• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA KEPOLISIAN SEBAGAI PENYEBAB MATINYA PELAKU TINDAK PIDANA (Studi Perkara Nomor 166/Pid./2012/PT TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA KEPOLISIAN SEBAGAI PENYEBAB MATINYA PELAKU TINDAK PIDANA (Studi Perkara Nomor 166/Pid./2012/PT TK)"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

KEPOLISIAN SEBAGAI PENYEBAB MATINYA PELAKU TINDAK PIDANA

(Studi Perkara Nomor 166/Pid./2012/PT TK) (Skripsi)

Oleh

TIRTA ARI NURRAHMAN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Pidana Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA KEPOLISIAN SEBAGAI PENYEBAB MATINYA PELAKU TINDAK

PIDANA

(Studi Perkara Nomor 166/Pid./2012/PT TK) Oleh

TIRTA ARI NURRAHMAN

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu hal yang bersamaan timbul dari adanya setiap pelanggaran tindak pidana yang dilakukan seseorang baik rakyat biasa, pejabat pemerintah maupun aparat penegak hukum, ini sangat penting agar terciptanya penegakkan hukum Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian memang memberi kewenangan khusus kepada kepolisian dalam hal melakukan tembak ditempat bagi tersangka.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anggota kepolisian yang menyebabkan matinya pelaku amuk masa (2) Apakah putusan Banding di Pengadilan Tinggi Tanjungkarang tersebut telah mencerminkan keadilan.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Responden penelitian adalah Propam pada polresta Bandar Lampung, Polisi pada Polresta Bandar Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Kalangan akademisi pada Univeritas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik study pustaka dan study lapangan. Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yang dilakukan secara induktif, yaitu cara berfikir yang didasarkan pada berbagai yang bersifat khusus dan kemudian ditarik suatu kesimpulan umum.

(3)

mencerminkan keadilan karena majelis hakim Pengadilan Tinggi Tanjungkarang kurang mempertimbangkan bukti-bukti yang terungkap selama di Pengadilan Negeri Menggala, tetapi bukti-bukti selama di Pengadilan Negeri Menggala tersebut Berubah.

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak terpenuhi, sehingga majelis hakim Pengadilan Tinggi Tanjungkarang menjatuhkan vonis bebas kepada Tersangka Arie Gozhali. serta dalam pengumpulan datanya penulis melakukan wawancara langsung dengan para polisi, jaksa, kalangan akademisi demi pembantu dan para tersangka pelaku tindak pidana yang telah ditentukan oleh penulis.

Saran dalam penelitian ini adalah : (1) Disarankan seharusnya anggota Kepolisian tersebut bisa lebih bijaksana dalam melakukan tindakan tembak ditempat, lebih profesional, lebih memperhatikan situasi dan kondisi di lapangan, juga memperhatikan sisi kemanusiaan, juga tidak bertindak semena-mena walau ia diberi kewenangan khusus. (2) Disarankan sebaiknya majelis Hakim TanjungKarang lebih bijaksana dalam menentukan putusannya, lebih mempertimbangkan bukti-bukti dari Jaksa, lebih peka terhadap rasa keadilan bagi keluarga korban Anton. (3) Disarankan juga seharusnya Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dicabut karna bertentangan dengan KUHP.

(4)
(5)
(6)

DARTAR ISI

Halaman

1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ………. 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penulis ……… 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………... 7

E. Sistematika Penulis……….... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Proses dari Prosedur Standar Minimal Yang Dilakukan Kepolisian Dalam Melakukan Tembak di Tempat Bagi Tersangka... 11

B. Kriteria Tersangka Yang Dapat Diberlakukan Tembak di Tempat... 21

C. Unsur-Unsur Pertanggung Jawaban Pidana... 22

D. Faktor-Faktor Pemberat Pidana... 24

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ………...……….. 31

B. Sumber Data ………...………...………... 31

C. Populasi Dan Sampel...…………... 33

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data... 33

(7)

B. Gambaran Perkara Nomor : 166/Pid./2012/PT TK... 37 C.PertanggungJawaban Pidana Terhadap Anggota Kepolisian

Sebagai Penyebabkan Matinya Pelaku Amuk Massa... 40 D. Putusan Banding Di Pengadilan Tinggi Tanjungkarang

Tersebut Telah Mencerminkan keadilan... 56

V. PENUTUP

A. Simpulan... 68 B. Saran... 71

Daftar Pustaka

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum mempunyai berbagai cara dan daya upaya untuk menjaga ketertiban dan keamanan dimasyarakat demi terciptanya suatu tujuan hukum. Salah satu upaya yang dilakukan kepolisian dalam menegakkan hukum ialah melakukan tindakan penangkapan terhadap tersangka, namun harus ikut aturan main yang berlaku seperti yang tercantum dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian terkadang dalam pelaksanaannya ada kemungkinan terjadi kesalahan, kelalaian dan hal tidak terduga sehingga menyebabkan pengunaan tindakan tembak di tempat bagi tersangka ini diluar aturan atau prosedur-prosedur yang sudah ditentukan.

(9)

Tersangka Arie Gozhali alias AG bin Agus Salim pada Hari Selasa Tanggal 19 April 2011 pada pukul 22:30 dimana anggota Polsek Tulang bawang berinisial AG sedang melakukan pengamanan dari penyerangan massa kepada kantor Polsek Tulang bawang dikarenakan ada informasi akan ada kedatangan massa dari kampung Gunung Batin. Kemudian muncul mobil yang dikendarai Anton Saputra beserta iring-iringan massa mengunakan mobil truck dan sepeda motor.

