commit to user
EFEK ANTIPIRETIK AIR REBUSAN KELOPAK BUNGA ROSELLA
(Hibiscus sabdariffa L.) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
TOFAN RAKAYUDHA
G 0007232
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul :
Efek Antipiretik Air Rebusan Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Tofan Rakayudha, NIM/Semester : G0007232, Tahun : 2010
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Pada Hari Rabu, Tanggal 1 Desember 2010
Pembimbing Utama
Nama : Dr. Muchsin Doewes, dr., MARS
NIP : 194805311976031001 ...
Pembimbing Pendamping
Nama : Vicky Eko, dr., MSc., Sp THT-KL
NIP : 197709142005011001 ...
Penguji Utama
Nama : Nur Hafidha H., dr., MClinEpid
NIP : 197612252005012001 ...
Anggota Penguji
Nama : Novi Primadewi, dr., SpTHT-KL
NIP : 197511292008122002 ...
Surakarta,
Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS
Muthmainah, dr., MKes Prof. Dr. H. A. A. Subijanto, dr., MS
commit to user
iii
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta,
Tofan Rakayudha
commit to user
iv
ABSTRAK
Tofan Rakayudha, G0007232, 2010. Efek Antipiretik Air Rebusan Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah efek antipiretik air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) pada tikus putih (Rattus norvegicus).
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian ekperimental murni laboratorium dengan pretest and posttest group design. Dua puluh lima tikus putih jantan galur wistar berumur kurang lebih 3 bulan diinduksi vaksin DPT (0,2 cc intra muskular), kemudian dibagi dalam 5 kelompok. Kelompok I (aquadest 2,5 ml) sebagai kontrol negatif, sedangkan kelompok II, III, dan IV sebagai kelompok uji diberikan air rebusan kelopak bunga Rosella dengan dosis 2 gr/300 ml, 4 gr/150 ml, dan 6 gr/100 ml. Kelompok V (parasetamol 6,3 mg/100 gr BB) sebagai kontrol positif. Pengukuran suhu dilakukan di awal penelitian, 2 jam setelah induksi, dan setiap 30 menit berikutnya sampai menit ke-180 setelah perlakuan. Hasil penelitian dianalisis dengan uji Anova yang dilanjutkan dengan uji post hoc.
Hasil Penelitian: Analisis data dengan uji Anova menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,05) antar kelompok perlakuan. Hasil analisis dengan uji post hoc
menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol positif dengan kelompok uji.
Simpulan Penelitian: Air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) mempunyai efek antipiretik pada tikus putih jantan, namun belum sebanding dengan parasetamol.
commit to user
v
ABSTRACT
Tofan Rakayudha, G0007232, 2010. Antipyretic Effect of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Flower Calyx Boiling Water on White Rat (Rattus norvegicus). Medical Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta.
Objective: This research aims to find out antipyretic effect of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower calyx boiling water on white rat (Rattus norvegicus).
Method: This study belongs to a pure laboratory experimental research with pretest and posttest group design. Twenty five wistar strain-male white rat with ± 3 months age were induced by DPT vaccine (0.2 cc intramuscular), then divided into 5 groups. Group I (aquadest 2.5 ml) and negative control, while groups II, III, and IV as tested group were given Rosella flower calyx boiling water at dosages 2 gr/300 ml, 4 gr/150 ml, and 6 gr/100 ml, respectively. Group V (paracetamol 6.3 mg/100 gr BW) as positive control. The temperature measurement was done in the beginning of research, 2 hours after induction, and every next 30 minutes up to minute-180 after treatment. The result of research was analyzed using Anova test followed by post hoc test.
Result: Data analysis using Anova test shows significant difference (p<0.05) among the treatment groups. The result of analysis using post hoc shows significant difference between the positive control groups and the tested group.
Conclusion: Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower calyx boiling water shows antipyretic effect on male white rate, but not equivalent yet with paracetamol.
commit to user
vi
PRAKATA
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Efek Antipiretik Air Rebusan Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus).
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. A.A. Subiyanto, M.S. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dr. Muchsin Doewes, dr., MARS selaku Pembimbing Utama yang telah memberi bimbingan, saran, dan petunjuk guna penyusunan skripsi ini.
3. Vicky Eko, dr., MSc., SpTHT-KL selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberi bimbingan dan saran.
4. Nur Hafidha H., dr., MClinEpid selaku Penguji Utama yang telah memberi saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Novi Primadewi, dr., SpTHT-KL selaku Anggota Penguji yang telah memberi masukan demi kesempurnaan skripsi ini.
6. Muthmainah, dr, MKes. selaku Ketua Tim Skripsi FK UNS beserta staf yang telah memberi pengarahan.
7. Papa Harry Susanto, mama Syenny, mbak Eka Ayu Tantri, dan sepupu Iwan Hidayat, yang telah memberikan semangat hingga selesainya skripsi ini. 8. Venny Yulianti Gana yang telah memberikan semangat dan semua dukungan
moril serta materil dari awal hingga akhir.
9. Jati, Ando, Mas Hanif, Afifah Nur R, Aldila Ayudia, dan teman-teman angkatan 2007.
10. Pihak Laboratorium Farmasi Universitas Setiabudi Surakarta, yang telah memberi bantuan dalam penelitian ini.
11. Semua pihak lainnya yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, pendapat, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.
Surakarta, Desember 2010
commit to user
vii
DAFTAR ISI
halaman
PRAKATA ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 3
D. Manfaat Penelitian ... 3
BAB II LANDASAN TEORI ... 4
A. Tinjauan Pustaka ... 4
1. Demam ... 4
2. Vaksin DPT ... 8
3. Parasetamol... 10
4. Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) ... 12
5. Air Rebusan ... 17
B. Kerangka Pemikiran ... 18
commit to user
viii
BAB III METODE PENELITIAN ... 20
A. Jenis dan Desain Penelitian ... 20
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20
C. Subjek Penelitian... 20
D. Teknik Sampling ... 21
E. Identifikasi Variabel Penelitian ... 21
F. Definisi Operasional Variabel ... 22
G. Instrumentasi dan Bahan Penelitian ... 23
H. Rancangan Penelitian ... 24
I. Cara Kerja ... 25
J. Teknik Analisis Data ... 30
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 31
A. Hasil Penelitian ... 31
B. Analisis Data ... 35
BAB V PEMBAHASAN ... 43
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 47
A. Simpulan ... 47
B. Saran... 47
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
ix
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 1 Hasil Pengukuran Suhu Rektal Tikus Sebelum dan
Setelah Perlakuan... 31
Tabel 2 Rata-Rata Penurunan Suhu Rektal Tikus (Dt) Setelah Perlakuan ... 33
Tabel 3 Rata-Rata Penurunan Suhu Selama Enam Kali Pengukuran ... 34
Tabel 4 Hasil Uji Homogenitas Varians... 35
Tabel 5 Hasil Uji Normalitas Shapiro-Wilk Test ... 35
Tabel 6 Hasil Uji Anova ... 37
commit to user
x
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 1 Biosintesis Prostaglandin dan Patofisiologi Demam ... 8
Gambar 2 Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) ... 13
Gambar 3 Kerangka Pemikiran ... 18
Gambar 4 Rancangan Penelitian ... 24
commit to user
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari FKUNS
Lampiran 2. Bukti Penelitian
Lampiran 3. Data Hasil Penelitian
Lampiran 4. Data Penurunan Suhu Rektal Tikus Putih
Lampiran 5. Hasil Analisis Data
Lampiran 6. Daftar Volume Maksimal Bahan Uji pada Pemberian Secara Oral
Lampiran 7. Tabel Konversi Dosis untuk Manusia dan Hewan
Lampiran 8. Ethical Clearence
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Sebagai negara yang beriklim tropis, Indonesia dikenal kaya akan
keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati itu di antaranya berupa
tumbuh-tumbuhan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai
keperluan, antara lain dapat digunakan sebagai sumber pangan, papan, dan
obat-obatan (Sumantera, 2004). Sudah sejak zaman dahulu masyarakat
Indonesia mengenal dan memakai tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu
upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan (Wijayakusuma, 2004).
