• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Pasca Reklaim terhadap Kesejahteraan Petani Di Desa Sukamukti Garut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Pasca Reklaim terhadap Kesejahteraan Petani Di Desa Sukamukti Garut"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

ERLISA SARASWATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Dampak Pasca Reklaim Terhadap Kesejahteraan Petani Di Desa Sukamukti Garut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

Erlisa Saraswati

(3)

ABSTRAK

ERLISA SARASWATI. Dampak Pasca Reklaim Terhadap Kesejahteraan Petani Di Desa Sukamukti Garut. Dibawah bimbingan ENDRIATMOSOETARTO

Perlawanan petani muncul akibat adanya ketimpangan struktur agraria di pedesaan. Salah satu bentuk perlawanan petani adalah dengan melancarkan aksi reklaim lahan di tanah-tanah terlantar Eks-HGU perusahaan. Hal tersebut sejalan dengan kasus reklaim lahan Eks-HGU PTPN VIII Dayeuh Manggung yang dilakukan oleh para petani di Organisasi Tani Lokal (OTL) Sukamukti, Garut. Penelitian ini berfokus pada bagaimana pengorganisasian aksi reklaim berpengaruh pada tatanan kondisi sosial-ekonomi masyarakat pasca reklaim. Tatanan kondisi sosial ekonomi pasca reklaimtersebut meliputi redistribusi lahan, kelembagaan penataan produk serta pembangunan sarana dan prasarana dasar. Penelitian ini menguji hubungan antara tatanan kondisi sosial-ekonomi pasca reklaim dengan tingkat kesejahteraan petani yang dilihat dari dua aspek yakni subjektif dan objektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi sosial-ekonomi pasca reklaim memiliki hubungan yang sangat kuat dengan tingkat kesejahteraan subjektif petani, dan juga mempunyai hubungan yang cukup kuat dengan tingkat kesejahteraan objektif petani di OTL Sukamukti.

Kata kunci : perlawanan petani, aksi reklaim, kondisi sosial ekonomi pasca reklaim, kesejahteraan subjektif, kesejahteraan objektif

ABSTRACT

ERLISA SARASWATI. The Impacts Of Post-Reclaiming Against The Welfare Of Peasants In Sukamukti Garut. Supervised by ENDRIATMOSOETARTO

Peasant resistance arise as a result of agrarian structures of inequality in rural areas. One form of the peasant resistance is the staged re-claiming land on displaced lands in the land ex-HGU company. This is consistent with the case of re-claiming land ex-HGU PTPN VIII Dayeuh Manggung performed by the peasant at the Local Farmer Organizations (OTL) Sukamukti, Garut. This study focuses on how the organization of reclaim influent the new socio-economic conditions society post claiming. The socio-economic conditions of post re-claiming include land redistribution, the institutional arrangement of the products and the development of basic infrastructure.This study examined the relationship between the order of the new socio-economic conditions of post reclaiming with the level of welfare of farmers which seen from the two aspects of subjective and objective. The results showed that the new socio-economic conditions of post reclaiming have a very strong relationship with the level of subjective well-being of peasant, and also has a strong relationship with the objective welfare of peasant in OTL Sukamukti.

(4)

DAMPAK PASCA REKLAIM TERHADAP KESEJAHTERAAN

PETANI DI DESA SUKAMUKTI GARUT

ERLISA SARASWATI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(5)

Judul Skripsi : Dampak Pasca Reklaim terhadap Kesejahteraan Petani Di Desa Sukamukti Garut

Nama : Erlisa Saraswati

NIM : I34100148

Disetujui oleh

Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA Pembimbing

Diketahui

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Dampak Pasca Reklaim Terhadap Kesejahteraan Petani di Desa Sukamukti Garut dengan baik. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini mengangkat tema agraria dengan lokasi penelitian di Desa Sukamukti, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA. selaku pembimbing skripsi. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada kedua orang tua tersayang, Bapak Syafril dan Ibu Erniwati, serta kedua saudara (Kakak dan Adik) penulis yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan doa untuk penulis. Selain itu, penulis juga sampaikan terima kasih kepada seluruh teman terutama kepada teman-teman SKPM angkatan 47 sebagai teman-teman yang membantu, memberi semangat, dan memotivasi penulis dalam proses penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada seluruh keluarga besar Serikat Petani Pasundan (SPP) Garut, terutama para warga dan responden di Organisasi Tani Lokal (OTL) Sukamukti, serta seluruh adik-adik di SMP Plus Al-Bayan. Terimakasih karena telah memberikan pelajaran dan pengalaman luar biasa kepada penulis selama masa penelitian skripsi ini. Terimakasih juga tidak lupa penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang tak bisa disebutkan satu per satu atas bantuan dan dukungannya.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2014

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Kegunaan Penelitian 4

PENDEKATAN TEORITIS 7

Tinjauan Pustaka 7

Petani Beragam Konsep 7

Gerakan Perlawanan Petani 9

Aksi Reklaim 11

Tahapan Reklaim 12

Kesejahteraan Petani 13

Kerangka Pemikiran 15

Hipotesis Penelitian 16

Definisi Konseptual 17

Definisi Operasional 17

PENDEKATAN LAPANGAN 23

Metode Penelitian 23

Lokasi dan Waktu Penelitian 23

Teknik Pengambilan Informan dan Responden 24

Teknik Pengumpulan Data 25

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 26

ARENA GERAKAN PERLAWANAN DAN ORGANISASI PETANI 29

Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan Desa Sukamukti 29

Keadaan Penduduk Desa Sukamukti 31

Karakteristik Responden 32

Sekilas Tentang Serikat Petani Pasundan (SPP) 35

Sekilas Tentang Organisasi Tani Lokal Sukamukti 39

KEMUNCULAN GERAKAN PETANI DAN AKSI REKLAIM 41

Sejarah Perkebunan di Tatar Pasundan 41

Sejarah Lahan Garapan di Desa Sukamukti 42

Munculnya Gerakan Perlawanan Petani 43

Pengorganisasian Aksi Reklaim 46

Ikhtisar 49

KONDISI BARU SOSIAL EKONOMI PASCA REKLAIM 51

Redistribusi Lahan 52

(8)

Pembangunan Sarana dan Prasarana Dasar 58

Ikhtisar 62

DAMPAK PASCA REKLAIM TERHADAP TINGKAT

KESEJAHTERAAN PETANI 63

Perubahan Kesejahteraan Petani Pasca Reklaim di OTL Sukamukti 63 Dampak Kondisi Sosial Ekonomi Pasca Reklaim Terhadap Kesejahteraan

Subjektif Petani di OTL Sukamukti 69

Dampak Kondisi Sosial Ekonomi Pasca Reklaim Terhadap Kesejahteraan

Objektif Petani di OTL Sukamukti 71

Ikhtisar 74

PENUTUP 75

Simpulan 75

Saran 76

DAFTAR PUSTAKA 77

LAMPIRAN 79

(9)

DAFTAR TABEL

1 Variabel dan indikator kondisi baru sosial ekonomi pascareklaim 16

2 Variabel dan indikator kesejahteraan subjektif 17

3 Variabel dan indikator kesejahteraan objektif 18

4 Luas wilayah Desa Sukamukti berdasarkan pembagian luas lahan di

Desa Sukamukti, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, tahun 2014 28 5 Luas wilayah Desa Sukamukti berdasarkan, tataguna tanah di Desa

Sukamukti, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, tahun 2014 28

6 Kronologis kasus tanah di Desa Sukamukti 46

7 Jumlah persentase responden berdasarkan hasil jawaban variabel

redistribusi lahan 51

8 Data kepemilikan lahan garapan anggota OTL Sukamukti 53 9 Jumlah presentase responden berdasarkan hasil jawaban variabel

kelembagaan penataan produksi 55

10 Jumlah presentase responden berdasarkan hasil jawaban variabel

pembangunan sarana dan prasarana dasar 58

11 Jumlah dan presentase perbandingan kesejahteraan subjektif anggota

OTL Sukamukti pra dan pasca reklaimtahun 2014 63

12 Jumlah dan presentase perbandingan kesejahteraan objektif anggota

OTL Sukamukti pra dan pasca reklaim tahun 2014 67

13 Jumlah dan persentase responden petani OTL Sukamukti menurut kondisi sosial ekonomi pasca reklaim dan tingkat kesejahteraan

subjektif tahun 2014 69

14 Jumlah dan persentase responden petani OTL Sukamukti menurut kondisi sosial ekonomi pasca reklaim dan tingkat kesejahteraan objektif

tahun 2014 71

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 15

2 Jadwal penelitian 22

3 Kondisi geografis Desa Sukamukti 27

4 Jumlah penduduk Desa Sukamukti menurut jenis kelamin tahun 2014 29

5 Mata pencaharian penduduk Desa Sukamukti tahun 2014 29

6 Luas lahan garapan responden 30

7 Jenis kelamin responden 31

8 Tingkat pendidikan responden 31

9 Usia responden 32

10 Struktur organisasi SPP 35

11 Susunan kepengurusan OTL Sukamukti tahun 2014 36

12 Kondisi redistribusi lahan menurut responden di OTL Sukamukti tahun

2014 49

13 Kondisi redistribusi lahan menurut responden di OTL Sukamukti tahun

2014 50

14 Kondisi kelembagaan penataan produksi menurut responden di OTL

(10)

