• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Keberlanjutan Usaha Tani Bawang Merah Di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Keberlanjutan Usaha Tani Bawang Merah Di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur"

Copied!
206
0
0

Teks penuh

(1)

BUDI WARYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA TANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN NGANJUK JAWA TIMUR” karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

(3)

BUDI WARYANTO. Analisis Keberlanjutan Usaha Tani Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur. Dibimbing oleh M.A CHOZIN, DADANG dan EKA INTAN K. PUTRI.

Bawang merah merupakan komoditas penting bagi sebagian besar petani di Indonesia. Sentra produksi bawang merah Indonesia masih terkonsentrasi di Jawa. Kabupaten Brebes di Jawa Tengah merupakan sentra bawang merah terbesar di Indonesia yang memberikan kontribusi sebesar 23 persen. Selanjutnya diikuti Kabupaten Nganjuk di Jawa Timur, dimana produksi bawang merahnya memberikan kontribusi sebesar 12.08 persen terhadap produksi nasional. Usaha tani bawang merah di Indonesia masih menghadapi banyak kendala di dalam negeri, di antaranya ancaman konversi lahan, harga bibit berkualitas mahal dan belum optimalnya penggunaan input produksi. Kendala lain yaitu harga jual berfluktuasi, tingkat pengetahuan petani dan akses petani ke lembaga pemerintah maupun lembaga keuangan masih rendah dan tidak kalah pentingnya adalah ancaman faktor iklim yang sulit dikendalikan. Pada skala global tantangan yang dihadapi adalah gencarnya kampanye untuk mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan, seperti dituangkan pada Agenda-21, sehingga usaha tani bawang merah juga harus menyesuaikannya.

Berdasarkan potensi usaha tani bawang merah yang masih terbuka dan pada sisi lain masih adanya kendala usaha tani, maka telah dilakukan penelitian di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi bawang merah, analisis efisiensi teknis (ET), efisiensi alokatif (EA) dan efisiensi ekonomi (EE), serta analisis daya saing, 2) melakukan analisis efisiensi lingkungan, 3) melakukan analisis persepsi petani terhadap pertanian berkelanjutan dan (4) menghitung indek keberlanjutan. Survei dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2013.

Regresi stochastic frontier Cobb-Douglas digunakan sebagai alat analisis untuk mengidentifikasi fakor-faktor yang mempengaruhi produksi. Hasil analisis menunjukkan enam variabel faktor produksi yaitu luas lahan (X1), penggunaan bibit (X2), penggunaan pupuk NPK (X3), penggunaan pupuk organik (X4), penggunaan tenaga kerja (X5) dan penggunaan pestisida (X6), semuanya berpengaruh nyata secara statistik terhadap variabel dependen produksi bawang merah. Dari keenam faktor produksi tersebut, penggunaan bibit memiliki nilai elastisitas tertinggi yaitu sebesar 0.2822. Hasil perhitungan return to scale diperoleh nilai 1.0457, sehingga usaha tani bawang merah pada penelitian ini dikatagorikan Constant Return to Scale (CRS).

(4)

dibandingkan bibit yang berasal dari umbi. Tingkat efisiensi ekonomi yang belum tercapai juga tercermin dari analisis lain menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil analisis PAM menunjukkan usaha tani bawang merah pada penelitian ini belum memiliki tingkat keunggulan komparatif, karena nilai Domestic Resource Cost Ratio/DRCR sebesar 1.12. Dapat diartikan bahwa penggunaan biaya domestik untuk memproduksi satu satuan bawang merah oleh petani lebih tinggi 12 persen dibanding bila mengimpor satu satuan produk yang sama. Petani belum bisa bersaing dengan produsen yang sama dari negara lain.

Selain keberlanjutan aspek ekonomi, analisis keberlanjutan aspek lingkungan merupakan bagian penting dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan. Analisis efisiensi lingkungan (EEnv) yang diturunkan dari persamaan regresi stochastic frontier translog digunakan sebagai alat evaluasi keberlanjutan dengan variabel penciri yaitu kelebihan penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida yang terlalu tinggi berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, kesehatan petani dan masyarakat di sekitarnya. Nilai EEnv sebesar 0.5674, masih di bawah nilai batas sebesar 0.8, sehingga dapat disimpulkan usaha tani bawang merah belum efisiensi dilihat dari aspek lingkungan. Rendahnya EEnv tercermin dari fakta penelitian yang menunjukkan masih banyak petani menyemprot pestisida dengan frekuensi sebanyak 12 kali dalam satu periode penanaman bawang merah, bahkan ada sebagian petani yang menyemprot 18 kali. Untuk meningkatkan efisiensi lingkungan maka penggunaan pestisida dapat dikurangi dan diarahkan untuk meningkatkan penggunaan metode Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Penggunaan PHT sangat memungkinkan untuk diterapkan, karena 99.39 persen petani telah memahami penggunaan metode PHT.

Analisis aspek sosial dilihat dari karakteristik responden dan persepsi mereka terhadap pertanian berkelanjutan memperlihatkan: petani bawang merah memiliki karakteristik berpendidikan rendah, rata-rata masuk usia produktif, sebagian besar sudah masuk anggota kelompok tani, namun hanya sedikit yang memiliki akses ke penyuluh pertanian yaitu hanya 39.11 persen. Walapun berpendidikan rendah, namun pengetahuan petani terhadap pertanian berkelanjutan sangat baik. Tingginya tingkat pengetahuan tersebut, dikarenakan peranan sumber informasi utamanya dari petani lain dan keluarga, baru kemudian penyuluh. Didasari pengetahuan yang baik, maka persepsi mereka terhadap pertanian berkelanjutan juga dikatagorikan baik. Secara umum petani mempersepsikan “penting” terhadap pertanian berkelanjutan, dan mereka berkeinginan untuk mengimplementasikannya.

Hasil analisis keberlanjutan khususnya aspek ekonomi dan lingkungan melalui pendekatan efisiensi seperi diuraikan sebelumnya, sejalan dengan analisis indek keberlanjutan. Jika efisiensi ekonomi dan lingkungan disimpulkan belum tercapai, begitu pula dilihat dari indek keberlanjutan untuk aspek ekonomi nilainya sebesar 0.55 dan aspek lingkungan sebesar 0.56. Lain halnya untuk indek keberlanjutan aspek sosial, nilainya sebesar 0.69. Secara keseluruhan nilai indek gabungan dari aspek ekonomi, lingkungan dan sosial dikatagorikan “sedang” dengan nilai 0.6.

(5)

kebijakan baik oleh pemerintah daerah maupun pusat.

(6)

BUDI WARYANTO. The Analysis of shallot farming sustainability in Nganjuk Regency, East Java. Supervised by M.A. CHOZIN, DADANG and EKA INTAN K. PUTRI

Shallots are an important commodity for most farmers in Indonesia. Production centers of shallot in Indonesia are still concentrated in Java. Brebes regency in Central Java is the largest shallot center in Indonesia's which contributed 23 percent. Continued by Nganjuk regency in East Java, where its shallot production gave 12.08 percent contribution to the National production. Shallot farming business in Indonesia were still facing many obstacles, some of them are land conversion threat, the expensive price of quality seeds, and non-optimal use of production inputs. Other problem were a fluctuatingselling price, the level of knowledge of farmers and farmers' access to government agencies and financial institutions is still low and not less important is the threat of climate factors that are difficult to control. On the global scale the challenge is to face the vigorous campaign to manifest a sustainable agricultural, as outlined in Agenda-21, so that shallot farming should also need to adjust to these demands.

Based on the potential of shallot farming business that still's open and on the other hand there are also farming constraints, a research had been conducted in Nganjuk regency in East Java.The special purpose of this research are: 1) to analyze the factors affecting shallot production, analysis of technical efficiency (TE), allocative efficiency (EA) and economic efficiency (EE) and the competitiveness analysis 2) to analyze the environmental efficiency, 3) to analyze the perception of farmers towards sustainable agriculture and 4) calculate the sustainability index.The survey had been carried out on October to November 2013.

Regression stochastic frontier Cobb-Douglas used as an analytical tool to identify the factors affecting shallot production. The analysis revealed six factors of production variables, namely land area (X1), the use of seeds (X2), the use of NPK fertilizer (X3), the use of organic fertilizers (X4), the use of labor (X5) and the use of pesticides (X6), all statistically had significant effect on the dependent variable of shallot production. Of the six production factors, the use of seeds have the highest elasticity value that is 0.2822. The result of the return to scale calculation was 1.0457, so that shallot farming business in this study categorized as Constant Return to Scale.

(7)

level of comparative advantage yet, because the value of the Domestic Resource Cos Ratio / DRCR was 1.12. Could be interpreted that the use of domestic costs to produce one unit ofshallotwere 12 percent higher than when importing one unit of the same product. Farmers can not compete with the same producers from other countries.