Dalam perkembangannya, obat tradisional kalah bersaing dengan obat sintetis
yang dalam waktu singkat sudah terasa khasiatnya (Mahendra, 2004). Namun
krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan harga obat sintetis semakin
mahal, selain itu mulai banyak ditemukan efek samping dari obat sintetis. Oleh
karenanya masyarakat kembali menggunakan obat tradisional karena terbukti
lebih aman, lebih terjangkau, dan khasiatnya tidak kalah dari obat sintetis
(Salsabila, 2005).
Salah satu tanaman obat tradisional yang sudah mulai dikenal dan
digunakan khasiatnya secara empiris adalah obat tradisional yang berkhasiat
untuk penurun panas atau antipiretik. Hal ini ditunjukkan dengan persentase
commit to user
30% dari keseluruhan penggunaan obat tradisional (Kustyawati dan Ramli,
2008).
Demam merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang harus segera
diatasi karena dapat menimbulkan efek lain yang berbahaya. Dan untuk
mengatasi demam diperlukan obat antipiretik yang aman. Dari data empiris,
berbagai macam tanaman obat dapat dipergunakan sebagai antipiretik yang
aman, salah satunya adalah bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) (Handayani,
2001).
Bunga Rosella mempunyai habitat asli di daerah yang terbentang dari
India hingga Malaysia (Fasoyiro et al., 2008). Penggunaan Rosella kini telah
berkembang di masyarakat. Rosella memiliki beberapa aplikasi pengobatan,
antara lain adalah antihipertensi, antioksidan, berguna untuk menurunkan
kekentalan darah, dan menstimulasi gerakan usus. Rebusan kelopak bunga
Rosella dapat digunakan untuk mengurangi batuk, sebagai peluruh untuk batu
ginjal, dan dapat menghambat inflamasi akut (Maryani dan Lusi, 2008).
Dalam penapisan fitokimia pada kelopak bunga Rosella menunjukkan
adanya golongan senyawa flavonoid, tanin galat, dan triterpenoid (Paulina,
2008). Flavonoid yang terkandung dalam Rosella mempunyai efek yang
bermacam-macam. Flavonoid dapat menghambat kerja enzim siklooksigenase
(Trevor, 1995). Enzim ini berperan dalam metabolisme asam arakhidonat, yang
merupakan jalur utama pembentukan prekursor demam yaitu prostaglandin.
Selain itu, flavonoid yang terkandung dalam Rosella memiliki kemiripan
commit to user
mempunyai cincin benzena dalam strukturnya (Trevor, 1995). Berdasarkan hal
tersebut, flavonoid pada kelopak bunga Rosella diharapkan mempunyai efek
sebagai antipiretik.
Penelitian dan riset mengenai efek antipiretik air rebusan kelopak bunga
Rosella belum pernah dilakukan sebelumnya, oleh karena itu penulis mencoba
melakukan penelitian untuk mengetahui efek antipiretik air rebusan kelopak
bunga Rosella dengan menggunakan tikus putih sebagai hewan percobaan.
B.Rumusan Masalah
Adakah efek antipiretik air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus
sabdariffa L.) pada tikus putih (Rattus norvegicus)?
C.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah efek antipiretik air
rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) pada tikus putih
(Rattus norvegicus).
D.Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah mengenai efek antipiretik
air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) pada tikus putih
(Rattus norvegicus).
2. Manfaat aplikatif
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar penelitian uji klinis dan
commit to user
lanjut sebagai upaya dalam memanfaatkan kelopak bunga Rosella (Hibiscus
commit to user BAB II
LANDASAN TEORI
A.Tinjauan Pustaka
1. Demam
a. Termoregulasi
Termoregulasi adalah proses fisiologis yang merupakan kegiatan
integrasi dan koordinasi yang digunakan secara aktif untuk
mempertahankan suhu tubuh optimal agar berlangsung proses fisiologis
dan metabolisme di dalam tubuh (Myers, 1984). Untuk menjaga
keseimbangan suhu tubuh, manusia memiliki pusat pengatur suhu tubuh
yang terletak di bagian otak yang disebut hipotalamus. Area utama dalam
otak yang mempengaruhi pengaturan suhu tubuh terdiri dari nucleus
preoptik dan nucleus hipotalamik anterior hipotalamus (Guyton dan Hall,
2007).
Hipotalamus dapat diumpamakan sebagai termostat tubuh yang
menjaga dan memelihara temperatur pusat (suhu dalam bagian tubuh dan
dalam kepala) tetap pada ambang rata-rata 37°C walaupun terjadi
penerimaan dan pengeluaran panas (Mutschler, 2001). Semua mekanisme
pengaturan bekerja terus menerus untuk mengembalikan temperatur
tubuh ke tingkat set point, tingkat temperatur kritis (Guyton dan Hall,
2007).
commit to user
Stimulasi pada pusat penurunan panas mengaktivasi mekanisme
penurunan temperatur seperti vasodilatasi, berkeringat, atau
terengah-engah, sedangkan stimulasi pada pusat peningkatan suhu menyebabkan
vasokontriksi dan menggigil (Landau, 1980).
b. Mekanisme dan Penyebab Demam
Pengukuran suhu normal pada banyak orang memperlihatkan
rentang, mulai kurang dari 36°C sampai lebih dari 37°C. Namun, suhu
normal rata-rata secara umum adalah 36,7°C-37°C bila diukur peroral.
Bila diukur perektal, nilainya kira-kira 0,3-0,5°C lebih tinggi daripada
peroral (Guyton dan Hall, 2007).
Demam adalah gejala yang sering dijumpai saat di dalam tubuh
terdapat penyakit dan termasuk salah satu mekanisme pertahanan (respon
imun) terhadap infeksi atau zat asing yang masuk ke dalam tubuh
(Nurhamzah, 2005). Demam juga merupakan pengaturan kembali suhu
inti tubuh menjadi lebih tinggi dari tingkat fisiologik rata-rata (37°C)
sebagai respon terhadap pirogen endogen, ditegakkan bila suhu oral lebih
dari 37,5°C dan suhu rektal lebih dari 38°C (Gleadle, 2007).
Demam timbul sebagai akibat stimulasi pusat termoregulasi di
dalam hipotalamus oleh pirogen endogen yang ada di dalam darah yang
disintesis oleh leukosit polimorfonuklear, monosit, dan sel-sel makrofag
jaringan (Murray et al., 2003).
Pelepasan pirogen endogen oleh sel fagosit, timbul akibat adanya
commit to user
virus, produk dari kuman misalnya eksotoksin dan endotoksin, jamur
patogen, kompleks imun, dan beberapa bahan non organik (Mangatas et
al., 2007).
