• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

REVITALISASI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI

DI SETU BABAKAN, SRENGSENG SAWAH,

JAKARTA SELATAN

NURUL FAJRIYAH

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

(4)

ABSTRAK

Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawidi Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan

NURUL FAJRIYAH. Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Dibimbing oleh ARIS MUNANDAR.

Perkampungan Budaya Betawi yang terletak di Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan merupakan kampung reka cipta yang ditetapkan oleh pemerintah Jakarta sebagai lokasi pelestarian dan pengembangan budaya Betawi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi keberadaan dari komponen fisik, non fisik, dan nilai, serta mengusulkan upaya revitalisasi berdasarkan pada potensi dan assessment lanskap yang terdapat di kampung.Hasil peneilitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah dan dapat memberikan rekomendasi model (template) revitalisasi kota Jakarta. Penelitian ini dilakukan pada tiga unit wilayah RW (RW 07, 08, 09) di Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Metode yang digunakan yaitu inventarisasi/survei lapang, uji reliabilitas Kappa dan assesement lanskap sejarah dan budaya. Nilai koefisien Kappa menunjukkan adanya potensi kawasan untuk di konservasi (0.819). Berdasarkan assessement lanskap sejarah dan budaya, wilayah RW 08 sebagai embrio kampung memiliki nilai keaslian dan keunikan tertinggi dibandingkan dengan RW 07 dan RW 09. Rekomendasi berupa konsep revitalisasi yang berkelanjutan sehingga tercipta keseimbangan antara karakter fisik, pemanfaatan potensi ekonomi, dan kelestarian nilai sosial budaya kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Revitalisasi juga melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga upaya revitalisasi yang dilakukan tidak hanya bertahan dalam kurun waktu singkat akan tetapi dapat berkelanjutan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kata kunci : Assessment Lanskap, Budaya Betawi, Lanskap Budaya, Revitalisasi

ABSTRACT

Revitalization Perkampungan Budaya Betawi at Setu Babakan, Srengseng Sawah, South Jakarta

NURUL FAJRIYAH. Revitalization Perkampungan Budaya Betawi at Setu Babakan, Srengseng Sawah, South Jakarta. Supervised by ARIS MUNANDAR.

(5)

originality and uniqueness of the highest compared with 7th and 9th. Therefore it is recommended that develoved based on balance between phsyical character and socio-cultural value of Perkampungan Budaya Betawi instead of potensial economic activity. Revitalizing it is also recomended that development community participation, so that the efforts taken not only survived in a short time period, but can be sustainable and meet the community needs.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

REVITALISASI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI

DI SETU BABAKAN. SRENGSENG SAWAH,

JAKARTA SELATAN

NURUL FAJRIYAH

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan

Nama : Nurul Fajriyah NIM : A44090043

Disetujui oleh

Dr Ir Aris Munandar, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Bambang Sulistyantara M, Agr Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.Tema yang dipilih dalam penelitian dan dilaksanakan sejak Februari hingga September 2013 ini ialah pengelolaan lanskap, dengan judul Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Aris Munandar, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen penguji atas saran dan masukan yang diberikan kepada penulis dalam penyempurnaan skripsi ini dan kepada Bapak Dr Ir Andi Gunawan, MAgr Sc selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama perkuliahan di Departemen Arsitektur Lanskap.Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bang Indra sebagai Kepala Pengelola Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data dan dan bimbingannya selama di lapangan., Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta, dan Kepala BMKG Pusat beserta para staf atas bantuannya.

Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang yang tak hentinya memberikan doa, semangat serta dukungan baik moril maupun materil.Untuk adikku Ummah atas dukungan dan perhatiannya.Untuk Adab Pradipta terimakasih atas waktu, semangat, perhatian, masukan, serta kebersamaannya selama penulis menyelesaikan skripsi. Kepada Amira, Chika, Bule, Tibel terimakasih atas dukungan dan persahabatannya selama ini. Untuk teman-teman seperjuangan Landscapers46 terimakasih atas semangat dan dukungannya; kakak-kakak dan adik-adik kelas ARL angkatan 44, 45, dan 49; serta para staf pengajar, perpustakaan, Komisi Pendidikan, dan Tata Usaha Departemen Arsitektur Lanskap atas bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di IPB.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi khalayak, terutama sebagai masukan bagi Pengelola Perkampungan Budaya Betawi, Pemerintah DKI Jakarta dan dinas-dinas terkait .

Bogor, Februari 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 1

Manfaat 2

Kerangka Pikir Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Revitalisasi 3

Lanskap Budaya 3

Perkampungan Betawi 4

Pola Ruang Kampung Tradisional Betawi 4

Orang Betawi 6

Rumah Tradisional Betawi 6

Vitality 6

Keteritorialan 7

METODE 7

Lokasi dan Waktu Penelitian 7

Alat dan Bahan 8

Metode Penelitian 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Kondisi Umum 12

Komponen Fisik 21

Komponen Non Fisik 27

Komponen Nilai 33

Keberadaan/Eksistensi Komponen Fisik, Non Fisik, dan Nilai (value) 35 Persepsi Masyarakat terhadap Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu

Babakan 36

Assessment Lanskap Budaya Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 40

(12)

SIMPULAN DAN SARAN 48

SIMPULAN 48

SARAN 49

DAFTAR PUSTAKA 50

LAMPIRAN 52

(13)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan Bentuk Data 9

2 Koefisien Kappa 10

3 Penilaian Keaslian (Originality) Lanskap Budaya Perkampungan

Budaya Betawi Setu Babakan 10

4 Penilaian Keunikan (Uniqeness) Lanskap Budaya Kawasan

Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. 11

5 Jumlah Penduduk tahun 2013 di Setu Babakan 17

6 Komposisi Jenis Profesi di Kawasan Perkampungan Budaya Betawi 17 7 Data Iklim Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 18 8 Penggunaan Lahan di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 21 9 Jenis Pagelaran Kesenian Betawi di Setu Babakan 31 10 Jenis Industri Rumah Tangga di Perkampungan Budaya Betawi 32

11 Kelompok Tani di Perkampungan Budaya Betawi 34

12 Statistik Kappa dari Keberadaan komponen Fisik, Non Fisik, dan nilai 36 13 Tabel penilaian Keaslian (Originality) Lanskap Budaya Perkampungan

Budaya Betawi Setu Babakan 40

14 Tabel Penilaian Keunikan (Uniqueness) Lanskap Budaya Kawasan

Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 42

15 Tabel Penilaian Gabungan Aspek Keaslian dan Keunikan Lanskap Budaya Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 45

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pikir Penelitian 2

2 Pola Perkampungan di Perkotaan 4

3 Suasana perkampungan Betawi di bagian dalam (hinterland) 5 4 Pola permukiman Betawi di bagian dalam (hinterland) 5

5 Rumah Tradisional Betawi 6

6 Peta Lokasi Setu Babakan 7

7 Aksesibiltas Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 14 8 Peta Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 15 9 Peta Zona Permukiman Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 16 10 Hidrologi di Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 20 11 Vegetasi di Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 21

12 Rumah Gudang 22

13 Denah Rumah Joglo Betawi 23

14 Rumah Bapang/Kebaya 23

15 Detail Arsitektur Rumah Betawi 24

16 Beberapa Jenis Ragam Hias 25

17 Ragam Hias 25

18 Pola Permukiman Tradisional Betawi 26

19 Bentuk Personalisasi di Setiap RW 28

20 Acara “Gebyar Betawi” Memperlihatkan Bentuk Kebanggaan

(Stimulasi) warga terhadap RWnya/wilayahnya 29

(14)

22 Salah Satu Kegiatan Pagelaran Kesenian Di Perkampungan Budaya

Betawi Setu Babakan 32

23 Bentuk kegiatan home industry di Perkampungan Budaya Betawi Setu

Babakan 33

24 Karakteristik Responden berdasarkan rentang usia dan jenis kelamin 37 25 Alasan responden menetap di Kampung Budaya Betawi 37 26 Lamanya responden menetap di Kampung Betawi Setu Babakan 37 27 Pendapat responden mengenai perubahan dan situasi di Setu Babakan 38 28 Pandangan responden terhadap Kampung Betawi Setu Babakan 39 29 Karakter budaya pembentuk kampung Betawi Setu Babakan menurut

responden 39

30 Pendapat responden mengenai hal yang perlu di revitalisasi 39 31 Gambar Peta Zona Keaslian Lanskap Budaya Perkampungan Budaya

Betawi Setu Babakan 41

32 Gambar Peta Keunikan Lanskap Budaya Perkampungan Budaya Betawi

Setu Babakan 44

33 Peta Peta Signifikansi Sejarah dan Budaya Lanskap Perkampungan

Budaya Betawi 45

34 Peta Komposit Assessment Lanskap Perkampungan Budaya Betawi 46

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan interval dalam penilaian struktur lanskap pada

Perkampungan Budaya Betawi : 52

2 Wawancara terhadap Ketua RT mengenai Keberadaan artefak di

Kampung Betawi Setu Babakan 53

3 Wawancara terhadap Ketua RT mengenai Perkampungan Budaya

Betawi Setu Babakan 53

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keaneka-ragaman budaya yang tinggi. Letak geografisnya yang strategis dan kemajuan teknologi yang pesat, menyebabkan pengaruh kebudayaan lain dapat dengan mudah masuk dan mempengaruhi kebudayaan asli Indonesia.Jakarta sebagai Ibu kota telah menjadi tempat interaksi manusia yang berasal dari berbagai suku, daerah, dan kebudayaan. Pertumbuhan dan perkembangan kota Jakarta yang sangat pesat dan tidak terkendali sangat mempengaruhi nilai-nilai budaya masyarakat, terutama masyarakat Betawi yang merupakan embrio masyarakat Jakarta. Keadaan ini menjadikan ciri khas budaya masyarakat Betawi sulit dikenali.

