PADA DIVISI SPINNING PT UNITEX Tbk BOGOR
Oleh
NENNY IKA CENDRAWATI
H24103073
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Menerapkan Metode Six Sigma pada Divisi Spinning PT Unitex Tbk, Bogor. Dibawah bimbingan Heti Mulyati.
Six sigma merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memperbaiki kualitas produksi dengan konsep dasar DMAIC (Define, Measurement, Analyze, Improvement dan Control). Perbaikan dengan menggunakan six sigma diharapkan dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan kualitas produk sehingga dapat bertahan dalam persaingan. Perusahaan tekstil merupakan perusahaan yang juga harus mengendalikan kualitas produk, terutama di Bagian Spinning.Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengkaji proses produksi pada Divisi Spinning (2) Mengkaji faktor penyebab timbulnya cacat produk pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu define, measure, dan analyze, dan (3) Menetapkan solusi yang dapat diambil untuk mengurangi jumlah produk cacat pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu improvement dan control.
Penentuan responden dan sampel produk (benang) dilakukan dengan metode purposive sampling. Pada fase define ditemukan bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Divisi Spinning adalah adanya produk cacat yang tertangkap oleh mesin pada tahap finishing. Kriteria produk cacat yang tertangkap mesin tersebut adalah slub, thick dan thin. Fase measurement dilakukan untuk mengetahui kualitas produksi Divisi Spinning. Hasil yang diperoleh untuk benang yang terpotong oleh mesin adalah Defect Per Opportunity (DPO) sebesar 0,000502208; Defect Per Million Opportunity (DPMO) sebesar 502,208 dan nilai sigma sebesar 4,81. Apabila pengukuran dilakukan pada keseluruhan benang yang cacat, maka nilai DPO yang dihasilkan adalah 0,00504; nilai DPMO sebesar 5.040 dan nilai sigma sebesar 4,07. Pada fase analyze bahwa produk gagal yang dihasilkan oleh Divisi Spinning disebabkan oleh beberapa faktor. Penyebab produk cacat tersebut adalah faktor manusia, metode, mesin, bahan baku dan lingkungan.
Pada fase improvement ditetapkan beberapa solusi perbaikan, yaitu (1) Faktor manusia, antara lain memberikan pendidikan dan pelatihan kepada karyawan dan memberikan sanksi yang tegas terhadap karyawan yang mengabaikan peraturan, (2) Faktor bahan baku, antara lain pemilihan bahan baku dengan kualitas bagus dan kombinasi bahan baku yang benar, (3) Faktor metode, antara lain mensosialisasikan standar kerja dan standar kualitas kepada karyawan, (4) Faktor mesin, antara lain melakukan pemeliharaan mesin dengan perawatan secara rutin, memeriksa setting pada setiap mesin dan melakukan perbaikan dengan segera pada mesin yang mengalami kerusakan, (5) Faktor lingkungan, antara lain membersihkan lingkungan secara teratur, menetapkan standar kebersihan untuk mesin dan lingkungan sekitar, menjaga suhu ruangan, menjaga pencahayaan pada ruang tes benang dan menjaga kelembaban ruangan.
Penulis dilahirkan di Tuban pada tanggal 03 juni 1985, merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Kisnaniadi dan Indahwati. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Santo Paulus Bojonegoro (1990 -1991), SDK Santo Paulus Bojonegoro (1991-1993), SDN Kadipaten II Bojonegoro (1993-1997), SLTPN I Bojonegoro (1997-2000), SMUN I Bojonegoro (2000-2003) dan kemudian penulis diterima di Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Melalui jalur USMI pada tahun 2003.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini membahas tentang Rancangan Pengendalian Mutu dengan Metode Six Sigma. Penelitian dilakukan pada Divisi Spinnging PT Unitex Tbk Bogor. Pengendalian mutu merupakan sesuau yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup perusahaan. Six sigma merupakan suatu metode pengendalian mutu dengan target 3,4 DPMO (Defect Per Million Opportunity).
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Ibu Heti Mulyati S.TP., MT sebagai dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Prof.Dr.Ir.H.Musa Hubeis.Dipl.Ing.DEA dan Bapak Eko Rudy Cahyady,S.Hut.MM selaku dosen penguji dalam ujian sidang penulis. 3. Bpk. Mukhammad Nadjib S.TP., MM selaku satgas dan moderator pada
seminar
4. Seluruh dosen Departemen Manajemen yang telah membagikan ilmunya kepada penulis.
5. Seluruh staf TU Departemen Manajemen yang telah membantu penulis untuk mengurus berbagai keperluan surat menyurat.
6. Bapak Lukman, Bapak Syahrul, Bapak Nandang, mbak Desi serta bapak satpam PT Unitex yang telah banyak membantu penulis selama melakukan penelitian.
7. Mama dan adekku yang selalu memberi semangat dan do’a untuk penulis.
8. Elfarista Hantalis Victory atas semua cinta, semangat dan dukungannya. 9. Evi, Irma, Lely, Yan, Melly, Tatha, Tina dan Lucia (TIN 40) yang telah
10. Seluruh teman seperjuangan dalam MeneDeForty, KAREMATA dan SES-C.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Mei 2007
DENGAN METODE SIX SIGMA
PADA DIVISI SPINNING PT UNITEX Tbk BOGOR
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar SARJANA pada Departemen Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Oleh
Nenny Ika Cendrawati H24103073
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Halaman ABSTRAK
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……… i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ………. iv
DAFTAR TABEL ……… vi
DAFTAR GAMBAR ………... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN ……….... 1
1.1. Latar belakang ………... 1
1.2. Rumusan Masalah ………. 4
1.3. Tujuan Penelitian ……….. 4
1.4. Manfaat Penelitian ... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 6
2.1. Definisi Mutu ………... 6
2.2. Pentingnya Mutu ………... 8
2.3. Dimensi Mutu ………... 11
2.4. Biaya Mutu ………... 11
2.5. Six Sigma ... 14
2.6. Peran dalam six sigma ... 19
2.7. Fase dalam six sigma ... 23
2.8. Seven Basic Quality Tools ….……….. 25
2.9 Statistical Process Control ……… 29
2.10. Penelitian Terdahulu ... 30
III METODOLOGI PENELITIAN ………... 33
3.1. Kerangka Pemikiran ……….. 33
3.2. Tahapan Penelitian ……… 35
3.3. Jenis dan Sumber Data ……….. 36
3.4. Metode Pengambilan Data ... 36
3.5. Metode Analisis Data ... 36
3.5.1. Analisis Data Kuantitatif ... 37
3.5.2. Analisis Data Kualitatif ……… 38
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 39
4.1. Gambaran Umum Perusahaan ……… 39
4.1.1. Sejarah, Visi dan Misi Perusahaan ………. 39
4.1.2. Struktur Perusahaan ... 40
4.2. Proses Produksi pada Divisi Spinning ... 45
4.2.1. Hasil Produksi Divisi Spinning ... 45
4.2.2. Proses Produksi Divisi Spinning ... 48
4.2.3. Standar Mutu Produk ... 50
4.3. Faktor- Faktor Penyebab Produk Cacat pada Divisi Spinning ... 50
4.3.1. Define ... 51
4.3.2. Measure ... 53
4.3.3. Analyze ... 58
4.4. Solusi untuk Mengurangi Jumlah Produk Cacat pada Divisi Spinning ... 65
4.4.1. Improvement ... 66
4.4.2. Control ... 71
4.4.3. Rancangan Pengendalian Mutu dengan Mengunakan Metode six sigma ... 73
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 77
2. Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA ………...………. 79
No Hal
1. Mesin dan kapasitas produksi PT Unitex Tbk... 3
2. Konversi level sigma yang disederhanakan ... 19
3. Penelitian Terdahulu ……….. 31
4. Teknik Analisis yang Digunakan pada Fase Six Sigma ……… 38
5. Data Produksi Divisi Spinning PT Unitex Tbk Tahun 2005 .. 47
6. Deskripsi CTQ ... 52
7. Kegagalan yang terjadi pada EC 45S ………... 54
8. Kegagalan yang terjadi pada AC 40S ... 54
9. Kegagalan yang terjadi pada CVC 45/55 45S ... 55
10. Kegagalan yang rata-rata terjadi pada Divisi Spinning ... 55
11. Langkah-langkah perbaikan Divisi Spinning ... 67
No Hal
1. Cara mutu untuk memperbaiki kemampuan memperoleh laba ….. 9
2. Hubungan sistem kualitas ……… 10
3. Lima fase six sigma dalam proyek peningkatan kualitas ………. 24
4. Kerangka pemikiran ………. 34
5. Tahapan penelitian ……… 35
6. Struktur Organisasi PT Unitex Tbk …………... 40
7. Proses Produksi PT Unitex ... 42
8. Komposisi Hasil Produksi Divisi Spinnng 2005 ... 46
9. Diagram Hasil Produksi Divisi Spinning Selama Tahun 2005 ... 47
10. Proses Produksi Divisi Spinning ……….. 49
11. IPO Graph ... 51
12. CTQ Tree ... 52
13. Diagram Pareto Rata-Rata Kesalahan yang terjadi pada benang EC 45S ……… 59
14. Diagram Pareto Rata-Rata Kesalahan yang terjadi pada benang AC 40 S ... 60
15. Diagram Pareto Rata-Rata Kesalahan yang terjadi pada benang CVC 45/55 45S ... 60
16. Diagram Pareto Rataan Kesalahan yang terjadi pada Divisi Spinning ... 61
17. Fishbone Diagram Penyebab Produk Cacat ... 63
PADA DIVISI SPINNING PT UNITEX Tbk BOGOR
Oleh
NENNY IKA CENDRAWATI
H24103073
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Menerapkan Metode Six Sigma pada Divisi Spinning PT Unitex Tbk, Bogor. Dibawah bimbingan Heti Mulyati.
