• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman dan Pola Sebaran Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman dan Pola Sebaran Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

ILHAM KURNIA ABYWIJAYA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

Bogor, April 2014

(4)

ILHAM KURNIA ABYWIJAYA. Keanekaragaman dan Pola Sebaran Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan DIDIK WIDYATMOKO.

Kehadiran spesies tumbuhan asing invasif diketahui memberikan berbagai dampak negatif terhadap ekosistem di kawasan konservasi yang terinvasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keanekaragaman dan pola sebaran spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Pulau Sempu, serta faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap sebarannya. Metode yang digunakan adalah analisis vegetasi dan teknik penilaian cepat. Berdasarkan hasil penelitian ini, sebanyak 10 spesies (termasuk ke dalam 7 famili) tumbuhan asing invasif telah teridentifikasi dalam kawasan konservasi ini, yaitu: Pistia stratoites, Ageratum mexicanum, Vernonia cinerea, Cyperus rotundus, Passiflora foetida, Centotheca lappacea, Eleusine indica, Imperata cylindrica, Hedyotis corymbosa, dan Lantana camara. Seluruh spesies tumbuhan asing invasif di dalam petak contoh memiliki pola sebaran mengelompok. Faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap persebaran tumbuhan asing invasif adalah kemiringan lahan dan jarak dari garis pantai.

Kata kunci: Cagar Alam Pulau Sempu, faktor lingkungan, pola sebaran, tumbuhan asing invasif

ABSTRACT

ILHAM KURNIA ABYWIJAYA. Diversity and Distribution Pattern of Invasive Alien Plant Species in Sempu Island Nature Reserve, East Java. Supervised by AGUS HIKMAT and DIDIK WIDYATMOKO.

The presence of invasive alien plant species has been known to cause various negative impacts on ecosystems in the invaded conservation area. This research aims to identify the diversity and distribution pattern of invasive alien plants species occurred in Sempu Island Nature Reserve, and to determine the most influential environmental factors to their dispersion. The methods used were the standard vegetation analysis and rapid assessment technique. According to the results, as many as 10 invasive alien plants species (belonging to 7 families) have been identified to occurred in this conservation area, e.g., Pistia stratoites, Ageratum mexicanum, Vernonia cinerea, Cyperus rotundus, Passiflora foetida, Centotheca lappacea, Eleusine indica, Imperata cylindrica, Hedyotis corymbosa, and Lantana camara. All invasive alien plant species found in the sampling plots had a clumped distribution pattern. The most influential environmental factors to the invasive alien plants dispersion were land slope and distance from shoreline. Keywords: distribution pattern, environmental factors, invasive alien plants,

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

ILHAM KURNIA ABYWIJAYA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Dr Ir Agus Hikmat, MScF Pembimbing I

Dr Didik Widyatmoko, MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli 2013 ini ialah tumbuhan asing invasif, dengan judul Keanekaragaman dan Pola Sebaran Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Agus Hikmat, MScF dan Bapak Dr Didik Widyatmoko, MSc selaku pembimbing, serta Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi LIPI yang telah membantu dalam penyediaan peralatan dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur atas izin yang telah diberikan.

Penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Rosniati Apriani Risna, SSi MSi dari Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Bapak Deden Mudiana, SHut MSi; Bapak Tulabi, SP; Bapak Dwi Narko; Bapak Kiswojo; dan Bapak M. Edi Suroto dari Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi LIPI; serta Bapak Joko, Bapak Samsul, Bapak Parman, Bapak Marwanto, dan Mas Ardian dari Resort Konservasi Wilayah Cagar Alam Pulau Sempu yang telah membantu proses pengumpulan data. Terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga besar mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Himakova, dan “Anggrek Hitam 46” atas motivasi dan bantuan yang telah diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

Lokasi dan Waktu 2

Bahan dan Alat 2

Jenis Data 3

Metode Pengumpulan Data 3

Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 10

Komposisi dan Struktur Vegetasi 11

Spesies Tumbuhan Asing Invasif 17

Analisis Faktor Lingkungan 26

SIMPULAN DAN SARAN 29

Simpulan 29

Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 29

(10)

1 Spesies tumbuhan yang memiliki peranan dalam komunitas hutan

dataran rendah di CAPS 13

2 Spesies tumbuhan yang memiliki peranan dalam komunitas padang

rumput di CAPS 14

3 Indeks kesamaan komunitas tumbuhan antar lokasi penelitian di CAPS 17

4 Spesies tumbuhan asing invasif di CAPS 18

5 INP spesies tumbuhan asing invasif di CAPS 19

6 Nilai indeks penyebaran Morisita terstandar spesies tumbuhan asing

invasif pada vegetasi hutan dataran rendah 20

7 Nilai indeks penyebaran Morisita terstandar spesies tumbuhan asing

invasif pada vegetasi padang rumput 20

8 Eigenvalue dan nilai faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi

persebaran tumbuhan asing invasif 26

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian, Cagar Alam Pulau Sempu 3 2 (a) Skema pembuatan plot, dan (b) sketsa kombinasi metode jalur

dengan garis berpetak 4

3 Sketsa metode petak ganda 5

4 Komposisi spesies dan famili tumbuhan pada vegetasi hutan dataran

rendah 12

5 Komposisi spesies dan famili tumbuhan pada vegetasi padang rumput 12 6 Nilai indeks kekayaan spesies tumbuhan hutan dataran rendah pada

berbagai tingkat pertumbuhan 15

7 Nilai indeks keanekaragaman spesies tumbuhan hutan dataran rendah

pada berbagai tingkat pertumbuhan 15

8 Nilai indeks kemerataan spesies tumbuhan hutan dataran rendah pada

berbagai tingkat pertumbuhan 15

9 Nilai indeks kekayaan, keanekaragaman, dan kemerataan spesies

tumbuhan vegetasi padang rumput 16

10 Kondisi padang rumput di: (a) (b) Telaga Dowo, (c) Gladakan, dan (d)

Barubaru 17

11 Pistia stratiotes: (a) individu dewasa di badan air Telaga Dowo, dan (b)

anakan di atas lumpur pada tepian Telaga Dowo 21

12 Ageratum mexicanum tumbuh di padang rumput Gladakan 21 13 Vernonia cinerea tumbuh di padang rumput Gladakan 22 14 Passiflora foetida tumbuh merambat di antara vegetasi rumput di

padang rumput Gladakan 23

15 Centotheca lappacea tumbuh di lantai hutan dataran rendah jalur

Waruwaru 23

16 (a) Eleusine indica tumbuh di lantai hutan dataran rendah jalur Teluk

Semut, dan (b) infloresceneEleusine indica 24

17 (a) Imperata cylindrica tumbuh di padang rumput Gladakan, dan (b)

(11)

3 Perhitungan INP dan nilai indeks pada vegetasi padang rumput di blok

Gladakan 47

4 Perhitungan INP dan nilai indeks pada vegetasi padang rumput di blok

Barubaru 48

5 Perhitungan INP dan nilai indeks pada vegetasi padang rumput di blok

Telaga Dowo 48

6 Perhitungan indeks penyebaran Morisita spesies tumbuhan asing invasif

pada vegetasi hutan dataran rendah 49

7 Perhitungan indeks penyebaran Morisita spesies tumbuhan asing invasif

pada vegetasi padang rumput 49

8 Nilai correlation matrix analisis PCA 50

(12)
(13)

alaminya serta menyebabkan dampak negatif terhadap habitat, keanekaragaman hayati lokal, sosial-ekonomi, maupun kesehatan manusia disebut sebagai spesies tumbuhan asing invasif (IUCN 2000; CBD 2002).

Saat ini telah tercatat sedikitnya 1936 spesies tumbuhan asing di Indonesia, seluruhnya termasuk ke dalam 187 famili (Tjitrosoedirdjo 2005). Sebagian di antaranya telah berkembang menjadi invasif dan menimbulkan dampak negatif pada beberapa ekosistem di Indonesia. Beberapa kasus invasi yang telah diketahui menimbulkan dampak negatif pada kawasan-kawasan konservasi antara lain invasi Acacia decurrens yang menggantikan keberadaan spesies tumbuhan asli pada lahan bekas kebakaran di Taman Nasional Gunung Merbabu (Purwaningsih 2010). Invasi Casia tora, Austroeupatorium inulifolium, dan Lantana camara pada padang penggembalaan Sadengan di Taman Nasional Alas Purwo serta invasi Acacia nilotica pada ekosistem savana di Taman Nasional Baluran yang mengakibatkan perubahan struktur dan komposisi spesies tumbuhan padang rumput sehingga menekan populasi Banteng, satwa prioritas konservasi pada kedua kawasan konservasi tersebut (Djufri 2004; Hakim et al. 2005).

(14)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis:

1. Komposisi dan struktur vegetasi hutan dataran rendah dan vegetasi padang rumput di CAPS.

2. Keanekaragaman spesies tumbuhan asing invasif di CAPS. 3. Pola sebaran tumbuhan asing invasif di CAPS.

4. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap sebaran spesies tumbuhan asing invasif di CAPS.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai keaneka-ragaman dan pola sebaran spesies tumbuhan asing invasif di CAPS, serta faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap sebaran spesies tumbuhan asing invasif tersebut.

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan Cagar Alam Pulau Sempu (CAPS), Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Kegiatan pengambilan data dilaksanakan selama satu bulan, pada Juli 2013. Studi herbarium dilaksanakan di Kebun Raya Purwodadi dan Herbarium Bogoriense LIPI. Pengolahan data dilakukan di Bagian Konservasi Keanekaragaman Tumbuhan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Peta lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.