Perkampungan Budaya Betawi merupakanpermukiman reka cipta yang bertujuan untuk menyelamatkan budaya Betawi dan tempat ditumbuhkembangkan keasrian alamtradisi Betawi yang meliputi keagamaan, kebudayaan, dan kesenian Betawi. Hal ini dibuat dengan tujuan memberikan perlindungan dan pembinaan, guna melestarikan dan mengembangkan potensi lingkungan bagi peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat. (Imron, et. al. 2002)

Keberlanjutan dari suatu kampung, khususnya Perkampungan Budaya Betawi saat ini ditunjukkan dengan tingkat kebetahan (be home) dari masyarakatnya, karena jika rasa betah (be home) tidak dirasakan oleh masyarakat pada suatu kampung maka keberlanjutan dari kampung tersebut akan relatif sulit untuk diwujudkan. Kebetahan (be home) masyarakat pada suatu kampung akan terwujud jika kebutuhan dasar keteritorialan mereka terpenuhi.

Revitalisasi diperlukan untuk meningkatkan kawasan Perkampungan Budaya Betawi yang memiliki potensi serta untuk mengembalikan vitality perkampungan yang telah atau mengalami penurunan, agar kawasan Perkampungan Budaya Betawi ini mendapatkan kembali nilai tambah yang optimal terhadap produktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Menurut Lynch (1981), vitality merupakan kriteria dimensi pembentuk kota. Kampung merupakan embrio atau cikal bakal suatu kota, maka revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi ini merupakan usaha yang relevan untuk menjadi model (template) dari revitalisasi kota Jakarta.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. mengidentifikasikomponen artefak fisik, non fisik dan nilai (values) yang terdapat di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, 2. mengevaluasi keberadaan atau eksistensi komponen artefak fisik,

non fisik dan nilai (values) terhadap potensi kawasan,

(16)

Manfaat

Hasil peneilitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta serta dinas-dinas terkait dan dapat memberikan rekomendasi model (template) revitalisasi kota kepada pihak pengembang serta pengelola kawasan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan Perkampungan Budaya Betawi.

Identifikasi terhadap komponen fisik, non fisik, dan nilai di Kampung Betawi

setiap

Potensi komponen fisik, non fisik, dan nilai (values) di Kampung Betawi

Evaluasi keberadaan dari komponen artefak fisik, non fisik, dan nilai (values) terhadap potensi

kawasan

Konsep Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi berdasarkan pada potensi dan Assessment lanskap

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Revitalisasi

Revitalisasi menurut Piagam Burra (1988) dalam Solikhah (2010), adalah menghidupkan kembali kegiatan sosial dan ekonomi bangunan atau lingkungan bersejarah yang sudah kehilangan vitality fungsi aslinya, dengan memasukkan fungsi baru ke dalamnya sebagai daya tarik, agar bangunan atau lingkungan tersebut menjadi hidup kembali. Menurut Ichwan (2004) proses revitalisasi bukan hanya berorientasi pada keindahan fisik, tetapi juga harus mampu meningkatkan stabilitas lingkungan, pertumbuhan perekonomian masyarakat, pelestarian dan pengenalan budaya.

Revitalisasi adalah upaya untuk mengembalikan serta menghidupkan kembali vitality yang pernah ada pada kawasan kota yang mengalami degradasi, melalui intervensi fisik dan nonfisik (rehabilitasi ekonomi, rekayasa sosial-budaya serta pengembangan institusional). Selain itu, pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna (tata nilai), keunikan lokasi dan citra tempat). Dengan dukungan mekanisme kontrol/ pengendalian rencana revitalisasi harus mampu mengangkat isu-isu strategis kawasan, baik dalam bentuk kegiatan/aktivitas sosial-ekonomi maupun karakter fisik kota (Danisworo dan Martokusumo 2000).

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum N0: 18/PRT/M/2010 tentang pedoman revitalisasi kawasan Bab 1 pasal 1, revitalisasi adalah upaya untuk meningkatkan nilai lahan/kawasan melalui pembangunan kembali dalam suatu kawasan yang dapat meningkatkan fungsi kawasan sebelumnya.

Lanskap Budaya

Lanskap budaya (cultural landscape) merupakan suatu model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat, yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap tipe ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya, yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan serta ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk dan pola pemukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur serta lainnya (Simonds, 1983).

(18)

Tishler dalam Nurisyah dan Pramukanto (2001) menyatakan bahwa lanskap budaya memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas manusia, performa budaya dan juga nilai dan tingkat estetika, termasuk kejadian-kejadian kesejarahan yang dimiliki kelompok tersebut. Dinyatakan bahwa kebudayaan merupakan agen atau perantara dalam proses pembentukan lanskap tersebut, kawasan alami merupakan medium atau wadah pembentukannya dan lanskap budaya merupakan hasil atau produknya yang dapat dilihat dan dinikmati keberadaanya baik secara fisik maupun psikis.

Perkampungan Betawi

Pada tahun 1840, istilah “ mpung” (compound) digunakan untuk mengindi si “permu an pendudu asli” yang dibeda n dari istilah “ untuk permukiman Belanda. Sejak saat ini dikenal istilah kampung Melayu, kampung Bali dan sebagainya, yang menandai latar belakang etnis masing-masing permukimanya yang berkembang sejak abad 17, salah satu kampung tersebut yang kemudian saat ini kenal adanya kampung-kampung Betawi

Kampung pada umumnya tumbuh dan berkembang pada jalur komunikasi dan pusat perdagangan yang dibangun Belanda pada saat itu. Bentukan kampug secara tipologi diklasifikasikan menjadi tiga (Harun, et al.1999), yaitu :

1. Kampung Kota berada di daerah pusat-pusat kegiatan kota yang biasanya berkepadatan sangat tinggi.

2. Kampung Pinggiran berada di daerah pinggiran kota tetapi masih termasuk ke dalam batas wilayah dan kegiatan kota, berkepadatan antara rendah dan sedang tetapi terkadang ada yang tinggi

3. Kampung Pedesaan kebanyakan berada di luar batas wilayah dan kegiatan perkotaan, berkepadatan rendah dan kebanyakan kampung pedesaan ini bertumpu pada kegiatan pertanian dan perkebunan.

Pola Ruang Kampung Tradisional Betawi

Menurut Harun, et al (1999), keadaan lingkungan permukiman Betawi dikelompokkan ke dalam dua rona, yaitu lingkungan di bagian dalam (hinterland) dan lingkungan di bagian pesisir dari Jakarta. Permukiman yang berada dibagian

a b c

Gambar 2 Pola Perkampungan di Perkotaan (a) Kampung Kota, (b) Kampung Pinggiran, dan (c) Kampung Perdesaan

(19)

dalam umumnya didominasi oleh kebun dan hunian dengan pekarangan yang ditumbuhi oleh pohon buah-buahan. Suasana pedesaan dengan pertanian kebun (agrikultural-rural) terasa sekali di wilayah ini.

Sumber : Harun et al.1999

Lebih lanjut, Harun et.al (1999) mengemukakan bahwa di dalam tata letaknya, rumah-rumah yang berada di bagian hinterland (bagian dalam)dibedakan menjadi rumah yang berada agak jauh dari jalan (di bagian dalam) dan yang dekat atau yang langsung menempel pada jalan (dibagian luar). Pada bagian dalam, rumah-rumah dibangun di tengah kebun atau bidang lahan yang kering sehingga memiliki pola yang terpencar (Gambar 4). Pada bagian luar, rumah-rumah memiliki pola yang mengelompok padat atau berjejer di sepanjang jalan dan hanya dikelilingi oleh pekarangan yang sempit. Namun hal tersebut bukan berarti bahwa pemilik rumah memiliki lahan yang sempit, karena seringkali kebun buah-buahan atau lahan kering yang dimilikinya terdapat dilokasi lain.

Ruchiat, et. al (2000) menyatakan rumah tradisional Betawi, secara geografis, umumnya berada di lingkungan yang berdekatan dengan air, baik pantai ataupun daerah aliran sungai. Tata letak rumah Betawi tidak berorientasi terhadap mata angin tetapi lebih mengutamakan alasan-alasan praktis, seperti bentuk dan orientasi pekarangan serta fungsi-fungsinya. Menurut Harun, et. al (1999), tidak ada suatu kepercayaan tertentu yang harus diikuti dalam menentukan arah mata angin mana suatu rumah harus menghadap. Selain itu, tidak ada hubungan atau ruang tertentu yang menjadi pusat perkampungan yang berfungsi sebagai pusat orientasi rumah-rumah yang ada.

