• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Kadar Kreatinin Serum Dalam 24 Jam Pertama Paska Intervensi Koroner Di RSUP.H.Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peningkatan Kadar Kreatinin Serum Dalam 24 Jam Pertama Paska Intervensi Koroner Di RSUP.H.Adam Malik Medan"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

Kepada Yth :

Dibacakan pada : 19 Oktober 2011

PENINGKATAN KADAR KREATININ SERUM

DALAM 24 JAM PERTAMA PASKA INTERVENSI KORONER

DI RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh

CUT ARYFA ANDRA

NIM: 097115012

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan………. ii

Ucapan Terima Kasih………... iv

Abstrak………... viii

II.1.3.2. Toksisitas tubulus………..………... 10

II.1.3.3. Oksigen radikal bebas………..………... 10

II.1.4. Gambaran patologi………..………... 12

II.1.5. Faktor Risiko………. 13

II.1.5.1. Penyakit Ginjal Kronik...………...………… 13

II.1.5.2. Diabetes Mellitus...……….……...………… 15

II.1.5.3. Usia Tua………...………...………… 16

II.1.5.4. Jenis Kelamin………...………...………… 16

II.1.5.5. Hipertensi...………....………… 17

II.1.5.6. Faktor Risiko Jantung...………...………… 17

II.1.5.7. Jumlah kontras dan osmolaritas…..………...………… 18

II.1.6. Pencegahan….………. 21

II.1.6.1. Modifikasi faktor-faktor risiko………..………. 21

II.1.6.2. Terapi………. 22

II.1.6.2.1. Terapi yang telah terbukti….………. 22

II.1.6.2.2. Terapi yang belum terbukti….………... 23

(3)

II.2.1. Jenis-Jenis…...………... 25

IV.1.1. Karakteristik Penelitian……… 37

IV.1.2. Karakteristik Subjek Penelitian……… 37

IV.1.3. Hasil……….……. 40

IV.1.3.1. Analisa Univariat………..…... 44

IV.1.3.2. Analisa Multivariat……….………... 46

IV.2. Pembahasan………….………. 49

IV.2.1 Karakteristik Subjek Penelitian………. 49

IV.2.2. Kejadian CIN………. 50

IV.2.3. Faktor-faktor resiko CIN………... 50

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan………. 54

V.2. Saran……… 54

V.3. Keterbatasan Penelitian…….……….. 55

Daftar Pustaka……….………..……….. 56 Lampiran

(4)

2. Surat Persetujuan Setelah Penjelasan 3. Status Pasien

4. Persetujuan Komite Etik 5. Riwayat Hidup Peneliti

(5)

DAFTAR SINGKATAN

ACEI : Angiotensin Converting Enzyme

BB : Berat badan

CHF : Chronic Heart Failure

CIN : Contrast Induced Nephropathy CTR : Cardio thoracix ratio

DM : Diabetes mellitus EF : Ejection fraction

GFR : Glomerular filtration rate

HF : Heart failure

HOCM : High osmolar contrast media IMA : Infark Miokardial Akut IOCM : Iso-osmolar contrast media

JK : Jenis kelamin

LOCM : Low osmolar contrast media

LV : Left ventricle

MACE : Major Adverse Cardiac Events MCI : Myocardial infarction

NAC : N-acetyl cystein

NO : Nitric oxide

NSAID : Non-Steriodal Anti Inflammatory Drugs NYHA : New York Heart Association

PCI : Percutaneus Coronary Intervention PGK : Penyakit Ginjal Kronik

SKA : Sindroma Koroner Akut

SPSS : Statistical Product and Science Service

TB : Tinggi badan

(6)

DAFTAR LAMBANG

n : Besar sampel p : Tingkat kemaknaan

Zα : nilai baku normal berdasarkan nilai α (0,05) yang telah ditentukan oleh peneliti  1,96

Zβ : nilai baku normal berdasarkan nilai β (0,10) yang telah ditentukan oleh peneliti  1,28

Po : Proporsi CIN = 0,25 Qo : 1-Po = 0,75

Pa : 0,35

Qa : 1-Pa = 0,65

Pa-Po : beda proporsi yang bermakna = 0,10 < : kurang dari

> : lebih dari

≥ : lebih dari sama dengan % : persentase

(7)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Insidens kematian selama masa rawatan rumah sakit

yang berhubungan dengan CIN 7

Gambar 2. Patogenesis terjadinya CIN 12

Gambar 3. Hubungan antara nilai GFR dengan kreatinin serum 14 Gambar 4. Resiko terjadinya CIN sesuai dengan stadium PGK 15 Gambar 5. Pengaruh gangguan ginjal dan DM terhadap insiden

terjadinya CIN 15

Gambar 6. Odds Ratio terjadi CIN berdasarkan jumlah media

kontras yang digunakan 19

Gambar 7. Insiden CIN meningkat dengan bertambahnya jumlah

faktor resiko 20

Gambar 8. Algoritme penatalaksaan pasien yang terpapar media

kontras 24

Gambar 9. Perbedaan proporsi variabel yang memiliki hubungan

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Insidensi terjadinya CIN setelah PCI 8

Tabel 2. Faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis CIN 12 Tabel 3. Perubahan fisiologi yang terjadi setelah pemberian kontras 11

Tabel 4. Faktor risiko terjadinya CIN 13

Tabel 5. Skor resiko CIN yang dihubungkan dengan tindakan

dialisis yang diperlukan 21

Tabel 6. Rekomendasi prevensi terhadap CIN 23 Tabel 7. Evaluasi strategi terapi untuk menurnkan resiko CIN 24 Tabel 8. Media kontras yang biasa digunakan 25 Tabel 9. Modifikasi media kontras termasuk ukuran molekul,

komposisi non-ionic dan osmolaritas 26 Tabel 10. Data karakteristik subjek pasien 38 Tabel 11. Data karakteristik subjek penelitian yang mengalami

CIN dan tidak mengalami CIN 43

Tabel 12. Analisa univariat faktor-faktor yang berhubungan

dengan terjadi CIN 45

Tabel 13. Analisa multivariat faktor-faktor resiko CIN 46 Tabel 14. Nilai Odds Ratio dari gabungan faktor resiko

terjadinya CIN. 48

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala berkah, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir Program Pendidikan Spesialis IImu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis IImu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Soetomo Kasiman, Sp.PD (K) Sp.JP , selaku Ketua Departemen IImu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H.Adam Malik Medan disaat penulis melakukan penelitian dan juga sebagai guru dan pembimbing penulis dalam penyusunan tesis ini, yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian membimbing, mengoreksi, dan memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

3. Prof. Dr. Abdullah Afif Siregar, Sp.A (K) Sp.JP (K), Ketua Program Studi PPDS-I IImu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara disaat penulis melakukan penelitian dan sebagai Ketua Departemen IImu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan saat tesis ini selesai disusun yang banyak memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Dr. Zulfikri Muchtar, Sp.JP (K), Ketua Program Studi PPDS-I IImu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat ini yang banyak memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

(10)

membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

6. Guru-guru penulis: Prof. Dr. T. Bahri Anwar, Sp.JP (K); Prof. Dr. Soetomo Kasiman, Sp.PD (K) Sp.JP; Prof. Dr. Abdullah Afif Siregar, Sp.A (K) Sp.JP (K); Prof. Dr. Harris Hasan Sp.PD Sp.JP (K); Dr. Maruli T Simanjuntak Sp.JP (K); Dr. Nora C Hutajulu Sp.JP (K); Dr. Zulfikri Muchtar Sp.JP (K); Dr. Isfanuddin Nyak Kaoy Sp.JP (K); Dr. P. Manik Sp.JP (K); Dr. Refli Hasan Sp.PD Sp.JP (K); Dr. Amran Lubis Sp.JP (K); Dr. Nizam Z. Akbar SP.JP (K); Dr. Andre Pasha Ketaren Sp.JP; Dr. Zainal Safri Sp.PD Sp.JP; Dr. Andika Sitepu Sp.JP dan guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan Spesialis IImu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah .

7. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Spesialis IImu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.

8. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam pembuatan tesis ini.

9. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS-I Departemen IImu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FKUSU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang banyak memberikan masukan berharga kepada penulis melalui diskusi-diskusi kritis dalam berbagai pertemuan formal maupun informal, serta selalu memberikan dorongan-dorongan yang membangkitkan semangat kepada penulis menyelesaikan Program Pendidikan Spesialis IImu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah .

10.Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah bertugas selama menjalani Program Pendidikan IImu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani Program Pendidikan IImu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.

11.Semua subjek penelitian yang telah bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.

(11)

nasehat, serta doa yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan ini hingga selesai.

13.Kepada kedua Bapak / Ibu mertua penulis, H.Nasrullah dan Hj. Laila Bibi yang selalu memberi dorongan, semangat dan nasehat serta doa yang tulus kepada penulis.

14.Kepada kedua kakak kandung penulis, Dr. Cut Adeya Adella Sp.OG dan Dr. Cut Aria Arina Sp.S beserta seluruh keluarga yang banyak memberikan semangat dan doa kepada penulis selama menjalani Program Pendidikan Spesialis Kardiologi dan Kedokteran Vaskular.