In addition to the sustainability of economic aspects, the analysis of sustainability environmental aspects was an important part to achieving the sustainable agriculture. Analysis of environmental efficiency (EEnv) derived from a translog stochastic frontier regression equation is used as sustainability evaluation tool with the excess amount of pesticides usage as the identifier variable. The very high pesticides usage would potentially caused negative impact on the environment, the health of farmers and surrounding communities. EEnv value at 0.5674was still below limit value of 0.8, so it can be inferred shallot farming was not efficient yet seen from the environmental aspects. Low EEnv reflected from studies fact showing that there are many farmers sprayed pesticides with frequency of 12 times in a period of shallot planting, there are even some farmers spraying 18 times. To improve the environmental efficiency the use of pesticide can be reduced and redirected to increase the use of Integrated Pest Management (IPM) methods. The use of IPM is very possible to be applied, since 99.39 percent of farmers have understood the use of IPM methods.

The social aspect analysis seen from the respondent characteristic and their perception on the agriculture sustainability showed that the characteristics of shallot farmers were;low levels of education, in average they are on the productive age, most of them had become members of the farmers group, but only few have had access to agricultural counselor that is only 39.11 percent.Although their levels of education was low, but the farmers knowledge on the sustainable agricultural development concept is very good. The high level of knowledge of farmers is primarily due to the role information source from other farmers and families, as well as from the counselor. Based on a good knowledge their perception on sustainable agricultural development categorized as good. In general the farmer give "important" perception to sustainable agriculture and their desire to implement it.

The results of the sustainability analysis particularly for the economic and environment aspect through the efficiency approaches like described previously, was in line with the sustainability index analysis. If economic and environment efficiency concluded as not been achieved yet, as well as when viewed from sustainability index for economic aspect with value 0.55 and the environment aspect at 0.56, It was different for the social aspect with value 0.69. In overall the combination index of economic, environmental and social aspect were categorized as "medium" with a value of 0.6.

Based on analytical approach described, it can be concluded that shallot farming business sustainability has not been achieved yet, this reflected on the economic efficiency and environmental efficiency whichwas still low. To achieve sustainability farming business level, an improvement through technology innovation for production inputs such as the use of TSS, pesticide reduction, improved the IPM role in controlling the pest attack and desease and revitalizing the role of agricultural counsellor. Those improvement can be carried out by support from national and local governments policy.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

BUDI WARYANTO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

Prof Dr Muhamad Syukur, SP, MSi

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr Ir Yusman Syaukat, MEc

(11)

Nama : Budi Waryanto

NIM : P062100254

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Muhamad Achmad Chozin, MAgr Ketua

Prof Dr Ir Dadang, MSc Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MSc Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana, Pengelolaan Sumber Daya Alam

dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunia Nya, sehingga disertasi dengan topik “Analisis Keberlanjutan Usaha Tani Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur” di bawah bimbingan dan arahan Komisi Pembimbing telah dapat kami selesaikan dengan baik.

Usaha tani bawang merah walaupun telah lama diusahakan oleh petani di Indonesia namun masih menghadapi permasalahan yang kompleks. Beberapa permasalahan baik dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan masih banyak dijumpai. Konversi lahan menjadi permasalahan utama yang sekarang terus menekan usaha tani bawang merah, selain itu ketersediaan bibit bermutu masih belum terpenuhi, permasalahan input produksi, harga bahkan faktor iklim perlu mendapat perhatian serius. Selain itu tuntutan ekonomi global yang mensyaratkan produk pertanian yang kontinyu namun juga berkualitas dan aman, perlu menjadi perhatian pemerintah agar peluang ekspor dapat dimanfaatkan. Atas dasar hal tersebut maka melalui penelitian ini telah dilakukan analisis lebih mendalam tentang usaha tani bawang merah berkelanjutan baik dari aspek ekonomi, lingkungan maupun sosial.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir MA. Chozin, MAgr selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof Dr Ir Dadang, MSc dan Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MSc masing-masing selaku anggota pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan arahan. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan motivasi untuk menyelesaikan disertasi ini. Demikian pula kepada semua pihak yang telah membantu dan berkontribusi dalam penyusunan penelitian ini kami mengucapkan terima kasih.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvii

DAFTAR LAMPIRAN xviii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Kerangka Pemikiran 3

Perumusan Masalah 10

Tujuan Penelitian 12

Manfaat Penelitian 12

Kebaruan Novelty Penelitian 12

2 TINJAUAN PUSAKA

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan 14

Usaha Tani Bawang Merah dan Permasalahan Penggunaan Input Produksi 16

Fungsi Produksi, Efisiensi Teknis dan Efisiensi Ekonomi 19

Pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) 25

Hubungan Efisiensi dan Daya Saing 26

Efisiensi Lingkungan 27

Persepsi Petani terhadap Pertanian Berkelanjutan 30

Pengukuran Tingkat Keberlanjutan Usaha Tani 31

3 ANALISIS FUNGSI PRODUKSI, EFISIENSI TEKNIS DAN EFISIENSI EKONOMI SERTA DAYA SAING: PENDEKATAN STOCHASTIC FRONTIER COBB DOUGLASS

DAN POLICY ANALYISIS MATRIX (PAM)

Pendahuluan 35

Metode Penelitian dan Analisis Data 36

Hasil dan Pembahasan 45

Simpulan dan Saran 73

4 ANALISIS EFISIENSI LINGKUNGAN USAHA TANI BAWANG MERAH:

PENDEKATAN REGRESI STOCHASTIC FRONTIER TRANSLOG

Pendahuluan 75

Metode Penelitian dan Analisis Data 77

Hasil dan Pembahasan 80

Simpulan dan Saran 88

5 ANALISIS PERSEPSI PETANI TERHADAP PEMBANGUNAN PERTANIAN

BERKELANJUTAN

Pendahuluan 90

Metode Penelitian dan Analisis Data 91

Hasil dan Pembahasan 93

(14)

6 INDEK KEBERLANJUTAN USAHA TANI BAWANG MERAH Di KABUPATEN NGANJUK JAWA TIMUR

Pendahuluan 111

Metode Penelitian dan Analisis Data 113

Hasil dan Pembahasan 114

Simpulan dan Saran 119

7 PEMBAHASAN UMUM 120

8 SIMPULAN DAN SARAN 131

DAFTAR PUSTAKA 134

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Tabel PAM 26

2 Interaksi komponen keberlanjutan pada sektor pertanian 30

3 Sebaran responden penelitian petani bawang merah 38

4 Matrik PAM 42

5 Ringkasan data pendugaan fungsi produksi usaha tani bawang merah di

Kabupaten Nganjuk 45

6 Pendugaan fungsi produksi dengan metode OLS usaha tani bawang merah di

Kabupaten Nganjuk 46

7 Uji normalitas dan uji multikolinieritas data usaha tani bawang merah di

Kabupaten Nganjuk 48

8 Pendugaan fungsi produksi stochastic frontier usaha tani bawang merah di

Kabupaten Nganjuk menggunakan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) 50 9 Sebaran nilai efisiensi teknis usaha tani bawang merah di Kabupaten Nganjuk 54 10 Pendugaan efek inefisiensi teknis usaha tani bawang merah di Kabupaten Nganjuk 57 11 Keanggotaan kelompok tani dan rata-rata nilai efisiensi teknis usaha tani bawang

Merah di Kabupaten Nganjuk 87

12 Akses petani bawang merah di Kabupaten Nganjuk ke penyuluh dan rata-rata nilai ET 59 13 Pengaruh utama petani dalam memilih usaha tani bawang merah dan rata-rata nilai

Efisiensi teknis 59

14 Sebaran efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi usaha tani bawang merah di

Kabupaten Nganjuk 61

15 Perbandingan rata-rata nilai ET, EA dan EE untuk berbagai komoditas 63

16 Hasil analisis PAM bawang merah 66

17 Nilai NPCO, NPCI, PCR dan DRCR usaha tani bawang merah di Kabupaten Nganjuk 68

18 Contoh perhitungan kelebihan penggunaan pestisida 80

19 Rekapitulasi variabel hasil analisis diskriptif usaha tani bawang merah di

Kabupaten Nganjuk 81

20 Ringkasan analisis regresi stochastic frontier translog usaha tani bawang merah

Di Kabupaten Nganjuk 82

21 Efisiensi teknis dan efisiensi lingkungan usaha tani bawang merah di Kabupaten

(16)

22 Nilai korelasi variabel input, produksi dan efisiensi usaha tani bawang merah

di Kabupaten Nganjuk 85

23 Frekuensi penyemprotan pestisida pada bawang merah di Kabupaten Nganjuk 85 24 Tingkat pemahaman petani bawang merah di Kabupaten Nganjuk terhadap metode PHT 86

25 Karakteristik responden penelitian di Kabupaten Nganjuk 94

26 Pengetahuan responden penelitian di Kabupaten Nganjuk terhadap konsep/definisi

pertanian berkelanjutan 95

27 Keputusan implementasi usaha tani bawang merah berkelanjutan di Kabupaten Nganjuk 96

28 Analisis persepsi pertanian berkelanjutan di Kabupaten Nganjuk 98

29 Hasil analisis hubungan antara karakteristik petani dengan persepsi pertanian

Berkelanjutan di Kabupaten Nganjuk 103

30 Hasil analisis hubungan antara persepsi pertanian berkelanjutan dengan

keputusan implementasi di Kabupaten Nganjuk 106

31 Hasil analisis hubungan antara karakteristik petani dengan keputusan

Implementasi di Kabupaten Nganjuk 107

32 Analisis keberlanjutan pada usaha tani bawang merah di Kabupaten Nganjuk 118 33 Perbandingan nilai efisiensi dan indek keberlanjutan usaha tani bawang merah

