• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Rumahtangga Petani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Rumahtangga Petani"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

SOSIAL RUMAHTANGGA PETANI

SALIS RIZKA AGUNG PUTRI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Rumahtangga Petani adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

(4)
(5)

SALIS RIZKA AGUNG PUTRI. Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Rumahtangga Petani. Di bawah bimbingan HERU PURWANDARI.

Penguasaan lahan merupakan salah satu istilah dalam struktur agraria yang menunjuk pada penguasaan efektif. Bagi masyarakat pedesaan yang mayoritas bekerja di bidang pertanian, tanah menjadi suatu hal yang dihargai. Hal ini memungkinkan terjadinya pelapisan masyarakat berdasarkan penguasaan lahan. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pengaruh faktor internal dan faktor eksternal terhadap penguasaan lahan Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo, mendeskripsikan bentuk dan indikator stratifikasi sosial Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo, serta menganalisis pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi sosial Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo. Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo, Desa Tonggara menggunakan metode kuantitatif didukung data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor internal tidak berpengaruh terhadap penguasaan lahan di kedua dusun. Kedua dusun memiliki tiga bentuk stratifikasi, yaitu miskin, menengah, kaya, dengan indikator masing-masing. Penguasaan lahan berpengaruh signifikan terhadap stratifikasi sosial di kedua dusun.

Kata kunci : penguasaan lahan, petani, stratifikasi sosial

ABSTRACT

SALIS RIZKA AGUNG PUTRI. The Effect of Land Tenure over Social Stratification of Peasant Households. Under supervision of HERU PURWANDARI.

Land tenure is one of the terms in the agrarian structure refers to the effective tenurial. For rural people who majority work in agriculture, the land becomes a thing that valuable. This allows the layering of society based on the rule of the land. This study aims to describe the influence of external factors and internal factors to the mastery of the land of the hamlet Margajaya and the hamlet of Karanglo, describes the form and indicators of social stratification of the Margajaya hamlet and the Karanglo hamlet, as well as analyze the effect of land tenure to social stratification of the Margajaya hamlet and the Karanglo hamlet. This research carried out in the Margajaya hamlet and the Karanglo hamlet, Tonggara village uses the quantitative method supported a qualitative data. The results showed that internal factors do not affect the land tenure in both hamlets. Both the village has three forms of stratification, i.e. poor, medium, rich, with an each indicators. Land tenure impact significantly to social stratification in both hamlets.

(6)
(7)

SOSIAL RUMAHTANGGA PETANI

SALIS RIZKA AGUNG PUTRI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(8)
(9)

Judul Skripsi : Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Rumahtangga Petani

Nama : Salis Rizka Agung Putri NIM : I34100051

Disetujui Oleh

Heru Purwandari, S.P, M.Si Pembimbing

Diketahui Oleh

Dr Ir Siti Amanah, M.Sc Ketua Departemen

(10)
(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga skripsi yang berjudul “ Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Rumahtangga Petani “ dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Ayah Agus Nursidik dan Ibu Tukul Sulami yang selalu memberikan dukungan baik materi, waktu maupun tenaga.

2. Heru Purwandari, S.P, M.Si, dosen pembimbing skripsi yang telah banyak mencurahkan waktu dan sabar untuk membimbing dan memberikan masukan yang sangat berarti selama penulisan skripsi ini.

3. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA, selaku dosen penguji utama dan Ir. Fredian Tony, MS, selaku dosen penguji anggota.

4. Ir. Hadiyanto, M.Si, selaku dosen penguji petik dan dosen pembimbing akademik yang telah membimbing serta memberi masukan dalam hal akademik.

5. Mba Dhiny, Mba Maria, dan Mba Nisa selaku pegawai sekretariat SKPM yang selalu membantu perihal administrasi.

6. Kepala Desa Tonggara beserta jajarannya yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

7. Keluarga Bapak Sakhroni, Bapak Noto dan warga Desa Tonggara khususnya Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo atas kerjasamanya selama penelitian. 8. Keluarga Bapak Handadi Khaerudin yang selalu memberikan dukungan dan

bantuan.