Six sigma merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memperbaiki kualitas produksi dengan konsep dasar DMAIC (Define, Measurement, Analyze, Improvement dan Control). Perbaikan dengan menggunakan six sigma diharapkan dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan kualitas produk sehingga dapat bertahan dalam persaingan. Perusahaan tekstil merupakan perusahaan yang juga harus mengendalikan kualitas produk, terutama di Bagian Spinning.Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengkaji proses produksi pada Divisi Spinning (2) Mengkaji faktor penyebab timbulnya cacat produk pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu define, measure, dan analyze, dan (3) Menetapkan solusi yang dapat diambil untuk mengurangi jumlah produk cacat pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu improvement dan control.
Penentuan responden dan sampel produk (benang) dilakukan dengan metode purposive sampling. Pada fase define ditemukan bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Divisi Spinning adalah adanya produk cacat yang tertangkap oleh mesin pada tahap finishing. Kriteria produk cacat yang tertangkap mesin tersebut adalah slub, thick dan thin. Fase measurement dilakukan untuk mengetahui kualitas produksi Divisi Spinning. Hasil yang diperoleh untuk benang yang terpotong oleh mesin adalah Defect Per Opportunity (DPO) sebesar 0,000502208; Defect Per Million Opportunity (DPMO) sebesar 502,208 dan nilai sigma sebesar 4,81. Apabila pengukuran dilakukan pada keseluruhan benang yang cacat, maka nilai DPO yang dihasilkan adalah 0,00504; nilai DPMO sebesar 5.040 dan nilai sigma sebesar 4,07. Pada fase analyze bahwa produk gagal yang dihasilkan oleh Divisi Spinning disebabkan oleh beberapa faktor. Penyebab produk cacat tersebut adalah faktor manusia, metode, mesin, bahan baku dan lingkungan.
Pada fase improvement ditetapkan beberapa solusi perbaikan, yaitu (1) Faktor manusia, antara lain memberikan pendidikan dan pelatihan kepada karyawan dan memberikan sanksi yang tegas terhadap karyawan yang mengabaikan peraturan, (2) Faktor bahan baku, antara lain pemilihan bahan baku dengan kualitas bagus dan kombinasi bahan baku yang benar, (3) Faktor metode, antara lain mensosialisasikan standar kerja dan standar kualitas kepada karyawan, (4) Faktor mesin, antara lain melakukan pemeliharaan mesin dengan perawatan secara rutin, memeriksa setting pada setiap mesin dan melakukan perbaikan dengan segera pada mesin yang mengalami kerusakan, (5) Faktor lingkungan, antara lain membersihkan lingkungan secara teratur, menetapkan standar kebersihan untuk mesin dan lingkungan sekitar, menjaga suhu ruangan, menjaga pencahayaan pada ruang tes benang dan menjaga kelembaban ruangan.
Penulis dilahirkan di Tuban pada tanggal 03 juni 1985, merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Kisnaniadi dan Indahwati. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Santo Paulus Bojonegoro (1990 -1991), SDK Santo Paulus Bojonegoro (1991-1993), SDN Kadipaten II Bojonegoro (1993-1997), SLTPN I Bojonegoro (1997-2000), SMUN I Bojonegoro (2000-2003) dan kemudian penulis diterima di Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Melalui jalur USMI pada tahun 2003.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini membahas tentang Rancangan Pengendalian Mutu dengan Metode Six Sigma. Penelitian dilakukan pada Divisi Spinnging PT Unitex Tbk Bogor. Pengendalian mutu merupakan sesuau yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup perusahaan. Six sigma merupakan suatu metode pengendalian mutu dengan target 3,4 DPMO (Defect Per Million Opportunity).
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Ibu Heti Mulyati S.TP., MT sebagai dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Prof.Dr.Ir.H.Musa Hubeis.Dipl.Ing.DEA dan Bapak Eko Rudy Cahyady,S.Hut.MM selaku dosen penguji dalam ujian sidang penulis. 3. Bpk. Mukhammad Nadjib S.TP., MM selaku satgas dan moderator pada
seminar
4. Seluruh dosen Departemen Manajemen yang telah membagikan ilmunya kepada penulis.
5. Seluruh staf TU Departemen Manajemen yang telah membantu penulis untuk mengurus berbagai keperluan surat menyurat.
6. Bapak Lukman, Bapak Syahrul, Bapak Nandang, mbak Desi serta bapak satpam PT Unitex yang telah banyak membantu penulis selama melakukan penelitian.
7. Mama dan adekku yang selalu memberi semangat dan do’a untuk penulis.
8. Elfarista Hantalis Victory atas semua cinta, semangat dan dukungannya. 9. Evi, Irma, Lely, Yan, Melly, Tatha, Tina dan Lucia (TIN 40) yang telah
10. Seluruh teman seperjuangan dalam MeneDeForty, KAREMATA dan SES-C.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Mei 2007
DENGAN METODE SIX SIGMA
PADA DIVISI SPINNING PT UNITEX Tbk BOGOR
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar SARJANA pada Departemen Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Oleh
Nenny Ika Cendrawati H24103073
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Halaman ABSTRAK
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……… i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ………. iv
DAFTAR TABEL ……… vi
DAFTAR GAMBAR ………... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN ……….... 1
1.1. Latar belakang ………... 1
1.2. Rumusan Masalah ………. 4
1.3. Tujuan Penelitian ……….. 4
1.4. Manfaat Penelitian ... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 6
2.1. Definisi Mutu ………... 6
2.2. Pentingnya Mutu ………... 8
2.3. Dimensi Mutu ………... 11
2.4. Biaya Mutu ………... 11
2.5. Six Sigma ... 14
2.6. Peran dalam six sigma ... 19
2.7. Fase dalam six sigma ... 23
2.8. Seven Basic Quality Tools ….……….. 25
2.9 Statistical Process Control ……… 29
2.10. Penelitian Terdahulu ... 30
III METODOLOGI PENELITIAN ………... 33
3.1. Kerangka Pemikiran ……….. 33
3.2. Tahapan Penelitian ……… 35
3.3. Jenis dan Sumber Data ……….. 36
3.4. Metode Pengambilan Data ... 36
3.5. Metode Analisis Data ... 36
3.5.1. Analisis Data Kuantitatif ... 37
3.5.2. Analisis Data Kualitatif ……… 38
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 39
4.1. Gambaran Umum Perusahaan ……… 39
4.1.1. Sejarah, Visi dan Misi Perusahaan ………. 39
4.1.2. Struktur Perusahaan ... 40
4.2. Proses Produksi pada Divisi Spinning ... 45
4.2.1. Hasil Produksi Divisi Spinning ... 45
4.2.2. Proses Produksi Divisi Spinning ... 48
4.2.3. Standar Mutu Produk ... 50
4.3. Faktor- Faktor Penyebab Produk Cacat pada Divisi Spinning ... 50
4.3.1. Define ... 51
4.3.2. Measure ... 53
4.3.3. Analyze ... 58
4.4. Solusi untuk Mengurangi Jumlah Produk Cacat pada Divisi Spinning ... 65
4.4.1. Improvement ... 66
4.4.2. Control ... 71
4.4.3. Rancangan Pengendalian Mutu dengan Mengunakan Metode six sigma ... 73
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 77
2. Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA ………...………. 79
No Hal
1. Mesin dan kapasitas produksi PT Unitex Tbk... 3
2. Konversi level sigma yang disederhanakan ... 19
3. Penelitian Terdahulu ……….. 31
4. Teknik Analisis yang Digunakan pada Fase Six Sigma ……… 38
5. Data Produksi Divisi Spinning PT Unitex Tbk Tahun 2005 .. 47
6. Deskripsi CTQ ... 52
7. Kegagalan yang terjadi pada EC 45S ………... 54
8. Kegagalan yang terjadi pada AC 40S ... 54
9. Kegagalan yang terjadi pada CVC 45/55 45S ... 55
10. Kegagalan yang rata-rata terjadi pada Divisi Spinning ... 55
11. Langkah-langkah perbaikan Divisi Spinning ... 67
No Hal
1. Cara mutu untuk memperbaiki kemampuan memperoleh laba ….. 9
2. Hubungan sistem kualitas ……… 10
3. Lima fase six sigma dalam proyek peningkatan kualitas ………. 24
4. Kerangka pemikiran ………. 34
5. Tahapan penelitian ……… 35
6. Struktur Organisasi PT Unitex Tbk …………... 40
7. Proses Produksi PT Unitex ... 42
8. Komposisi Hasil Produksi Divisi Spinnng 2005 ... 46
9. Diagram Hasil Produksi Divisi Spinning Selama Tahun 2005 ... 47
10. Proses Produksi Divisi Spinning ……….. 49
11. IPO Graph ... 51
12. CTQ Tree ... 52
13. Diagram Pareto Rata-Rata Kesalahan yang terjadi pada benang EC 45S ……… 59
14. Diagram Pareto Rata-Rata Kesalahan yang terjadi pada benang AC 40 S ... 60
15. Diagram Pareto Rata-Rata Kesalahan yang terjadi pada benang CVC 45/55 45S ... 60
16. Diagram Pareto Rataan Kesalahan yang terjadi pada Divisi Spinning ... 61
17. Fishbone Diagram Penyebab Produk Cacat ... 63
No Hal
1. Tabel konversi sigma ... 81
2. Daftar pertanyaan wawancara ... 82
3 Data Produksi PT Unitex 2005 ... 83
4. Standar mutu Divisi Spinning PT Unitex ... 92
5. Suhu dan Kelembaban untuk Produksi ... 94
1.1. Latar belakang
Era globalisasi yang ditandai dengan adanya kesepakatan perdagangan bebas oleh beberapa negara seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), North America Free Trade Area (NAFTA), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) dan World Trade Organization (WTO) menyebabkan persaingan bisnis menjadi semakin ketat. Pola ekonomi berubah dari pola ekonomi pengendalian pasar menjadi pola ekonomi berdasarkan kekuatan pasar dimana permintaan konsumen lebih berperan dalam pasar. Oleh karena itu, perusahaan harus fokus pada kepuasan konsumen dengan meningkatkan mutu produk sehingga mampu bertahan dalam persaingan.