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pikir penelitian 8

2 Kurva fungsi produksi 21

3 Kurva isoquant 22

4 Ukuran efisiensi 23

5 Kurva produksi frontier untuk X dan pengurangan input lingkungan Z 28

6 Lokasi penelitian di Kabupaten Nganjuk 37

7 Hasil pengujian heteroskdastisitas data usaha tani bawang merah di Kabupaten Nganjuk 49 8 Hubungan antara ET, EA dan EE usaha tani bawang merah di Kabupaten Nganjuk 62 9 Kondisi produksi yang efisien secara teknis dan inefisiens secara alokatif 65

10 Perkembangan harga bawang merah di Indonesia, 2010-2013 68

11 Perbandingan harga bawang merah internasional dan domestik, 2012-2013 69

12 Pemberlakukan impor pada keseimbangan pasar 70

13 Rata-rata curah hujan tahun 2000-2013 71

14 Diagram analisis persepsi petani tentang pembangunan berkelanjutan 92

15 Dimensi pembangunan berkelanjutan 111

16 Nilai indek keberlanjutan dimensi ekonomi di Kabupaten Nganjuk 115

17 Nilai indek keberlanjutan dimensi social di Kabupaten Nganjuk 116

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Output regresi frontier Cobb-Douglas 146

2 Penurunan rumus fungsi biaya 154

3 Hasil analisis efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi 166

4 Output regresi stochastic frontier translog 171

5 Variabel/indikator dimensi keberlanjutan 186

(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan sektor pertanian di Indonesia pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani serta menopang keberhasilan pembangunan nasional (Simatupang 1992). Kontribusi sektor pertanian terhadap pembangunan nasional dapat dilihat dari sumbangan PDB pertanian. PDB sektor pertanian atas dasar harga konstan pada tahun 2012 mencapai Rp. 327.8 triliun atau sebesar 12.51 persen dari PDB nasional (BPS 2013a). Kontribusi PDB pertanian tersebut merupakan gabungan dari sektor pertanian itu sendiri, kehutanan dan perikanan. Pada skala yang lebih sempit, sektor pertanian hanya mencakup sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Sub sektor hortikultura merupakan salah satu simpul sistem pembangunan pertanian yang memiliki prospek sangat baik dengan potensi keragaman komoditas yang sangat tinggi. Sebanyak 90 jenis komoditas hortikultura menjadi fokus pemantauan untuk dilakukan pendataan produksi secara periodik dari 223 jenis yang menjadi binaan Kementerian Pertanian (BPS dan Deptan 2009). Salah satu komoditas penting adalah bawang merah.

Komoditas bawang merah memiliki nilai ekonomis tinggi dan banyak digunakan sebagai bahan utama bumbu dasar masakan di Indonesia (Utami, 2010), selain itu dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan. Bahkan bawang merah menjadi komoditas olahan penting dalam bentuk bawang goreng seperti yang diusahakan oleh masyarakat di Kabupaten Donggala provinsi Sulawesi Tengah, yang sering dikenal dengan bawang goreng Palu (Distannak Donggala 2006).

Potensi produksi bawang merah Indonesia cukup tinggi, pada tahun 2012 mencapai 964 195 ton, tumbuh rata-rata 3.61 persen selama kurun waktu 2008 sampai 2012. Wilayah penghasil bawang merah di Indonesia meliputi 24 provinsi dari 33 provinsi yang ada. Provinsi utama penghasil bawang merah yang ditandai dengan luas panen di atas 1 000 ha adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan (Pusdatin 2013). Untuk daerah Jawa, sentra produksi bawang merah selain kabupaten Brebes di Jawa Tengah yang memberikan kontribusi sebesar 23 persen dari produksi nasional (Distanhor Brebes 2011), kabupaten Nganjuk di Jawa Timur juga merupakan sentra dengan produksi pada tahun 2012 mencapai 123.46 ribu ton (BPS Nganjuk 2013).

(20)

2010). Peluang ekspor yang tinggi tersebut sejalan dengan peluang pasar dunia yang masih terbuka, yakni dilihat dari perdagangan bawang global yang diperkirakan mencapai 3 juta Mt per tahun senilai US $ 700 juta (Opara 2003). Produksi bawang merah dunia termasuk bawang bombay pada tahun 2012 mencapai 4.34 juta ton (FAO 2012). Sebagian produksi dunia tersebut dihasilkan oleh petani daerah tropis termasuk Indonesia, dimana kontribusi dari daerah tropis sebesar 30 persen dari produksi dunia (Opara 2003).

Berdasarkan keragaan data perdagangan bawang merah dunia seperti yang telah diuraikan, maka produksi dalam negeri memiliki peluang untuk memenuhi pasar ekspor selain juga untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Namun demikian banyak tantangan yang harus dihadapi jika produksi bawang merah dalam negeri ingin mencapai taraf untuk dapat memenuhi pasar ekspor, jaminan kontuinitas produksi dan kualitas produk menjadi sangat penting. Atas dasar hal tersebut, keberhasilan usaha tani bawang merah pada tingkat petani menjadi penentu guna mencapai standar produksi yang baik dan tetap menguntungkan. Dukungan kebijakan pemerintah sangat diperlukan baik pada sisi penyediaan sarana dan prasarana produksi, maupun dari sisi pasar.

Pemerintah Indonesia telah berupaya membuat kebijakan pengembangan hortikultura, yang tidak lagi terfokus hanya pada upaya peningkatan produksi komoditas semata, tetapi telah mempertimbangkan isu-isu strategis pada tingkat global. Isu strategis dimaksud, yaitu standar kualitas produk yang dapat memenuhi mutu keamanan pangan sesuai tuntutan konsumen (Wahyuni 2010), serta efisien dan berkelanjutan. Kebijakan pemerintah Indonesia tersebut diimplementasikan dalam bentuk 6 (enam) pilar pengembangan komoditas hortikultura, meliputi: 1) pengembangan kawasan, 2) penataan rantai pasok, 3) penerapan GAP dan SOP, 4) pengembangan kelembagaan, 5) fasilitasi terpadu investasi hortikultura dan 6) peningkatan konsumsi dan ekspor (Ditjen Hortikultura 2010).

Enam pilar kebijakan pengembangan hortikultura telah sesuai dengan konsep dari Food Agricultural Organization (FAO) terkait pembangunan pertanian berkelanjutan. FAO menawarkan mekanisme untuk melaksanakan tindakan nyata menuju pencapaian Pertanian Berkelanjutan dan Pembangunan Pedesaan (Sustainable Agriculture and Rural Development), seperti tertuang dalam Bab 14 Agenda 21. Bahkan melalui konferensi tingkat tinggi PBB telah ditekankan pentingnya pertanian berkelanjutan, sehingga memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan dan pengelolaan sumber daya alam (FAO 2002). Untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan, setiap usaha tani harus berorientasi pada proses pencapaian produksi yang menguntungkan dan efisien dengan menekankan pada perbaikan manajemen, pencegahan penyakit dan melakukan konservasi tanah, air, energi serta sumber daya biologis (Tathdil et al. 2009).

(21)

merah yang ditransaksikan di Pasar Sukomoro sebagian besar berasal dari wilayah Kecamatan Sukomoro, Gondang, Rejoso, Bagor dan sedikit dari Kecamatan Nganjuk. Walaupun ada juga perdagangan bawang merah dari Brebes (bawang merah lokal) dan Surabaya (bawang merah impor). Pengiriman bawang merah dari pasar Sukomoro terdistribusi merata, 48 persen penjualan bawang merah menuju ke arah Barat (Madiun, Solo, Jakarta), 36 persen ke arah Timur (Surabaya, Jombang) dan 16 persen ke arah Utara (Agropolitan Nganjuk 2012).

Pada dokumen Rencana Strategis Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Nganjuk tahun 2009 sampai 2013, telah dituangkan strategi pembangunan pertanian berkelanjutan dengan mempertimbangkan beberapa kendala strategis, di antaranya: 1) pendapatan petani yang umumnya masih rendah, 2) keterbatasan dan penurunan kapasitas SDM pertanian, 3) tuntutan pembangunan pertanian berkelanjutan, 4) keterbatasan akses layanan usaha dan permodalan, 5) rantai tataniaga yang panjang dan 6) sistem alih teknologi, kualitas SDM petani dan kelembagaan petani pada umumnya masih lemah (Dipertan Daerah Nganjuk 2009). Atas dasar identifikasi kendala tersebut, strategi pembangunan pertanian di Kabupaten Nganjuk khususnya untuk komoditas bawang merah diimplementasikan dalam bentuk program peningkatan kesejahteraan petani. Implementasi progam meliputi kegiatan pelatihan petani pelaku agribisnis, penyuluhan, pendampingan petani agribisnis bawang merah dan pengembangan fasilitas terpadu investasi hortikultura.

