• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEK ANTIPIRETIK AIR REBUSAN KELOPAK BUNGA ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L.) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEK ANTIPIRETIK AIR REBUSAN KELOPAK BUNGA ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L.) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

EFEK ANTIPIRETIK AIR REBUSAN KELOPAK BUNGA ROSELLA

(Hibiscus sabdariffa L.) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

TOFAN RAKAYUDHA

G 0007232

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul :

Efek Antipiretik Air Rebusan Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)

pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Tofan Rakayudha, NIM/Semester : G0007232, Tahun : 2010

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada Hari Rabu, Tanggal 1 Desember 2010

Pembimbing Utama

Nama : Dr. Muchsin Doewes, dr., MARS

NIP : 194805311976031001 ...

Pembimbing Pendamping

Nama : Vicky Eko, dr., MSc., Sp THT-KL

NIP : 197709142005011001 ...

Penguji Utama

Nama : Nur Hafidha H., dr., MClinEpid

NIP : 197612252005012001 ...

Anggota Penguji

Nama : Novi Primadewi, dr., SpTHT-KL

NIP : 197511292008122002 ...

Surakarta,

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., MKes Prof. Dr. H. A. A. Subijanto, dr., MS

(3)

commit to user

iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,

dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta,

Tofan Rakayudha

(4)

commit to user

iv

ABSTRAK

Tofan Rakayudha, G0007232, 2010. Efek Antipiretik Air Rebusan Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah efek antipiretik air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) pada tikus putih (Rattus norvegicus).

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian ekperimental murni laboratorium dengan pretest and posttest group design. Dua puluh lima tikus putih jantan galur wistar berumur kurang lebih 3 bulan diinduksi vaksin DPT (0,2 cc intra muskular), kemudian dibagi dalam 5 kelompok. Kelompok I (aquadest 2,5 ml) sebagai kontrol negatif, sedangkan kelompok II, III, dan IV sebagai kelompok uji diberikan air rebusan kelopak bunga Rosella dengan dosis 2 gr/300 ml, 4 gr/150 ml, dan 6 gr/100 ml. Kelompok V (parasetamol 6,3 mg/100 gr BB) sebagai kontrol positif. Pengukuran suhu dilakukan di awal penelitian, 2 jam setelah induksi, dan setiap 30 menit berikutnya sampai menit ke-180 setelah perlakuan. Hasil penelitian dianalisis dengan uji Anova yang dilanjutkan dengan uji post hoc.

Hasil Penelitian: Analisis data dengan uji Anova menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,05) antar kelompok perlakuan. Hasil analisis dengan uji post hoc

menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol positif dengan kelompok uji.

Simpulan Penelitian: Air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) mempunyai efek antipiretik pada tikus putih jantan, namun belum sebanding dengan parasetamol.

(5)

commit to user

v

ABSTRACT

Tofan Rakayudha, G0007232, 2010. Antipyretic Effect of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Flower Calyx Boiling Water on White Rat (Rattus norvegicus). Medical Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta.

Objective: This research aims to find out antipyretic effect of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower calyx boiling water on white rat (Rattus norvegicus).

Method: This study belongs to a pure laboratory experimental research with pretest and posttest group design. Twenty five wistar strain-male white rat with ± 3 months age were induced by DPT vaccine (0.2 cc intramuscular), then divided into 5 groups. Group I (aquadest 2.5 ml) and negative control, while groups II, III, and IV as tested group were given Rosella flower calyx boiling water at dosages 2 gr/300 ml, 4 gr/150 ml, and 6 gr/100 ml, respectively. Group V (paracetamol 6.3 mg/100 gr BW) as positive control. The temperature measurement was done in the beginning of research, 2 hours after induction, and every next 30 minutes up to minute-180 after treatment. The result of research was analyzed using Anova test followed by post hoc test.

Result: Data analysis using Anova test shows significant difference (p<0.05) among the treatment groups. The result of analysis using post hoc shows significant difference between the positive control groups and the tested group.

Conclusion: Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower calyx boiling water shows antipyretic effect on male white rate, but not equivalent yet with paracetamol.

(6)

commit to user

vi

PRAKATA

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Efek Antipiretik Air Rebusan Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus).

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. A.A. Subiyanto, M.S. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dr. Muchsin Doewes, dr., MARS selaku Pembimbing Utama yang telah memberi bimbingan, saran, dan petunjuk guna penyusunan skripsi ini.

3. Vicky Eko, dr., MSc., SpTHT-KL selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberi bimbingan dan saran.

4. Nur Hafidha H., dr., MClinEpid selaku Penguji Utama yang telah memberi saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Novi Primadewi, dr., SpTHT-KL selaku Anggota Penguji yang telah memberi masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

6. Muthmainah, dr, MKes. selaku Ketua Tim Skripsi FK UNS beserta staf yang telah memberi pengarahan.

7. Papa Harry Susanto, mama Syenny, mbak Eka Ayu Tantri, dan sepupu Iwan Hidayat, yang telah memberikan semangat hingga selesainya skripsi ini. 8. Venny Yulianti Gana yang telah memberikan semangat dan semua dukungan

moril serta materil dari awal hingga akhir.

9. Jati, Ando, Mas Hanif, Afifah Nur R, Aldila Ayudia, dan teman-teman angkatan 2007.

10. Pihak Laboratorium Farmasi Universitas Setiabudi Surakarta, yang telah memberi bantuan dalam penelitian ini.

11. Semua pihak lainnya yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, pendapat, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.

Surakarta, Desember 2010

(7)

commit to user

vii

DAFTAR ISI

halaman

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II LANDASAN TEORI ... 4

A. Tinjauan Pustaka ... 4

1. Demam ... 4

2. Vaksin DPT ... 8

3. Parasetamol... 10

4. Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) ... 12

5. Air Rebusan ... 17

B. Kerangka Pemikiran ... 18

(8)

commit to user

viii

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

A. Jenis dan Desain Penelitian ... 20

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

C. Subjek Penelitian... 20

D. Teknik Sampling ... 21

E. Identifikasi Variabel Penelitian ... 21

F. Definisi Operasional Variabel ... 22

G. Instrumentasi dan Bahan Penelitian ... 23

H. Rancangan Penelitian ... 24

I. Cara Kerja ... 25

J. Teknik Analisis Data ... 30

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 31

A. Hasil Penelitian ... 31

B. Analisis Data ... 35

BAB V PEMBAHASAN ... 43

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 47

A. Simpulan ... 47

B. Saran... 47

DAFTAR PUSTAKA

(9)

commit to user

ix

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 1 Hasil Pengukuran Suhu Rektal Tikus Sebelum dan

Setelah Perlakuan... 31

Tabel 2 Rata-Rata Penurunan Suhu Rektal Tikus (Dt) Setelah Perlakuan ... 33

Tabel 3 Rata-Rata Penurunan Suhu Selama Enam Kali Pengukuran ... 34

Tabel 4 Hasil Uji Homogenitas Varians... 35

Tabel 5 Hasil Uji Normalitas Shapiro-Wilk Test ... 35

Tabel 6 Hasil Uji Anova ... 37

(10)

commit to user

x

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 1 Biosintesis Prostaglandin dan Patofisiologi Demam ... 8

Gambar 2 Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) ... 13

Gambar 3 Kerangka Pemikiran ... 18

Gambar 4 Rancangan Penelitian ... 24

(11)

commit to user

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari FKUNS

Lampiran 2. Bukti Penelitian

Lampiran 3. Data Hasil Penelitian

Lampiran 4. Data Penurunan Suhu Rektal Tikus Putih

Lampiran 5. Hasil Analisis Data

Lampiran 6. Daftar Volume Maksimal Bahan Uji pada Pemberian Secara Oral

Lampiran 7. Tabel Konversi Dosis untuk Manusia dan Hewan

Lampiran 8. Ethical Clearence

(12)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Sebagai negara yang beriklim tropis, Indonesia dikenal kaya akan

keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati itu di antaranya berupa

tumbuh-tumbuhan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai

keperluan, antara lain dapat digunakan sebagai sumber pangan, papan, dan

obat-obatan (Sumantera, 2004). Sudah sejak zaman dahulu masyarakat

Indonesia mengenal dan memakai tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu

upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan (Wijayakusuma, 2004).