15.Teristimewa kepada suamiku tersayang dr. Andi Khairul yang telah memberikan motivasi dan dorongan dalam penyelesaian tesis ini dan mendampingi penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang dalam suka dan duka.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua jasa dan budi baik

mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan cita-cita penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Oktober 2011

(12)

ABSTRAK

Latar belakang dan Tujuan : Penggunaan media kontras dalam prosedur diagnostik dan intervensi terus meningkat sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan angka kejadian gangguan fungsi ginjal akibat penggunaan media kontras yang lebih dikenal dengan istilah contrast induced nephropathy (CIN). CIN merupakan tiga penyebab tersering terjadinya gagal ginjal akut (GGA) yang didapat di rumah sakit setelah pembedahan dan hipotensi. Dari seluruh prosedur yang menggunakan media kontras, angiografi koroner dan percutaneus coronary intervention (PCI) memiliki angka kejadian tertinggi untuk terjadinya CIN. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian penderita yang mengalami peningkatan kreatinin serum yang bermakna setelah intervensi koroner dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan peningkatan kreatinin serum tersebut.

Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang dengan interval waktu yang bersifat analitik. Penelitian dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular divisi invasif nonbedah RSUP. H. Adam Malik Medan selama 3 bulan pada periode September 2010 sampai dengan November 2010.

Hasil : Penelitian ini terdiri dari 282 orang subjek penelitian didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 200 orang (70,9%) dan perempuan 82 orang (29,1%). Usia terbanyak adalah ≤ 60 tahun sebanyak 180 orang (63,8%) sedangkan usia > 60 tahun sebanyak 102 orang (36,2%). Dari penelitian ini didapatkan CIN pada 51 orang (18%) setelah 24 jam intervensi koroner. Hasil analisa univariat faktor resiko terjadinya CIN adalah riwayat CHF, hipertensi, diabetes mellitus, GFR<60 ml/min/1,7 m2. Dan dari hasil analisa multivariat faktor resiko terjadinya CIN adalah riwayat CHF (OR = 3,843; p = 0,011), Hipertensi (OR = 2,116; p = 0,025), DM (OR = 8,378; p < 0,001), GFR < 60 ml/min/1,7 m2 (OR = 9,081; p = 0,006). Uji interaksi dari regresi logistik antara dua faktor yang mempengaruhi terjadinya CIN, subjek penelitian yang memiliki dua faktor resiko yaitu DM dan nilai GFR < 60 ml/min/1,7 m2 memiliki resiko tertinggi untuk terjadi CIN dengan resiko CIN dapat meningkat hingga 12 kali lipat dengan nilai OR = 12,546 (95% i.k 4.865 – 50.743) dan p<0,001.

Kesimpulan : CIN didapatkan pada 51 orang dari 282 subjek penelitian (18%) setelah 24 jam intervensi koroner. Riwayat CHF, hipertensi, diabetes mellitus, GFR<60 ml/min/1,7 m2 merupakan faktor resiko terjadinya CIN. Subjek yang memiliki dua faktor resiko yaitu DM dan nilai GFR <60 ml/min/1,7 m2 memiliki resiko tertinggi untuk terjadi CIN.

(13)

ABSTRAK

Latar belakang dan Tujuan : Penggunaan media kontras dalam prosedur diagnostik dan intervensi terus meningkat sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan angka kejadian gangguan fungsi ginjal akibat penggunaan media kontras yang lebih dikenal dengan istilah contrast induced nephropathy (CIN). CIN merupakan tiga penyebab tersering terjadinya gagal ginjal akut (GGA) yang didapat di rumah sakit setelah pembedahan dan hipotensi. Dari seluruh prosedur yang menggunakan media kontras, angiografi koroner dan percutaneus coronary intervention (PCI) memiliki angka kejadian tertinggi untuk terjadinya CIN. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian penderita yang mengalami peningkatan kreatinin serum yang bermakna setelah intervensi koroner dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan peningkatan kreatinin serum tersebut.

Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang dengan interval waktu yang bersifat analitik. Penelitian dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular divisi invasif nonbedah RSUP. H. Adam Malik Medan selama 3 bulan pada periode September 2010 sampai dengan November 2010.

Hasil : Penelitian ini terdiri dari 282 orang subjek penelitian didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 200 orang (70,9%) dan perempuan 82 orang (29,1%). Usia terbanyak adalah ≤ 60 tahun sebanyak 180 orang (63,8%) sedangkan usia > 60 tahun sebanyak 102 orang (36,2%). Dari penelitian ini didapatkan CIN pada 51 orang (18%) setelah 24 jam intervensi koroner. Hasil analisa univariat faktor resiko terjadinya CIN adalah riwayat CHF, hipertensi, diabetes mellitus, GFR<60 ml/min/1,7 m2. Dan dari hasil analisa multivariat faktor resiko terjadinya CIN adalah riwayat CHF (OR = 3,843; p = 0,011), Hipertensi (OR = 2,116; p = 0,025), DM (OR = 8,378; p < 0,001), GFR < 60 ml/min/1,7 m2 (OR = 9,081; p = 0,006). Uji interaksi dari regresi logistik antara dua faktor yang mempengaruhi terjadinya CIN, subjek penelitian yang memiliki dua faktor resiko yaitu DM dan nilai GFR < 60 ml/min/1,7 m2 memiliki resiko tertinggi untuk terjadi CIN dengan resiko CIN dapat meningkat hingga 12 kali lipat dengan nilai OR = 12,546 (95% i.k 4.865 – 50.743) dan p<0,001.

Kesimpulan : CIN didapatkan pada 51 orang dari 282 subjek penelitian (18%) setelah 24 jam intervensi koroner. Riwayat CHF, hipertensi, diabetes mellitus, GFR<60 ml/min/1,7 m2 merupakan faktor resiko terjadinya CIN. Subjek yang memiliki dua faktor resiko yaitu DM dan nilai GFR <60 ml/min/1,7 m2 memiliki resiko tertinggi untuk terjadi CIN.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang

Penggunaan media kontras dalam prosedur diagnostik dan intervensi terus meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan angka kejadian gangguan fungsi ginjal akibat penggunaan media kontras. Kondisi ini belakangan lebih dikenal dengan istilah contrast induced nephropathy (CIN) (Mehran dkk, 2006; Toprak dkk, 2006). CIN merupakan tiga penyebab tersering terjadinya gagal ginjal akut (GGA) yang didapat di rumah sakit setelah pembedahan dan hipotensi yang berhubungan erat dengan meningkatnya angka mortalitas dan morbiditas selama rawatan di rumah sakit, serta biaya yang dibutuhkan (Maeder dkk,2004; Gleeson dkk 2004).

Selama dekade terakhir, banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat apakah penderita CIN memiliki resiko yang lebih besar untuk terjadi berbagai komplikasi dan kematian. Sebelum penelitian-penelitian tersebut dilakukan, CIN hanya dianggap sebagai suatu kondisi yang bersifat asimptomatik dengan adanya peningkatan kreatinin serum yang bersifat sementara tanpa berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas. Namun dengan adanya penelitian-penelitian yang dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa pada penderita CIN terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas selama rawatan rumah sakit (Rudnick dkk, 2008). Angka mortalitas pada penderita gagal ginjal akut setelah pemberian media kontras dapat mencapai 35% sehingga dalam beberapa tahun terakhir perhatian para tenaga kesehatan terhadap CIN terus meningkat (Bartorelli dkk, 2008).

Prosedur tindakan kateterisasi jantung baik yang bertujuan untuk diagnostik ataupun terapi meningkat pertahunnya hingga mencapai 341% di Amerika Serikat dalam dua dekade terakhir . Pada tahun 2000, diperkirakan penderita yang menjalani tindakan kateterisasi jantung mencapai 1.790.000 orang. Dan untuk melakukan prosedur ini dibutuhkan 1800 ton media kontras yang mengandung iodine. (Gami dkk, 2004).

Media kontras yang mengandung iodine diketahui mempunyai efek toksik terhadap ginjal. Saat ini terus dikembangkan media kontras yang lebih fisiologis untuk mengurangi efek samping terjadinya CIN (Brendan dkk, 1999).

(15)

Dalam definisi CIN mencakup tiga komponen penting yaitu : peningkatan kreatinin serum dibandingkan dengan nilai dasar, adanya hubungan antara peningkatan kreatinin serum dengan terpaparnya media kontras serta dapat menyingkirkan penyebab lain untuk terjadinya gangguan ginjal (Mehran dkk, 2006). CIN dideteksi dengan mengukur kreatinin serum dan biasanya didefinisikan sebagai peningkatan konsentrasi kreatinin serum ≥ 0,5 mg/dl atau ≥ 25% dari nilai dasar (Brinker dkk, 2005; McCullough, 2008).

Penggunaan kreatinin sebagai marker dari glomerular filtration rate (GFR) sebenarnya kurang akurat oleh karena ketika terjadi perubahan GFR secara akut akibat zat-zat toksik, kreatinin meningkat secara perlahan. Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan dalam mengetahui terjadinya gangguan ginjal (Solomon, 2006).

Idealnya, gangguan fungsi gangguan ginjal harus diukur dengan creatinin clearance serial, namun karena metode ini lebih sulit dan membutuhkan biaya yang lebih besar, kebanyakan literatur menggunakan nilai kreatinin serum walaupun parameter ini mungkin kurang sensitif dalam menggambarkan perubahan pada fungsi ginjal dan mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai sensitifitas yang maksimal jika dibandingkan dengan creatinin clearance (Gleeson dkk, 2004).

Terjadinya CIN memiliki efek yang penting pada penderita yang akan menjalani rawat jalan dan dapat menimbulkan komplikasi setelah PCI seperti misalnya kematian, infark miokardial dan stroke (Brinker dkk, 2005). CIN juga berhubungan erat dengan perpanjangan masa rawatan di rumah sakit dan peningkatan jumlah mortalitas dan morbiditas baik dalam waktu jangka pendek ataupun jangka panjang (Zirogiannis dkk, 2004).