9.

Teman-teman seperjuangan, Saefihim, Sari Lestari, Tuti Artianingsih, Anggi Pratama, Dwi Izmi, Gebyar, Fadhianisa, Yudhistira, Putri Nurgandini, Sakinah, Diwyacitra, Farhatul, Anjas yang selalu saling menyemangati dan membantu.

10.Teman-teman seperjuangan SKPM 47 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas semangat dan kebersamaan selama ini.

11.Teman-teman, Fitri Herdiyanti, Dewi Valentina, Vinsensia, Wulan, Ayu Kartika, Anggriani Okta, Rifa Annisa, atas dukungan dan kebersamaannya. 12.Dan semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga

terselesaikannya skripsi ini

Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca dalam memahami lebih jauh tentang pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi rumahtangga petani.

Bogor, Juni 2014

(12)
(13)

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Kegunaan Penelitian 3

PENDEKATAN TEORITIS 4

Tinjauan Pustaka 4

Kerangka Pemikiran 9

Hipotesis Penelitian 10

Definisi Operasional 10

PENDEKATAN LAPANGAN 13

Lokasi dan Waktu Penelitian 13

Metode Penelitian 13

Teknik Penentuan Responden 14

Teknik Pengumpulan Data 14

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 15

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 16

Kondisi Fisik 16

Kondisi Sosial 17

Dusun Margajaya 18

Dusun Karanglo 19

PENGUASAAN LAHAN 21

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penguasaan Lahan 26 Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Penguasaan Lahan 29

Ikhtisar 36

PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP STRATIFIKASI SOSIAL

38

Stratifikasi Sosial 38

Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial 40

Ikhtisar 42

PENUTUP 44

Simpulan 44

Saran 45

(14)
(15)

DAFTAR TABEL

1 Definisi Operasional Faktor Internal 11

2 Definisi Operasional Penguasaan Lahan 11

3 Definisi Operasional Stratifikasi Sosial 12

4 Jumlah dan Persentase Luas Lahan Milik yang Dikuasai Responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya

19

5 Jumlah dan Persentase Banyak Cara yang Digunakan Responden dalam Menguasai Lahan di Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya

23

6 Jumlah dan Persentase Tingkat Pendapatan Rumahtangga Responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya

26

7 Jumlah dan Persentase Tingkat Pengeluaran Rumahtangga Responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya

26

8 Jumlah dan Persentase Jumlah Tanggungan Keluarga Rumahtangga Responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya

27

9 Jumlah dan Persentase Status Sosial Responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya

28

10 Jumlah dan Persentase Status Penduduk Responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya

28

11 Pengaruh Tingkat Pendapatan terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun Karanglo

29

12 Pengaruh Tingkat Pendapatan terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun Margajaya

30

13 Pengaruh Tingkat Pengeluaran terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun Karanglo

31

14 Pengaruh Tingkat Pengeluaran terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun Margajaya

31

15 Pengaruh Jumlah Tanggungan Keluarga terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun Karanglo

32

16 Pengaruh Jumlah Tanggungan Keluarga terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun Margajaya

33

17 Pengaruh Status Sosial terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun Karanglo

34

18 Pengaruh Status Sosial terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun Margajaya

34

19 Pengaruh Status Penduduk terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun Karanglo

35

20 Pengaruh Status Penduduk terhadap Penguasaan Lahan Responden Dusun Margajaya

36

21 Indikator Stratifikasi Sosial di Dusun Karanglo 38 22 Indikator Stratifikasi Sosial di Dusun Margajaya 39 23 Jumlah dan Persentase Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi

Sosial Responden Dusun Karanglo

41

24 Jumlah dan Persentase Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Responden Dusun Margajaya

41

25 Uji Regresi Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Dusun Karanglo

42

26 Uji Regresi Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Dusun Margajaya

(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Rumahtangga Petani

10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kerangka Sampling Dusun Karanglo 46