Bahan dan Alat

Objek utama dalam penelitian ini adalah tumbuhan asing invasif dan vegetasi di CAPS. Peralatan yang digunakan adalah:

1. Perlengkapan sampling vegetasi dan pengukuran faktor lingkungan meliputi: Global Positioning System (GPS) Garmin Vista HCx, light meter Lutron LX-107, densiometer, soil tester Demetra Bakelite E.M. System, in/out door thermo-hygrometer clock Nicety TH804A, hagameter, kompas, peta lokasi dan peta kontur Pulau Sempu, meteran dan tambang plastik, serta alat tulis. 2. Perlengkapan koleksi herbarium dan identifikasi tumbuhan meliputi: gunting

stek, koran, trash bag, alkohol 70%, label, alat tulis, dan buku identifikasi tumbuhan.

(15)

Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer (komposisi dan struktur vegetasi, serta parameter-parameter faktor lingkungan) dan data-data sekunder (kondisi fisik, biologis, sosial ekonomi, serta peta kawasan) yang dikumpulkan melalui studi literatur.

Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan melalui analisis vegetasi, pengukuran parameter-parameter faktor lingkungan, pembuatan spesimen herbarium, identifikasi spesies tumbuhan, observasi lapang, dan studi literatur.

Analisis Vegetasi

Keanekaragaman spesies tumbuhan asing invasif diinventarisasi dengan melaksanakan analisis vegetasi. Parameter yang diamati meliputi nama spesies (nama ilmiah maupun nama lokal), jumlah individu, dan habitus. Untuk spesies yang belum teridentifikasi, dilakukan pembuatan spesimen herbarium dengan mengumpulkan bagian-bagian tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai kunci identifikasi. Analisis vegetasi dilakukan pada vegetasi hutan dataran rendah, padang rumput dan danau yang telah surut.

(16)

1. Analisis vegetasi pada hutan dataran rendah

Metode yang digunakan adalah kombinasi metode jalur dengan garis berpetak berukuran 20 m × 200 m. Pada hutan dataran rendah Teluk Semut dan hutan dataran rendah Waruwaru masing-masing dibuat 5 jalur, dengan jarak antar jalur sejauh 50 m. Sketsa pembuatan plotnya ditunjukkan pada Gambar 2.

2. Analisis vegetasi pada padang rumput dan danau surut

Metode yang digunakan adalah metode petak ganda yang dilakukan secara systematic sampling. Ukuran petak sebesar 2 m × 2 m, dibuat sebanyak 25 petak dengan sketsa seperti pada Gambar 3. Pada padang rumput Gladakan dan Telaga Dowo masing-masing dibuat 50 petak, sementara di padang rumput Barubaru dibuat 25 petak.

Rapid Assessment

Teknik penilaian cepat atau rapid assessment dilaksanakan pada seluruh tipe vegetasi di CAPS untuk memperoleh data daftar spesies tumbuhan asing invasif. Teknik ini dilaksanakan dengan mengeksplorasi seluruh area CAPS dan mencatat spesies tumbuhan asing invasif yang dijumpai.

Keterangan:

a. Petak ukur semai (2 m × 2 m) untuk tumbuhan bawah, semak, herba, pandan, palem, dan anakan pohon dengan tinggi < 1.5 m.

b. Petak ukur pancang (5 m × 5 m) untuk anakan pohon dengan tinggi ≥ 1.5 m dan diameter batang < 10 cm.

c. Petak ukur tiang (10 m × 10 m) untuk tingkat pohon dengan diameter batang 10–20 cm. d. Petak ukur pohon (20 m × 20 m) untuk tingkat pohon dengan diameter batang ≥ 20 cm.

(17)

Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan diukur untuk mengidentifikasi pengaruhnya terhadap sebaran spesies tumbuhan asing invasif di CAPS. Faktor yang dikaji adalah: 1. Faktor klimatis terdiri dari suhu dan kelembapan udara, serta intensitas

matahari. Suhu dan kelembapan udara diukur menggunakan thermo -hygrometer dengan melakukan penyesuaian pada alat ini selama satu menit di setiap petek analisis vegetasi, selanjutnya data suhu dan kelembapan dicatat empat kali pada menit kedua hingga menit keempat. Rata-rata keempat nilai tersebut merupakan nilai suhu dan kelembapan udara pada petak yang diukur. Intensitas matahari diukur menggunakan lightmeter dengan merekam intensitas matahari pada pusat petak analisis vegetasi selama lima menit. Rata-rata intensitas matahari selama lima menit tersebut merupakan nilai intensitas matahari pada petak yang diukur.

2. Faktor topografis terdiri dari ketinggian dan jarak dari garis pantai, serta kemiringan lahan. Ketinggian dan jarak petak analisis vegetasi dari pantai diukur menggunakan GPS. Persentase kemiringan lahan pada setiap petak analisis vegetasi diukur menggunakan hagameter.

3. Faktor edafis terdiri dari kelembapan dan pH tanah. Kelembapan dan pH tanah diukur lima kali menggunakan soil tester pada keempat sudut dan bagian tengah setiap petak analisis vegetasi. Rata-rata kelima nilai tersebut merupakan nilai kelembapan dan pH tanah pada petak yang diukur

4. Faktor vegetasi yang diukur adalah penutupan tajuk. Persentase penutupan tajuk diukur menggunakan densiometer, dilakukan di tengah petak analisis vegetasi sebanyak empat kali dengan menghadap ke empat arah mata angin. Rata-rata keempat nilai tersebut merupakan nilai penutupan tajuk pada petak yang diukur.

Keterangan:

□ Petak ukuran 2 m× 2 m untuk tumbuhan dengan habitus herba dan semak. Jarak antar petak sejauh 5 m.

(18)

Pembuatan Herbarium

Pembuatan herbarium dilakukan pada seluruh spesies tumbuhan dalam area studi yang belum teridentifikasi. Tahapan pelaksanaannya menurut Intherb (2003) adalah:

1. Mempersiapkan peralatan: buku catatan lapang, pensil, alat penggali, pisau/gunting stek, kantong plastik, label, dan peta.

2. Pada lokasi: membuat catatan lapang mengenai seluruh kondisi area sekitar. Mencatat tanggal, anggota tim, lokasi (dapat disertai koordinat), dan ketinggian. Mendeskripsikan habitat: kemiringan, arah kemiringan, tanah, tutupan lahan, spesies yang berasosiasi (dugaan nama ilmiah, spesies dominan di sekelilingnya), serta kelembabapan.

3. Menentukan tumbuhan: pengambilan spesimen herbarium yang menyebabkan kematian hanya dilakukan apabila jumlah individu > 20, kecuali pada tumbuhan berkayu.

4. Pada catatan lapang: menuliskan nomor koleksi tumbuhan, menyisakan ruang kosong untuk informasi namanya, mencatat distribusi spesies tersebut dalam area studi (ekologi dan kelimpahannya), serta mencatat warna bunga dan tinggi tumbuhan.

5. Mengambil material tumbuhan: tumbuhan berkayu diambil bunga dan daunnya, serta mencatat habitus pertumbuhan dan tingginya. Tumbuhan herba diambil bunga, daun, dan bagian pangkal secukupnya untuk menentukan apakah berkayu pada pangkal, berhizoma, atau tidak. Koleksi diambil sedemikian rupa sehingga cukup untuk identifikasi dan cukup untuk dibuat spesimen herbarium.

6. Menuliskan nomor koleksi dengan pensil pada label dan memasangkannya pada spesimen dan sampel. Selanjutnya sampel utama disimpan pada kantong plastik dan dibasahi dengan alkohol 70%, lalu segera dilakukan pengepresan 7. Pada pengepresan sampel tumbuhan: masukkan spesimen tumbuhan dengan

labelnya dalam kertas koran dan tumpuk rapi. Seluruh bagian kertas dan tumbuhan harus dipres dengan sempurna.

8. Setelah pengepresan, spesimen disimpan dalam pengering (oven), dan segera dikeluarkan setelah proses selesai.

9. Setelah diidentifikasi, label dibuat dengan rapi dan dipasangkan pada spesimen herbarium.

Identifikasi Spesies Tumbuhan dan Status Spesies Asing Invasif

Identifikasi spesimen herbarium dilaksanakan di Kebun Raya Purwodadi dan Herbarium Bogoriense LIPI. Selanjutnya identifikasi status spesies tumbuhan asing invasif dilaksanakan dengan melakukan cek silang pada Webber (2003), ISSG (2005), dan Biotrop (2008).