Pentingnya mutu dapat dilihat dari dua sudut, yaitu dari sudut manajemen operasional dan manajemen pemasaran. Dilihat dari manajemen operasional, mutu produk merupakan salah satu kebijakan penting dalam meningkatkan daya saing produk. Produk dengan mutu bagus mampu bersaing dibandingkan dengan produk lainnya sehingga dapat bertahan di pasar. Dilihat dari sudut manajemen pemasaran, mutu produk merupakan salah satu unsur utama dalam bauran pemasaran yang dapat meningkatkan volume penjualan dan memperluas pangsa pasar perusahaan. Hal itu disebabkan oleh ketertarikan konsumen untuk memilih produk dengan mutu yang lebih baik.
Dalam suatu proses produksi terdapat peluang dihasilkan produk yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan. Produk yang tidak sesuai dengan standar tersebut dapat dianggap sebagai produk cacat yang tidak dapat langsung disalurkan ke pasar tetapi harus diperbaiki terlebih dahulu. Perbaikan tersebut menimbulkan biaya baru yang digolongkan dalam biaya mutu. Perbaikan mutu produksi dengan menekan jumlah produk cacat merupakan salah satu langkah penting untuk mencapai tujuan perusahaan, karena biaya tersembunyi yang muncul dari adanya produk cacat tersebut memiliki dampak yang cukup besar pada keuangan perusahaan.
Industri tekstil adalah salah satu industri yang harus memiliki mutu tinggi agar memenangkan persaingan. Oleh karena itu, produsen harus terus meningkatkan mutu dari produk yang dihasilkannya. Salah satu perusahaan tekstil yang masih bertahan adalah PT Unitex, sebuah perusahaan patungan Indonesia-Jepang yang bergerak dalam bidang tekstil terpadu (Fully Integrated Textile Manufacture) yang mengolah bahan baku kapas dan polyester menjadi benang dan bahan jadi kain. PT Unitex didirikan berdasarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) No. 1/1967. Perusahaan dituntut untuk terus mempertahankan dan meningkatkan mutu produk agar dapat mempertahankan loyalitas dan meningkatkan kepuasan konsumen. PT Unitex berusaha meningkatkan ekspor langsung dan tidak langsung secara intensif sebesar 80 persen. Ekspor langsung berjumlah 65 persen dari jumlah produksi dengan tujuan Australia, Jepang, Amerika Serikat, Eropa dan lain-lain. Ekspor tidak langsung melalui industri pakaian jadi (garmen) berjumlah sekitar 15 persen ke Amerika dan Eropa.
Tabel 1. Mesin dan kapasitas produksi PT Unitex Tbk
Divisi Mesin Hasil
Spinning 31.920 Spindels 1.450 bal/ bulan Weaving AJL184, ISL 116, Toyoda
80 (Conventional)
1.800.000 meter/ bulan
Dyeing Finishing Machine 1 Lot Yarn Dyed 19 Sets
2.000.000 meter/ bulan
130 ton / bulan Utility Generators
PLN Boiler
Waste Water Treatment Water Purifying System
8.475 KVA 4330 KVA 30 ton/H
180.000 ton/bulan 120.000 ton/ bulan Sumber : www. Unitex.co.id , 2006
Proses produksi di PT Unitex terdiri dari pemintalan (spinning), penenunan (weaving), pencelupan (dyeing finishing) dan pencelupan benang (yarn dyeing). Proses produksi pada PT Unitex diawali dari Divisi Spinning yang mengolah bahan baku kapas menjadi benang. Divisi Spinning merupakan divisi yang berperan sangat penting dalam menghasilkan benang yang bermutu. Benang yang dihasilkan oleh Divisi Spinning sangat berpengaruh pada mutu kain yang dihasilkan oleh PT Unitex. Hal itu disebabkan karena benang tersebut akan digunakan sebagai bahan untuk membuat kain dengan melewati beberapa proses lanjutan. Apabila benang yang dihasilkan mengalami cacat, tetap diolah dalam tahap proses yang lain dengan harapan cacat tersebut dapat ditutup dan disempurnakan dalam proses-proses selanjutnya. Tetapi akan lebih baik jika cacat tersebut dapat diantisipasi di Divisi Spinning sesuai dengan standar, sehingga mutu kain yang akan dihasilkan menjadi lebih baik.
Six sigma dapat mengidentifikasi masalah dalam proses produksi dan menguraikan cacat yang membebani dalam hal waktu, uang, pelanggan dan peluang. Six sigma dapat digunakan untuk menemukan karakteristik-karakteristik yang penting untuk pelanggan, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi karakterisitik dan mengurangi variasi pada faktor-faktor kunci tersebut. Meskipun PT Unitex telah memiliki sertifikasi ISO 9001 : 2000, namun penerapan six sigma belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian mengenai six sigma di PT Unitex perlu dikaji dalam rangka perbaikan yang terus menerus (continuous improvement).
1.2. Perumusan masalah
Perbaikan mutu produksi merupakan salah satu langkah penting untuk mencapai tujuan perusahaan dan perbaikan mutu produksi dapat menjadi suatu cara yang ditempuh oleh perusahaan agar dapat bertahan dalam suatu industri. Tingginya jumlah produk cacat dapat menjadi suatu indikator rendahnya mutu produksi perusahaan tersebut. Biaya yang timbul akibat dari adanya produk cacat tersebut akan menyebabkan terjadinya peningkatan pada biaya operasional perusahaan. Divisi Spinning merupakan salah satu divisi dalam industri tekstil yang sangat mempengaruhi mutu kain. Pada divisi Spinning diindikasikan banyak cacat yang ditimbulkan.
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang dirumuskan adalah : 1. Bagaimana proses produksi pada Divisi Spinning ?
2. Apa faktor penyebab timbulnya cacat produk pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu define, measure, dan analyze ? 3. Bagaimana cara mengurangi jumlah produk cacat pada Divisi Spinning
berdasarkan tahapan six sigma yaitu improvement dan control ? 4. Bagaimana rancangan pengawasan mutu berdasarkan metode six sigma
yang dapat diterapkan pada Divisi Spinning PT Unitex ? 1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
2. Mengkaji faktor penyebab timbulnya cacat produk pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu define, measure, dan analyze.