2 Kerangka Sampling Dusun Margajaya 47

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bagi negara agraris seperti Indonesia, pertanian merupakan komoditas utama. Data BPS 2013 menunjukkan 39.96 juta orang Indonesia bekerja di sektor pertanian. Hal ini tentu membuat tanah menjadi sumberdaya yang paling penting dan tinggi nilainya. Tjondronegoro (1998), menyatakan bahwa tanah yang menjadi aset utama bagi rakyat banyak adalah tanah untuk bercocok tanam yang merupakan sumber kehidupan utamanya. Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang vital, dimana keberadaannya saat ini merupakan hal yang langka (Wiradi 2000). Pernyataan tersebut konsisten dengan pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat sedangkan ketersediaan tanah sebagai kebutuhan hidup selalu tetap jumlahnya. Hal tersebut menjadikan tanah menjadi satu komoditas tersendiri yang seringkali menimbulkan masalah terkait pembagian, penyebaran dan distribusinya.

Kelembagaan tradisional merupakan aturan yang digunakan untuk mengatasi permasalahan terkait dengan tanah, sebelum diberlakukannya UUPA No.5 Tahun 1960. Sejak lahirnya UUPA pada tanggal 24 september 1960, persoalan mengenai penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia diatur dalam UUPA dan peraturan-peraturan pelaksanaannya dengan beberapa pengecualian. Penguasaan tanah sendiri berarti suatu hak dan wewenang untuk mengatur, mengelola, menggunakan dan memberikan hak milik tanah dalam suatu wilayah kekuasaan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum adat maupun peraturan lainnya. Penguasaan tanah tidak hanya merujuk kepada kepemilikan tanah, tetapi tanpa memiliki tanah tersebut seseorang juga dapat menguasai tanah melalui hubungan sewa, gadai, sakap dan sebagainya. Melalui hubungan tersebut, masyarakat yang memiliki penghasilan besar dapat menguasai sebidang tanah dengan luas tertentu. Akibatnya dapat terjadi pemusatan penguasaan lahan oleh sejumlah kecil golongan masyarakat. Selain itu, pemusatan penguasaan lahan ini juga disebabkan oleh politik hukum yang seringkali bertentangan dengan UUPA, sehingga UUPA tidak mampu dijadikan rujukan dalam mengatasi berbagai masalah agraria dan pertanahan.

(18)

Desa Tonggara merupakan salah satu desa yang tergolong semi urban dan masih berbasis pertanian. Desa ini memiliki delapan dusun dengan karakteristik yang cukup heterogen. Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo merupakan dua dusun yang ada di Desa Tonggara dan masih berbasis pertanian. Meskipun kedua dusun tersebut merupakan dusun yang masih berbasis pertanian namun, memiliki karakteristik yang cukup berbeda. Mayoritas masyarakat Dusun Margajaya bekerja di sektor pertanian dan tidak memiliki pekerjaan sampingan, sementara masyarakat Dusun Karanglo mayoritas memiliki pekerjaan sampingan meskipun mereka sudah bekerja di sektor pertanian.

Penguasaan lahan merupakan faktor penting bagi masyarakat Dusun Margajaya dan Karanglo yang kehidupannya masih tergantung pada sektor pertanian. Penguasaan lahan juga penting dalam penentuan berbagai kebutuhan lain dalam masyarakat karena lahan memiliki nilai jual. Berdasarkan hal tersebut, lahan tidak hanya sebagai aset produktif, tetapi juga sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan.

