang bersifat internasional mauoun internal

dan ditujukan langsung terhadap penduduk sipil: a. Pembunuhan; b.

(14)

Pemusnahan; c. Perbudakan; d. Pendeportasian; e. Penahanan; f. Penyiksaan;

g. Pemerkosaan; h. Penindasan berdasarkan politik, ras dan agama; i.

Tindakan tidak manusiawi lainnya.”19

Pengaturan tersebut juga masih berpedoman pada Piagam Nuremberg yang

merupakan hukum positif pertama yang mendefenisikan tentang kejahatan

terhadap kemanusiaan.

Aturan-aturan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri

bersifat tertulis dan terkodifikasi sebagai aturan hukum positif. Pada tahun 1998,

International Diplomatic Conference di Roma menyepakati Statuta Roma (Rome

Statute) yang menjadi dasar hukum berdirinya Mahkamah Pidana Internasional

(International Criminal Court) dalam hal ini pengaturan tentang kejahatan

terhadap kemanusiaan lebih lengkap daripada pengaturan-pengaturan sebelumnya.

Pengaturan yang dimaksud terdapat pada ketentuan Pasal 7 Statuta Roma 1998

menjelaskan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) adalah

kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas (widespread)

dan sistematik (systematic) yang ditujukan pada penduduk sipil dengan

mengetahui serangan tersebut, dan ruang lingkup kejahatan terhadap kemanusiaan

yang terdapat dalam Statuta Roma 1998 ini lebih luas dan lengkap karena secara

substantif isi dari statuta ini hampir sama dengan dua statuta sebelumnya, namun

dalam Statuta ini pengaturan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan lebih

diperjelas.

19

(15)

Bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur pada Statuta Roma

1998 yang merupakan dasar hukum Mahkamah Pidana Internasional

(International Criminal Court) sebagai lembaga permanen dalam mengadili

kejahatan terhadap kemanusiaan adalah : a) pembunuhan; b) pemusnahan; c)

perbudakan d) deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; e) pengurungan

atau pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang-wenang dan melanggar

aturan-aturan dasar Hukum Internasional; f) penyiksaan; g) pemerkosaan,

perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan secara paksa, sterilisasi

secara paksa atau berbagai bentu kekerasan seksual lainnya; h) penindasan

terhadap suatu kelompok yang dikenal atau terhadap suatu kelompok politik, ras,

bangsa, etnis, kebudayaan, agama, gender/jenis kelamin, sebagaimana dijelaskan

dalam ayat (3) atau kelompok-kelompok lainnya, yang secara universal tidak

diperbolehkan dalam hukum internasional, sehubungan dengan perbuatan yang

diatur dalam ayat ini atau tindak pidana dalam yurisdiksi mahkamah; i)

penghilangan orang secara paksa; j) tindak pidana rasial (apartheid); k) perbuatan

tidak manusiawi lainnya yang serupa yang dengan sengaja mengakibatkan

penderitaan yang berat, luka serius terhadap tubuh, mental atau kesehatan fisik

seseorang.20

Adapun prinsip-prinsip dasar yang diakui dan diatur dalam Statuta Roma

1998, terdapat beberapa dasar yang dimiliki dalam mengatur mengenai kejahatan

(16)

norma-norma di dalamnya merupakan kodifikasi dari hukum pidana internasional antara

lain sebagai berikut21 :

1. Prinsip Tidak Berlaku Surut (Non-Retroactive) dalam kejahatan terhadap

kemanusiaan.

Adapun prinsip nonretroaktif dalam hukum pidana tidak berlaku untuk

kejahatan terhadap kemanusiaan, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

- Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan dalam hukum

kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum. Menurut kedua

sumber tersebut, pelaku kejahatan yang melakukan suatu tindakan

kejahatan terhadap kemanusiaan baik secara commissioner maupun

ommisioner dapat dihukum secara retroaktif.

- Pasal 15 (2) International Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) memungkinkan pengecualian atas asas nonretroaktif untuk

kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan menurut

prinsip-prinsip umum.

2. Pertanggungjawaban Komando (Commander Responsibility)

Prinsip ini diberlakukan bagi pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan

dengan melakukan penuntutan kepada penanggung jawab komando. Secara

konseptual seorang komandan dapat dimintai pertanggungjawaban baik atas

perbuatan pidananya karena langsung memberi perintah kepada pasukan yang

berada di bawah kendalinya untuk melakukan perbuatan yang salah satu atau

21

(17)

beberapa perbuatannya merupakan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan (by

commission) maupun karena membiarkan atau tidak melakukan tindakan apapun

terhadap pasukan dibawahnya (by omission).

3. Prinsip praduga tak bersalah (Presumption of Innocence)

Pengaturan mengenai prinsip praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 66

Statuta Roma tahun 1998. Prinsip ini mengharuskan kepada Jaksa Penuntut

Umum untuk membuktikan kesalahan dengan alasan-alasan yang meyakinkan

bahwa perbuatan yang terjadi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dengan

berbagai alat bukti yang diajukan ke dalam persidangan.

Demikian bentuk-bentuk pengaturan kejahatan terhadap kemanusiaan

dalam sejarah panjang perkembangannya yang mengalami penyempurnaan dari

waktu ke waktu dalam upayanya mencakup berbagai macam peristiwa

kejahatan-kejahatan yang terjadi di kehidupan masyarakat internasional sebagai bentuk

perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia dari kejahatan terhadap

Referensi

Dokumen terkait

[r]

nerve and BDA injection was made into the KF on the reached dendritic bundles of phrenic motoneurons labeled same side, CTb-labeled phrenic motoneurons were seen with CTb as well as

[r]

Department of Neurology , New York University Medical School, NYU-Mount Sinai Comprehensive Medical Center, New York, NY 10016, USA Accepted 5 July 2000..

[r]

Pembahasan mengenai Web ini akan menjelaskan tentang aplikasinya, bagaimana interaksi antara mahasiswa dengan dosen pembimbing, setiap dosen dan mahasiswa harus mendaftarkan diri

Lari jarak sedang menit detik Kurang (K). Kurang

Website Toko Cantik Parcel ini menyajikan banyak jenis parsel berikut keterangan harga dan gambarnya pengunjung dapat memesan parsel yang diinginkan, dapat melihat