Gambar 3Suasana perkampungan Betawi di bagian dalam (hinterland)

(20)

Orang Betawi

Wangrea, et. al (1985) menyatakan bahwa orang betawi merupakan hasil sejarah, dimana terjadi perpaduan biologis (asimilasi) dan akulturasi unsur-unsur budaya antar suku dan bangsa. Mereka merupakan masyarakat yang mempunyai ciri-ciri adat istiadat yang khas dan sangat terikat pada adat isitiadat tersebut dan etika agama Islam. Menurut Budiman, et.al (2000), hampir seluruh adat masyarakat Betawi diwarnai oleh unsur agama Islam, sehingga sukar untuk memisahkan antara tradisi yang menurut adat dan yang berdasarkan agama, karena keduanya telah berpadu dalam setiap aspek kehidupannya.

Rumah Tradisional Betawi

Secara umum rumah tradisional Betawi dipengaruhi oleh rumah adat Sunda dan Jawa. Bentuk bangunan arsitektur khas Betawi dilengkapi dengan ornamen-ornamen dan mempunyai beberapa ciri khusus seperti: dinding terbuat dari “Jaro” atau bambu dan jendela terbuat dari papan masif dengan jalusi (krepyak) dari kayu, langkan pada paseban, gigi balang dan lain-lain. Dalam keragaman bentuk atap, rumah Betawi dibedakan menjadi tiga, dimana masing-masing jenis membedakan tingkatan sosial masyarakatnya seperti yang terlihat pada Gambar 5. Jenis rumah Betawi terdiri atas :

1. Bapang atau Kebaya, denah empst persegi panjang dan atap berbentuk seperti kebanyakan atap di daerah Jawa Timur. Bentuk ini biasanya dimiliki oleh masyarakat kelas atas (Gambar 5a).

2. Rumah Joglo, denah bujur sangkar dan atap berbentuk menyerupai atap pelana agak memanjang dengan penutup atap genteng, umumnya dihuni oleh masyarakat kelas menengah (Gambar 5b).

3. Rumah Gudang, denah segi empat panjang, atap berbentuk pelana ditutup bahan alang-alang, umumnya dihuni oleh masyarakat kelas bawah (Gambar 5c).

Vitality

Menurut Lynch (1981), terdapat 5 kriteria yang harus dipenuhi untuk mencapai suatu kota yang baik (A Good City Form). Salah satu kriteria tersebut

Gambar 5Rumah Tradisional Betawi (a) Rumah Bapang/Kebaya, (b) Rumah Joglo Betawi, (c) Rumah Gudang

(21)

adalah Vitality yang merupakan elemen dimana secara harfiah diartikan sebagai ketahanan, atau dimaksudkan untuk menggambarkan fungsi vital kehidupan, kebutuhan dan kelangsungan hidupnya. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum N0: 18/PRT/M/2010 Tentang Pedoman Revitalisasi Kawasan Bab 1 pasal 1, vitalitas kawasan adalah kualitas suatu kawasan yang dapat mendukung kelangsungan hidup warganya, dan mendukung produktivitas sosial, budaya , dan ekonomi dengan tetap mempertahankan kualitas lingkungan fisik, dan/atau mencegah kerusakan warisan budaya.

Keteritorialan

Menurut Gifford (1997), keteritorialan (teritoriality) adalah pola perilakudan sikapyang dimiliki olehseorang individu atau kelompokyang didasarkan pada apa dirasakan, yang diusahakan, ataucontrol nyata dari sebuahruang fisik, objek, atau gagasanyang mungkin melibatkanpekerjaan sehari-hari, pertahanan, personalisasi, danpenandaan. Keteritorialan menurut Porteous (1977), adalah pengendalian secara eksklusif suatu lahan oleh individu, pasangan atau kelompok, Intraspesifik, Intraspesies, agresi atau defend, dan hak untuk berbiak. Porteous (1977) juga berpendapat suatu unit teritorial memiliki unsur keamanan, identitas dan stimulasi (kebanggaan) yang disebut home base (tempat tinggal). Home Base merupakan teritorial manusia di skala ruang menengah (mesospace) Fungsi keteritorialan diantaranya makan, identitas, kemanan,dan stimulasi. Mekanisme pengendalian teritorial yaitu penandaan (marking), pertahanan (defense) dan personalisasi

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di tiga wilayah RW ( RW 07, RW 08, dan RW 09) di kawasan Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan yang terletak di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, wilayah Jakarta Selatan. Pengamatan kondisi tapak dan pengumpulan data tapak serta pengolahan data dilakukan pada bulan Maret 2013.

Gambar 6 Peta Lokasi Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan

(22)

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah: buku lapang, papan jalan, kamera digital, dan alat tulis. Jenis software pembantu untuk menunjang pengolahan data antara lainMicrosoft Office Word 2010, Microsoft Excel 2010, AutoCAD 2011, dan Adobe Photoshop CS5.Bahan yang digunakan yaitu peta lokasi dan kuesioner.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan evaluasi terhadap komponen artefak fisik, non fisik, dan nilai (values) pada tiga wilayah RW (RW 07, RW 08, RW 09) di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Setelah evaluasi kemudian mencari nilai potensi dari keberadaan atau eksisting setiap komponen artefak dengan menggunakan statistik Kappa. Kemudian dilakukan assessment terhadap artefak fisik, non fisik, dan nilai untuk mengetahui nilai keaslian dan keunikan wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.

Pengumpulan data

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung dilapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari data yang telah dipublikasikan sebelumnya. Data sekunder yang diperoleh disesuaikan dengan kebutuhan dalam pencapaian tujuan dari perencanaan. Tabel 1 memperlihatkan jenis data beserta sumber data yang digunakan dalam pencapaian tujuan penelitian.

Dalam memperoleh data primer dilakukan melalui pendekatan partisipasi aktif masyarakat setempat, wawancara terstruktur dan mendalam (in depth interview), penyebaran kuesioner dan survei lapang secara langsung. Adapun dalam proses wawancara dilakukan pada narasumber yang telah ditentukan sebelumnya berdasarkan rekomendasi yang valid (purposive sampling). Wawancara dilakukan untuk menggali informasi yang secara validitas lebih terjamin karena diperoleh secara langsung dari sumber informasi (informant). Wawancara dilakukan terhadap beberapa tokoh masyarakat, para ahli dan perwakilan dari masyarakat baik yang terkait langsung secara administratif wilayah (Ketua RT dan Ketua RW) maupun kelembagaan (Kepala Pengelolaa Perkampungan Budaya Betawi).

(23)

Tabel 1Jenis dan Bentuk Data

Komponen Jenis Data Bentuk Data Sumber Data

Primer Sekunder Kondisi

Umum

Tata Guna Lahan √ Kelurahan Srengseng

Sawah, Jakarta Selatan

Peta Wilayah √ Dinas Tata Kota DKI

Jakarta

Iklim √ BMKG Pusat

Fisik Bentuk Bangunan Rumah

Betawi Non Fisik Fungsi Keteritorialan

(Identitas, keamanan,

Kegiatan Ekonomi √ √ Survei Lapang, Kelurahan

Srengseng Sawah,

Wawancara, Kuesioner

Nilai Nilai Sosial (keguyuban) √ Survei Lapang,

Wawancara, Kuesioner

Nilai Ekologi √ Survei Lapang,

Wawancara, Kuesioner

Analisis

Metode yang digunakan dalan tahap analisis meliputi metode deskriptif, kualitatif, kuantitatif, dan spasial. Analisis deskriptif digunakan untuk membuat deskripsi dari karakter lanskap pada tapak penelitian secara sistematis, faktual dan akurat yang meliputi fakta dan sifat fisik maupun sosial pada tapak (Suryabrata, 1992).

Analisis deskriptif digunakan dalam mengidentifikasi komponen artefak fisik yang terdiri dari bentuk bangunan rumah dan pola permukiman, komponen nonfisik meliputi fungsi keteritorialan (personalisasi, keamanan, dan stimulasi), kegiatan kebudayaan, serta kegiatan ekonomi, dan komponen nilai berupa nilai sosial (keguyuban) dan nilai ekologi yang terdapat di Perkampungan Budaya.

Adapun untuk analisis kualitatif dan atau kuantitatif digunakan untuk mengetahui nilai potensi dari keberadaan sebuah artefak fisik, nonfisik, dan nilai yang terdapat di Perkampungan Budaya Betawi. Nilai ini akan menunjukkan ada atau tidaknya potensi dari suatu kampung untuk di konservasi atau dilindungi dengan menggunakan metode uji reliabilitas.

Metode uji reliabilitas yang digunakan adalah reliabilitas Cohenn Kappa. Eksistensi dari artefak di Perkampungan Budaya Betawi diperoleh dengan konsistensi analisis frekuensi pengulangan ungkapan parameter tiap komponen artefak dengan rumus Cohenn Kappa (Hengky,2006), yaitu:

(24)

Keterangan :

K = Koefisien Kappa

PA = Perbandingan unit yang disetuji responden

PC = Perbandingan unit yang dengan persetujuan diharapkan akan berubah, perubahantersebut berupa keraguan peniaian, persepsi, dan pemahaman responden.

