INTENSIONAL DALAM TINGKAT PEMEROSESAN INFORMASI YANG BERBEDA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
SITI RAHMAH 081301042
FAKULTAS PSIKOLOGI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul :
Perbedaan Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris dengan Metode Belajar Insidental dan Intensional dalam Tingkat Pemerosesan
Informasi yang Berbeda
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 11 Februari 2013
SITI RAHMAH
Perbedaan Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris dengan Metode Belajar Insidental dan Intensional dalam Tingkat Pemerosesan Informasi yang
Berbeda
Siti Rahmah dan Lili Garliah
ABSTRAK
Fenomena pembelajaran bahasa Inggris siswa sekolah dasar masih kerap menjadi perbincangan dan sorotan dunia pendidikan nasional hingga saat ini. Tujuan pembelajaran bahasa Inggris pada siswa sekolah dasar yaitu diharapkan siswa mampu mengetahui berbagai kosakata bahasa Inggris yang sederhana guna membantu siswa dalam kemampuan speaking, writing, dan juga listening. Berbagai kosakata bahasa Inggris yang telah dipelajari diharapkan dapat mampu bertahan lama dalam memori siswa.Strategi kemampuan mengingat yang tepat dapat membantu individu dalam mempertahankan informasi yang diberikan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris dengan metode belajar (insidental dan intensional) dalam tingkat pemerosesan informasi yang berbeda (dangkal dan dalam). Penelitian ini dilakukan pada 120 siswa kelas 4 sekolah dasar negeri dan swasta di kota Medan.
Metode penelitiain ini menggunakan metode eksperimental dengan desain between subject factorial design 2x2. Data yang diperoleh dianalisis dengan two-way anova. Alat ukur yang digunakan adalah alat ukur yang terdiri dari kumpulan kosakata bahasa Inggris kelas 4 sekolah dasar. Hipotesa pertama diterima yang berarti bahwa tidak terdapat pengaruh metode belajar (insidental dan intensional) terhadap kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris (p= .85). Hipotesa kedua ditolak yang berarti bahwa terdapat pengaruh tingkat pemerosesan informasi (dangkal dan dalam) terhadap kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris (p= .00). Hipotesa ketiga diterima yang berarti bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi metode belajar (insidental dan intensional) dan tingkat pemerosesan informasi (dangkal dan dalam) terhadap kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris (p= .45).
The difference of The Ability to Memorization English Vocabulary with
Incidental and Intentional Learning Method in Different Level of Processing
Siti Rahmah and Lili Garliah
ABSTRACT
The phenomenon about the English learning in elementary school is often become a talk/conversation and spotlight in national education world today. One of the competencies of the student in elementary school in learning English is the ability to know and use a variety of basic English vocabulary that can help them learning English, especially in the case of reading, speaking, and listening. Various english vocabulary that have been learned is excepted to be able to last long in student’s memory. The right strategy of ability for improve memory can help individual to retain information that given previous situation process. This research gives an explanation about the difference in the ability to memorize with different learning method (incidental and intentional) in different level of information processing (deep and shallow) on 120 4th grade students of public and private elementary school in Medan.
This research used a true-experiment design specifically between subject factorial design 2x2. Data was analyzed using two-way anova. The measuring instrument used in this research was an instrument that consist of a collection of English vocabularies from several 4th grade elementary English text book. The first hypothesis was accepted because there was no effect of learning method (incidental and intentional) on the ability to memorize English vocabulary (p = .85), but the second hypothesis was rejected where there is an effect of information-processing’ level (deep and shallow) on the ability to memorize English vocabulary (p = .000). The third hypothesis was accepted that there was no difference in the ability to memorize English vocabulary with learning method (incidental and intentional) in different level of information processing (deep and shallo w) (p = .45).
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya yang diberikan
kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“Perbedaan Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris dengan Metode
belajar Insidental dan Intensional dalam Tingkat Pemerosesan Informasi yang
Berbeda”. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk melengkapi persyaratan mencapai
Gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Untaian ucapan terima kasih yang tak akan bisa tergantikan disampaikan
kepada ayahanda tercinta H. Miftahuddin Murad,MBA dan Ibunda Hj. Nurul Aini
Tambunan. Terima kasih atas segala cinta, kasih sayang, perhatian dan dukungan
serta do`a kepada penulis hingga saat ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan
rahmat, rizki, kesehatan dan kebahagiaan kepada ayahanda dan ibunda tercinta.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan serta dukungan
secara fisik dan psikologis dari berbagai pihak akan amat tidak mungkin dan sulit
bagi peneliti untuk mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Lili Garliah, M.Si, psikolog, selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis.
Terima kasih yang tak terkira atas segala bimbingan, arahan, kritik dan
saran, kesabaran, dan kesediaan waktu dan juga dukungan yang diberikan
3. Ibu Meidriani Ayu, M.kes, psikolog selaku dosen pembimbing akademik
yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalankan
studi sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
4. Seluruh staf pengajar departemen Umum dan Eksperimen Fakultas
Psikologi USU. Kepada ibu Etty Rahmawati, M.Si, ibu Ika Sari
Dewi,S.Psi,psikolog, kak Rahmi Rangkuti,M.Psi, kak Dina Nazriani,M.A
dan kak Masitah,M.Si, terima kasih atas bimbingan, saran, kritikan,
dukungan serta kesempatan ibu dan kakak bagi saya untuk menjadi bagian
dari departemen UMEKS.
5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi USU. Terima kasih
atas bimbingan, saran, dan arahan yang diberikan kepada saya dalam
menyelesaikan skripsi ini serta dosen-dosen yang tidak dapat disebutkan
satu persatu dalam ilmu dan motivasinya selama mengikuti perkuliahan.
6. Buat teman-teman terdekatku Ervi Apriliyanti S.Psi, Fatma Indriani,S.Psi,
Hana, Heni, Jefri Sani S.Psi, Mutia Karmila,S.Psi, Nanda, Pipit, Rizki
Febrianti S.Psi, Susi Mariyani S.Psi, Arni Ardila,S.Psi, Cia, Dini, Eka,
Kemal, Moyang, Nana Ade Suryana S.Psi, Tania, Yuyu dan juga sahabat
serta kakakku tercinta kak Nuzul S.Psi. Satu untaian kalimat buat kalian
semua “ percayalah bahwa tuhan memiliki tiga jawaban atas keinginan kita
yaitu jawaban iya, tidak sekarang atau ada yang lebih baik, dan jawaban itu
bisa kita ketahui jika kita belum melakukan yang terbaik dalam impian kita,
kita dapat tercapai walaupun harus melawati banyak kepahitan dan
rintangan yang tak terhitung jumlahnya.
7. Untuk Uciku tercinta dan seorang insiprasi hidup bagiku Almarhumah Hj.
Siti Hawani Tandjung, kemudian tanteku tercinta Uni nani dan Elok adek
terima kasih atas dukungan moril, abang dan adik-adiku M.Hanif. S.Th,
Saadah Fadhila, Nur Muniifah terima kasih atas dukungan emosional kalian
serta semua saudara sepupuku uteh fajar, bang ikbal, pristi, uning nisa dan
seluruh Murad Generation, I wanna said “I proud to be your familiy”.
8. Abang-abang dan teman sesama Asisten Laboratorium Fakultas Psikologi
USU. Bang Armen, Bang Agus, Kiki, Rahma dan Katherine. Terima kasih
atas kebersamaan kita saat menjadi asisten, banyak pengetahuan dan
pengalaman yang peneliti rasakan saat menjalani berbagai tugas asisten dan
juga terima kasih atas saran, arahan dan dukungan kalian kepada peneliti
untuk penyelesaian skripsi ini.
9. Teman – teman stambuk 2008 Fakultas Psikologi USU, yang selalu
memberikan dukungan semangat, dan keceriaan selama perkuliahan hingga
penyelesaian skripsi ini.