Dalam perkembangannya, obat tradisional kalah bersaing dengan obat sintetis

yang dalam waktu singkat sudah terasa khasiatnya (Mahendra, 2004). Namun

krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan harga obat sintetis semakin

mahal, selain itu mulai banyak ditemukan efek samping dari obat sintetis. Oleh

karenanya masyarakat kembali menggunakan obat tradisional karena terbukti

lebih aman, lebih terjangkau, dan khasiatnya tidak kalah dari obat sintetis

(Salsabila, 2005).

Salah satu tanaman obat tradisional yang sudah mulai dikenal dan

digunakan khasiatnya secara empiris adalah obat tradisional yang berkhasiat

untuk penurun panas atau antipiretik. Hal ini ditunjukkan dengan persentase

(13)

commit to user

30% dari keseluruhan penggunaan obat tradisional (Kustyawati dan Ramli,

2008).

Demam merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang harus segera

diatasi karena dapat menimbulkan efek lain yang berbahaya. Dan untuk

mengatasi demam diperlukan obat antipiretik yang aman. Dari data empiris,

berbagai macam tanaman obat dapat dipergunakan sebagai antipiretik yang

aman, salah satunya adalah bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) (Handayani,

2001).

Bunga Rosella mempunyai habitat asli di daerah yang terbentang dari

India hingga Malaysia (Fasoyiro et al., 2008). Penggunaan Rosella kini telah

berkembang di masyarakat. Rosella memiliki beberapa aplikasi pengobatan,

antara lain adalah antihipertensi, antioksidan, berguna untuk menurunkan

kekentalan darah, dan menstimulasi gerakan usus. Rebusan kelopak bunga

Rosella dapat digunakan untuk mengurangi batuk, sebagai peluruh untuk batu

ginjal, dan dapat menghambat inflamasi akut (Maryani dan Lusi, 2008).

Dalam penapisan fitokimia pada kelopak bunga Rosella menunjukkan

adanya golongan senyawa flavonoid, tanin galat, dan triterpenoid (Paulina,

2008). Flavonoid yang terkandung dalam Rosella mempunyai efek yang

bermacam-macam. Flavonoid dapat menghambat kerja enzim siklooksigenase

(Trevor, 1995). Enzim ini berperan dalam metabolisme asam arakhidonat, yang

merupakan jalur utama pembentukan prekursor demam yaitu prostaglandin.

Selain itu, flavonoid yang terkandung dalam Rosella memiliki kemiripan

(14)

commit to user

mempunyai cincin benzena dalam strukturnya (Trevor, 1995). Berdasarkan hal

tersebut, flavonoid pada kelopak bunga Rosella diharapkan mempunyai efek

sebagai antipiretik.

Penelitian dan riset mengenai efek antipiretik air rebusan kelopak bunga

Rosella belum pernah dilakukan sebelumnya, oleh karena itu penulis mencoba

melakukan penelitian untuk mengetahui efek antipiretik air rebusan kelopak

bunga Rosella dengan menggunakan tikus putih sebagai hewan percobaan.

B.Rumusan Masalah

Adakah efek antipiretik air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus

sabdariffa L.) pada tikus putih (Rattus norvegicus)?

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah efek antipiretik air

rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) pada tikus putih

(Rattus norvegicus).

D.Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah mengenai efek antipiretik

air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) pada tikus putih

(Rattus norvegicus).

2. Manfaat aplikatif

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar penelitian uji klinis dan

(15)

commit to user

lanjut sebagai upaya dalam memanfaatkan kelopak bunga Rosella (Hibiscus

(16)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A.Tinjauan Pustaka

1. Demam

a. Termoregulasi

Termoregulasi adalah proses fisiologis yang merupakan kegiatan

integrasi dan koordinasi yang digunakan secara aktif untuk

mempertahankan suhu tubuh optimal agar berlangsung proses fisiologis

dan metabolisme di dalam tubuh (Myers, 1984). Untuk menjaga

keseimbangan suhu tubuh, manusia memiliki pusat pengatur suhu tubuh

yang terletak di bagian otak yang disebut hipotalamus. Area utama dalam

otak yang mempengaruhi pengaturan suhu tubuh terdiri dari nucleus

preoptik dan nucleus hipotalamik anterior hipotalamus (Guyton dan Hall,

2007).

Hipotalamus dapat diumpamakan sebagai termostat tubuh yang

menjaga dan memelihara temperatur pusat (suhu dalam bagian tubuh dan

dalam kepala) tetap pada ambang rata-rata 37°C walaupun terjadi

penerimaan dan pengeluaran panas (Mutschler, 2001). Semua mekanisme

pengaturan bekerja terus menerus untuk mengembalikan temperatur

tubuh ke tingkat set point, tingkat temperatur kritis (Guyton dan Hall,

2007).

(17)

commit to user

Stimulasi pada pusat penurunan panas mengaktivasi mekanisme

penurunan temperatur seperti vasodilatasi, berkeringat, atau

terengah-engah, sedangkan stimulasi pada pusat peningkatan suhu menyebabkan

vasokontriksi dan menggigil (Landau, 1980).

b. Mekanisme dan Penyebab Demam

Pengukuran suhu normal pada banyak orang memperlihatkan

rentang, mulai kurang dari 36°C sampai lebih dari 37°C. Namun, suhu

normal rata-rata secara umum adalah 36,7°C-37°C bila diukur peroral.

Bila diukur perektal, nilainya kira-kira 0,3-0,5°C lebih tinggi daripada

peroral (Guyton dan Hall, 2007).

Demam adalah gejala yang sering dijumpai saat di dalam tubuh

terdapat penyakit dan termasuk salah satu mekanisme pertahanan (respon

imun) terhadap infeksi atau zat asing yang masuk ke dalam tubuh

(Nurhamzah, 2005). Demam juga merupakan pengaturan kembali suhu

inti tubuh menjadi lebih tinggi dari tingkat fisiologik rata-rata (37°C)

sebagai respon terhadap pirogen endogen, ditegakkan bila suhu oral lebih

dari 37,5°C dan suhu rektal lebih dari 38°C (Gleadle, 2007).

Demam timbul sebagai akibat stimulasi pusat termoregulasi di

dalam hipotalamus oleh pirogen endogen yang ada di dalam darah yang

disintesis oleh leukosit polimorfonuklear, monosit, dan sel-sel makrofag

jaringan (Murray et al., 2003).

Pelepasan pirogen endogen oleh sel fagosit, timbul akibat adanya

(18)

commit to user

virus, produk dari kuman misalnya eksotoksin dan endotoksin, jamur

patogen, kompleks imun, dan beberapa bahan non organik (Mangatas et

al., 2007).

Dalam hipotalamus, pirogen endogen identik dengan Interleukin-1

(IL-1), Interleukin-6 (IL-6), dan TNF (Tumor Necrosing Factor) yang

merangsang pelepasan asam arakhidonat (hasil biosintesis fosfolipid

yang diperantai oleh enzim fosfolipase). Asam arakhidonat selanjutnya

diubah menjadi prostaglandin karena peran dari enzim siklooksigenase

(COX, atau disebut juga PGH sintase) (Murray et al., 2003). Ada dua

bentuk (isoform) enzim siklooksigenase, yaitu siklooksigenase-1

(COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Kedua isoform memiliki regulasi dan

distribusinya pada jaringan yang berbeda. COX-1 merupakan enzim

konstitutif yang mengkatalisis pembentukan prostanoid regulatoris pada

berbagai jaringan, terutama pada selaput lendir traktus gastrointestinal,

platelet, ginjal, dan epitel pembuluh darah. Sedangkan COX-2 tidak

konstitutif tetapi dapat diinduksi, antara lain bila ada stimuli radang,

mitogenesis atau onkogenesis. Dalam hal ini, COX-1 mengkatalisis

pembentukan prostaglandin yang bertanggung jawab menjalankan

fungsi-fungsi regulasi fisiologis, sedangkan COX-2 mengkatalisis

pembentukan prostaglandin yang menyebabkan radang(Davey, 2005).