Menurut Cohenn (dalam Hengy,2006) nilai K = 0 artinya “tida ada potensi”, Kvalseth (1989) dan Aheeloc et al (dalam Hengy, 2006) mengarti fisien Kappa = 0.61 sebagai “cu ada potensi”. Selanjutnya, Landish and Koch (dalam Hengky,2006) mengartikan kemungkinan beberapa perbandingan untuk menginterpretasikan koefisien Kappa (Tabel 2)

Tabel 2 Koefisien Kappa

Assesment lanskap dilakukan untuk mengetahui nilai signifikansi lanskap budaya kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Penilaian dilakukan terhadap beberapa aspek penting menurut Harris dan Dines (1988), meliputi penilaian keaslian (originality) dan keunikan (uniqeness) kawasan. Kriteria yang digunakan sebagai dasar penilaian untuk mengetahui tingkat keaslian dan keunikan disajikan pada Tabel 3 dan 4. Selanjutnya skor penilaian dijumlahkan untuk mengetahui tingkat keaslian dan keunikan dari setiap zona yang dinilai.

(25)

karakter dan gaya

Sumber : Modifikasi Haris dan Dines (1988)

Tabel 4 Penilaian Keunikan (Uniqeness) Lanskap Budaya Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.

Integritas Elemen lanskap budaya tersebar dalam jumlah

Sumber : Modifikasi Harris dan Dines (1988)

Hasil penilaian kedua aspek tersebut menghasilkan peta keaslian dan peta keunikan yang menampilkan skor-skor dengan skala (Goodchild,1990) :

Skor 1 = Tingkat keaslian/keunikan rendah, lanskap mengalami banyak perubahan.

Skor 2 = Tingkat keaslian/keunikan sedang, lanskap mengalami sedikit perubahan

Skor 3 = Tingkat keaslian/keunikan tinggi, lanskap tidak mengalami perubahan.

Penilaian terhadap aspek tersebut dihitung menggunakan metode skoring yang dikemukakan oleh Selamet (Selamet, 1983 dalam Anggraeni 2011) dengan rumus interval kelas (Lampiran 1):

Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) – Skor Minimum (SMi) Jumlah Kategori

(26)

Penilaian gabungan aspek keaslian dan keunikan menghasilkan peta signifikansi budaya yang kemudian dianalisis secara spasial deskriptif untuk mengetahui zona di kawasan Perkampungan Budaya Betawi dengan nilai signifikansi budaya rendah, sedang, dan tinggi. Kriteria rendah diberikan untuk zona yang memiliki nilai gabungan kedua aspek berada pada interval antara 9-12, kriteria sedang diberikan untuk zona yang memiliki nilai gabungan kedua aspek berada pada interval 13-15, dan kriteria tinggi berikan untuk zona yang memiliki nilai gabungan kedua aspek berada pada interval antara 16-18.

Peta signifikansi budaya ini kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif untuk mengetahui keberlanjutan lanskap budaya kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, sehingga dapat diputuskan konsep revitaliasi yang tepat untuk setiap zona dalam upaya pelestarian lanskap budaya Perkampungan Budaya Betawi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Gambaran Umum Jakarta Selatan

Jakarta sebagai Ibukota Provinsi Daerah Khusus Jakarta sekaligus sebagai Ibukota Negara RI mempunyai visi, yaitu mewujudkan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang sejajar dengan kota-kota besar Negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkelanjutan.

Khusus untuk Kotamadya Jakarta Selatan sebagai bagian dari pengembangan visi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, mempunyai misi untuk mempertahankan wilayah bagian Selatan Jakarta sebagai daerah resapan air. Di wilayah Kodya Jakarta Selatan secara administrasi terdapat 10 kecamatan yang terdiri dari 65 kelurahan. Persebaran 65 kelurahan tersebut terbagi atas tujuh kelurahan di Kecamatan Tebet, delapan kelurahan di Kecamatan Setiabudi, lima kelurahan di Kecamatan Mampang Prapatan, sepuluh kelurahan di kecamatan Kebayoran Baru, lima kelurahan di kecamatan Cilandak, tujuh kelurahan di kecamatan Pasar Minggu, lima kelurahan di kecamatan Pesanggrahan, enam kelurahan di kecamatan Kebayoran Lama, enam kelurahan di kecamatan Pancoran, dan enam kelurahan di kecamatan Jagakarsa.

Wilayah studi berada di Kecamatan Jagakarsa, Kelurahan Srengseng Sawah kawasan Perkampungan Budaya Betawi.

(27)

Penduduk kawasan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) terdiri dari penduduk etnis Betawi dan penduduk pendatang dengan komposisi 50% penduduk etnis Betawi dan 50% penduduk pendatang.

Sejarah Kawasan Perkampungan Budaya Betawi

Perkampungan Budaya Betawi (PBB) merupakan embrio pusat kebudayaan Betawi, tempat dimana ditumbuhkembangkan keasrian alam, tradisi Betawi yang meliputi; keagamaan, kebudayaan, dan kesenian Betawi. Ide dan keinginan untuk membangun pusat kebudayaan Betwai sudah tercetus sejak tahun 1990-an. Pada tahun 1996-2001 oleh Badan Musyawarah Betawi (BAMUS BETAWI) keinginan ini dituangn dalam sebuah rancangan program rja yaitu “ Membangun Pusat Permpungan Budaya Betawi”.

Adanya desakan dari masyarakat Betawi yang amat kuat dan dengan dukungan tokoh-tokoh Betawi serta organisasi masyarakat Betawi di bawah Bamus Betawi sebagai pengayom seluruh aktivitas orgsnisasi dan yayasan masyarakat Betawi yang merasakan bahwa etnis mereka dirasakan kian hari kian terdesak dan semakin kehilangan identitasnya. Maka pada tahun 1998 Bamus Betawi mengaju proposal tentang “Pembangunan Permpungan Budaya Betawi” dengan alternatif lo di Setu Baban Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Perkampungan Budaya Betawi adalah program pembangunan Pemerintah provinsi DKI Jakarta (dedicated program Gubernur) dalam rangka memenuhi amanat UUD 1945 (Pasal 18 ayat 2 b) dan Undang-Undang No. 29 Tahun 2007 bab V Pasal 26 ayat 6, yang isinya “Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarat daerah lainnya yang ada di daerah Provinsi DKI Jarta”. Pada tahun 2000 Gubernur Provinsi DKI Jakarta Mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur No.92 Tahun 2000 tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Alasan ditetapkannya Setu Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi adalah sulitnya ditemukan apa yang dinamakan Perkampungan Budaya Betawi di DKI Jakarta, karena Condet yang sebelumnya ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi sudah berubah menjadi kawasan permukiman yang modern. Adapun tujuan penetapan Perkampungan Budaya Betawi berdasarkan Surat Keputusan tersebut adalah :

1. Berkembangnya lingkungan kehidupan komunitas Perkampungan Budaya Betawi di kawasan Situ Babakan dan Situ Mangga Bolong, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan;

2. Terlindungi dan terbinanya secara terus menerus tata kehidupan, seni budaya tradisional Betawi; dan

3. Berkembang dan termanfaatkannya potensi lingkungan guna kepentingan wisata budaya, wisata agro, wisata air dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial dan masyarakat.

(28)

Kondisi Fisik Kawasan Perkampungan Budaya Betawi.

Kawasan Perkampungan Budaya Betawi memiliki luas ± 165 Ha termasuk Situ Babakan dan Situ Mangga Bolong. Secara geofrafis Perkampungan Budaya Betawi terletak pada106°49’50”BT dan 6°20’23”LS. Secara Administratif termasuk dalam wilayah Kotamadya Jakarta Selatan, Kecamatan Jagakarsa, Kelurahan Srengseng Sawah. Batas fisik kawasan Perkampungan Budaya Betawi adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Jalan Moch. Kahfi II sampai Jalan Desa Putra Sebelah Selatan : Jalan Tanah Merah sampai Jalan Srengseng Sawah Sebelah Barat : Jalan Mochamad Kahfi II

Sebelah Timur : Jalan Desa Putra sampai Jalan Mangga Bolong Timut Pemanfaatan ruang (space) meliputi penggunaan tanah di sekitar tapak untuk pertanian buah-buahan. Namun saat ini sebagian dari masyarakat banyak memanfaatkan lahan kosong mereka untuk dijadikan rumah kontrak (jasa sewa rumah) sebagai usaha jasa, sehingga lahan hijau semakin berkurang.

Aksesibilitas dan Lokasi

Aksesibilitas ke lokasi dapat dicapai dari dua jalan utama melalui Pasar Minggu ke arah selatan masuk ke Jalan Raya Lenteng Agung, Jalan Moch Kahfi 2 dan Jalan Srengseng Sawah hingga sampai kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Untuk pencapaian dari arah selatan dicapai melalui Jalan Tanah Baru, Jalan Moch Kahfi 2 dan Jalan Setu Babakan hingga sampai kawasan Perkampungan Budaya Betawi.