10. Kepala Sekolah Sekolah SDIT Bunayya Medan, Kepala Sekolah SDPN
Medan, Kepala Sekolah SDN 060886, Kepala Sekolah SDN 060889,
Kepala Sekolah SDN 060929, Kepala Sekolah Dasar Islam Al-Azhar
Medan, Kepala Sekolah Dasar Al-Ikhlas Medan, yang telah bersedia
pengambilan data dan riset penelitian ini. Terima kasih yang tak terucapkan
atas kesedian dan keluangan waktu yang diberikan.
11. Semua pihak dan teman-teman yang mendukung proses penyelesaian
penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah
SWT membalas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini,
Meskipun penyusunan skripsi ini telah diupayakan seoptimal mungkin, penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi
penyempurnaan skripsi ini. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi
rekan-rekan semua.
We are great dream catchers
Never end up to catch our dream cause they will never know how us to grab it
Medan, 11 Februari 2013
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN... i
ABSTRAK ... ... ii
ABSTRACT ... ... iii
KATA PENGANTAR... ... iv
DAFTAR ISI... ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C Tujuan Penelitian. ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
F. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II LANDASAN TEORI ... 14
A. Pemerosesan Informasi ... 14
1. Model Attkinson-Shifrin (Attkinson-Shiffrin Model)... 14
2.Tingkat Pemeroesesan Informasi (Level of proccesing) ... 18
3.Metode Belajar dalam Tingkat Pemerosesan Informasi ... 22
4.Asumsi-asumsi dalam Tingkat Pemerosesan Informasi ... 26
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pemerosesaninformasi 24
7.Faktor-faktor yang mempengaruhi memori ... 29
B. Bahasa ... 32
1. Definisi Bahasa ... 32
2. Struktur Bahasa ... 34
3. Manfaat Belajar Bahasa Asing ... 36
4. Kosakata dalam Bahasa Inggris ... 37
5. Manfaat Kosakata dalam Bahasa Inggris ... 38
6. Faktor Penunjang Keberhasilan Mempelajari Bahasa Inggris ... 38
7. Karakteristik Pembelajar Bahasa Inggris ... 42
C. Siswa Sekolah Dasar ... 45
1.Masa Anak-anak Pertengahan ... 45
2.Tahap Perkembangan Kognitif pada Masa Anak-Anak Pertengahan50 D. Perbedaan Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris dengan Metode belajar Insidental dan Intensional padaTingkat Informasi yang Berbeda ... 48
E. Hipotesa Penelitian ... 52
BAB III METODE PENELITIAN ... 54
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 54
B. Definisi Operasional ... 55
1. Metode Belajar ... 55
a. Metode Belajar Intensional ... 55
2. Tingkat Pemerosesan Informasi ... 56
a. Tingkat Pemerosesan Informasi Dalam (deep) ... 56
b. Tingkat Pemerosesan Informasi Dangkal (shallow) ... 57
3. Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris ... 58
C. Desain Penelitian ... 58
D. Teknik Kontrol ... 61
E. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 66
1. Populasi dan Sampel ... 66
2. Metode Pengambilan Sampel ... 67
F. Alat Ukur dan Instrumen Penelitian ... 72
G. Persiapan Alat Ukur Penelitian ... 77
H. UJi Coba Alat Ukur Penelitian ... 78
1. Validitas Alat Ukur ... 79
2. Reliabilitas Alat Ukur ... 80
3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 81
4. Revisi Alat Ukur ... 82
5. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 82
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 82
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 91
2. Tahap Pengelolaan Data ... 96
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 98
A. Analisa Data ... 98
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 116
A. Kesimpulan ... 116
B. Saran ... 117
DAFTAR PUSTAKA ... 121
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil Belajar Sekolah Negeri A Semester I T.A 2012/2013 ... 3
Tabel 2. Hasil Belajar Sekolah Swasta B Semester I T.A 2012/2013 ... 3
Tabel 3. Waktu Prosedur Uji Coba Pelaksanaan Eksperimen ... 86
Tabel 4. Revisi Waktu Prosedur Pelaksanaan Eksperimen ... 89
Tabel 5. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov untuk Uji Normalitas ... 109
Tabel 6. Hasil Uji Homogentitas dari Alat Ukur Kosakata Bahasa Inggris... 101
Tabel 7. Deskriptif Statistik Jumlah Kosakata antara Kelompok I,II,III dan IV . 102 Tabel 8.Hasil Pengelolaan Data dengan Two-way anova ... 104
Tabel 9.Rentang Hasil Alat Ukur Kemampuan mengingat Kosakata Bahasa Inggris ... 106
Tabel 10. Pengelolaan Subjek Penelitian ... 106
Tabel 11.Deskriptif Jumlah Kosakata Bahasa Inggris Berdasarkan Jenis Kelamin ... 107
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Atkinson-Shiffrin’s Model of Memory ... 14
Gambar 2 Kerangka Berpikir ... 52
Gambar 3 Pembagaian Jumlah Siswa menggunakan block randomized design .. 70
Gambar 4 Penyebaran Subjek secara Kesuluruhan Berdasarkan Usia ... 98
Gambar 5 Penyebaran Subjek secara Kesuluruhan Berdasarkan Jenis Kelamin .. 99
Gambar 6 Tingkatan Kelas Bahasa Inggris Subjek yang Mengikuti Kursus Bahasa
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A
1. Hasil Uji Reliabilitas dan Daya Diskriminasi Alat Ukur Kosakata Bahasa
Inggris ... 124
LAMPIRAN B 1. Data Hasil Alat Ukur Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris pada Kelompok I,II,III dan IV ... 129
LAMPIRAN C 1. Hasil Uji Normalitas ... 136
2. Hasil Uji Homogentitas ... 139
3. Hasil Uji Hipotesis (Two-way anova) ... 140
4. Hasil Mean Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris ... 142
5. Hasil Mean Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris dengan Metode Insidental, Metode Intensional, Tingkat Pemerosesan Dangkal, dan Tingkat Pemerosesan Dalam ... 142
6. Hasil Mean Kemampuan Mengingat Kelompok I,II,III,IV ... 143
7. Hasil Mean Kemampuan Mengingat Berdasarkan Jenis Kelamin ... 143
LAMPIRAN D
1. Alat Ukur Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris ... 146
2. Lembar Jawaban Alat Ukur Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris ... 147
3. Lembar Respon Tingkatan Pemerosesan Informasi Dalam ... 148
4. Lembar Respon Tingkatan Pemerosesan Informasi Dangkal ... 149
LAMPIRAN E ... 152
1. Data Hasil Nilai Raport Subjek Semester I
2. Informed Consent
Perbedaan Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris dengan Metode Belajar Insidental dan Intensional dalam Tingkat Pemerosesan Informasi yang
Berbeda
Siti Rahmah dan Lili Garliah
ABSTRAK
Fenomena pembelajaran bahasa Inggris siswa sekolah dasar masih kerap menjadi perbincangan dan sorotan dunia pendidikan nasional hingga saat ini. Tujuan pembelajaran bahasa Inggris pada siswa sekolah dasar yaitu diharapkan siswa mampu mengetahui berbagai kosakata bahasa Inggris yang sederhana guna membantu siswa dalam kemampuan speaking, writing, dan juga listening. Berbagai kosakata bahasa Inggris yang telah dipelajari diharapkan dapat mampu bertahan lama dalam memori siswa.Strategi kemampuan mengingat yang tepat dapat membantu individu dalam mempertahankan informasi yang diberikan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris dengan metode belajar (insidental dan intensional) dalam tingkat pemerosesan informasi yang berbeda (dangkal dan dalam). Penelitian ini dilakukan pada 120 siswa kelas 4 sekolah dasar negeri dan swasta di kota Medan.
Metode penelitiain ini menggunakan metode eksperimental dengan desain between subject factorial design 2x2. Data yang diperoleh dianalisis dengan two-way anova. Alat ukur yang digunakan adalah alat ukur yang terdiri dari kumpulan kosakata bahasa Inggris kelas 4 sekolah dasar. Hipotesa pertama diterima yang berarti bahwa tidak terdapat pengaruh metode belajar (insidental dan intensional) terhadap kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris (p= .85). Hipotesa kedua ditolak yang berarti bahwa terdapat pengaruh tingkat pemerosesan informasi (dangkal dan dalam) terhadap kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris (p= .00). Hipotesa ketiga diterima yang berarti bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi metode belajar (insidental dan intensional) dan tingkat pemerosesan informasi (dangkal dan dalam) terhadap kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris (p= .45).