Prostaglandin yang disintesis melalui COX-2 inilah yang akan

menstimulasi hipotalamus anterior (meningkatkan suhu tubuh), nukleus

(19)

commit to user

(merangsang vasokontriksi pembuluh darah tepi dan kelenjar keringat)

sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran

panas yang akhirnya menimbulkan demam (Muntholib dan Santoso,

2001).

2. Vaksin DPT

Ada 2 macam vaksin DPT (Difteri-Pertusis-Tetanus) yaitu DPaT dan

DPT selular. Vaksin DPaT merupakan vaksin yang menggunakan aselular

pertusis dalam salah satu komponennya. Vaksin DPaT tidak menimbulkan

reaksi reaktogenitas dan meminimalisasi efek samping imunisasi pada anak.

Vaksin DPaT juga sangat bermanfaat untuk anak dengan riwayat kejang,

demam dan kelainan saraf. Bahkan, jenis vaksin baru ini juga tidak

menyebabkan demam yang dapat memprovokasi terjadinya kejang.

Vaksin DPT selular merupakan vaksin yang menggunakan komponen

selular pertusis utuh sebagai salah satu komponennya, sehingga hal ini dapat

menyebabkan reaktogenitas (proses terjadinya reaksi lokal dan sistemik)

sehingga dapat menimbulkan demam. Vaksin DPT seluler digunakan

sebagai bahan pirogen (Hartono, 1992).

Pada penelitian, pemberian vaksin pada tikus dilakukan secara

intramuskuler (Hartono, 1992). Dosis vaksin DPT yang akan diberikan

ditentukan berdasarkan orientasi dosis, yaitu dosis yang mulai menimbulkan

(20)

commit to user

Gambar 1. Biosintesis Prostaglandin dan Patofisiologi Demam (Wilmana, 2003; Murray et al., 2003)

Asam Arakhidonat

Hidroperoksida Endoperoksida

Hipotalamus Anterior

Peningkatan titik termoregulasi/set point

Demam Fosfolipid Pirogen eksogen

(toksin,agen infeksius)

Pirogen endogen - IL-1

- Faktor Nekrosis Tumor - Interferon Gamma - IL-6

Prostaglandin Tromboksan A2 Prostasiklin

Leukotrien

Enzim Siklooksigenase Enzim

Lipoksigenase

(21)

commit to user 3. Parasetamol

Parasetamol atau asetaminofen merupakan analgetik antipiretik yang

populer dan banyak digunakan di Indonesia dalam bentuk sediaan tunggal

maupun kombinasi (Siswandono, 1995). Di Indonesia, parasetamol tersedia

sebagai obat bebas. Parasetamol merupakan metabolit fenasetin yang

mempunyai efek antipiretik yang sama. Dalam dosis yang sama,

parasetamol mempuyai efek analgesi dan antipiretik sebanding dengan

aspirin, namun efek antiinflamasinya sangat lemah (Katzung, 2002). Pada

umumnya parasetamol dianggap sebagai zat antinyeri yang paling aman,

juga untuk swamedikasi (Tjay dan Rahardja, 2002).

a. Farmakokinetik

Asetaminofen atau parasetamol diberikan secara oral. Konsentrasi

darah puncak tercapai dalam 60-90 menit. Parasetamol berikatan dengan

protein plasma dan akan berdifusi cepat hampir ke semua jaringan

kemudian terkonsentrasi dalam hepar. Hepar mengkonjugasikan sebagian

besar parasetamol dengan asam glukoronat, asam sulfat, dan sistein

menjadi bentuk yang inaktif (Ganiswara, 2003). Kurang dari 5%

parasetamol dieksresikan dalam keadaan tidak berubah. Waktu paruh

parasetamol adalah 2-3 jam dan relatif tidak terpengaruh oleh fungsi

ginjal (Katzung, 2002). Parasetamol yang diekskresikan melalui ginjal,

dapat mengalami hidroksilasi menghasilkan metabolit yang

menyebabkan terbentuknya methemoglonin dan hemolisis eritrosit

(22)

commit to user

b. Farmakodinamik

Efek analgesik dan antipiretik parasetamol serupa dengan aspirin

karena kemiripan strukturnya. Efek analgesik dan antipiretik parasetamol

diperantarai oleh rangsangan terhadap pusat pengatur panas di

hipotalamus yang bekerja dengan dua proses: 1) efek sentral, yaitu

dengan menghambat siklus COX-2 sehingga tidak terjadi pembentukan

prostaglandin dari asam arakidonat, prostaglandin tidak akan merangsang

lagi termostat untuk menaikkan suhu tubuh. 2) efek perifer, saraf

simpatis di kulit bekerja mengaktifkan reseptor-reseptor panas di kulit

sehingga terjadi vasodilatasi perifer. Efek anti inflamasi parasetamol

lemah karena hanya menghambat COX secara tidak langsung sehingga

tidak menghambat produksi tromboksan yang berperan dalam agregasi

trombosit. Aktivitas penghambatan COX ini tidak efektif jika ada

peroksida oleh karena parasetamol bekerja efektif menghambat COX di

sistem saraf pusat dan sel endotel tetapi tidak efektif di sel imunitas dan

trombosit yang memiliki tingkat peroksida yang tinggi.

c. Efek Samping

Reaksi alergi terhadap parasetamol jarang terjadi, manifestasinya

berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam

dan lesi pada mukosa. Pada penggunaan kronis dari 3-4 gram sehari

dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis di atas 6 gram mengakibatkan

(23)

commit to user

d. Dosis

Menurut Ganiswara (2003), parasetamol tersedia sebagai obat

tunggal berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg/ 5

ml dapat diberikan sesuai dosis untuk :

1. Dewasa : 300 mg-1gr, dosis maksimum 4gr/hari

2. Anak (6-12th) : 150-300 mg, dosis maksimum 1,2gr/hari

3. Anak (1-6 th) : 60-120 mg, dosis maksimum 6gr/hari

4. Anak (<1 th) : 60 mg, dosis maksimum 6gr/hari

4. Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)

a. Klasifikasi

Menurut Nelistya dan Poppy (2009), klasifikasi Rosella adalah

sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Bangsa : Malvales

Suku : Malvaceae

Marga : Hibiscus

Jenis : Hibiscus sabdariffa

b. Nama Lain

Menurut Maryani dan Lusi (2008), Rosella memiliki beberapa

(24)

commit to user

Indonesia : frambozen, merambos hijau (Jawa Tengah), garnet

malonda (Jawa Barat), kesew jawe (Sumatera Selatan),

asam jarot (Sumatera Barat), kasturi roriha (Maluku)

Malaysia : asam susur, asam paya

Thailand : kachieb priew

Jepang : kezeru

Afrika Utara : carcadé

Belanda : zuring

Inggris : roselle, sorrel, queensland jelly plant, lemon bush

Prancis : oseille rouge, oseille de guinée

Spanyol : quimbombó chino, sereni, rosa de jamaica, agria

Portugis : vinagreira, azeda de guiné, quiabeiro azédo

c. Deskripsi

Rosella dapat tumbuh dengan baik di derah beriklim tropis dan sub

tropis (Fasoyiro et al., 2008). Tanaman Rosella berupa semak yang

berdiri tegak dengan tinggi 0,5-5 meter. Batangnya bulat, tegak, berkayu

dan berwarna merah. Daunnya tunggal, berbentuk bulat telur,

pertulangan menjari, ujung tumpul, tepi bergerigi dan pangkal berlekuk.