15 Kondisi pembangunan sarana dan prasarana dasar menurut responden di

OTL Sukamukti tahun 2014 57

16 Jumlah responden berdasarkan variabel tingkat kesejahteraan subjektif

pra dan pasca reklaim 62

17 Jumlah responden berdasarkan variabel tingkat kesejahteraan objektif pra

dan pasca reklaim 65

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pengolahan data SPSS 80

2 Peta Desa Sukamukti 83

3 Panduan pengumpulan data 84

4 Kerangka sampling (sampling frame) 85

5 Kuesioner penelitian 88

6 Panduan wawancara mendalam 95

(11)

PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian serta kegunaan penelitian bagi berbagai pihak yang terkait. Pertanyaan umum penelitian (General Research Question) disampaikan pada akhir alinea sub bab latar belakang. Lalu, pada sub bab rumusan masalah dipaparkan tiga butir pertanyaan penelitian yang lebih spesifik (Specific Research Questions).

Latar Belakang

Bagi negara agraris seperti Indonesia, soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk ini, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya (Tauchid,1952). Oleh karena itu, jaminan tenurial security atau perlindungan atas kepastian dan keberlangsungan penguasaan rakyat atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menjadi keharusan tersendiri. Amanat konstitusi kita secara tegas menyatakan keharusan menjadikan tanah dan kekayaan alam yang dikandungnya sebagai sumber bagi “sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 UUD 1945)1 .

Di negara-negara berkembang yang berlatar-belakang agraris seperti di Indonesia, seringkali ditemukan adanya struktur penguasaan tanah yang timpang. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada sekelompok besar manusia yang hanya memiliki sedikit tanah atau sama sekali tidak mempunyainya. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di Indonesia khususnya menjadi salah satu sumber utama destabilisasi politik.

Ada periode penting yang sejak awal disadari oleh Pemerintah Indonesia bahwa tanah adalah hal yang krusial bagi penghidupan manusia sehingga harus didistribusikan secara adil. Periode ini yaitu semasa pemerintahan Soekarno saat dilahirkannya UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria, disingkat UUPA). Orientasi pemerintah Soekarno pada periode itu cukup jelas dimana redistribusi tanah secara adil terlebih program land reform harus dilakukan agar kesejahteraan rakyat bisa

1

Undang-Undang Tahun 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi; Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

2

Dapat diakses pada http://kbbi.web.id/

3

Dep. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. 2010. Petani: Beragam Konsep. [PPT.]. Bogor [ID]: SKPM IPB. Format/Ukuran: Ppt/1.04 Mb.

4

(12)

terwujud secara merata. Sayang sekali, periode krusial ini hanya berjalan sebentar karena pada tahun 1967 saat ketika pemerintah Orde Baru berdiri orientasi politiknya berbalik 180 derajat. Program pembangunan pemerintah Orde baru diarahkan kepada ekonomi pro-pasar dengan kebijakannya yang kapitalistik, atau dengan kata lain sangat menyandarkan pembangunan pada investasi. Wajar jika pada gilirannya konflik tanah (agraria) merebak di berbagai daerah di Indonesia.

Runtuhnya rezim Orde Baru menjelang akhir dasawarsa 90-an menjadi sebuah titik balik yang menyuburkan bangkitnya gerakan organisasi sipil di berbagai sektor yang meliputi kelompok buruh, petani dan nelayan yang selama ini diam karena tekanan otoritarianisme pemerintah di era tersebut. Masyarakat sipil khususnya petani di berbagai daerah di Indonesia mulai melakukan perlawanan. Seperti dikemukakan Hartoyo (2010) dalam disertasinya, gerakan petani kemudian terjadi di mana-mana menuntut keadilan dan demokrasi agraria. Ke atas mereka gencar mendesakkan tuntutan-tuntutannya, dan ke bawah melakukan aksi-aksi reklaim. Sebagian besar analis menilai bahwa maraknya gerakan petani awal-awal reformasi sebagai kelanjutan atau efek dari gerakan pro-demokrasi yang dimainkan oleh segenap elemen masyarakat sipil dalam menumbangkan otoriterianisme negara Orde Baru. Scott (1981) mengungkapkan pemberontakan petani merupakan respon niscaya untuk mengembalikan tatanan moral yang diporak-porandakan oleh penetrasi kapitalisme. Perlawanan petani dalam merebut hak akses lahan dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dan strategi.

Salah satu strategi untuk mendapatkan kembali hak atas tanah petani dengan melancarkan reklaim. Reklaim sebagai bentuk perlawanan (resistensi) merupakan manifestasi dari akumulasi kompleksitas persoalan seperti kemiskinan, perampokan atas tanah, dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh pengusaha (pemodal) dan penguasa (pemerintah) terhadap petani (Fermata, 2006). Aksi reklaim ini di Indonesia antara lain merebak di wilayah Priangan, Jawa Barat dengan berdirinya Serikat Petani Pasundan (SPP). SPP merupakan sebuah organisasi massa petani yang berbentuk serikat yang beranggotakan para petani di tingkat Organisasi Tani Lokal (OTL) di desa-desa di wilayah Kabupaten Garut, Ciamis dan Tasikmalaya, Jawa Barat (Aji, 2005). Aksi reklaim tersebut merupakan salah satu kewajiban anggota SPP (Serikat Petani Pasundan) setelah bergabung dengan OTL (Organisasi Tani Lokal) setempat.

(13)

mengarah pada konflik dan fragmentasi. Terjadi deformasi antar kelompok aktor gerakan, terjadi decoupling antara persoalan substantif kelompok petani dan individu aktor elit, dan yang arkhirnya memberi pengaruh atas stagnannya gerakan agrarian.

Oleh karena hal tersebut, perlu adanya upaya lanjutan pasca reklaim yang dilakukan petani sebagai jalan untuk mempertahankan hidup dan peningkatan kesejahteraan. Penguatan organisasi tani sebagai modal gerakan Reforma Agraria, tidak hanya sebatas peningkatan jumlah anggota atau kuantitas, akan tetapi kualitas organisasi juga harus lebih ditingkatkan. Peningkatan pendapatan petani merupakan kunci utama menuju peningkatan kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan antara lain ditempuh melalui peningkatan produktivitas usaha tani dan intensitas tanam disertai dengan peningkatan akses petani ke pasar input dan output yang efisien (Munawar, 2010).

Salah satu contoh upaya reklaim yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat yang tergabung dalam organisasi tani lokal (OTL) Sukamukti, Desa Sukamukti, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut ini cukup menarik perhatian peneliti. Desa Sukamukti merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut yang harus menghadapi konflik dengan pihak perkebunan PTPN VII Dayeuh Mangung. Aksi reklaim yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sukamukti diduga akan mempunyai pengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi pasca reklaim. Selanjutnya kondisi sosial ekonomi pasca reklaim ini akan memiliki dampak pada tingkat kesejahteraan petani dalam aspek subjektif dan objektif di desa tersebut. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin melihat bagaimana dampak pasca reklaimterhadap tingkat kesejahteraan petani di Desa Sukamukti, Garut.

Rumusan Masalah

Ketidakadilan dan ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah yang terjadi di Indonesia disadari atau tidak merupakan faktor utama terjadinya konflik agraria yang terjadi selama ini. Sebagian besar rakyat miskin di pedesaan menguasai sejumlah kecil lahan pertanian yang ada sedangkan sisanya lahan-lahan yang luas dikuasai oleh para pemegang modal baik oleh pihak swata maupun pemerintah. Tidak jarang dalam praktik perluasaan kepentingan wilayahnya pihak pemerintah maupun swasta ini pun mengambil tanah-tanah milik warga. Warga yang menjadi pihak yang lemah pun harus rela tanahnya diambil demi kepentingan pemilik modal. Hal itu terjadi pada kasus di desa Sukamukti Garut berupa konflik perebutan lahan antara petani dan institusi PTPN VIII Dayeuh Manggung. Konflik yang terus menerus berlangsung ini pada gilirannya menimbulkan semangat perlawanan di kalangan warga. Warga yang merasa terusir dari tanahnya ini pun melakukan perlawanan dalam berbagai cara salah satunya dengan melakukan pengambilalihan hak atas tanah. Atas uraian tersebut diatas dapat diajukan pertanyaan, apa dan bagaimana kemunculan aksi perlawanan petani di Desa Sukamukti dalam upaya reklaim tanah?