The difference of The Ability to Memorization English Vocabulary with
Incidental and Intentional Learning Method in Different Level of Processing
Siti Rahmah and Lili Garliah
ABSTRACT
The phenomenon about the English learning in elementary school is often become a talk/conversation and spotlight in national education world today. One of the competencies of the student in elementary school in learning English is the ability to know and use a variety of basic English vocabulary that can help them learning English, especially in the case of reading, speaking, and listening. Various english vocabulary that have been learned is excepted to be able to last long in student’s memory. The right strategy of ability for improve memory can help individual to retain information that given previous situation process. This research gives an explanation about the difference in the ability to memorize with different learning method (incidental and intentional) in different level of information processing (deep and shallow) on 120 4th grade students of public and private elementary school in Medan.
This research used a true-experiment design specifically between subject factorial design 2x2. Data was analyzed using two-way anova. The measuring instrument used in this research was an instrument that consist of a collection of English vocabularies from several 4th grade elementary English text book. The first hypothesis was accepted because there was no effect of learning method (incidental and intentional) on the ability to memorize English vocabulary (p = .85), but the second hypothesis was rejected where there is an effect of information-processing’ level (deep and shallow) on the ability to memorize English vocabulary (p = .000). The third hypothesis was accepted that there was no difference in the ability to memorize English vocabulary with learning method (incidental and intentional) in different level of information processing (deep and shallo w) (p = .45).
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan suatu aspek yang penting bagi kehidupan manusia.
Dengan adanya bahasa kita mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang
lain di sekitar kita. Bahasa secara linguistik didefinisikan sebagai penggunaan cara
yang terorganisasi dari pengombinasian kata-kata untuk berkomunikasi
(Sternberg,2008). Bahasa bisa dianalisa dalam berbagai bentuk struktur dasar
yaitu dari segi phoneme (sistem suara), morpheme (peran dari pembentukan kata),
lexicon (kosakata), syntax, semantic dan pragmatic (Carrol,2004).
Kosakata merupakan struktur dasar bahasa. Dalam komunikasi melalui
bahasa, kosakata merupakan unsur yang penting. Salah satu bahasa yang memiliki
perbendaharaan kosakata yang cukup banyak adalah bahasa Inggris
(Harmer,2003). Bahasa Inggris merupakan bahasa kedua atau bahasa resmi di
banyak negara di dunia termasuk sebagian negara-negara di Asia, dengan jumlah
pemakai keseluruhan mencapai kurang lebih 390 juta orang (Elsjelyn,2010).
Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan
untuk mengusai bahasa Inggris, terutama para intelektual dan calon intelektual
(mahasiswa dan pelajar), tampak semakin nyata. Di Indonesia mata bahasa Inggris
sudah diajarkan sejak jenjang pendidikan sekolah dasar. Hal ini tertuang dalam
SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 060/U/1993 tanggal 25 Februari
muatan lokal SD, dan dapat dimulai pada kelas 4 SD (Suyanto,2005). Bahkan saat
ini, beberapa sekolah yang mapan mulai memberikan pelajaran bahasa Inggris
kepada para siswanya sejak mereka duduk di kelas 1 sekolah dasar.
Dalam pendidikan sekolah dasar (SD) tujuan utama pembelajaran bahasa
Inggris adalah agar siswa dapat membaca, menyimak, melafalkan, dan menulis
sejumlah kosakata dan keterampilan fungsional dalam kalimat dan ujaran bahasa
Inggris sederhana yang berhubungan dengan lingkungan siswa, sekolah, dan
sekitarnya (Kurikulum,2006). Namun, fenomena yang terjadi saat ini, sistem
pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar masih mengalami kendala dan tidak
sesuai dengan tujuan kompetensi yang diinginkan sehingga memicu wacana pada
pemerintah mengenai penghapusan mata pelajaran bahasa Inggris dari kurikulum
pendidikan sekolah dasar. Menurut Retno Listryarti Sekjen Federasi Serikat Guru
Indonesia (dalam Republika, Oktober 2012) menyatakan bahwa wacana
pemerintah untuk menghapuskan mata pelajaran bahasa Inggris dalam kurikulum
pendidikan sekolah dasar bukan suatu solusi untuk mengatasi permasalahan
pembenahan kurikulum sekolah dasar, mata pelajaran bahasa Inggris yang
diajarkan pada siswa sekolah dasar selama ini memang cenderung mengajarkan
kepada struktural atau grammar bahasa Inggris sedangkan tujuan kurilkulum
mempelajari bahasa Inggris pada siswa sekolah dasar lebih menekankan kepada
kemampuan memiliki perbendaharaan kosakata untuk berkomunikasi atau
minimal pengetahuan kata-kata bukan membuat kalimat apalagi kalau kalimatnya
sikap komunikasi dan percaya diri pada anak terutama dalam menghadapi era
globalisasi saat ini.
Berdasarkan hasil nilai rata-rata mata pelajaran yang diperoleh peneliti
dari beberapa sekolah dasar di kota Medan ditemukan bahwa beberapa mata
pelajaran memiliki nilai rata-rata lebih rendah dibandingkan mata pelajaran
lainnya dan hal ini terjadi pada siswa pada siswa kelas 4. Berikut nilai rata-rata
mata pelajaran pada semester I kelas 4 dari beberapa sekolah dasar kota Medan:
Tabel 1. Hasil Belajar Sekolah Negeri A Semester I T.A 2012/2013
Kelas MATA PELAJARAN SISWA
Tabel 2. Hasil Belajar Sekolah Swasta B Semester I T.A 2012/2013
Kelas MATA PELAJARAN SISWA
menunjukkan bahwa terdapat beberapa nilai rata-rata yang lebih rendah
dibandingkan mata pelajaran lain terutama pada mata pelajaran bahasa Inggris.
Nilai rata-rata yang rendah dalam mata pelajaran bahasa Inggris pada siswa kelas
4 menunjukkan bahwa terdapat permasalahan maupun kendala yang diperoleh
Hasil wawancara dengan beberapa guru pengampu mata pelajaran bahasa
Inggris di sekolah dasar yang merespon bahwa permasalahan penurunan nilai
bahasa Inggris kerap terjadi pada siswa sekolah kelas 4 pada beberapa sekolah
dasar negeri dan swasta di kota Medan. Berikut hasil wawancara personal dengan
beberapa guru pengampu mata pelajaran bahasa Inggris pada siswa sekolah dasar :
“Kemampuan siswa dalam mata pelajaran bahasa Inggris mengalami penurunan setiap tahunnya. Siswa sulit untuk mengikuti pelajaran bahasa Inggris yang saya berikan. Banyak sebenarnya faktor yang mempengaruhi kemampuan mereka dalam bahasa Inggris salah satunya yah karena kurangnya perbendaharaaan kosakata mereka. Buku pelajaran bahasa Inggris rata-rata sudah memperkenalkan kosakata bahasa Inggris sejak kelas satu, jadi semakin tinggi kelasnya siswa dituntut untuk sudah menguasai kosakata sebelumnya sehingga mempermudah mereka belajar bahasa Inggris tapi kenyataannya yah mereka malesan-malesan dan terus merasa sulit mengahapalnya. Sehingga hasilnya ketika ujian atau pun ada tugas rumah mereka jadi sulit mengerjakannya dengan baik karena mereka harus mengetahui lagi kosakata dalam soal tersebut, padahal kosakata tersebut sudah saya ajarkan dikelas. Hal ini sering terjadi mulai kelas 3 hingga kelas 6 sekolah dasar.
Pak Y SDPN Medan (Komunikasi Personal, 15 Juni 2012)
mereka dalam mempelajari bahasa Inggris di jenjang sekolah berikutnya atau sekolah menengah pertama”.