Panjang daun 6-15 cm dan lebarnya 5-8 cm. Bunga Rosella merupakan

bunga tunggal yang keluar dari ketiak daun, artinya pada setiap tangkai

hanya terdapat satu bunga. Bunga ini mempunyai 8-11 helai kelopak

yang berbulu, panjangnya 1 cm, pangkalnya saling berlekatan, dan

(25)

commit to user

menguncup indah dan dibentuk dari 5 helai daun kelopak. Kelopak ini

sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan minuman (Fasoyiro et

al., 2008; Maryani dan Lusi, 2008).

Mahkota bunga berbentuk corong yang tersusun dari 5 helai daun

mahkota dengan panjang 3-5 cm. Tangkai sari yang merupakan tempat

melekatnya kumpulan benang sari berukuran pendek dan tebal. Putiknya

berbentuk tabung, berwarna kuning atau merah. Buahnya berbentuk

kotak kerucut, berambut, terbagi menjadi 5 ruang, berwarna merah.

Bentuk biji menyerupai ginjal, berbulu, dengan panjang 5 mm dan lebar

4 mm (Maryani dan Lusi, 2008; Nelistya dan Poppy, 2009).

Kelopak bunga Rosella yang masih segar dipanen saat biji sudah

masak. Kelopak dipisahkan dari bijinya dengan bantuan alat menyerupai

pisau. Jika tidak digunakan dalam bentuk segar, kelopak Rosella yang

sudah dipanen sebaiknya segera dikeringkan. Rosella bisa dikeringkan

dengan matahari langsung, dengan cara disebarkan secara merata di atas

(26)

commit to user

tanah dengan dilapisi selembar plastik. Kelopak yang kering harus segera

diangkat. Jika penjemuran tidak segera dihentikan, kelopak Rosella akan

berwarna kecoklatan dan saat diolah akan menghasilkan warna yang

kurang menarik. Sebelum proses pengeringan, Rosella dipotong-potong

terlebih dahulu agar proses pengeringan dapat berjalan lebih cepat.

Pemotongan kelopak ini terutama penting untuk Rosella yang

dikonsumsi sebagai teh yang langsung diseduh atau direbus dengan air

panas (Fasoyiro et al., 2008).

d. Bagian Tanaman yang Digunakan

Bagian yang digunakan adalah buah, kelopak bunga, mahkota

bunga, dan daunnya (Essa et al., 2005).

e. Kandungan Kimia

Kelopak bunga Rosella mengandung berbagai jenis vitamin, yaitu

vitamin A, C, D, B1 dan B2. Selain itu kelopak bunga Rosella juga

mengandung campuran asam sitrat dan asam malat 13%, serta

anthocyanin 2% dan juga dalam penapisan fitokimia menunjukkan

adanya golongan senyawa flavonoid, tanin galat, dan triterpenoid

(Paulina, 2008). Sebagaimana tumbuhan herbal lainnya, Rosella

mengandung kumpulan fenol dan bioflavonoid (Essa et al., 2005).

f. Efek Farmakologis

Kelopak bunga yang direbus dengan air diakui sebagai peluruh

kencing dan merangsang keluarnya empedu dari hati. Selain itu rebusan

(27)

commit to user

Rosella juga dapat menurunkan tekanan darah, mengurangi kekentalan

darah, dan meningkatkan peristalik usus (Nelistya dan Poppy, 2009).

Selain itu, ekstrak air Rosella ditemukan efektif terhadap cacing

Ascaris gallinarum yang menyerang unggas. Ekstrak air dan zat warna

Rosella juga mempunyai efek letal terhadap Mycobacterium tuberculosis

yang merupakan penyebab TBC (Yadong et al., 2005).

Bunga Rosella kaya akan serat yang bermanfaat untuk kesehatan

saluran pencernaan (Kustyawati dan Ramli, 2008). Selain itu, kandungan

antioksidan yang terdapat dalam Rosella lebih banyak dibandingkan

dengan kandungan antioksidan pada kumis kucing, yaitu sebesar 1,7

mmol/prolok (Fasoyiro et al., 2008). Dengan adanya antioksidan, sel-sel

radikal bebas yang merusak inti sel dapat dihilangkan sehingga Rosella

mempunyai efek antikanker.

g. Efek Samping

Belum pernah dilaporkan efek samping yang serius akibat

konsumsi kelopak Rosella selain jantung berdebar (Yadong et al., 2005).

h. Komponen Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) yang

Berpotensi Sebagai Antipiretik

Komponen kelopak bunga Rosella yang mempunyai potensi

sebagai antipiretik adalah flavonoid. Flavonoid merupakan golongan

terbesar senyawa fenol terbesar di alam. Senyawa ini juga memiliki

kemiripan struktur dengan parasetamol yaitu memiliki cincin aromatik

(28)

commit to user

Efek flavonoid terhadap berbagai organisme banyak macamnya

dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid

dapat dipakai sebagai obat tradisional. Flavonoid dapat menghambat

aldoreduktase, monoaminoksidase, proteinkinase, DNA polimerase, dan

siklooksigenase.

Penghambatan pada enzim siklooksigenase terutama enzim

siklooksigenase-2 (COX-2) dapat menimbulkan pengaruh lebih luas

karena reaksi siklooksigenase merupakan langkah pertama pada jalur

yang menuju hormon eikosanoid yang merupakan zat aktif biologik yang

berasal dari asam arakhidonat seperti prostaglandin dan tromboksan.

Penghambatan pada prostaglandin akan menurunkan titik termostat tubuh

dan dapat menurunkan demam (Trevor, 1995).

5. Air rebusan

Kelopak kering yang digunakan kurang menghasilkan warna dan rasa

yang tajam jika hanya diseduh. Cara yang paling tepat adalah dengan

merebusnya menggunakan api dan lebih efektif menggunakan uap agar zat

aktif yang terkandung dalam kelopak bunga Rosella tidak rusak. Mula-mula,

kelopak bunga Rosella kering direbus dengan api kecil atau uap dengan

suhu berkisar 70-80oC hingga warna bunga memudar. Setelah itu, air

rebusan disaring dan siap dikonsumsi (Fasoyiro et al., 2008). Cara ini lebih

praktis dan lebih mudah dilakukan di kalangan masyarakat dibandingkan

(29)

commit to user

Rebusan digunakan atas orientasi bahwa zat flavonoid yang berefek

antipiretik terutama larut dalam air dan cukup stabil pada pemanasan pada

suhu 70-80oC (Harborne, 1996).

B.Kerangka Pemikiran

Hambat enzim siklooksigenase Tikus putih (Rattusnorvegicus)

Air rebusan kelopak bunga Rosella

Pemberian vaksin DPT 0,2 cc i.m

Flavonoid

Demam Parasetamol

Hambat enzim siklooksigenase

Hambat biosintesis PG2

Efek antipiretik

Penurunan suhu

Mekanisme feedback

dari hipotalamus

(30)

commit to user C.Hipotesis

Terdapat efek antipiretik air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus

(31)

commit to user BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat experimental laboratorium dengan menggunakan

desain penelitian Pretest and Posttest Control Group Design.

B.Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmasi di Universitas Setia

Budi Surakarta pada tanggal 28 September 2010 hingga 5 Oktober 2010.

C.Subjek Penelitian

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus

norvegicus) galur Wistar. Dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut :

1. Kriteria inklusi :

a. Berumur ± 3 bulan

b. Berat badan 100-180 g

c. Jenis kelamin jantan

d. Suhu rektal ± 36oC

2. Kriteria eksklusi : cacat fisik

Sampel dibagi dalam 5 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari

5 ekor tikus putih yang dipilih secara acak. Jumlah tikus putih tiap kelompok

ditentukan dengan rumus Federer, di mana (t) adalah jumlah kelompok dan (n)

adalah jumlah sampel dalam tiap kelompok (Purawisastra, 2001).