Kemudian massa berteriak “serbu, serang” sambil melemparkan batu dan botol kearah AG dan beserta anggota Polsek Tulang bawang lainnya. untuk menghalau massa, maka anggota Polsek Tulang bawang maju kearah massa diiringi letusan senjata api, lalu massa berhamburan kearah pasar Dayamurni dan sebagian mendatangi mobil yang dikendarai Anton Saputra, lalu anggota Kepolisian Polsek Tulang bawang menghampiri Anton Saputra dan memukuli, menendangnya. kemudian AG menghampiri kerumunan tersebut dan ikut menarik kaos singlet korban.

Menembakan senjata api ketubuh Anton Saputra yang akhirnya menyebabkan korban meninggal dunia. Lalu pada proses hukumnya tersangka AG dipidana dengan dakwaan pembunuhan oleh Jaksa penuntut umum dengan pidana penjara 7 tahun penjara pada Pengadilan Mengala dan divonis oleh majelis Hakim dengan pidana penjara 7 tahun penjara, namun tersangka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi TanjungKarang dan divonis oleh majelis Hakim dengan putusan bebas karena bukti dari uji lab tentang peluru yang bersarang ditubuh korban berbeda sehingga dakwaan Jaksa tidak terpenuhi. 1

11

(10)

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian memang memperbolehkan adanya pengambilan tindakan tembak di tempat bagi tersangka. Namun anggota polisi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus Berpikir secara jernih, tenang, tidak terburu-buru agar didapat tindakan yang benar sesuai aturan hukum yang berlaku, sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Polisi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya melakukukan tindakan yang diluar prosedur peraturan hukum yang berlaku sungguh disayangkan jika ini terjadi. Seharusnya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya polisi tidak hanya dituntut untuk tercipta tegaknya hukum juga harus mementingkan sisi kemanusiaannya. Prinsip-prinsip prosedur kepolisian terlihat adanya tahapan-tahapan tertentu sehingga kepolisian baru dapat mengunakan senjata api, apalagi sampai tembak di tempat bagi tersangka juga pengetahuan dasar yg harus diketahui anggota kepolisi tentang pengunakan senjata api.

(11)

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 18 mengatur bahwa Kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Melaksanakan tugasnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. karena penilaiannya sendiri bisa berbagai hal prinsip

reasonable masuk akal yang berarti bahwa tindakan kepolisian diambil dengan

mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat.

Anggota kepolisian memang diberikan kewenangan penuh dalam melakukan tembak di tempat bagi tersangka namun harus sesuai antara ancaman yang diterima dengan tindakan yang dilakukan tindakan tembak di tempat adalah tindakan terakhir yang diperbolehkan saat nyawa anggota kepolisian tersebut terancam atau demi melindungi masyarakat banyak pada saat itulah tindakan tersebut sah untuk dilakukan, tetapi pada kasus pengamanan Kantor Polsek Tulang bawang dari kerusuhan massa anggota kepolisian tidak menerima ancaman.

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik melakukan penelitian

(12)

B. Permassalahan dan Ruang Lingkup

a. Permassalahan diatas perumusan oleh judul ialah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anggota kepolisian yang menyebabkan matinya pelaku amuk massa?

2. Apakah putusan banding di Pengadilan Tinggi Tanjungkarang tersebut telah mencerminkan keadilan ?

b. Ruang Lingkup Hukum Pidana

Ruang lingkup penelitian yang akan membahas permassalahan tersebut penulis membatasi tulisan ini sepanjang mengenai pertanggungjawaban pidana sebagai penyebab matinya pelaku tindak pidana yang diatur dalam KUHP pasal 52.

C.Tujuan Dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan skripsi adalah :

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap anggota kepolisian yang menyebabkan matinya pelaku tindak pidana;

(13)

2. Kegunaan Penulisan a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis untuk memperluas dan memperdalam pemahaman penulis tentang prosedur standar minimal yang dilakukan kepolisian dalam melakukan tembak di tempat bagi tersangka untuk mengetahui pertimbangan anggota kepolisian dalam melakukan tembak di tempat bagi tersangka, serta dasar hukum, serta menganalisanya dengan fakta di lapangan juga dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tembak di tempat bagi tersangka. b. Kegunaan Praktis

Secara praktis menjadi bahan bagi kalangan praktisi hukum khususnya yang bergerak dalam bidang penyelengaraan penegakkan hukum yang dilakukan kepolisian dan kemasyarakatan serta memberi gambaran tentang proses hukum dan pelaksanaannya.

(14)

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh penelitian. Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

a. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

Berhubungan dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi mengehendaki dan mengetahui itu, maka dalam hukum pidana terdapat dua teori kesengajaan sebagai berikut :

(1) Teori Kehendak

Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. 2

2

(15)

(2) Teori Pengetahuan

Sengaja berarti membahayakan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya membayangkan. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau yang dibayangkan oleh sipelaku ialah akan terjadi pada waktu ia akan berbuat.

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus didasarkan pada nilai kepatian. Walau konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana bertdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pidana pengganti dan pertanggungjawaban yang ketat. Masalah kesesatan baik kesesatan mengenai keadaan maupun kesesatan hukum sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak pidana kecuali kesesatan itu patut dipermasalahkan.

Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis kesengajaan dan kelalaain.

(1) Kesengajaan

Sesuai teori hukum pidana indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut :

a. Kesengajaan bersifat tujuan

bahwa dengan kesengajaan dengan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh masyarakat. 3

3

(16)

Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana karena dengan adanya yang bersifat tujuan ini, berarti pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

kesengajaan ini apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik. Tetapi ia tahu benar akibat pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

kesengakjaan ini terang-terangan tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnyamengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya.

(2) Kelalaian

Kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga kelalaian dipandang lebih ringan dibandingkan dengan sengaja, oleh karena itu delik

culpa, delik culpa merupakan delik semu sehingga diadakan pengurangan

(17)

kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam pidana.