Pak A SDIT Bunayya Medan (Komunikasi Pesonal, 16 Juni 2012)
Peneliti juga mencoba melakukan wawancara singkat dengan beberapa
siswa sekolah dasar mengenai mata pelajaran bahasa Inggris. Berikut hasil
wawancara personal dengan beberapa siswa sekolah dasar di kota Medan:
“Bahasa Inggris ya kak, kalau menurut aku susah kak, karena aku emang kurang suka bahasa Inggris. Dulu waktu kelas 1 masih suka kak tapi ga tau sekarang ditanya bahasa Inggris aku malah jadi ga suka kak, pelajarannya makin payah kak. Guru suka nyuruh ngapal vocabulary banyak kali kak, kalau dulu di kelas 1 atau kelas 2 ga banyak kali kak.
Siswa M Kelas 4 SD Swasta Al-Ikhlas (Komunikasi Pesonal, 06 April 2013)
“Kalo pelajaran bahasa Inggris itu kadang enak tapi kadang sulit kak, kalo sekarang aku sama teman-teman suka dikasih pelajaran tentang cara buat kalimat terus buat pidato makanya kami sekarang malah harus bawa kamus ke sekolah setiap hari karena kan pak guru nanti nanya apa bahasa Inggris ini apa artinya jadi makanya harus dihapal. Kalo ditanya masih ingat kata-kata bahasa Inggris yang diajarakan yah kalo baru keluar pelajaran bahasa Inggris masih ingat lah kak tapi kalo besok ditanya pak guru lagi ga semuanya lah kak yang kami ingat.”.
Siswa F Kelas 4 SD Negeri 060889 (Komunikasi Pesonal, 06 April 2013)
Berdasarkan pemaparan hasil wawancara yang diperoleh diatas dapat kita
ketahui bahwa baik guru maupun siswa memerlukan metode serta strategi guna
membantu meningkatkan perbendaharaan kosakata bahasa Inggris.
Perbendaharaan kosakata merupakan hal yang penting untuk menguasai suatu
bahasa. Dalam bahasa Inggris perbendaharaan kosakata merupakan hal yang dasar
untuk menguasai bahasa Inggris (Elsjelyn,2010). Dalam buku KBBI Edisi Ketiga
mempelajari bahasa Inggris adalah tentang penguasaan kosakata. Untuk
menguasai keterampilan reseptif dan produktif siswa harus didukung oleh
penguasaan kosakata bahasa Inggris. Kemampuan reseptif yaitu kemampuan
melakukan listening dan reading yang baik sedangkan kemampuan produktif
merupakan kemampuan siswa dalam hal speaking dan writing yang baik.
Berbagai kosakata bahasa Inggris yang telah dipelajari diharapkan dapat
mampu bertahan lama dalam memori siswa. Kemampuan untuk mempertahankan
kosakata sangat berkaitan dengan kemampuan memori yang dimiliki individu
(Elsjelyn,2010). Solso dan Machlin (2008) menyatakan memori sangat diperlukan
dalam proses belajar, memori dapat membantu pembelajar untuk memproses
informasi, mengelola informasi dan mengingat kembali informasi tersebut.
Memori atau ingatan merupakan cara-cara yang dengannya kita mempertahankan
dan menarik pengalaman dari masa lalu untuk digunakan saat ini (Tulving &
Craik, dalam Sternberg 2008).
Menggunakan tingkat pemerosesan informasi yang tepat dapat membantu
individu memperoses dan mempertahankan informasi lebih lama di dalam
memori. Dalam konsep memori terdapat teori tingkat pemerosesan informasi yang
dikemukakan oleh Craick dan Lockhart (Neath & Surprenant,2003). Craick dan
Lockhart (dalam Lahey,2007) mengemukakan teori tingkat pemerosesan
informasi merupakan suatu teori yang menjelaskan bahwa kekuatan atau daya
tahan informasi yang telah dikelola di dalam memori sebenarnya bergantung pada
bagaimana informasi tersebut diperoses dan disandi (encoding) dalam memori.
individu menggunakan pemerosesan yang dalam (deep) daripada pemerosesan
dangkal (shallow). Tingkat dangkal (shallow) maupun dalam (deep) ditemukan
lebih baik dalam menjelaskan pemerosesan informasi.
Teori tingkat pemerosesan informasi juga memiliki metode atau kondisi
belajar yang kerap digunakan dalam studi-studi pemerosesan informasi guna
meningkatkan kemampuan mengingat informasi pada individu. Dua metode
kontrol yang juga dikenal sebagai instruksi belajar dalam studi tingkat
pemerosesan informasi adalah metode belajar insidental dan intensional. Metode
belajar intensional didefinisikan sebagai metode atau instruksi belajar dimana
individu mengatahui bahwa materi yang diberikan sebelumya akan diuji kembali.
Sedangkan metode insidental didefinisikan sebagai metode atau instruksi belajar
dimana individu tidak mengetahui bahwa materi yang telah diberikan sebelumnya
akan diuji kembali (Neath & Surprenant,2003).
Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti terhadap tiga sekolah
dasar di kota Medan menemukan bahwa metode belajar insidental dan intensional
merupakan dua metode yang juga digunakan dalam membantu proses
pembelajaran bahasa Inggris. Pada beberapa sekolah dasar yang diobservasi
diperoleh bahwa metode pengajaran intensional diterapkan dalam proses
pembelajaran bahasa Inggris terutama saat pemberian kosakata baru dimana pada
proses pembelajaran guru memberikan beberapa kosakata dan kemudian siswa
diminta untuk mengingat kosakata kembali tersebut baik secara bersama maupun
secara individual. Sedangkan metode pembelajaran yang kedua yaitu metode
sekolah dasar. Penerapan metode insidental dilakukan oleh pihak sekolah dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menempel berbagai kosakata bahasa
Inggris dengan rapi di masing-masing kelas siswa. Berbagai kosakata yang berada
di lingkungan siswa serta dapat dilihat siswa secara langsung diharapkan dapat
membantu siswa mengingat kosakata dan meningkatkan perbendaharaan kosakata
bahasa Inggris siswa.
Hasil observasi juga menemukan bahwa penerapan pemerosesan
informasi juga digunakan dalam membantu siswa mengingat kosakata lebih baik.
Pengelolaan informasi yang dangkal (shallow) yang hanya tertuju kepada bentuk
fisik dari kosakata tersebut akan mudah untuk dilupakan. Tingkat pemerosesan
informasi yang dangkal (shallow) dimana informasi yang diproses dalam memori
lebih menekankan pada bentuk fonologi serta suara dari kata tersebut. Penerapan
pemerosesan informasi dimana guru akan menuliskan beberapa kosakata baru
beserta artinya dan kemudian siswa diminta untuk membaca bersama-sama
kosakata yang telah dituliskan di papan tulis secara berulang sebanyak tiga kali
dan kemudian membaca artinya hanya satu kali. Penerapan pemerosesan
informasi dalam (deep) tidak begitu sering digunakan dimana guru tidak mencoba
untuk menghubungkan kosakata baru yang akan diperkenalkan kepada siswa
dengan pengalaman yang menyenangkan seperti dengan bermain sambil belajar
kosakata. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Suyanto (2005) bahwa
untuk pembelajar dini lebih baik menerapkan berbagai cara dan metode
sehingga siswa tidak merasa sulit dan tidak merasa jenuh mempelajari bahasa
tersebut.