Dalam hipotalamus, pirogen endogen identik dengan Interleukin-1
(IL-1), Interleukin-6 (IL-6), dan TNF (Tumor Necrosing Factor) yang
merangsang pelepasan asam arakhidonat (hasil biosintesis fosfolipid
yang diperantai oleh enzim fosfolipase). Asam arakhidonat selanjutnya
diubah menjadi prostaglandin karena peran dari enzim siklooksigenase
(COX, atau disebut juga PGH sintase) (Murray et al., 2003). Ada dua
bentuk (isoform) enzim siklooksigenase, yaitu siklooksigenase-1
(COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Kedua isoform memiliki regulasi dan
distribusinya pada jaringan yang berbeda. COX-1 merupakan enzim
konstitutif yang mengkatalisis pembentukan prostanoid regulatoris pada
berbagai jaringan, terutama pada selaput lendir traktus gastrointestinal,
platelet, ginjal, dan epitel pembuluh darah. Sedangkan COX-2 tidak
konstitutif tetapi dapat diinduksi, antara lain bila ada stimuli radang,
mitogenesis atau onkogenesis. Dalam hal ini, COX-1 mengkatalisis
pembentukan prostaglandin yang bertanggung jawab menjalankan
fungsi-fungsi regulasi fisiologis, sedangkan COX-2 mengkatalisis
pembentukan prostaglandin yang menyebabkan radang(Davey, 2005).
Prostaglandin yang disintesis melalui COX-2 inilah yang akan
menstimulasi hipotalamus anterior (meningkatkan suhu tubuh), nukleus
commit to user
(merangsang vasokontriksi pembuluh darah tepi dan kelenjar keringat)
sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran
panas yang akhirnya menimbulkan demam (Muntholib dan Santoso,
2001).
2. Vaksin DPT
Ada 2 macam vaksin DPT (Difteri-Pertusis-Tetanus) yaitu DPaT dan
DPT selular. Vaksin DPaT merupakan vaksin yang menggunakan aselular
pertusis dalam salah satu komponennya. Vaksin DPaT tidak menimbulkan
reaksi reaktogenitas dan meminimalisasi efek samping imunisasi pada anak.
Vaksin DPaT juga sangat bermanfaat untuk anak dengan riwayat kejang,
demam dan kelainan saraf. Bahkan, jenis vaksin baru ini juga tidak
menyebabkan demam yang dapat memprovokasi terjadinya kejang.
Vaksin DPT selular merupakan vaksin yang menggunakan komponen
selular pertusis utuh sebagai salah satu komponennya, sehingga hal ini dapat
menyebabkan reaktogenitas (proses terjadinya reaksi lokal dan sistemik)
sehingga dapat menimbulkan demam. Vaksin DPT seluler digunakan
sebagai bahan pirogen (Hartono, 1992).
Pada penelitian, pemberian vaksin pada tikus dilakukan secara
intramuskuler (Hartono, 1992). Dosis vaksin DPT yang akan diberikan
ditentukan berdasarkan orientasi dosis, yaitu dosis yang mulai menimbulkan
commit to user
Gambar 1. Biosintesis Prostaglandin dan Patofisiologi Demam (Wilmana, 2003; Murray et al., 2003)
Asam Arakhidonat
Hidroperoksida Endoperoksida
Hipotalamus Anterior
Peningkatan titik termoregulasi/set point
Demam Fosfolipid Pirogen eksogen
(toksin,agen infeksius)
Pirogen endogen - IL-1
- Faktor Nekrosis Tumor - Interferon Gamma - IL-6
Prostaglandin Tromboksan A2 Prostasiklin
Leukotrien
Enzim Siklooksigenase Enzim
Lipoksigenase
commit to user 3. Parasetamol
Parasetamol atau asetaminofen merupakan analgetik antipiretik yang
populer dan banyak digunakan di Indonesia dalam bentuk sediaan tunggal
maupun kombinasi (Siswandono, 1995). Di Indonesia, parasetamol tersedia
sebagai obat bebas. Parasetamol merupakan metabolit fenasetin yang
mempunyai efek antipiretik yang sama. Dalam dosis yang sama,
parasetamol mempuyai efek analgesi dan antipiretik sebanding dengan
aspirin, namun efek antiinflamasinya sangat lemah (Katzung, 2002). Pada
umumnya parasetamol dianggap sebagai zat antinyeri yang paling aman,
juga untuk swamedikasi (Tjay dan Rahardja, 2002).
a. Farmakokinetik
Asetaminofen atau parasetamol diberikan secara oral. Konsentrasi
darah puncak tercapai dalam 60-90 menit. Parasetamol berikatan dengan
protein plasma dan akan berdifusi cepat hampir ke semua jaringan
kemudian terkonsentrasi dalam hepar. Hepar mengkonjugasikan sebagian
besar parasetamol dengan asam glukoronat, asam sulfat, dan sistein
menjadi bentuk yang inaktif (Ganiswara, 2003). Kurang dari 5%
parasetamol dieksresikan dalam keadaan tidak berubah. Waktu paruh
parasetamol adalah 2-3 jam dan relatif tidak terpengaruh oleh fungsi
ginjal (Katzung, 2002). Parasetamol yang diekskresikan melalui ginjal,
dapat mengalami hidroksilasi menghasilkan metabolit yang
menyebabkan terbentuknya methemoglonin dan hemolisis eritrosit
commit to user
b. Farmakodinamik
Efek analgesik dan antipiretik parasetamol serupa dengan aspirin
karena kemiripan strukturnya. Efek analgesik dan antipiretik parasetamol
diperantarai oleh rangsangan terhadap pusat pengatur panas di
hipotalamus yang bekerja dengan dua proses: 1) efek sentral, yaitu
dengan menghambat siklus COX-2 sehingga tidak terjadi pembentukan
prostaglandin dari asam arakidonat, prostaglandin tidak akan merangsang
lagi termostat untuk menaikkan suhu tubuh. 2) efek perifer, saraf
simpatis di kulit bekerja mengaktifkan reseptor-reseptor panas di kulit
sehingga terjadi vasodilatasi perifer. Efek anti inflamasi parasetamol
lemah karena hanya menghambat COX secara tidak langsung sehingga
tidak menghambat produksi tromboksan yang berperan dalam agregasi
trombosit. Aktivitas penghambatan COX ini tidak efektif jika ada
peroksida oleh karena parasetamol bekerja efektif menghambat COX di
sistem saraf pusat dan sel endotel tetapi tidak efektif di sel imunitas dan
trombosit yang memiliki tingkat peroksida yang tinggi.
c. Efek Samping
Reaksi alergi terhadap parasetamol jarang terjadi, manifestasinya
berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam
dan lesi pada mukosa. Pada penggunaan kronis dari 3-4 gram sehari
dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis di atas 6 gram mengakibatkan
commit to user
d. Dosis
Menurut Ganiswara (2003), parasetamol tersedia sebagai obat
tunggal berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg/ 5
ml dapat diberikan sesuai dosis untuk :
1. Dewasa : 300 mg-1gr, dosis maksimum 4gr/hari
2. Anak (6-12th) : 150-300 mg, dosis maksimum 1,2gr/hari
3. Anak (1-6 th) : 60-120 mg, dosis maksimum 6gr/hari
4. Anak (<1 th) : 60 mg, dosis maksimum 6gr/hari
4. Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
a. Klasifikasi
Menurut Nelistya dan Poppy (2009), klasifikasi Rosella adalah
sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Malvales
Suku : Malvaceae
Marga : Hibiscus
Jenis : Hibiscus sabdariffa
b. Nama Lain
Menurut Maryani dan Lusi (2008), Rosella memiliki beberapa
commit to user
Indonesia : frambozen, merambos hijau (Jawa Tengah), garnet
malonda (Jawa Barat), kesew jawe (Sumatera Selatan),
asam jarot (Sumatera Barat), kasturi roriha (Maluku)
Malaysia : asam susur, asam paya
Thailand : kachieb priew
Jepang : kezeru
Afrika Utara : carcadé
Belanda : zuring
Inggris : roselle, sorrel, queensland jelly plant, lemon bush
Prancis : oseille rouge, oseille de guinée
Spanyol : quimbombó chino, sereni, rosa de jamaica, agria
Portugis : vinagreira, azeda de guiné, quiabeiro azédo
c. Deskripsi
Rosella dapat tumbuh dengan baik di derah beriklim tropis dan sub
tropis (Fasoyiro et al., 2008). Tanaman Rosella berupa semak yang
berdiri tegak dengan tinggi 0,5-5 meter. Batangnya bulat, tegak, berkayu
dan berwarna merah. Daunnya tunggal, berbentuk bulat telur,
pertulangan menjari, ujung tumpul, tepi bergerigi dan pangkal berlekuk.