(14)

mereka baik secara positif maupun negatif. Namun dalam kondisi ideal, reklaim yang berakar dari bawah melalui OTL Sukamukti tersebut seharusnya mampu membawa perbaikan khususnya terhadap struktur maupun kondisi penghidupan para anggotanya. Dalam hal ini perbaikan tersebut mencakup struktur penguasaan lahan (melalui redistribusi), penataan produksi, pembangunan sarana dan prasarana dasar dll. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan, apa dan bagaimana dampak reklaim OTL Sukamukti terhadap kondisi sosial ekonomi (redistribusi lahan, penataan produksi, pembangunan sarana dan prasarana dasar)diDesa Sukamukti Garut?

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, berbagai dampak dapat muncul pasca reklaim terlaksana. Namun pada intinya dampak yang ditimbulkan seharusnya juga dapat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya kondisi dimana masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasarnya yang berkenaan dengan sandang, papan dan pangan. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan untuk mengetahui sejauh mana kondisi sosial ekonomi pasca reklaim tersebut berpengaruh terhadap kesejahteraan petani di Desa Sukamukti Garut?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji permasalahan yang telah dipaparkan yaitu menelaah dampak pasca reklaim terhadap kesejahteraan petani di Desa Sukamukti. Kemudian, tujuan khususnya ialah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni:

1. Mengidentifikasi kemunculan aksi perlawanan petani di Desa Sukamukti dalam upaya reklaim tanah di Desa Sukamukti Garut.

2. Mengidentifikasi dampak reklaim Organisasi Tani Lokal (OTL) Sukamukti terhadap kondisi sosial ekonomi (redistribusi lahan, penataan produksi, pembangunan sarana dan prasarana dasar) di Desa Sukamukti Garut

3. Mengidentifikasi sejauh mana kondisi sosial ekonomi pasca reklaim tersebut berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat di Desa Sukamukti Garut

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian menganai dampak pasca reklaim terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di Desa Sukamukti ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak. Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:

(15)

2. Bagi pemerintah dalam hal ini pihak PTPN VII Dayeuh Manggung diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai peraturan pemanfaatan lahan, serta membuat solusi dari konflik agraria yang terjadi.

(16)
(17)

PENDEKATAN TEORITIS

Bab ini menjelaskan mengenai berbagai pustaka yang dirujuk dalam melakukan penelitian. Pustaka-pustaka tersebut diambil dari berbagai sumber seperti buku, maupun lapora hasil penelitan. Selain itu, bab ini juga menjelaskan mengenai kerangka penelitian beserta dengan hipotesis penelitian, definisi konseptual, dan definisi operasional dari masing-masing variabel yang dihitung.

Tinjauan Pustaka

Sub bab ini berisi tinjauan literatur yang berkaitan dengan beberapa konsep yang akan dilihat pada penelitian ini. Tinjauan literatur tersebut diataranya konsep petani, gerakan perlawanan petani, aksi reklaim, tahapan reklaim dan kesejahteraan petani.

Petani Beragam Konsep

Berbicara mengenai masalah agraria di pedesaan tentunya tidak dapat terlepas dari subyek agraria yaitu petani. Petani jika dilihat dari segi bahasa merujuk kepada pengertian seseorang yang bekerja pada bidang pertanian. Tidak berbeda jauh dengan pengertian tersebut, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)2, yang dimaksud dengan petani adalah orang yang pekerjaannya bercocok tanam. Namun disamping definisi yang telah disebutkan, beberapa definisi lain terkait petani juga dijelaskan oleh banyak sosiolog dan para pakar agraria, definisi tersebut mencakup definisi lebih kompleks yang berada pada dimensi yang lebih luas.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, beberapa ahli sejak dahulu telah menelaah definisi pasti dari petani itu sendiri. Namun ternyata hingga kini permasalah tentang definisi dan konsep petani itu masih sering diperdebatkan. Perdebatan tentang siapa itu petani mencakup pada perbedaan makna antara

peasant dan farmer. Wolf (1985) dalam bukunya yang bertajuk ”Petani Suatu Tinjauan Antropologis”, memahami masyarakat petani sebagai peasant yang merupakan fase setelah masyarakat primitif dan masyarakat modern. Pendekatan antropologis yang ia bangun didasarkan atas bahwa masyarakat petani tidak bisa hanya dipandang sebagai agregat tanpa bentuk. Masyarakat petani memiliki keteraturan dan memiliki bentuk-bentuk organisasi yang khas.

Sejalan dengan Wolf (1985), Scott (1976) melihat petani sebagai seseorang yang hidup secara subsisten. Subsisten dalam arti petani berproduksi hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sampai batas aman. Dalam tulisannya Scott (1976) menyatakan tentang moral ekonomi petani yaitu dimana

2

(18)

kehidupan petani didasarkan atas norma subsistensi dan norma resiprositas. Norma subsistensi berlaku ketika seorang petani mengalami suatu keadaan yang menurut mereka dapat merugikan kelangsungan hidupnya, maka mereka akan menjual dan menggadai harta benda mereka. Sedangkan resiprositas akan timbul apabila ada sebagian dari anggota masyarakat menghendaki adanya bantuan dari anggota masyarakat yang lain. Hal ini akan menyebabkan berbagai etika dan perilaku dari para petani.

Scott (1976) menambahkan pula bahwa para petani adalah manusia yang terikat sangat statis dari aktivitas ekonominya. Aktivitas mereka sangat tergantung pada norma-norma yang terdapat pada masyarakat. Lebih lanjut, dari penjelasan tersebut muncul terminologi yang khas pada petani yang disebut dengan moral-ekonomi, yang menekankan bahwa pada dasarnya petani cenderung menghindari resiko, dan rasionalitas petani yang mengungkapkan bahwa masyarakat petani (di kawasan Asia Tenggara) tidak akan melakukan gerakan perlawanan ketika kebutuhan-kebutuhan dasarnya terpenuhi.

Pengertian mengenai petani oleh Scott tersebut mendapatkan pertentangan keras oleh Samuel Popkin (1979), ia justru mengemukakan bahwa petani itu merupakan makhluk rasional. Artinya, mereka selalu ingin memperbaiki nasibnya dengan mencari dan memilih peluang-peluang yang mungkin dapat dilakukannya. Pada hakikatnya petani terbuka terhadap pasar dan siap mengambil resiko, sepanjang kesempatan tersebut ada, dan hambatan dari pihak patron dapat diatasi. Pemikiran tersebut dikenal sebagai teori rasionalitas petani.

Definisi lain dari petani yang penting untuk di bahas adalah karya dari Chayanov3, yang menjelaskan tentang Teori Ekonomi Petani. Menurutnya masyarakat-tani (peasant society) adalah masyarakat pedesaan yang didalamnya tidak ada pasar tenaga kerja dan ekonominya semata-mata terdiri dari satuan-satuan "Usahatani Keluarga" (UK), yaitu usahatani yang tidak menggunakan tenaga upahan, melainkan didominasi oleh tenaga dalam keluarga. Menurut teori ini tujuan petani adalah memuaskan kebutuhan rumah tangganya, bukan mencari keuntungan/laba.

Gerakan Perlawanan Petani

Pemberontakan petani menurut Scott (1981) adalah respons untuk mengembalikan tatanan moral yang diporak-porandakan oleh penetrasi kapitalisme. Dalam perspektif Scottian juga menjelaskan tiga tipologi atau proses kemunculan suatu gerakan pemberontakan atau perlawanan petani, yaitu: (1) terjadinya kesenjangan sosial di pedesaan yang muncul sebagai akibat meluasnya peran negara dalam proses transformasi pedesaan, besaran ketimpangan sosial di pedesaan ini kemudian memicu berbagai bentuk perlawanan petani terhadap hegemoni kaum kaya dan negara, (2) terjadinya transformasi kultural di pedesaan telah memproduksi realitas kesadaran sebagai wujud pembelotan kultural, (3) kaum miskin yang lemah dalam melakukan perlawanannya terhadap hegemoni

3

(19)

kelompok kaya dan negara memiliki senjata alam mereka sendiri dalam menyelesaikan persoalan.

Dalam konteks gerakan petani, bisa dikatakan bahwa sesungguhnya

gerakan petani adalah “gerakan kemanusiaan”. Sebab, tanah yang mereka

perjuangkan merupakan aspek krusial yang menyangkut hidup dan mati masyarakat petani serta eksistensi penghidupan mereka. Tidak hanya sebatas itu, tanah tidak hanya sebagai simbol eksistensi diri sebagai petani, melainkan juga simbol harga diri sebagai manusia pedesaan yang hidup bersumber dari sektor pertanian. Karena itu, perampasan tanah bagi petani dipandang sebagai perampasan hak hidupnya sebagai petani, sehingga muncul kecenderungan siapa pun yang mengambil tanahnya akan selalu dilawan dengan berbagai cara (Mustain, 2007).