Beberapa hasil penelitian sebelumnya mengemukakan metode belajar atau
kondisi belajar insidental dan intensional digunakan sebagai metode belajar dalam
penelitian eksperimen terhadap mata pelajaran bahasa Inggris siswa. Jamel(2011)
yang menemukan bahwa performansi mempelajari kosakata dengan metode
belajar insidental berkaitan dengan pemerosesan informasi yang lebih dalam dan
lebih mampu disimpan dalam memori untuk waktu yang cukup lama
dibandingkan secara intensional pada mahasiswa. Namun, berbeda dengan hasil
penelitian Alemi dan Tayebi (2011) dimana berdasarkan penelitian tersebut
diperoleh bahwa tidak ada perbedaan yang cukup signifikan dalam mempelajari
kosakata bahasa Inggris dengan metode belajar insidental dan intensional pada
siswa menengah pertama. Hasil penelitian Eagle dan Leiter (dalam Neath &
Suprenant,2003) juga menjelaskan bahwa subjek dengan metode intensional lebih
tinggi dari pada subjek dengan metode insidental dikarenakan instruksi
intensional memudahkan subjek untuk mengorganisir materi yang diberikan dan
hasil organisasi tersebut memberikan manfaat yang besar terhadap peroses
mengingat.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat kita ketahui bahwa untuk
meningkatkan kemampuan mengingat diperlukan metode maupun strategi yang
tepat sehingga siswa dapat mengingat berbagai perbendaharaan kosakata bahasa
Inggris. Mata pelajaran bahasa Inggris merupakan salah satu pelajaran muatan
masih ditemukan berbagai kendala khususnya dalam meningkatkan
perbendaharaan kosakata bahasa Inggris siswa. Metode insidental maupun
intensional sebagai dua metode yang juga diterapkan dalam proses pembelajaran
masih belum diteliti perbedaan efektifitasnya terhadap pelajaran bahasa Inggris di
sekolah dasar. Begitu pula masih perlunya strategi mengingat perbendaharaan
kosakata bahasa Inggris. Tingkat pemerosesan informasi dangkal (shallow)
maupun dalam (deep) juga digunakan sebagai strategi dalam mengingat akan
tetapi hingga saat ini juga tidak pernah diperoleh hasil perbandingan dari dua
stategi pemerosesan tersebut guna membantu kemampuan mengingat kosakata
bahasa Inggris dalam jenjang pendidikan sekolah dasar khususnya di kota Medan.
Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian guna melihat perbedaan
kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris dengan metode belajar insidental
dan intensional dalam tingkat pemerosesan informasi pada situasi eksperimen
siswa sekolah dasar. Metode belajar insidental dan intensional yang berhubungan
dengan pemerosesan informasi terhadap kemampuan mengingat kosakata siswa
diharapkan menjadi metode serta strategi dalam meningkatkan kemampuan
mengingat kosakata bahasa Inggris siswa.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini “Apakah terdapat perbedaan
kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris menggunakan metode belajar
(insidental dan intensional) dalam tingkat pemerosesan informasi yang berbeda
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kemampuan mengingat para
siswa dengan penerapan metode belajar insidental dan intensional dalam tingkat
pemerosesan informasi yang berbeda.
D. Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis:
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah wawasan pengetahuan, terutama dalam bidang psikologi
umum dan eksperimen.
b. Penelitian ini dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian serupa di masa
yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan sekolah dasar dapat
mengetahui metode pembelajaran yang efektif dalam membantu
kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris siswa.
b. Bagi orangtua, memberikan wacana bagi orangtua mengenai metode
dan penerapan strategi mengingat yang tepat guna membantu
kemampuan mengingat berbagai kosakata bahasa Inggris anak.
c. Bagi siswa, dapat membantu siswa menggunakan metode dan strategi
mengingat yang dapat bertahan lama guna membantu mengingat
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Berisikan mengenai latar belakang masalah yang hendak dibahas,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Berisikan mengenai tinjauan pustaka yang menjadi acuan dalam
pembahasan permasalahan. Teori-teori yang digunakan dalam
penelitian anta lain pemerosesan informasi, metode belajar dalam
tingkat pemerosesan informasi, asumsi-asumsi dalam tingkat
pemerosesan informasi, definisi bahasa, struktur bahasa, kosakata
dalam bahasa Inggris, karakteristik pembelajar bahasa Inggris dini,
siswa sekolah dasar, perbedaan kemampuan mengingat kosakata
bahasa Inggris dengan metode insidental dan intensional dalam tingkat
pemerosesan informasi yang berbeda dan hipotesa penelitian.
Bab III : Metode Penelitian
Berisikan mengenai metode-metode dasar dalam penelitian yaitu
identifikasi variabel, definisi operasional, populasi dan metode
pengambilan sampel, rancangan penelitian, teknik kontrol, prosedur
Bab IV : Hasil Analisis Data
Berisikan gambaran subjek/partisipan penelitian, analisa data dan
pembahasan. Analisa data dilakukan dengan menggunakan
pengelolaan data statistik kemudian disertai bagian pembahasan.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Berisikan kesimpulan jawaban dari pertanyaan penelitian sebagaimana
yang dituangkan dalam hipotesa penelitian. Kesimpulan dibuat
berdasarkan hasil analisa dan interpretasi data serta pada bagian
kesimpulan dijabarkan jawaban atas masalah yang diajukan. Saran
yang diajukan peneliti berupa saran metodologis bagi peneliti
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pemerosesan Informasi 1. Atkinson-Shiffrin Model
Memori/Ingatan adalah cara-cara yang dengannya kita mempertahankan
dan menarik pengalaman dari masa lalu untuk digunakan saat ini (Tulving &
Craik,2000). Dalam Matlin (2005) dijelaskan bahwa Atkinson-Shiffrin model
(1968) mengutarakan bahwa memori bisa dipahami sebagai suatu rangkaian tahap
yang berlainan, dimana informasi ditransfer dari satu tahapan area ketahapan area
lainnya. Atkinson-Shiffrin model merupakan pendekatan pemerosesan informasi
yang dijadikan model terbaik dalam menjelaskan proses informasi, dimana adanya
tiga tingkatan sistem memori.
‘
1.1 Atkinson-Shiffrin’s Model of Memory (1986)
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa Atkinson-Shiffrin model,
menggambarkan bagaimana informasi diproses. Stimulus eksternal dari
lingkungan pertama kali masuk ke sensory memory, kemudian beberapa materi
dari sensory memory disampaikan ke short-term memory atau dikenal juga
sebagai working memory. Dan terakhir materi tersebut dilatih lagi dan
disampaikan dari short term-memory ke long-term memory. Berikut Penjelasan
mengenai pemerosesan informasi pada Atkinson-Shiffrin model:
a. Sensory Memory
Merupakan sistem penyimpanan yang besar, merekam informasi
yang diterima dari setiap indera. Sensory memory menyimpan informasi
yang asli hanya untuk waktu yang singkat. Ada dua bentuk sensory
memory, yakni iconic memory (penglihatan), dan echonic memory
(pendengaran). Model ini menjelaskan bahwa informasi yang berada
pada sensory memory bisa bertahan 2 detik atau kurang, dan kemudian
lebih dari itu informasi akan dilupakan.
b. Short Term Memory (Working Memory)
Short-term memory merupakan merupakan tahapan memori yang
berisi sedikit informasi yang kita gunakan. Memori dalam short-term
memory mudah pecah walaupun tak semudah pada tahap sensory
memory , memori ini bisa hilang sekitar 30 detik kecuali jika informasi
tersebut dilulang-ulang kembali. Short-term memory dijelaskan juga
sebagai kemampuan memori menyimpan informasi persepsi untuk
terbatas (Richard-Klevehn & Bjork,2003). Memori ini menahan data
memori selama beberapa beberapa detik dan terkadang bisa juga sampai
beberapa menit. Menurut model Atkinson-Shiffrin, simpanan jangka
pendek hanya bisa mengingat beberapa hal saja. Biasanya materi masih
bisa bertahan di dalam memori jangka pendek kira-kira 30 detik saja,
kecuali ia dilatih untuk mempertahankannya lagi (Sternberg,2008).
c. Long Term Memory
Long-term memory, dimana memori ini memiliki kapasitas yang
besar karena memori ini berisi memori-memori lama, dan juga
penambahan dari memori yang diperoleh beberapa menit lalu.
Atkinson-Shiffrin mengemukakan bahwa informasi yang tersimpan dalam
long-term memory akan relatif permanen dan tidak mudah hilang. Dalam
Sternberg (2008) juga diungkapkan bahwa memori jangka panjang
merupakan kapasitas memori yang sangat besar dalam kemampuannya
menyimpan berbagai informasi pengalaman untuk priode yang sangat
panjang, bahkan mungkin untuk waktu yang tak terbatas
(Richard-Klevehn & Bjork,2003).