Panjang daun 6-15 cm dan lebarnya 5-8 cm. Bunga Rosella merupakan
bunga tunggal yang keluar dari ketiak daun, artinya pada setiap tangkai
hanya terdapat satu bunga. Bunga ini mempunyai 8-11 helai kelopak
yang berbulu, panjangnya 1 cm, pangkalnya saling berlekatan, dan
commit to user
menguncup indah dan dibentuk dari 5 helai daun kelopak. Kelopak ini
sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan minuman (Fasoyiro et
al., 2008; Maryani dan Lusi, 2008).
Mahkota bunga berbentuk corong yang tersusun dari 5 helai daun
mahkota dengan panjang 3-5 cm. Tangkai sari yang merupakan tempat
melekatnya kumpulan benang sari berukuran pendek dan tebal. Putiknya
berbentuk tabung, berwarna kuning atau merah. Buahnya berbentuk
kotak kerucut, berambut, terbagi menjadi 5 ruang, berwarna merah.
Bentuk biji menyerupai ginjal, berbulu, dengan panjang 5 mm dan lebar
4 mm (Maryani dan Lusi, 2008; Nelistya dan Poppy, 2009).
Kelopak bunga Rosella yang masih segar dipanen saat biji sudah
masak. Kelopak dipisahkan dari bijinya dengan bantuan alat menyerupai
pisau. Jika tidak digunakan dalam bentuk segar, kelopak Rosella yang
sudah dipanen sebaiknya segera dikeringkan. Rosella bisa dikeringkan
dengan matahari langsung, dengan cara disebarkan secara merata di atas
commit to user
tanah dengan dilapisi selembar plastik. Kelopak yang kering harus segera
diangkat. Jika penjemuran tidak segera dihentikan, kelopak Rosella akan
berwarna kecoklatan dan saat diolah akan menghasilkan warna yang
kurang menarik. Sebelum proses pengeringan, Rosella dipotong-potong
terlebih dahulu agar proses pengeringan dapat berjalan lebih cepat.
Pemotongan kelopak ini terutama penting untuk Rosella yang
dikonsumsi sebagai teh yang langsung diseduh atau direbus dengan air
panas (Fasoyiro et al., 2008).
d. Bagian Tanaman yang Digunakan
Bagian yang digunakan adalah buah, kelopak bunga, mahkota
bunga, dan daunnya (Essa et al., 2005).
e. Kandungan Kimia
Kelopak bunga Rosella mengandung berbagai jenis vitamin, yaitu
vitamin A, C, D, B1 dan B2. Selain itu kelopak bunga Rosella juga
mengandung campuran asam sitrat dan asam malat 13%, serta
anthocyanin 2% dan juga dalam penapisan fitokimia menunjukkan
adanya golongan senyawa flavonoid, tanin galat, dan triterpenoid
(Paulina, 2008). Sebagaimana tumbuhan herbal lainnya, Rosella
mengandung kumpulan fenol dan bioflavonoid (Essa et al., 2005).
f. Efek Farmakologis
Kelopak bunga yang direbus dengan air diakui sebagai peluruh
kencing dan merangsang keluarnya empedu dari hati. Selain itu rebusan
commit to user
Rosella juga dapat menurunkan tekanan darah, mengurangi kekentalan
darah, dan meningkatkan peristalik usus (Nelistya dan Poppy, 2009).
Selain itu, ekstrak air Rosella ditemukan efektif terhadap cacing
Ascaris gallinarum yang menyerang unggas. Ekstrak air dan zat warna
Rosella juga mempunyai efek letal terhadap Mycobacterium tuberculosis
yang merupakan penyebab TBC (Yadong et al., 2005).
Bunga Rosella kaya akan serat yang bermanfaat untuk kesehatan
saluran pencernaan (Kustyawati dan Ramli, 2008). Selain itu, kandungan
antioksidan yang terdapat dalam Rosella lebih banyak dibandingkan
dengan kandungan antioksidan pada kumis kucing, yaitu sebesar 1,7
mmol/prolok (Fasoyiro et al., 2008). Dengan adanya antioksidan, sel-sel
radikal bebas yang merusak inti sel dapat dihilangkan sehingga Rosella
mempunyai efek antikanker.
g. Efek Samping
Belum pernah dilaporkan efek samping yang serius akibat
konsumsi kelopak Rosella selain jantung berdebar (Yadong et al., 2005).
h. Komponen Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) yang
Berpotensi Sebagai Antipiretik
Komponen kelopak bunga Rosella yang mempunyai potensi
sebagai antipiretik adalah flavonoid. Flavonoid merupakan golongan
terbesar senyawa fenol terbesar di alam. Senyawa ini juga memiliki
kemiripan struktur dengan parasetamol yaitu memiliki cincin aromatik
commit to user
Efek flavonoid terhadap berbagai organisme banyak macamnya
dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid
dapat dipakai sebagai obat tradisional. Flavonoid dapat menghambat
aldoreduktase, monoaminoksidase, proteinkinase, DNA polimerase, dan
siklooksigenase.
Penghambatan pada enzim siklooksigenase terutama enzim
siklooksigenase-2 (COX-2) dapat menimbulkan pengaruh lebih luas
karena reaksi siklooksigenase merupakan langkah pertama pada jalur
yang menuju hormon eikosanoid yang merupakan zat aktif biologik yang
berasal dari asam arakhidonat seperti prostaglandin dan tromboksan.
Penghambatan pada prostaglandin akan menurunkan titik termostat tubuh
dan dapat menurunkan demam (Trevor, 1995).
5. Air rebusan
Kelopak kering yang digunakan kurang menghasilkan warna dan rasa
yang tajam jika hanya diseduh. Cara yang paling tepat adalah dengan
merebusnya menggunakan api dan lebih efektif menggunakan uap agar zat
aktif yang terkandung dalam kelopak bunga Rosella tidak rusak. Mula-mula,
kelopak bunga Rosella kering direbus dengan api kecil atau uap dengan
suhu berkisar 70-80oC hingga warna bunga memudar. Setelah itu, air
rebusan disaring dan siap dikonsumsi (Fasoyiro et al., 2008). Cara ini lebih
praktis dan lebih mudah dilakukan di kalangan masyarakat dibandingkan
commit to user
Rebusan digunakan atas orientasi bahwa zat flavonoid yang berefek
antipiretik terutama larut dalam air dan cukup stabil pada pemanasan pada
suhu 70-80oC (Harborne, 1996).
B.Kerangka Pemikiran
Hambat enzim siklooksigenase Tikus putih (Rattusnorvegicus)
Air rebusan kelopak bunga Rosella
Pemberian vaksin DPT 0,2 cc i.m
Flavonoid
Demam Parasetamol
Hambat enzim siklooksigenase
Hambat biosintesis PG2
Efek antipiretik
Penurunan suhu
Mekanisme feedback
dari hipotalamus
commit to user C.Hipotesis
Terdapat efek antipiretik air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus
commit to user BAB III
METODE PENELITIAN
A.Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat experimental laboratorium dengan menggunakan
desain penelitian Pretest and Posttest Control Group Design.