3. Menetapkan solusi yang dapat diambil untuk mengurangi jumlah produk cacat pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu improvement dan control.
4. Merancang sistem pengawasan mutu yang dapat diterapkan pada Divisi Spinning PT Unitex.
1.4. Manfaat penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Bahan masukan bagi perusahaan dalam meningkatkan kualitas produksinya dengan cara menekan jumlah produk cacat.
2. Bagi peneliti mengetahui karakteristik produk cacat dan proses produksi pada Divisi Spinning PT Unitex serta menemukan solusi untuk mengurangi produk cacat tersebut dengan menggunakan metode six sigma.
2.1. Definisi Mutu
American Society for Quality Controldalam Heizer dan Render (2001) menyatakan, bahwa mutu adalah totalitas bentuk dan karakteristik barang
atau jasa yang menunjukkan kemampuannya untuk memuaskan
kebutuhan-kebutuhan yang tampak jelas maupun yang tersembunyi.
Meskipun demikian, pendapat lain menyatakan bahwa definisi mutu
menyangkut berbagai kategori. Beberapa dari definisi tersebut berorientasi
pada pengguna atau pemakainya. Pendapat ini mengatakan bahwa mutu
tergantung pada anggapan pemakai produk dan jasa tersebut. Orang-orang
yang berkecimpung dalam bidang pemasaran menyukai pendekatan ini,
demikian pula para konsumen. Bagi mereka, mutu yang lebih tinggi berarti
memiliki kemampuan pemuasan kebutuhan yang lebih baik, bentuk produk
yang lebih menarik dan kelebihan lainnya (terkadang memakan biaya). Bagi
manajer produksi, mutu tergantung pada pengerjaan, karena mutu berarti
keharusan menyesuaikan dengan lebih baik pada standar yang berlaku dan
membuatnya dengan benar pada waktu pertama. Namun, pendekatan yang
ketiga bersifat berorientasi pada produk, yang menganggap mutu sebagai
variabel tertentu dan dapat diukur (Heizer dan Render, 2001)
Definisi mutu yang dikemukakan oleh beberapa ahli, dirangkum
sebagai berikut :
- Juran dalam Ariani (2002) menyatakan, bahwa mutu adalah kesesuaian
dengan tujuan atau manfaatnya.
- Scherkenbach dalam Ariani (2002) menyatakan, bahwa mutu
ditentukan oleh pelanggan. Pelanggan menginginkan produk yang
sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga
- Elliot dalam Ariani (2002) menyatakan, bahwa mutu adalah sesuatu yang berbeda untuk orang yang berbeda dan tergantung pada waktu
dan tempat atau dikatakan sesuai dengan tujuan.
- Standar Nasional Indonesia dalam Ariani (2002) mendefinisikan mutu
sebagai keseluruhan ciri dan karakteristik produk atau jasa yang
kemampuannya dapat memuaskan kebutuhan, baik yang dinyatakan
secara tegas maupun tersamar.
- Crosby dalam Nasution (2004) menyatakan, bahwa mutu adalah
conformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan. Suatu produk memiliki mutu apabila sesuai dengan
standar mutu yang telah ditentukan. Standar mutu meliputi bahan
baku, proses produksi dan produk jadi.
- Deming dalam Nasution (2004) menyatakan, bahwa mutu adalah
kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Perusahaan harus
benar-benar dapat memahami apa yang dibutuhkan konsumen atas
suatu produk yang akan dihasilkan.
- Feigenbaum dalam Nasution (2004) menyatakan, bahwa mutu adalah
kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu
produk bermutu apabila dapat memberikan kepuasan sepenuhnya
kepada konsumen, yaitu sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen
atas suatu produk.
- Garvin dan Daviz dalam Nasution (2004) menyatakan, bahwa mutu
adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk,
manusia/tenaga kerja, proses dan tugas serta lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen.
Selera dan harapan konsumen terhadap suatu produk selalu berubah,
sehingga mutu produk juga harus berubah atau disesuaikan. Dengan
perubahan mutu produk tersebut, diperlukan perubahan atau peningkatan
keterampilan tenaga kerja, perubahan proses produksi dan tugas, serta
perubahan lingkungan perusahaan agar produk dapat memenuhi atau
Nasution (2004) menyatakan bahwa walaupun tidak ada definisi
mengenai mutu yang diterima secara universal, tetapi dari beberapa definisi
tersebut terdapat beberapa persamaan, yaitu dalam elemen-elemen berikut :
1. Mutu mencakup usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
2. Mutu mencakup produk, jasa manusia, proses dan lingkungan.
3. Mutu merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang
dianggap merupakan mutu saat ini mungkin dianggap kurang bermutu
pada masa mendatang).
2. 2. Pentingnya Mutu
Menurut Heizer dan Render (2001), produk dan jasa yang bermutu
secara strategis penting bagi perusahan dan negara yang diwakilinya. Mutu
dan produk suatu perusahaan, harga yang ditetapkan oleh perusahaan dan
pemasokan barang yang membuat produk itu tersedia bagi konsumen
merupakan faktor yang menentukan permintaan. Mutu terutama
mempengaruhi perusahaan dalam empat cara yaitu :
1. Biaya dan pangsa pasar.
Gambar 1 menunjukkan bahwa mutu yang ditingkatkan dapat
mengarah pada peningkatan pangsa pasar dan penghematan biaya,
yang mempengaruhi profitabilitas. Demikian pula usaha perbaikan
keandalan dan standar berarti penurunan kerusakan pada produk dan
Perbaikan Mutu Peningkatan Laba
Gambar 1. Cara mutu untuk memperbaiki kemampuan meraih laba (Heizer dan Render, 2001)
2. Reputasi perusahaan.
Reputasi perusahaan mengikuti reputasi mutu yang dihasilkan
apakah baik atau buruk. Mutu akan muncul bersamaan dengan persepsi
mengenai produk baru perusahaan, praktik-praktik penanganan
pegawai dan hubungannya dengan pemasok. Mutu produk tidak dapat
digantikan oleh promosi perusahaan.
3. Pertanggungjawaban produk.
Dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan produk yang beredar
di pasar, pengadilan kini menganggap bahwa pihak-pihak yang harus
memikul tanggung jawab adalah seluruh pihak yang tercakup dalam
rantai distribusi. Dapat ditambahkan, perusahaan yang merancang dan
memproduksi barang atau jasa yang cacat dapat dianggap bertanggung
jawab atas kerusakan dan kecelakaan yang diakibatkan pemakaian
barang dan jasa tersebut.
4. Implikasi internasional.
Mutu merupakan perhatian internasional dan operasi dalam era
teknologi. Perusahaan dan negara dapat bersaing secara efektif dalam
perekonomian global apabila produknya memenuhi standar mutu dan
harga yang diinginkan. Produk yang bermutu rendah dapat
Hasil yang diperoleh dari pasar
• Perbaikan reputasi
• Peningkatan volume
• Peningkatan harga
Biaya yang dapat ditekan
• Peningkatan produktivitas
• Penurunan biaya pengerjaan ulang dan sisa material
membahayakan perusahaan dan mengakibatkan implikasi yang negatif
bagi neraca pembayaran.
Menurut Heizer dan Render (2001), perspektif lain dari mutu
mencakup empat hal yaitu :
1. Kemampuan memenuhi harapan konsumen,
2. Wujud dari produk tersebut,
3. Keandalan,
4. Mutu yang diterima.
Bounds dalam Nasution (2004) menyatakan bahwa pada dasarnya
sistem mutu modern dapat dibagi ke dalam tiga bagian yaitu:
1. Disain, yaitu memenuhi keinginan dan harapan dari pelanggan serta
secara ekonomis layak untuk diproduksi
2. Konformasi (conformance), yaitu memenuhi spesifikasi yang telah
ditentukan
3. Pemasaran dan pelayanan purna jual
[image:31.612.148.531.398.622.2]Hubungan ketiga sistem mutu tersebut digambarkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Hubungan Sistem Mutu (Nasution, 2004)
Mutu konformitas Mutu desain
Mutu pemasaran dan pelayanan purna jual
Produk dalam masa pemakaian Pemasaran, pelayanan purna jual
2.3. Dimensi Mutu
Garvin dalam Ariani (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa
dimensi mutu dalam industri manufaktur, antara lain :
1. Performance, yaitu kesesuaian produk dengan fungsi utama produk itu sendiri atau karakteristik operasi dari suatu produk.
2. Feature, yaitu ciri khas produk yang membedakan dengan produk lainnya dan merupakan karakteristik pelengkap dan mampu
menimbulkan kesan yang baik bagi pelanggan.