Insidensi CIN yang sebenarnya sulit untuk ditentukan oleh karena banyaknya perbedaan baik pada definisi CIN, jumlah proporsi penderita dengan resiko tinggi, jenis kontras media dan tindakan prevensi yang digunakan dalam penelitian-penelitian yang ada sebelumnya. Insidensi CIN yang dilaporkan menurut literatur yang ada sebelumnya sangat bervariasi. Dengan menggunakan data tahun 2000, lebih dari 59.000 kasus CIN terjadi pertahunnya dan lebih dari 4600 dari penderita tersebut membutuhkan hemodialisis (Gami dkk, 2004; Lameire, 2006).

(16)

Sebuah studi yang dilakukan oleh Rich dkk (1990) mengatakan bahwa usia tua merupakan salah satu resiko untuk terjadinya CIN.

Terdapat hubungan yang signifikan antara nilai awal kreatinin serum dengan frekuensi terjadinya CIN (Meschi dkk, 2006; Maeder dkk, 2004). Pada studi yang dilakukan terhadap 7500 penderita yang menjalani intervensi koroner, CIN terjadi pada 22,4% dengan nilai kretinin serum 2,0 sampai 2,9 mg/dL dan 30,6% pada penderita dengan nilai kreatinin serum 3.0 mg/dL atau lebih jika dibandingkan dengan 2,4% penderita dengan nilai serum kreatinin < 2 mg/dL (Gami dkk, 2004).

Identifikasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kreatinin yang bermakna, mengindari penggunaan obat-obatan yang dapat memperburuk fungsi ginjal seperti metformin serta melakukan tindakan profilaksis seperti hidrasi, pemberian antioksidan sebelum intervensi koroner merupakan hal yang penting untuk mencegah terjadinya CIN (Ghani dkk, 2009; Haque dkk, 2009; Wong dkk, 2007).

I. 2. Pertanyaan Penelitian

1. Berapakah angka kejadian penderita yang mengalami peningkatan kadar kreatinin serum yang bermakna setelah intervensi koroner di RSUP. H. Adam Malik Medan ? 2. Apakah faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar

kreatinin serum yang bermakna setelah intervensi koroner ?

I. 3. Hipotesis Penelitian

Terdapat faktor-faktor risiko yang secara spesifik dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum yang bermakna.

I. 4. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui angka kejadian penderita yang mengalami peningkatan kreatinin serum yang bermakna setelah intervensi koroner dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan peningkatan kreatinin serum setelah intervensi koroner di RSUP. H.Adam Malik Medan.

I. 5. Manfaat Penelitian

(17)
(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Contrast Induced Nephropathy II. 1. 1. Definisi

CIN yang terjadi setelah PCI memiliki berbagai definisi tergantung literatur yang digunakan. Oleh karena perbedaan definisi dari berbagai literatur ini menyebabkan data yang ada menjadi tidak konsisten (Shoukat dkk, 2010). Definisi CIN menurut European Society of Urogenital Radiology adalah peningkatan kreatinin serum ≥ 25% atau 0,5 mg/dL yang terjadi dalam 3 hari setelah pemberian media kontras intravaskular tanpa ada penyebab lainnya (Thomsen, 2006). Definisi CIN menurut Acute Kidney Injury Network adalah peningkatan kretinin serum ≥ 0,3 mg/dL disertai dengan adanya oliguria.

Dalam jurnal yang dipublikasikan pada Journal American College of Cardiology 2008, CIN didefinisikan sebagai peningkatan kreatinin serum ≥ 25% dari nilai dasar kreatinin serum atau peningkatan yang absolut ≥ 0,5 mg/dL (44 µmol/L) yang terjadi dalam 24 – 72 jam pertama setelah terpapar kontras, tanpa ada penyebab lainnya (McCullough, 2008).

Slocum dkk (2010) melakukan studi untuk menentukan definisi CIN yang paling baik dalam implikasi klinis apakah peningkatan serum ≥ 25% dari nilai dasar kreatinin serum atau peningkatan yang absolut ≥ 0,5 mg/dL. Dari data yang ada peningkatan yang absolut ≥ 0,5 mg/dL lebih superior dibanding peningkatan serum ≥ 25% dari nilai dasar kreatinin serum dalam menegakkan CIN.

II. 1. 2. Epidemiologi

Insidensi terjadinya CIN sebagai komplikasi diagnostik dan intervensi radiografi sangat bervariasi tergantung dari definisi yang digunakan, prosedur yang dilakukan, jumlah dan tipe media kontras serta adanya faktor-faktor resiko seperti penyakit ginjal kronik, diabetes mellitus dan penggunaan jumlah kontras yang terlalu banyak (Gleeson dkk, 2004).

(19)

penderita yang menjalani PCI, CIN terjadi pada 14,5% dari seluruh kasus dan sebanyak 0,7% memerlukan dialisis (McCullough dkk, 1997).

Studi yang dilakukan di Graduate Hospital mendapatkan bahwa dari 1196 penderita yang menjalani intervensi koroner 11,1% terjadi CIN, selain itu juga disimpulkan bahwa hanya pada penderita yang dengan gangguan ginjal sebelumnya atau disertai adanya diabetes mellitus memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadi CIN (Rudnick dkk, 1997).

Studi retrospektif dengan menggunakan Mayo Clinic PCI Registry pada tahun 1996 sampai 2000 dengan mengikutsertakan 7586 penderita yang menjalani intervensi koroner didapatkan insiden CIN sebanyak 254 orang (3,3%). Studi ini juga menunjukkan insiden terjadinya kematian selama rawatan rumah sakit, terutama akibat infark miokard meningkat > 10 kali lipat pada penderita CIN. Dan pada penderita CIN tersebut angka kejadian perdarahan, terbentuknya hematom, pseudoaneurysm, stroke, emboli paru dan perdarahan saluran cerna juga lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang tidak mengalami CIN. (Rihal dkk, 2002).

Studi besar lainnya yang dilakukan di Washington Hospital Center dari tahun 1994 sampai 1999 dengan 8628 penderita yang menjalani intervensi koroner didapatkan 1431 (16,5%) menderita CIN (Iakovou dkk, 2003).

Studi yang dilakukan terhadap 183 penderita dengan usia tua yaitu lebih dari 70 tahun yang menjalani intervensi koroner didapatkan 11% menderita CIN (Rich dkk, 1990).

Insidensi CIN yang dilaporkan menurut literatur – literatur yang ada sangat bervariasi. Dengan menggunakan data tahun 2000, diperkirakan lebih dari 59.000 kasus CIN terjadi pertahunnya dan lebih dari 4600 dari penderita tersebut membutuhkan hemodialisis (Gami dkk, 2004).

(20)

Gambar 1. Insidens kematian selama masa rawatan rumah sakit yang berhubungan

dengan CIN (Brinker,2005).

Nilai kreatinin serum awal dengan angka kejadian CIN memiliki hubungan yang signifikan yaitu bervariasi dari 2% pada penderita dengan kreatinin serum dasar < 1,5 mg/dL hingga mencapai 20% pada penderita dengan kreatinin serum dasar > 2 mg/dL, terutama apabila penderita juga menderita DM (Meschi dkk, 2006; Brinker dkk, 2005).

Tabel 1. Insidensi terjadinya CIN setelah PCI. (Brinker, 2005)

Suatu studi yang dilakukan oleh Mutjaba dkk (2010) untuk menentukan frekuensi penderita dengan adanya insufisiensi ginjal dengan nilai serum kreatinin normal yang menjalani intervensi koroner. Ternyata pada studi ini didapatkan bahwa pada penderita dengan kreatinin normal sering memiliki nilai GFR yang tidak normal. Sehingga GFR sebaiknya selalu dinilai untuk menentukan apakah telah terjadi insufisiensi ginjal walaupun kreatinin serum dalam batas normal.

(21)

prediktor kuat untuk terjadinya CIN dan kerusakan ginjal dalam 30 hari setelah terpapar media kontras.

II. 1. 3. Patogenesis

Patogenesis pasti CIN belum sepenuhnya diketahui, namun cenderung melibatkan beberapa faktor patogen dan kombinasi beberapa mekanisme (Persson dkk, 2005). Pada CIN terjadi kombinasi yang unik dari berbagai proses patologi yang melibatkan disfungsi endotel, adanya oksigen radikal bebas yang sitotoksik dan toksisitas tubulus yang akhirnya dapat menimbulkan hipoksia jaringan medulla ginjal (Heyman dkk, 2007; Wong dkk, 2007; McCullough, 2009 ).

Marry dkk (2001) menyatakan bahwa kerusakan ginjal akibat media kontras oleh karena perubahan hemodinamik dan efek toksisitasnya pada ginjal. Perubahan hemodinamik ginjal ditemukan pada banyak studi yang menemukan implikasi kuat adanya vasokontriksi ginjal dengan efek iskemi medulla, yang melibatkan nitric oxide (NO) sebagai vasodilator protektif endogen.

Penyebab instrinsik CIN adalah peningkatan vasokonstriksi, penurunan prostaglandin lokal dan NO sehingga menurunkan efek vasodilatasi, efek toksik langsung pada sel-sel tubular ginjal yang rusak oleh karena radikal-radikal bebas, meningkatkan kebutuhan oksigen dan tekanan intratubular serta viskositas urin dan obstruksi tubular yang akan berakumulasi untuk terjadinya iskemia medulla ginjal (Gleeson dkk, 2006).