Kemudian terdapat tiga proses pengolahan informasi yang dilakukan di
dalam memori menurut Sternberg (2008), yaitu:
a. Pengodean (encoding)
Tahap pertama dalam pemrosesan informasi adalah encoding.
Encoding merupakan proses yang bertujuan untuk mengubah informasi
mengubah informasi ke dalam bentuk psikologis yang dapat diterima
mental. Biasanya kode yang digunakan adalah kode semantik, visual, dan
akustik. Kode semantik didasarkan pada makna dan merupakan kode yang
dominan di dalam memori jangka panjang (long term memory). Kode
akustik didasarkan pada bahasa dan merupakan kode memori yang
dominan dalam memori jangka pendek (short term memory). Materi yang
ada di dalam kode akustik biasanya terdiri dari urutan huruf, angka,
ataupun kata-kata yang tidak bermakna. Sedangkan kode visual diwakili
oleh gambar.
b. Penyimpanan (storage)
Pemerosesan yang kedua adalah penyimpanan yang berfungsi untuk
mempertahankan informasi.
c. Pemanggilan (retrieval)
Pemerosesan yang ketiga adalah pemanggilan. Pemanggilan adalah
proses mengakses kembali informasi yang telah disimpan. Menurut Hunt
& Ellis (2004) proses pemanggilan ada dua, yaitu: recall dan recognition.
Recall merupakan proses pemanggilan dimana individu diminta untuk
memproduksi aitem-aitem yang telah dipelajari sebelumnya sedangkan
recognation merupakan proses pemanggilan dimana individu diminta
untuk mengidentifikasi aitem-aitem yang dipresentasikan atau dihadirkan
2. Tingkat Pemerosesan Informasi (Level of Processing Theory)
Teori tingkat pemerosesan informasi (level of processing) merupakan
teori yang menjelaskan bagaimana kita bisa menganalisis stimulus dan
menjelaskan apa hasil memory code yang diperoleh dari berbagai tingkatan
analisis. Tidak seperti teori Atkinson-Shiffrin (1968), yang hanya memperhatikan
komponen struktur atau tingkatan memori, akan tetapi teori keduanya saling
berdampingan. Craik (dalam Reed,2004) menyatakan bahwa inti dalam
kebanyakan studi tingkat pemerosesan informasi adalah untuk memperoleh
pemahaman yang lebih luas mengenai memory code yang beroperasi dalam LTM,
dan bukan menyangkal perbedaan antara STM dan LTM. Ketika memperhatikan
perspektif ini, cara kerja tingkat pemerosesan informasi memberikan penjelasan
lebih dari sekedar penjelasan mengenai memindahkan suatu tingkatan analisis
dengan menunjukkan bagaimana proses kontrol bisa mempengaruhi kemampuan
penyimpananindividu terhadap suatu materi.
Tingkat pemerosesan informasi juga didefinisikan sebagai teori yang
menyetujui mengenai adanya tingkat dalam (deep), pemerosesan informasi yang
bermakna lebih bertahan lama dibandingkan tingkat dangkal (shallow), teori ini
disebut juga sebagai pendekatan tingkat pemerosesan dalam (depth-of-processing
approach). Tingkat pemerosesan informasi memprediksi bahwa kita akan mampu
mengingat banyak kata ketika kita menggunakan tingkat pemeorosesan dalam
(deep). Sebaliknya tingkat pemerosesan memprediksi bahwa kemampuan
mengingat kita akan semakin sedikit ketika kita menggunakan tingkat
kata ketika kita hanya memperhatikan bentuk (physical appereance) dari kata
tersebut (misalnya huruf kapital dalam kata tersebut) atau suara dari kata tersebut
(misalnya rhyme atau suara dari kata tersebut) (Matlin,2009).Teori tingkat
pemerosesan informasi (level of processing) memiliki tujuan yang menjelaskan
bahwa ada perbedaan cara untuk mengodekan suatu materi dan ada berbagai
memory code yang lebih baik daripada yang lain. Tingkat pemerosesan informasi
merupakan sebuah teori yang menjelaskan bahwa tingkat proses terdalam
(semantik) lebih bisa bertahan lama pada memori. Kesuksesan mengingat kembali
sebuah kata bergantung kepada berbagai operasi yang dibentuk untuk
memasukkan informasi kata (Reed,2004).
Secara umum manusia akan menerima tingkat pemerosesan informasi
yang dalam ketika mengambil makna dari suatu stimulus yang diberikan. Ketika
kita menganalisa suatu makna maka kemudian kita akan menghubungkannya
dengan hal yang lain seperti gambar, pengalaman yang lalu dan berbagai hal yang
berhubungan dengan stimulus. Stimulus yang dianalisa dalam tingkat
pemerosesan dalam (deep) akan semakin mampu diingat (Roediger, Gallo, &
Geraci, dalam Matlin 2009). Berikut penjelasan mengenai dua tingkat
pemerosesan:
1. Pemerosesan informasi tingkat dalam (deep)
Teori Tingkat pemerosesan informasi dalam (deep) merupakan tingkat
pemerosesan informasi yang memfokuskan dan melibatkan informasi terhadap
makna (meaning). Tingkat pemerosesan dalam memprediksi bahwa kita bisa
pemerosesan informasi yang dalam (deep). Ketika suatu stimulus diidentifikasi
dan diberikan suatu nama, maka memory code lebih kuat dan bisa
direpersentasikan oleh adanya tingkatan kerusakan stimulus yang lebih lama.
Memori akan menjadi bagus ketika individu mampu mengelaborasikan makna
dari stimulus-stimulus tersebut (Reed,2004).
2. Pemerosesan informasi tingkat dangkal (shallow)
Tingkat pemerosesan informasi dangkal difokuskan dengan melakukan
analisis terhadap ciri-ciri fisik seperti bentuk, sudut, keterangan, pitch dan
kerasnya suara. Untuk melakukan pemerosesan informasi individu dapat
melakuakn berbagai cara baik dengan cara mengidentifikasi huruf E/G dalam
suatu kata tersebut, kemudian suara dari huruf dalam suatu kata tersebut dan juga
dengan cara menghitung jumlah huruf dalam kata tersebut. Setelah stimulus
dikenali, maka stimulus tersebut berlanjut untuk diuraikan kepada
pengalaman-pengalaman (elaborasi), baik itu huruf, tanda, bauan yang berhubungan dengan
suatu hal, gambar, ataupun hal-hal yang berdasarkan pengalaman lalu individu
tersebut dengan berbagai stimulus. Setiap tingkatan menghasilkan memory code
yang berbeda akan tetapi suatu memory code akan bervariasi dalam hal tingkatan
kerusakannya. Ketika hanya menganalisis bentuk fisik suatu stimulus, memory
code mudah hilang dan gampang rusak. (Reed,2004).
3. Eksperimen Hyde-Jenkin
Pengaruh dari tingkat pemerosesan informasi terhadap ingatan
didomenstarasi dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Hyde dan Jenkin
Craik dan Lockhart. Kebanyakan studi menggunakan tes tingkat pemerosesan
informasi, Hyde dan Jenkin melakukan studi dengan menggunakan paradigma
metode belajar insidental dan juga metode belajar intensional. Studi eksperimen
yang dilakukan adalah membandingkan tujuh kelompok subjek. Salah satu dari
keempat kelompok diberikan metode insidnetal dan diminta untuk mengingatk 24
kosakata. 20 dari kosakata tersebut saling memiliki hubungan (primary
associates). Misalnya kata merah berhubungan dengan kata hijau, kata meja
berhubungan dengan bangku dan sebagainya.