3. Reliability, yaitu kepercayaan pelanggan terhadap produk karena kehandalannya atau kemungkinan rusaknya rendah.
4. Conformance, yaitu kesesuaian produk dengan syarat atau ukuran tertentu atau sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi
standar yang telah ditetapkan.
5. Durability, yaitu tingkat keawetan produk atau lama umur produk 6. Serviceability, yaitu kemudahan produk bila akan diperbaiki atau
kemudahan memperoleh komponen produk tersebut.
7. Aesthetic,yaitu keindahan atau daya tarik produk.
8. Perception, yaitu fanatisme konsumen akan merk suatu produk tertentu karena citra atau reputasi produk itu sendiri
2.4. Biaya Mutu
Ada dua golongan besar biaya mutu, yaitu biaya untuk menghasilkan
produk yang bermutu dan biaya yang harus dikeluarkan karena
menghasilkan produk cacat. Menurut Russel dalam Ariani (2002) secara
keseluruhan biaya kualias tersebut meliputi :
1. Biaya untuk menghasilkan produk yang bermutu (cost of achieving
good quality), yaitu biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk
membuat produk yang bermutu sesuai dengan yang diinginkan
pelanggan, meliputi :
a. Biaya pencegahan (prevention costs), yaitu biaya untuk
i. Biaya perencanan mutu (quality planning costs), yaitu biaya
yang harus dikeluarkan untuk membuat perencanaan
produk yang bermutu.
ii. Biaya perancangan produksi (production design costs),
yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk merancang
produk sehingga produk yang dihasilkan bermutu tinggi.
iii. Biaya pemrosesan (process costs), yaitu biaya yang harus
dikeluarkan untuk menjalankan proses produksi sehingga
menghasilkan produk yang bermutu.
iv. Biaya pelatihan (training costs), yaitu biaya yang harus
dikeluarkan untuk mengadakan pelatihan bagi karyawan
sehingga karyawan bertanggung jawab untuk selalu
membuat produk yang baik.
v. Biaya informasi akan mutu produk yang diharapkan oleh
pelanggan (information costs), yaitu biaya yang harus
dikeluarkan untuk mengadakan survey pelanggan tentang
mutu produk yang diharapkan oleh pelanggan.
b. Biaya penilaian (appraisal costs), yaitu biaya yang harus
dikeluarkan untuk mengadakan pengujian terhadap produk yang
dihasilkan, meliputi :
i. Biaya untuk mengadakan inspeksi dan pengujian
(inspection and testing costs), yaitu biaya yang harus
dikeluarkan untuk mengadakan pengujian terhadap produk
yang dihasilkan.
ii. Biaya peralatan pengujian (test equipment costs), yaitu
biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan alat untuk
pengujian terhadap mutu.
iii. Biaya operator (operator costs), yaitu biaya yang
dikeluarkan untuk memberikan upah pada orang yang
2. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan menghasilkan produk
cacat (cost of poor quality), meliputi :
a. Biaya kegagalan internal (internal failure costs), yaitu biaya yang
harus dikeluarkan karena perusahaan telah menghasilkan produk
yang cacat tetapi cacat produk tersebut telah diketahui sebelum
produk tersebut sampai kepada pelanggan. Biaya ini meliputi :
i. Biaya yang dikeluarkan karena produk harus dibuang (scrap
costs), yaitu biaya yang telah dikeluarkan perusahaan tetapi
produk yang dihasilkan ternyata produk cacat sehingga
harus dibuang dan adanya biaya untuk membuang produk
tersebut.
ii. Biaya pengerjaan ulang (rework costs), yaitu biaya untuk
memperbaiki produk yang cacat.
iii. Biaya kegagalan proses (process failure costs), yaitu biaya
yang harus dikeluarkan dalam proses produksi tetapi
ternyata produk yang dihasilkan adalah produk cacat.
iv. Biaya yang dikeluarkan karena proses produksi tidak dapat
berjalan sebagaimana mestinya (process downtime costs).
v. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan menjual
produk di bawah harga patokannya karena produk yang
dihasilkan cacat (price down grading costs)
b. Biaya kegagalan eksternal (external failure costs), yaitu biaya
yang harus dikeluarkan karena menghasilkan produk cacat dan
produk ini telah diterima oleh konsumen, meliputi :
i. Biaya untuk memberikan pelayanan terhadap keluhan
pelanggan (customer complain costs).
ii. Biaya yang harus dikeluarkan karena produk yang telah
disampaikan kepada konsumen dikembalikan karena
produk tersebut cacat (product return costs).
iii. Biaya yang harus dikeluarkan untuk menangani tuntutan
konsumen terhadap adanya jaminan mutu produk
iv. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan harus
memberikan jaminan atau garansi bagi konsumen bahwa
produk yang dihasilkan adalah baik (product liability costs)
v. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan tidak
dipercaya oleh konsumen sehingga konsumen tidak mau
lagi membeli produk ke perusahaan tersebut (lost sales
cost).
2.5. Six Sigma
Six sigma adalah metode untuk meningkatkan produktivitas dan
profitabilitas. Six sigma adalah penerapan metodik dari alat penyelesaian
masalah statistik untuk mengidentifikasi dan mengukur pemborosan dan
menunjukkan langkah-langkah untuk perbaikan (Brue, 2005). Metode ini
diterapkan perusahaan Motorola sejak tahun 1986 dan merupakan terobosan
baru dalam bidang manajemen mutu (Gaspersz, 2003). Six sigma merupakan
suatu target 3,4 Defect Per Million Opportunities (DPMO) yang
memungkinkan karakteristik mutu diukur dari perspektif jumlah cacat yang
sebenarnya dibanding total peluang terjadinya cacat (Muslim, 2005).
Nama “Six sigma” berasal dari tingkatan mutu : performa pada
tingkatan enam sigma yang berarti hanya 3,4 DPMO. Abjad Yunani Sigma
adalah lambang dalam statistik untuk deviasi standar, suatu ukuran variasi
(Brue, 2005).
Sigma mengukur kemampuan proses untuk menghasilkan produk
tanpa cacat. Indeks pengukuran yang sering digunakan adalah “defect per
unit”. Nilai sigma mengindikasikan seberapa sering kecacatan terjadi.
Semakin meningkat nilai sigma, jumlah cacat semakin sedikit sehingga
biaya dan cycle time menurun. Selain itu tingkat kepuasan pelanggan akan
semakin meningkat (Muslim, 2005)
Menurut Breyfogle dalam Rahardjo (2003), sigma merupakan tingkat
variabilitas yang menyatakan performance dari suatu proses. Tingkat mutu
enam sigma merupakan tingkat mutu dimana proses dengan penyebaran
juga diartikan sebagai tingkat mutu, dimana 3,4 kecacatan dihasilkan dari
satu juta kesempatan terjadinya.
General Electric (GE) sebagai salah satu perusahaan yang sukses
menerapakan six sigma menyatakan bahwa six sigma merupakan proses
disiplin tinggi yang membantu mengembangkan dan menghantarkan produk
mendekati sempurna. Six sigma bukan hanya merupakan inisiatif kualitas,
tetapi juga merupakan inisiatif bisnis unutk mendapatkan dan
menghilangkan penyebab kesalahan atau cacat pada output proses bisnis
yang penting di mata pelanggan. Six sigma dapat dijelaskan dalam dua
perspektif, yaitu perspektif statistik dan perspektif metodologi (Hendradi,
2006).
Pada perspektif statistik, sigma (σ) merupakan huruf Yunani yang
dikenal sebagai standar deviasi yang menyatakan nilai simpanganterhadap
nilai tengah dalam statistik. Suatu proses dikatakan berjalan baik apabila
berjalan pada suatu rentang yang telah disepakati. Rentang tersebut memiliki
batas atas atau USL (Upper Spesification Limit) dan batas bawah atau LSL
(Lower Spesification Limit). Proses yang terjadi di luar rentang disebut
cacat (defect). Proses 6 σ adalah proses yang hanya menghasilkan 3,4
DPMO (Defect Per Million Opportunity). DPMO tidak hanya sekedar cacat
saja tapi juga merupakan rasio cacat dibandingkan dengan peluang jumlah
kemungkinan cacat yang terjadi (Hendradi, 2006).
Pada perspektif metodologi, six sigma merupakan pendekatan
menyeluruh untuk menyelesaikan masalah dan peningkatan proses melalui
fase DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improvement dan Control).
DMAIC merupakan jantung analisis six sigma yang menjamin Voice of
Customer berjalan dalam keseluruhan proses sehingga produk yang diinginkan memuaskan keinginan pelanggan (Hendradi, 2006)
Ada banyak pengertian mengenai six sigma. Six sigma diartikan
sebagai metode berteknologi canggih yang digunakan oleh para insinyur dan
statistikawan dalam memperbaiki atau mengembangkan proses atau produk.
menggunakan metode-metode statistik, meskipun tidak secara keseluruhan
membicarakan tentang statistik (Miranda dan Tunggal, 2002).