(22)

Tabel 2. Faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis CIN (Wong dkk, 2007).

II. 1. 3. 1. Disfungsi endotel

Gangguan hemodinamik secara langsung yang diakibatkan oleh media kontras terhadap sintesis dan pelepasan NO dan prostaglandin belum jelas terlihat. Produksi intrarenal terhadap mediator vasodilator tersebut bertanggung jawab terhadap suplai dan perfusi oksigen di medulla, penurunan dalam ketersediaan mediator-mediator tersebut dapat menyebabkan terjadinya nephropathy. Penurunan sintesis atau respon terhadap NO yang dilepaskan dari endothelium dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya iskemia pada ginjal (Detrenis dkk, 2005; Gleeson dkk, 2004).

II. 1. 3. 2. Toksisitas tubulus

Efek toksik media kontras secara langsung terhadap sel-sel tubulus adalah penurunan resistensi transepitel, gangguan permeabilitas substan-substan dan gangguan polarisasi membran protein. Kerusakan pada sel-sel tubulus ini dapat diikuti dengan penurunan yang signifikan dari konsentrasi kalium, adenosine diphosphate dan adenosine triphosphate (Detrenis dkk, 2005) serta ketidakseimbangan dari homeostasis kalsium dan apoptosis (Wong dkk, 2007). Hal ini akan menimbulkan gangguan pada hemodinamik ginjal yang akhirnya dapat terjadi hipoksia (Wong dkk, 2007).

II. 3. 3. Oksigen radikal bebas

(23)

produksi radikal bebas ginjal meningkat setelah pemberian media kontras (Gleeson dkk, 2004). Stress oksidatif terjadi apabila jumlah oksigen radikal bebas melebihi antioksidan. Keadaan ini biasanya meningkat pada gagal ginjal kronik dan diabetes yang diketahui sebagai faktor resiko terjadinya CIN (Wong dkk, 2007).

Oksigen radikal bebas memegang peranan terhadap efek vasokonstriksi yang telah diketahui merupakan faktor yang penting dalam terjadinya CIN. Dengan adanya bukti keterlibatan oksigen radikal bebas dalam terjadinya CIN maka tidak heran apabila banyak studi-studi yang dilakukan untuk menurunkan angka kejadian CIN dengan efek terhadap oksigen radikal bebas seperti misalnya N-acetylcysteine (Persson dkk, 2005).

Tabel 3. Perubahan fisiologi yang terjadi setelah pemberian kontras (Heyman dkk, 2007). Ekstra renal

Penurunan oksigenasi sistemik - Gangguan fungsi paru,

- Pergeseran kurva disosiasi oksigen-hemoglobin kekiri Perubahan hemodinamik yang memepengaruhi ginjal (hipoperfusi) Perubahan rheologi darah

Renal: Perubahan fisiologi

Diuresis, perubahan GFR L respon bifasik (meningkat  menurun) Peningkatan viskositas darah intrarenal dan viskositas urine Peningkatan tekanan volume ginjal dan interstitial

Perubahan sirkulasi ginjal

- Kortek: respon bipasik (meningkat  menurun) - Outer medulla: sangat meningkat

- Papilla: sangat menurun Penurunan oksigenasi ginjal

Delivery oksigen menurun, konsumsi oksigen meningkat Ekskresi asam urat dan oksalat meningkat, enzimuria

Renal: Perubahan regulasi mediator dan fungsi hemodinamik ginjal Peningkatan adenosin

Nitric oxide: penurunan pada kortek, peningkatan pada medulla outer Prostaglandin: PGE 2 meningkat, PGI2 meningkat atau menurun Peningkatan ANP, endotelin, vasopresin, histamin, oksigen reaktif

Renal: Perubahan pada tingkat selular Peningkatan radikal bebas

Hipoxia-inducible factor (HIF) dan related strees- response genes meningkat, Poly-(ADP-Ribose) polymerase (PARPP) meningkat

(24)

Pemberian media kontras dapat menginduksi perubahan-perubahan terhadap efek sistemik, yaitu oksigenasi pada jaringan ginjal, gangguan ventilasi-perfusi paru, penurunan curah jantung dan perfusi ginjal, mengubah reologi darah serta meningkatkan asosiasi oksigen-hemoglobin (Heyman dkk, 2008).

Gambar 2. Patogenesis terjadinya CIN (Gleeson dkk, 2004).

II. 1. 4. Gambaran patologi

Karakterisitik lesi pada ginjal yang mengalami CIN adalah vakuolisasi sel tubular proksimal (osmotic nephrosis). Heyman dkk (2007) melakukan 211 biopsi ginjal setelah hari ketujuh pada pasien yang mendapat media kontras saat urography atau arteriography, ginjal akan mengalami osmotic nephrosis pada 47 kasus. Bentuk osmotic nephrosis yang difus lebih banyak terjadi pada penyakit ginjal berat sedangkan bentuk yang fokal terjadi pada gangguan ginjal yang ringan atau penderita dengan fungsi ginjal yang normal sebelumnya. Vakuola tidak dibentuk dari endositosis tetapi dari invaginasi membran sel. Hal ini menunjukkan bahwa media kontras pada daerah paraselular dapat menyebabkan kerusakan membran. Struktur histokima menunjukkan vakuola ini terdiri dari aktifitas asam fospat. Vakuola tubular proksimal merupakan petanda adanya paparan media kontras daripada terjadinya CIN. II. 1. 5. Faktor risiko

(25)

Tabel 4. Faktor risiko terjadinya CIN (Shoukat dkk, 2010).

II. 1. 5. 1. Penyakit ginjal kronik

Studi-studi yang ada sebelumnya menyatakan bahwa penyakit ginjal kronik dan peningkatan kreatinin serum merupakan faktor risiko terpenting dalam menimbulkan CIN (Mehran dkk,2006). Insiden CIN pada penderita dengan penyakit ginjal kronik cenderung tinggi berkisar antara 14,8 sampai 55% (Ultramari dkk, 2006).

Suatu studi yang dilakukan oleh Gruberg dkk (2001) pada 439 penderita yang menjalani intervensi koroner dengan menggunakan kontras media non-ionic dengan nilai kreatinin serum dasar ≥ 1,8% mg/dL, dan didapatkan bahwa CIN terjadi pada sepertiga kasus.

Semakin tinggi nilai kreatinin serum awal maka resiko untuk terjadi CIN akan semakin besar, penderita dengan kreatinin serum dasar <1,5 mg/dL resiko CIN hanya < 2% namun pada penderita dengan kreatinin serum dasar >2 mg/dL resiko CIN dapat mencapai hingga 20%, terutama apabila penderita juga menderita DM (Meschi dkk, 2006; Mehran dkk, 2006; Brinker dkk, 2005).

Namun nilai kreatinin serum saja tidak cukup untuk mengidentifikasi penderita dengan resiko tinggi terjadinya CIN. Hal ini oleh karena nilai kreatinin serum bervariasi sesuai umur, dipengaruhi massa otot dan gender (Mehran dkk, 2006).

(26)

terpapar kontras media untuk penilaian CIN (Mehran dkk, 2006). Terdapat hubungan antara nilai kreatinin serum dengan GFR, pada penderita yang menunjukkan nilai kreatinin serum dua kali lipat lebih tinggi biasanya merupakan respon dari penurunan GFR hampir 50% (Finn, 2006).

Gambar 3. Hubungan antara nilai GFR dengan kreatinin serum (Finn, 2006).

Gambar 4. Resiko terjadinya CIN sesuai dengan stadium PGK (Finn, 2006).

II. 1. 5. 2. Diabetes mellitus

DM merupakan independen prediktor lainnya yang kuat untuk terjadinya CIN setelah intervensi koroner (Gami dkk, 2004). Insiden CIN pada penderita DM berkisar antara 5,7 sampai 29,4% (Mehran dkk, 2006).

(27)

Pada suatu studi, CIN terjadi pada 27% penderita DM dengan nilai kreatinin serum dasar 2,0-4,0 mg/dL dan 81% pada penderita dengan kreatinin serum >4,0 mg/dL (Mehran dkk, 2006).

Gambar 5. Pengaruh gangguan ginjal dan DM terhadap insiden terjadinya CIN

(Heyman dkk, 2007) .

Chong dkk (2009) melakukan studi pada penderita DM dengan nilai kreatinin serum normal yang dilakukan intervensi koroner dan didapatkan hasil bahwa pada penderita tersebut terjadi peningkatan resiko untuk timbulnya CIN.

Walaupun resiko CIN pada penderita DM dengan fungsi ginjal normal adalah rendah, namun apabila juga disertai dengan PGK resiko terjadinya CIN menjadi tinggi dan sebaiknya tidakan profilaksis CIN dilakukan (Ultramari dkk, 2006).

II. 1. 5. 3. Usia tua

Alasan yang mungkin menyebabkan terjadi insiden CIN yang tinggi pada usia tua adalah perubahan-perubahan oleh usia seperti lebih dominannya vasokonstriksi renal dibandingkan vasodilatasi, sulitnya untuk akses vasular oleh karena pembuluh darah yang berkelok-kelok, kalsifikasi pada pembuluh darah sehingga membutuhkan jumlah kontras yang lebih banyak dan gangguan pada sintesis prostaglandin (Toprak dkk, 2006).