Studi Literatur dan Observasi Lapang

(19)

Frekuensi Relatif (FR)

× 100%

Dominansi (D)

Dominansi Relatif (DR)

× 100%

Indeks Nilai Penting (INP):

1) Tumbuhan bawah, semai, dan pancang

2) Tiang dan pohon

Tingkat Kekayaan Spesies

Tingkat kekayaan spesies tumbuhan di CAPS dianalisis menggunakan perhitungan indeks kekayaan Margalef. Persamaan matematis yang digunakan, menurut Margalef (1958), adalah sebagai berikut:

dengan: Dmg = Indeks kekayaan Margalef

S = Jumlah spesies

N = Jumlah individu seluruh spesies Tingkat Keanekaragaman Spesies

Tingkat keanekaragaman spesies tumbuhan di CAPS dianalisis meng-gunakan perhitungan indeks keanekaragaman Shannon. Persamaan matematis yang digunkan, menurut Shannon dan Weaver (1949), adalah sebagai berikut:

∑ ∑

dengan: H’ = Indeks keanekaragaman Shannon pi = Kelimpahan proporsional

ni = Jumlah individu spesies ke-i

(20)

Tingkat Kemerataan Spesies

Tingkat kemerataan spesies tumbuhan di CAPS dianalisis menggunakan perhitungan indeks kemerataan. Persamaan matematis yang digunakan menurut Pielou (1969; 1975), diacu dalam Magurran (2004), adalah sebagai berikut:

dengan: J’ = Indeks kemerataan spesies H’ = Indeks keanekaragaman Shannon S = Jumlah spesies

Tingkat Kesamaan Komunitas Tumbuhan

Kesamaan komunitas tumbuhan ditentukan berdasarkan indeks kesamaan. Persamaan matematis yang digunakan menurut Sorensen (1948), diacu dalam Wolda (1981) sebagai berikut:

dengan: IS = Indeks kesamaan komunitas

c = Jumlah spesies tumbuhan yang dijumpai pada dua komunitas a = Jumlah spesies tumbuhan pada komunitas pertama

b = Jumlah spesies tumbuhan pada komunitas kedua Pola Sebaran Spesies Tumbuhan Asing Invasif

Untuk mengetahui pola sebaran populasi suatu spesies tubuhan asing invasif dalam CAPS digunakan perhitungan indeks penyebaran Morisita. Persamaan matematis yang digunakan menurut Morisita (1962), diacu dalam Krebs (2013), adalah sebagai berikut:

[∑ ∑ ]

dengan: Iδ = Indeks penyebaran Morisita n =Jumlah plot

xi = Jumlah individu suatu spesies pada plot ke-i

Selanjutnya perlu dilakukan uji statistik untuk mengetahui tingkat signifikansi nilai indeks penyebaran Morisita, dengan persamaan:

∑ ∑ , (df = n – 1), dengan: χ2 = Distribusi chi-square

=Indeks penyebaran Morisita x = Jumlah individu suatu spesies n =Jumlah plot

Jika χ2hitung > χ2tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima, dengan hipotesis yang

diajukan adalah:

H0 = Spesies menyebar dengan pola sebaran acak

(21)

χ .025 χ –

kepercayaan 2.5%

xi = jumlah individu suatu spesies dalam plot ke-i

n = jumlah plot

Berdasarkan nilai Mu dan Mc, maka nilai indeks Morisita terstandar (Ip)

dihitung berdasarkan salah satu dari empat persamaan berikut: Jika Mc> 1.0 : maka

Jika Mc> ≥ 1.0 : maka

Jika 1.0 > > Mu : maka

Jika 1.0 > Mu> : maka

Nilai Ip berkisar antara –1.0 hingga +1.0, dengan pola penyebaran jenis tumbuhan

yang mengikuti aturan:

Ip = 0, spesies tumbuhan memiliki pola penyebaran acak (random)

Ip > 0, spesies tumbuhan memiliki pola penyebaran mengelompok (clumped) Ip < 0, spesies tumbuhan memiliki pola penyebaran merata (uniform).

Analisis Faktor Lingkungan

(22)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian Posisi Astronomis, Letak Administratif, dan Status Kawasan

Lokasi penelitian, CAPS, secara astronomis terletak di antara 112040’45’’– 112042’45’’ BT dan 8027’24’’–8024’54’’ LS. Pulau ini memiliki dimensi 3.9 km barat–timur dan 3.6 km utara–selatan, terletak di Samudera Indonesia, dipisahkan oleh Selat Sempu sejauh rata-rata 0.5 km dari Pulau Jawa. Secara administratif, CAPS termasuk ke dalam wilayah Dusun Sendangbiru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang.

Pulau Sempu merupakan pulau kecil tidak berpenghuni seluas 877 ha, dengan karakteristik hidrologi serta kekayaan flora dan fauna yang khas (Purwanto et al. 2002). Pulau ini ditetapkan sebagai natuurmonument berdasarkan GB No. 46 Stbl 69 pada 15 maret 1928 karena potensi botanis-estetisnya, kemudian statusnya diubah menjadi cagar alam melalui SK Menhutbun No. 417/Kpts-II/1999 pada 15 Juni 1999 (Ditjenhut 1971; Imanuddin et al. 2007). Kondisi Klimatis dan Geologis

Berdasarkan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980, klasifikasi intensitas curah hujan CAPS termasuk dalam kategori sedang dengan nilai intensitas hujan 20.7–27.7 mm/hari hujan, sedangkan kemiringan lereng berkisar antara datar (0%–8%) hingga sangat curam (> 45%). CAPS memiliki kondisi topografi dengan kontur bergelombang dan berbukit-bukit karang dengan ketinggian 0–102 m dpl., serta sebagian besar kawasan yang berbatasan dengan Samudera Indonesia dan Selat Sempu berupa karang terjal berwarna gelap, sementara kawasan hutan di dalamnya memiliki topsoil yang relatif dangkal berbatasan dengan batu padas berwarna terang yang sangat keras (Risna 2009). Tanah di CAPS yang umumnya berwarna cokelat gelap hingga hitam menunjukkan kandungan material organik yang tinggi, sehingga tergolong subur meskipun topsoil-nya dangkal, namun mengalami keretakan pada beberapa lokasi yang kering (Risna 2009).

Kondisi Hidrologis

(23)

Vegetasi dominan lain yang mudah dijumpai adalah Macaranga spp. dan Mallotus spp. (Euphorbiaceae) (Risna 2009; Dephut 2012).

Beberapa mamalia yang dapat dijumpai di dalam kawasan antara lain Kancil (Tragulus javanicus), Monyet ekor-panjang (Macaca fascicularis), Lutung jawa (Trachypitecus auratus), Babi hutan (Sus scrofa), dengan mamalia khasnya Macan tutul Jawa (Panthera pardus). Selain itu, di dalam kawasan ini terdapat spesies aves khas yaitu Julang emas (Aceros undulatus) dan Cica-daun besar (Chloropsissonnerati) (Dephut 2012).

Komposisi dan Struktur Vegetasi Komposisi Spesies dan Famili Tumbuhan

Pengumpulan data vegetasi hutan dataran rendah dilaksanakan pada dua lokasi yang memiliki perbedaan tingkat aktivitas manusia, yaitu jalur Teluk Semut (tingkat aktivitas manusia relatif tinggi) dan jalur Waruwaru (tingkat aktivitas manusia relatif rendah). Sementara pengumpulan data vegetasi padang rumput dilaksanakan pada tiga blok, yaitu padang rumput pada area karst di blok Gladakan, padang rumput di atas substrat berkerikil yang basah di blok Barubaru, serta padang rumput pada telaga yang surut di blok Telaga Dowo. Melalui analisis vegetasi yang dilakukan, di dalam kawasan CAPS tercatat 158 spesies tumbuhan, seluruhnya termasuk ke dalam 54 famili. Dari seluruh spesies tersebut, 138 spesies (50 famili) dijumpai pada vegetasi hutan dataran rendah, sedangkan 35 spesies (19 famili) dijumpai pada vegetasi padang rumput. Komposisi spesies dan famili tumbuhan dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.

Perbedaan komposisi vegetasi hutan dengan padang rumput terjadi kerena pengaruh adanya perbedaan faktor fisik, sehingga padang rumput tumbuh pada zona klimatis antara hutan dengan gurun, namun belakangan ini distribusinya telah dipengaruhi oleh aktivitas manusia (Ewusie 1990; Ingrouille dan Eddie 2006). Pernyataan ini diperkuat dengan keterangan petugas dan penduduk Sendangbiru yang menjelaskan bahwa dahulu penduduk di sekitar Sendangbiru sering mencari rumput di dalam Pulau Sempu. Aktivitas tersebut kemungkinan meninggalkan dampak ekologis yang dirasakan hingga saat ini.

(24)

vegetasi padang rumput Gladakan, Barubaru, dan Telaga Dowo. Jumlah spesies dan famili terbanyak dijumpai di blok Gladakan, sementara jumlah terendah dijumpai di blok Barubaru. Hal ini terjadi karena padang rumput kering di atas ekosistem karst, seperti pada blok Gladakan, mampu mendukung keanekaragaman hayati yang lebih tinggi dibanding vegetasi yang tumbuh di atas batuan berkerikil seperti blok Barubaru (Schulze et al. 2002). Sementara komunitas tumbuhan pada vegetasi akuatik, seperti padang rumput Telaga Dowo, menurut Ingrouille dan Eddie (2006), kondisinya dipengaruhi oleh faktor fisik (geologi dan tanah, proses iklim dan cuaca, derajat dan frekuensi penggenangan, jarak dari pantai, serta derajat turbulensi dan kedalaman air) yang menentukan kualitas air (pH, nutrisi, dan oksigen terlarut) dan kehidupan tumbuhan.