Sejalan pengertian tersebut, Popkin (1979) menyatakan bahwa perlawanan petani bukanlah bersifat restoratif. Petani melakukan perlawanan dalam upaya mencari jalan untuk mejinakkan kapitalisme, lalu bekerja di dalam kapitalisme yang telah dijinakkan itu. Dalam upaya ini, para pemimpin gerakan dan elit sosial bertindak sebagai entrepreneur politik, atau pihak yang tidak jarang memanfaatkan agenda perlawanan sebagai salah satu upaya usaha dalam pencapaian di aspek-aspek politik.

Menurut Paige (1975), perlawanan petani adalah pemberontakan agraria dan bentuk-bentuk ekspresi perlawanan petani akan terjadi manakala: (1) suatu kelas penguasa tanah terus menerus berkuasa atas dasar penguasaan tanahnya, (2) para petani dihambat dalam kemungkinannya untuk melakukan mobilitas vertikal, (3) kondisi kerja dan karakter pedesaan petani memungkinkan pembentukan solidaritas. Lebih lanjut, aksi perlawanan petani pada akhirnya juga tergantung pada tipe struktur kelas agraria yang melingkupi, bisa mengambil bentuk

rebellion, labour reform movement, dan commodity reform movement.

Mustain (2007) mengungkapkan bahwa kebijakan pertanahan di Indonesia yang banyak memicu terjadinya perlawanan rakyat petani sesungguhnya merupakan replikasi dari kebijakan negara sejak zaman kolonial. Artinya, ada persoalan hukum dalam penataan tanah yang hingga era reformasi masih problematik sehingga sering memicu munculnya konflik pertanahan di masyarakat. Mustain menambahkan bahwa problematika hukum itu terjadi dalam konteks terjadinya dualisme hukum, yakni hukum negara dan hukum rakyat yang masing-masing mempunyai dasar klaim kebenaran dengan logikanya sendiri-sendiri.

Menurut Sartono Kartodirdjo (1973) dalam Soegijanto (2000), gerakan petani di Jawa dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu pertama gerakan protes yang menentang pemaksaan baik dari tuan tanah maupun pemerintah, kedua gerakan yang menginginkan terciptanya dunia baru yang serba adil (messianist) dan ketiga gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan atau kesentosaan) masa lampau (revivalist).

(20)

sedangkan pada tahun 1964-1965 sasaran gerakan lebih banyak ditujukan pada tuan tanah.

Berbeda dengan hal tersebut, hasil peneitian Aprianto (2013) menyatakan bahwa perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat adat Sedulur Sikep terhadap eksapansi perusahaan PT Semen Gresik ini lebih merujuk pada gerakan tipe ketiga, yaitu gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan masa lampau (revivalist). Hal ini terlihat dari perlawanan yang lebih bersikap pada penyadaran yang terwujud dalam ekspresi keseharian mereka yang berdasar pada keyakinan tentang hubungan mereka dengan tanah.

Menurut Mustain (2007), di masa orde baru, fokus kebijakan pertanahan selalu diupayakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara cepat, dibandingkan orde lama yang kebijakannya lebih populis, orde baru lebih pada memfasilitasi pemilik modal dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi kapitalisme. Karena itu sejak 1980-an kebijakan pertanahan lebih ditujukan untuk memecahkan persoalan pertanahan yang menghambat pelaksanaan kebijakan pembangunan.

Hal tersebut juga diperkuat dengan pernyataan Fauzi (1999), semenjak tahun 1980 gejala aksi protes terhadap penindasan dan penaklukan petani mempunyai ciri khas:

1. Protes dilakukan oleh sejumlah petani korban dengan didampingi oleh organisasi non-pemerintah (ORNOP) tertentu.

2. Protes disalurkan pada parlemen (DPR, DPRD), ke Pemerintah (Departemen Dalam Negri, BPN, Menkopolkam, dll).

3. Isu protes bersifat kasuistis yang berisi tuntutan penyelesaian kasus yang dialami oleh petani korban. Artikulasi tuntutan ini bersifat spesifik dan ekonomis

4. Media massa sebagai perwakilan masyarakat, dipercaya akan membantu penyelesaian masalah.

Aksi Reklaim

Gerakan rakyat setelah kejatuhan rejim Soeharto pada tahun 1998 identik dengan aksi massa berupa reklaim tanah-tanah yang meluas di sejumlah pedesaan di Indonesia. Secara harfiah, reklaim merupakan sebuah tindakan perlawanan yang dilakukan rakyat tertindas untuk memperoleh kembali haknya kembali secara adil (Wijardjo dan Perdana dalam Munawar 2010). Aksi-aksi reklaim tanah tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus petani yang haknya diserobot oleh pihak perkebunan. Hal tersebut juga diyakini oleh Herwati (2013) dalam penelitiannya terhadap empat kasus konflik tanah antara petani melawan perusahaan-perusahaan perkebunan. Dari hasil penelitiannya dari keempat kasus di wilayah yang berbeda yaitu PT. Pagilaran di Kabupaten Batang, PTPN IX di Kabupaten Kendal, PT. Sinar Kartasura di Kabupaten semarang, dan PT. Karyadeka Alam Lestari (KAL) di Kabupaten Kendal, semua bentuk protes tersebut diwujudkan dengan aksi pengambilalihan tanah (reklaim) yang dilakukan para petani di semua wilayah tersebut.

(21)

kriminalisasi petani. Sitorus (2006) menganggap gerakan rakyat tersebut sebagai suatu bentuk reforma agraria dari bawah (land reform by leverage). Reforma agraria dari bawah yang dimaksudkan oleh Sitorus adalah reforma agraria aras lokal yang diinisiasi dan dilaksanakan oleh komunitas lokal. Gagasan tentang jalur reforma agraria tersebut menunjuk pada tiga pelaku utama yaitu pemerintah, swasta, dan komunitas (petani). Ia juga mengkategorikan tiga tipe reforma agraria dari bawah berdasarkan moda gerakan reklaim tanah, yaitu: aneksasi, kultivasi dan integrasi. Aneksasi adalah tipe reforma agraria dari bawah yang merujuk pada tindakan kolektif penduduk untuk secara paksa dan illegal membuka, bercocok tanam dan sekaligus bermukim di sebidang tanah negaranya. Kultivasi merujuk pada ambiguitas status tanah yang di reklaim. Di satu sisi ia di reklaim dan secara faktual ditanami dan diusahakan oleh penduduk, tetapi di sisi lain tanah tersebut masih di klaim dan secara faktual masih dikelola oleh Negara. Integrasi adalah tipe reforma agraria yang merujuk pada kolaborasi negara dan komunitas lokal dalam manajemen sumberdaya hutan.

Kondisi Pasca Reklaim

Sebagai bagian dari aksi-aksi yang dilakukan oleh petani, reklaim merupakan salah satu aksi yang umumnya terjadi dilakukan oleh para petani di Indonesia. Terlebih ketika pada era ini dimana banyak pihak baik swasta maupun pemerintah yang cenderung mengabaikan kepentingan serta hak-hak para petani. Bahkan dalam skala makro, Kathleen Gillogly4 melihat gejala hilangnya lahan milik petani pada saat ini juga karena dipengaruhi faktor industri dan keberpihakan sistem Negara terhadap kapitalis, lahan petani tradisional dapat dengan mudah diambil alih oleh bisnis pertanian skala besar yang pada akhirnya

menyingkirkan dan tentunya “membunuh” para petani tradisional (Syarikin 2013). Tanah dan lahan sebagai simbol eksistensi petani, tentunya membuat reklaim sebagai suatu aksi yang diharapkan mampu merepresentasikan aspirasi serta keinginan mereka atas dominasi dan ketidakberpihakan para aktor-aktor besar yang ada. Dalam melakukan reklaim, aksi harus dilakukan secara terencana dan sistematik, karena reklaim tidak hanya sebagai simbol amarah atau perlawanan, namun juga simbol kemampuan dan pemahaman petani atas hak-hak yang secara konstitusional mereka miliki. Seperti halnya yang disebutkan dalam UUPA pasal 5, bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa di Indonesia pada dasarnya adalah hukum adat (dengan hak-hak ulayatnya), sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara. Oleh karena itu, dalam reklaim idealnya para petani harus mampu mewujudkan amanat konstitusi tersebut tanpa harus anarkis dan melanggar hukum. Lebih lanjut, menurut Wujardjo dan Perdana (2001), terdapat tiga tahap dalam reklaim yang dapat menggambarkan prosesnya secara komperhensif, yaitu:

1. Pra Reklaim

2. Pelaksanaan Reklaim 3. Pasca Reklaim

4

(22)

Pasca reklaim diartikan sebagai tenggat waktu yang cukup terhadap penguasaan obyek reklaim dimana tingkat resepsi dari pihak lain yang anti reklaim sudah mereda. Tindakan-tindakan yang dilakukan pasca reklaim:

 Menata penguasaan obyek reklaim, berupa pembagian obyek reklaim dan penguasaan bersama, dimana pilihan penataan penguasaan diserahkan pada mekanisme lokal, dan bukan ditentukan oleh sekelompok orang atau bahkan pihak luar;

 Mengembangkan penataan produksi, merupakan bentuk upaya manajemen produksi yang meningkatkan produktivitas hasil produksi, meliputi pengelolaan sumber daya alam, pendayagunaan hasil panen, pemasaran, akses kredit, akses penggunaan alat-alat produksi, pengairan dan konversi lahan, dan lainnya dengan perencanaan atau strategi lokal yang mandiri.