(28)

II. 1. 5. 4. Jenis kelamin

Hormon ovarium dapat mempengaruhi sistem renin angiotensin dan aliran darah ginjal (Toprak dkk, 2006). Suatu studi retrospektif yang dilakukan oleh Iakovou dkk (2003) dengan jumlah sampel 8.628 yang menjalani PCI menyimpulkan bahwa wanita merupakan prediktor independen untuk terjadinya CIN. Begitu juga studi yang dilakukan Ghani dkk (2009) yang menyatakan bahwa wanita merupakan faktor resiko independen untuk terjadi CIN.

Chong dkk (2010) menyatakan wanita cenderung untuk memiliki nilai GFR yang lebih rendah dibandinkan pria. Studi yang dilakukan menyimpulkan bahwa nilai kreatinin <1,5 mg/dL merupakan batas wanita menjadi faktor prediktor independen terjadinya CIN.

Namun penelitian ini bertolak belakang dengan studi lain yang menyatakan laki-laki merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya CIN. Masih diperlukan studi-studi selanjutnya untuk melihat apakah perempuan merupakan prediktor independen CIN yang sebenarnya (Toprak dkk, 2006).

II. 1. 5. 5. Hipertensi

Hipertensi telah dikategorikan menjadi faktor resiko terjadinya CIN

pada beberapa penelitian. Penjelasan hipertensi menjadi faktor resiko CIN adalah gangguan pelepasan mediator-mediator vasoaktif intrarenal seperti sistem rennin angiotensin atau NO. Berkurangnya jumlah nefron ginjal juga juga merupakan predisposisi penderita hipertensi untuk terjadi CIN (Toprak dkk, 2006).

Studi yang dilakukan oleh Conen dkk (2006) terhadap 1382 sampel yang menjalani intervensi koroner dengan hipotesa hipertensi sebagai faktor resiko independen terjadinya CIN pada penderita yang menjalani PCI. Dan dari hasil studi didapatkan hasil yang sesuai dengan hipotesa tersebut.

II. 1. 5. 6. Faktor resiko jantung

(29)

Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa penurunan left ventricular ejection fraction (LVEF) ≤ 49% atau CHF New York Heart Association (NYHA) III atau IV merupakan faktor resiko untuk terjadinya CIN (Schillinger dkk, 2001; Gruberg dkk, 2000).

Pada suatu studi yang dilakukan oleh Rihal dkk (2002) menunjukkan bahwa CHF merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya CIN dengan OR 1,53 dan p = 0,007. Selain itu pada suatu studi kohort yang dilakukan oleh Bartholomew dkk (2004) juga mendapatkan hasil yang sama dengan OR 2,2 dan p < 0,0001.

II. 1. 5. 7. Jumlah kontras dan osmolaritas

Jumlah kontras yang digunakan merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi yang utama. Dengan meningkatnya tingkat kesulitan dari prosedur intervensi koroner maka penggunaan jumlah kontras biasanya meningkat, hal ini berhubungan dengan kejadian CIN. Banyak studi yang telah menunjukkan adanya hubungan antara jumlah kontras yang digunakan dengan resiko terjadinya CIN (Shoukat dkk, 2010).

McCullough dkk (1997) melakukan studi dan menyimpulkan bahwa pada penderita yang mendapat kontras <100 ml selama prosedur intervensi koroner, resiko untuk terjadi CIN sangat kecil, atau jumlah kontras yang digunakan <5ml/kg/kreatinin serum.

Studi yang dilakukan oleh Nikolsky dkk (2004) pada penderita DM yang menjalani intervensi koroner, didapatkan bahwa setiap 100 ml dari jumlah media kontras yang digunakan meningkatkan resiko CIN 30%.

Menurut Heyman dkk (2007) dosis maksimal penggunaan media kontras yang dapat menurunkan insiden CIN hingga 90% adalah:

(30)

Gambar 6.Odds Ratio terjadi CIN berdasarkan jumlah media kontras yang digunakan.

(Mehran dkk, 2006).

Yoon dkk (2011) melakukan suatu studi untuk menilai rasio dari dosis media kontras (CM-dose) dengan nilai GFR dalam memprediksi terjadinya CIN dan menentukan tingkat mana yang aman dari CM-dose/GFR terhadap prosedur intervensi koroner. Dari studi ini disimpulkan bahwa CM-dose(gram)/GFR <1,42 merupakan metode yang simpel dan berguna sebagai indikator untuk menentukan dosis media kontras yang aman berdasarkan GFR.

Metaanalisis yang dilakukan terhadap 31 studi untuk melihat hubungan insiden CIN dan osmolaritas dari media kontras yang digunakan. Didapatkan hasil bahwa insiden CIN pada penggunaan kontras media dengan osmolaritas yang tinggi meningkat secara signifikan pada penderita dengan gangguan ginjal sebelumnya. Namun pada penderita tanpa kelainan ginjal sebelumnya tidak ada perbedaan yang signifikan (Barret dkk, 1993).

Studi lain yang dilakukan oleh Rudnick dkk (1995) pada penderita DM yang juga disertai dengan adanya gangguan ginjal yang menjalani intervensi koroner mendukung fakta yang ada sebelumnya bahwa penggunaan media kontras dengan osmolaritas yang lebih rendah dapat menurunkan angka kejadian CIN (Aspelin dkk, 2003).

(31)

Adanya dua atau lebih faktor resiko CIN yang terjadi bersamaan akan meningkatkan angka kejadian CIN (Mehran dkk, 2006; Heyman dkk, 2007). Studi yang dilakukan oleh Rich dkk (1990) menyatakan bahwa CIN terjadi 1,2% pada penderita tanpa faktor resiko, 11,2% pada penderita dengan satu faktor resiko dan >20% pada penderita dengan dua atau lebih faktor resiko.

Gambar 7. Insiden CIN meningkat dengan bertambahnya jumlah faktor resiko. (Rich dkk, 1990)

(32)

Tabel 5. Skor resiko CIN yang dihubungkan dengan tindakan dialisis yang

diperlukan.(Mehran dkk, 2004)

II. 1. 6. Pencegahan

II. 1. 6. 1. Modifikasi faktor-faktor risiko

Penggunaan media kontras sebaiknya ditunda pada penderita dengan

dehidrasi ataupun pada gagal jantung kongestif sampai dengan status hemodinamiknya stabil apabila memungkinkan. Penggunann obat – obatan seperti NSAID, diuretik, ACEI, metformin sebaiknya tidak digunakan dalam 24 - 48 jam sebelum diberikan media kontras (Barret dkk, 2006).

II. 1. 6. 2. Terapi

II. 1. 6. 2. 1. Terapi yang telah terbukti 1. Hidrasi dengan saline

(33)

pada penderita dengan dehidrasi, maka infus saline sebelum pemberian kontras menjadi langkah dalam pencegahan CIN. Selain waktu dan cara hidrasi, faktor lain seperti tonisitas dan komposisi cairan juga memegang peranan penting (Pannu dkk, 2006).

Pada saat ini, direkomendasikan untuk pemberian hidrasi cairan dengan 0,45% saline dengan rata-rata 1 ml/kg/jam yang dimulai 1 sampai 2 jam sebelum prosedur hingga 24 jam pada penderita dengan risiko terjadi CIN. Pengawasan yang ketat untuk kondisi kebutuhan cairan sangat diperlukan pada penderita gagal jantung (Panuu dkk, 2006).

2. N-acetylcystein

N-acetylcystein (NAC) merupakan bentuk modifikasi dari amino acid cystein dengan berat molekul 163,2. Obat ini digunakan secara oral ataupun intravena, merupakan antioksidan yang dapat melindungi agar tidak terjadi injury pada jaringan yang teroksidasi. Mekanisme pasti NAC mencegah CIN belum jelas, namun oleh karena NAC berfungsi sebagai antioksidan, sehingga selalu diasumsikan mekanisme inilah yang bertanggung jawab sebagai efek protektifnya (Pannu dkk, 2006).

NAC mempengaruhi metabolism kreatinin melalui aktivasi kreatinin kinase dan pada subjek sehat yang diberikan NAC, kadar kreatinin serum menurun namun cystatin-C tidak berubah. (Lameire, 2006)

NAC sebagai antioksidan telah menunjukkan penurunan angka kejadian CIN dan mortalitas setelah primary PCI. Dosis pemberian NAC ini bervariasi dalam beberapa penelitian, namun yang paling berhasil dicapai dengan dosis 1200 mg secara oral yang dapat diberikan dua kali sehari pada satu hari sebelum dan sesudah tindakan (McCullough, 2008).

Metaanalisis yang dilakukan oleh Kelly dkk (2008) menyatakan bahwa NAC secara signifikan menurunkan resiko terjadinya CIN jika dibandingkan dengan pemberian saline saja.

II. 1. 6. 2. 2. Terapi yang belum terbukti

Menurut Gami dkk (2004) terapi yang belum terbukti dapat menurunkan angka kejadian CIN dan masih dalam perdebatan serta masih diperlukan studi-studi untuk membuktikannya adalah :

(34)

2. Hemodialisis

3. Penghambat kanal kalsium 4. Teofilin

5. Prostaglandin E1 6. Dopamin

7. Fenoldopam

Tabel 6. Rekomendasi pencegahan terhadap CIN (Wijns dkk, 2010).

Tabel 7. Evaluasi strategi terapi untuk menurunkan resiko CIN (Bartorelli dkk, 2007).