Guna mewujudkan usaha tani bawang merah berkelanjutan, telah dilakukan penelitian di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, dengan judul ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA TANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN NGANJUK JAWA TIMUR. Melalui penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan rekomendasi kepada pemerintah dan pelaku agribisnis lainnya dalam rangka pengembangan usaha tani bawang merah berkelanjutan di masa mendatang.

Kerangka Pemikiran

(22)

Usaha tani bawang merah di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh petani skala kecil. Data Sensus Pertanian 2003 menunjukkan dari 334 026 Rumah Tangga (RT) yang mengusahakan bawang merah, 74.28 persen atau 248 101 RT hanya memiliki lahan usaha bawang merah < 0.2 ha (BPS dan Pusdatin 2006). Usaha tani bawang merah yang dilakukan petani skala kecil menghadapi kendala yang sangat kompleks, di antaranya: 1) ketersediaan lahan untuk usaha tani cenderung berkurang, 2) ketersediaan bibit bawang merah berkualitas terbatas dan mahal, 3) penggunaan input produksi seperti pupuk anorganik masih tinggi walau harga mahal, 4) penggunaan pestisida untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit tanaman cenderung berlebihan, 5) harga jual cenderung berfluktuasi, 6) masalah eksternal berupa kondisi iklim yang tidak dapat dikendalikan, terutama banjir maupun kekeringan selalu mengancam setiap tahunnya, dan 7) permasalahan dari aspek sosial petani berupa akses teknologi, modal dan pengetahuan yang masih rendah serta adanya ancaman kesehatan petani akibat penggunaan pestisida yang cenderung masih tinggi.

Lahan sempit dan degradasi lahan merupakan dua faktor yang saling terkait dan menjadi kendala pengembangan usaha tani bawang merah. Basuki dan Ratih (2011) melaporkan, sebagian besar usaha pertanian dilakukan oleh petani yang mempunyai lahan sempit (<0.5 ha). Sempitnya lahan tersebut sebagai konsekuensi dari pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, sedangkan lahan usaha tani tetap bahkan cenderung menurun. Kondisi tersebut memaksa pemanfaatan dan eksploitasi lahan dilakukan secara intensif yang pada jangka panjang mengakibatkan degradasi lahan. Hal ini sejalan dengan laporan Balitbang Pertanian (2005) yang menyebutkan, lahan pada sentra produksi bawang merah seperti Brebes telah mengalami degradasi lahan. Degradasi lahan bisa berakibat pada penurunan minat petani untuk mengusahakan bawang merah. Data Sensus Peranian 2013 (ST2013) menunjukkan adanya penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian sub sektor hortikulura, termasuk petani bawang merah. Jika pada tahun 2003 terdapat 16.94 juta rumah tangga, pada tahun 2013 berkurang menjadi 10.60 juta rumah tangga (BPS 2013b).

(23)

Kendala usaha tani bawang merah lainnya adalah dalam hal penggunaan input produksi seperti pupuk anorganik. Walaupun input produksi tersebut sangat penting dalam meningkatkan produksi, namun pemakaiannya cenderung melebihi dosis anjuran, sehingga berpotensi menyebabkan degradasi lahan. Widodo (2008) melaporkan, pemakaian pupuk anorganik yang cukup tinggi berdampak pada penumpukan buangan bahan kimia di atas permukaan tanah yang dapat mencemari tanah dan badan perairan. Laporan BBSDLP (2006) menyebutkan adanya indikasi lahan pertanian intensif yang memanfaatkan pupuk anorganik cenderung menurun produktivitasnya, terutama terkait kandungan C-organik dalam tanah, yaitu kurang dari 2 persen. Pada lahan sawah intensif di Jawa, kandungan C kurang dari 1 persen. Padahal untuk memperoleh produktivitas tinggi dibutuhkan C-organik lebih dari 2.5 persen.

IAASTD (2008) melaporkan tingginya penggunaan pupuk anorganik oleh petani berakibat pada peningkatan degradasi lahan dan perubahan fungsi agroekologi, sehingga perlu penanganan cepat. Pada sisi lain menurut Gil et al. (2009), penggunaan pupuk anorganik secara intensif akan memberikan reaksi yang komplek tidak hanya terhadap pertumbuhan tanaman secara langsung, tetapi juga memberikan pengaruh jangka pendek maupun jangka panjang terhadap perubahan sifat kimia tanah, serta menyebabkan ketersediaan nutrien untuk kebutuhan tanaman tidak optimal.

Laporan penelitian Novotny et al. (2010) dalam rangka mengkaji dampak penggunaan pupuk anorganik terhadap kondisi lingkungan di empat negara yakni China, India, Philipina dan Thailand menunjukkan banyak nitrogen yang terbawa ke saluran irigasi khususnya di China. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk mengurangi penggunaan pupuk anorganik di China dan menjaga keseimbangan penggunaan pupuk anorganik di tiga negara lainnya secara optimal yang dipadukan dengan penggunaan pupuk organik, sehingga dapat menurunkan kandungan nitrogen pada saluran irigasi. Pada usaha tani bawang merah, upaya untuk menyeimbangkan penggunaan pupuk anorganik khususnya pupuk Nitrogen dan pupuk organik perlu dilakukan sehingga degradasi tanah dapat dikurangi.

Pemerintah telah berupaya mengurangi dampak negatif penggunaan pupuk anorganik dengan mengeluarkan kebijakan peningkatan penggunaan pupuk organik. Kebijakan subsidi pupuk organik untuk sektor pertanian telah diterapkan beberapa tahun terakhir dimulai tahun 2007. Harga Eceran Tertinggi (HET) pada tahun 2007 sebesar Rp. 1 000/kg dan tahun 2008 sebesar Rp. 500/kg (Rachman 2009).

(24)

0,0042 ppm, Klorpirifos 0,0013 ppm dan Profenofos 0,0063 ppm. Walaupun residu pestisida pada umbi bawang merah tersebut masih berada di bawah ambang batas yang ditetapkan sesuai ketentuan Baku Mutu Residu (BMR) SNI 7313:2008, namun hal tersebut mengindikasikan adanya ancaman bahaya terhadap kesehatan manusia. Litchenberg (1992) melaporkan penggunaan pestisida kimia secara berlebihan merupakan masalah utama, karena memiliki efek mematikan pada hewan/satwa, racun bagi pekerja pertanian dan menimbulkan efek negatif pada kesehatan dalam jangka waktu lama seperti timbulnya kanker dan cacat lahir.

Kebijakan penggunaan pestisida dalam rangka mengurangi resiko serangan Organisme Penggganggu Tanaman (OPT) sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah melalui penerapan teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Teknologi PHT pada dasarnya ditujukan untuk meminimalkan penggunaan pestisida dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dengan mempertimbangkan aspek keamanan pemakai dan keamanan lingkungan (Hidayat et al. 2010). Upaya untuk menghindari pemakaian pestisida melalui pola PHT telah banyak dilakukan melalui berbagai penelitian. Astuti (2005) dalam laporan penelitian untuk menanggulangi serangan ulat daun (Spedoptora exigua), menggunakan biopestisida formula BV novel. Hasilnya cukup memuaskan, biopestisida tersebut dapat menekan serangan hama lebih efektif dibandingkan pestisida. Tanaman menjadi lebih subur, lebih tinggi, diameter umbi lebih besar, ukuran dan bobot umbi lebih besar, serta kekerasan umbi lebih kuat. Walaupun telah dikenalkan konsep PHT dan menurut berbagai penelitian menguntungkan, namun penerapan PHT masih terkendala oleh beberapa faktor. Beberapa kendala penerapan PHT di antaranya: 1) persepsi petani tentang konsep PHT masih kurang, 2) agroekosistem berbeda antara tanaman tunggal dan tanaman campuran dan 3) munculnya kendala teknis, ekonomis serta sosiologis (Setiawati 2006).

Faktor lainnya yang menjadi bagian dari kompleksitas usaha tani bawang merah adalah harga jual bawang merah yang berfluktuasi, bahkan ada kecenderungan harga turun pada saat panen raya. Indikasi masuknya bawang merah impor pada saat panen raya merupakan salah satu penyebab turunnya harga bawang di tingkat petani (BI 2010).

Kondisi iklim dikatagorikan sebagai faktor eksternal, namun seringkali menjadi kendala pada usaha tani bawang merah. Beberapa tahun terakhir kondisi iklim cenderung tidak normal, dicirikan oleh turunnya curah hujan yang tinggi dan berlangsung lebih dari 8 bulan seperti terjadi pada tahun 2010. Kondisi iklim ekstrim tersebut menyebabkan produksi bawang merah mengalami penurunan. Produksi yang biasanya mencapai 11 sampai 12.5 ton/ha, turun menjadi 8 sampai 11.9 ton/ha (BI 2010).