Dominansi Spesies Tumbuhan

Schulze et al. (2002) menjelaskan bahwa parameter tingkat dominansi menggambarkan karakter keberadaan suatu spesies tumbuhan (jumlah individu, biomassa, penutupan lahan per spesies). Oleh sebab itu, INP dapat dijadikan sebagai parameter kuantitatif untuk menggambarkan dominansi suatu spesies tumbuhan dalam komunitasnya (Soegianto 1994 diacu dalam Indriyanto 2006). Spesies tumbuhan dominan akan memiliki nilai INP yang tinggi. Spesies tumbuhan semai dan pancang dengan INP ≥ 10% atau tiang dan pohon dengan INP ≥ 15% dapat dikatakan memiliki peranan dalam komunitasnya (Sutisna 1981 Gambar 4 Komposisi spesies dan famili tumbuhan pada vegetasi hutan dataran

(25)

Mallotus peltatus Euphorbiaceae - 27.17

Eragrostis sp. Poaceae - 26.35

Tingkat Pancang

Buchanania arborescens Anacardiaceae - 11.46

Trivalvaria macrophylla Annonaceae - 11.20

Tabernaemontana sp. Apocynaceae - 11.97

Peltophorum pterocarpum Caesalpiniaceae - 10.18

Croton tiglium Euphorbiaceae 10.67 -

Drypetes longifolia Euphorbiaceae 21.44 21.90

Mallotus moritzianus Euphorbiaceae 25.05 -

Mallotus muricatus Euphorbiaceae 19.26 -

Aglaia elliptica Meliaceae - 14.01

Streblus asper Moraceae 12.75 12.23

Canthium glabrum Rubiaceae - 10.20

Heritiera littoralis Sterculiaceae 10.21

Tingkat Tiang

Polyalthia lateriflora Annonaceae - 17.44

Garcinia celebica Clusiaceae 22.08 -

Garcinia sp. Clusiaceae - 54.18

Drypetes longifolia Euphorbiaceae 70.66 68.64

Aglaia elliptica Meliaceae - 17.97

Aglaia lawii Meliaceae 23.94 -

Xylocarpus granatum Meliaceae - 27.06

Knema glauca Myristicaceae - 20.67

Adina cordifolia Rubiaceae 26.80 -

Pterospermum diversifolium Sterculiaceae - 22.71

Tingkat Pohon

Mitrephora polypyrena Annonaceae - 17.74

Peltophorum pterocarpum Caesalpiniaceae 16.96 25.29

Garcinia celebica Clusiaceae 28.42 -

Garcinia sp. Clusiaceae 29.92 -

Bischofia javanica Euphorbiaceae 15.95 -

Artocarpus elasticus Moraceae - 17.31

Pterospermum diversifolium Sterculuaceae 37.54 37.63

Pterospermum javanicum Sterculuaceae - 30.02

Vitex glabrata Verbenaceae 15.77 -

(26)

Komunitas tumbuhan pada jalur Teluk Semut dan jalur Waruwaru didominasi oleh spesies dari famili yang sama, yaitu Euphorbiaceae, tetapi tumbuhan paling dominan pada tingkat semai dan tumbuhan bawahnya merupakan spesies dari famili yang berbeda. Hal ini disebabkan karena pada jalur Waruwaru terdapat beberapa telaga air tawar, dan spesies tumbuhan dari famili Cyperaceae merupakan spesies yang umum tumbuh dominan di tepian badan air tawar (Schulze et al. 2002). Sementara itu, spesies paling dominan pada padang rumput Gladakan dan Barubaru merupakan spesies yang sama dari famili Poaceae, sedangkan spesies paling dominan pada padang rumput Telaga Dowo merupakan spesies dari famili Thelypteridaceae.

Kondisi padang rumput di CAPS sesuai dengan deskripsi padang rumput tropis menurut Ewusie (1990), yaitu memiliki spesies tumbuhan yang berbeda nyata dengan vegetasi hutan, didominasi oleh spesies dari famili Poaceae, serta rumputnya tumbuh cepat dan mencapai ketinggian sedemikian rupa sehingga menunjukkan dominasi. Sementara kondisi Telaga Dowo serupa dengan kondisi vegetasi rawa, yaitu ditumbuhi paku-pakuan dan tumbuhan monokotil tegak dengan akar yang terendam air, serta spesies tumbuhannya berbeda dengan vegetasi hutan (Ewusie 1990).

Tingkat Kekayaan, Keanekaragaman, dan Kemerataan Spesies

Ditemukan adanya variasi nilai indeks kekayaan spesies tumbuhan hutan dataran rendah pada berbagai tingkat pertumbuhan dan lokasi. Pada jalur Teluk Semut kekayaan spesies tumbuhan tertinggi dijumpai pada tingkat semai dan tumbuhan bawah, sedangkan kekayaan terendah pada tingkat pohon. Pada jalur Waruwaru kekayaan spesies tumbuhan tertinggi dijumpai pada tingkat pohon, sementara kekayaan terendah pada tingkat tiang. Tingkat kekayaan spesies tumbuhan hutan dataran rendah dapat dilihat pada Gambar 6.

Variasi nilai juga ditemukan pada indeks keanekaragaman spesies tumbuhan hutan dataran rendah di jalur Teluk Semut dan Waruwaru. Tingkat keaneka-ragaman spesies tiang pada jalur Teluk Semut lebih tinggi dibandingkan dengan jalur Waruwaru, tetapi keanekaragaman spesies pada tingkat pertumbuhan lainnya lebih rendah. Tingkat keanekaragaman spesies tumbuhan hutan dataran rendah ditampilkan pada Gambar 7.

Melalui nilai indeks keanekaragaman dapat disimpulkan bahwa pada hutan dataran rendah, komunitas pohon merupakan komunitas yang paling stabil dari Tabel 2 Spesies tumbuhan yang memiliki peranan dalam komunitas padang

rumput di CAPS

Spesies Famili INP pada blok analisis vegetasi (%)

Gladakan Barubaru Telaga Dowo

Pistia stratiotes Araceae - - 36.51

Ageratum mexicanum Asteraceae - 17.34 -

Imperata cylindrical Poaceae 61.62 - -

Ischaemum muticum Poaceae 69.33 171.16 -

Paspalidium punctatum Poaceae - - 46.51

Polygonum barbatum Polygonaceae - - 16.69

(27)

gangguan, sementara komunitas semai dan tumbuhan bawah memiliki kestabilan yang paling rendah. Menurut Indriyanto (2006), keanekaragaman menunjukkan tingkat interaksi spesies yang mempengaruhi kompleksitas komunitas tumbuhan. Nilai indeks keanekaragaman yang tinggi menunjukkan kestabilan komunitas terhadap gangguan (Soegianto 1994 diacu dalam Indriyanto 2006).

Gambar 8 menunjukkan bahwa jalur Teluk Semut dan Waruwaru memiliki kemerataan spesies tumbuhan yang sama. Indeks kemerataan menunjukkan derajat keseragaman kelimpahan spesies, nilai yang mendekati satu menunjukkan bahwa seluruh spesies memiliki kelimpahan yang sama (Magurran 2004). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat kemerataan spesies tumbuhan

berbagai tingkat pertumbuhan

Gambar 7 Nilai indeks keanekaragaman spesies tumbuhan hutan dataran rendah pada berbagai tingkat pertumbuhan

(28)

pada hutan dataran rendah CAPS semakin tinggi seiring dengan bertambah tingginya tingkat pertumbuhan vegetasi.

Variasi yang tinggi dari nilai indeks kekayaan, keanekaragaman, dan kemerataan ditemukan pada vegetasi padang rumput (Gambar 9). Menurut Ewusie (1990), padang rumput tropis lebih miskin spesies tumbuhan dibandingkan dengan vegetasi hutan. Selain itu diduga kondisi ini muncul karena spesies tumbuhan asing invasif dijumpai lebih melimpah pada padang rumput, dibandingkan dengan vegetasi hutan. Umumnya, spesies tumbuhan asing invasif lebih agresif dibanding spesies lokal dalam kompetisi memperebutkan sinar matahari, nutrisi, dan air; hingga akhirnya menyebabkan pergeseran komunitas tumbuhan dari komunitas yang beragam menjadi monokultur satu spesies tumbuhan asing invasif (May 2007a; May 2007b).

Padang rumput dengan kekayaan spesies tumbuhan tertinggi dijumpai di blok Gladakan, karena blok ini berupa padang rumput kering di atas ekosistem karst, sehingga mampu mendukung keanekaragaman hayati yang tinggi (Schulze et al. 2002). Berdasarkan nilai indeks-indeks tersebut juga dapat disimpulkan bahwa padang rumput Barubaru merupakan komunitas yang memiliki kompleksitas dan kestabilan terhadap gangguan yang paling rendah, serta kelimpahan antar spesies tumbuhannya paling tidak merata.

Tingkat Kesamaan Komunitas Tumbuhan

Tidak dijumpai komunitas tumbuhan yang benar-benar sama pada lima lokasi penelitian di CAPS, ditunjukkan dengan tidak ditemukannya nilai indeks kesamaan yang mendekati satu. Tingkat kesamaan komunitas tumbuhan tertinggi dijumpai pada kesamaan komunitas antara Teluk Semut dengan Waruwaru, sementara yang terendah dijumpai pada kesamaan komunitas antara Teluk Semut dengan Telaga Dowo. Nilai indeks kesamaan komunitas tumbuhan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3.

Umumnya, perbandingan antara dua komunitas dengan tipe yang sama akan menghasilkan nilai indeks kesamaan yang tinggi, seperti hutan dataran rendah jalur Waruwaru dengan hutan dataran rendah jalur Teluk Semut, sementara perbandingan antara dua komunitas dengan tipe yang berbeda, seperti hutan dataran rendah jalur Teluk Semut dengan padang rumput blok Telaga Dowo akan menghasilkan nilai indeks kesamaan yang rendah. Namun perbandingan antar Gambar 9 Nilai indeks kekayaan, keanekaragaman, dan kemerataan spesies

(29)

komunitas padang rumput di CAPS memiliki indeks kesamaan yang relatif rendah. Hal ini diduga karena ketiga padang rumput tersebut memiliki kondisi yang berbeda.