Menurut Soekanto (1982) selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu hal yang dihargai, maka akan menumbuhkan sistem lapisan masyarakat. Bagi pedesaan yang memiliki karakteristik sebagai daerah pertanian dan mayoritas masyarakatnya bekerja di bidang pertanian seperti Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo, lahan menjadi suatu hal yang penting dan berharga. Hal ini akan memungkinkan terjadinya pelapisan masyarakat berdasarkan penguasaan lahan. Akan tetapi, pada masyarakat yang tinggal di daerah dengan karakteristik sebagai daerah pertanian dengan mayoritas masyarakatnya justru bekerja di luar sektor pertanian, mungkin lahan bukan lagi menjadi penentu dalam pelapisan masyarakat. Kondisi semacam pemaparan di atas bukanlah jaminan untuk seluruh daerah di Indonesia yang memiliki karakteristik serupa, namun pada dasarnya sesuatu yang dihargai selalu berubah-ubah sesuai perkembangan zaman dan teknologi. Hal tersebut menunjukkan bahwa bentuk dan ukuran stratifikasi yang ada di masyarakat berbeda-beda. Oleh karena itu, menarik untuk diteliti lebih lanjut bagaimana pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi sosial suatu masyarakat.

Rumusan Masalah

(19)

dengan tanah itu sendiri, tetapi juga hubungan manusia dengan manusia, sehingga untuk dapat menguasai tanah dipengaruhi oleh faktor baik yang berasal dari dalam orang itu sendiri maupun dari luar orang tersebut. Oleh karena itu, perlu untuk diteliti bagaimana pengaruh faktor internal dan eksternal terhadaap penguasaan lahan di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo?

Setiap masyarakat senantiasa memiliki penghargaan terhadap hal-hal tertentu. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu tersebut, akan menimbulkan lapisan masyarakat. Bagi masyarakat pedesaan Jawa yang masih kental dengan pertanian, tanah memiliki nilai yang sangat tinggi. Tingginya nilai tanah ini dapat dijadikan sebagai salah satu ukuran untuk menentukan lapisan masyarakat. Akan tetapi, pada zaman sekarang dengan kesempatan bekerja di luar pertanian terbuka lebar, mungkin saja tanah bukan lagi menjadi ukuran penentu lapisan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran pelapisan masyarakat bukan hanya tanah saja, sehingga bentuk-bentuk lapisan masyarakat pun berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu untuk diteliti bagaimana bentuk dan indikator stratifikasi sosial yang terjadi di Dusun Margajaya dan Dusun karanglo?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap penguasaan lahan di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo

2. Mendeskripsikan bentuk dan indikator stratifikasi sosial di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo

3. Menganalisis pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi sosial masyarakat Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih lanjut mengenai pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi yang ada di masyarakat Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo, Desa Tonggara. Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada beberapa pihak, yaitu:

1. Bagi akademisi, diharapkan tulisan ini menjadi referensi dalam melakukan penelitian-penelitian terkait stratifikasi di pedesaan berdasarkan penguasaan lahan.

(20)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Penguasaan Lahan

Konsep Penguasaan Lahan

Pada masa pra-kolonial, pola pembagian wilayah yang menonjol di Indonesia berupa pembagian tanah menjadi beragam penguasaan atau pengawasan, yang diberikan oleh pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh raja atau pihak yang berwenang di istana. Menurut Wiradi (2009), pada masa itu konsep kepemilikan atau penguasaan tanah berdasarkan konsep Barat (“property“, Eigendom) belum dikenal oleh golongan masyarakat manapun, bahkan bagi penguasa. Penguasa dapat mempertahankan dan secara teoritis juga mempunyai hak untuk menguasai, menggunakan, ataupun menjual hasil buminya sesuai hukum adat dengan kekuasaan dan pengaruh dari para pejabat.

Menurut Harsono (2008) dalam hukum tanah dikenal adanya penguasaan tanah secara yuridis. Penguasaan tanah secara yuridis adalah penguasaan yang dilandasi oleh hak yang dilindungi secara hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai tanah tersebut secara fisik. Tidak semua penguasaan secara yuridis memberikan hak kepada pemilik tanah untuk menguasai tanahnya secara fisik. Fakta yang terjadi di lapang, penguasaan tanah dapat dilakukan oleh pihak lain, meskipun secara yuridis pemilik lahan diberi kewenangan untuk menguasai tanah secara fisik. Misalnya, apabila tanah yang dikuasai disewakan kepada pihak lain, maka tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain dengan hak sewa meskipun secara yuridis, tanah tersebut dikuasai oleh pemilik tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, misalnya saja kreditor atau bank sebagai pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan secara yuridis atas tanah yang telah dijadikan jaminan oleh pemiliknya. Akan tetapi secara fisik penguasaannya tetap pada pemegang hak atas tanah.