Seseorang yang melakukan tindak pidana harus dipertanggungjawabkan perbuatannya dengan dasar adanya kemampuan bertanggungjawab, adanya perbuatan melawan hukum, tidak ada alasan pemaaf dan alasan pembenar perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana terdiri dari tiga syarat yaitu :

a. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat diperanggungjawabkab dari si pembuat

b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau lalai

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidanabagi si pembuat

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti Adapun pengertian dasar dari istilah yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah meliputi : Analisis adalah penyelidikan suatu peristiwa untuk mengetahui

sebab-sebabnya bagaimana duduk perkaranya. 4

4

Moeljatno, Syarat Pertanggungjawaban Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1999, hlm 45. Ibid. hlm. 23

(18)

Prosedur standar minimal yang dilakukan kepolisian dalam melakukan tembak di tempat bagi tersangka adalah sebuah prosedur yang dilakukan kepolisian dalam menegakkan hukum demi mencegah tersangka.

Kepolisian adalah segala hal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Tembak di tempat adalah tindakan yang dilakukan kepolisian dalam menegakkan hukum demi menjaga dan melindungi kepolisian dari segala macam hal yg mengancam nyawa anggota kepolisian tersebut.

Tembak di tempat adalah tindakan kepolisian dalam mencegah atau menghentikan tersangka dalam melakukan tindak pidana juga dalam hal membela diri demi terciptanya tegaknya hukum

Prosedur standar minimal tembak di tempat adalah segala tindakan kepolisian yang berdasarkan aturan yang berlaku melalui berbagai proses sampai tindakan tembak di tempat bisa diterapkan

Tersangka adalah seseorang yang diduga melakukan tindak pidana

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu peraturan hukum dimana disertai sanksi yang berupa tindak pidana tertentu, bagi yang melanggarnya

Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang – undang5 pada dasarnya kesengajaan bisa dihindari jika para pelaku tindak pidananya bisa berpiki

5

(19)

E. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan maka sistematika penulisan disusun oleh sebagai berikut ini:

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang, masalah, ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan kerangka konseptual, serta sistematika penulisan

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab tinjauan yang menguraikan mengenai pengertian prosedur standar minimal yang dilakukan kepolisian dalam melakukan tembak di tempat bagi tersangka, pengertian kepolisian.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang berisi uraian mengenai pendekatan massalah sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengolahan dan pengumpulan data, serta analisa data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Uraian dalam bagian ini adalah tentang pokok-pokok pembahasan berdasarkan hasil penelitian yaitu bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anggota kepolisian yang menyebabkan matinya pelaku amuk massa

V. PENUTUP

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Prosedur Standar Minimal Yang Dilakukan Kepolisian Dalam Melakukan Tembak di tempat Bagi Tersangka

Tembak di tempat bagi tersangka kepolisan mempunyai beberapa tahapan sehingga kepolisian berani mengambil keputusan dalam melakukan tembak di tempat demi menciptakan ketertiban dan keamanan demi tegaknya hukum. Menurut Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian Tahap itu ialah sebagai berikut:

1. Tahap 1 : Kekuatan yang memiliki dampak pencegahan. 2. Tahap 2 : Perintah lisan.

3. Tahap 3 : Kendali tangan kosong lunak. 4. Tahap 4 : Kendali tangan kosong .

5. Tahap 5 : Kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain

gas air mata semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri. 6. Tahap 6 : Kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang

(21)

A.Tingkat Satu

Adalah kekuatan yang memiliki dampak pencegahan (tidak ada potensi cidera atau luka fisik). Tingkat kekuatan ini diterapkan dengan bentuk kehadiran anggota Polri, yang dapat diketahui melalui :

a) Seragam Polisi atau rompi atau jaket bertuliskan “POLISI”. b) Kendaraan bertanda POLRI.

c) Lencana kewenangan Polri; atau

d) Identifikasi lisan dengan meneriakkan kata “POLISI”.

Kehadiran polisi dapat berupa patroli rutin, operasi khusus, atau dengan menunjukkan peralatan kepolisian. Dalam banyak situasi, kehadiran polisi saja telah membuat calon pelaku kejahatan mengurungkan niatnya.

Supaya kehadiran anggota Polri memiliki efek semacam itu, dia harus memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat. Jika masyarakat melihat anggota Polri sebagai pelindung masyarakat yang profesional dan adil, kehadiran polisi berseragam saja biasanya sudah dapat menciptakan suasana yang tenang dan patuh hukum.

B.Tingkat Dua

(22)

Sikap yang profesional dan percaya diri dalam menggunakan perintah lisan Tahapan penggunaan kekuatan yang dilakukan dapat diikuti dengan komunikasi lisan atau ucapan dengan cara membujuk, memperingatkan dan memerintahkan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, keuntungan memberi perintah lisan.

a) Pemahaman publik, profesionalisme.

b) Tersangka mengerti apa yang kita inginkan darinya.

b. Dua tingkat pengendalian berikutnya biasanya dikenal dengan teknik-teknik kendali tangan kosong.

Anggota Polri menentukan bahwa dia harus menggunakan kekuatan fisik, tingkat kekuatan yang digunakan tergantung pada persepsi anggota Polri bersangkutan atas perlawanan dan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh perlawanan tersebut. Begitu juga, dia harus menentukan apakah perlawanan tersebut membuat dirinya atau orang lain mengalami luka fisik atau kematian. Persepsi masing-masing anggota Polri atas bahaya yang dapat ditimbulkan oleh suatu tingkat perlawanan didasarkan pada pelatihan yang telah diterimanya pengalaman, dan pengetahuan teknik-teknik kendali fisik yang dikuasainya.