Spesies Tumbuhan Asing Invasif Jumlah Spesies Tumbuhan Asing Invasif

Teridentifikasi sebanyak 10 spesies (7 famili) tumbuhan asing invasif di CAPS, 9 spesies (6 famili) ditemukan dalam petak penelitian. Kecuali Lantana camara, seluruh spesies tumbuhan asing invasif yang ditemukan di CAPS memiliki habitus herba. Daftar spesies tumbuhan asing invasif di CAPS ditampilkan pada Tabel 4.

(a) (b)

(c) (d)

(30)

Famili dengan jumlah spesies terbanyak dalam daftar tumbuhan asing invasif CAPS merupakan famili Poaceae (3 spesies) disusul Asteraceae (2 spesies). Penemuan ini sesuai dengan hasil inventarisasi Tjitrosoedirdjo (2005) yang menemukan bahwa Poaceae merupakan famili yang memiliki spesies gulma asing terbanyak di Indonesia, disusul famili Asteraceae. Dalam daftar 10 spesies tersebut bahkan ditemukan Imperata cylindrica, salah satu dari 10 spesies gulma asing invasif yang paling berbahaya di dunia (ISSG 2005).

Keberadaan spesies tumbuhan asing selalu terjadi dalam sejarah penyebaran tumbuhan (van Steenis 2010). Meskipun aktivitas manusia merupakan agen yang paling bertanggung jawab atas terjadinya invasi spesies tumbuhan asing (Shigesada dan Kawasaki 1997; May 2007a; May 2007b), namun proses masuknya spesies tumbuhan asing invasif ke dalam Pulau Sempu belum dapat diketahui. CAPS yang terpisah dari daratan utama Pulau Jawa serta statusnya yang merupakan kawasan yang dilindungi sejak 1928, sehingga relatif terjaga dari tingkat aktivitas manusia yang tinggi, seharusnya mampu menjaga kawasan CAPS dari invasi spesies tumbuhan asing. Satu-satunya sumber invasi yang mungkin bagi CAPS adalah Pulau Jawa, namun menelusuri sejarah proses invasi hampir mustahil dilakukan (di Castri 1989). Hal tersebut terjadi karena pada awal diketahuinya kejadian invasi di dunia para ahli biologi kurang menyadari bahayanya sehingga perhatian terhadap isu ini sangat rendah (Richardson dan Pyšek 2007; Richardson dan Pyšek 2008).

Dominansi Spesies Tumbuhan Asing Invasif

Spesies tumbuhan asing invasif memiliki potensi untuk mendominasi komunitas tempat tumbuhnya. Seluruh individu spesies tumbuhan asing invasif yang tercatat dalam petak analisis vegtasi di CAPS dijumpai pada tingkat tumbuhan bawah, sehingga spesies yang berperan dalam komunitasnya adalah spesies yang memiliki INP ≥ 10% (Sutisna 1981 diacu dalam Rosalia 2008). INP

Tabel 4 Spesies tumbuhan asing invasif di CAPS

Spesies Famili Habitus Sebaran alami

Di dalam petak analisis vegetasi

Pistia stratiotes 1) 3) Araceae Herba akuatik Amerika Selatan Ageratum mexicanum1) 2) Asteraceae Herba Amerika tropis Vernonia cinerea 2) Asteraceae Herba -

Passiflora foetida 1) Passifloraceae Herba menjalar Amerika Selatan Centotheca lappacea 2) Poaceae Herba Afrika, Asia

Eleusine indica 2) Poaceae Herba India

Imperata cylindrica 1) 3) Poaceae Herba Afrika Timur Hedyotis corymbosa 2) Rubiaceae Herba Afrika, India Lantana camara 1) 2) 3) Verbenaceae Semak Amerika tropis

Di luar petak analisis vegetasi

Cyperus rotundus 1) 2) Cyperaceae Herba India, Afrika Keterangan : 1) status spesies tumbuhan asing invasif menurut ISSG (2005)

(31)

spesies tumbuhan asing invasif pada lokasi penelitian di CAPS ditampilkan pada Tabel 5.

Hasil menunjukkan bahwa sebagian besar spesies tumbuhan asing invasif memiliki INP yang rendah dan tidak berperan dalam komunitas tempat tumbuhnya. Spesies tumbuhan asing invasif yang memiliki INP ≥ 10% hanya dijumpai di padang rumput, namun spesies-spesies tersebut bukan merupakan spesies yang paling dominan dalam komunitasnya. Sementara itu, seluruh spesies tumbuhan asing invasif yang dijumpai di dalam hutan dataran rendah memiliki nilai INP yang kecil dan peringkat INP yang rendah dalam komunitasnya masing-masing. Spesies tumbuhan asing dijumpai paling melimpah di padang rumput Gladakan, diduga hal ini terjadi karena adanya aktivitas merumput yang dahulu sering dilakukan masyarakat. Intervensi manusia, terutama pembersihan vegetasi alami merupakan faktor utama penyebab invasi tumbuhan asing dan invasi sekunder oleh spesies gulma (Shigesada dan Kawasaki 1997).

Menurut van Steenis (2010), spesies tumbuhan asing invasif tidak mampu berintegrasi ke dalam vegetasi hutan klimaks, tetapi hanya mampu mengisi relung di tempat-tempat terganggu atau habitat miskin. Pada ekosistem-ekosistem tropis dengan karakteristik faktor biotik dan abiotiknya serta keanekaragaman hayati awal yang tinggi, peluang keberhasilan invasi pada komunitas yang tidak terganggu sangat kecil (Rejmánek 1996 dalam Sala et al. 2000). Oleh sebab itu invasi spesies asing sebenarnya bukan merupakan masalah utama pada ekosistem-ekosistem tropis (Sala et al. 2000; Koskela 2004).

Pola Sebaran Spesies Tumbuhan Asing Invasif

Organisme di alam dapat menyebar secara acak, seragam, maupun mengelompok, namun sebagian besar populasi flora-fauna di alam penyebarannya bersifat mengelompok dan sangat jarang seragam (Krebs 2013). Melalui perhitungan indeks Morisita terstandar diketahui bahwa seluruh spesies tumbuhan asing invasif di CAPS memiliki pola sebaran mengelompok (Ip > 0). Nilai indeks

Pistia stratiotes - - - - 36.51

Vernonia cinerea - - 6.16 ( 6*) - -

Keterangan : A) Jalur Teluk Semut B) Jalur Waruwaru C) Blok Gladakan D) Blok Barubaru E) Blok Telaga Dowo

(32)

penyebaran Morisita terstandar spesies tumbuhan asing invasif di CAPS ditampilkan dalam Tabel 6 dan Tabel 7.

Pola sebaran spesies tumbuhan asing invasif pada hutan dataran rendah dan padang rumput di CAPS yang bersifat mengelompok ini sesuai dengan pernyataan Krebs (2013), bahwa populasi tumbuhan di alam lebih sering menyebar secara mengelompok dibanding secara teratur. Odum (1994) juga menjelaskan bahwa penyebaran tumbuhan di alam cenderung mengelompok, penyebaran secara acak relatif jarang terjadi. Hal ini terjadi karena kondisi lingkungan jarang bersifat seragam meskipun mencakup wilayah yang sempit (Heddy et al. 1986 diacu dalam Indriyanto 2006).

Kompetisi merupakan interaksi yang paling umum terjadi antar tumbuhan (Gibson dan Gibson 2006). Setiap individu tumbuhan berkompetisi untuk memperebutkan air, sinar matahari, ruang, dan nutrisi (Gibson dan Gibson 2006; May 2007a; May 2007b). Oleh sebab itu pola sebaran tumbuhan asing invasif sangat dipengaruhi ketersediaan sumber daya tersebut, sebagai contoh spesies akuatik Pistia stratiotes hanya dijumpai di Telaga Dowo. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa pola sebaran tumbuhan asing invasif di CAPS mengelompok pada habitat yang terganggu sesuai pernyataan Shigesada dan Kawasaki (1997) dan van Steenis (2010). Tersedianya celah akibat gangguan pada habitat berarti tersedia pula ruang bagi spesies invasif untuk tumbuh bereproduksi (Shigesada dan Kawasaki 1997).