(32)

commit to user

(n-1)(t-1) > 15

(n-1)(5-1) > 15

4n-4 > 15

4n > 19

n > 4,75

Jadi, jumlah tikus putih minimal dalam tiap kelompok adalah 5 ekor (n > 4,75).

D.Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan secara purposive random sampling.

E.Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus

sabdariffa L.)

2. Variabel terikat : Penurunan suhu

3. Variabel luar

a. Dapat dikendalikan : jenis makanan, variasi genetik, jenis kelamin,

umur, berat badan tikus, suhu udara dan

aktivitas gerak

b. Tidak dapat dikendalikan : sensitivitas terhadap zat yang diberikan,

keadaan lambung tikus putih, absorbsi zat

dan obat pada saluran pencernaan tikus putih,

dan adanya stres terhadap adaptasi

(33)

commit to user F. Definisi Operasional Variabel

1. Air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)

Air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) adalah

sediaan yang mengandung campuran komponen metabolit aktif dari kelopak

bunga Rosella, diperoleh dengan mengambil 2 gram kelopak bunga Rosella

kering yang dimasukkan dengan air 300 ml kemudian direbus dengan uap

70-800C sampai air rebusan berwarna merah tua. Air rebusan disaring

kemudian didinginkan dan disimpan di tempat yang sejuk. Rebusan dibagi

menurut kelompok dosis 1, dosis 2, dan dosis 3. Pembagian rebusan rosella

menggunakan dosis berdasar alat ukur volume cairan, yaitu gelas ukur

dengan satuan mL. Pemberian rebusan pada tikus putih dilakukan secara

peroral memakai spuit pencekok oral 1 ml dan dosis disesuaikan dengan

berat badan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal.

2. Penurunan suhu

Penurunan suhu rektal tikus putih yang dihitung setelah perlakuan pada

tiap titik waktu pengukuran dengan termometer digital dengan satuan

derajat Celcius. Efek penurunan suhu atau efek antipiretik dihitung dari nilai

rata-rata penurunan suhu rektal tikus putih yang diukur tiap 30 menit sampai

pengukuran pada menit ke-180. Skala pengukuran yang digunakan adalah

(34)

commit to user G.Instrumentasi dan Bahan Penelitian

1. Instrumentasi yang digunakan

a. Kandang hewan uji : untuk tempat mengadaptasikan hewan

percobaan.

b. Timbangan hewan : untuk mengukur berat badan tikus.

c. Spuit pencekok oral 1 ml : untuk memasukkan bahan uji ke tikus per

oral.

d. Spuit injeksi 1 ml : untuk menyuntikkan vaksin DPT 0,2 cc ke

tikus secara IM.

e. Beker glass : untuk tempat air rebusan kelopak bunga

Rosella, parasetamol, dan aquadest.

f. Termometer digital : untuk mengukur suhu rektal tikus.

g. Stopwatch : untuk mengetahui selang waktu

pengukuran suhu rektal tikus.

h. Kapas steril : untuk membersihkan termometer.

2. Bahan

a. Air rebusan kelopak bunga Rosella.

b. Vaksin DPT 0,2 cc untuk masing-masing hewan uji yang disuntikkan

intramuskuler.

c. Parasetamol dosis 6,3 mg/100 gr BB tikus sebagai kontrol positif.

d. Aquadest sebagai kontrol negatif.

(35)

commit to user

U1 : Pengukuran suhu awal rektal

V : Pemberian DPT 0,2 cc intra muskuler

U2 : Pengukuran suhu rektal 5 menit sebelum perlakuan M

M1 : Pemberian aquadest 2,5 ml tikus sebagai kontrol negatif.

M2 : Pemberian rebusan kelopak daun Rosella dosis 2 gr/300 ml

(36)

commit to user

M3 : Pemberian rebusan kelopak daun Rosella dosis 4 gr/150 ml

M4 : Pemberian rebusan kelopak daun Rosella dosis 6 gr/100 ml

M5 : Pemberian parasetamol 6,3 mg/100 gr BB tikus sebagai kontrol

positif.

U3 : Pengukuran suhu rektal setelah perlakuan dengan interval 30

menit sampai 180 menit

A : Analisis data dengan uji statistik Anova dan uji post hoc

I. Cara Kerja

1. Membuat air rebusan kelopak bunga Rosella

Air rebusan kelopak bunga Rosella merupakan hasil perebusan

kelopak bunga Rosella yang telah dikeringkan. Pembuatan sediaan rebusan

dilakukan dengan mengambil 2 gram kelopak bunga Rosella kering yang

dimasukkan ke dalam 300 ml air lalu direbus menggunakan uap dengan

suhu kurang lebih 70-80o C selama 5-10 menit sampai air rebusan berwarna

merah tua. Air rebusan disaring kemudian dibagi dalam 3 beker glass

masing-masing beker glass pertama berjumlah 50 ml, beker glass kedua

berisi 100 ml, dan beker glass ketiga berisi 150 ml. Beker glass kedua dan

ketiga masing-masing direbus kembali menggunakan uap dengan suhu

70-80oC sampai volumenya mencapai 50 ml. Kemudian ketiganya dimasukkan

dalam wadah, didinginkan, dan disimpan di tempat yang sejuk.

2. Langkah penelitian

a. Tikus putih dipuasakan selama ± 6 jam setelah diadaptasikan selama 3

(37)

commit to user

pengaruh variabel lain. Selanjutnya 25 ekor tikus dibagi menjadi 5

kelompok secara acak.

b. Untuk mengetahui suhu awal, pengukuran suhu rektal dilakukan sebelum

disuntik vaksin DPT 0,2 cc i.m ( V ).

c. Tikus disuntik vaksin DPT 0,2 cc secara i.m.

d. Untuk mengetahui berapa derajat peningkatan suhu tubuh, 2 jam setelah

penyuntikkan vaksin DPT, suhu rektal diukur kembali ( U2 )

e. Setelah dilakukan pemberian vaksin, masing-masing kelompok mendapat

perlakuan sebagai berikut :

1) Kelompok I diberi aquadest 2,5 ml sebagai kontrol negatif.

2) Kelompok II diberi rebusan rosella dosis 2 gr/300 ml.

3) Kelompok III diberi rebusan rosella dosis 4 gr/150 ml.

4) Kelompok IV diberi rebusan rosella dosis 6 gr/100 ml.

5) Kelompok V diberi parasetamol 6,3 mg/100 gr BB tikus sebagai

kontrol positif.

f. Tiga puluh menit setelah perlakuan, suhu rektal diukur lagi sampai

(38)

commit to user

Alat dan bahan disiapkan

Mengacak dan mengelompokkan tikus

Puasa selama 6 jam

Pengukuran suhu rektal awal

Penyuntikkan 0,2 cc i.m vaksin DPT

Pengukuran suhu rektal 2 jam setelah pemberian 0,2 cc i.m vaksin DPT, 5 menit sebelum

perlakuan

Pemberian perlakuan sesuai kelompok tikus setelah pemberian vaksin.

Kelompok I diberi aquadest 2,5 ml sebagai kontrol negatif.