 Mengupayakan pengakuan hukum (legalisasi), dengan konsekuensi yang harus dihadapi merupakan bagian dari proses “serangan langit”. Rakyat tidak harus terjebak untuk terus menerus berharap perubahan dari kearifan Negara (reform by grace), namun menata kekuatan lokal untuk merebut kembaliakses sumber daya alam berdasarkan inisiatif rakyat itu sendiri (reform by leverage). Sesungguhnya pengakuan pemerintah tidak sepenuhnya dapat menjamin kepemilikan yang telah berhasil diperoleh melalui perjuangan reklaim.

Kondisi pasca reklaim pada dasarnya mengarah pada struktur maupun kondisi ideal yang berawal dari proses diskusi dan awal inisiasi hingga aksi dan dampak positif yang dihasilkan oleh reklaim. Kondisi ideal tersebut juga secara implisit mengisyaratkan tentang adanya faktor internal yang kuat berpengaruh seperti, kesiapan kelompok sebelum melakukan reklaim, hingga kemampuan mereka mengorganisikan kelompok. Namun pada tahapan realitasnya, berbagai kondisi tersebut dapat berubah dan tidak sesuai seiring dengan berbagai dinamika yang terjadi, yang dapat menyebabkan reklaim dengan output positif, maupun negatif.

Kesejahteraan Petani

Kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Suharto (2005) menyintesiskan konsep kesejahteraan yang sering diartikan berbeda oleh orang dan negara yang berbeda. Menurutnya sedikitnya ada empat makna yang terkandung dalam konsep kesejahteraan, sebagai berikut:

1. Sebagai kondisi sejahtera (well-being). 2. Sebagai pelayanan sosial,

3. Sebagai tunjangan sosial.

4. Sebagai proses atau usaha terencana

(23)

melaksanakan fungsi sosialnya. Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.

Konsep kesejahteraan menurut Nasikun (1996) dapat dirumuskan sebagai padanan makna dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari empat indikator yaitu: (1) Rasa aman (security), (2) Kesejahteraan (welfare), (3) Kebebasan (freedom), dan (4) Jati diri (Identity)

Menurut Kolle (1974) dalam Bintarto dan Hadisumarmo (1979), kesejahteraan dapat diukur dari beberapa aspek kehidupan:

1) Dengan melihat kualitas hidup dari segi materi, seperti kualitas rumah, bahan pangan dan sebagianya;

Menurut Drewnoski (1974) dalam Bintarto dan Hadisumarmo (1979), melihat konsep kesejahteraan dari tiga aspek; (1) dengan melihat pada tingkat perkembangan fisik (somatic status), seperti nutrisi, kesehatan, harapan hidup, dan sebagianya; (2) dengan melihat pada tingkat mentalnya, (mental/educational status) seperti pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya; (3) dengan melihat pada integrasi dan kedudukan sosial (social status)

(24)

Kerangka Pemikiran

Perlawanan petani muncul akibat adanya ketimpangan struktur agraria di pedesaan. Ketimpangan tersebut meliputi hal kepemilikan dan penguasan lahan yang tidak seimbang. Kesenjangan penguasaan lahan antara pihak kapitalis dan petani semakin memperburuk kondisi ketimpangan yang ada. Kepemilikan lahan skala besar yang cenderung dikuasai oleh pihak pemodal besar yang berpotensi menyingkirkan petani dari lahan garapan mereka. Kondisi tersebut pada akhirnya memicu gesekan sosial yang berujung pada perlawanan petani. Perlawanan petani umumnya merupakan aksi yang dilakukan secara kolektif dan terorganisir sebagai respons atas kondisi yang tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. Demikian pula kasus yang terjadi di Desa Sukamukti, Garut, para petani di desa tersebut yang bergabung dalam sebuah wadah perjuangan yakni Organisasi Tani Lokal (OTL) Sukamukti. OTL tersebut merupakan representasi gerakan perlawanan petani lokal, secara langsung berada di bawah naungan Serikat Petani Pasundan (SPP). Salah satu bentuk perlawanan petani di OTL ini adalah dengan melancarkan reklaimlahan eks-HGU PTPN VIII Dayeuh Manggung.

Penelitianini berfokus pada bagaimana pengorganisasian aksi reklaim tersebut berpengaruh pada tatanan sosial-ekonomi masyarakat pasca reklaim. Tatanan tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani di OTL setempat. Petani seringkali menganggap keberhasilan aksi reklaim ini merupakan akhir dari perjuangan mereka, sehingga banyak kasus menunjukan perlawanan petani melemah tatkala mereka telah berhasil mendapatkan lahan. Padahal sejatinya mendapatkan kembali lahan garapan ibarat pintu gerbang untuk masuk ke tahap selanjutnya yakni, kesejahteraan petani. Dalam kerangka ini peneliti berupaya mengskematisasikan kondisi-kondisi ideal pasca reklaim apa saja yang berpengaruh terhadap kesejahteraan petani. Kondisi-kondisi tersebut meliputi redistribusi lahan, penataan produksi hingga pembangunan sarana dan prasarana dasar.

(25)

Keterangan:

Mendorong Diteliti Secara Kualitatif Mempengaruhi Diteliti Secara Kuantitatif

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu hipotesis pengarah dan hipotesis uji. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis pengarah yang didapatkan ialah:

1. Militansi perlawanan petani mendorong aksireklaim.

2. Pengorganisasian reklaim mempengaruhi tatanan sosial ekonomi yang lebih mutualistis antar warga masyarakat.

Dari hipotesis pengarah di atas lalu didapatkan hipotesis uji sebagai berikut;

1. Semakin baik kondisi sosial ekonomi pasca reklaim, maka semakin tinggi pula kesejahteraan subjektif petani.

2. Semakin baik kondisi sosial ekonomi pasca reklaim, maka semakin tinggi pula kesejahteraan objektif petani.

Perlawanan

Petani Aksi Reklaim

Kondisi Sosial- Ekonomi Pasca

Reklaim:

- Redistribusi Lahan - Kelembagaan

Penataan Produksi - Pembangunan

Sarana Dan Prasarana Dasar

Kesejahteraan Petani

Subjektif

- Tingkat Rasa Aman

- Hubungan Dengan Pihak Lain

Objektif

- Kondisi Tempat Tinggal

- Tingkat pendapatan - Tingkat akses

Kesehatan - Tingkat Akses

(26)

Definisi Konseptual

1. Perlawanan petani adalah respon masyarakat yang hidupnya bergantung pada tanah dan usaha pertanian terhadap ketidakadilan struktur agraria yang menghimpit mereka.

2. Aksi reklaim adalah upaya perlawanan petani dengan cara menduduki lahan-lahan terlantar guna mendapatkan kembali hak mereka atas tanah.

Definisi Operasional

Berikut ini adalah definisi operasional dari berbagai variabel yang dianalisis: 1. Kondisi sosial ekonomi pasca reklaim adalah situasi setelah masa pendudukan

tanah terjadi. Dalam masa ini biasanya dilakukan beberapa kegiatan seperti redistribusi lahan, penataan produksi hingga pembangunan sarana dan prasarana dasar.