(25)

penyemprotan, posisi terhadap arah angin, dan penggunaan alat pelindung, sangat berpengaruh terhadap kejadian goiter/penyakit gondok pada petani hortikultura.

Berbagai kendala atau permasalahan yang dijumpai pada usaha tani bawang merah seperti telah diuraikan, menuntut kajian mendalam untuk mencari upaya perbaikan menuju usaha tani bawang merah berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan keinginan FAO (2002) yang terus mendorong para petani, pengolah makanan, pengecer makanan, konsumen, dan pemerintah untuk memainkan bagian penuh dan memikul tanggung jawab mereka dalam mencari keberlanjutan pertanian sistem produksi. Keberlanjutan sistem pertanian yang dimaksud adalah secara ekonomi menguntungkan dan kompetitif, secara sosial layak, serta melindungi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan.

Untuk mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan khususnya pada sub sektor hortikultura, dukungan pemerintah Indonesia telah semakin jelas yakni dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 13 tahun 2010 tentang Hortikultura. Secara tegas pada Pasal 32 Ayat 1 disebutkan bahwa penggunaan sarana hortikultura dalam mendukung usaha tani mensyaratkan: 1) penggunaan benih bermutu dari varietas unggul, 2) penggunaan pupuk yang tepat dan ramah lingkungan, 3) penggunaan ZPT yang tepat dan ramah lingkungan, 4) penggunaan bahan pengendali OPT yang ramah lingkungan dan 5) penggunaan alat dan mesin pertanian yang menunjang hortikultura. Dalam hal penggunaan sarana hortikultura tersebut dapat dikembangkan melalui teknologi yang memperhatikan kondisi iklim, kondisi lahan, dan ramah lingkungan. Selain Undang-undang, peraturan lainnya adalah Permentan No. 48/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Budi Daya Buah dan Sayur yang Baik dan Permentan No. 62/Permentan/OT.140/10/2010 tentang Tata Cara Penerapan Registrasi Kebun/lahan Usaha dalam Budi Daya Buah dan Sayur yang Baik.

Pada sisi lingkungan hidup, peran Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah dijadikan acuan untuk mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan. Salah satu tuntutan pengelolaan usaha tani ramah lingkungan yakni dalam hal kebijakan penerapan PHT dalam rangka perlindungan tanaman. Kebijakan tersebut dituangkan melalui Intruksi Presiden nomor 3 Tahun 1986, kemudian diperkuat melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman dan Keputusan Menteri Pertanian No. 887/Kpts/ OT/9/1997 tentang Pedoman Pengendalian OPT. Pada tataran implementasi, terutama berkaitan dengan otonomi daerah, pelaksanaannya disesuaikan dengan tugas, fungsi, dan kewenangan daerah sesuai Undang-Undang.

(26)

Analisis aspek ekonomi merupakan hal utama yang diprioritaskan dalam mewujudkan usaha tani berkelanjutan, karena usaha tani bawang merah yang menguntungkan secara berkelanjutan menjadi kunci dari kesejahteraan petani. Analisis aspek ekonomi terhadap usaha tani bawang merah telah banyak dilakukan melalui berbagai metode, di antaranya perbanding B/C rasio, pendekatan fungsi produksi dan perhitungan efisiensi. Selain itu, kajian dari sisi

Permasalahan Usaha Tani Bawang Merah

1. UU No 12/1992

2. UU No 32/2009

3. UU No 13/2010

4. PP No 6/1995

5. KepMentan No 887/1997

6. Permentan No 44/ 2009

7. Permentan No 62/Tahun 2011

Kebijakan Global: Agenda 21 (Pembangunan Berkelanjutan)

Kajian Keberlanjutan Usaha Tani Bawang Merah

REKOMENDASI PENGEMBANGAN USAHA TANI BAWANG MERAH BERKELANJUTAN

Kebijakan Pemerintah RI

Input produksi:

-Benih berkualitas

mahal

-Pupuk mahal

-Pestisida mahal

-Konversi lahan

Output produksi:

- Harga jual

berfluktuasi

- Ancaman bawang

merah impor

-Degradasi lahan akibat

pupuk berlebihan

- Dampak negatif ling

kungan akibat pestisida

- Iklim ekstrim

(kekeringan/ kebanjiran)

-Penguasaan teknolo-

gi kurang

-Akses ke penyuluh

kurang

-Pendidikan dan,

akses modal rendah

1. Faktor yang mempengaruhi produksi bawang merah 2. Tingkat efisiensi teknis dan

ekonomi usaha tani 3. Tingkat keunggulan

kompetitif dan komparatif

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian Tingkat efisiensi

lingkungan usaha tani (kelebihan penggunaan pestisida)

Persepsi petani terhadap pertanian berkelanjutan

Aspek Ekonomi Aspek Lingkungan Aspek Sosial

Tingkat keberlanjutan usaha tani bawang

(27)

keunggulan kompetitif dan komparatif dapat dilakukan, terutama dalam rangka mengantisipasi kompetisi dengan bawang impor. Penelitian Ngatrindiatun et al. (2012) yang bertujuan melihat penggunaan insektisida pada komoditas bawang merah di Brebes, menunjukkan hasil nilai B/C rasio untuk usaha tani konvensional 1.01 dan usaha tani ramah lingkungan (Green Concept) 2.37. Nilai B/C rasio usaha tani yang menganut konsep ramah lingkungan lebih tinggi dibandingkan usaha tani konvensional.

Salah satu penelitian penerapan PHT dengan menggunakan feromon seks dalam rangka mengendalikan serangan hama pada tanaman bawang merah oleh Haryati dan Nurawan (2009) diperoleh hasil biaya operasionalnya lebih murah, ramah lingkungan dan meningkatkan pendapatan hingga Rp. 16.3 juta/ha. Kajian dari sisi fungsi produksi dan efisiensi usaha tani jagung dilakukan oleh Kurniawan (2008) dan dapat dijadikan acuan untuk penelitian keberlanjutan usaha tani bawang merah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan luas lahan, benih, pupuk organik, pupuk P, pestisida, tenaga kerja dan pengolahan lahan berpengaruh terhadap produksi. Sebanyak 89.48 persen petani jagung memiliki efisiensi teknis rata-rata 0.877, namun efisiensi ekonomi masih rendah yaitu 0.498. Widyananto (2010) yang melakukan penelitian efisiensi teknis usaha tani bawang putih di Wonosobo hasilnya tidak sesuai harapan. Nilai efisiensi teknis hanya 0.58, demikian juga dari sisi ekonomi belum efisien. Laporan hasil penelitian Purmiyanti (2002) pada komoditas bawang merah di Kabupaten Brebes dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas, diperoleh kesimpulan variabel luas lahan, penggunaan bibit, pupuk P dan K, tingkat pendidikan, status garapan dan jenis varietas berpengaruh nyata terhadap produksi. Namun hasil penelitian tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan dilihat dari aspek efisiensi, dimana petani belum efisien dalam penggunaan input produksi.

(28)

organik, umur petani, usia kepala rumah tangga, tingkat pendidikan, luas lahan, kondisi geografis lahan, kualitas tanah, iklim dan penggunaan benih.

Keberhasilan usaha tani bawang merah sangat tergantung pada tingkat persepsi petani maupun masyarakat lainnya, khususnya terhadap usaha tani berkelanjutan. Persepsi petani yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan usaha tani bawang merah menjadi bagian pada kajian aspek sosial. Kajian tersebut diperlukan dalam rangka melakukan perbaikan usaha tani berkelanjutan di masa mendatang. Persepsi memiliki makna yang sangat dalam, oleh karena itu dalam penelitian ini analisis persepsi didekati melalui pendapat yang diungkapkan petani terhadap pertanian berkelanjutan, khususnya pengelolaan usaha tani bawang merah. Analisis lain yang sangat diperlukan adalah menilai tingkat keberlanjutan melalui perhitungan indeks komposit baik mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial (Martinez et al. (2011).

Perumusan Masalah

Upaya untuk mewujudkan usaha tani bawang merah berkelanjutan yang menguntungkan dari aspek ekonomi, mensejahterakan petani khususnya dan masyarakat umumnya, serta ramah lingkungan, seperti diungkapkan pada kerangka pemikiran Gambar 1, masih menghadapi berbagai kendala. Lahan sebagai modal utama bagi pertumbuhan tanaman bawang merah, merupakan salah satu faktor yang paling banyak mendapat tekanan dalam rangka menopang keberlanjutan usaha tani. Luas kepemilikan oleh petani dari tahun ke tahun semakin sempit, ancaman konversi lahan pertanian ke lahan bukan pertanian semakin intensif, kompetisi dengan usaha tani tanaman lain semakin ketat, bahkan ancaman degradasi lahan akibat perilaku petani dalam pengelolaan lahan maupun akibat penggunaan input produksi berlebihan semakin terasa. Semua kendala pada faktor lahan tersebut perlu ditelaah lebih jauh pengaruhnya terhadap produksi bawang merah yang dihasilkan petani.