B.Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmasi di Universitas Setia
Budi Surakarta pada tanggal 28 September 2010 hingga 5 Oktober 2010.
C.Subjek Penelitian
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Wistar. Dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut :
1. Kriteria inklusi :
a. Berumur ± 3 bulan
b. Berat badan 100-180 g
c. Jenis kelamin jantan
d. Suhu rektal ± 36oC
2. Kriteria eksklusi : cacat fisik
Sampel dibagi dalam 5 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari
5 ekor tikus putih yang dipilih secara acak. Jumlah tikus putih tiap kelompok
ditentukan dengan rumus Federer, di mana (t) adalah jumlah kelompok dan (n)
adalah jumlah sampel dalam tiap kelompok (Purawisastra, 2001).
commit to user
(n-1)(t-1) > 15
(n-1)(5-1) > 15
4n-4 > 15
4n > 19
n > 4,75
Jadi, jumlah tikus putih minimal dalam tiap kelompok adalah 5 ekor (n > 4,75).
D.Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive random sampling.
E.Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus
sabdariffa L.)
2. Variabel terikat : Penurunan suhu
3. Variabel luar
a. Dapat dikendalikan : jenis makanan, variasi genetik, jenis kelamin,
umur, berat badan tikus, suhu udara dan
aktivitas gerak
b. Tidak dapat dikendalikan : sensitivitas terhadap zat yang diberikan,
keadaan lambung tikus putih, absorbsi zat
dan obat pada saluran pencernaan tikus putih,
dan adanya stres terhadap adaptasi
commit to user F. Definisi Operasional Variabel
1. Air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
Air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) adalah
sediaan yang mengandung campuran komponen metabolit aktif dari kelopak
bunga Rosella, diperoleh dengan mengambil 2 gram kelopak bunga Rosella
kering yang dimasukkan dengan air 300 ml kemudian direbus dengan uap
70-800C sampai air rebusan berwarna merah tua. Air rebusan disaring
kemudian didinginkan dan disimpan di tempat yang sejuk. Rebusan dibagi
menurut kelompok dosis 1, dosis 2, dan dosis 3. Pembagian rebusan rosella
menggunakan dosis berdasar alat ukur volume cairan, yaitu gelas ukur
dengan satuan mL. Pemberian rebusan pada tikus putih dilakukan secara
peroral memakai spuit pencekok oral 1 ml dan dosis disesuaikan dengan
berat badan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal.
2. Penurunan suhu
Penurunan suhu rektal tikus putih yang dihitung setelah perlakuan pada
tiap titik waktu pengukuran dengan termometer digital dengan satuan
derajat Celcius. Efek penurunan suhu atau efek antipiretik dihitung dari nilai
rata-rata penurunan suhu rektal tikus putih yang diukur tiap 30 menit sampai
pengukuran pada menit ke-180. Skala pengukuran yang digunakan adalah
commit to user G.Instrumentasi dan Bahan Penelitian
1. Instrumentasi yang digunakan
a. Kandang hewan uji : untuk tempat mengadaptasikan hewan
percobaan.
b. Timbangan hewan : untuk mengukur berat badan tikus.
c. Spuit pencekok oral 1 ml : untuk memasukkan bahan uji ke tikus per
oral.
d. Spuit injeksi 1 ml : untuk menyuntikkan vaksin DPT 0,2 cc ke
tikus secara IM.
e. Beker glass : untuk tempat air rebusan kelopak bunga
Rosella, parasetamol, dan aquadest.
f. Termometer digital : untuk mengukur suhu rektal tikus.
g. Stopwatch : untuk mengetahui selang waktu
pengukuran suhu rektal tikus.
h. Kapas steril : untuk membersihkan termometer.
2. Bahan
a. Air rebusan kelopak bunga Rosella.
b. Vaksin DPT 0,2 cc untuk masing-masing hewan uji yang disuntikkan
intramuskuler.
c. Parasetamol dosis 6,3 mg/100 gr BB tikus sebagai kontrol positif.
d. Aquadest sebagai kontrol negatif.
commit to user
U1 : Pengukuran suhu awal rektal
V : Pemberian DPT 0,2 cc intra muskuler
U2 : Pengukuran suhu rektal 5 menit sebelum perlakuan M
M1 : Pemberian aquadest 2,5 ml tikus sebagai kontrol negatif.
M2 : Pemberian rebusan kelopak daun Rosella dosis 2 gr/300 ml
commit to user
M3 : Pemberian rebusan kelopak daun Rosella dosis 4 gr/150 ml
M4 : Pemberian rebusan kelopak daun Rosella dosis 6 gr/100 ml
M5 : Pemberian parasetamol 6,3 mg/100 gr BB tikus sebagai kontrol
positif.
U3 : Pengukuran suhu rektal setelah perlakuan dengan interval 30
menit sampai 180 menit
A : Analisis data dengan uji statistik Anova dan uji post hoc
I. Cara Kerja
1. Membuat air rebusan kelopak bunga Rosella
Air rebusan kelopak bunga Rosella merupakan hasil perebusan
kelopak bunga Rosella yang telah dikeringkan. Pembuatan sediaan rebusan
dilakukan dengan mengambil 2 gram kelopak bunga Rosella kering yang
dimasukkan ke dalam 300 ml air lalu direbus menggunakan uap dengan
suhu kurang lebih 70-80o C selama 5-10 menit sampai air rebusan berwarna
merah tua. Air rebusan disaring kemudian dibagi dalam 3 beker glass
masing-masing beker glass pertama berjumlah 50 ml, beker glass kedua
berisi 100 ml, dan beker glass ketiga berisi 150 ml. Beker glass kedua dan
ketiga masing-masing direbus kembali menggunakan uap dengan suhu
70-80oC sampai volumenya mencapai 50 ml. Kemudian ketiganya dimasukkan
dalam wadah, didinginkan, dan disimpan di tempat yang sejuk.
2. Langkah penelitian
a. Tikus putih dipuasakan selama ± 6 jam setelah diadaptasikan selama 3
commit to user
pengaruh variabel lain. Selanjutnya 25 ekor tikus dibagi menjadi 5
kelompok secara acak.
b. Untuk mengetahui suhu awal, pengukuran suhu rektal dilakukan sebelum
disuntik vaksin DPT 0,2 cc i.m ( V ).
c. Tikus disuntik vaksin DPT 0,2 cc secara i.m.
d. Untuk mengetahui berapa derajat peningkatan suhu tubuh, 2 jam setelah
penyuntikkan vaksin DPT, suhu rektal diukur kembali ( U2 )
e. Setelah dilakukan pemberian vaksin, masing-masing kelompok mendapat
perlakuan sebagai berikut :
1) Kelompok I diberi aquadest 2,5 ml sebagai kontrol negatif.
2) Kelompok II diberi rebusan rosella dosis 2 gr/300 ml.
3) Kelompok III diberi rebusan rosella dosis 4 gr/150 ml.
4) Kelompok IV diberi rebusan rosella dosis 6 gr/100 ml.
5) Kelompok V diberi parasetamol 6,3 mg/100 gr BB tikus sebagai
kontrol positif.
f. Tiga puluh menit setelah perlakuan, suhu rektal diukur lagi sampai
commit to user
Alat dan bahan disiapkan
Mengacak dan mengelompokkan tikus
Puasa selama 6 jam
Pengukuran suhu rektal awal
Penyuntikkan 0,2 cc i.m vaksin DPT
Pengukuran suhu rektal 2 jam setelah pemberian 0,2 cc i.m vaksin DPT, 5 menit sebelum
perlakuan
Pemberian perlakuan sesuai kelompok tikus setelah pemberian vaksin.