(21)

sebagai cara yang digunakan dalam mengolah sebidang tanah agar diusahakan secara produktif (Wiradi 2009).

Wiradi (2009) seperti yang dikutip oleh Supriyati et al. (2008) dalam penelitiannya, mendefinisikan penguasaan lahan merupakan tatanan dan prosedur yang mengatur hak dan kewajiban dari individu atau kelompok dalam penggunaan dan pengawasan atas tanah. Undang-Undang Pokok Agraria (UU No.5 tahun 1960), mengakui ada beberapa hak atas tanah. Hak atas tanah tersebut adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka hutan, hak memungut hasil hutan, serta hak yang sifatnya sementara seperti hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian. Beberapa bentuk penguasaan tanah tradisional diubah status hukumnya setelah diundangkannya UUPA. Berbeda dengan teori, dalam praktek di beberapa pedesaan, perlakuan maupun istilah dalam penguasaan tanah tradisional masih banyak dipakai.

Secara garis besar, tata hubungan antara kepemilikan, penguasaan, dan peruntukan tanah disebut struktur agraria. Dalam struktur agraria sendiri dikenal istilah land tenure dan land tenancy. Land tenure merujuk pada status hukum dari penguasaan tanah. Sedangkan land tenancy menyangkut tentang sistem pembayaran diantara pihak yang memiliki urusan dengan tanah. Istilah penguasaan tanah tidak hanya menunjuk pada tanah milik, tetapi juga tanah yang didapat melalui cara menyewa, gadai, dan bagi hasil. Selain itu dalam hukum tanah dikenal juga penguasaan secara yuridis dengan diberi kewenangan dan tanpa diberi kewenangan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penguasaan Lahan

Komersialisasi yang terjadi di pedesaan Jawa pada tahun 1800 hingga 1950-an menyebabk1950-an terjadinya perubah1950-an pemakna1950-an terhadap nilai u1950-ang. Perubah1950-an pemaknaan tersebut merupakan salah satu hal yang mendorong pada terjadinya perubahan struktur agraria penguasaan lahan. Menurut Wiradi dan Manning (1984) ada dua faktor penyebab perubahan struktur agraria penguasaan lahan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa desa di DAS Cimanuk, faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria penguasaan lahan dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

yang dimaksud adalah umur petani, lama pendidikan petani, pendapatan RTP, akses memperoleh lahan, dan jumlah tanggungan keluarga, sedangkan faktor eksternal yang dimaksud adalah pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah melalui rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW), intervensi swasta, faktor ekonomi (kesejahteraan), faktor sosial budaya (warisan), faktor alam dan kelembagaan hukum pertanian.

(22)

kekeringan, erosi, pencemaran, iklim, cuaca, serangan hama penyakit yang semakin intensif, luas dan bervariasi, sehingga sulit untuk diprediksi dan dikendalikan), kebijakan pemerintah tidak mengutamakan pertanian (kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian penguasaan sudah banyak dibuat, namun implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai dari pemangku kepentingan), faktor sosial ekonomi (misalnya: tingginya biaya sekolah anak) dan terbatasnya kredit modal kerja di sektor pertanian. Sedangkan yang termasuk faktor internal adalah akses petani terhadap penggunaan lahan pertanian yang tersedia, jumlah tanggungan keluarga (anak-anak pewaris tidak mendapatkan pekerjaan di luar sektor pertanian, akibatnya lahan warisan dibagi-bagi hingga jelas batas-batas kepemilikannya).