Bioekologi Spesies Tumbuhan Asing Invasif 1. Pistia stratiotes [Araceae]

P. stratiotes merupakan spesies tumbuhan asing invasif akuatik yang berasal dari Amerika Selatan (ISSG 2005). Dengan habitusnya berupa herba, P. stratiotes tumbuh mengapung bebas pada permukaan air menggenang atau mengalir pelan

Tabel 6 Nilai indeks penyebaran Morisita terstandar spesies tumbuhan asing invasif pada vegetasi hutan dataran rendah

Spesies Indeks Morisita terstandar (Ip) Pola sebaran

Ageratum mexicanum 0.75 Mengelompok

Centotheca lappacea 1.00 Mengelompok

Eleusine indica 0.74 Mengelompok

Lantana camara 1.00 Mengelompok

Tabel 7 Nilai indeks penyebaran Morisita terstandar spesies tumbuhan asing invasif pada vegetasi padang rumput

Spesies Indeks Morisita terstandar (Ip) Pola sebaran

Ageratum mexicanum 0.59 Mengelompok

Hedyotis corymbosa 0.64 Mengelompok

Imperata cylindrica 0.52 Mengelompok

Lantana camara 0.57 Mengelompok

Passiflora foetida 0.52 Mengelompok

Pistia stratiotes 0.54 Mengelompok

(33)

pada sebaran vertikal 5 m – 800 m dpl (Backer dan van den Brink 1968). Tumbuhan ini mampu berkembang biak secara vegetatif melalui stolon dan membentuk tutupan kompak pada permukaan air, serta memiliki kemampuan bertahan hidup di atas lumpur (ISSG 2005). Biji P. stratiotes terapung di atas air selama beberapa hari sehingga dapat terbawa air hingga jarak yang jauh sebelum aikhirnya tenggelam dan berkecambah (Webber 2003).

Spesies P. stratiotes dalam penelitian ini hanya dijumpai di Telaga Dowo, meskipun terdapat kemungkinan bahwa spesies ini juga ada di telaga-telaga lainnya. Selain ditemukan hidup mengambang di atas permukaan air, spesies ini juga ditemukan tumbuh di atas lumpur di tepi-tepi Telaga Dowo. P. stratiotes yang tumbuh di Telaga Dowo CAPS dapat dilihat pada Gambar 11.

2. Ageratum mexicanum [Asteraceae]

A. mexicanum merupakan spesies tumbuhan asing invasif dengan habitus herba tegak annual yang berasal dari daerah Amerika tropis (Backer dan van den Brink 1965). A. mexicanum merupakan spesies tumbuhan asing invasif dengan kemampuan adaptasi yang tinggi pada berbagai kondisi ekologis (ISSG 2005). Spesies ini mampu tumbuh pada kondisi lingkungan kering hingga lembap, kondisi tanah subur hingga agak subur, pada daerah terbuka maupun ternaungi (Biotrop 2008). A. mexicanum memiliki buah tipe achene, yaitu buah kering sederhana seperti biji bunga matahari, yang mudah terbawa angin; bijinya bersifat fotoblastik positif (untuk dapat berkecambah, pemecahan dormannya

membu-dan (b) anakan di atas lumpur pada tepian Telaga Dowo

(34)

tuhkan sinar matahari) dengan viabilitasnya yang akan berkurang dalam 12 bulan (ISSG 2005).

Spesies A. mexicanum dalam CAPS ditemukan pada tepian laguna Segoro Anakan, serta padang rumput Barubaru dan Gladakan. Spesies ini tumbuh pada area terbuka yang tidak ternaungi tajuk pohon dan menerima intensitas sinar matahari yang tinggi. A. mexicanum yang tumbuh di padang rumput Gladakan dapat dilihat pada Gambar 12.

3. Vernonia cinerea [Asteraceae]

V. cinerea merupakan spesies tumbuhan asing invasif dengan habitus herba tegak anual yang asal sebarannya masih belum diketahui (Biotrop 2008). Spesies ini tumbuh menginvasi lahan terbuka maupun ternaungi sebagai tumbuhan bawah, pada lahan tidak basah, tanah asam, daerah pasang-surut, dan pada area padang rumput (bersama alang-alang dan spesies rumput lain) dengan sebaran vertikal dari daerah pesisir hingga 1300 m dpl (Backer dan van den Brink 1965). Tumbuhan ini memiliki buah tipe achene dilengkapi rambut-rambut yang menyebabkan mudah terbawa angin, dan biji segarnya siap berkecambah (Biotrop 2008).

V. cinerea ditemukan tumbuh di bawah rerumputan pada padang rumput Gladakan. Dalam penelitian ini, V. cinerea hanya ditemukan di padang rumput Gladakan dan memiliki nilai INP yang rendah, namun tetap berpotensi tumbuh menjadi spesies invasif yang mendominasi padang rumput karena kemampuan bijinya yang dapat menyebar dengan mudah (Gambar 13).

4. Passiflora foetida [Passifloraceae]

P. foetida merupakan spesies tumbuhan asing invasif dengan habitus herba perenial merambat yang berasal dari Amerika Selatan (ISSG 2005). Tumbuh membentuk semak belukar pada sebaran vertikal 1 m – 1000 m dpl (Backer dan van den Brink 1963). Buahnya berwarna kuning oranye dengan kulit buah yang dilapisi rambut-rambut tipis, buahnya dapat diamakan dan memiliki banyak biji, umumnya disebarkan oleh burung (ISSG 2005).

P. foetida ditemukan merambat di antara vegetasi rumput di padang rumput Gladakan. P. foetida hanya dijumpai tumbuh di padang rumput Gladakan dan memiliki nilai INP yang rendah. Meskipun demikian, spesies ini berpotensi

(35)

tumbuh manjadi spesies invasif yang mendominasi padang rumput. P. foetida yang tumbuh di padang rumput Gladakan dapat dilihat pada Gambar 14.

5. Centotheca lappacea [Poaceae]

C. lappacea merupakan spesies tumbuhan asing invasif dengan habitus herba perennial yang berasal dari Asia dan Afrika (Biotrop 2008). Spesies ini tumbuh menyukai naungan, dengan kondisi tanah yang agak kering hingga lembap, pada sebaran vertikal 0 m – 1200 m dpl (Backer dan van den Brink 1968). C. lappacea berbunga sepanjang tahun, memiliki kemampuan berkembang biak secara vegetatif dengan rhizomanya yang pendek, dan anakannya seringkali dijumpai di sekitar tumbuhan dewasa.

C. lappacea ditemukan tumbuh sebagai tumbuhan bawah di lantai hutan pada vegetasi hutan dataran rendah jalur Waruwaru. Dalam penelitian ini, C. lappacea hanya ditemukan di hutan dataran rendah jalur Waruwaru dan memilki nilai INP yang rendah (Gambar 15).

6. Eleusine indica [Poaceae]

E. indica merupakan spesies tumbuhan asing invasif dengan habitus herba anual yang berasal dari India (Biotrop 2008). Spesies ini tumbuh di tempat terbuka maupun di bawah naungan, pada lahan yang tidak terlalu kering hingga basah, tumbuh sebagai pionir pada habitat miskin (Backer dan van den Brink 1968). E. indica tumbuh dengan baik pada daerah terbuka, padang rumput,

(36)

tempat-tempat timbunan sampah, maupun pada tanah rawa yang lembap, dengan produksi biji 50 000 – 135 000 biji/tahun (Biotrop 2008).

E. indica ditemukan tumbuh sebagai tumbuhan bawah di lantai hutan pada vegetasi hutan dataran rendah jalur Teluk Semut. Dalam penelitian ini, E. indica hanya ditemukan di hutan dataran rendah jalur Telaga Semut dan memiliki nilai INP yang rendah (Gambar 16).

7. Imperata cylindrica [Poaceae]

I. cylindrica merupakan spesies tumbuhan asing invasif dengan habitus herba perenialyang pusat penyebarannya berasal dari Afrika Timur (ISSG 2005). Spesies ini mampu tumbuh pada tempat terbuka maupun agak ternaungi, pada lahan basah tidak permanen, tanah yang tidak terlalu dangkal dan teraerasi dengan baik, pada sebaran vertikal 0 m – 2700 m dpl (Backer dan van den Brink 1968). Memiliki kemampuan menginvasi lahan dengan rhizoma dan biji, namun tidak toleran terhadap naungan (Webber 2003). Memiliki sistem rhizome yang ekstensif hingga > 60 % biomassanya tersimpan di bawah tanah, mampu beradaptasi pada tanah miskin, toleran terhadap kekeringan, umum menginvasi area yang sering terbakar dan sering disiangi rumputnya, serta memiliki kemampuan kolonisasi area terganggu yang cepat (ISSG 2005).

(a) (b)

(37)

padang rumput Gladakan. Dalam penelitian ini, H. corymbosa hanya ditemukan di padang rumput Gladakan, ditunjukkan pada Gambar 18.

9. Lantana camara [Verbenaceae]

L. camara merupakan spesies tumbuhan asing invasif dengan habitus semak perenial yang berasal dari Amerika tropis (Biotrop 2008). Spesies ini biasa tumbuh akibat adanya aktivitas pembukaan hutan, menjadi tumbuhan bawah dominan pada hutan terganggu, mampu berbuah hampir sepanjang tahun, memiliki biji yang dapat diseberkan oleh burung dan sangat mudah berkecambah (ISSG 2005). L. camara mudah tumbuh pada tanah miskin, memiliki kemapuan

(a) (b)

Gambar 17 (a) Imperata cylindrica tumbuh di padang rumput Gladakan, dan (b) infloresceneImperata cylindrica

Gambar 18 Hedyotis corymbosa di padang rumput Gladakan

(a) (b)

(38)

regenerasi yang cepat setelah mengalami kerusakan, serta kemampuan kolonisasi yang cepat pada area terganggu (Webber 2003).

L. camara ditemukan tumbuh sebagai tumbuhan bawah pada vegetasi hutan dataran rendah jalur Waruwaru dan padang rumput Gladakan. Spesies ini tumbuh pada vegetasi padang rumput maupun vegetasi hutan dataran rendah (Gambar 19). Meskipun memiliki nilai INP yang rendah, namun L. camara berpotensi tumbuh menjadi spesies invasif yang mendominasi area-area terbuka di CAPS.