C.Tingkat Tiga

(23)

terjadinya cidera atau luka fisik Teknik-teknik tangan kosong lunak terdiri dari:

1. Kendali-kendali persendian/kuncian 2. Teknik-teknik pengawalan.

D.Tingkat Empat

Adalah kendali tangan kosong keras. Sedang kemungkinannya menimbulkan luka atau cidera fisik. Tingkat ini digunakan untuk tingkat perlawanan yang lebih tinggi, seperti perlawanan aktif atau agresif. digunakan ketika bentuk-bentuk kendali yang lebih rendah telah gagal atau tidak dapat diterapkan karena tingkat perlawanan pelakudianggap berada pada tingkat yang berbahaya. teknik-teknik ini mungkin menyebabkan luka minimal tetapi luka ringan ini jauh lebih baik daripada luka yang mungkin dapat ditimbulkan jika kekuatan yang lebih tinggi digunakan. Kekuatan tangan kosong keras terdiri dari teknik-teknik pukulan yang dapat dilakukan dengan menggunakan kepalan tangan, lengan bawah, tungkai kaki atau kaki.

E. Tingkat Lima

Adalah kendali menggunakan senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe dan alat lain sesuai standar Polri kadang-kadang disebut sebagai senjata tingkat menengah Tinggi kemungkinannya menyebabkan luka atau cidera fisik ringan. Tingkat kekuatan ini dapat mencakup alat kendali apa saja yang telah diijinkan oleh Polri atau alat untuk menahan.

(24)

Polri membawa dan menggunakan tongkat T dan tongkat lain sebagai senjata untuk memukul: Anggota Polri tersebut harus telah mendapatkan pelatihan dan sertifikasi penggunaan tongkat kepolisian. Senjata menengah ini dapat digunakan dalam konfrontasi yang melibatkan kekerasan fisik dimana tingkat kekuatan yang lebih tinggi tidak diperlukan atau tidak sesuai dan tingkat kekuatan yang lebih rendah tidak sesuai dan tidak efektif. Tongkat polisi tidak boleh digunakan untuk memukul seseorang yang telah dapat dikendalikan. F. Tingkat Enam

Adalah kendali menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat (Besar kemungkinannya menimbulkan luka atau cidera fisik parah, atau bahkan kematian).

Tingkat kekuatan ini digunakan ketika Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat.

(25)

dimasukkan sebagai contoh tindakan yang dapat secara segera menyebabkan luka parah atau kematian antara lain: melepaskan tembakan kepada seseorang atau di tempat yang padat secara sengaja menabrakkan mobil ke seseorang, menusuk seseorang dengan pisau, melakukan tindakan yang membahayakan kehormatan atau bahkan secara sengaja mendorong seseorang ke jalur bus yang tengah lewat. Beberapa contoh lain adalah tindakan membakar stasiun pompa bensin atau meledakkan gudang senjata. Maksud penggunaan kekuatan tingkat enam oleh anggota polri ini tidaklah untuk membunuh, tetapi digunakan sebagai satu-satunya cara yang masuk akal untuk menghentikanancaman yang dapat menimbulkan luka parah atau kematian yang ditunjukkan oleh pelaku kejahatan. pada dasarnya Tahap terakhir merupakan tahapan yang diperbolehkan namun seorang anggota polisi harus memperhatikan adanya ancaman yang dilakukan pelaku tindak pidananya, situasi dan kondisi di lapangan saat ia bertugas. Jika pelaku tindak pidananya hanya melakukan ancaman ringan seperti tangan kosong, situasi kondusif, aman dan terkendali, maka tidak seharusnya anggota polisi tersebut melakukan tembak mati di tempat.

Asas –Asas Yang Mendasari Kepolisian Dalam Melakukan Tembak di tempat Bagi Tersangka Menurut Peraturan kepala kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 menyatakan bahwa:

(26)

49 Ayat 1 tentang Noodweer dan Ayat 2 tentang Pasal 49 Ayat 1 KUHP mengatur tentang Pembelaan terpaksa yang rumusannya. Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.

b. Asas Nesesitas yang berarti bahwa penerapan tembak di tempat bagi tersangka dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi.

c. Asas Proporsionalitas yang berarti bahwa tembak di tempat bagi tersangka harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon yang akan dilakukan anggota Polri.

d. Asas Kewajiban Umum yang berarti bahwa anggota Polri diberi kewenangan untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 18 Ayat (1) disebutkan, untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugasnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

e. Asas Preventif yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan

pencegahan, Polri mengatur mekanisme dan standar penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian melalui Peraturan Kapolri.

(27)

a. Asas kepastian hukum yaitu penerapan tembak di tempat bagi tersangka dilakukan untuk menjamin tegaknya hukum.

b. Asas keadilan yaitu penerapan tembak di tempat bagi tersangka harus memperhatikan keseimbangan antara bobot kesalahan dan hukuman yang diterapkan.

c. Asas akuntabilitas yaitu penerapan tembak di tempat bagi tersangka dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis, administrasi dan prosedural.

d. Asas transparansi yaitu penerapan tembak di tempat bagi tersangka harus dilaksanakan secara terang terangan dan dapat diketahui secara jelas oleh masyarakat. Dari beberapa pengertian diatas tentang asas yang mendasari kepolisian dalam melakukan tembak di tempat bagi tersangka sudah terlihat. Syarat–Syarat penerapannya tembak di tempat bagi tersangka yang dilakukan Kepolisian dalam Standard Universal Penggunaan Senjata Api Bagi Aparat Penegak Hukum menyatakan bahwa:

Harus Dilakukan sebagai upaya untuk membela diri atau melindungi jiwa orang lain dari serangan atau perlawanan yang dilakukan oleh seseorang yang patut diduga/diduga keras melakukan suatu tindak pidana. Pasal 48 KUHP dan 49 KUHP1

1. Harus Dilakukan sebagai upaya terakhir dalam hal melaksanakan tugas atau perintah untuk menangkap seseorang yang patut diduga atau diduga keras sebagai pelaku tindak pidana. Tindakan tersebut bertujuan untuk melumpuhkan bukan mematikan.