Sementara itu, dari hasil penelitian Susanti et al. (2013) hanya ada dua faktor, yaitu faktor pertumbuhan penduduk, dan faktor ekonomi (nilai jual lahan). Kedua faktor tersebut jika dikategorikan sesuai dengan yang dikemukakan Wiradi dan Manning (1984) termasuk dalam faktor eksternal. Faktor yang pertama yaitu faktor pertumbuhan penduduk, dijelaskan dalam penelitian tersebut bahwa semakin tingginya angka pertumbuhan penduduk, maka ketimpangan penguasaan lahan pun semakin meluas. Faktor yang kedua adalah faktor ekonomi, tingginya nilai jual lahan yang diiringi dengan tingginya kebutuhan sementara pendapatan tidak menunjang, membuat seorang petani dapat dengan mudah menjual lahannya. Ketika peristiwa seperti itu terus terjadi, maka bukan tidak mungkin jika beberapa waktu yang akan datang penguasaan lahan akan semakin timpang.

Berbeda dengan penjelasan Wiradi dan Manning (1984), penelitian dari Swastika et al. (2000) menyebutkan bahwa faktor keterbatasan tenaga kerja dan modal usaha serta kondisi lahan yang rusak akibat keterbatasan air mempengaruhi terjadinya pola penguasaan lahan. Jika merujuk pada temuan Wiradi dan Manning (1984) ketiga faktor tersebut tidak serta merta dapat langsung digolongkan ke dalam faktor eksternal maupun internal. Apabila dicermati lebih jauh lagi, faktor-faktor yang ditemukan dalam penelitian Swastika et al. (2000) ini dapat digolongkan dalam faktor eksternal.

Berbeda daerah, berbeda pula faktor yang mempengaruhi terjadinya penguasaan lahan di daerah tersebut hingga terkadang menimbulkan ketimpangan. Teori yang dapat dipakai dalam menganalisis faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan adalah hasil temuan dari Wiradi dan Manning (1984), dengan menggolongkan menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Meskipun berbeda-beda faktor di setiap daerah, namun dari tiga hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang sama yang muncul di tiga daerah penelitian yang berbeda adalah faktor ekonomi. Hal tersebut menandakan bahwa faktor ekonomi yang lebih sering mempengaruhi terjadinya suatu pola penguasaan lahan tertentu, namun bukan berarti bahwa faktor lain tidak berpengaruh.

Pola Penguasaan Lahan

(23)

ketika berada dalam keadaan terdesak untuk membeli kebutuhan. Adanya strategi jual beli, sewa menyewa lahan dan bagi hasil ini membuat seseorang tidak hanya menggunakan pola eksklusif (satu orang hanya menggunakan satu pola), tetapi banyak pola. Hasil penelitian Sihaloho et al. (2009) dalam penelitian di dua desa perkebunan di Banten, menemukan dua pola penguasaan lahan yaitu pola penguasaan tetap dan pola penguasaan sementara. Pola penguasaan tetap berarti petani menguasai lahan dengan cara memiliki lahan tersebut. Sedangkan pola penguasaan sementara dimaksudkan bahwa petani menguasai lahan tidak dengan cara memiliki lahan, tetapi dengan cara lain, seperti sewa, gadai, sakap, dan lain-lain. Hal ini sejalan dengan penjelasan Wiradi (2009) yang menyebutkan tentang jenis-jenis penguasaan lahan yang diaplikasikan di Indonesia yaitu berupa milik, sewa, sakap atau bagi hasil, menjual lepas, gadai, dan maro atau sewa bersama-sama dengan gadai.