Pengertian six sigma lainnya adalah tujuan mendekati kesempurnaan
dalam mencapai kebutuhan pelanggan. Ada juga yang mengartikan six
sigma sebagai usaha mengubah budaya perusahaan untuk mencapai kepuasan pelanggan, keuntungan dan persaingan yang jauh lebih baik.
Kunci utama pengertian di atas adalah pengukuran, tujuan dan budaya
perusahaan (Miranda dan Tunggal, 2002).
Definisi secara lebih lengkap dan jelas adalah six sigma merupakan
suatu sistem yang komprehensif dan fleksibel untuk mencapai, memberikan
dukungan dan memaksimalkan proses usaha, yang berfokus pada
pemahaman akan kebutuhan pelanggan dengan menggunakan fakta, data
dan analisis statistik secara terus-menerus memperhatikan pengaturan,
perbaikan dan mengkaji ulang proses usaha (Miranda dan Tunggal, 2002).
Menurut Gaspersz (2005), beberapa keberhasilan Motorola yang perlu
dicatat dari aplikasi program six sigma adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan produktivitas rataan 12,3 persen per tahun
2. Penurunan Cost of Poor Quality (COPQ) lebih daripada 84 persen
3. Eliminasi kegagalan dalam proses sekitar 99,7 persen
4. Penghematan biaya manufakturing lebih dari $11 milyar
5. Peningkatan tingkat pertumbuhan rataan tahunan 17 persen dalam
penerimaan, keuntungan dan harga saham Motorola.
Keuntungan penerapan six sigma menurut Miranda dan Tunggal
(2002) adalah :
1. Dimulai dari pihak pelanggan. Six sigma mengukur permintaan dalam
arti yang sebenarnya dari apa yang dibutuhkan oleh pelanggan. Hal ini
menguntungkan kedua belah pihak dan memikirkan apa-apa saja yang
benar-benar penting.
2. Menyediakan pengukuran yang bersifat konsisten. Dengan berfokus
pada cacat atau kemungkinan terjadinya cacat, pengukuran six sigma
dapat digunakan untuk mengukur dan membendingkan proses yang
3. Menyatukan tujuan yang penuh ambisi. Dengan memusatkan perhatian
seluruh organisasi pada tujuan kinerja 99,9997 persen dapat membuat
perbaikan yang cukup nyata.
Blakeslee dalam Gaspersz (2003) menyatakan bahwa untuk
menciptakan iklim organisasi yang mampu mendukung usaha-usaha six
sigma, manajemen organisasi perlu memperhatikan tujuh prinsip berikut :
1. Keberhasilan usaha implementasi six sigma harus diarahkan oleh para
pemimpin yang memiliki komitmen kuat. Tujuan six sigma yang
terfokus dan energi yang dibutuhkan untuk mengarahkan proses six
sigma dalam organisasi membutuhkan kepemimpinan manajemen para pemimpin puncak organisasi.
2. Usaha-usaha six sigma harus diintegrasikan dengan inisiatif-inisiatif,
strategi bisnis dan ukuran kinerja kunci. Organisasi yang berhasil
dengan six sigma adalah yang mampu mengintegrasikan implementasi
six sigma dengan inisiatif organisasi, strategi bisnis dan matriks kinerja kunci.
3. Keberhasilan usaha six sigma didukung oleh suatu kerangka kerja
pemikiran proses. Six sigma tidak dapat diimplementasikan secara
efektif dalam suatu organisasi tanpa pemetaan yang tepat dari proses
bisnis yang ada. Pihak-pihak yang terlibat dalam six sigma harus
mengetahui dan menyetujui proses-proses yang akan dilibatkan, apa
yang diinginkan pelanggan terhadap output yang dihasilkan serta
mendefinisikan kemampuan proses dalam nilai sigma pada saat
sekarang maupun targetnya di masa yang akan datang.
4. Six sigma membutuhkan kedisiplinan pengumpulan informasi dari
pelanggan dan pasar. Agar usaha-usaha six sigma dapat berhasil,
dibutuhkan kedisiplinan pengumpulan informasi berkaitan dengan
tingkat kepuasan dan loyalitas pelanggan sepanjang waktu. Informasi
berbentuk cerita tentang apa yang diinginkan oleh pelanggan dan pasar
tidak akan efektif dalam six sigma karena six sigma membutuhkan
5. Proyek-proyek six sigma harus menghasilkan manfaat atau hasil-hasil nyata bagi organisasi.
6. Usaha-usaha six sigma dipimpin oleh pemimpin tim yang terlatih dan
bekerja penuh waktu. Six sigma sebagi pendekatan intensif dalam
peningkatan kualitas membutuhkan disiplin dan komitmen
orang-orang yang terlibat dalam proyek itu.
7. Six sigma dilaksanakan secara terus-menerus melalui keberlangsungan
penguatan langsung (direct reinforcement) dan balas jasa dari
pemimpin organisasi yang selalu mendukung inisiatif dan tim
peningkatan mutu yang melaksanakan proyek-proyek six sigma.
Mengingat six sigma berbeda dengan program peningkatan mutu yang
lain, insentif-insentif baru harus dibagi kepada orang-orang yang
terlibat dalam proyek six sigma agar organisasi six sigma dapat
bergerak ke arah yang benar. Sistem kompensasi harus dirumuskan
secara adil dalam proyek-proyek six sigma.
Menurut Hendradi (2006), secara sederhana pengukuran tingkat six
sigma dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Tetapkan apa yang diinginkan oleh pelanggan (voice of customer)
terhadap suatu produk.
2. Ubahlah keinginan pelanggan dalam suatu ukuran, hal ini disebut
Critical to Quality atau Y.
3. Mencai hubungan hasil (Y) dengan proses-proses yang menyertai (X).
Hubungan Y dan X dinyatakan dalam sistem Closed Loop, Y=f(X) .
Level sigma dari kinerja sering diekspresikan dalam kesalahan per
sejuta peluang DPMO. DPMO mengindikasikan berapa banyak cacat yang
akan muncul jika sebuah aktivitas diulang satu juta kali. Dalam melakukan
kalkulasi dengan memfaktorkan peluang-peluang dalam defect yang telah
ditentukan dalam quality control, perusahaan dituntut untuk lebih realistis
dalam menyamakan kinerja dan proses-proses yang berbeda. DPMO juga
menggambarkan secara sederhana mutu dan kapabilitas dari sebuah proses
seperti ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel konversi nilai sigma dapat dilihat
Tabel 2. Konversi level sigma yang disederhanakan.
COPQ DPMO Level
Sigma
Tidak dapat dihitung 691.462,00 (sangat tidak kompetitif) 1,0
Tidak dapat dihitung 308.538,00 (rataan industri Indonesia) 2,0
25-40%dari penjualan 66.807,00 3,0
15-25 % dari penjualan 6.210,00 (rataan industri USA) 4,0
5-15 % dari penjualan 233,00 5,0
<1% dari penjualan 3,40 (industri kelas dunia) 6,0
Setiap peningkatan atau pergeseran 1-sigma akan memberikan peningkatan
keuntungan sekitar 10% dari penjualan.
Sumber : Gaspersz , 2003.
Sejak dimulainya prakarsa six sigma, komitmen dan komunikasi
merupakan hal yang krusial. Para pemimpin eksekutif harus mendukung dan
mempromosikan prakarsa itu dan memberi informasi mengenai six sigma
serta semua perkembangannya. Prakarsa itu juga tergantung pada
orang-orang yang memainkan peran utama, yaitu yang bertanggung jawab untuk
menggunakan teknik dan perangkat six sigma demi mencapai hasil (Brue,
2005).
2.6. Peran dalam six sigma
Menurut Miranda dan Tunggal (2002) ada sejumlah peran yang harus
diambil oleh orang yang berbeda-beda saat menerapkan prakarsa six sigma
pada suatu organisasi, yaitu :
1. Kelompok Leadership atau Council
”Tim Leadership six sigma” atau “Dewan Mutu” hampir sama
dengan tim manajemen puncak.
Tanggung jawab manajemen puncak ini adalah :
- Menentukan peran dan infrastruktur six sigma
- Memilih proyek yang spesifik dan alokasi sumber daya
- Meninjau ulang perkembangan proyek dan menyumbangkan ide atau
- Menganggap diri sendiri sebagai sponsor
- Membantu dalam perhitungan dari pengaruh usaha six sigma
terhadap perusahaan
- Menilai perkembangan dan mengidentifikasi kelemahan/kekuatan
usaha
- Membagi praktik-praktik terbaik pada organisasi, termasuk juga
pemasok dan pelanggan inti
- Bertindak sebagai ”pemindah batu karang” bila tim menemukan
hambatan
2. Sponsor atau Champion.
Sponsor adalah manajer senior yang mengawasi perbaikan proyek.