1

(28)

2. Harus Dilakukan dengan cara-cara yang profesional, tidak sadis dan tidak berlebihan dan dengan memperhatikan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia;

3. Dilakukan dengan cara-cara yang memperhatikan keamanan lingkungan dan masyarakat sekitar tempat kejadian sehingga tidak terjadi akibat yang lebih luas dan merugikan kepentingan umum yang lebih luas. Segera memberikan pertolongan setelah seseorang yang diduga melakukan tindak pidana tersebut dilumpuhkan dengan cara ditembak, seperti halnya membawa tersangka kerumah sakit terdekat untuk diberikan pertolongan dan pengobatan medis sebagimana mestinya;

4. Penembakan harus dilakukan dengan menggunakan senjata api standar Polri, yang diperuntukan untuk kepentingan Dinas Kepolisian dan senjata tersebut haruslah senjata api yang disiapkan oleh Dinas Kepolisian yang memang diperuntukkan untuk melumpuhkan seseorang bukan membinasakan atau membunuh;

5. Harus menghubungi keluarga tersangka yang ditembak tersebut sedapat mungkin dan sesegera mungkin serta memberitahukan tindakan kepolisian yang telah dilakukan serta alasan-alasan mengapa tindakan kepolisian tersebut terpaksa dilakukan yang antara lain adalah.

(29)

b) Melakukan tindakan lain yang dipandang perlu sehubungan dengan peristiwa penembakan tersebut.

Selain syarat–syarat diatas, ada beberapa syarat lagi sehingga anggota polisi tersebut dapat mengunakan senjata api sebagai alat untuk menjalankan tugas. Dalam pendapat Marwan menyatakan bahwa:

1. Harus memiliki surat izin dari kepala satuan kerja dimana ia bertugas. dimana pimpinan termpat anggota polisi bekerja memberikan penilaian yang baik terhadap kinerja dari anggota tersebut.

2. Anggota polisi tersebut harus berpangkat minimal briptu dan sudah lulus test psikologi. Test ialah test psikologi pada umumnya.

Marwan menyatakan bahwa jika syarat-syarat diatas tidak dipenuhi maka akan terjadi sebuah ketidakcakapan lembaga pengawas kepolisian dalam melakukan pemberian kewenangan dimana akan mengancam keselamatan masyarakat dan akan terjadi penyalahgunaan kewenangan dan yang jadi korban dari tindakan kesewenangan tersebut2 adalah masyarakat. seorang anggota polisi dituntut tidak hanya menjalankan tugasnya tapi juga menjaga keselamatan dan keamanan masyarakat.

B. Kriteria Tersangka Yang Dapat Diberlakukan Tembak di tempat .

Dalam melakukan tembak di tempat seorang polisi tentunya mempunyai targetnya. tersangkalah yang dapat menjadi targetnya. Pengertian

2

(30)

Tersangka sendiri menurut Pasal 1 butir 14 KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai Dalam pendapat Jur Andi Hamzah yg mengutip dari ned dan duisterwinkel menyatakan bahwa: pasal 27 Ayat 1 ned Sv Tersangka ialah orang karena fakta-fakta atau keadaan menunjukan ia patut diduga bersalah melakukan suatu delik3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 18 mengatur bahwa sesuai dengan penilaiannya sendiri untuk menghentikan dan mencegah tersangka melakukan tindak pidana yg lebih membahayakan dan lebih luas lagi walau sudah diberi peringatan, berusaha melawan, maka anggota polisi perlu mengambil keputusan yang lebih tepat yang lebih keras dari semua upaya pencegahan dan penghentian tersangka dari melakukan tindak pidana yaitu dengan melakukan tembak mati di tempat .

Tersangka adalah orang yang diduga telah melakukan tindak pidana. Pendapat para ahli lain menyatakan bahwa tersangka adalah mereka yang diduga sepatutnya karena melakukan pelangaran tindak pidana banyaknya perbedaan yang terdapat dalam penentuan pengertian tersangka namun pada dasarnya sama yaitu ada perbuatan yang dilanggar secara aturan hukum pidana.

C. Unsur-Unsur PertanggungJawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Kemampuan Bertanggung Jawab

3

(31)

Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum, faktor akal Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Faktor perasaan atau kehendak. faktor perasaan atau kehendak muncul dari dalam diri seseorang maka untuk melakukan tindaka pidana sudah terlihat adanya niat dari dalam dirinya4. 2. Kesengajaan & Kealpaan

a. Kesengajaan

Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja”, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. Dalam teori kehendak sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A mengarahkan pistol kepada B

dan A menembak mati B, A adalah “sengaja” apabila A benar-benar menghendaki kematian. Dalam ilmu hukum pidana dibedakan tiga macam sengaja yaitu:

1. Sengaja sebagai maksud adalah adalah apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain, jika pembuat sebelumnya sudah mengetahui

Dalam teori kehendak maka sengaja dengan maksud dapat didefinisikan sebagai berikut: sengaja dengan maksud adalah jika apa yang dimaksud telah dikehendaki. Menurut teori membayangkan, sengaja dengan maksud adalah jika yang

4

Van Hammel Moeljatno, Kemampuan BertanggungJawab , PT Grafindo Jaya, Jakarta,

(32)

dimaksudkan telah mendorong pembuat melakukan perbuatannya yang bersangkutan.

2. Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa agar tujuan dapat tercapai sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa pelanggaran.

b. Kealpaan

Kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan Undang-undang tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. jadi, dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. Dalam pendapat Van hamel Moeljatno mengatakan bahwa keapaan itu mengandung dua syarat yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat dibedakan atas dua yaitu:

1. Kealpaan yang disadari Kealpaan yang disadari terjadi apabila si pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya. Meskipun ia telah berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu.

(33)

Van hamel Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum5.