Lokasi dikelilingi oleh 2 jalan utama yaitu, Jalan Moch. Kahfi 2 dan jalan Srengseng Sawah. Kedua jalan tersebut dilintasi oleh angkutan umum dan kendaraan pribadi, sehingga dapat dikatagorikan sebagai jalan dengan mobilitas tinggi. Lokasi kawasan terletak 5 km dari stasiun kereta api Lenteng Agung dan 5.5 km dari obyek wisata Kebun Binatang Ragunan. Jalan Raya Pasar Minggu dan Jalan Raya Lenteng Agung merupakan lintasan Kereta Rel Listrik (KRL) Jakarta– Bogor dan merupakan jalur akses utama menuju kawasan PBB. Jalan masuk menuju kawasan Perkampungan Budaya Betawi ditandai dengan adanya Pintu Bang Pitung (Gambar7a)

Jalan lokal pada kawasan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) didominasi oleh jalan lingkungan (Gambar 7b). Secara umum sirkulasi pada setiap RW sudah cukup memadai dengan kondisi lebar jalan bervariasi antara meter untuk jalan yang diaspal dan jalan yang belum diperkeras masih berupa tanah (alami) meter

a b

Gambar 7Aksesibiltas Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan (a) Pintu Masuk 1 Bang Pitung, (b) Jalan lingkungan di kawasan Perkampungan

(29)
(30)
(31)

Kependudukan Sosial dan Budaya

Keadaan kependudukan sosial ekonomi dan budaya, di dalam kawasan menggambarkan kehidupan masyarakat yang bermukim, terdiri atas penduduk asli dan pendatang dengan berbagai latar belakang etnis dan profesi yang beragam. Wilayah kelurahan Srengseng Sawah kecamatan Jagakarsa Kotamdya Jakarta Selatan, terbagi kedalam 19 RW dan 156 RT. Jumlah penduduk di kelurahan Srengseng Sawah pada tahun 2013 sebesar 59.235 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 6.747 jiwa/Km2. .

Pada tingkat Kampung Setu Babakan (Perkampungan Budaya Betawi) tahun 2013 jumlah penduduk mencapai 21.865 jiwa dan kurang lebih sekitar 50% (10.933 Jiwa) merupakan penduduk Betawi. Terbagi dalam 5 RW yaitu, RW 05, RW 06, RW 07, RW 08, dan RW 09. Jumlah penduduk pada tingkat RW Kampung Setu Babakan tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5Jumlah Penduduk tahun 2013 di Setu Babakan

Lokasi Jumlah

Penduduk (Jiwa) (%) Keterangan

RW 05 276 1.26 Hanya 1 RT yang masuk kedalam kawasan

RW 06 4.630 21.17

RW 07 4.735 21.65 Ada 1 RT lokasinya berada diluar batas kawasan

RW 08 5.743 26.26

RW 09 6.481 29.64

Jumlah 21.865 100.00

(Sumber: Kelurahan Srengseng Sawah,2013)

Jenis mata pencaharian penduduk di kawasan Perkampungan Budaya Betawi sangat beragam meliputi berbagai profesi seperti pegawai swasta, PNS, TNI/Polri, pedagang, buruh, jasa, wiraswata, petani kebun, pensiunan dan pengangguran. Komposisi jenis profesi dikawasan pada tingkat kelurahan Srengseng Sawah tersaji pada (Tabel 6)

Tabel 6 Komposisi Jenis Profesi di Kawasan Perkampungan Budaya Betawi

Jenis Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) (%)

Pegawai Negeri Sipil 2.081 9.11

Pegawai Swasta 8.108 35.51

TNI 3.093 13.55

(32)

pangkat, gaya hidup dan harta kekayaan. Sedangkan kyai dan orang-orang terpelajar mempunyai peranan penting bagi masyarakat Betawi dalam pengambilan keputusan yang bersifat inovatif, misalnya membantu mensukseskan program pembangunan di daerahnya.

Berbagai jenis kesenian yang ada (Lenong, Topeng Blantek dan Gambang Kromong) dan upacara adat (sunatan, nujuh bulan, upacara pengantin) masih dilakukan secara sadar oleh masyarakat setempat. Kegiatan home industryyang memiliki nilai keBetawian seperti pembuatan bir pletok, dodol betawi, penyewaan alat-alat kesenian Betawi, kerak telor dan pembuatan souvenir khas Betawi dapat ditemukan dibeberapa RW pada Perkampungan Budaya Betawi.

Iklim

Berdasarkan data iklim menurut BMKG (Badan Metereologi Geofisika) stasiun klimatologi Pondok Betung, Tanggerang pada tiga tahun terakhir yaitu tahun 2010 sampai 2012 (Tabel 7), rata-rata suhu udara terendah sebesar 33.00oC pada tahun 2011, dan rata-rata suhu udara tertinggi sebesar 35.40oC pada tahun 2012. Suhu udara terendah (minimum) sebesar 31.20 terjadi pada tahun 2011, dan suhu udara tertinggi (maksimum) sebesar 35.40 pada tahun 2012. Untuk curah hujan rata-rata terendah terjadi pada tahun 2011 sebesar 89.99 mm, rata-rata curah hujan tertinggi pada tahun 2010 sebesar 242.492 mm, dan curah hujan terendah (minimum) terjadi pada tahun 2012 sebesar 7.30 mm, curah hujan tertinggi (maksimum) pada tahun 2010 sebesar 518 mm.

Menurut Rafi’i (1995), terdapat tiga iteria iim berdasarn si tersebut menunjukkan bahwa kawasan Perkampungan Budaya Betawi tergolong dalam kriteria bulan basah.

Rata-rata kelembaban udara terendah sebesar 77% berada pada tahun 2011 dan tertinggi sebesar 82% pada tahun 2010. Kelembaban udara terendah (minimum) sebesar 69% pada tahun 2011, dan tertinggi (maksimum) 85% pada tahun 2010, 2011 dan 2012.

Tabel 7Data Iklim Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan

Parameter (Per Bulan) Nilai

(33)

Topografi

Keadaan topografi di kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan tergolong dalam kategori yang sedikit bergelombang dan agak rata, hal ini ditunjukan dengan kemiringan lereng yang mencapai 8-15% dengan ketinggian 25 m dpl (Wardiningsih, 2005). Permukiman di sebelah Barat terletak lebih tinggi dari permukaan jalan di sepanjang situ. Jalan di sepanjang situ relatif datar. Keadaan geologis Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan yang relatif datar menyebabkan banyaknya area permukiman di daerah ini. Ketinggian air tanah berada pada kisaran 3-6 m yang merata pada hampir seluruh daerah. Sebagian besar penduduk sekitar menggunakan sumber air tanah yang diperoleh dari sumur untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Tanah

Jenis tanah yang terdapat di kawasan Setu Babakan adalah asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit air tanah dengan bahan induk Tuf volkan intermedier. Tanah latosol tidak memperlihatkan pembentukan tanah yang baru dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Latosol bersifat asam, dengan kandungan bahan organik yang rendah sehingga kesuburan juga rendah. Tanah ini berstruktur granular dan drainasenya baik (Ayuputri, 2006).

Hidrologi

Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong merupakan sumber mata air di kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Terdiri dari empat mata air yang berasal dari sungai Pitara, Setu Mangga Bolong, dan Kali Baru Barat serta Kali cabang Tengah (Gambar 10). Berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta (2011) kondisi setu tergolong baik, meskipun tidak jarang ditemukan banyak sampah di sekitar danau. Setu masih tergolong alami, jernih, bersih, dan sebagian area setu ditumbuhi tanaman air. Setu Babakan ini aman dari pendangkalan atau erosi karena adanya tanggul berupa dinding di sepanjang setu. Fungsi dari perairan setu ini sebagai area rekreasi, menampung air hujan, resapan air, irigasi, penanggulangan banjir, tempat budi daya ikan tambak dan sarana olahraga air.

Wilayah Kelurahan Srengseng Sawah termasuk ke dalam DAS Sanggrahan yang berada di sebelah Barat Sungai Ciliwung. Sistem hidrologi Situ Babakan merupakan sistem terbuka dengan adanya inlet dan outelt air situ. Inlet Situ Babakan ada empat yaitu, dari Situ Mangga Bolong, Kali Baru, Kali Tengah, dan Situ ISTN (Institut Sains dan Teknologi), sedangkan outletnya menuju Sungai Ciliwung. Kondisi fisik Setu Babakan secara keseluruhan cukup baik dengan genangan 100% perkiraan volume air ±1.775.000 m3pada musim kemarau, dan ±2.025.000 m3pada musim hujan (Alam 2009).

(34)

Vegetasi

Setu Babakan dikelilingi oleh deretan pepohonan yang ditanam oleh Pemda DKI Jakarta. Vegetasi di Perkampungan Budaya Betawi terbagai menjadi tanaman kebun, tanaman pekarangan dan tanaman tepi jalan. Tanaman yang ditanam umumnya bersifat ekonomis untuk dijual/dipasarkan sebagai pemasukan tambahan bagi warga. Tanaman kebun yang juga terdapat di beberapa pekarangan penduduk Perkampungan Budaya Betawi yaitu, alpukat (Persea americana), belimbing (Averhoa carambola L), rambutan (Nephelium lappaceum L), melinjo (Gnetum gnemon ), pisang (Musa sp), pepaya (Carica papaya), kelapa (Cocos nucifera), singkong (Manihot esculenta Crantz), mengkudu (Morinda citrifolia), bambu (Bambusa sp). Tanaman alpukat merupakan tanaman yang saat ini sedang dibudidayakan di Perkampungan Budaya Betawi dan mempunyai nilai ekonomi penting.