Tabel 1 Variabel dan indikator kondisi sosial ekonomi pascareklaim

Variabel / Indikator

(27)

hingga proses

Pengukuran variabel dilihat berdasarkan tiga indikator (Redistribusi Lahan, Penataan Produksi, Pembangunan Sarana dan Prasarana Dasar) pada tabel diatas. Akumulasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga kategori yaitu:

 Kondisi Sosial Ekonomi PascaReklaim Buruk (Skor 24-31)

 Kondisi Sosial Ekonomi Pasca Reklaim Sedang (Skor 32-39)

 Kondisi Sosial Ekonomi PascaReklaim Baik (Skor 40-48)

2. Kesejahteraan subjektif adalah aspek persepsi individu terhadap kondisi pemenuhan kebutuhan pokoknya.

Tabel 2 Variabel dan indikator kesejahteraan subjektif

Variabel /

(28)

anggota OTL dengan secara ordinal dalam tiga kategori yaitu:

 Kesejahteraan Subjektif Rendah (skor 10-23)

 Kesejahteraan Subjektif Sedang (skor 24-37)

 Kesejahteraan Subjektif Tinggi (skor 38-50)

3. Kesejahteraan objektif adalah terpenuhinya kebutuhan fisik dasar minimal sandang, pangan dan papan.

Tabel 3 Variabel dan indikator kesejahteraan objektif

Variabel /

(29)
(30)

sesudah reklaim. responden. Akses terhadap pendidikan dibagi ke dalam 5 kategori dari yang sangat rendah hingga sangat tinggi dengan skor: Sangat Tinggi = skor 5 Tinggi = skor 4

Biasa Saja = skor 3 Rendah = skor 2

Sangat Rendah = skor 1

Pengukuran variabel dilihat berdasarkan empat indikator (kondisi tempat tinggal, tingkat pendapatan, akses kesehatan, akses pendidikan) pada tabel diatas. Akumulasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga kategori yaitu:

 Kesejahteraan Objektif Rendah (skor 4-9)

 Kesejahteraan Objektif Sedang (skor 10-14)

(31)

PENDEKATAN LAPANGAN

Bab ini menjelaskan mengenai hal-hal teknis yang dilakukan selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung. Hal yang pertama mengenai metode penelitian yang digunakan, lalu dilanjutkan dengan pemilihan lokasi dan waktu penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan teknik pengambilan informan dan responden serta teknik pengambilan data. Setelah itu, terakhir ialah penjabaran mengenai teknik pengolahan data.

Metode Penelitian

Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan kuantitatif yang didukung dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kuantitatif dijalankan dengan menggunakan survei melalui instrumen kuesioner (lampiran 5) Kuesioner tersebut diajukan sebagai pertanyaan-pertanyaan yang tertuju kepada responden untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi pasca reklaim dan tingkat kesejahteraannya. Sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan dengan menjalankan teknik wawancara mendalam (lampiran 6) kepada informan untuk menelusuri fenomena perlawanan petani yang ditandai dengan aksi reklaim. Selain itu juga untuk mendapatkan informasi terkait struktur agraria lokal dan profil OTL Sukamukti.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di OTL Sukamukti yang berada di Kp. Cidangan Sari, Desa Sukamukti, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut (lampiran 2). Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive karena beberapa pertimbangan, diantaranya ialah:

1. Di Desa Sukamukti ini telah terjadi konflik antara masyarakat dengan pihak perkebunan PTPN VIII Dayeuh Manggung semenjak tahun 1997. 2. Ada gerakan perlawanan petani berupa sebuah organisasi tani bernama

Organisasi Tani Lokal (OTL) Sukamukti yang berada di bawah naungan Serikat Petani Pasundan (SPP) yang telah melakukan aksi perlawanan pada pihak perkebunan.

(32)

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu lima bulan, terhitung mulai bulan Februari 2014 sampai dengan Mei 2014. Penelitian ini dimulai dengan penyusunan proposal penelitian, kolokium penyampaian proposal penelitian, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data di lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada tabel jadwal penelitian di bawah ini (Gambar 2).

Kegiatan Feb Mar Apr Mei

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Penyusunan Proposal Skripsi

Survey Lokasi Penelitian

Kolokium

Perbaikan Proposal Skripsi

Pengambilan Data Lapang

Pengolahan dan Analisis Data

Penulisan Draft Skripsi

Uji Petik

Sidang Skripsi

Perbaikan Laporan Skripsi

Gambar 2 Jadwal penelitian

Teknik Pengambilan Informan dan Responden

Sumber data dalam penelitian ini adalah responden dan informan. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah tangga anggota OTL Sukamukti yang diwakili oleh kepala keluarga (KK). Responden diwawancara sesuai dengan kuesioner yang telah dibuat karena jawabannya dianggap dapat mewakili kondisi rumah tangganya sebagai salah satu anggota OTL Sukamukti. Responden hanya memberikan informasi terkait dengan dirinya.

Berdasarkan data nominatif tahun 2010, jumlah anggota OTL Sukamukti adalah 199 KK. Penentuan jumlah sampel minimal dilakukan dengan menggunakan Rumus Slovin sebagai berikut:

Keterangan: n : Jumlah sampel

N : Jumlah populasi

(33)

Nilai kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 persen sehinga diperoleh responden sebanyak 67 KK dari jumlah populasi sampling 199 KK. Sebagai cadangan apabila terjadi hal-hal yang diluar perkiraan terhadap responden (seperti sakit, tidak bersedia di wawancara, dll) peneliti menambah jumlah responden cadangan sebanyak 8 KK. Penentuan responden dipilih dengan

stratified random sampling. Artinya, populasi yang tidak homogen dibagi-bagi dalam lapisan-lapisan yang seragam, dan dari setiap lapisan dapat diambil sampel secara acak. Maka dibuatlah kerangka sampling (lampiran 4) untuk masing-masing sub populasi. Dengan menggunakan metode ini, semua lapisan dapat terwakili (Singarimbun dalam Singarimbun dan Effendi, 1989). Responden dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu responden golongan A (yang memiliki tanah < 1000 m2), golongan B (yang memiliki tanah 1000 m2 x ≤ 2000 m2), dan golongan C (responden yang memiliki tanah > 2000 m2), sehingga diperoleh responden yang mewakili masing-masing kategori. Masing-masing sampel dalam strata tersebut lalu ditentukan dengan teknik random sampling (sampel acak) dengan jumlah sampel tiap strata ditentukan secara proporsional.

Pemilihan terhadap informan dilakukan secara sengaja (purposif) dan jumlahnya tidak ditentukan. Penetapan informan dalam wawancara ditentukan melalui metode snowball yaitu berdasarkan informasi antar responden di lokasi penelitian. Orang-orang yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini adalah aparatur desa, ketua OTL, tokoh masyarakat setempat, dan Serikat Petani Pasundan (SPP) sebagai Organisasi resmi yang membantu masyarakat dalam menangani kasus konflik lahan di Desa Sukamukti. Informan-informan tersebut dianggap mengetahui dengan jelas mengenai kasus konflik lahan yang terjadi di desa tersebut. Pihak perkebunan PTPN VIII Dayeuh Manggung tidak diikutsertakan sebagai informan karena sulitnya menemui mereka untuk melakukan wawancara. Selain itu, dikhawatirkan akan membahayakan diri peneliti saat melakukan penelitian di Desa Sukamukti.

.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Untuk mempermudah pengambilan data, peneliti membuat panduan pengambilan data (lampiran 3). Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan dan juga melalui wawancara terstruktur dengan para responden yang telah dipilih. Selain itu, data primer juga diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan informan. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara dan dikembangkan sesuai dengan jawaban yang diberikan oleh responden maupun informan sampai data yang didapatkan menjadi jenuh.

(34)

antara lain dokumen sejarah penguasaan lahan dan data nominatif kepemilikan lahan garapan anggota OTL Sukamukti. Data sekunder lainnya dalam penelitian ini diperoleh melalui berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu buku, laporan hasil penelitian, artikel, dan sebagainya

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini mempunyai dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diolah menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2010 dan IBM SPSS Statistics 22. Ada beberapa tahap dalam pengolahan data kuantitatif. Pertama, melakukan pengkodean pada jawaban pertanyaan dan pernyataan di lembar kuesioner yang telah terisi oleh responden, kemudian memasukkan data tersebut ke lembaran data (code sheet) di Microsoft Excel 2010. Kedua, setelah semua data dan pengkodean selesai kemudian membuat tabel frekuensi dari masing-masing variabel. Ketiga, mengedit atau mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ditemui setelah membaca tabel frekuensi baik pada saat mengisi kuesioner, mengkode, maupun memindahkan data dari lembaran kode ke komputer (Singarimbun dalam Singarimbun dan Effendi, 1989).).

Data hasil kuesioner responden kemudian diolah secara statistik deskriptif dengan menggunakan software Microsoft Excel 2010 dan IBM SPSS Statistics 22.

Statistik deskriptif merupakan statistik yang menggambarkan sekumpulan data secara visual baik dalam bentuk gambar maupun tulisan yang digunakan untuk menggambarkan data berupa tabel frekuensi dan tabulasi silang (crosstab). Pembuatan tabel frekuensi, grafik, serta tabel tabulasi silang menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2010. Lalu, IBM SPSS Statistic 22 digunakan untuk membantu dalam uji statistik yang akan menggunakan Rank Spearman dan Uji T Berpasangan (Paired T Test). Hasil analisis kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan.

Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk melihat hubungan yang nyata antar variabel dengan data berbentuk data ordinal. Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk menentukan hubungan antara kedua variabel (variabel independen dan variabel dependen) yang ada penelitian ini, yaitu menguji hubungan antara kondisi sosial ekonomi pasca reklaim terhadap tingkat kesejahteraan subjektif dan objektif petani di OTL Sukamukti.

Rumus korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut (Walpole, 1995):

Keterangan:

ρ atau rs : koefisien korelasi spearman rank

di : determinan

(35)

Koefesien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefesien korelasi berkisar antara +1 s/d -1. Koefesien korelasi menunjukkan kekuatan (strength) hubungan linear dan arah hubungan dua variabel acak. Jika koefesien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefesien korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan menjadi rendah dan berlaku sebaliknya. Untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel, dapat dilihat pada kriteria sebagai berikut (Sarwono,2006):

a. > 0 – 0.25 : Korelasi sangat lemah b. > 0.25 – 0.5 : Korelasi cukup kuat c. > 0.5 – 0.75 : Korelasi kuat d. > 0.75 – 0.99 : Korelasi sangat kuat

e. 1 : Korelasi sempurna

Secara umum angka signifikansi dalam penelitian yang digunakan sebesar 0,01; 0,05 dan 0,1. Pertimbangan penggunaan angka tersebut didasarkan pada tingkat kepercayaan (confidence interval) yang diinginkan oleh peneliti. Tingkat kepercayaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 95 persen atau nilai α sebesar 5 persen. Untuk memperoleh angka signifikansi yang baik, biasanya diperlukan ukuran sample yang besar. Untuk pengujian dalam IBM SPSS Statistics 22 digunakan kriteria sebagai berikut:

i. Jika angka signifikansi hasil riset < 0,05, maka hubungan kedua variabel signifikan.

ii. Jika angka signifikansi hasil riset > 0,05, maka hubungan kedua variabel tidak signifikan.

Secara singkat, ada tiga penafsiran hasil analisis korelasi, meliputi: pertama, melihat kekuatan hubungan dua variabel; kedua, melihat signifikansi hubungan; dan ketiga, melihat arah hubungan.

Kemudian, untuk uji statistik selanjutnya digunakan Uji T Berpasangan (Paired T-Test). Uji t berpasangan biasa dilakukan pada subjek yang diuji pada situasi sebelum dan sesudah proses, atau subjek yang berpasangan ataupun serupa. Dalam penelitian ini Uji T Berpasangan digunakan untuk melihat perubahan kesejahteraan baik secara subjektif dan objektif pada masa sebelum dan sesudah reklaim. jumlah sampel. Sebelum melakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu harus ditentukan hipotesisnya. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah :

 H0 : Tidak terdapat peningkatan kesejahteraan petani masa pra dan pasca

(36)

 H1 : Terdapat peningkatan kesejahteraan petani masa pra dan pasca

reklaim

Selanjutnya dari hasil penghitungan melalui IBM Statistics SPSS 22, apabila nilai t-hitung yang dihasilkan pada derajat bebas n-1 lebih besar daripada nilai t-tabel (lihat tabel sebaran t) dan nilai sig.2-tailed lebih kecil daripada nilai kritik 0,05 (ρ < 0,05) berarti H0 ditolak dan begitu pun sebaliknya.

(37)
(38)

Desa Sukamukti dibagi atas dua dusun, dan enam daerah, yaitu Hujung, Parakanmuncang, Cibitung, Kondangrege, Bebedahan, dan Cidangansari. Dusun pertama membawahi enam Rukun Warga (RW) dan dusun kedua membawahi tujuh RW. Bentuk desa ini memanjang dengan radius 3,5 kilometer dan luas wilayah 341.774 ha/m2 dengan perincian luas wilayah seperti yang tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Luas wilayah Desa Sukamukti berdasarkan pembagian luas lahan di DesaSukamukti, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, tahun 2014

Pembagian Luas Lahan Luas (Ha/m2) Presentase (%)

1. Luas pemukiman 19.695 5.76

2. Luas persawahan 102.788 30.07

3. Luas perkebunan 30.000 8.78

4. Luas kuburan 0.950 0.28

5. Luas pekarangan 19.695 5.76

6. Luas taman 164.366 48.09

7. Perkantoran 0.450 0.13

8. Luas prasarana umum lainnya 3.830 1.12

Jumlah 341.774 100.00

Sumber: Potensi Desa tahun 2013 diolah

Keadaan tanah Desa Sukamukti memiliki tingkat kemiringan 45 derajat. Jalan utama desa ini berupa tanjakan sepanjang 3,5 km dengan kondisi jalan yang rusak dan berbatu-batu. Lahan di Desa Sukamukti sebanyak 39.31 persen dimanfaatkan sebagai ladang, 20.89 persen sebagai lahan irigasi teknis, 15.13 persen sebagai hutan lindung, dan sisanya untuk pemukiman dan fasilitas umum lainnya. Tataguna tanah Desa Sukamukti selengkapnya tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Luas wilayah Desa Sukamukti berdasarkan, tataguna tanah Di Desa Sukamukti, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, tahun 2014

Sumber: Potensi Desa tahun 2013 diolah

Penggunaan Tanah Luas (ha/m2) Presentase (%)

1. Sawah irigasi teknis 82.688 20.98

2. Sawah tadah hujan 20.100 5.88

3. Ladang 164.366 39.31

4. Perkebunan Negara 30.000 8.78

5. Pemukiman 19.695 5.76

6. Hutan lindung 51.112 15.13

7. Fasilitas umum (lapangan

olahraga, sekolah, jalan, kantor) 14.200 4.15

(39)

Keadaan Penduduk Desa Sukamukti

Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Desa Sukamukti tercatat berjumlah 5086 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 2588 jiwa atau sekitar 50.88 persen dan perempuan sebanyak 2498 jiwa atau sekitar 49.12 persen. Pembagian tersebut secara lengkap dapat dilihat pada gambar 5. Total kepala keluarga di desa tersebut berjumlah 1427. Hal tersebut berarti rata-rata satu keluarga terdiri dari 4 jiwa.

Sumber: Data sekunder desa 2014 diolah

Gambar 4 Jumlah penduduk Desa Sukamukti menurut jenis kelamin tahun 2014

Mayoritas penduduk di Desa Sukamukti memiliki latar belakang pendidikan terakhir SMP/sederajat dan tidak tamat SLTP (dengan rentang usia 12-56). Mata pencaharian pokok masyarakat Desa Sukamukti cukup beragam. Berikut data mata pencaharian warga Desa Sukamukti disajikan pada Gambar 5..

Sumber: Data sekunder desa 2014 diolah

Gambar 5 Mata pencaharian penduduk Desa Sukamukti tahun 2014

1330

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 Petani dan buruh tani

Mata Pencaharian Penduduk Desa Sukamukti Tahun 2014 50.88%

49.12%

Jumlah Penduduk Desa Sukamukti Menurut Jenis Kelamin Tahun 2014

(40)

23 23

< 75 tumbak 75 tumbak ≤ x ≤ 150 tumbak > 150 tumbak Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian mengenai dampak pasca reklaim terhadap kesejahteraan masyarakat ini berjumlah 67 orang. Responden merupakan rumah tangga anggota OTL Sukamukti yang diwakili oleh kepala keluarga (KK). Responden dibagi menjadi tiga kategori sesuai dengan luas lahan yang mereka garap. Pembagian responden dikelompokkan menjadi responden golongan A (yang menggarap tanah < 75 tumbak5), golongan B (yang menggarap tanah 75

tumbak ≤ x ≤ 150 tumbak), dan golongan C (responden yang menggarap tanah >

150 tumbak).

Pembagian responden berdasarkan kategori ini sejalan dengan pandangan subjektif warga mengenai stratifikasi sosial di desa ini. Golongan A (yang menggarap tanah < 75 tumbak) dikategorikan sebagai golongan menengah atas,

golongan B (yang menggarap tanah 75 tumbak ≤ x ≤ 150 tumbak) dikategorikan sebagai golongan menengah-kecukupan, dan golongan C (responden yang menggarap tanah > 150 tumbak) dikategorikan sebagai golongan menengah-bawah.

Secara jelas pembagian responden menurut luas lahan garapan dapat dilihat pada Gambar 6.

Sumber: Data primer 2014 diolah

Gambar 6 Luas lahan garapan responden

Jika dilihat dari segi pekerjaan, seluruh responden memiliki pekerjaan utama sebagai petani penggarap. Selain itu juga ada beberapa responden yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai pedagang hingga pemilik pabrik akar wangi. Responden dalam penelitian ini hampir seluruhnya merupakan warga asli desa Sukamukti, hanya dua orang dari total 67 responden yang merupakan warga pendatang.