Kelompok I diberi aquadest 2,5 ml sebagai kontrol negatif.
Kelompok II diberi rebusan Rosella dosis 2 gr/300 ml
Kelompok III diberi rebusan Rosella dosis 4 gr/150 ml
Kelompok IV diberi rebusan Rosella dosis 6 gr/100 ml
Kelompok V diberi parasetamol 6,3 mg/100 gr BB tikus sebagai kontrol positif
Pengukuran suhu rektal tikus 30 menit setelah perlakuan, diulangi setiap 30 menit sampai
commit to user
3. Penentuan dosis
a. Penentuan dosis parasetamol
Dosis parasetamol yang dikonsumsi orang dewasa pada umumnya
adalah sebesar 500 mg (Wilmana, 2003). Menurut Donatus dan Nurlaila
(1986) dalam tabel konversi perhitungan dosis untuk berbagai macam
hewan dan manusia, nilai konversi untuk manusia dengan BB 70 kg dan
tikus dengan BB 200 gr adalah sebesar 0,018. Adapun BB rata-rata untuk
orang Indonesia adalah 50 kg, maka dapat dihitung besarnya dosis
parasetamol yang akan diberikan pada tikus, yaitu :
x 0,018 x 500 mg = 12,6 mg/200 gr BB
= 6,3 mg/100 gr BB
b. Penentuan dosis air rebusan Rosella
Penentuan dosis dihitung dengan menggunakan rumus kelarutan
zat aktif dalam suatu larutan yaitu :
M1 . V1 = M2 . V2
M1 : kelarutan zak aktif awal
M2 : kelarutan zat aktif akhir
V1 : volume zat awal
V2 : volume akhir
Dosis I didapat dari penggunaan secara empiris air rebusan Rosella
pada manusia yaitu 2 gr/300 ml air. Dosis II didapat dari perhitungan 2
kali kelarutan awal, sebagai berikut : 70
commit to user
Jadi, dosis II didapat 4 gr/150 ml. Dosis III didapat dari perhitungan 3
kali kelarutan awal, sebagai berikut :
Jadi, dosis III didapat 6 gr/100 ml. Dari perhitungan di atas didapat :
· Dosis I (kelarutan zat aktif awal) = 2 gr/300 ml
· Dosis II (2 kali kelarutan zat aktif awal) = 4 gr/150 ml
· Dosis III (3 kali kelarutan zat aktif awal) = 6 gr/100 ml
Volume cairan maksimal yang dapat diberikan per oral pada tikus
adalah 5 ml/100 gr BB. Faktor konversi dosis untuk manusia dengan
berat badan 70 kg pada tikus dengan berat badan 200 gr adalah 0,018
(Ngatidjan, 1991). Dosis perlakuan didapat dari penggunaan secara
empiris air rebusan Rosella pada manusia, yaitu 300 ml (Nelistya dan
Poppy, 2009), sehingga dosis air rebusan Rosella pada tikus adalah :
commit to user
c. Penentuan dosis aquadest
Volume cairan maksimal yang dapat diberikan pada tikus putih
adalah 5 ml (Donatus dan Nurlaila, 1986). Disarankan takaran dosis
tidak sampai melebihi setengah kali volume maksimalnya. Volume
maksimal tikus = 5 ml. Setengah dosis maksimal = 2.5 ml.
J. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji Anova dan apabila
terdapat perbedaan yang bermakna maka dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Uji
Anova digunakan untuk membandingkan mean dua kelompok atau lebih
berbeda secara nyata, dengan asumsi bahwa kelompok yang dianalisis
memiliki varians yang sama. Uji post hoc adalah uji yang digunakan untuk
mengamati lebih lanjut perbedaan mean kelompok-kelompok tersebut
(Trihendradi, 2005). Prosedur yang digunakan dalam analisis Post Hoc Test
adalah Least Significant Difference (LSD). Derajat kemaknaan yang digunakan
α = 0,05. Data diolah dengan program SPSS (Statistical Product and Service
Solution ) 17(Murti, 2003). 200
Keterangan :
a = berat badan tikus
commit to user BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.Hasil Penelitian
Hasil penelitian mengenai efek antipiretik air rebusan kelopak bunga
Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) pada tikus putih adalah :
Tabel 1. Hasil Pengukuran Suhu Rektal Tikus Sebelum dan Setelah Perlakuan
Kelompok Perlakuan
PENURUNAN SUHU REKTAL TIKUS PUTIH ( Celcius) Sebelum
( Aquadest ) 36,46±0,18 38,04±0,17 38,34±0,27 38,54±0,22 38,84±0,19 38,62±0,36 38,58±0,24 38,74±0,4 K2
( Dosis I ) 36,8±0,29 38,06±0,4 38,5±0,21 38,2±0,29 37,88±0,4 37,64±0,35 37,44±0,38 37,38±0,43 K3
( Dosis II ) 36,66±0,21 38,06±0,28 38,04±0,11 37,74±0,27 37,36±0,33 37,44±0,29 37,44±0,42 37,44±0,43 K4
( Dosis III ) 37,02±0,37 38,32±0,23 38,36±0,64 37,94±0,26 37,62±0,16 37,66±0,3 37,42±0,24 37,26±0,15 K5
(Parasetamol) 36,64±0,34 38,5±0,16 38,3±0,07 37,86±0,36 37,42±0,24 37,3±0,29 37,2±0,32 37±0,35
Keterangan: Sumber : data primer, 2010
commit to user
U1 : Suhu rektal pada awal penelitian
U2 : Suhu rektal pada 2 jam setelah penyuntikan vaksin DPT
SD : Standar Deviasi
Hasil pengukuran rata-rata suhu rektal tikus sesudah perlakuan yang ada
dalam tabel 1 digambarkan lebih jelas perbedaannya dalam gambar 5.
Gambar 5. Grafik Rata – Rata Suhu Rektal Tikus pada Beberapa Titik Waktu
Rata-rata suhu rektal pada kelompok parasetamol, dosis I, dosis II, dan
dosis III pada beberapa titik waktu menunjukkan penurunan suhu yang lebih
besar dibandingkan dengan kelompok aquadest.
Pada kelompok kontrol negatif (aquadest) dari hasil penelitian
commit to user
perlakuan yang dimulai dari menit ke-30 sampai menit ke-90, kemudian
mengalami penurunan pada menit ke-120 dan kembali meningkat hingga menit
ke-180.
Pada kelompok dosis I (2 gr/300 mL) dari hasil penelitian didapatkan
bahwa terjadi penurunan suhu rata-rata rektal tikus putih setelah perlakuan
dimulai dari menit ke-30 sampai menit ke-150, kemudian mengalami sedikit
peningkatan hingga menit ke-180.
Pada kelompok dosis II (4 gr/150 mL) dari hasil penelitian didapatkan
bahwa terjadi penurunan suhu rata-rata rektal tikus putih setelah perlakuan
dimulai dari menit ke-30 sampai menit ke-90, kemudian pada menit ke-120
mengalami sedikit peningkatan hingga menit ke-180.
Pada kelompok dosis III (6 gr/100 mL) dari hasil penelitian didapatkan
bahwa terjadi penurunan suhu rata-rata rektal tikus putih setelah perlakuan
dimulai dari menit ke-30 sampai menit ke-90, kemudian mengalami sedikit
peningkatan hingga pada menit 120 dan kembali menurun hingga menit
ke-180.