(35)

Gambar 8. Algoritme penatalaksaan pasien yang terpapar media kontras

(McCullough, 2008). II. 2. Media Kontras

II. 2. 1. Jenis - jenis

Salah satu metode untuk mengklasifikasikan media kontras yang teriodinasi adalah berdasarkan osmolaritasnya. High osmolar contrast media (HOCM, 2000 mOsm/kg H2O) seperti misalnya diatrizoate, iothlamate, ioxithalamate memiliki osmalalitas lima sampai delapan kali lebih tinggi dibandingkan plasma darah. Kontras media ini berkembang pada tahun 1950an dan untuk beberapa tahun menjadi media yang utama dalam prosedur yang menggunakan kontras. Low osmolar contrast media (LOCM, 600-900 mOsm/kg H2O) seperti iohexol, iopamidol dan ioxaglatte yang pertama kali diperkenalkan tahun 1980an, kontras ini masih tetap hiperosmolar dengan osmolalitas dua sampai tiga kali lebih tinggi dibandingkan plasma darah. Dan pada tahun 1990an kontras media yang terbaru yang mulai dikembangkan adalah iso-osmolar contrast media (IOCM, 290 mOsm/kg H2O) seperti iodixanol yang osmolaritasnya sama dengan plasma darah (McCullough, 2008; Lameire, 2006; Pannu dkk, 2006).

(36)

Tabel 8. Media kontras yang biasa digunakan (Pannu dkk, 2006).

Tabel 9. Modifikasi media kontras termasuk ukuran molekul, komposisi non-ionic dan osmolaritas (Brinker dkk, 2005).

II. 2. 2. Kejadian trombosis

(37)

didapatkan hasil tidak ada aktivasi platelet selama 30 menit dengan ioxaglate, aktivasi platelet terjadi dalam 1 menit dengan iohexol dan aktivasi platelet yang sedang selama 30 menit dengan iodixanol (Corot dkk, 1996).

Studi yang hampir sama yang dilakukan oleh Bertrand dkk (2000) menunjukkan hasil agregasi platelet lebih banyak terjadi pada iopamidol dibandingkan dengan iodixanol. Robertson menyatakan bahwa pembentukan clot lebih cepat terjadi setelah pemberian media kontras non-ionic dibandingkan ionic (Dusaj dkk, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa adanya efek nyata dari media kontras terhadap kaskade koagulasi dan aktivasi platelet (Brinker dkk, 2005).

II. 2. 3. Nefrotoksisitas

Beberapa studi yang ada menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nefrotoksisitas yang bermakna secara statistika antara HOCM dan LOCM (Deray dkk, 1996). Namun adanya metaanalisis terhadap 45 studi yang dilakukan oleh Barrett dkk (1993) yang meyimpulkan bahwa LOCM berhubungan dengan insiden CIN yang lebih rendah jika dibandingkan dengan HOCM.

Studi yang dilakukan oleh Moore dkk (1992) menunjukkan bahwa penderita dengan adanya gangguan ginjal sebelumnya terjadi peningkatan resiko nefrotoksisitas dengan penggunaan HOCM dibandingkan LOCM. Studi lain yang dilakukan oleh Rudnick dkk (1995) dalam Iohexol Cooperative Study terhadap 1196 penderita yang menjalani intervensi koroner dengan jelas menunjukkan pada penderita dengan riwayat gangguan ginjal sebelumnya atau kombinasi dengan DM secara signifikan terjadi penurunan resiko CIN apabila digunakan LOCM.

Secara umum, penggunaan LOCM berhubungan dengan insidensi CIN yang lebih rendah dibandingkan dengan HOCM pada penderita dengan faktor resiko terutama pada gangguan ginjal dan DM. Jika tidak terdapat faktor resiko tersebut, tidak ada perbedaan antara penggunaan antara LOCM dan HOCM (Deray dkk, 1996).

Setelah banyak studi-studi yang membandingkan antara penggunaan LOCM dan HOCM, kemudian juga dilakukan studi-studi yang membandingkan antara penggunaan LOCM dan IOCM. Studi yang dilakukan oleh Laskey dkk (2009) menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara iodixanol dan iopamidol baik pada peningkatan kreatinin serum ataupun resiko terjadi CIN.

(38)

dibandingkan LOCM dan didapatkan hasil bahwa penggunaan iodixanol tidak menurunkan resiko terjadinya CIN dan relatif keamanan ginjal antara LOCM dan iodixanol sangat tergantung pada tipe LOCM.

Studi metaanalisis yang hampir sama dilakukan From dkk (2010) terhadap 36 studi untuk membandingkan iodixanol dan LOCM menunjukkan bahwa pada penggunaan iodixanol diduga menurunkan resiko CIN namun tidak bermakna secara statistika.

Pada pasien-pasien yang menjalani intervensi koroner dengan resiko untuk terjadinya CIN, studi NEPHRIC (Nephrotoxicity in High Risk Patients Study of Iso-osmolar and Low-Iso-osmolar Non-ionic Contrast Media) menemukan bahwa dibandingkan dengan iohexol, iodixanol berhubungan dengan penurunan serum kretinin dan menurunkan insiden CIN (Aspelin dkk, 2003).

Studi yang hampir sama yaitu studi RECOVER (Renal Toxicity Evaluation and Comparison Between Visipaque and Hexabrix In Patients with Renal Insuffciency Undergoing Coronary Angiography) yang melibatkan penderita dengan PGK yang menjalani intervensi koroner, insiden CIN secara signifikan lebih rendah pada iodixanol daripada ioxaglate (Jo dkk, 2006).

Dari seluruh studi-studi telah yang dilakukan, lebih dianjurkan untuk menggunakan iodixanol pada penderita dengan resiko tinggi yang akan menjalani intervensi koroner, terutama pada penderita PGK dan DM (Laville, dkk, 2010; Pannu dkk, 2006).

(39)

II. 3. Kerangka Teori pertahunnya hingga 341% di AS dan pada tahun 2000, ± 1.790.000 orang menjalani intervensi koroner

Media Kontras

Gami dkk (2004): untuk melakukan intervensi koroner diperlukan media kontras yang mengandung iodine. Singh dkk (2008) : media kontras yang mengandung iodine mempunyai efek toksik terhadap ginjal .

Disfungsi endotel Toksisitas tubulus Oksigen radikal bebas

Detrenis dkk (2005) : Terdapat gangguan sintesis dan pelepasan NO dan prostaglandin sehingga suplai dan perfusi O2 di medulla

menurun menyebabkan terjadi

nephropathy.

Detrenis dkk (2005) : penurunan resistensi tranepitel, gangguan Wong dkk (2007) : stress oksidatif terjadi apabila oksigen radikal bebas melebihi antioksidan

(40)

II. 4. Kerangka Konsep

Intervensi koroner (Diagnostik atau terapeutik)

Media kontras

Peningkatan kreatinin yang bermakna (CIN)

Faktor-faktor resiko:

• Usia > 60 tahun

• Jenis kelamin

• Hipertensi

• Diabetes mellitus

• Anemia

• Riwayat MCI

• CHF

• Kreatinin serum sebelum PCI

• GFR < 60

(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III. 1. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah suatu penelitian potong lintang dengan interval waktu yang bersifat analitik (Straust dkk, 2010).

III. 2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular divisi invasif nonbedah RSUP. H. Adam Malik Medan yang berlangsung selama 3 bulan.

III. 3. Subyek Penelitian

Pasien rawat RSU H. Adam Malik Medan yang akan menjalani intervensi koroner baik angiografi koroner atau percutaneus coronary intervention (PCI) yang memenuhi kriteria penelitian.

III. 4. Besar sampel

Besar sample dihitung berdasarkan rumus (Sastroasmoro, 2007): �=�Z∝�PoQo+Zβ�PaQa�

(Po−Pa)2 2

Keterangan:

Zα = nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung nilai α yang telah ditentukan (α = 0,05  Zα = 1,96)

Zβ = nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung nilai β yang telah ditentukan (β = 0,10  Z β = 1,28)

Po = Proporsi CIN = 0,25 Qo = 1-Po = 0,75

Pa = 0,35

Qa = 1-Pa = 0,65

(42)

�=�1,96�(0,25)(0,75)+1,282�(0,35)(0,65)�

(0,35−0,25)2

2

n = 280

Dibutuhkan sampel minimal sebesar 280 orang.

III. 5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi III. 5. 1. Kriteria Inklusi

• Pasien yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan yang akan menjalani intervensi koroner baik angiografi koroner atau percutaneus coronary intervention.

Bersedia menandatangani informed consent

• Pasien gagal jantung kronik yang terkompensasi

• Pasien dengan gangguan ginjal kronik yang tidak menjalani hemodialisa reguler

III. 5. 2. Kriteria Eksklusi

• Pasien dengan gagal ginjal akut yang memerlukan hemodialisa segera

• Pasien dengan syok kardiogenik

• Pasien setelah resusitasi jantung paru

III. 6. Cara Keja

III. 6. 1. Metode Pengambilan Sampel

Subyek yang memenuhi kriteria dicatat nama, umur, nomor rekam medis, jenis kelamin, alamat, nomor telpon dan semua data klinis yang berhubungan dengan penelitian ini. Peneliti mengambil semua subyek yang memenuhi kriteria penelitian.

III. 6. 2. Pengukuran

Pemeriksaan laboratorium hematologi dengan automatic analyzer yaitu Cobas 6000, Hitachi 902, Cobac C 111.

Protokol pemeriksaan kreatinin serum

1. Sampel darah untuk pengukuran kreatinin diambil langsung pada saat sebelum dan 24 jam setelah tindakan angiografi koroner dilakukan.