Kealpaan adalah tindak pidana yang cukup sulit dibuktikan karena pelaku tidak dapat memperkirakan bahwa apa yg ia lakukan suatu tindak pidana atau hanya sedang melakukan kegiatanya sehari-hari

D. Faktor Pemberat Sanksi Pidana

Pemberat pidana yang bersifat primer adalah dasar pemberatan pidana utama yang mengacu pada KUHP dan Undang-undang pidana khusus (hukum pidana materiil) untuk dijadikan pedoman pemberatan pidana pada tahap penyidikan, penuntutan dan mengadili. Dengan demikian, penerapan prinsip pemberat pidana primer ini dimulai sejak seorang pelaku diproses pada tahap penyidikan oleh kepolisian. Jaksa Penuntut Umum dan Hakim harus memperhatikan hitungan pidana terberat yang dapat diberikan pada terdakwa dalam hal adanya alasan pemberat pidana. Hitungan pidana terberat tersebut tidak boleh diabaikan apabila pidana yang dituntut atau dijatuhkan lebih diperberat lagi dari pidana maksimum khusus yang telah diperberat maka hal ini merupakan penyimpangan dari sistem pemidanaan maksimum khusus

Putusan tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan yang lebih tinggi. Sekalipun dalam pemidanaan mengacu pada prinsip kebebasan hakim namum titik tolak penjatuhan pidana tetap harus mengacu pada ancaman maksimum dalam pasal yang didakwakan.

5

(34)

M. Yahya Harahap menyatakan bahwa: "Memang benar hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas 6.

Undang-undang memberi kebebasan kepada hakim antara hukuman minimum dan maksimum dalam pasal yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 12 KUHP. Namun demikian titik tolak hakim menjatuhkan putusan pemidanaan harus didasarkan pada ancaman yang disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan". Hakim memang bebas memilih bentuk pidana pokok dan menentukan lamanya pidana yang akan dijatuhkan. Namun demikian telah ditentukan adanya pola pemidanaan dengan batas maksimum dan minimum. Lebih lanjut dinyatakan bahwa batas maksimum adalah maksimum umum dan maksimum khusus. Dalam hal ini batas maksimumnya adalah 20 tahun penjara dan batas miniumnya 1 tahun7 penjara.

Lebih lanjut M. Yahya menyatakan bahwa kebebasan hakim dalam menjatuhkan berat ringannya pidana tidak sebebas-bebasnya karena selain memperhatikan tuntutan dari jaksa juga memperhatikan sisi hati nurani sebagai manusia biasa agar tercapai kebijakan hukum yg adil bagi semua pihak karena bagaimana pun juga tersangka juga tetaplah manusia biasa

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjabarkan ada 5 alasan untuk pemberat pemidanaan yaitu:

1. Seorang pejabat melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya;

6

(35)

2. Waktu melakukan kejahatan, menggunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia;

3. Karena Gabungan samenloop

4. Karena beberapa keadaan tertentu lainnya yang secara khusus ditentukan dalam beberapa pasal tindak pidana;

5. Karena beberapa keadaan yang juga menjadi asas umum bagi ketentuan hukum pidana khusus.Dalam dikemukakan E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi diatas; A.Pemberat Pidana Karena Jabatan

Dasar pemberatan pidana karena jabatan ini diatur dalam Pasal 52 KUHP yang menyatakan bahwa: "Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga. Ketentuan tersebut juga menggariskan adanya beberapa unsur yang dapat dijadikan dasar untuk memperberat pemidanaan (ditambah sepertiga) yaitu: 1. Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya;

2. Memakai kekuasaan jabatannya8;

3.Menggunakan kesempatan karena jabatannya; dan 4.Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya.

Dalam 4 (empat) unsur berdasarkan Pasal 52 tersebut sebenamya masih dapat disederhanakan lagi hanya menjadi 2 (dua) unsur yaitu:

1. Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya

8

(36)

2. Memakai kekuasaan, mengunakan kesempatan, dan menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya.

Anggota kepolisian yang merampas nyawa orang lain dengan menggunakan senjata dinasnya maka disini telah memenuhi syarat nomor 2 sebenarya mengacu pada Pasal 63 Ayat 2 KUHP yang mengatur tentang penerapan aturan pidana Penerapan hukum diantara kedua pasal itu memang berbeda. Pasal 103 merupakan pengecualian dari Buku Kesatu KUHP dengan Undang-undang Pidana Khusus diluar KUHP. Sementara Pasal 63 Ayat 2 KUHP merupakan pengeeualian dari Buku Kedua dan Ketiga KUHP dengan Undang-undang Pidana Khusus. disamping itu Pasal 63 Ayat 2 bisa juga dijadikan sebagai dasar hukum dalam memilih pasal-pasal yang bersifat khusus.

Pemberat Pidana yang Bersifat Sekunder.

Maksud dari pemberat pidana yang bersifat sekunder adalah perumusan hal-hal yang memberatkan pidana dalam surat tuntutan dan putusan pengadilan. Hal ini sama dengan perumusan hal-hal yang meringankan pidana dalam surat tuntutan dan putusan pengadilan yang harus disusun oleh Jaksa Penuntut Umum dan Hakim sebagaimana yang telah dijelaskan tentang prinsip-prinsip peringan pidana. Sehubungan dengan itu, maka dapat dikatakan bahwa pemberat pidana yang bersifat sekunder ini diterapkan pada proses mengadili yaitu pada tahap penyusunan surat tuntutan dan pada tahap penyusunan putusan pengadilan.

(37)

karena kesulitan untuk membuktikan unsur pegawai negri menurut pasal 52. Syarat nomor 2 juga sering tidak dipenuhi oleh seseorang anggota polisi demikian juga apabila seorang anggot apolisi yang merampas nyawa seseorang dengan mengunakan senjata dinasnya maka disini memenuhi syarat nomor 2.