Input produksi seperti bibit, pupuk dan pestisida merupakan faktor produksi utama selain lahan. Petani masih kesulitan untuk mendapatkan bibit berkualitas. Selama ini petani mendapatkan bibit dengan cara membeli dari petani lain atau pedagang bibit, namun tidak ada jaminan dari sisi kualitas. Selain dengan cara membeli, petani juga mendapatkan bibit secara mandiri dengan menyimpan hasil panen selama 2.5 sampai 3 bulan. Kualitas bibit yang didapatkan melalui cara tersebut diragukan dapat menjamin hasil yang tinggi, karena pada dasarnya bibit bermutu menjadi syarat mutlak dan berpengaruh pada produksi dan produktivitas mutu hasil dan nilai ekonomi produksi (BBPPTP Ambon 2013).

(29)

penggunaan pupuk anorganik dan pestisida dapat dihindari dengan meningkatkan penggunaan pupuk organik dan penggunaan metode PHT. Penggunaan pupuk organik diyakini akan dapat meningkatkan kesuburan tanah dan PHT akan mengurangi bahaya pestisida.

Faktor lainnya yang juga sangat penting dalam mempengaruhi produksi adalah ketersediaan tenaga kerja dan perilaku petani itu sendiri. Tenaga kerja sektor pertanian diketahui semakin berkurang dan upah harian semakin meningkat, sehingga menjadi kendala bagi petani bawang merah yang membutuhkan banyak pekerja dalam merawat tanamannya. Kebutuhan tenaga kerja tersebut biasanya untuk kegiatan persiapan lahan, perawatan bibit, pemupukan, penyemprotan pestisida, irigasi, tenaga kerja tanam, penyiangan, pemanenan dan penyimpanan. Perilaku petani mencerminkan aspek sosial dalam menilai keberlanjutan usaha tani bawang merah. Petani bawang merah secara umum memiliki tingkat pendidikan rendah, terbatas dalam mengakses informasi, teknologi, keuangan bahkan akses ke lembaga penyuluh. Hal ini akan tercermin dari tingkat manajerial mereka dalam mengelola usaha tani. Oleh karena itu perilaku petani juga perlu dikaji melalui penelitian ini.

Berdasarkan kendala faktor produksi yang telah diuraikan, maka timbul pertanyaan, faktor produksi mana sajakah yang mempengaruhi produksi bawang merah? apakah pengaruh faktor produksi dalam memproduksi bawang merah sudah efisien secara teknis dan ekonomi? bagaimana tingkat daya saing usaha tani bawang merah yang dicerminkan dari tingkat keunggulan kompetitif dan komparatif?. Selain itu terkait dengan masih tingginya penggunaan pestisida, bagaimanakah tingkat efisiensi lingkungan? dan bagaimana tingkat persepsi petani terhadap pertanian berkelanjutan? Serta bagaimana tingkat keberlanjutan usaha tani bawang merah itu sendiri?.

Atas dasar pertanyaan tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian yang dituangkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor input produksi apa sajakah yang mempengaruhi produksi bawang merah di Kabupaten Nganjuk?, dan apakah usaha tani bawang merah sudah efisien secara teknis dan ekonomi?, serta bagaimana tingkat keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif?.

2. Bagaimanakah tingkat efisiensi lingkungan sebagai akibat penggunaan pestisida?.

3. Bagaimana tingkat persepsi petani terhadap pertanian berkelanjutan khususnya terkait dengan usaha tani bawang merah berkelanjutan?.

4. Bagaimanakah tingkat keberlanjutan usaha tani bawang merah dilihat dari sisi ekonomi, lingkungan dan sosial?.

(30)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian secara umum adalah melakukan analisis keberlanjutan usaha tani bawang merah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat digunakan dalam memberikan rekomendasi penyusunan kebijakan pengembangan usaha tani bawang merah berkelanjutan pada masa mendatang. Tujuan penelitian secara rinci adalah:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi bawang merah dengan menganalisis variabel-variabel input produksi. Melakukan analisis efisiensi teknis dan efisiensi ekonomi, serta analisis keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif yang mencerminkan daya saing usaha tani bawang merah di Kabupaten Nganjuk.

2. Menganalisis tingkat efisiensi lingkungan terkait penggunaan pestisida pada usaha tani bawang merah.

3. Menganalisis tingkat persepsi petani terhadap pertanian berkelanjutan, khususnya usaha tani bawang merah berkelanjutan di Kabupaten Nganjuk. 4. Menghitung indek keberlanjutan usaha tani bawang merah baik dari aspek

ekonomi, sosial dan lingkungan.

5. Merumuskan rekomendasi untuk pengambilan kebijakan dalam rangka pengembangan usaha tani bawang merah berkelanjutan di masa mendatang.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Membantu pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk dalam rangka membuat instrumen evaluasi program atau kegiatan yang terkait keberlanjutan usaha tani bawang merah berkelanjutan.

2. Membantu pemerintah Pusat dalam mengevaluasi program atau kegiatan yang disalurkan kepada petani bawang merah dengan membuat norma atau petunjuk dalam bentuk pedoman evaluasi.

3. Membantu petani bawang merah dalam rangka meningkatkan pendapatan, menghasilkan produk yang sehat dan dapat melestarikan lingkungan.

4. Memberikan informasi bagi akademisi dan peneliti lain untuk mengembangkan penelitian di tempat lain maupun penelitian lanjutan.

Kebaruan (Novelty) Penelitian

(31)
(32)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Sejak dipublikasikannya buku Our Common Future tahun 1987 oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (Word Commission on Environmental and Development/WCED), telah ada upaya luar biasa yang ditujukan untuk melakukan penelitian tentang pembangunan berkelanjutan (IISD 1995). Kebutuhan akan pembangunan yang tidak merusak lingkungan semakin disadari oleh para pemimpin negara. Pada konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Developmen/UNCED) tahun 1992, ditegaskan kembali tentang pentingnya pembangunan berkelanjutan, atau sering dikenal dengan Agenda-21. Laporan IISD (1995) tentang Agenda-21 menegaskan kepada pemerintah di berbagai negara diharuskan menyesuaikan atau melakukan reorientasi kebijakan untuk mengintegrasikan lingkungan dan pembangunan dalam pengambilan keputusan.

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (WCED 1987). Pada sektor pertanian, definisi berkelanjutan/sustainable agriculture diartikan sebagai pengelolaan sumber daya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia dan tetap mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam (Reijntjes et al. 1999). Lebih rinci Reijntjes et al. (1999) menguraikan bahwa pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan upaya pengelolaan dan konservasi sumber daya pertanian (lahan, air dan sumber daya genetik) melalui orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan sedemikian rupa, sehingga menjamin tercapainya kebutuhan yang diperlukan secara berkesinambungan baik dari waktu ke waktu maupun dari generasi ke generasi.

Kegiatan pembangunan pertanian berkelanjutan menurut Deptan (2007) dititikberatkan pada pengelolaan sumber daya pertanian, penerapan teknologi pertanian dan pengelolaan kelembagaan yang dilakukan secara berkesinambungan untuk generasi kini dan masa datang. Kesinambungan usaha dapat diartikan pengelolaan pertanian tersebut memberikan kontribusi ekonomi bagi petani dan keluarganya, sehingga pemilihan jenis komoditas dan usaha harus bernilai ekonomis, pasar tersedia dan produksi berkesinambungan. Menurut Tathdil et al. (2009), pembangunan pertanian berkelanjutan bukanlah diartikan menggunakan input serendah-rendahnya, namun sistem pertanian berkelanjutan menggunakan teknologi terbaik yang tersedia di alam, dikelola secara seimbang dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Kajian tentang pertanian berkelanjutan telah banyak dilakukan baik di negara maju maupun negara berkembang. Penerapan pertanian berkelanjutan di

China misalnya, dikenal dengan model ‘Circle Agriculture’, yang kemudian

(33)

cara untuk menggunakan sumber daya yang lebih baik selaras dengan kepentingan masyarakat dan lingkungan keberlanjutan. Konsep ‘Circle Agriculture’ merupakan strategi pendekatan ekonomi pertanian yang mengkoordinasikan pengembangan populasi, sumber daya dan lingkungan. Banyak faktor yang terlibat, di antaranya: inovasi teknologi dan reformasi organisasi, optimalisasi internal dan produksi struktur pertanian sistem ekologi dan perpanjangan rantai produksi.

Hiranandani (2010) dalam kajian perbandingan pertanian berkelanjutan di Kanada dan Kuba melaporkan, Kanada telah memulai menerapkan kebijakan pertanian berkelanjutan sejak tahun 1990. Petani Kanada memiliki keahlian dalam manajemen praktek, pengolahan, pengemasan, pelabelan serta pemasaran. Demikian pula dengan Kuba, telah berhasil dalam pemberdayaan petani, membangun hubungan antara produksi makanan dan masyarakat, investasi dalam pembangunan manusia dan mendorong kaum urban untuk melakukan pertanian berkelanjutan yang pada akhirnya memberikan pelajaran berguna bagi Kanada. Pertukaran informasi antara kedua negara dalam hal pertanian berkelanjutan telah memberikan manfaat positif. Hal penting untuk dicatat yaitu adanya perbedaan dalam skenario berkelanjutan pertanian di Kanada dan Kuba yang mencerminkan dua sudut pandang divergen dalam pertanian berkelanjutan. Lebih lanjut Hiranandani (2010) menyebutkan konsep dasar perubahan yang dianggap penting di bidang pertanian adalah perbaikan besar-besaran dari nilai-nilai sosial menuju kepedulian terhadap lingkungan. Di Kuba, aturan sosialis dan prioritas ideologis telah membuat perkembangan ekologi alami berkorelasi dengan pendekatan pembangunan ekonomi dan sosial.