Kelompok II diberi rebusan Rosella dosis 2 gr/300 ml

Kelompok III diberi rebusan Rosella dosis 4 gr/150 ml

Kelompok IV diberi rebusan Rosella dosis 6 gr/100 ml

Kelompok V diberi parasetamol 6,3 mg/100 gr BB tikus sebagai kontrol positif

Pengukuran suhu rektal tikus 30 menit setelah perlakuan, diulangi setiap 30 menit sampai

(39)

commit to user

3. Penentuan dosis

a. Penentuan dosis parasetamol

Dosis parasetamol yang dikonsumsi orang dewasa pada umumnya

adalah sebesar 500 mg (Wilmana, 2003). Menurut Donatus dan Nurlaila

(1986) dalam tabel konversi perhitungan dosis untuk berbagai macam

hewan dan manusia, nilai konversi untuk manusia dengan BB 70 kg dan

tikus dengan BB 200 gr adalah sebesar 0,018. Adapun BB rata-rata untuk

orang Indonesia adalah 50 kg, maka dapat dihitung besarnya dosis

parasetamol yang akan diberikan pada tikus, yaitu :

x 0,018 x 500 mg = 12,6 mg/200 gr BB

= 6,3 mg/100 gr BB

b. Penentuan dosis air rebusan Rosella

Penentuan dosis dihitung dengan menggunakan rumus kelarutan

zat aktif dalam suatu larutan yaitu :

M1 . V1 = M2 . V2

M1 : kelarutan zak aktif awal

M2 : kelarutan zat aktif akhir

V1 : volume zat awal

V2 : volume akhir

Dosis I didapat dari penggunaan secara empiris air rebusan Rosella

pada manusia yaitu 2 gr/300 ml air. Dosis II didapat dari perhitungan 2

kali kelarutan awal, sebagai berikut : 70

(40)

commit to user

Jadi, dosis II didapat 4 gr/150 ml. Dosis III didapat dari perhitungan 3

kali kelarutan awal, sebagai berikut :

Jadi, dosis III didapat 6 gr/100 ml. Dari perhitungan di atas didapat :

· Dosis I (kelarutan zat aktif awal) = 2 gr/300 ml

· Dosis II (2 kali kelarutan zat aktif awal) = 4 gr/150 ml

· Dosis III (3 kali kelarutan zat aktif awal) = 6 gr/100 ml

Volume cairan maksimal yang dapat diberikan per oral pada tikus

adalah 5 ml/100 gr BB. Faktor konversi dosis untuk manusia dengan

berat badan 70 kg pada tikus dengan berat badan 200 gr adalah 0,018

(Ngatidjan, 1991). Dosis perlakuan didapat dari penggunaan secara

empiris air rebusan Rosella pada manusia, yaitu 300 ml (Nelistya dan

Poppy, 2009), sehingga dosis air rebusan Rosella pada tikus adalah :

(41)

commit to user

c. Penentuan dosis aquadest

Volume cairan maksimal yang dapat diberikan pada tikus putih

adalah 5 ml (Donatus dan Nurlaila, 1986). Disarankan takaran dosis

tidak sampai melebihi setengah kali volume maksimalnya. Volume

maksimal tikus = 5 ml. Setengah dosis maksimal = 2.5 ml.

J. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji Anova dan apabila

terdapat perbedaan yang bermakna maka dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Uji

Anova digunakan untuk membandingkan mean dua kelompok atau lebih

berbeda secara nyata, dengan asumsi bahwa kelompok yang dianalisis

memiliki varians yang sama. Uji post hoc adalah uji yang digunakan untuk

mengamati lebih lanjut perbedaan mean kelompok-kelompok tersebut

(Trihendradi, 2005). Prosedur yang digunakan dalam analisis Post Hoc Test

adalah Least Significant Difference (LSD). Derajat kemaknaan yang digunakan

α = 0,05. Data diolah dengan program SPSS (Statistical Product and Service

Solution ) 17(Murti, 2003). 200

Keterangan :

a = berat badan tikus

(42)

commit to user BAB IV

HASIL PENELITIAN

A.Hasil Penelitian

Hasil penelitian mengenai efek antipiretik air rebusan kelopak bunga

Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) pada tikus putih adalah :

Tabel 1. Hasil Pengukuran Suhu Rektal Tikus Sebelum dan Setelah Perlakuan

Kelompok Perlakuan

PENURUNAN SUHU REKTAL TIKUS PUTIH ( Celcius) Sebelum

( Aquadest ) 36,46±0,18 38,04±0,17 38,34±0,27 38,54±0,22 38,84±0,19 38,62±0,36 38,58±0,24 38,74±0,4 K2

( Dosis I ) 36,8±0,29 38,06±0,4 38,5±0,21 38,2±0,29 37,88±0,4 37,64±0,35 37,44±0,38 37,38±0,43 K3

( Dosis II ) 36,66±0,21 38,06±0,28 38,04±0,11 37,74±0,27 37,36±0,33 37,44±0,29 37,44±0,42 37,44±0,43 K4

( Dosis III ) 37,02±0,37 38,32±0,23 38,36±0,64 37,94±0,26 37,62±0,16 37,66±0,3 37,42±0,24 37,26±0,15 K5

(Parasetamol) 36,64±0,34 38,5±0,16 38,3±0,07 37,86±0,36 37,42±0,24 37,3±0,29 37,2±0,32 37±0,35

Keterangan: Sumber : data primer, 2010

(43)

commit to user

U1 : Suhu rektal pada awal penelitian

U2 : Suhu rektal pada 2 jam setelah penyuntikan vaksin DPT

SD : Standar Deviasi

Hasil pengukuran rata-rata suhu rektal tikus sesudah perlakuan yang ada

dalam tabel 1 digambarkan lebih jelas perbedaannya dalam gambar 5.

Gambar 5. Grafik Rata – Rata Suhu Rektal Tikus pada Beberapa Titik Waktu

Rata-rata suhu rektal pada kelompok parasetamol, dosis I, dosis II, dan

dosis III pada beberapa titik waktu menunjukkan penurunan suhu yang lebih

besar dibandingkan dengan kelompok aquadest.

Pada kelompok kontrol negatif (aquadest) dari hasil penelitian

(44)

commit to user

perlakuan yang dimulai dari menit ke-30 sampai menit ke-90, kemudian

mengalami penurunan pada menit ke-120 dan kembali meningkat hingga menit

ke-180.

Pada kelompok dosis I (2 gr/300 mL) dari hasil penelitian didapatkan

bahwa terjadi penurunan suhu rata-rata rektal tikus putih setelah perlakuan

dimulai dari menit ke-30 sampai menit ke-150, kemudian mengalami sedikit

peningkatan hingga menit ke-180.

Pada kelompok dosis II (4 gr/150 mL) dari hasil penelitian didapatkan

bahwa terjadi penurunan suhu rata-rata rektal tikus putih setelah perlakuan

dimulai dari menit ke-30 sampai menit ke-90, kemudian pada menit ke-120

mengalami sedikit peningkatan hingga menit ke-180.

Pada kelompok dosis III (6 gr/100 mL) dari hasil penelitian didapatkan

bahwa terjadi penurunan suhu rata-rata rektal tikus putih setelah perlakuan

dimulai dari menit ke-30 sampai menit ke-90, kemudian mengalami sedikit

peningkatan hingga pada menit 120 dan kembali menurun hingga menit

ke-180.

Pada kelompok parasetamol (6,3 mg/100 gr BB tikus) dari hasil

penelitian didapatkan bahwa terjadi penurunan suhu rata-rata rektal tikus

setelah perlakuan dimulai dari menit ke-30 sampai menit ke-180.

Ada tidaknya penurunan suhu diketahui dengan menghitung Dt yang

merupakan selisih suhu setelah pemberian perlakuan pada titik waktu tertentu

(45)

commit to user

Tabel 2. Rata-Rata Penurunan Suhu Rektal Tikus (Dt) Setelah Perlakuan

Kelompok

enam kali pengukuran pada tabel 4 berikut ini :

Tabel 3. Rata-Rata Penurunan Suhu Selama Enam Kali Pengukuran

Kelompok Perlakuan

Rata-Rata Penurunan Suhu Selama

Enam Kali Pengukuran

parasetamol (K5) memiliki efek antipiretik paling tinggi, kemudian diikuti oleh

dosis III, dosis II, dan dosis I. Kelompok aquadest memiliki efek antipiretik

(46)

commit to user B.Analisis Data

Hasil penelitian mengenai efek antipiretik air rebusan kelopak bunga

Rosella dianalisis menggunakan program SPSS 17 dengan uji statistik Anova

dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Sebelumnya, dilakukan uji normalitas

dan uji homogenitas data sebagai syarat dari uji Anova.

Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas Varians

Nilai p

Suhu awal 0,09

Suhu setelah penyuntikkan 0,588

Menit ke-30 0,123

Menit ke-60 0,082

Menit ke-90 0,157

Menit ke-120 0,192

Menit ke-150 0,091

Menit ke-180 0,109

Sumber : data primer, 2010

Dari uji homogenitas varians, didapatkan nilai signifikansi (P) Levene

Test (Test of Homogeneity of Variances) tiap-tiap kelompok adalah 0,09;

0,588; 0,123; 0,082; 0,157; 0,192; 0,091; dan 0,109. Oleh karena nilai

signifikansi (P) > 0,05 untuk semua kelompok maka varians datanya adalah

(47)

commit to user

Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Shapiro-Wilk Test

(48)

commit to user

Tabel 5 menunjukkan uji normalitas data menggunakan analisis

Shapiro-Wilk Test. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa data mengenai

suhu awal, suhu setelah penyuntikkan, dan semua data pada masing-masing

kelompok terdistribusi normal (p > 0,05)

a. Uji Anova

Uji Anova digunakan untuk menetukan apakah rata-rata kelima

kelompok perlakuan dalam penelitian ini berbeda secara nyata.

Dengan didapatkannya sebaran data yang normal dan varians data

yang homogen, maka analisis dengan uji Anova dapat dilakukan.

Tabel 6. Hasil Uji Anova

Data Penurunan Suhu

pada Titik Waktu Nilai P

Menit 30' 0,021

Menit 60' 0,001

Menit 90' 0,001

Menit 120' 0,001

Menit 150' 0,001

Menit 180' 0,001

Sumber : data primer, 2010

Dasar pengambilan keputusan dalam uji Anova adalah:

a. H0 : Rata-rata penurunan suhu dari kelima kelompok perlakuan

adalah sama.

b. H1 : Rata-rata penurunan suhu dari kelima kelompok perlakuan

adalah tidak sama.

(49)

commit to user

d. Jika nilai (P) = 0,05 atau > 0,05, maka H0 diterima.

Karena hasil dari uji Anova penelitian ini diperoleh nilai (P) <0,05

maka simpulan yang dapat diambil adalah H0 ditolak yang berarti variabel

bebas (air rebusan kelopak bunga Rosella) berkontribusi dalam memprediksi

nilai variabel terikat (suhu rektal tikus) sehingga ada perbedaan yang nyata

antara kelima kelompok perlakuan dalam penelitian ini.

Analisis kemudian dilanjutkan dengan uji post hoc untuk

membandingkan lebih lanjut perbedaan rata-rata kelima kelompok tersebut.

b. Uji Post Hoc

Analisis perbandingan dengan uji post hoc ini membandingkan

rata-rata kelima kelompok untuk mengetahui rata-rata-rata-rata pasangan yang paling

berbeda di antara pasangan yang ada. Adapun prosedur uji post hoc yang

digunakan adalah Least Significant Difference (LSD).

Tabel 7. Hasil Analisis Uji Post Hoc

(50)
(51)

commit to user

Sumber : data primer, 2010

Analisis hasil uji post hoc pada penelitian ini :

a. Menit ke-30 menunjukkan perbedaan rata-rata penurunan suhu rektal

tikus yang signifikan. Kelompok yang memiliki efek antipiretik yang

berbeda terdapat pada kelompok aquadest dengan parasetamol (0,016);

(52)

commit to user

dosis I dengan dosis II (0,025), dosis III (0,047), dan parasetamol

(0,003).

b. Menit ke-60 menunjukkan perbedaan rata-rata penurunan suhu rektal

tikus yang signifikan. Kelompok yang memiliki efek antipiretik yang

berbeda terdapat pada kelompok aquadest dengan dosis I (0,009), dosis II

(0,001), dosis III (0,001), dan parasetamol (0,001); dosis I dengan dosis

II (0,001), dosis III (0,001), dan parasetamol (0,001); dosis II dengan

parasetamol (0,019).

c. Menit ke-90 menunjukkan perbedaan rata-rata penurunan suhu rektal

tikus yang signifikan. Kelompok yang memiliki efek antipiretik yang

berbeda terdapat pada kelompok aquadest dengan dosis I (0,001), dosis II

(0,001), dosis III (0,001), dan parasetamol (0,001); dosis I dengan dosis

II (0,001), dosis III (0,001), dan parasetamol (0,001); dosis II dengan

parasetamol (0,006); dosis III dengan parasetamol (0,006).

d. Menit ke-120 menunjukkan perbedaan rata-rata penurunan suhu rektal

tikus yang signifikan. Kelompok yang memiliki efek antipiretik yang

berbeda terdapat pada kelompok aquadest dengan dosis I (0,001), dosis II

(0,001), dosis III (0,001), dan parasetamol (0,001); dosis I dengan

parasetamol (0,001); dosis II dengan parasetamol (0,002); dosis III

dengan parasetamol (0,003).

e. Menit ke-150 menunjukkan perbedaan rata-rata penurunan suhu rektal

tikus yang signifikan. Kelompok yang memiliki efek antipiretik yang

(53)

commit to user

(0,001), dosis III (0,001), dan parasetamol (0,001); dosis I dengan

parasetamol (0,001); dosis II dengan parasetamol (0,002); dosis III

dengan parasetamol (0,011).

f. Menit ke-180 menunjukkan perbedaan rata-rata penurunan suhu rektal

tikus yang signifikan. Kelompok yang memiliki efek antipiretik yang

berbeda terdapat pada kelompok aquadest dengan dosis I (0,001), dosis II

(0,001), dosis III (0,001), dan parasetamol (0,001); dosis I dengan dosis

III (0,028) dan parasetamol (0,001); dosis II dengan dosis III (0,013) dan

parasetamol (0,001); dosis III dengan parasetamol (0,013).

Hasil analisis uji post hoc yang bermakana menunjukkan perbedaan

rata-rata penurunan suhu rektal tikus yang signifikan dan adanya perbedaan

efek antipiretik antar kelompok perlakuan yang dibandingkan tersebut,

sehingga dengan melihat hasil analisis uji post hoc, maka peneliti dapat

menentukan kelompok perlakuan yang paling mempunyai efek antipiretik

(54)

commit to user BAB V

PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tikus putih jantan sebagai

sampel disebabkan tikus putih jantan mempunyai kecepatan metabolisme obat

yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibandingkan

dengan tikus putih betina. Selain itu tikus putih jantan juga tidak mengalami

siklus menstruasi, sehingga tidak terjadi ovulasi yang dapat meningkatkan suhu

tubuh ± 1oC (Sugiyanto, 1995)

Berdasarkan data-data dari penelitian yang terdapat pada Tabel 1, terlihat

adanya variasi suhu rata-rata pada setiap kelompok. Hasil pengukuran suhu rektal

setelah penginduksian vaksin DPT (U2) menunjukkan bahwa semua tikus putih

sedang dalam kondisi demam. Besarnya kenaikan suhu bervariasi untuk setiap

tikus. Tinggi rendahnya kenaikan suhu menunjukkan derajat demam yang dialami

masing-masing tikus.

Demikian pula terlihat adanya perbedaan rata-rata penurunan suhu yang

terjadi setelah pemberian perlakuan pada tiap kelompok. Masing-masing subjek

menunjukkan respon yang berbeda pada tiap kelompok terhadap perlakuan yang

sama. Menurut Mansyur (2002) dan Loomis (1978), hal ini disebabkan karena

terdapatnya variasi biologis dan respon dosis yang berbeda pada masing-masing

subjek terhadap perlakuan yang identik.