Analisis Faktor Lingkungan

Analisis komponen utama yang dilakukan terhadap faktor-faktor kondisi lingkungan berhasil mereduksi sembilan faktor lingkungan menjadi lima faktor lingkungan yang dikelompokkan ke dalam dua komponen utama. Kedua komponen yang baru menjelaskan 84.66% dari keseluruhan faktor lingkungan yang telah diukur. Nilai Eigenvalue masing-masing komponen dapat diamati pada Tabel 8 dan diagram ordinasi PCA dapat diamati pada Gambar 20.

Komponen pertama menjelaskan 46.1% dari keseluruhan faktor lingkungan yang telah diukur, sedangkan komponen kedua hanya menjelaskan sebesar 38.5%. Nilai proporsi kedua komponen hasil PCA ini menunjukkan bahwa komponen pertama memberikan informasi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan komponen kedua dalam menggambarkan kondisi lingkungan tempat tumbuhnya tumbuhan asing invasif. Faktor jarak lokasi dari pantai merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap faktor komponen pertama (PC I), sementara kemiringan lahan merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap faktor komponen kedua (PC II).

Berdasarkan Tabel 8, dapat disusun model indeks habitat tumbuhan asing invasif dengan faktor-faktor lingkungannya sebagai berikut: PC I = 0.911 (X_pan) + 0.843 (RH_ud) – 0.775 (Int_mat) + 0.403 (Pen_taj); PC II = 0.303 (RH_ud) – 0.521 (Int_mat) + 0.917 (Elv) + 0.827 (Pen_taj). Masing-masing faktor lingkungan penyususn PC I dan PC II tersebut tidak saling berkorelasi kuat, dibuktikan dengan tidak adanya garis-garis faktor lingkungan yang saling berimpit atau membentuk sudut yang sangat lancip dalam diagram ordinasi (Gambar 20). Tabel 8 Eigenvalue dan nilai faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi

persebaran tumbuhan asing invasif

Jarak dari pantai (X_pan) 0.911

Kelembapan udara (RH_ud) 0.843 0.303

Intensitas matahari (Int_mat) –0.775 –0.521

Ketinggian lokasi (H) 0.917

(39)

May (2007a) menjelaskan bahwa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap keberadaan spesies tumbuhan asing invasif akuatik, secara berurutan adalah: sinar matahari, nutrisi, dan air. Sementara pada spesies tumbuhan asing invasif terestrial, faktor yang berpengaruh secara berurutan adalah: air, nutrisi, dan sinar matahari (May 2007b). Karena spesies tumbuhan asing invasif merupakan spesies kosmopolitan, yang menurut van Steenis (2010) umumnya tumbuh pada habitat miskin dan terganggu, maka variabel-variabel yang berhubungan dengan kandungan nutrisi tanah tidak diukur dalam penelitian ini.

Faktor lingkungan pertama yang paling berpengaruh terhadap keberadaan tumbuhan asing invasif di CAPS adalah kemiringan lahan. Menurut Anthony (1954), kemiringan lahan bersama dengan tekstur tanah mempengaruhi kondisi drainase lahan dan menjadi faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap sebaran beberapa spesies kaktus. CAPS merupakan pulau karang dengan ekosistem karst yang memiliki kontur sangat curam dan lapisan tanah yang tipis di atas lapisan batuan karangnya. Pada daerah-daerah yang miring, lapisan tanah yang semakin tipis serta drainase lahan yang tinggi menyebabkan kondisi lapisan tanah atas menjadi kering. Hal ini menjelaskan bagaiman kemiringan lahan menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap sebaran tumbuhan asing invasif di CAPS.

Faktor lingkungan yang paling berpengaruh selanjutnya adalah jarak lokasi dari garis pantai. Hasil temuan ini berbeda dengan hasil penelitian lain yang umumnya menemukan bahwa faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberadaan tumbuhan asing invasif adalah intensitas sinar matahari, suhu dan kelembapan udara, ketinggian lokasi, serta keterbukaan vegetasi (Thuiller et al.

(40)

2006; Simonová dan Lososová 2007; Schmitz dan Dericks 2010; Costa et al. 2012; Riis et al. 2012). Tumbuhan asing invasif umumnya menyukai area bebas naungan pada habitat terganggu dengan intensitas penyinaran matahari yang tinggi, suhu yang hangat, serta elevasi yang rendah. Hal ini, menurut Pyšek (1998), Pyšek et al. (2002), dan Simonová dan Lososová (2007), terjadi karena pada penelitian-penelitian mengenai tumbuhan asing invasif yang dilaksanakan di Eropa, sebagian besar spesies tumbuhan asing invasifnya berasal dari daerah tropis.

CAPS merupakan ekosistem pulau kecil dengan sisi-sisi pulau yang menghadap Samudera Indonesia berupa pantai karang yang sangat curam. Satu-satunya sumber invasi bagi CAPS adalah dataran utama Pulau Jawa. Invasi tumbuhan ini hanya dapat masuk ke CAPS melalui pantai-pantai landai yang menghadap ke arah Pulau Jawa. Menurut Shigesada dan Kawasaki (1997), terjadinya invasi bermula dari adanya gangguan terhadap ekosistem yang menimbulkan celah, sehingga tersedia ruang bagi tumbuhan asing invasif untuk masuk, hidup, tumbuh, berkembang biak, melakukan kolonisasi, dan selanjutnya melanjutkan invasi masuk lebih dalam. Tumbuhan asing invasif yang berhasil masuk ke dalam ekosistem Pulau Sempu hanya dapat tumbuh dan berkembang menjadi tumbuhan dewasa pada daerah datar dan terbuka di pantai-pantai landai yang menghadap Pulau Jawa. Tumbuhan asing invasif tersebut selanjutnya membentuk koloni di daerah tepi ekosistem namun tidak dapat melanjutkan tahap invasi untuk masuk lebih dalam ke pusat ekosistem CAPS. Hal ini terjadi karena meskipun memiliki kemampuan menginvasi dan kolonisasi yang cepat serta biji yang mudah disebarkan oleh angin, tetapi spesies tumbuhan asing invasif di CAPS umumnya memiliki biji yang bersifat fotoblastik positif dan sebagian besar spesiesnya tidak tahan terhadap naungan, sehingga propagulnya tidak dapat tumbuh di dalam hutan yang penutupan tajuknya masih rapat. Selain itu, di dalam ekosistem hutan CAPS yang masih terjaga, semakin masuk ke dalam ekosistem maka kerapatan dan kepadatan populasi tumbuhannya akan semakin tinggi. Propagul tumbuhan asing invasif yang berhasil masuk ke dalam hutan akan mendapatkan tekanan dan akhirnya tidak dapat tumbuh dan berkembang. Semakin masuk ke pusat ekosistem yang rapat, maka tekanan yang diterima akan semakin besar. Kejadian ini oleh Colautti et al. (2006), Johnston et al. (2009), Simonová dan Lososová (2007), dan Ricciardi et al. (2011), disebut sebagai propagule pressure (tekanan propagul).

(41)

mexicanum dan Lantana camara) dijumpai di hutan dataran rendah dan padang rumput, serta 1 spesies (Cyperus rotundus) dijumpai di luar petak pengamatan. 3 Seluruh spesies tumbuhan asing invasif di CAPS memiliki pola sebaran

mengelompok (clumped), dengan nilai Indeks Morisita (Ip) > 0.

4 Berdasarkan analisis PCA, kemiringan lahan dan jarak lokasi dari garis pantai merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap sebaran tumbuhan asing invasif di CAPS.

Saran

Hasil penelitian ini menginformasikan bahwa invasi spesies tumbuhan asing telah sampai pada ekosistem kawasan konservasi di pulau kecil, seperti CA Pulau Sempu. Meskipun serangan invasi hanya terjadi di beberapa lokasi, namun pengawasan secara berkala terhadap perkembangan spesies tumbuhan asing invasif perlu segera dilaksanakan. Pengamanan kawasan terhadap gangguan yang dapat memicu invasi spesies tumbuhan asing, seperti pembukaan vegetasi, perlu diperkuat lagi. Selain itu, pendidikan konservasi mengenai bahaya invasi tumbuhan asing dan faktor-faktor pemicu invasinya perlu disampaikan kepada masyarakat sekitar dan orang-orang yang berkunjung ke dalam kawasan, karena kelestarian kawasan CAPS merupakan tanggung jawab kita bersama. Penelitian-penelitian lanjutan diharapkan dapat mengukur laju invasi, mengidentifikasi interaksi dan asosiasi antara spesies tumbuhan asing invasif dengan spesies lokal maupun antar spesies tumbuhan asing invasif itu sendiri, serta mengidentifikasi preferensi ekologis masing-masing spesies tumbuhan asing invasif di CAPS.

DAFTAR PUSTAKA

Anthony M. 1954. Ecology of the Opuntiae in the Big Bend region of Texas. Ecology. 35(3): 334–347.

Backer CA, van den Brink RCB. 1963. Flora of Java. Vol ke-1. Groningen (NL): Wolters-Noordof.

(42)

Backer CA, van den Brink RCB. 1968. Flora of Java. Vol ke-3. Groningen (NL): Agricultural Systems. Oxon (UK): CABI.

[CBD] Convention on Biological Diversity. 2002. Decision VI/23 of the Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity: Alien Species that Threaten Ecosystems, Habitats, or Species . Hague (NL): Annex. Costa H, Aranda SC, Lourenço P, Mederios V, de Azevedo EB, Silva L. 2012.