Indonesia sebagai negara agraris tidak ketinggalan dalam mengusahakan pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (Suwandi 2005). Pada skala pemahaman yang lebih luas, konsep pertanian berkelanjutan di Indonesia telah dikembangkan sebagai payung yang mewadahi pemikiran dan ideologi tentang pendekatan pembangunan pertanian. Pendekatan dimaksud di antaranya: usaha tani organik, pertanian biologis, pertanian ekologis, Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), pertanian biodinamis, maupun pertanian regeneratif (Kasryno 1998). Selanjutnya dikatakan oleh Kasryno (1998), bahwa guna mengimplementasikan pertanian berkelanjutan dalam jangka panjang secara simultan harus mampu: 1) mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan, 2) mampu menyiapkan insentif sosial dan ekonomi bagi semua pelaku dalam sistem produksi, dan 3) mampu memproduksi pangan secara cukup dimana setiap penduduk memiliki akses terhadap pasokan pangan. Strategi untuk mewujudkan pertanian bekelanjutan tergantung dari tipe permasalahan yang ada.

(34)

dengan menekankan pada perbaikan manajemen pertanian, pencegahan penyakit dan melakukan konservasi tanah, air, energi serta sumber daya biologis.

Usaha Tani Bawang Merah dan Permasalahan Penggunaan Input Produksi Usaha tani bawang merah di Indonesia menjadi sumber utama penghasilan petani di sentra produksi, seperti di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Sembilan provinsi tersebut menyumbang 96.5 persen (Jawa = 79 persen) dari produksi total bawang merah di Indonesia (Deptan 2007).

Usaha tani bawang merah biasanya dilakukan di lahan sawah irigasi dan tadah hujan, walaupun ada juga usaha tani bawang merah yang dilakukan di lahan pasir (Setyono dan Suradal 2009). Teknologi budi daya bawang merah yang dilakukan petani sangat bervariasi, sehingga produksi yang dihasilkan bervariasi. Usaha tani bawang merah melalui konsep agribisnis berperan penting terhadap perekonomian nasional, karena mencakup berbagai kegiatan mulai dari hulu sampai dengan hilir. Agribisnis bawang merah memiliki keterkaitan antar berbagai macam pelaku, dimulai dari petani perseorangan berskala usaha tani kecil dan tradisional sampai usaha tani bersakala besar dan juga melibatkan pemasok sarana produksi, pedagang lokal maupun pedagang besar, bahkan mengarah pada perdagangan internasional yakni melalui aktivitas ekspor dan impor.

Terkait dengan ekspor bawang merah, kemampuan Indonesia masih terbatas mengingat kebutuhan dalam negeri yang begitu tinggi. Prospek untuk peningkatan ekspor sebenarnya juga cukup tinggi, terutama jika dikaitkan dengan fakta-fakta sebagai berikut: 1) di pasar Taiwan, walaupun ada persaingan dari Thailand, Filipina dan Vietnam, bawang merah dari Indonesia mampu menguasai 86 persen dari kebutuhan pasar, 2) permintaan bawang merah di Hongkong diperkirakan sebesar 200 ribu ton per tahun dan dipasok oleh Filipina, Thailand, Vietnam, Taiwan, Malaysia dan Singapura, tidak termasuk Indonesia, dan 3) ekspor ke negara-negara pelanggan seperti Malaysia, Singapura, dan Taiwan masih terbuka untuk ditingkatkan, tentunya jika produksi bawang merah dapat ditingkatkan (Deptan 2007). Keuntungan usaha tani bawang merah tidak hanya terbatas pada penjualan produk, namun usaha bibit bawang merah khususnya yang setara kualitas impor sangat menjanjikan. Permintaan bibit terus meningkat, terjadi sebagai akibat adanya permintaan konsumen dalam negeri. Tingginya permintaan bibit bawang merah berkualitas tersebut tercermin dari tingginya peningkatan impor bibit bawang merah, dari 1.84 ribu ton pada tahun 2012 menjadi 2.40 ribu ton pada tahun 2013 (Pusdatin 2014).

(35)

terhadap total biaya produksi. Untuk persiapan lahan sebesar 3.09 persen, pembelian benih 6.15 persen, biaya pembibitan 1.13 persen, pupuk 14.72 persen, pestisida 5.65 persen, irigasi 4.77 persen, tenaga kerja tanam 5.06 persen, penyiangan dan mencangkul 3.84 persen, pemanenan dan penyimpanan 6.67 persen, pemeliharaan lainnya 1.71 persen, bunga atas biaya variabel 3.75 persen dan transportasi serta biaya pemasaran 34.49 persen dari total biaya produksi. Biaya pupuk dan transportasi pemasaran memperlihatkan persentase terbesar dari seluruh biaya produks, selanjutnya diikuti pengeluaran yang cukup besar untuk komponen pasca panen, benih, dan pestisida.

Seperti halnya di India, usaha tani bawang merah banyak diusahakan di Hawaii yang diklasifikasikan menjadi tiga tipe (Valanzuela et al. 1999). Tiga tipe penanaman bawang merah dimaksud adalah: 1) tipe hari pendek, yaitu penanaman bawang merah pada daerah yang memiliki panjang penyinaran matahari 12 jam sampai 13 jam. Tipe ini disebut juga “Tipe Eropa” dan tidak cocok untuk penyimpanan dalam waktu lama, umumnya ditanam di daerah lintang 350 ke bawah, 2) tipe hari sedang, yaitu bawang yang ditanam pada daerah yang memiliki panjang hari 13.5 jam sampai 14 jam. Bawang ini memiliki tekstur lembut dan dijual untuk kebutuhan pasar produk bawang segar, biasanya tumbuh pada lintang 320sampai 380, dan 3) tipe hari panjang, untuk dapat tumbuh, bawang tipe ini memerlukan panjang lebih dari 14.5 jam.

Salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan usaha tani bawang merah adalah ketersediaan bibit bermutu. Bibit bermutu menjadi modal awal dalam rangka meningkatkan produksi. Produsen bibit bawang merah pada sentra produksi biasanya petani yang memiliki skala usaha relatif luas atau petani individual yang menyisihkan sebagian hasil panen untuk digunakan sebagai bibit musim tanam berikutnya. Beragamnya pengetahuan serta teknologi perbibitan yang berkembang dalam sistem tersebut, menyebabkan terjadinya variasi mutu bibit yang tinggi. Secara umum, variasi mutu bibit dapat mengarah pada pencapaian produktivitas yang cenderung di bawah potensi hasil. Sistem pengusahan bibit yang bervariasi seringkali memicu terjadinya fluktuasi harga yang sangat tajam. Sistem produksi bibit non-formal dikenal sebagai jaringan arus bibit antar lapangan dan musim. Sistem ini menghasilkan bibit tidak bersertifikat. Bibit yang diproduksi melalui sistem non-formal ditujukan untuk memenuhi kebutuhan petani dengan orientasi pasar tradisional yang belum menuntut persyaratan mutu. Peningkatan kualitas bibit menjadi prioritas pemerintah terutama dalam rangka memperbaiki kinerja sistem perbibitan (Balitbang Pertanian 2014).

(36)

anorganik yang digunakan petani masih sangat tinggi, penggunaan urea mencapai 200 kg/ha, ZA sebesar 400 kg/ha, SP-36 sebesar 200 kg/ha dan KCl sebesar 300 kg/ha. Dari teknologi yang digunakan petani tersebut hanya menghasilkan produksi 12.51 ton/ha (Aliudin dan Widodo 1999).

Dosis pupuk anorganik yang digunakan petani sangat berbeda bila dibandingkan dengan dosis anjuran. Penggunaan pupuk anorganik yang terlalu tinggi justru berpotensi mencemari lingkungan. Las et al. (2006) melaporkan dampak negatif penggunaan pupuk yang terlalu tinggi, ternyata telah mencemari sebagian sumber daya lahan, air dan lingkungan. Lebih lanjut Las et al. (2006) menyatakan residu pupuk N berupa nitrat (NO3) telah mencemari sebagian sumber daya air, baik air irigasi maupun air tanah (sumur), bahkan produk pertanian. Batas maksimum kandungan nitrat dalam air hanya 4.50 ppm. Sekitar 85 persen air yang mengairi sebagian besar lahan sawah di Jawa mengandung nitrat rata-rata 5.40 ppm atau 20 persen lebih tinggi dari batas toleransi. Penggunaan pupuk N, P, dan K secara terus-menerus dengan takaran tinggi tanpa pengembalian sisa panen akan mempercepat pengurasan hara lain seperti S, Ca, Mg serta unsur mikro Zn dan Cu. Pada sisi lain, penambahan secara khusus unsur-unsur mikro tersebut sangat jarang bahkan tidak pernah dilakukan oleh petani, padahal untuk mendukung produksi tanaman yang efisien dan lestari diperlukan keseimbangan ketersediaan hara makro maupun mikro di dalam tanah.