5

(41)

Jumlah responden didominasi oleh laki-laki sebesar 81 persen atau sebanyak 54 orang, sedangkan responden perempuan sebesar 19 persen atau sebanyak 13 orang. Hal tersebut dikarenakan mayoritas kepala keluarga pada OTL Sukamukti merupakan laki-laki. Secara lebih jelas proporsi jenis kelamin responden dapat dilihat pada Gambar 7.

Sumber: Data primer 2014 diolah

Gambar 7 Jenis kelamin responden

Selain itu jika dilihat dari segi pendidikan responden dalam penelitian ini didominasi oleh tingkat pendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD). Namun kondisi tersebut terbagi lagi menjadi dua yaitu tamat atau tidak tamat SD. Gambar 8 merupakan presentase tingkat pendidikan responden.

Sumber: Data primer 2014 diolah

Gambar 8 Tingkat pendidikan responden

Pada gambar 9 terlihat bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini hanya berhasil menamtkan pendidikan setingkat sekolah dasar (SD). Sekitar 52 persen (35 orang) responden tamat sekolah dasar (SD), kemudian 42 persen(30

3%

45% 52%

Tingkat Pendidikan Responden

Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD 81%

19%

Jenis Kelamin Responden

(42)

orang) responden tidak tamat sekolah dasar (SD) dan sisanya 3 persen (2 orang) tidak sekolah. Tingkat pendidikan yang rendah tersebut diakui oleh beberapa responden akibat dari kondisi ekonomi keluarga saat itu sehingga mereka tidak memprioritaskan pendidikan.

Responden dalam penelitian ini merupakan responden berusia diatas 20 tahun. Secara rinci penjelasan mengenai usia responden dapat dilihat pada gambar 9.

Sumber: Data primer 2014 diolah

Gambar 9 Usia responden

Responden berusia 40-49 merupakan responden yang mendominasi dalam penelitian ini sebesar 39 persen atau sebanyak 26 orang. Selanjutnya sebanyak 19 persen (13 orang) responden berusia 30-39 tahun, responden berusia 50-59 tahun senesar 18 persen (12 orang), responden berusia 20-29 tahun sebesar 9 persen (6 orang), responden berusia 60-69 tahun dan 70-79 tahun masing-masing sebesar 6 persen (4 orang) serta responden berusia 80-89 tahun sebesar 3 persen (2 orang).

Sekilas Tentang Serikat Petani Pasundan (SPP)

Serikat Petani Pasundan (SPP) merupakan salah satu organisasi massa petani terbesar di Indonesia khususnya di Jawa Barat. SPP dideklarasikan di Garut pada tanggal 24 Januari 2000.Wilayah cakupan basis massa SPP tersebar di empat kabupaten di Jawa Barat yaitu Garut, Tasikmalaya, Ciamis dan Pangandaran6. Sejarah berdirinya SPP dapat dirunut sejak akhir tahun 1980-an saat mulai maraknya kembali gerakan protes petani dan kerja-kerja pendampingan yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa dan pemuda. Kemunculan SPP ini awalnya dimotori oleh sekelompok mahasiswa dan pelajar di Garut yang mulai „bangun

dari tidur panjang‟ dan berpikir kritis mengenani ketidakadilan yang melanda

6

(43)

negeri ini. Mereka adalah Yani Adnan, Rahmat Kurnia, Deden Setiawan dan Toni Munawar dari STP GK (Sekolah Tinggi Pertanian Gilang Kencana) dan satu orang pelajar bernama Yopi yang berasal dari salah satu SLTA di Garut (Aji,2005).

Visi kerakyatan yang diusung oleh kelompok tersebut semakin kuat manakala mereka bertemu dengan Agustiana yang merupakan seorang aktivis mahasiswa dari Universitas Jayabaya, Jakarta. Jaringan mahasiswa dan LSM yang dimiliki Agustiana mulai dimanfaatkan untuk memperlancar aksi-aksi mereka. Untuk memperlihatkan eksistensinya mereka pun akhirnya memberi nama kelompoknya dengan Komite Mahasiswa Garut (KMG).

KMG mulai terkenal di kalangan aktivis mahsiswa di Bandung. Hingga Akhirnya pada akhir tahun 1989, mereka mengganti nama kelompoknya menjadi Gabungan Pelajar dan Pemuda Garut (GPPG). Penggantian ini dilkakukan untuk tidak mengingkari keberadaan Yopi sebagai pelajar SLTA di Garut yang sudah terlibat diskusi-diskusi kelompok ini sejak awal. Selain itu, penggantian nama juga dilakukan untuk membuka diri pada kalangan pelajar yang lebih luas, karena pada saat itu jumlah mahasiswa di garut tidak terlalu banyak.

Perjalanan GPPG dalam mengekspresikan gagasan-gasan menentang ketidakadilan ini akhirnya tertuju pada kasus sengketa tanah yang sudah berlangsung sejak lama di sebuah desa yang terletak di Garut Selatan, yaitu Sagara. Pertemuan-pertemuan dengan pihak yang terkait seperti kepala desa hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN ) Garut, terus menerus dilakukan untuk memepelajari persoalan dan upaya penyelesaian sengketa tanah ini. Pendampingan-pendampingan terhadap warga pun terus dilakukan walaupun situasi semakin memanas karena tekanan dari pihak PT. Perhutani. Aksi-aksi mereka pun mulai terarah pada pendampingan secara hukum dengan menguasakan kasus tanah sagara kepada LBH (Lembaga Bantuan hokum) Bandung. Selain itu, Yani Adnan juga memperluas gerakannya dengan menggandeng kelompok-kelompok mahasiswa. Seiring dengan itu jaringan mereka dengan kelompok-kelompok aktivis mahasiswa dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Bandung dan kota-kota lainnya semakin kuat.

Pada tahun 1992, GPPG bergnti nama menjadi Forum Pemuda, Pelajar, dan Mahasiswa Garut (FPPMG). Penggantian nama ini dilakukan untuk memperluas dukungan dari kalangan pemuda non-mahasiswa dan pelajar. Tidak lama berselang setelah penggantian nama FPPMG itu, Agustiana berusaha semakin memperluas dukungan dengan cara memasukan unsur islam di dalam kelompoknya sehingga FPPMG diubah namanya menjadi Forum Pemuda, Pelajar, dan Mahasiswa Islam garut (FPPMIG). Namun usia FPPMIG ini tidak bertahan lama diganti kembali menjadi nama semula FPPMG. Seiring dengan hal tersebut, kegiatan-kegiatan FPPMG yang melibatkan jaringan semakin banyak. Mereka mulai terlibat dalam gerakan-gerakan koalisi bukan hanya dikalangan mahasiswa tetapi juga kalangan LSM.

Keterlibatan yang semakin luas di dalam jaringan mahasiswa dan LSM serta menguatnya kasus tanah Sagara membuat FPPMG mulai dicurigai oleh

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran
Tabel 1 Variabel dan indikator kondisi sosial ekonomi pasca reklaim
Tabel  2  Variabel dan indikator kesejahteraan subjektif
Tabel  3 Variabel dan indikator kesejahteraan objektif
+7

Referensi

Dokumen terkait

pada dasarnya bertujuan untuk memetakan kegiatan- kegiatan komunikasi yang melibatkan responden dalam organisasi ataupun unit kerjanya baik formal

membangun komunikasi efektif dan menjalin hubungan dengan masyarakat, karena dalam keseharian kepala sekolah tidak akan terlepas dari interaksi dengan orang lain, baik kepada

Dalam kertas kerja ini, perbincangan hanya difokuskan pada kaedah-kaedah tafsir yang digunakan oleh mufassirin (ahli-ahli tafsir) khususnya dalam mentafsir atau

Sodium nitrat merupakan bahan kimia intermediet (bahan antara) yang selanjutnya dapat diolah dalam pembuatan pupuk yang mengandung senyawa nitrogen, pembuatan kaca,

pengaruh yang signifikan latihan pliometrik single-leg tuck jump dan double-leg tuck jump terhadap peningkatan kekuatan otot tungkai pada pemain sepakbola mahasiswa FIK UNM

Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian kuantitatif adalah penelitian yang ditujukan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu,

Lay Out Stasiun pada studi ini di ambil dari data antara Stasiun Sulusuban sampai Stasiun Blambangan Pagar, dan Stasiun Blambangan Pagar sampai Stasiun Kalibalangan,

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pedagang jajanan terhadap penggunaan pewarna metanil yellow adalah lamanya berdagang, akses yang mudah, tingkat pengetahuan yang rendah,