Pada kelompok parasetamol (6,3 mg/100 gr BB tikus) dari hasil
penelitian didapatkan bahwa terjadi penurunan suhu rata-rata rektal tikus
setelah perlakuan dimulai dari menit ke-30 sampai menit ke-180.
Ada tidaknya penurunan suhu diketahui dengan menghitung Dt yang
merupakan selisih suhu setelah pemberian perlakuan pada titik waktu tertentu
commit to user
Tabel 2. Rata-Rata Penurunan Suhu Rektal Tikus (Dt) Setelah Perlakuan
Kelompok
enam kali pengukuran pada tabel 4 berikut ini :
Tabel 3. Rata-Rata Penurunan Suhu Selama Enam Kali Pengukuran
Kelompok Perlakuan
Rata-Rata Penurunan Suhu Selama
Enam Kali Pengukuran
parasetamol (K5) memiliki efek antipiretik paling tinggi, kemudian diikuti oleh
dosis III, dosis II, dan dosis I. Kelompok aquadest memiliki efek antipiretik
commit to user B.Analisis Data
Hasil penelitian mengenai efek antipiretik air rebusan kelopak bunga
Rosella dianalisis menggunakan program SPSS 17 dengan uji statistik Anova
dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Sebelumnya, dilakukan uji normalitas
dan uji homogenitas data sebagai syarat dari uji Anova.
Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas Varians
Nilai p
Suhu awal 0,09
Suhu setelah penyuntikkan 0,588
Menit ke-30 0,123
Menit ke-60 0,082
Menit ke-90 0,157
Menit ke-120 0,192
Menit ke-150 0,091
Menit ke-180 0,109
Sumber : data primer, 2010
Dari uji homogenitas varians, didapatkan nilai signifikansi (P) Levene
Test (Test of Homogeneity of Variances) tiap-tiap kelompok adalah 0,09;
0,588; 0,123; 0,082; 0,157; 0,192; 0,091; dan 0,109. Oleh karena nilai
signifikansi (P) > 0,05 untuk semua kelompok maka varians datanya adalah
commit to user
Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Shapiro-Wilk Test
commit to user
Tabel 5 menunjukkan uji normalitas data menggunakan analisis
Shapiro-Wilk Test. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa data mengenai
suhu awal, suhu setelah penyuntikkan, dan semua data pada masing-masing
kelompok terdistribusi normal (p > 0,05)
a. Uji Anova
Uji Anova digunakan untuk menetukan apakah rata-rata kelima
kelompok perlakuan dalam penelitian ini berbeda secara nyata.
Dengan didapatkannya sebaran data yang normal dan varians data
yang homogen, maka analisis dengan uji Anova dapat dilakukan.
Tabel 6. Hasil Uji Anova
Data Penurunan Suhu
pada Titik Waktu Nilai P
Menit 30' 0,021
Menit 60' 0,001
Menit 90' 0,001
Menit 120' 0,001
Menit 150' 0,001
Menit 180' 0,001
Sumber : data primer, 2010
Dasar pengambilan keputusan dalam uji Anova adalah:
a. H0 : Rata-rata penurunan suhu dari kelima kelompok perlakuan
adalah sama.
b. H1 : Rata-rata penurunan suhu dari kelima kelompok perlakuan
adalah tidak sama.
commit to user
d. Jika nilai (P) = 0,05 atau > 0,05, maka H0 diterima.
Karena hasil dari uji Anova penelitian ini diperoleh nilai (P) <0,05
maka simpulan yang dapat diambil adalah H0 ditolak yang berarti variabel
bebas (air rebusan kelopak bunga Rosella) berkontribusi dalam memprediksi
nilai variabel terikat (suhu rektal tikus) sehingga ada perbedaan yang nyata
antara kelima kelompok perlakuan dalam penelitian ini.
Analisis kemudian dilanjutkan dengan uji post hoc untuk
membandingkan lebih lanjut perbedaan rata-rata kelima kelompok tersebut.
b. Uji Post Hoc
Analisis perbandingan dengan uji post hoc ini membandingkan
rata-rata kelima kelompok untuk mengetahui rata-rata-rata-rata pasangan yang paling
berbeda di antara pasangan yang ada. Adapun prosedur uji post hoc yang
digunakan adalah Least Significant Difference (LSD).
Tabel 7. Hasil Analisis Uji Post Hoc
commit to user
Sumber : data primer, 2010
Analisis hasil uji post hoc pada penelitian ini :
a. Menit ke-30 menunjukkan perbedaan rata-rata penurunan suhu rektal
tikus yang signifikan. Kelompok yang memiliki efek antipiretik yang
berbeda terdapat pada kelompok aquadest dengan parasetamol (0,016);
commit to user
dosis I dengan dosis II (0,025), dosis III (0,047), dan parasetamol
(0,003).
b. Menit ke-60 menunjukkan perbedaan rata-rata penurunan suhu rektal
tikus yang signifikan. Kelompok yang memiliki efek antipiretik yang
berbeda terdapat pada kelompok aquadest dengan dosis I (0,009), dosis II
(0,001), dosis III (0,001), dan parasetamol (0,001); dosis I dengan dosis
II (0,001), dosis III (0,001), dan parasetamol (0,001); dosis II dengan
parasetamol (0,019).
c. Menit ke-90 menunjukkan perbedaan rata-rata penurunan suhu rektal
tikus yang signifikan. Kelompok yang memiliki efek antipiretik yang
berbeda terdapat pada kelompok aquadest dengan dosis I (0,001), dosis II
(0,001), dosis III (0,001), dan parasetamol (0,001); dosis I dengan dosis
II (0,001), dosis III (0,001), dan parasetamol (0,001); dosis II dengan
parasetamol (0,006); dosis III dengan parasetamol (0,006).
d. Menit ke-120 menunjukkan perbedaan rata-rata penurunan suhu rektal
tikus yang signifikan. Kelompok yang memiliki efek antipiretik yang
berbeda terdapat pada kelompok aquadest dengan dosis I (0,001), dosis II
(0,001), dosis III (0,001), dan parasetamol (0,001); dosis I dengan
parasetamol (0,001); dosis II dengan parasetamol (0,002); dosis III
dengan parasetamol (0,003).
e. Menit ke-150 menunjukkan perbedaan rata-rata penurunan suhu rektal
tikus yang signifikan. Kelompok yang memiliki efek antipiretik yang
commit to user
(0,001), dosis III (0,001), dan parasetamol (0,001); dosis I dengan
parasetamol (0,001); dosis II dengan parasetamol (0,002); dosis III
dengan parasetamol (0,011).
f. Menit ke-180 menunjukkan perbedaan rata-rata penurunan suhu rektal
tikus yang signifikan. Kelompok yang memiliki efek antipiretik yang
berbeda terdapat pada kelompok aquadest dengan dosis I (0,001), dosis II
(0,001), dosis III (0,001), dan parasetamol (0,001); dosis I dengan dosis
III (0,028) dan parasetamol (0,001); dosis II dengan dosis III (0,013) dan
parasetamol (0,001); dosis III dengan parasetamol (0,013).