Tanaman pekarangan yang terbagi lagi atas tanaman hias dan TOGA (tanamaan obat keluarga). Tanaman hias yang ditanam oleh penduduk yaitu, hanjuang (Cordyline), lidah mertua (Sanseviera intrifasciata), daun mangkokan (Neth pcscutellarium), soka (Ixora sp), kembang sepatu (Malvaviseus abarcus), mawar (Rose hybrida), dan lain-lain. Tanaman Obat Keluarga (TOGA) seperti jahe (Zingiber offcinale Rosc), kencur (Kaempferia galanga), secang (Caesalpinia sappan), cingcau (Cyclea barbara Miers),daun katuk (Sauropis anchoginus L), jarak (Jatropha multifida), kembang teleng (Clitoria tematea) serta kumis kucing (Orthociphor aristatus), daun dewa (Gynura segetum), dan lain-lainnya. Jahe menjadi tanaman yang mempunyai nilai ekonomi karena sebagai bahan baku pembuatan bir pletok (home industry).

Tanaman tepi jalan adalah tanaman yang tumbuh di sepanjang jalan Perkampungan Budaya Betawi, tanaman tersebut yaitu angsana (Pterocarpus indicus Wiil), flamboyan (Delonix regia), waru (Hibiscus tiliaceus L), mahoni (Swietenia mahagoni).Adapun vegetasi yang berada di pinggir Setu Babakan. Keberadaan vegetasi yang sengaja ditanam di pinggir danau ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya longsor dan mencegah aliran permukaan yang berlebihan akibat air hujan, selain itu keberadaan vegetasi di Setu Babakan juga sebagai kawasan yang diperuntukan Pemerintah sebagai ruang terbuka hijau yang ada di DKI Jakarta. Keberadaan vegetasi di sekitar danau selain sebagai peneduh juga sebagai sabuk hijau kawasan yang dapat mencegah hingga 50% terjadinya pengikisan tanah (Alam, 2009)

a b c

(35)

Satwa

Satwa yang hidup di Perkampungan Budaya Betawi merupakan satwa yangdapat dijumpai di mana-mana dan mempunyai penyebaran cukup luas. Tidak terdapat satwa endemik dan langka yang dilindungi undang-undang. Ekosistem perairan danau saat ini oleh sebagian besar masyarakat dimanfaatkan sebagai usaha pengembangan budidaya ikan. Budidaya ikan meliputi ikan nila (Tilapia nilstica), ikan mas (Cyprus carpio), ikan mujair (Oreochronus mossambtrucs), ikan tawes (Trichogaster sp), gurame (Oshpranemus gourame), dan lele (Clarias batraticus). Budidaya perikanan dilakukan dengan sistem Keramba Jaring Apung (Wardiningsih,2005)

Tata Guna Lahan

Tata guna lahan di kawasan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) dibedakan menjadi dua bagian, yaitu area tidak terbangun sebesar ± 39.06% (RTH, kebun campuran, tegalan, empang, setu/irigasi) dan area terbangun ± 58.50% (lahan permukiman, jasa industri, perdagangan, perkantoran, dam fasilitas umum). Luas dan presentase untuk masing-masing area penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 8.

Komponen Fisik

Komponen fisik merupakan komponen yang tampak secara fisik berupa suatu form (bentuk) konstruksi, struktur atau artefak fisik. Dalam penelitian ini yang ditemukan dalam bentuk komponen fisikberupa bangunan rumah dan pola permukiman. Artefak fisik berupa bangunan rumah tradisional Betawi dan pola permukiman yang berciri khas kan Betawi.

a b

Tabel 8Penggunaan Lahan di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan

Terbangun Tidak Terbangun

Jenispenggunaan Luas (Ha) (%) Jenis Penggunaan Luas (ha) (%)

Permukiman 366.10 54.26 Pertanian 61.00 9.04

Jalan Raya/Lingkungan 28.00 4.14 Pemakaman (RTH) 4.74 0.70

Fasilitas Umum 17.00 0.14 Setu/Irigasi 196.21 29.08

Lain-lain 1.63 0.24

Jumlah 411.10 58.50 Jumlah 263.58 39.06

Sumber : Kelurahan Srengseng Sawah (2013)

c

(36)

Bentuk Bangunan Rumah

Arsite suatu bangunan di n “tradisional” apabila penciptaan struktur dan konstruksi, pengaturan tata letak ruang, penggunaan ragam hias, dan cara pembuatan bangunan tersebut diwariskan secara turun temurun dalam suatu kebudayaan atau lokalitas tertentu. Selain itu, arsitektur bangunan dikatakan juga tradisional apabila fungsi yang dimilikinya adalah untuk mewadahi kegiatan-kegiatan maupun kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari kebudayaan tersebut.Dengan demikian arsitektur tradisional adalah bersifat khas (indigenous), yang hanya terdapat pada kebudayaan dan lokalitas tertentu.

Rumah tradisional Betawi dapat dibedakan berdasarkan bentuk atau model atapnya. Rumah Gudang, rumah Joglo, dan rumah Bapang/Kebaya. Rumah tradisional Betawi terdiri dari tiga ruang (ruang depan, tengah, dan belakang).

1. Rumah Gudang, berdenah empat persegi panjang

Rumah Gudang memiliki denah segi empat memanjang dari depan ke belakang dan atapnya berbentuk pelana. Denah rumah ini berkesan terbagi ke dalam dua kelompok ruang yaitu ruang depan dan ruang tengah (Gambar 12a). Ruang depan sering disebut serambi depan karena terbuka. Dahulu ruang depan berisi balai sedangkan sekarang umumnya berisi kursi dan meja tamu. Ruang tengah sering disebut juga ruang dalam rumah, dan merupakan bagian pokok dari rumah Betawi yang berisikan kamar tidur, ruamg makan, dan pendaringan (tempat untuk menyimpan barang-barang keluarga, benih padi, dan beras).Sedangkan ruang belakang merupakan tempat untuk memasak dan untuk menyimpan alat-alat pertanian dan kayu bakar. Ruang belakang dari rumah gudang nampaknya secara abstrak berbaur dengan ruang tengah dari rumah.

Di kawasan Perkampungan Budaya Betawi, banyak ditemui rumah bergaya arsitektur gudang terutama di wilayah RW 08 (Gambar 12b). Bagian depan rumah sebagai teras berisi meja dan kursi atau bale yang biasa digunakan warga untuk duduk-duduk atau menerima tamu.

2. Rumah Joglo Betawi, berdenah bujur sangkar

Rumah Joglo Betawi merupakan hasil pengaruh langsung dari arsitektur Jawa pada rumah tradisional Betawi. Pada umumnya rumah Joglo Betawi memiliki denah bujur sangkar, tetapi bagian yang sebenarnya membentuk rumah Joglo adalah suatu bagian empat persegi panjang yang

a b

(37)

salah satu garis panjangnya terdapat dari kiri ke kanan ruang depan (Gambar 13). Untuk ruang belakang, lebih jelas pembagiannya dibandingkan dengan ruang belakang pada rumah Gudang. Di dalam kawasan Perkampungan Budaya Betawi saat ini belum ditemukan adanya rumah warga dengan gaya arstitekur Joglo

3. Rumah Bapang/Kebaya, berdenah emapt persegi panjang

Letak rumah Bapang serupa dengan rumah Joglo yaitu memiliki tiga kelompok ruang : ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang (Gambar 14a). Pada umumnya, atap rumah bapang juga berbentuk pelana seperti pada rumah Gudang, namun bentuk pelana rumah Bapang tidak penuh (Gambar 14b).

Secara umum bentuk arsitektur bangunan rumah Betawi memiliki ciri yaitu terdapat lisplang yang disebut sebagai gigi balang (Gambar 15a). Lisplang ini diletakkan pada bagian atas/atap rumah. Pagar teras yang disebut langkan merupakan pembatas teras yang terbuat dari kayu dan menyerupai pagar, tetapi berada diluar teras (Gambar 15b). Jendela krepyak merupakan jendela yang terbuat dari kayu dengan pola garis-garis horisontal, bentuk dari jendela krepyak ini bervariasi, salah satunya berbentuk empat persegi panjang (Gambar 15c) dan setengah lingkaran. Sekor besi atau konsol yang berfungsi sebagai penahan dak (Gambar 15d)

Bagian depan rumah tradisional Betawi dihiasi dengan dekorasi khas Betawi, seperti jendela berdaun ganda dan bukaan jendela dengan pegangan yang dikenal dengan nama jendela bujang atau jendela Cina. Menurut Harun (1991), Jendela-jendela ini menunjukan pengaruh hukum

Gambar 14Rumah Bapang/Kebaya (a) Denah Rumah Bapang/Kebaya, (b) Rumah Bapang/kebaya yang di temukan di Lokasi Penelitian

(38)

Islam dimana perempuan tidak diperkenankan untuk melihat calon suaminya sebelum menikah. Akan tetapi, perempuan bisa diam-diam mengintip dari balik jendela bujang.