Predicting successful replacement of forest invaders by native species using species distribution models: The case of Pittosporum undulatum and Morella fayain the Azores. ForEcol Man. 279:90–96.

[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2012. Cagar Alam Pulau Sempu. [Internet]. [diunduh 2013 jun 10]. Tersedia pada: http://www.dephut. go.id/informasi/propinsi/Jatim/cagaralam_sempu.html.

di Castri F. 1989. Hystory of Biological Invasions with Special Emphasis on the Old World. Di dalam: Drake JA, Mooney HA, di Castri F, Groves RH, Kruger FJ, Rejmánek M, Williamson M, editor. SCOPE. Volume 37. Biological Invasions: A Global Perspective. Chichester (UK): J Wiley. hlm 1–30.

[Ditjenhut] Directorate General of Forestry, Department of Agriculture. 1971. Nature Reserves in Indonesia. Jakarta (ID): Dept. of Agriculture.

Djufri. 2004. Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del. dan permasalahannya di Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Biodiversitas. 5(2):96–104.

Dunteman GH. 1989. Principal Component Analysis. California (US): Sage. Ewusie JY. 1990. Pengantar: Ekologi Tropika. Tanuwidjaja U, penerjemah;

Purbo-Hadiwidjoyo SW, editor. Bandung (ID): ITB. Terjemahan dari: Ewusie, Elements of Tropical Ecology.

Gibson JP, Gibson TR. 2006. The Green World Plant Ecology. New York (US): Chelsea H.

Gordon DR. 1998. Effects of invasive, non-indigenous plant species on ecosystem processes: lessons from Florida. Ecol Appl. 8(4):975–989.

Hakim L, Leksono AS, Puwaningtyas D, Nakagoshi N. 2005. Invasive plant species and the competitiveness of wildlife tourist destination: a case of Sadengan feeding area at Alas Purwo National Park, Indonesia. J Int Dev Coorp. 12(1):35–45.

Hulme PE, Roy DB, Cunha T, Larsson T. 2009. A pan-European inventory of alien species: rationale, implementation, and implications for managing biological invasions. Di dalam: Drake JA, editor. Invading Nature. Springer Series in Invasion Ecology. Volume 3. Handbook of Alien Species in Europe. [Berlin] (DE): Springer. hlm 1–14.

Imanuddin R, Haryanta A, Julianti, Wulandari, Dwanasuci N, Nurhayati I, Sudrajat, Ruchiat Y, Hideta T. 2007. Information of Conservation Areas in Indonesia. Jakarta (ID): Ditjen PHKA, LHI, dan JICA.

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.

(43)

marine ecosystems. Ecol Stud. 204:133–151.

Jolliffe IT. 2002. Principal Component Analysis. Ed ke-2. New York (US): Springer.

Jose S, Kohli RK, Singh HP, Batish DR, Pieterson EC. 2009. Invasive plants: a threat to the integrity and sustainability of forest ecosystems. Di dalam: Kohli RK, jose S, Singh HP, Batis DR, editor. Invasive Plants and Forest Ecosystems. Boca Raton: CRC Pr. hlm 3-10.

Koskela J, Hong LT, Ramanatha Rao V. 2004. Conservation of forest genetic diversity in South Asia. Di dalam: Mal B, Mathur PN, Ramanatha Rao V, Jayasuriya AHM, editor. Proceedings of the Sixth Meeting of South Asia Network on Plant Genetic Resources (SANPGR); 2002 Des 9–11; Peradeniya, Sri Lanka. New Delhi (IN): IPGRI South Asia Office. hlm 123–130.

Krebs CJ. 2013. Ecological Methodology. Ed ke-3. New York (US): Harper & Row.

Mack RN, Simberloff D, Lonsdale WM, Evans H, Clout M, Bazzaz FA. 2000. Biotic invasions: causes, epidemiology, global consequences, and control. Ecol Appl. 10(3):689-710.

Magurran AE. 2004. Measuring Biological Diversity. Malden (US): Blackwell. Margalef DR. 1958. Information theory in ecology. Gen Syst. 3:36–71.

May S. 2007a. Invasive Species: Invasive Aquatic and Wetland Plants. New York (US): Chelsea H.

May S. 2007b. Invasive Species: Invasive Terrestrial Plants. New York (US): Chelsea H.

Odum EP. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Ed ke-3. Samingan T, penerjemah. Jogjakarta: Gadjahmada Univ Pr. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology. Ed ke-3.

Purwaningsih. 2010. Acacia decurrens Wild.: jenis eksotik dan invasif di Taman Nasional Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Hayati. 4A:23–28.

Purwanto A, Imaculata M, Kristiyanto S, Suyitno, Fajar HF. 2002. Buku Informasi Kawasan Konservasi BKSDA Jatim II. Jember (ID): Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur II.

Pyšek P, Jarošίk V, Kučera T. 2002. Patterns of invasion in temperate nature reserves. Biol Conserv. 104:13–24.

(44)

Ricciardi A, Jones LA, Kestrup AM, Ward JM. 2011. Expanding the propagule pressure concept to understand the impact of biological invasions. Di dalam:Richardson DM, editor. Fifty Years of Invasion Ecology: The Legacy of Charles Elton. West Sussex (GB): Wiley

Richardson DM, Pyšek P. 2007. Classics in physical geography revisited: Elton, C.S. 1958. The Ecology of invasions by animals and plants. Prog in Phys Geo. 31(6):695–666.

Richardson DM, Pyšek P. 2008. Fifty years of invasion ecology – the legacy of Charles Elton. Divers Distrib. 14:161–168.

Riis T, Olesen B, Clayton JS, Lambertini C, Brix H, Sorell BK. 2012. Growth and morphology in relation to temperature and light availability during the establishment of three invasive aquatic plant species. Aqua Botany. 102:56–64.

Rosalia N. 2008. Penyebaran dan karakteristik tempat tumbuh pohon tembesu (Fragaea fragrans Roxb.) (Studi kasus di kawasan Taman Nasional Danau Sentarum Kapuas Hulu Kalimantan Barat) [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rosniati AR. 2009. Autoekologi dan Studi Populasi Myristica teijsmannii Miq. (Myristicaceae) di Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sala OE, Stuart Chapin III FS, Armesto JJ, Berlow E, Bloomfield J, Dirzo R, Huber-Sanwald E, Huenneke LF, Jackson RB, Kinzig A, et al. 2000. Global biodiversitiy scenarios for the year 2010. Science. 287:1770–1774.

Schmitz U, Dericks G. 2010. Spread of alien invasive Impatiens balfouriiin Europe and its temperature, light and soil moisture demands. Flora. 205:722– 776.

Simonová D, Lososová Z. 2007. Which factors determine plant invasions in man-made habitats in the Czech Republic?. Pers Plant Ecol Evo Syst. 10:89–100.

Thuiller W, Richardson DM, Rouget M, Procheş Ş, Wilson JRU. 2006.

Interaction between environment, species traits, and human uses describe patterns of plant invasions. Ecology. 87(7):1755–1769.

Tjitrosoedirdjo SS. 2005. Inventory of the invasive alien species in Indonesia. Biotropia. 25:67–73.

van Steenis CGGJ. 2010. Flora Pegunungan Jawa. Kartawinata JA, penerjemah; Kartawinata JA, Widjaja EA, Partomihardjo T, editor. Bogor (ID): Pusat Penelitian Biologi LIPI. Terjemahan dari: The Mountain Flora of Java.

Vitousek PM. 1994. Beyond global warming: ecology and global change. Ecology. 75(7):1861-1876.

Webber E. 2003. Invasive Plant Species of the World: A Reference Guide to Environmental Weeds. Cambridge (UK): CABI Publ.

Gambar

Gambar 1  Peta lokasi penelitian, Cagar Alam Pulau Sempu
Gambar 2 (a) Skema pembuatan plot, dan (b) sketsa kombinasi metode jalur
Gambar 3  Sketsa metode petak ganda
tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima, dengan hipotesis yang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rencana ini harus menjabarkan skenario pengembangan kota dan pengembangan sektor bidang cipta karya, usulan kebutuhan investasi yang disusun dengan berbasis demand ataupun target

Usaha-usaha pembinaan akhlak anak asuh di panti asuhan yang diterapkan adalah dalam bentuk pembinaan melalui pendidikan shalat berjamaah, wirid pengajian, membaca al

Proses penciptaan Tari Manggala Kridha dengan tema memfokuskan pada figur prajurit sebagai orang yang memiliki keberanian dan kepatuhan dalam menjalankan tugas negara sehingga

Kelompok tanduk gayor, leang, dan ngabendo tidak memiliki nilai yang berbeda nyata pada bobot badan, lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak, lingkar skrotum, dan

The researcher finds that The American Dream has influenced people around the world because America has very effective ways to promote their ideology through soft power

Penelitian ini dapat menambah data kepustakaan yang berkaitan dengan faktor- faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pada pasien CKD yang menjalani hemodialisa di RSUD

Conscientiousness didapat korelasi sebesar 0.215 dengan signifikansi 0,000, yang berarti hubungan antara perilaku seks pranikah terhadap Conscientiousness rendah

Citra pertama yang diperoleh dari CT-scan Thorax adalah berupa Scanogram yang berguna untuk emperoleh berapa Slice yang akan. Gambar 2.10.Scanogaram Thorax dan