Sebenarnya mengacu pada Pasal 63 Ayat 2 KUHP tentang penerapan aturan pidana memang jika diperhatikan bahwa cukup sulit membedakannya mana yg melakukan tindak pidana atau menjalankan tugas dan kewenangannya. Para pelaku terutama pegawai negri akan berdalih bahwa ia sedang menjalankan tugasnya,maka ia bisa berlindung dibalik pasal KUHP dimana seorang tidak dapat dipidana karena sedang menjalankan tugas dan kewajibannya9.

9

(38)
(39)

III. METODE PENELITIAN

A.Pendekatan Massalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah mengunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan Normatif yaitu pendekatan dengan cara menelaah kaidah-kaidah dengan aturan-aturan yang berhubungan dengan massalah yang akan dibahas, Pendekatan Empiris yaitu dengan meneliti dan mengumpulkan data primer yang diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan responden atau narasumber yang berhubungan dengan permassalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.

B. Sumber Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data primer dan data sekunder .

1. Data Primer

Data primer adalah data pokok yang diperoleh dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Putusan Banding Pengadilan Tinggi TanjungKarang. 1

Data Sekunder

1

(40)

Data sekunder adalah data yang menjelaskan data primer digunakan dalam menjawab permassalahan pada penelitian ini melaui wawancara secara langsung kepada narasumber yang sesuai dengan kebutuhan penelitian data tersebut terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan perundang-undangan dalam penelitian ini.

Bahan hukum primer yang dipergunakan adalah :

1.Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Jo. Pasal 5 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

3. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum Sekunder adalah data yang diambil dari literatur yang berkaitan dengan pokok permassalahan, karya-karya ilmiah, sesuai dengan objek penelitian.

A. Bahan Hukum Tersier

(41)

C. Populasi Dan sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek hukum yang memiliki karateristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti berdasarkan pengertian diatas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah, Propam di Polresta Bandar Lampung, Jaksa di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Dosen bagian Hukum Pidana di Universitas Lampung.

2. Sampel

Sampel adalah bagaian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purpose sampling yautu sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian diatas maka yang jadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

Anggota Propam di Polresta lampung : 1 orang Penyidik Unit Tipiter di Polresta lampung : 1 orang Jaksa Tindak Pidana Umum di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 2 orang Dosen bagian Hukum Pidana di Universitas Lampung : 2 orang Jumlah : 6 orang

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan data

(42)

Studi Kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan menguti dari buku-buku litelatur serta melakukan pengajian terhadap ketetuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi Lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegaiatan wawancara kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian

2. Prosedur pengolahan data

Pengolahan data dilakukan dengan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahap sebagai berikut :

a. Seleksi data adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat dianalisi lebih lanjut.

(43)

E. Analisa Data

(44)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Simpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anggota kepolisian yang menyebabkan matinya pelaku amuk massa berdasarkan teori pertanggungjawaban yaitu (1) Teori Kehendak Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur unsur delik dalam rumusan undang-undang, juga pada (2) Teori Pengetahuan Sengaja berarti membahayakan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya membayangkan, Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau yang dibayangkan oleh sipelaku ialah akan terjadi pada waktu ia akan berbuat, lalu berdasarkan syarat pertanggungjawaban pidana

a. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat diperanggungjawabkab dari sipembuat

b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau lalai

(45)

berdasarkan syarat pertanggungjawaban pidana diatas penulis menyimpulkan bahwa tersangka Arie Gozhali telah memenuhi syarat pertanggungjawaban pidana seperti yang diuraikan diatas seperti pada point-point berikut ini

a. Kemampuan bertanggungjawab telah dipenuhinya dengan yang sudah cukup umur yang ditandai dengan berumur sudah 25 Tahun dan tidak gila dalam arti bahwa ia dapat mempertimbangkan, memikirkan setiap tindakannya, resiko yang ia ambil, juga tidak secara sembarangan, brutal dalam melakukan tindakan tembak di tempat pada korban Anton Saputra sesuai dengan

b. Adanya perbuatan melawan hukum telah dipenuhi dengan melakukan tembak di tempat tidak dalam konsep membela diri, yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, Standar Universal Penggunaan Senjata Api Bagi Aparat Penegak Hukum, sehingga telah melanggar batas-batas yang sudah

diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku maka sudah terlihat adanya indikasi perbuatan melawan hukum dari tersangka Arie Gozhali

(46)

Dalam Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 89/pid.b/2012/PN. MGL, dilanjutkan dengan Pengadilan Tinggi TanjungKarang Nomor 166/Pid./2012/PT TK yaitu terdakwa Arie Gozhali Alias AG Bin Agus Salim melakukan terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan saat menjalankan tugasnya sebagai anggota Kepolisian Polres Tulang Bawang kepadanya dijatuhi pidana penjara tujuh tahun penjara sebagai bentuk pertanggungjawaban pidanya pada Pengadilan Menggala, walau pada Pengadilan Tinggi TanjungKarang ia divonis bebas.

2. Apakah putusan banding di Pengadilan Tinggi Tanjungkarang tersebut telah mencerminkan keadilan. simpulannya adalah tidak mencerminkan keadilan karena majelis hakim Pengadilan Tinggi Tanjungkarang kurang mempertimbangkan bukti-bukti yang terungkap selama di Pengadilan Negeri Menggala, tetapi bukti-bukti selama di Pengadilan Negeri Menggala tersebut Berubah.

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak terpenuhi, sehingga majelis hakim Pengadilan Tinggi Tanjungkarang menjatuhkan vonis bebas kepada Tersangka Arie Gozhali

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(47)

kepada anggota Kepolisian seharusnya berpikir dan mempertimbangkan tindakannya.