Ragam hias merupakan salah satu ungkapan arsitektural penting yang terdapat pada rumah tinggal tradisional Betawi. Pentingnya ragam hias di dalam arsitektur Betawi bukan saja karena penggunaannya yang terdapat pada hampir sebagian besar unsur bangunan rumah tinggal, tetapi juga karena keberadaannya jelas menunjukkan adanya pengaruh dari berbagai kebudayaan lain yang pernah berhubungan dengan Betawi. Ragam hias ini juga dapat menunjukkan kesan estetika pada rumah tradisional Betawi. Ragam hias diletakkan di atas jendela atau pintu, langkan (pagar rumah), dan lain-lain. Menurut Harun (1999), berdasarkan pola visual yang ditampilkannya terdapat ragam hias matahari, ragam hias flora, ragam hias baji, dan lain-lain. Dari pola ragam hias merefleksikan adanya pengaruh Cina, Arab, maupun Eropa.Gambar beberapa macam ragam hias dapat dilihat pada Gambar 16 dan ragam hias yang ditemukan di Perkampungan Budaya Betawi dapat dilihat pada Gambar 17.

Di Perkampungan Budaya Betawirumah-rumah dengan gaya arsitektural tradisional Betawi sudah tidak terlihat lagi secara utuh (100%) bahkan jarang ditemukan pada beberapa wilayah RW (Rukun Warga). Dari data yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan langsung di lapang, di RW 08 kurang dari 50% rumah penduduk dengan bentuk arsitektur tradisional Betawi. Beberapa rumah hanya menghadirkan nuansa Betawi seperti menggunakan lisplang gigi balang, langkan pada teras rumah, jendela krepyak, atau penggunaan ragam hias. Sedangakan pada wilayah RW lain yang juga menjadi tempat penelitian yaitu RW 07 dan RW 09 sudah semakin jarang ditemukan adanya bangunan (rumah tinggal) Gambar 15 Detail Arsitektur Rumah Betawi (a) Gigi Balang, (b) Langkan, (c)

Jendela Krepyak Empat Persegi Panjang, (d) Sekor Besi/Konsol

a b

(39)

Gambar 16 Beberapa Jenis Ragam Hias Sumber : Harun et al. 1999

bergaya arsitektural Betawi. Hanya rumah tokoh tertentu seperti ketua RT atau ketua RW yang menghadirkan ciri khas arsitektur Betawi pada rumahnya.

Adapun penyebab lain yaitu karena gaya hidup masyarakat kota yang semakin modern serta akibat dari perkembangan zaman sehingga tidak sedikit warga menginginkan rumah tinggal yang modern dengan gaya minimalis. Sebagian dari warga berpendapat rumah mereka akan terlihat kuno dan ketinggalan zaman jika bernuansa tradisional Betawi, ini merupakan bukti kurangnya pengetahuan warga akan pentingnya untuk tetap melestarikan nilai budaya khususnya Betawi.

Dalam mengatasi masalah ini, sebaiknya rumah-rumah yang bergaya modern (minimalis) tetap menghadirkan nuansa Betawi. Paling tidak pada penggunaan lisplang “gigi balang” yang semula terbuat dari !"yu dapat dirubah menjadi ukiran menyerupai ragam jenis gigi balang pada dinding

a b c

(40)

Pola Permukiman Betawi

Secara umum pola permukiman di Perkampungan Budaya Betawi dari tata

letak dan orientasi rumah berkembang secara individual. Rumah-rumah tidak berkembang secara komunal (mempunyai orientasai tertentu),

sehingga terkesan tidak teratur (menyebar). Letak rumah dapat dikatakan tidak memiliki arah mata angin maupun orientasi tertentu dalam perletakannya. Tidak ada suatu kepercayaan tertentu yang harus diikuti dalam menetapkan ke arah mata angin mana suatu rumah harus meghadap. Orientasi atau arah mata angin rumah lebih ditentukan oleh alasan-alasan praktis seperti bentuk dan orientasi pekarangannya atau aksesibilitas (kemudahan mencapai jalan). Menurut Sitepu (1992), pola permukiman yang tidak teratur adalah ciri dari pola permukiman “Betawi Pinggir”, Setu Baba#$n termasu#% $lam #elompo# tersebut.

Rumah-rumah penduduk pada umumnya terlihat mengelompok dengan jarak yang bervariasi (tidak tentu). Diantara rumah-rumah penduduk terdapat ruang terbuka hijau berupa kebun buah atau pekarangan yang difungsikan untuk Tanaman Obat Keluarga (TOGA) atau lahan kosong milik penduduk setempat.

Pola permukiman di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan terdiri dari dua karakter, yaitu pola permukiman bagian luar yang dekat atau menempel dengan badan jalan dan pola permukiman bagian dalam yang menghadap pekarangan atau kebun atau jalan lingkungan (Gambar 18). Pola permukiman bagian luar dekat jalan utama di Perkampungan Budaya Betawi memiliki ciri orientasi rumah yang pada umumnya menghadap ke jalan utama dan membelakangi pekarangan. Rumah-rumah berjajar sepanjang jalan utama dengan jarak saling berjauhan, namun ada juga yang berdekatan (menempel), rumah dibatasi oleh pagar tanaman, atau bahkan dibatasi oleh pohon, untuk beberapa rumah yang sudah modern dibatasi oleh pagar besi dan dinding bata. Pola permukiman bagian dalam memiliki ciri rumah menghadap pekarangan atau kebun atau jalan lingkungan. Rumah-rumah berjajar sepanjang jalan lingkungan atau dengan pola terpencar dan ditengah kebun. Kondisi lebar jalan sangat bervariasi antara 3 meter, 2 meter, atau hanya berupa jalan setapak yang di kenal dengan sebutan gang senggol. Pada pola permukiman bagian dalam biasanya juga terdapat rumah yang disewakan (kontrakan). Penduduk yang memiliki lahan kosong memanfaatkan lahan tersebut untuk dibuat rumah sewa, sehingga rumah-rumah tersebut mengelompok dengan letak saling berdekatan satu sama lain sehingga terlihat sangat padat. Batas pekarangan dibatasi oleh pagar tanaman atau “pagar jaro” (bambu) atau pagar besi.

a b

(41)

Pola permukiman Bagian luar dan dalam umumnya terdapat disetiap wilayah RW 07, RW 08 dan RW 09. Pola Permukiman di RW 08 hampir seluruhnya menunjukkan pola permukiman bagian dalam. Rumah-rumah berjajar sepanjang jalan lingkungan dan menghadap kebun. Berbeda dengan pola permukiman di wilayah RW 07 dan 09, di wilayah ini hampir seluruhnya konfigurasi bangunannya menunjukan pola permukiman bagian luar walaupun ada sebagian di wilayah RW 09 pola permukimannya Hinterland (bagian dalam). Rumah-Rumah di wilayah RW 07 dan 09 letaknya menempel dengan badan jalan utama.

Saat ini perubahan pola permukiman tidak dapat dihindari, terutama rumah-rumah pada bagian luar (rumah-rumah-rumah-rumah yang berjajar atau menghadap ke jalan utama dan jalan lingkungan). Sedangkan pada bagian dalam hanya sebagian kecil saja rumah-rumah yang masih mempunyai pola mengelompok dengan rumah menghadap ruang terbuka/kebun. Seiring dengan berjalanya waktu terjadi perubahan dari pola permukiman tradisional ke pola tanpa pekarangan yang cenderung tidak memiliki pekarangan yang cukup luas, terutama untuk pola bagian luar. Sedangkan untuk pola bagian dalam masih beberapa rumah yang memiliki pekarangan. Peningkatan densitas (keragaman) permukiman saat ini, harus ditekan untuk menghindari perubahan karakter kawasan. Perubahan tersebut terjadi akibat dari berbagai faktor kebutuhan ekonomi.

Komponen Non Fisik

Komponen non fisikmerupakan komponen yang tidak tampak secara fisik berupa kegiatan atau kebiasaan yang dilakukan masyarakat Betawi di Perkampungan Budaya Betawi. Dalam penelitian ini yang ditemukan dalam bentuk komponen non fisikyaitu fungsi keteritorialan yang terjadi didalam kampung, kegiatan ekonomi dan kegiatan kebudayaan yang dilakukan masyarakat.

Fungsi Keteritorialan

Menurut Porteous (1977), suatu unit teritorial atau daerah kekuasaan seseorang memiliki fungsi fisiologi yaitu keamanan, identitas dan stimulasi (kebanggaan) yang disebut home base (tempat tinggal). Home Base merupakan teritorial manusia di skala ruang menengah (mesospace). Fungsi keteritorialan merujuk pada kebutuhan dasar manusia yaitu, kebutuhan akan identitas, kebutuhan akan keamanan dan stimulasi. Di Perkampungan Budaya Betawi fungsi keteritorialan yang terjadi meliputi identitas berupa penandaan (marking) dari setiap wilayah RW, bagaimana bentuk atau sistem keamanan sehingga penduduk merasa nyaman atau betah (be home) serta fungsi stimulasi antar warga didalam kampung.

Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner terhadap 30 responden yang tersebar merata di tiga unit wilayah RW (RW 07, RW 08, dan RW 09) mereka merasa nyaman terhadap fungsi keteritorialan di wilayah tempat tinggalnya. Kebutuhan Identitas (Personalisasi)

(42)

merupakan pencerminan kebebasan pribadi dan dapat dilakukan dengan bermacam cara (Porteous, 1977). Kebutuhan identitas berkaitan dengan kebutuhan akan kepemilikan yang dalam hal ini yaitu berupa personalisasi/penandaan (marking) kampung. Personalisasi merupakan perilaku atau mekanisme penandaan dalam skala teritorial home base.

Bentuk personalisasi yang dilakukan oleh warga dalam tiap wilayah teritorialnya berbeda-beda. Di RW 08 sebagian dari warganya membuat rumah tinggal mereka bernuansa khas kan Betawi. Selain tipe arsitektur rumah Betawi, terdapat gerbang masuk Perkampungan Budaya Betawi di wilayah RW 08 ini yang di&'(al dengan sebutan “Gerbang si Pitung”. Bentu& personalisasi (penandaan) yang dilakukan oleh RW 07 berupa penomoran rumah. Ide membuat nomor rumah dengan disertai gambar ondel-ondel ini dicetuskan oleh salah satu ketua RT di RW 07. Selain nomor rumah, di RW 07 juga terdapat Masjid dengan tipe arsitektur Betawi yang menjadi kebanggan warga yaitu masjid Baitul Makmur. Masjid ini merupakan Masjid terbaik se-Jakarta Selatan. Bentuk personalisasi yang dilakukan warga pada RW 09 yaitu berupa penanaman TOGA (Tanaman Obat Keluarga) disalah satu lahan kosong milik warga. Selain itu, hampir di setiap pekarangan milik warga diwilayah RW 09 ditanami Alpukat (Persea americana). Alpukat Cipedak merupakan tanaman khas RW 09 dan menjadi kebanggan bagi warganya.

.

a b c

d e f

Gambar 19Bentuk Personalisasi di Setiap RW (a) Desain Arsitektur Rumah Betawi pada RW 08 , (b) Gerbang “Si Pitung” pada RW 08, (c) Masjid dengan arsite&) *+

(43)

Bentuk Stimulasi

Stimulasi merupakan sebuah bentuk hubungan ketetanggaan dalam suatu wilayah dan suatu bentuk kebanggaan seseorang terhadap wilayahnya (teritorinya). Bentuk stimulasi yang ditemukan di kawasan Perkampungan Budaya Betawi seperti gotong royong membersihkan kampung, arisan, dan pengajian.

Bentuk kebanggaan warga yang ditemukan di kawasan Perkampungan Budaya Betawi sangat terlihat ketika sedang diselenggarakannya sebuah acara yang rutin diada,-n setiap tahun di ,-ntor pengelola yaitu “Gebyar Betawi”. Warga ditiap RW berlomba-lomba menunjukan kreatifitasnya dalam bidang home industry berbasis budaya Betawi (Gambar 20).

Kebutuhan Keamanan

Guhl (1965) dalam Porteous (1977) menjelaskan bahwa keamanan dari unsur luar merupakan yang terpenting dalam suatu teritorial tempat tinggal karena digunakan sebagai tempat untuk tidur dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Rumah merupakan sarana pengamanan bagi diri manusia, memberi ketentraman hidup dan tempat kegiatan berbudaya. Upaya mendapatkan keamanan dapat dilakukan pada pintu masuk. Pertahanan dilakukan dengan memasang pagar, dinding, portal atau dengan menggunakan penjaga keamanan (hansip).

Gambar 21Bentuk Keamanan yang Terdapat di Setiap Wilayah RW (a) Menggunakan Langkan, (b) Menggunakann Pagar Jaro, (c) Menggunakan Pagar

Besi, (d) menggunakan Barrier Tanaman

Gambar 20Acara “Gebyar Betawi” Memperlihat,-n Bentu,.ebanggaan (Stimulasi) warga terhadap RWnya/wilayahnya (a) Jajaran Stand tiap RW (b)

Stand Milik RW 09 Menjadi Stand Terbaik

a b

c d

(44)

Pada kawasan Perkampungan Budaya Betawi bentuk keamanan yang ada sangat beragam dan berbeda-beda di setiap wilayah RW. Penggunaan pagar Jaro (terbuat dari kayu atau bambu), langkan, dan barrier tanaman berupa perdu atau semak banyak diterapkan di wilayah RW 08. Bahkan ada pula rumah warga yang dibiarkan tanpa pengamanan, umumnya ditemukan pada permukiman bagian dalam dimana pola permukimannya menyebar dengan jarak yang berdekatansehingga dapat memberikan fungsi keamanan tersendiri. Bentuk keamanan yang terdapat di wilayah RW 09 umumnya tidak jauh berbeda dengan RW 08. Hanya saja untuk wilayah RW 09 sudah banyak terdapat rumah bergaya modern, sehingga sudah tidak menggunakan pagar jaro lagi melainkan dengan dinding batu atau pagar besi.Di wilayah RW 07 bentuk keamanan sudah sangat modern, seluruh rumah warga menggunakan pagar besi, sudah tidak ditemukan lagi bentuk keamanan berupa pagar jaro atau dengan menggunakan barrier tanaman perdu atau semak. Penggunaan penjaga keamanan lingkungan seperti Hansip, ditemukan disetiap wilayah RW 08,07, dan 09. Disediakannya fasilitas berupa pos hansip di setiap RW oleh Pemerintah tingkat Kelurahan Srengseng Sawah. Adanya bentuk keamanan di setiap wilayah RW ini menjadikan warga merasa nyaman tinggal di daerah teritorinya.

Kegiatan Kebudayaan

Aktivitas budaya dan kesenian Betawi secara umum masih dilakukan secara utuh dan sadar oleh masyarakat Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan terutama pada RW 08 (mayoritas penduduk asli Betawi). Sedangkan pada RW 07 dan 09 sudah jarang melakukanya. Aktivitas budaya yang masih dilakukan meliputi :

1. Aktivitas yang berkaitan dengan adat istiadat dan tata cara hidup (mengaji, tamat Qur’an, nguba/0mpang, /erja ba/12)

2. Aktivitas yang berkaitan dengan lingkar kehidupan manusia (upacara pengantin, nujuh bulan, akekah, cukur rambut, sunatan)

3. Upacara yang berkaitan dengan keagamaan (mengaji, Idul Fitri, Idul Adha, Nisfu Syaban, Maulid Nabi, Kematian)

Kegiatan kebudayaan yang berkaitan dengan adat istiadat dan tata cara hidup seperti mengaji, tamat Qur’an, ngubak empang dan kerja bakti. Karena kebudayaan Betawi sangat bernafaskan agama Islam, maka mengaji dan tamat Qur’an menjadi sebuah a/12vitas adat istiadat bagi masyara/at Betawi. Kegiatan Mengaji sehabis ibadah Shalat Maghrib menjadi kegiatan yang rutin dilakukan oleh sebagian besar anak-anak atau remaja di setiap RW Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.Kegiatan mengaji ini diadakan di masjid atau mushalla atau disalah satu rumah warga yang menjadi guru mengaji. Kegiatan ngubak empang dilakukan oleh warga di RW 09, kegiatan ini rutin dilakukan satu bulan sekali. Ngubak empang ini bertujuan untuk menangkap ikan yang kemudian dijual atau dimasak oleh warga.

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 4Pola permukiman Betawi di bagian dalam (hinterland) Sumber : Harun et al.1999
Tabel 1Jenis dan Bentuk Data
Tabel 3 Penilaian Keaslian (Originality) Lanskap Budaya Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... Kondisi Fisik Daerah Penelitian ... Letak dan Luas ... Penggunaan Lahan ... Kondisi Sosial Daerah Penelitian ... Jumlah dan

Pola pertumbuhan berat badan, tinggi badan, panjang duduk serta lingkar lengan anak laki-laki dan anak perempuan usia 1 sampai 5 tahun di Perkampungan Budaya

Bab Keempat merupakan substansi dari penelitian (skripsi) ini, dalam bab ini dipaparkan tentang analisis terhadap pelaksanaan kewarisan betawi srengseng sawah1. Dimulai mengenai

PARTISIPASI MASYARAKAT PENDATANG DALAM MELESTARIKAN RUMAH TRADISIONAL BETAWI (Studi Deskriptif pada Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan,.. Kelurahan

Konsep dasar Perencanaan dan perancangan kawasan waterfront Situ Babakan adalah menciptakan suatu kawasan edukatif dan rekreatif, meningkatkan kualitas situ dan bantarannya

Secara keseluruhan melalui kajian agensi dan reproduksi budaya melalui ranah social menurut Pierre Bourdieu, maka dapat disimpulkan bahwa Perkampungan Budaya Betawi (PBB)

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pemerhati budaya Betawi serta sepuluh pasangan pengantin Betawi yang berada di wilayah Setu Babakan dapat diuraikan sebagai berikut: Hasil