Kemudian kelompok insidenal diminta untuk mendengar 24 kosakata
tanpa diberitaukan adanya pemberian tes sedangkan kelompok intensional
diminta mendengarkan kata dan mengingatnya karana nantinya akan diberikan tes
oleh peneliti. Salah satu kelompok lainnya diminta untuk menghubungkan 24
kosakata yang diberikan dengan hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan
dan tidak hanya sekedar mendengar kata. Kemudian kelompok lainnya diminta
untuk mengidentifikasi adanya huruf E atau G dalam kata tersebut. Dan hasil
yang diperoleh memiliki kesesuaian dengan teori tingkat pemerosesan informasi,
dimana pemerosesan semantik memiliki hasil yang lebih baik daripada
pemerosesan dengan nonsemantik. Kelompok yang menghubungkan kata dengan
hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan akan mampu mengingat dari
pada kelompok yang hanya diminta mengeja huruf. Dan juga diperoleh hasil
bahwa kelompok dengan insidental bisa sama efektifnya dengan kelompok
intensional ketika subjek penelitian juga sama-sama diminta menghubungkan
berhubungan dengan adanya sebuah clue. Mengingat sebuah kata yang
berhubungan dengan makna akan semakin mudah diingat (Reed,2004).
3. Metode Belajar dalam Tingkat Pemerosesan Informasi
Dalam studi yang dilakukan Hyde dan Jenkins (dalam Reed,2004)
mengemukakan sebuah paradigma belajar insidental dan intensional dalam konsep
tingkat pemerosesan informasi. Pada kondisi belajar insidental orang-orang
diberikan beberapa materi akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa akan
diadakan tes untuk mengingat stimulus atau materi yang diberikan sebelumnya.
Sedangkan belajar intensional merupakan kebalikannya, dimana subjek secara
langsung diberitaukan adanya pemberian tes setelah materi. Berikut penjelasan
mengenai dua kondisi belajar yang digunakan dalam beberapa penelitian
eksperimen yang menggunakan teori tingkat pemerosesan informasi, berikut
penejelasan mengenai metode insidental dan intensional:
a. Belajar insidental (incidental learning)
Cara kontrol proses informasi dapat dilakukan melalui prosedur metode
belajar insidental, dimana pada metode ini subjek tidak menyadari dan tidak
mencoba untuk mempelajari informasi terlebih dahulu informasi yang diberikan
kemudian dites kembali. Subjek hanya menyadari proses material seperti yang
diperintahkan oleh ekperimenter. Belajar insidental (incidental learning)
merupakan konsep belajar yang bertentangan dengan pendapat yang mengatakan
bahwa belajar itu selalu berarah tujuan (intentional). Sebab dalam belajar
disebut insidental bila tidak ada instruksi atau petunjuk yang diberikan pada
individu mengenai materi belajar yang akan diujikan kelak.
Dalam kehidupan sehari-hari, belajar insidental ini merupakan hal yang
penting. Oleh karena itu, diantara para ahli belajar insidental ini merupakan bahan
pembicaraan yang menarik, khususnya sebagai bentuk belajar yang bertentangan
dengan belajar intensional (Slameto,2010). Metode belajar insidental dan
intensional juga dikenal sebagai dua konsep instruksi pembelajaran (instruction
leaarning) dalam tingkat pemerosesan informasi. Karena itu, sebuah penelitian
eksperimen dijelaskan seharusnya menggunakan prosedur metode belajar
insidental. Dalam prosedur ini, subjek penelitian secara tidak sadar dan tidak
mengetahui bahwa materi yang diberikan akan diuji. Subjek melakukan cra untuk
melakukan pemeroesan informasi atau materi sesuai dengan arahan
eksperimenter. Instruksi pada kondisi belajar ini mengharuskan subjek fokus
terhadap beberapa tujuan dalam memproses informasi (information-process-goal)
dari pada sekedar mengingat (Neath& Surprenant,2003).
Kondisi belajar insidental bisa mendorong kita lebih secara sembarangan
dalam memproses objek yang kita lihat. Konskeuensinya, kita bisa memanggil
objek yang lebih banyak dan akurat menandingi harapan kita (Matlin,2005
hal,278). Hal ini didukung berdasarkan sebuah studi eksperimen yang dilakukan
Brewer dan Treyens (1981). Studi tersebut menjelaskan mengenai pemberian
kondisi belajar insidental dalam sebuah penelitian eksperimen, dimana para
partisipan pada penelitian tersebut diberikan sebuah instruksi untuk melihat
peserta diberikan test memori yang tidak diberitaukan sebelumnya, hasilnya para
partisipan menunjukkan hasil yang tinggi dalam mengingat segala objek yang
konsisten dengan “office schema”. Para partisipan secara akurat mampu
melakukan recall informasi yang berkaitan dengan bagaimana skema kantor
tersebut. Walaupun para partisipan tidak mengetahui bahwa mereka akan ditanya
untuk mengingat item-item ataupun benda-benda yang ada dalam skema kantor
tersebut, mereka mampu melakukan recall informasi yang baik. Hasil penelitian
ini merupakan salah satu studi yang membuktikan bahwa metode belajar
insidental mampu memberikan kondisi belajar yang dapat membantu individu
mengingat informasi lebih baik.
Jadi berdasarkan pemaparan mengenai definisi metode belajar insidental,
maka dapat kita simpulkan bahwa metode belajar insidental merupakan suatu
kondisi belajar dimana partisipan tidak mengetahui bahwa nantinya akan
diberikan tes atau ujian mengenai informasi atau materi yang diberikan
sebelumnya.
b. Belajar Intensional (Intentional Learning)
Belajar Intensional (intentional learning) adalah belajar dengan arah
tujuan, merupakan lawan dari belajar insidental (Slameto,2010). Craik dan
Lockhart (1978) mengemukakan bahwa ketika subjek dengan sengaja belajar
yaitu metode belajar intensional maka subjek akan menggunakan pemerosesan
yang dianggap sesuai dan yang belum tentu diinginkan oleh eksperimenter.
Prosedur belajar intensional merupakan prosedur belajar dengan tujuan tertentu.
1. Informasi yang telah dipelajari subjek sebelumnya akan memberikan ide
abstrak dan memudahkan subjek untuk memahaminya kemudian
memudahkan proses recall.
2. Informasi yang telah dipelajari subjek sebelumnya juga akan
membedakan penekanan subjek terhadap informasi dan menyediakan
frame-work untuk me-recall informasi.
3. Subjek akan memiliki pengetahuan mengenai informasi tersebut.
Belajar insidental ini merupakan kondisi belajar dimana partisipan secara
sadar mengetahui adanya pemberian tes memori sehingga partisipan penelitian
akan mencoba untuk menghapal informasi yang diberikan. Pada saat tes
diberikan, subjek secara sadar bisa mengingat beberapa bagian yang sudah
dipelajari sebelumnya (Neath& Surprenant,2003). Dimana kebanyakan studi meta
analisis terlihat membutuhkan kondisi belajar intensional (intentional learning),
dimana pada kondisi ini partisiapan mengetahui bahwa mereka akan ditanyakan
mengenai item atau objek apa saja yang mereka ingat.