(43)

3. Sampel darah diperiksa di UPF Laboratorium Patologi Klinik RSUP. H. Adam Malik Medan.

III. 7. Identifikasi variabel Variabel tergantung :

Contrast induced nephropathy Variabel bebas :

- Umur

- Jenis kelamin - Hipertensi - Diabetes mellitus - Anemia

- CHF

- Kreatinin serum sebelum intervensi koroner - GFR

- Jumlah kontras

III. 8 . Analisa Data

Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan program komputer Windows SPSS-15 (Statistical Product and Science Service). Analisa dan penyajian data dilakukan sebagai berikut :

• Data kontinu ditunjukkan dengan mean +/- standar deviasi dari mean atau nilai median (min - maks) sesuai dengan hasil uji normalitas sebagai data karakteristik dasar.

• Data kategorik ditunjukkan dengan frekuensi dan persentase.

• Analisis regresi logistik univariat dilakukan untuk menemukan faktor-faktor risiko terjadinya CIN. Jika variabel dependen numerik maka perbedaan didapat dengan uji t. Jika variabel dependen kategorik dan dikotom maka akan dipakai uji kai kuadrat. • Analisis regresi logistik multiivariat dilakukan setelah didapat faktor-faktor risiko

(44)

III. 9. Etika Penelitian

Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

III. 10. Alur Penelitian

Pasien melalui IGD/poliklinik

Rawat inap Kardiovaskular Data- data dasar : -EKG

-Laboratorium : Kreatinin serum sebelum tindakan

-Foto torak

Intervensi Koroner

( Diagnostik atau terapeutik )

Kreatinin serum 24 jam paska tindakan

Peningkatan kadar kreatinin yang bermakna (

CIN )

(45)

III. 11. Definisi Operasional

- Contrast induced nephropathy. Peningkatan kreatinin serum ≥ 25% dari nilai dasar kreatinin serum atau peningkatan yang absolut ≥ 0,5 mg/dl (44 µmol/L) yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah terpapar kontras, tanpa ada penyebab lainnya. (McCullough, 2008)

- Anemia. Hb serum < 11 g/dl, dengan nilai hematokrit ♀ < 36 % dan ♂< 39%. (Mehran dkk, 2004)

- Hipotensi. Tekanan darah sistolik <80 mmHg minimal dalam 1 jam dan membutuhkan obat inotropik dalam 24 jam pertama tindakan. (Mehran dkk, 2004)

- Syok kardiogenik. Adanya bukti hipoperfusi jaringan yang disebabkan oleh gagal jantung, dengan karakteristik penurunan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau penurunan MAP > 30 mmHg, denyut jantung > 90 kali permenit, penurunan jumlah urin (< 0,5 ml/kg/jam). (Nieminen dkk, 2005)

- Gagal jantung kronik. Adanya gejala gagal jantung seperti sesak nafas, mudah lelah baik pada aktivitas ataupun istirahat dengan adanya gangguan fungsi jantung dan respons klinis terhadap pengobatan gagal jantung. (Swedberg dkk, 2005)

- Gagal jantung kronik tidak terkompensasi. Adanya tanda dan gejala dari gagal jantung akut yang tidak memenuhi kriteria untuk syok kardiogenik atau krisis hipertensi. (Nieminen dkk, 2005)

- Penyakit ginjal kronik. Kreatinin serum dasar > 1,5 mg/dl atau adanya penurunan fungsi ginjal dengan nilai GFR < 60 ml/min/1,7 m2

(46)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL PENELITIAN IV.1.1. Karakteristik Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Divisi Invasif nonbedah RSUP H. Adam Malik Medan pada periode September 2010 sampai dengan November 2010 dengan jumlah sampel sebanyak 282 orang dari populasi yang menjalani intervensi koroner yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria ekslusi sehingga dapat diikutkan dalam penelitian.

IV.1.2. Karakteristik Subjek Penelitian

Dari 282 orang subjek penelitian didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 200 orang (70,9%) dan perempuan 82 orang (29,1%). Dari rentang usia, usia terbanyak adalah usia ≤ 60 tahun sebanyak 180 orang (63,8%) sedangkan usia > 60 tahun sebanyak 102 orang (36,2%), dengan rata-rata tekanan darah sistolik 140,714 ± 12,182 mmHg dan rata-rata tekanan darah diastolik 85,947 ± 12,182 mmHg.

Body Mass Index (BMI) dibagi kedalam tiga kelompok yaitu normal (18,5-24,9), overweight (25,0-29,9), dan obese (≥ 30). Kelompok overweight dengan subjek terbanyak yaitu 140 orang (50%), sedangkan kelompok yang paling sedikit adalah kelompok obese dengan jumlah 27 orang (9,6%).

Dari 282 subjek penelitian, 179 orang (63,5%) subjek dengan riwayat hipertensi sebelumnya, 74 orang (26,2%) dengan riwayat diabetes mellitus, riwayat keluarga menderita PJK 19 orang (6,7%), dislipidemia sebanyak 43 orang (15,2%) dan riwayat merokok didapatkan lebih dari setengah subjek penelitian yaitu 169 orang (69,9%). Subjek dengan riwayat IMA sebanyak 42 orang (14,9%) dan subjek dengan riwayat CHF sebanyak 71 orang (25,2%).

Pada penelitian ini, seluruh subjek penelitian mendapatkan jenis kontras yang sama yaitu iopamidol (iopamiro) yang termasuk kedalam golongan LOCM dengan rata-rata jumlah kontras yang digunakan pada setiap prosedur intervensi koroner baik untuk tindakan diagnostik saja atau disertai dengan tindakan terapeutik adalah 125 ± 70,711 ml.

(47)

217,5 ± 36,062 (103/mm3

Dari seluruh subjek penelitian yang memiliki nilai kreatinin serum awal 1,5 – 2 mg/dL berjumlah 49 orang (17,38%) dan > 2 mg/dL berjumlah 8 orang sedangkan nilai GFR < 60 ml/min/1,7 m

), rata-rata nilai hematokrit 40,8 ± 13,152 %, rata-rata SGOT 46,5 ± 37,477 U/L dan SGPT 43 ± 39,598 U/L sedangkan rata-rata nilai KGD yang diambil sewaktu adalah 141,5 ± 50,205 mg/dL.

2

sebanyak 225 orang (80,1%). Data lengkap karakteristik subjek penelitian ini disajikan dalam tabel 10.

Tabel 10. Data karakteristik subjek penelitian

Data demografi Deskripsi data

Umur (mean ± SD) 57 ± 11,679 Tekanan darah sistolik (mean ± SD) 140,714 ± 12,182 Tekanan darah diastolik (mean ± SD) 85,947 ± 12,182 Body Mass Index (BMI) (n)

Diabetes mellitus (n) 74 (26,2%)

Merokok (n) 169 (59,9%)

Riwayat keluarga PJK 19 (6,7%)

(48)

Trombosit (103/mm3) 217,5 ± 36,062

Dari penelitian ini didapatkan CIN pada 51 orang (18%) setelah 24 jam intervensi koroner. Kejadian CIN pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Dari 51 subjek yang terjadi CIN, laki-laki terjadi pada 46 orang (90,2%). Hal ini secara statistika menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p = 0,001.

Resiko untuk terjadi CIN lebih tinggi pada usia > 60 tahun dibandingkan ≤ 60 tahun. Pada penelitian ini kejadian CIN pada usia > 60 tahun didapat pada 27 orang (52,9%) dan usia ≤ 60 tahun didapat pada 24 orang (47,1%). Hal ini secara statistika menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p < 0,001.

BMI dari subjek penelitian ini dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu normal, overweight dan obesitas. Dari ketiga kelompok tersebut kelompok obesitas yang terjadi CIN sebanyak 6 orang (11,8%), kelompok overweight 20 orang (39,2%) dan kelompok pada normal CIN terjadi pada 25 orang (49,4%). namun setelah dilakukan analisa, hal ini tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna yaitu nilai p = 0,234.

Dari 42 orang subjek dengan riwayat IMA, CIN terjadi pada 5 orang (9,5%) sedangkan subjek dengan riwayat IMA yang tidak mengalami CIN sebanyak 37 orang (16%). Setelah dilakukan analisa, hal ini tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna yaitu nilai p = 0,259.

(49)

sebanyak 49 orang (21,2%). Hal ini secara statistika menunjukkan perbedaan yang bermakna (nilai p = 0,001).

Dari keseluruhan subjek dengan hipertensi yaitu 179 orang (63,5%), CIN yang terjadi dengan riwayat hipertensi sebanyak 39 orang (76,5%). Pada penderita hipertensi yang tidak mengalami CIN adalah 140 orang (60,6%). Hal ini secara statistika menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p = 0,033.

Pada subjek penelitian yang disertai dengan DM yaitu 74 orang (26,2%), CIN terjadi pada 30 orang (58,8%).sedangkan subjek dengan DM namun tidak terjadi CIN sebanyak 44 orang (19,0%). Hal ini secara statistika menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p < 0,001.

Subjek penelitian dengan riwayat merokok berjumlah 169 orang (59,9%) dan yang mengalami CIN sebanyak 35 orang (68,6%), sedangkan yang tidak mengalami CIN sebanyak 134 orang (58,0%). Setelah dilakukan analisa, hal ini tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistika (p = 0,161).

Riwayat PJK pada keluarga dijumpai pada 19 orang (6,7%), dan yang mengalami CIN hanya pada 2 orang (3,9%) sedangkan 17 orang (7,4%) tidak mengalami CIN. Hal ini tidak bermakna secara statistika (p = 0,542).