Tim memerlukan kebebasan memutuskan masalah tetapi juga
memerlukan pedoman dari pemimpin dalam mencapai tujuan usaha.
Tanggung jawab sponsor adalah :
- Menetapkan tujuan perbaikan proyek, termasuk pembuatan Project
Rationale dan menjamin untuk menjalankannya sesuai dengan prioritas usaha
- Memimpin dan menyetujui perubahan arah atau jangkauan proyek
bila perlu
- Menemukan sumber daya untuk proyek
- Mewakili tim Kelompok Kepemimpinan (leadership) dan bertindak
sebagai penasehat
- Membantu menjernihkan permasalahan dan menyesuaikannya
dengan tim lain atau di luar tim
- Bekerja sama dengan process owner untuk menjamin kelancaran
menyimpulkan proyek perbaikan
- Menerapkan ilmu mengenai perbaikan proses dan tugas-tugas
3. Pemimpin pelaksana (Implementation Leader)
Tanggung jawab dari pemimpin pelaksana adalah :
- Mendukung Kelompok Kepemimpinan (Leadership) yang meliputi
kegiatan mereka, termasuk komunikasi, pemilihan proyek dan tinjau
ulang proyek
- Identifikasi dan rekomendasi individu atau kelompok untuk
memenuhi peranan inti termasuk konsultasi eksternal dan dukungan
pelatihan
- Mempersiapkan dan menjalankan rencana pelatihan termasuk
pemilihan kurikulum, penjadwalan dan logistik
- Membantu sponsor memenuhi peran mereka sebagai pendukung,
penasehat dan pembangkit semangat tim
- Mencatat keseluruhan perkembangan dan memfokuskan kepada
permasalahan yang memerlukan perhatian lebih
- Membuat rencana pemasaran.
4. Pelatih six sigma (Coach)
Pelatih ahli secara teknis dan benar-benar bertindak sebagai
konsultan. Seorang pelatih menyediakan :
- Hubungan antara sponsor dengan kelompok kepemimpinan
(Leadership)
- Menetapkan jadwal proyek perusahaan
- Menghadapi perselisihan atau kurangnya kerjasama antar tim
dalam organisasi
- Memperkirakan potensi dan validasi hasil aktual
- Menyelesaikan ketidaksetujuan dan konflik anggota tim
- Mengumpulkan dan analisis data mengenai aktivitas tim
- Membantu promosi tim dan menyatakan keberhasilan mereka
5. Pemimpin tim (Team Leader) atau Pemimpin Proyek (Project Leader)
Team Leader memegang tanggung jawab utama pekerjaan dan
hasil six sigma. Biasanya berfokus pada proses atau desain ulang, tetapi
juga menangani sistem Voice of The Customer, pengukuran atau
Tanggung jawab pemimpin tim adalah :
- Meninjau ulang/mengklarifikasi project rationale dengan sponsor
- Mengembangkan dan memutakhirkan Project Charter dan rencana
implementasi
- Memilih anggota-anggota tim proyek
- Memperkenalkan dan mencari sumber daya dan informasi
- Memberi pengertian dan membantu anggota tim lainnya
menggunakan alat-alat six sigma yang tepat, juga tim dan teknik
manajemen pertemuan
- Membuat jadwal proyek dan terus menuju ke solusi dan hasil akhir
- Mendukung transfer solusi atau proses baru untuk meneruskan
proses operasional ketika bekerja sama dengan manajer lainnya,
juga Process Owner
- Mencatat hasil akhir dan membuat ”story board” proyek.
6. Anggota tim (Team Member)
Anggota tim kebanyakan diumpamakan sebagai kendaraan untuk
mencapai usaha perbaikan. Anggota tim menggunakan pikiran dan
tenaga yang lebih di samping pengukuran, analisis dan perbaikan proses.
7. Pemilik proses (Process Owner)
Pemilik proses merupakan orang yang bertanggung jawab secara
cross-functional untuk mengatur sekumpulan langkah ”end-to-end”, baik untuk pelanggan internal maupun eksternal. Pemilik proses menerima
pedoman dari tim perbaikan atau menjadi pemilik baru dari proses yang
baru didesain.
8. Black Belts,Master Black Belts dan struktur peranannya.
Black Belts adalah orang-orang yang memiliki keterampilan dan
kedisiplinan, disamping itu Grenn, Black dan Master lebih cenderung
dilatih lebih mendalam dan berpengalaman.
Definisi Black Belts tergantung dari empat faktor utama berikut :
a. Jenis proyek atau proses yang ditangani
Bila proses dan produk cenderung bersifat teknik, Black Belts
misalnya, bila data yang diambil lebih sederhana dan persoalan
tidak begitu teknis, keterampilan dasar lainnya seperti definisi
proses, mengembangkan definisi operasional, mengumpulkan dan
analisis data, keterampilan tim lebih diutamakan.
b. Struktur Black Belts dalam organisasi
Bila Black belts ditujukan sebagai Coaches perhatiannya
akan cenderung lebih teknis. Bila diberi peringkat dari segi
manajemen dan akan menuntun ke tim perbaikan, keterampilan
seperti definisi masalah, kepemimpinan dan manajemen proyek
akan lebih penting daripada analisis statistik
c. Tujuan dari inisiatif six sigma
Tidak semua perusahaan yang menerapkan six sigma
dijamin menjadi pemimpin sistem. Banyak perusahaan yang
menerapkan secara mendasar hanya berupa pengukuran dan
skill/tools statistik. Bedanya, perusahaan six sigma
mengembangkan dan berfokus pada statistik, analisis data dan
metode rekayasa lainnya.
d. Konsultan atau penasehat yang dipilih
Konsultan ada yang menitikberatkan pada teknis/statistik,
ada yang cenderung ke perubahan bisnis dan perbaikan proses.
Selain itu menawarkan program yang kaku, ada yang mencoba
menyelesaikan dengan organisasi dan rencana kebutuhan/
implementasinya.
2.7. Fase dalam six sigma
Pendekatan six sigma yang digunakan dalam proyek peningkatan
mutu terdiri dari lima fase yaitu Define, Measure, Analyze, Improve dan
Control (DMAIC). DMAIC merupakan sebuah tahapan proses sistematis dan mengacu pada fakta untuk melakukan perbaikan terus menerus (Muslim,
Gambar 3. Lima Fase Six Sigma dalam Proyek Peningkatan Mutu (Muslim, 2005)
1. Define
Fase define berkaitan dengan pendefinisian tujuan dan latar
belakang serta identifikasi permasalahan yang harus diberi perhatian
untuk dapat mencapai kinerja mutu yang lebih baik. Aktivitas yang
dilakukan adalah merumuskan masalah (problem statement)
menentukan ruang lingkup dan mendefinisikan proses bisnis yang akan
diteliti dengan mengenali hubungan antara variabel input dan
responnya.
2. Measure
Fase measure berkaitan dengan pengumpulan informasi mengenai
kondisi saat ini dan melakukan pengukuran atau studi kemampuan
proses yang ada saat ini. Hasil pengukuran menghasilkan nilai metrik
yang menunjukkan kemampuan proses saat ini dan dijadikan tolok ukur
perusahaan dalam melakukan tindakan perbaikan.
3. Analyze
Fase analyze bertujuan untuk menemukan penyebab permasalahan
yang tepat dari masalah mutu dengan menggunakan alat analisis yang
sesuai, yaitu diagram sebab akibat. Tujuannya adalah untuk mengerti
lebih jauh tentang proses dan mengidentifikasi alternatif solusi yang
dilakukan untuk melakukan perbaikan.
Define
Mulai proyek baru
Measurement
Control Improvement
Analyze
Proyek selesai dan memulai langkah baru untuk proyek
4. Improvement
Fase improvement berkaitan dengan penentuan dan implementasi
solusi-solusi berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada tahap
sebelumnya.
5. Control
Fase control bertujuan untuk terus mengevaluasi dan memonitor
hasil-hasil tahap sebelumnya atau hasil implementasi yang telah
dilakukan. Tahap ini bertujuan untuk memastikan bahwa kondisi yang
diperbaiki dapat berkesinambungan dan tidak berjalan dalam waktu yang
singkat. (Muslim, 2005)
2.8. Seven Basic Quality Tools
Alat bantu yang dapat digunakan secara mudah dalam persoalan
pemberian jaminan mutu produk adalah seven basic quality tools. Seven
basic quality tools terdiri dari (1) Lembar Periksa (Check Sheet),(2) Diagram Pareto, (3) Diagram Sebab Akibat, (4) Histogram, (5) Diagram
Stratifikasi, (6) Scatter Diagram dan (7) Bagan Kendali Mutu (Control
Chart) (Sulistyadi dam Susanti , 2003). Alat-alat tersebut merupakan alat
analisis dalam pengawasan mutu (quality control) yang paling mendasar.