Jadi, berdasarkan pemaparan mengenai metode belajar intensional, maka
dapat kita simpulkan bahwa metode belajar intensional merupakan suatu kondisi
belajar yang berkebalikan dari metode belajar insidental, dimana pada kondisi ini
para partisipan penelitian diberikan instruksi mengenai adanya pemberian tes atau
ujian setelah pemberian materi sehingga partisipan mengetahui bahwa nantinya
4. Asumsi-asumsi mengenai Tingkat Pemerosesan Informasi
Craik dan Lockhart (dalam Neath& Surprenant,2003) adalah
tokoh-tokoh yang pertama menyatakan bahwa jenis pemerosesan informasi lebih penting
daripada struktur teori yang mendasarinya. Mereka mengajukan empat
asumsi,antara lain:
a. Pertama, memori merupakan hasil dari serangkaian analisis sejumlah
informasi dalam proses yang lebih dalam dari informasi yang tadinya akan
diproses. Tingkat pemrosesan informasi harus dipandang sebagai suatu
saat/titik dalam suatu kontinum. Kontinum ini bergerak dari pemrosesan
yang dangkal (shallow) yang memfokuskan pada ciri-ciri perceptual,
hingga ke pemerosesan lebih dalam dimana melibatkan meaning.
b. Kedua, Craik dan Lockhart menyatakan bahwa semakin dalam levelnya,
semakin panjang ingatan yang dihasilkan. Jika manusia ingin mengingat
sesuatu untuk waktu yang lama, lebih baik memakai tingkat pemerosesan
dalam misalnya dengan memfokuskan pada makna daripada hanya
mengingat bagaimana item itu disuarakan.
c. Ketiga, pandangan tingkat pemerosesan informasi menganggap rehearsal
relative tidak terlalu penting. Memori meningkat ditentukan oleh tingkat
pemerosesan yang semakin dalam, bukan karena mengulang item
berkali-kali.
d. Keempat berkaitan dengan bagaimana seharusnya memori dipelajari bukan
berkaitan dengan teori memori secara spesifik, karena penekanannya lebih
menyatakan bahwa penelitian akan bermanfaat apabila peneliti dapat
mengontrol pemerosesan informasinya. Ketika subjek dengan sengaja
mencoba belajar, mereka akan menggunakan pemerosesan yang dianggap
sesuai, yang belum tentu diinginkan oleh eksperimenter. Oleh karena itu,
peneliti harus menggunakan prosedur belajar insidental. Dalam prosedur
belajar insidental (insidental learning) subjek tidak menyadari bahwa
materi yang dipelajari akan dites kemudian, yang subjek sadari hanyalah
memproses material seperti yang diperintahkan oleh eksperimenter.
5. Pemerosesan Informasi secara Struktur, Phonem dan Semantik
Tes teori tingkatan pemerosesan informasi secara umum memiliki tiga
tingkatan, dimana pemeroesan tingkat dalam (deep) akan semakin meningkat dari
struktural, kemudian phonem dan kemudian secara semantik :
a. Pengodean struktur (structural coding)
Pengodean struktur adalah memiliki pertanyaan yang mana subjek
diminta untuk mengidentifikasi huruf kapital dalam sebuah kata.
b. Pengodean phonem
Pengodean phonem (phonemic coding) memiliki pertanyaan yang
mana subjek diminta menghubungkan suara (rhyme) suatu kata dengan
kata yang lain dan menekankan pada pronouncation.
c. Pengodean semantik
Pengodean semantik (semantic coding) merupakan jenis tes yang
6. Faktor yang mempengaruhi Tingkat Pemerosesan Informasi
Hipotesis umum yang dikemukakan (Craik dan Lockhart dalam Neath&
Surprenant,2003) bahwa tingkat pemerosesan informasi yang dalam seharusnya
memberikan kemampuan recall yang lebih baik. Memory code berbeda dan
tergantung kepada bagaimana kita mengeleborasi informasi tersebut, dan banyak
kode elaborasi maka kemampuan memori semakin baik. Beberapa hasil penelitian
mengemukakan bahwa tingkat pemerosesan informasi yang dalam pada materi
verbal lebih memberikan kemampuan recall yang baik dari pada menggunakan
tingkat pemerosesan informasi yang dangkal. Berikut faktor yang dapat
mempengaruhi proses mengingat pada pemerosesan informasi tingkat mendalam
antara lain:
1. Distinctiveness
Didefinisikan sebagai sebuah stimulus yang berbeda dari sebagian memori
lainnya. Distinctive item merupakan suatu aitem yang berbeda secara tampilan
dan makna (Reed,2004).Jika anda bertemu dengan seseorang yang namanya ingin
anda ingat, maka anda akan melakukan tingkat pemerosesan informasi yang
dalam untuk menggambarkan sesuatu yang tidak biasanya mengeni nama tersebut
yang akhirnya membuat nama tersebut berbeda dengan nama lain yang pernah
anda pelajari. Menurut Schmidt (dalam Reed,2004) Terdapat empat jenis
distinctiveness:
a. Primary distictiveness
Primary distictiveness merupakan sebuah aitem dari aitem dalam
b. Secondary distinctiveness
Secondary distinctiveness merupakan sebuah aitem yang berbeda dari
aitem-aitem yang disimpan didalam LTM.
c. Emotional distinctiveness
Emotional distinctiveness merupakan sebuah aitem yang meminta
adanya sebuah respon emosi yang kuat.
2. Elaboration
Merupakan faktor kedua yang mengoperasikan tingkat pemerosesan
informasi yang dalam. Elaboration mengharuskan adanya proses yang kaya dalam
bentuk makna dan adanya konsep yang saling berhubungan (Craik,1999;
Matlin,2005). Individu akan mampu mengelaborasi suatu konten yang semantik
karena ini akan menjadi hal yang berguna daripada mengelaborasi konten secara
nonsemantik (Reed,2004). Misalnya, jika kita diminta untuk memperoses kata
“bebek”, maka kita akan menghubungkan kata “bebek” tersebut dengan
fakta-fakta mengenai “bebek”. Pengodean secara semantik akan mendorong
pemerosesan yang kaya. Dan sebaliknya jika kita hanya diminta untuk
mengidentifikasi huruf kapital dalam kata “bebek” dan diminta untuk menjawab
ada atau tidak, maka konsep elaborasi tidak akan mungkin terjadi.
7. Faktor-faktor yang mempengaruhi Memori
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan mengingat
1. Emosi dan Mood (suasana hati)
Emosi dikenal memainkan peran yang penting dalam memori,
kadang-kadang dapat menghambat memori dan kadang-kadang dapat
mengubahnya. Selain emosi, mood atau suasana hati juga dapat
mempengaruhi proses kognitif individu (Matlin, 2005). Ada 3 cara baik
emosi dan mood dapat mempengaruhi memori individu, yakni:
a. Individu lebih menyenangi stimulus yang menyenangkan.
b. Individu merecall material jika sesuai dengan emosi yang
dirasakannya pada saat itu.
c. Individu lebih efisien dan lebih akurat dalam mengulang aitem-aitem
yang menyenangkan.
Matlin (2209) juga mengemukakan suatu konsep yang disebut Pollyanna
Priciple. Pollyana principle menjelaskan bahwa aitem-aitem yang menyenangkan
biasanya diproses lebih efisien dan lebih akurat daripada aitem yang kurang
menyenangkan. Dan prinsip ini sering terjadi dalam berbagai fenomena seperti
persepsi, bahasa dan pengambilan keputusan. Terdapat beberapa cara dimana
stimulus emosional bisa mempengaruhi memori:
a. Informasi akan mudah diingat jika stimulus yang diberikan
menyenangkan. Hasil suatu penelitian yang menyatakan bahwa jika
subjek yang diberikan kata menyenangkan, netral dan tidak
ditemukan bahwa aitem-aitem tes yang menyenangkan lebih mudah
diingat daripada aitem-aitem negatif.
b. Informasi akan lebih akurat jika stimulus netral dihubungkan dengan
hal yang menyenangkan. Hasil penelitian membuktikan bahwa
kemampuan recall akan berkurang jika informasi yang diberikan
selama program televisi mengenai kekerasan.
c. Proses mengingat lebih cepat pada stimulus yang menyenangkan.
d. Memori-memori yang tidak menyangkan akan lebih cepat memudar
daripada memori-memori yang menyenangkan.
2. Inteligensi (IQ)
Studi sejak tahun 1920 menyatakan bahwa IQ dan proses belajar
materi baru sangat berhubungan. Seorang anak dengan IQ di atas 130 akan
memperlajari dan mempertahankan lebih banyak informasi daripada anak
dengan IQ hanya 100 (Sprinthall & Sprinthall, 1990).
3. Faktor kebudayaan
Kebudayaan membuat anggotanya sensisitif terhadap objek, kejadian,
dan strategi tertentu yang dapat mempengaruhi kemampuan memori
terhadap hal tersebut (Mystry & Rogoff dalam Santrock, 2004). Studi
terhadap kebudayaan khususnya menemukan perbedaan kebudayaan
dalam penggunaan strategi organisasional (Schneider & Bjorklund dalam