Pada penelitian efek antipiretik air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus

sabdariffa) ini, didapatkan hasil berupa penurunan suhu rektal tikus pada setiap

(55)

commit to user

waktu pengukuran yang disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 5. Tabel 2

menunjukkan bahwa onset dosis II air rebusan kelopak bunga Rosella dan

parasetamol sudah dimulai pada menit ke-30, sedangkan pada kelompok aquadest,

dosis I, dan dosis III air rebusan kelopak bunga Rosella, kemungkinan efek

pirogenik vaksin DPT masih dominan sehingga masih terjadi peningkatan suhu.

Kelompok perlakuan aquadest secara keseluruhan mengalami penurunan

suhu rektal yang paling rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain

pada setiap titik waktu, selain itu kelompok ini juga mengalami peningkatan suhu

sampai menit ke-90, sehingga dalam penelitian ini aquadest dianggap memiliki

efek antipiretik yang paling rendah dan digunakan sebagai kontrol negatif.

Hasil uji post hoc antara aquadest dengan semua kelompok perlakuan

menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05) dalam hal penurunan suhu

rektal tikus. Efek antipiretik aquadest dalam penelitian ini ada meskipun lemah

karena menurut Hunter (1978) aquadest dapat berperan dalam mengatasi dehidrasi

akibat demam. Hal inilah yang menjelaskan terjadinya penurunan suhu pada

kelompok yang diberi aquadest pada menit ke-90 sampai menit ke-150.

Pada kelompok dosis I terjadi penurunan suhu yang dimulai pada menit ke

60 hingga menit ke 180, tetapi belum efektif untuk menurunkan demam dalam

rentang suhu normal. Hal ini bisa disebabkan kemungkinan karena kurangnya

konsentrasi dosis I yang dapat berikatan dengan reseptor sehingga belum

menimbulkan efek antipiretik yang berarti.

Hasil uji post hoc antara kelompok dosis II dan dosis III menunjukkan efek

(56)

ke-commit to user

150. Namun jika dosis II dibandingkan dengan aquadest, parasetamol, dan dosis I

tampak perbedaan efek antipiretik yang cukup besar. Penurunan suhu terbesar

pada dosis II terjadi pada menit ke-90. Konsentrasi pada dosis II memiliki onset

lebih cepat bila dibandingkan dengan dosis III. Namun efek antipiretik dosis II

mulai berkurang pada menit-120 hingga menit ke-180. Hal ini, kemungkinan

disebabkan dosis II memiliki konsentrasi yang cukup untuk berikatan dengan

reseptor namun ikatan obat-reseptor tersebut lemah sehingga pada durasi yang

lebih lama ikatan obat-reseptor mudah lepas sehingga pada akhirnya efek

antipiretiknya mulai berkurang.

Kelompok dosis III menunjukkan efek antipiretik yang bermakna (p<0,05)

dibandingkan dengan kelompok aquadest, parasetamol dan dosis I, dengan

penurunan terjadi pada menit ke-60 hingga menit ke-180. Dosis III merupakan

dosis yang paling baik karena memiliki rata-rata efek antipiretik paling tinggi

dibandingkan dengan dosis I dan dosis II. Namun dosis III memiliki onset dan

durasi antipiretik lebih lama dibandingkan dengan onset dan durasi dosis II, hal

ini bisa disebabkan karena dosis III berada dalam konsentrasi terbaik untuk

berikatan dengan reseptor sehingga reseptor dapat berikatan dengan obat dalam

durasi yang lebih lama. Menurut Katzung (2002) intensitas efek obat berbanding

lurus dengan fraksi reseptor yang didudukinya atau diikatnya, dan intensitas efek

mencapai maksimal bila seluruh reseptor diduduki oleh obat.

Hasil uji post hoc kelompok parasetamol sebagai kontrol positif

menunjukkan efek antipiretik yang bermakna (p<0.05) bila dibandingkan dengan

(57)

ke-commit to user

30 hingga menit ke-180 dimana penurunan suhu optimal terjadi pada menit ke-90.

Hal ini sesuai menurut Ganiswara (2003) menunjukkan bahwa kadar puncak

parasetamol dalam plasma darah dicapai dalam waktu 60-90 menit.

Penurunan suhu rektal tikus dalam penelitian ini bervariasi meskipun

terdapat dalam satu kelompok yang sama. Hal ini menurut Ganiswara (2003)

kemungkinan disebabkan adanya faktor psikologik (stres karena tikus mendapat

perlakuan berulang-ulang), faktor lingkungan, maupun faktor endogen tikus

(sensitif terhadap zat yang diberikan, absorbsi obat, dan keadaan lambung tikus)

yang bersifat individual terhadap agen antipiretik dan agen pencetus demam.

Efek antipiretik yang terjadi pada pemberian air rebusan kelopak bunga

Rosella ini kemungkinan karena air rebusan kelopak bunga Rosella mengandung

zat aktif flavonoid. Menurut Trevor (1995), flavonoid mempunyai efek antipiretik

karena kemampuannya dalam menghambat reaksi siklooksigenase yang dapat

berpengaruh luas terhadap biosintesis prostaglandin yang merupakan mediator

pembentukan demam sehingga dapat menurunkan demam. Menurut Paulina

(2008) flavonoid juga dapat pula berfungsi sebagai antioksidan yang bekerja

(58)

commit to user BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

Dari hasil penelitian mengenai efek antipiretik air rebusan kelopak bunga

Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dapat disimpulkan beberapa hal berikut:

1. Pemberian air rebusan kelopak bunga Rosella mempunyai efek antipiretik

pada tikus putih namun belum sebanding dengan parasetamol (kontrol

positif).

2. Air rebusan kelopak bunga Rosella dosis III (6 gr/100 ml) merupakan dosis

yang paling efektif dibandingkan dengan dosis I (2gr/300 ml) dan dosis II

(4gr/150 ml).

B. Saran

Mengingat adanya keterbatasan dan kekurangan dalam penelitian ini,

maka peneliti menyarankan penelitian serupa dengan dosis yang lebih

bervariasi dan sampel yang lebih banyak. Juga pengkondisian subjek

penelitian, kontrol, dan metode yang lebih baik, sehingga dapat diperoleh data

yang lebih terperinci dan lebih dalam lagi mengenai efek antipiretik air rebusan

Gambar

Tabel 2
Gambar 2   Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) .....................................................
Gambar 2.  Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) (Paulina, 2008)
Gambar 4. Rancangan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa manusia dapat menjadi atraksi wisata dan menarik kedatangan wisatawan. Potensi manusia meliputi daya pengelolaan obyek, daya penampilan hasil karya dan

kelas X, salah satunya adalah mata pelajaran dasar proses pengolahan pangana. yang didalamnya ada kompetensi dasar regulasi penggunaan Bahan

The most dangerous of all urban disasters in Solo is an urban social disaster, which is caused by: (1) leadership crisis; (2) economic disparity; and (3) hypocrite culture. To avoid

Mesin-mesin yang telah tersedia di pasaran tersebut mungkin dapat dipergunakan untuk proses sangrai kacang oven, namun terdapat beberapa perbedaan teknis yang

Di Kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, dan Bandung menunjukkan tingginya gonorrhoeae mencapai 7,4% - 50% (Lina, 2011). Data yang diperoleh dari RSU Dr. Model

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian lapangan (field research), sifat penelitian deskriptif, yaitu : menceritakan keadaan yang ada di

PENGUKURAN FUNGSI MEMORI MENCIT JANTAN GALUR BALB/C DENGAN PENGARUH MUSIK KERONCONG untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian tindakan kelas ini dapat disimpulkan bahwa: remediasi dengan model pembelajaran Problem Based Learning dapat