(http://en.wikipedia.org/ wiki/Seven Basic Quality Tools).
1. Lembar Periksa (Check Sheet)
Lembar periksa merupakan suatu bagan terstruktur yang
dipersiapkan untuk mengumpulkan dan menganlisis data. Alat ini
merupakan suatu alat yang umum sehingga dapat digunakan untuk
berbagai jenis tujuan (http://en.wikipedia.org/wiki/Seven Basic Quality
Tools).
Muhandri dan Kadarisman (2007) menyatakan bahwa check
sheet merupakan alat bantu untuk memudahkan pengumpulan data. Data sendiri merupakan unsur penting dalam pelaksanaan pengendalian dan
perbaikan mutu. Data berguna untuk membantu memahami situasi yang
sebenarnya, menganalisis persoalan, mengendalikan proses, mengambil
keputusan dan membuat rencana. Jenis data yang ada adalah :
b. Data hasil penghitungan : jumlah copy, jumlah kerusakan dan
lain-lain.
c. Data dalam urutan : pertama, kedua dan lain-lain.
d. Data dalam derajat tingkat persoalannya : nilai 1, nilai 2 dan
lain-lain.
e. Data dalam hubungan kepentingan relatif : ya/tidak, 1/0 dan
lain-lain.
Lembar periksa terdiri atas daftar-daftar item dan petunjuk
mengenai hal-hal yang sering terjadi. Selain itu juga sebagai pengingat
yang langsung menunjukkan pada data yang penting. Biasanya disebut
Confirmation Check Sheet (Miranda dan Tunggal, 2002). Tujuan utama dari lembar periksa adalah memudahkan proses pengumpulan data,
memilah data ke dalam kategori yang berbeda seperti penyebab dan
masalah, menyusun data secara otomatis serta memisahkan antara opini
dan fakta (Trisyulianti, 2005)
2. Diagram Pareto
Diagram pareto merupakan diagram yang terdiri atas grafik balok
dan grafik garis yang menggambarkan perbandingan masing-masing
jenis data terhadap keseluruhan. Diagram pareto dapat memperlihatkan
masalah mana yang dominan (vital few) dan masalah yang banyak tapi
kurang dominan (trivial many) (Muhandri dan Kadarisman, 2006).
Diagram pareto dapat digunakan untuk memprioritaskan masalah
yang harus ditangani dengan aturan pengelompokan 80/20 (Hendradi,
2006). Diagram ini cocok digunakan pada tingkatan bervariasi dalam
program perbaikan mutu untuk menentukan langkah apa yang harus
diambil selanjutnya (Miranda dan Tunggal, 2002).
3. Diagram Sebab Akibat
Ishikawa membuat diagram sebab akibat atau sering disebut
diagram Ishikawa (fishbone diagram) yang merupakan alat untuk
menunjukkan semua hal yang berhubungan dengan masalah (Miranda
dan Tunggal, 2002). Diagram sebab akibat berguna untuk mengetahui
berpengaruh terhadap hasil), penyusunannya dilakukan dengan teknik
brainstorming (Muhandri dan Kadarisman, 2006). Diagram sebab akibat mengidentifikasi semua penyebab yang mungkin terjadi untuk suatu
akibat atau masalah ke dalam kategori yang berguna
(http://en.wikipedia.org/wiki/Seven Basic Quality Tool). Penyebab
masalah minor biasanya dikelompokkan dalam empat sampai lima
kategori dasar (http://en.wikipedia.org/wiki/Process Improvement
Tools).
Kategori itu antara lain :
1. Bahan, metode, manusia dan mesin
2. Peralatan, kebijakan, prosedur dan manusia
3. Penanganan, metode, manusia, perancangan dan peralatan
4. Histogram
Histogram merupakan diagram yang terdiri dari grafik balok dan
menggambarkan penyebabarn (distibusi) data-data yang ada (Muhandri,
2006). Histogram merupakan alat yang paling umum digunakan untuk
menunjukkan penyebaran frekuensi atau seberapa sering masing-masing
variabel terjadi pada suatu data (http://en.wikipedia.org/wiki/Seven
Basic Quality Tools). Melalui histogram, dispersi dan kecenderungan
terpusat serta perbandingan distribusi yang dibutuhkan dapat terlihat
dengan jelas (Miranda dan Tunggal, 2002).
Histogram merupakan salah satu bagian dari diagram batang. Pada
histogram, variabel dletakkan pada sumbu x dan dibandingkan dengan
nilai yang diletakkan pada sumbu y.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Process Improvement Tools).
5. Diagram Stratifikasi
Suatu teknik yang digunakan untuk memisahkan kumpulan data
dari berbagai jenis sumber sehingga polanya dapat dilihat. Pada beberapa
daftar, diagram stratifikasi digantikan dengan flowchart atau run chart
(http://en.wikipedia.org/wiki/Seven Basic Quality Tools).
Stratifikasi merupakan kegiatan yang ditujukan untuk mengurai
sejenis yang lebih kecil atau menjadi unsur-unsur tunggal dari data atau
masalah sehingga menjadi lebih jelas (Muhandri, 2006).
6. ScatterDiagram
Scatter diagram atau diagram tebar merupakan plot satu variabel atau lebih. Satu variabel disebut variabel independen biasanya diletakaan
pada sumbu horizontal. Variabel lainnya disebut dengan variabel
dependen yang ditunjukkan dengan sumbu vertikal (Miranda dan
Tunggal, 2002). Scatter diagram merupakan suatu diagram yang
menggambarkan hubungan antara dua faktor atau data. Diagram ini
dapat melihat apakah dua faktor yang diuji memiliki hubungan atau tidak
(Muhandri dan Kadarisman, 2006).
Manfaat dari scatter diagram adalah dapat mengevaluasi hubungan
sebab akibat. Asumsi yang digunakan adalah variabel independen
menyebabkan perubahan pada variabel dependen (Miranda dan Tunggal,
2002).
7. Bagan Kendali Mutu (Control Chart)
Control chart merupakan grafik yang digunakan untuk mempelajari perubahan proses dari waktu ke waktu.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Seven Basic Quality Tools). Definisi lain
menyebutkan bahwa control chart merupakan grafik tren dengan batas
atas dan batas bawah yang ditentukan secara statistik pada rataan proses
(http://en.wikipedia.org/wiki/Process Improvement Tools).
Bagan kendali merupakan grafik garis yang mencantumkan batas
maksimum dan batas minimum yang merupakan daerah batas
pengendalian. Bagan ini menunjukkan perubahan data dari waktu ke
waktu tetapi tidak menunjukkan penyebab munculnya penyimpangan
(Muhandri dan Kadarisman, 2006).
Control chart membantu untuk memisahkan antara penyebab
umum dari penyebab khusus. Alat ini digunakan untuk mengawasi
stabilitas sistem sehingga penyebab khusus dapat segera diketahui. Data
yang digunakan dalam control chart berasal dari
1. Data pengukuran, seperti panjang, suhu, volume dan tekanan.
2. Data penghitungan, seperti cacat produk, barang yang belum diberi
label dan kejadian.
2.9. Statistical Process Control
Pengendalian proses secara statistik dan sampling penerimaan
merupakan alat statistik yang terpenting dalam mengendalikan mutu. Proses
pengendalian secara statistik merupakan teknik statistik yang secara luas
digunakan untuk memastikan bahwa proses yang sedang berjalan telah
memenuhi standar. Tujuan sistem pengendalian proses adalah untuk
memberikan informasi awal secara statistik di tempat timbulnya sebab-sebab
khusus (variasi yang ditimbulkan oleh gangguan pada proses) yang
mempengaruhi variasi. Tanda awal seperti itu dapat mempercepat
pengambilan keputusan yang tepat untuk menghapus sebab-sebab khusus
tersebut (Heizer dan Render, 2001).
Alat sederhana yang digunakan untuk memisahkan variasi alami
dengan variasi khusus adalah peta kendali proses. Peta tersebut digunakan
untuk mengukur kinerja proses. Suatu proses dikatakan terkendali secara
statistik jika sumber variasi satu-satunya adalah sebab-sebab yang alami.
Proses tersebut harus digambarkan dalam peta kendali proses melalui
pendeteksian dan penghapusan sebab-sebab variasi yang khusus. Setelah itu,
barulah dapat diprediksi kinerjanya dan dapat ditentukan kemampuannya
untuk memenuhi apa yang diharapkan oleh konsumen. Tujuan dari
pembua