Hasil analisis uji post hoc yang bermakana menunjukkan perbedaan
rata-rata penurunan suhu rektal tikus yang signifikan dan adanya perbedaan
efek antipiretik antar kelompok perlakuan yang dibandingkan tersebut,
sehingga dengan melihat hasil analisis uji post hoc, maka peneliti dapat
menentukan kelompok perlakuan yang paling mempunyai efek antipiretik
commit to user BAB V
PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tikus putih jantan sebagai
sampel disebabkan tikus putih jantan mempunyai kecepatan metabolisme obat
yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibandingkan
dengan tikus putih betina. Selain itu tikus putih jantan juga tidak mengalami
siklus menstruasi, sehingga tidak terjadi ovulasi yang dapat meningkatkan suhu
tubuh ± 1oC (Sugiyanto, 1995)
Berdasarkan data-data dari penelitian yang terdapat pada Tabel 1, terlihat
adanya variasi suhu rata-rata pada setiap kelompok. Hasil pengukuran suhu rektal
setelah penginduksian vaksin DPT (U2) menunjukkan bahwa semua tikus putih
sedang dalam kondisi demam. Besarnya kenaikan suhu bervariasi untuk setiap
tikus. Tinggi rendahnya kenaikan suhu menunjukkan derajat demam yang dialami
masing-masing tikus.
Demikian pula terlihat adanya perbedaan rata-rata penurunan suhu yang
terjadi setelah pemberian perlakuan pada tiap kelompok. Masing-masing subjek
menunjukkan respon yang berbeda pada tiap kelompok terhadap perlakuan yang
sama. Menurut Mansyur (2002) dan Loomis (1978), hal ini disebabkan karena
terdapatnya variasi biologis dan respon dosis yang berbeda pada masing-masing
subjek terhadap perlakuan yang identik.
Pada penelitian efek antipiretik air rebusan kelopak bunga Rosella (Hibiscus
sabdariffa) ini, didapatkan hasil berupa penurunan suhu rektal tikus pada setiap
commit to user
waktu pengukuran yang disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 5. Tabel 2
menunjukkan bahwa onset dosis II air rebusan kelopak bunga Rosella dan
parasetamol sudah dimulai pada menit ke-30, sedangkan pada kelompok aquadest,
dosis I, dan dosis III air rebusan kelopak bunga Rosella, kemungkinan efek
pirogenik vaksin DPT masih dominan sehingga masih terjadi peningkatan suhu.
Kelompok perlakuan aquadest secara keseluruhan mengalami penurunan
suhu rektal yang paling rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain
pada setiap titik waktu, selain itu kelompok ini juga mengalami peningkatan suhu
sampai menit ke-90, sehingga dalam penelitian ini aquadest dianggap memiliki
efek antipiretik yang paling rendah dan digunakan sebagai kontrol negatif.
Hasil uji post hoc antara aquadest dengan semua kelompok perlakuan
menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05) dalam hal penurunan suhu
rektal tikus. Efek antipiretik aquadest dalam penelitian ini ada meskipun lemah
karena menurut Hunter (1978) aquadest dapat berperan dalam mengatasi dehidrasi
akibat demam. Hal inilah yang menjelaskan terjadinya penurunan suhu pada
kelompok yang diberi aquadest pada menit ke-90 sampai menit ke-150.
Pada kelompok dosis I terjadi penurunan suhu yang dimulai pada menit ke
60 hingga menit ke 180, tetapi belum efektif untuk menurunkan demam dalam
rentang suhu normal. Hal ini bisa disebabkan kemungkinan karena kurangnya
konsentrasi dosis I yang dapat berikatan dengan reseptor sehingga belum
menimbulkan efek antipiretik yang berarti.
Hasil uji post hoc antara kelompok dosis II dan dosis III menunjukkan efek
ke-commit to user
150. Namun jika dosis II dibandingkan dengan aquadest, parasetamol, dan dosis I
tampak perbedaan efek antipiretik yang cukup besar. Penurunan suhu terbesar
pada dosis II terjadi pada menit ke-90. Konsentrasi pada dosis II memiliki onset
lebih cepat bila dibandingkan dengan dosis III. Namun efek antipiretik dosis II
mulai berkurang pada menit-120 hingga menit ke-180. Hal ini, kemungkinan
disebabkan dosis II memiliki konsentrasi yang cukup untuk berikatan dengan
reseptor namun ikatan obat-reseptor tersebut lemah sehingga pada durasi yang
lebih lama ikatan obat-reseptor mudah lepas sehingga pada akhirnya efek
antipiretiknya mulai berkurang.
Kelompok dosis III menunjukkan efek antipiretik yang bermakna (p<0,05)
dibandingkan dengan kelompok aquadest, parasetamol dan dosis I, dengan
penurunan terjadi pada menit ke-60 hingga menit ke-180. Dosis III merupakan
dosis yang paling baik karena memiliki rata-rata efek antipiretik paling tinggi
dibandingkan dengan dosis I dan dosis II. Namun dosis III memiliki onset dan
durasi antipiretik lebih lama dibandingkan dengan onset dan durasi dosis II, hal
ini bisa disebabkan karena dosis III berada dalam konsentrasi terbaik untuk
berikatan dengan reseptor sehingga reseptor dapat berikatan dengan obat dalam
durasi yang lebih lama. Menurut Katzung (2002) intensitas efek obat berbanding
lurus dengan fraksi reseptor yang didudukinya atau diikatnya, dan intensitas efek
mencapai maksimal bila seluruh reseptor diduduki oleh obat.
Hasil uji post hoc kelompok parasetamol sebagai kontrol positif
menunjukkan efek antipiretik yang bermakna (p<0.05) bila dibandingkan dengan
ke-commit to user
30 hingga menit ke-180 dimana penurunan suhu optimal terjadi pada menit ke-90.
Hal ini sesuai menurut Ganiswara (2003) menunjukkan bahwa kadar puncak
parasetamol dalam plasma darah dicapai dalam waktu 60-90 menit.
Penurunan suhu rektal tikus dalam penelitian ini bervariasi meskipun
terdapat dalam satu kelompok yang sama. Hal ini menurut Ganiswara (2003)
kemungkinan disebabkan adanya faktor psikologik (stres karena tikus mendapat
perlakuan berulang-ulang), faktor lingkungan, maupun faktor endogen tikus
(sensitif terhadap zat yang diberikan, absorbsi obat, dan keadaan lambung tikus)
yang bersifat individual terhadap agen antipiretik dan agen pencetus demam.
Efek antipiretik yang terjadi pada pemberian air rebusan kelopak bunga
Rosella ini kemungkinan karena air rebusan kelopak bunga Rosella mengandung
zat aktif flavonoid. Menurut Trevor (1995), flavonoid mempunyai efek antipiretik
karena kemampuannya dalam menghambat reaksi siklooksigenase yang dapat
berpengaruh luas terhadap biosintesis prostaglandin yang merupakan mediator
pembentukan demam sehingga dapat menurunkan demam. Menurut Paulina
(2008) flavonoid juga dapat pula berfungsi sebagai antioksidan yang bekerja
commit to user BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A.Simpulan
Dari hasil penelitian mengenai efek antipiretik air rebusan kelopak bunga
Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
1. Pemberian air rebusan kelopak bunga Rosella mempunyai efek antipiretik
pada tikus putih namun belum sebanding dengan parasetamol (kontrol
positif).
2. Air rebusan kelopak bunga Rosella dosis III (6 gr/100 ml) merupakan dosis
yang paling efektif dibandingkan dengan dosis I (2gr/300 ml) dan dosis II
(4gr/150 ml).
B. Saran
Mengingat adanya keterbatasan dan kekurangan dalam penelitian ini,
maka peneliti menyarankan penelitian serupa dengan dosis yang lebih
bervariasi dan sampel yang lebih banyak. Juga pengkondisian subjek
penelitian, kontrol, dan metode yang lebih baik, sehingga dapat diperoleh data
yang lebih terperinci dan lebih dalam lagi mengenai efek antipiretik air rebusan