1. Disarakan juga lebih mempertimbangkan setiap akan menerapkan tindakan tembak di tempatnya, lebih memperhatikan situasi dan kondisi dilapangan, lebih memperhatikan sisi kemanusian, tidak bertindak semena-mena

2. Disarankan seharusnya majelis hakim lebih bijak dalam mempertimbangkan putusannya lebih mengutamakan pihak korban, lebih mempertimbangkan bukti-bukti dan dakwaan dari Jaksa, seharusnya juga lebih peka terhadap rasa keadilan agar terciptanya cita-cita hukum yang hakiki yaitu tegaknya hukum efek jera bagi pelaku tindak pidana terpenuhinya rasa keadilan bagi semua pihak. Pada dasarnya untuk kasus seperti ini majelis Hakim Pengadilan Tinggi TanjungKarang telah menerapkan putusan Pengadilan dengan benar, tetapi alasan pertimbangannya kurang tepat sehingga menguarngi rasa keadilan terutama dari pihak korban.

3. Disarankan juga seharusnya Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dicabut karna bertentangan dengan KUHP dan tidak berlaku.

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abidin Farid, A. Zainal, 2006, Alasan Pemberat Pidana Karena Jabatan, PT Grafindo Jaya,Jakarta.

Abidin Farid, A. Zainal, dkk, 2008, Asas-Asas Dalam Tindakan Kepolisian, PT Rajawali Press, Jakarta.

Apeldorn, Van, 2007, Kecerdasan Emosi Dalam Menentukan Putusan

Pengadilan, PT Grafindo Jaya, Jakarta

Cardozo, 2009, Pertentangan Antara Kepastian Hukum, keadilan Masyarakat, PT Grafindo Jaya, Jakarta

Hamzah, Andi, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Hazewinkelsuringa, 2007, Delik Culpa, Surabaya Jaya, Surabaya

Kadir, Muhammad, 2001, Pengantar Ilmu Teoritis, Jakarta Raya, Jakarta

Kanter, E.Y. dan S.R, Sianturi, 2009, Alasan Pemberat Pidana, Bandung press Bandung.

Manan, Bagir, 2008, Putusan Pengadilan Yang Menimbulkan Ketidakpastian

Hukum, Sinar Grafika, Bandung

Martiman, 2008, Syarat Sah Putusan Pengadilan Yang Tepat, Jakarta Jaya, Jakarta

Mattalata, Andi, 2008, Penerapan Hukuman Bagi Aparat Penegak Hukum, Sinar Jaya, Jakarta

(49)

Moeljatno, Van Hamel, 2008, Syarat-Syarat Kealpan, PT Grafindo Jaya, Jakarta. Moeljatno, Van Hamel, dkk, 2009, Kemampuan Bertanggung Jawab, PT.

. Grafindo Jaya, Jakarta

Moeljatno, 1999, Syarat Pertanggungjawaban Pidana, Bina Aksara, Jakarta

Nawawi Arief, Barda, 2003, Teori Pertanggungjawaban Pidana Pada Kesalahan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung

Nasution, Anwar, 2002, Teori Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta Raya, Jakarta Nasution, Anwar, 2007, Pembuktian Melaui Uji Lab Sebagai Dasar Salah Satu

Pembuktian Di Persidangan, Sinar Permai, Jakarta

Opzet, Van Hattum, 2000, Putusan Pengadilan Yang Mencermin Keadilan, PT Grafindo Jaya, Jakarta

Prakoso, Joko, 2009, Putusan Pengadilan Yang Sesuai Dengan Ketentuan Hukum

Yang Berlaku, PT Grafindo Jaya, Jakarta

Prodjohamijo, 2009, Delik Dilihat Dari Segi Konsekuanesi Pertanggungjawaban, Sinar Jaya, Surabaya

Pound, Roscou, 2005, Konsep Pertanggungjawaban, Surabaya Press, Surabaya Saleh, Roeslan, 2005, Surabaya Jaya, Surabaya, keadilan Bagi Aparat Penegak Hukum Yang Sesungguhnya, PT Rineka Cipta, Bandung

Scholten, Paul, 2009, Putusan Pengadilan Dalam Perspektif Sosial, PT Grafndo Jaya, Jakarta

Soekanto, Soerjono, 1980, Metode Penelitian Konseptual, PT Raja Grafindo Persada Indonesia, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, dkk, 2000, Pengantar Ilmu Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Bandung

(50)

Sutrisna, 2007, Kemampuan BertanggungJawab, Bandung Jaya, Bandung

Yahya, M, 2008, Kebebasan Hakim Dalam menjatuhkan Hukuman Pidana, Sinar. Jaya,Jakarta

Undang-undang

Kitab Undang-undang Pidana (KUHP).

Kitab Undang-undang Acara Pidana (KUHAP ).

Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sumber lain

(51)

Referensi

Dokumen terkait

MEDYA TEKNIK

Hasil penelitian ini adalah pada awalnya pembelajaran matematika materi keliling persegi dan persegi panjang bersifat verbalisme, guru cenderung menggunakan metode

 Prinsip dari Plate Count ( metode hitung cawan) adalah jika sel mikroorganisme yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka akan berkembang biak dan membentuk

a. Besarnya gaji yang dibayar kepada setiap pegawai harus disesuaikan dengan prestasi kerja, jenis pekerjaan, risiko pekerjaan, tingkat pendidikan, jabatan pekerja,

Hasil penelitian didapat bahwa adanya batasan nilai yang dijamin hingga dua miliar rupiah yaitu untuk mengurangi beban anggaran pemerintah serta mengurangi moral hazard dari pihak

Adapun dari hasil wawancara yang didapatkan dari 20 Mahasiswa tingkat pertama yang tinggal di Pondok Pesantren, didapatkan bahwa selain berdo’a beberapa Mahasiswa saat

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ Mengatasi Kecanduan

Oleh karena itulah, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menge- tahui perbedaan hasil kualitas hidup antara berbagai metode manajemen nyeri pada pasien nyeri