Anemia pada subjek penelitian terjadi pada 101 orang (35,8%) dan CIN terjadi pada 14 orang (27,5%) dan 87 orang (37,7%) tidak terjadi CIN. Hal ini tidak bermakna secara statistika (p = 0,169).

Hasil intervensi koroner yang menunjukkan subjek penelitian dengan gambaran 3 vessel disease berjumlah 92 orang (32,6%). CIN terjadi pada 18 orang (35,3%) dan 74 (32,0%) tidak terjadi CIN. Hal ini juga tidak bermakna secara statistika (p = 0,653).

Dari hasil laboratorium awal, yang menunjukkan perbedaan bermakna secara statistika antara subjek penelitian yang mengalami CIN dan yang tidak mengalami CIN dengan p<0,05 adalah nilai leukosit (p=0,044), kreatinin serum awal > 1,5 mg/dL (p<0,001) dan GFR < 60 ml/min/1,7 m2

Subjek dengan kreatinin < 1,5 mg/dL berjumlah 225 orang (79,78%), CIN terjadi pada 15 orang (29,4%) dan 42 orang (90,9%) tidak terjadi CIN. Subjek dengan kreatinin 1,5 - 2 mg/dL berjumlah 49 orang (17,38%), CIN terjadi pada 28 orang (54,9%) dan 21 orang (9,1%) tidak terjadi CIN. Sedangkan pada subjek dengan kreatinin > 2 mg/dL berjumlah 8 orang (0,03%), CIN terjadi pada seluruh subjek

(50)

tersebut (15,7%). Hal ini secara statistika menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan p<0,001.

Subjek penelitian dengan nilai GFR < 60 ml/min/1,7 m2

Selain hal tersebut diatas, jumlah kontras yang digunakan juga dianalisa dengan membaginya kedalam 3 kelompok yaitu <100 ml, 100-200 ml dan > 200 ml. Jumlah penggunaan kontras terbanyak pada kelompok 100-200 ml. Pada penelitian ini jumlah kontras yang digunakan antara subjek yang mengalami CIN dan tidak mengalami CIN, tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistika dengan nilai p=0,507.

berjumlah 225 orang (80,1%) CIN terjadi pada 49 orang (96,1%) dan 176 orang (76,5%) tidak terjadi CIN. Hal ini secara statistika menunjukkan perbedaan yang bermakna.

Penelitian tidak membahas perbedaan jenis kontras karena pada penelitian ini hanya menggunakan satu jenis kontras yaitu iopamidol (iopamiro). Data karakteristik subjek penelitian yang mengalami CIN dan tidak mengalami CIN disajikan dalam tabel 11

(51)

3 vessel disease 92 (32.6%) 74 (32.0%) 18 (35.3%) 0.653

Setelah didapatkan deskripsi data karakteristik subjek penelitian yang mengalami CIN dan tidak mengalami CIN dilakukan analisa univariat untuk menentukan variabel-variabel yang dapat dimasukkan ke dalam analisis multivariat. Analisis univariat ini dilakukan dengan menggunakan metode regresi logistik dengan tingkat kemaknaan yang digunakan adalah jika p<0,05.

Dari analisis univariat didapatkan hasil bahwa riwayat CHF sebelumnya yang ditunjukkan dengan gambaran foto torak dengan CTR ≥ 55% meningkatkan resiko terjadi CIN dengan nilai OR = 2,818 (95% i.k 1,489 - 5,331) dan nilai p = 0,001.

Subjek penelitian dengan riwayat hipertensi juga meningkatkan resiko terjadinya CIN dua kali lipat dengan nilai OR = 2,112 (95% i.k 1,050 - 4,249) dan nilai p = 0,036. Sedangkan subjek dengan riwayat DM meningkatkan resiko CIN hingga enam kali lipat dengan OR = 6,071 (95% i.k 3,179-11,597) dan nilai p < 0,001.

(52)

tujuh kali lipat dengan nilai OR = 7,517 dengan rentang interval kepercayaan yang lebar (95% i.k 1,770 - 21,931) dengan nilai p = 0,006.

Subjek dengan nilai kreatinin serum 1,5 – 2 mg/dL meningkatkan resiko terjadinya CIN hingga 18 kali lipat dengan nilai OR = 18,7 dengan rentang interval kepercayaan yang lebar (95% i.k 8,634 - 40,358) dan nilai p<0,001. Sedangkan untuk nilai kreatinin > 2 mg/dL tidak dapat dinilai OR-nya oleh karena pada seluruh subjek tersebut terjadi CIN. Namun terlihat bahwa semakin tinggi nilai kreatinin serum maka resiko terjadinya CIN semakin besar.

Analisa univariat menunjukkan kejadian CIN pada penelitian ini tidak berhubungan dengan jumlah kontras yang diberikan. Dari 3 kelompok jumlah kontras tidak ada yang menunjukkan hasil yang bermakna secara statistika. Hal ini diduga oleh karena pada penelitian ini jumlah kontras yang digunakan masih dalam batas normal. Rata- rata penggunaan kontras baik dalam prosedur diagnostik ataupun terapeutik adalah 125 ± 70,711 ml.

Penelitian ini tidak membahas perbedaan jenis kontras karena hanya menggunakan satu jenis kontras yaitu iopamidol (iopamiro) yang termasuk ke dalam LOCM. Data analisa univariat disajikan pada tabel 12.

Tabel 12. Analisis univariat faktor-faktor yang berhubungan dengan CIN

Variabel Nilai P OR (95% i.k.) Dislipidemia 0.051 0.298 (0.089 – 1.006) Riwayat PJK keluarga 0.384 0.514 (0.115 – 2.297) Anemia 0.171 0.626 (0.320 – 1.224)

3 vessel disease 0.653 1.157 (0.612 – 2.189)

GFR <60 0.006* 7.517 (1.770 – 21.931)

Kreatinin serum (mg/dL)

(53)

≥1,5 – 2

Analisa multivariat dilakukan setelah mendapat hasil dari analisis univariat dengan menggunakan uji regresi logistik dan p<0,05 digunakan untuk melihat batas kemaknaan.Variabel yang dimasukkan ke dalam analisis multivariat adalah variabel yang didapat dari analisis univariat dengan nilai p<0,2.

Berdasarkan hasil analisa multivariat didapatkan hasil bahwa faktor-faktor resiko yang berpengaruh terhadap CIN adalah riwayat CHF, hipertensi, DM dan nilai GFR < 60 ml/min/1,7 m2

Subjek penelitian dengan riwayat CHF merupakan faktor resiko independen untuk menimbulkan CIN dengan nilai OR = 3,843 (95% i.k 1,365-10,815) dan nilai p = 0,011. Hipertensi juga meningkatkan terjadinya CIN dua kali lipat dibandingkan subjek tanpa hipertensi dengan nilai OR = 2,116 (95% i.k 1,135-5,196) dan nilai p = 0,025. Riwayat DM pada subjek penelitian meningkatkan resiko terjadi CIN hingga delapan kali lipat dibandingkan subjek tanpa DM dengan nilai OR = 8,378 (95% i.k 3,894-18,026) dan nilai p < 0,001.

.

(54)

Tabel 13. Analisa multivariat

Gambar 9. Perbedaan proporsi variabel yang memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya CIN

Setelah dilakukan analisa multivariat dilakukan uji interaksi dari regresi logistik antara dua faktor yang mempengaruhi terjadinya CIN untuk melihat nilai OR dan p dari gabungan faktor resiko tersebut.

Dari uji interaksi tersebut diperoleh hasil bahwa pada subjek penelitian dengan riwayat CHF dan hipertensi meningkatkan resiko CIN 4 kali lipat dengan nilai OR = 4,518 (95% i.k 1,375-7,950) dengan p = 0,035. Pada subjek dengan riwayat CHF dan DM didapatkan nilai OR = 9.148 (95% i.k 3.507 – 19.419) dengan p = 0,005. Sedangkan pada subjek dengan riwayat CHF disertai GFR < 60 ml/min/1,7

Gambar

Gambar 1. Insidens kematian selama masa rawatan rumah sakit yang berhubungan
Tabel 2. Faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis CIN (Wong dkk, 2007).
Tabel 4. Faktor risiko terjadinya CIN (Shoukat dkk, 2010).
Gambar 5. Pengaruh gangguan ginjal dan DM terhadap insiden terjadinya CIN                     (Heyman dkk, 2007)
+5

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Formulir ini diisi oleh BPBD/OPD yang menangani penanggulangan bencana yang bersumber dari OPD yang mengelola data terkait dengan profil daerah dengan petunjuk pengisian seperti

Pada hari ini Senin tanggal Empat bulan Juni tahun dua ribu dua belas kami Panitia Pengadaan Barang/Jasa Satuan Kerja Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea

Aplikasi ini dirancang dengan menggunakan beberapa software aplikasi yaitu photoshop untuk pembuatan image dan pengeditan image nya, dreamweaver untuk mendesain tampilan website

Sijunjung UPTD Benih Bt.. Cemara

Tetapi disini penulis membuat suatu program aplikasi perpustakaan hanya sebatas peminjaman, pengembalian, pencarian buku melalui menu search serta input kode buku di dalam

Sijunjung UPTD Benih Bt.. Batu

Pada penulisan ilmiah ini penulis mencoba membuat suatu aplikasi secara komputerisasi pada Toko Grosir Sony yang digunakan dalam pencatatan penjualan. Yang Terdiri dari data