Input produksi lain yang tidak kalah penting dan sering digunakan petani adalah pestisida yang ditujukan untuk mengendalikan serangan OPT. Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis. Penelitian tentang dampak negatif penggunaan pestisida telah banyak dilakukan, salah satunya adalah penelitian yang terkait dengan penggunaan pestisida di Kabupaten Brebes (Harsanti 2007). Hasil penelitian tersebut menyimpulkan residu pestisida pada tanah dan air berkorelasi positif dengan kandungan residu pestisida dalam produk. Hal ini disebabkan tingkat pengetahuan, pendapatan dan kualitas produk dari patani tidak mempengaruhi perilaku petani dalam pengendalian hama dan penyakit bawang merah. Penelitian lain yang dilakukan oleh Hidayat et al. (2010) di kabupaten Tegal dengan responden petani padi, cabai dan bawang merah menyimpulkan, bahwa tingkat pengetahuan petani terhadap pengelolaan pestisida sesuai dengan prinsip kehati-hatian masih rendah, ketergantungan terhadap pestisida masih tinggi, bahkan untuk indikator gejala keracunan pestisida paling banyak ditemui pada petani bawang merah.

Oleh karena hasil penelitian menunjukkan pestisida berpotensi mempengaruhi kualitas lingkungan dan manusia, maka alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan perlu diadopsi untuk menurunkan penggunaan pestisida. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sangat sesuai untuk menunjang pertanian berkelanjutan, karena pengendalian ini lebih selektif (tidak membunuh organisme yang berguna dan manusia) dan lebih berwawasan lingkungan. Pengendalian hayati berupaya memanfaatkan mikroorganisme hayati dan proses-proses alami.

(37)

Tahun 1986, Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, dan Keputusan Menteri Pertanian No. 887/Kpts/ OT/9/1997 tentang Pedoman Pengendalian OPT. Secara operasional, dalam implementasinya terutama berkaitan dengan otonomi daerah, disesuaikan dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan sesuai Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.

Banyak ahli memberikan batasan tentang PHT secara beragam, tetapi pada dasarnya mengandung prinsip yang sama. Smith and Apple (1978) menyatakan bahwa PHT adalah pendekatan ekologi yang bersifat multi disiplin untuk pengelolaan populasi hama dengan memanfaatkan beraneka ragam teknik pengendalian secara kompatibel dalam suatu kesatuan kordinasi pengelolaan. Bottrell (1979) menekankan bahwa PHT adalah pemilihan secara cerdik dari penggunaan tindakan pengendalian hama, yang dapat menjamin hasil yang menguntungkan dilihat dari segi ekonomi, ekologi dan sosiologi. Dengan demikian, melalui penerapan PHT diharapkan kerusakan yang ditimbulkan hama tidak merugikan secara ekonomi, sekaligus menghindari kerugian bagi manusia, binatang, tanaman dan lingkungan.

Walaupun kebijakan penerapan PHT telah digulirkan sejak lama dan telah ditindaklanjuti melalui berbagai program seperti Sekolah Lapang-Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT), namun implementasinya masih menghadapi kendala. Penelitian Suharjono (2011) yang mengkaji dampak implementasi SL-PHT pada 150 petani yang mengikuti program tersebut dan 20 petani Non SL-PHT padi, menyimpulkan: 1) tingkat pengetahuan petani dan adopsi PHT masuk pada katagori rendah, 2) sikap terhadap PHT sedang dan 3) hasil analisis menunjukkan tingkat pengetahuan dan adopsi PHT serta ekonomi petani berpengaruh simultan dan signifikan pada penggunaan pestisida.

Berdasarkan uraian tersebut, pemerintah telah berupaya untuk mengembangkan komoditas hortikultura yang menguntungkan secara ekonomi dan lestari, contohnya kebijakan PHT yang telah digulirkan sejak tahun 1986. Walaupun kebijakan PHT telah menunjukkan hasil yang baik namun tetap tidak luput dari berbagai kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk terus menyempurnakan berbagai kebijakan khususnya pada komoditas hortikultura seperti tertuang pada tujuan Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2009 sampai 2014. Target utama dan sasaran strategis yang ingin dicapai pada komoditas hortikultura yaitu: peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor (Kementan 2009). Lebih lanjut pada Renstra Kementan disebutkan upaya peningkatan nilai tambah dapat difokuskan pada peningkatan kualitas produk pertanian (segar dan olahan) yang dapat diukur dari sertifikasi jaminan mutu.

Fungsi Produksi, Efisiensi Teknis dan Efisiensi Ekonomi

Konsep Fungsi Produksi

(38)

bahwa kegiatan produksi adalah mengombinasikan berbagai masukan untuk menghasilkan output. Hubungan teknis antara input dengan output tersebut dalam bentuk persamaan, tabel atau grafik merupakan fungsi produksi. Jadi fungsi produksi adalah suatu persamaan yang bisa menunjukkan jumlah maksimum output yang dihasilkan dengan kombinasi input tertentu (Joersron dan Fathorrozi 2002). Purwoto (1992) mengemukakan, analisis ekonomi produksi dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan yaitu: 1) pendekatan fungsi produksi, 2) pendekatan fungsi biaya dan 3) pendekatan fungsi keuntungan. Pada hakekatnya

ketiga fungsi tersebut bersifat “dual”, artinya dari setiap fungsi produksi dapat diperoleh fungsi keuntungan dan fungsi biaya.

Pendekatan fungsi produksi dapat digambarkan dalam bentuk model matematis antara variabel yang dijelaskan (Y) biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan (X) biasanya berupa kombinasi input. Secara matematis hubungan variabel Y dan X dapat ditulis sebagai berikut.

Y= f (X1, X2, …, Xn) ………..….. (1) dimana:

Y = jumlah output (produksi)

Xi = jumlah input ke-i yang digunakan

i = 1,β,…,n

Pada fungsi produksi bawang merah, variabel Y berupa produksi bawang merah dan variabel X bisa lahan pertanian, tenaga kerja, input produksi, modal dan manajemen. Namun demikian dalam praktek, kelima faktor produksi tersebut belum cukup untuk dapat menjelaskan Y. Faktor-faktor sosial ekonomi lainnya seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat keterampilan dan lain-lain juga berperan dalam mempengaruhi tingkat produksi.

Kembali kepada definisi dasar dari fungsi produksi yang bertujuan untuk mendapatkan output maksimum dengan memasukkan kombinasi input produksi dengan teknologi tertentu. Dengan demikian teknologi adalah elemen dasar dari fungsi produksi. Asumsi dasar dari fungsi produksi dapat digambarkan menggunakan grafik seperti terlihat pada Gambar 2 (Mkhabela 2011), yang memperlihatkan grafik output sebagai fungsi dari input. Misalkan y adalah output

Gambar

Gambar 2. Kurva fungsi produksi (Sumber: Mkhabela 2011)
Gambar 3. Kurva Isoquant (Sumber: Mkhabela 2011)
Gambar 4. Ukuran efisiensi (Sumber: Mkhabella 2011)
Gambar 5. Kurva produksi frontier untuk X dan pengurangan input lingkungan Z
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Biaya yang dikeluarkan untuk usahatani bawang merah sebesar Rp 33.181.751,75 per hektar; Penerimaan yang diterima oleh petani dari

BOGOR 2005.. Dengan ini saya menya takan bahwa disertasi Keefektivan Pengelolaan Konflik Pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur adalah karya saya sendiri dan

BOGOR 2005.. Dengan ini saya menya takan bahwa disertasi Keefektivan Pengelolaan Konflik Pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur adalah karya saya sendiri dan

Kebijakan Pembangunan Pertanian ( Pemberdayaan Usaha Tani Bawang Merah di Desa Dulang Kecamatan Malua Kabupaten Enrekang) meliputi penguatan kelembagaan dalam

Tabel 4 menunjukkan bahwa kedua variabel harga bulanan bawang merah pada pasar produsen dan konsumen di Kabupaten Nganjuk sudah tidak memiliki akar unit atau stasioner karena

Dengan ini saya menyatakan bahwa laporan tugas akhir berjudul Minat Pemuda Tani Pada Usahatani Bawang Merah Ramah Lingkungan di Kecamatan Bayongbong Kabupaten

Hasil penilaian gabungan antar pelaku dalam rantai pasok bawang merah dari Kabupaten Nganjuk ke Jakarta menunjukkan bahwa kriteria keseimbangan keuntungan pelaku rantai

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan penelitian bahwa anggota kelompok tani belum memiliki pengetahuan yang memadai terkait penanaman bawang