Pola penguasaan lahan yang sejalan dengan penjelasan Wiradi (2009) juga dikenal dalam penelitian Susanti et al. (2013) di Pegunungan Tengger. Pola penguasaan yang umumnya dikenal di daerah tersebut adalah pemilikan lahan bercorak pribadi. Jika merujuk pada penelitian Sihaloho et al. (2009) pola seperti ini termasuk pola pemilikan tetap. Dengan sistem ini, pemilik bebas untuk melakukan pemindahtanganan kepada orang lain yang berakibat pada perpecahan dan fragmentasi lahan pertanian. Di daerah ini, meskipun yang umumnya dikenal adalah pola pemilikan tetap, terdapat juga penguasaan lahan bersifat sementara. Penguasaan lahan bersifat sementara tersebut bisa didapat dengan cara sewa menyewa, bagi hasil, dan gadai.

Penelitian lain yang sejalan dengan penjelasan Wiradi (2009) adalah penelitian Supriyati et al. (2008) yang menyebutkan bahwa dalam studi-studi sosial ekonomi pertanian tentang masalah penguasaan tanah di pedesaan Indonesia dilakukan penyederhanaan dalam pengelompokkan bentuk-bentuk penguasaan tanah ke dalam dua kelompok besar, yaitu penguasaan tanah milik, dan penguasaan tanah bukan milik, yang terdiri dari sewa, bagi hasil, gadai, dan lainnya. Jika dibandingkan dengan penelitian Sihaloho et al. (2009), cara mengelompokkan pola penguasaan pada penelitian Supriyati et al. (2008) sedikit berbeda. Pada penelitian Sihaloho et al. (2009) pola penguasaan lahan dikelompokkan menjadi penguasaan milik tetap dan penguasaan bersifat sementara. Sementara pada penelitian ini dikelompokkan menjadi penguasaan tanah milik dan penguasaan tanah bukan milik. Meskipun begitu, cara mendapatkan lahan dari dua pengelompokkan tersebut tetap dengan cara yang sama seperti penjelasan Wiradi (2009).

(24)

berupa tegalan dan relatif sempitnya lahan yang bisa diusahakan, sehingga orang cenderung memilih penguasaan milik karena keuntungan yang didapat lebih besar dibandingkan penguasaan sementara. Sementara di luar Jawa, pola penguasaan yang umum diterapkan adalah pola penguasaan sementara karena jenis lahannya termasuk perkebunan. Luas kebun yang besar, memberikan hasil dari pola penguasaan sementara yang tidak lebih kecil dari penguasaan tetap.

Stratifikasi Sosial

Konsep Stratifikasi Sosial

Masyarakat telah mengakui adanya pelapisan dalam kehidupan mereka sejak berabad-abad yang lalu. Perwujudan dari pelapisan sosial adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas rendah. Tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban serta tanggung jawab antar anggota masyarakat menjadi dasar dari pelapisan masyarakat itu sendiri. Selain itu, setiap masyarakat pada umumnya memiliki penghargaan terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan terhadap hal-hal tertentu akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal lainnya. Gejala tersebut menimbulkan pelapisan dalam masyarakat. Sistem pelapisan tersebut, dalam sosiologi dikenal dengan istilah stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin dalam Sajogyo (1985) adalah pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat.

Stratifikasi sosial menyebabkan adanya perbedaan posisi sejumlah grup sosial. Perbedaan tersebut selanjutnya memberikan perlakuan yang berbeda. Misalnya saja, masyarakat yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah sangat banyak dianggap berada di lapisan atas oleh anggota masyarakat lainnya. Biasanya kedudukan yang tinggi tersebut bersifat kumulatif. Artinya, mereka yang memiliki uang banyak akan mudah sekali mendapatkan tanah, kekuasaan, dan mungkin untuk mendapatkan kemudahan akses terhadap hal lain.

Lapisan masyarakat memiliki banyak bentuk konkret, tetapi secara prinsip bentuk tersebut dapat diklasifikasikan dalam tiga macam kelas, yaitu ekonomis, politik dan didasarkan pada jabatan tertentu dalam masyarakat. Pada umumnya ketiga macam kelas tadi mempunyai hubungan yang erat satu sama lain, namun tidak semua keadaan demikian. Hal itu semuanya tergantung pada sistem nilai yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat.

Menurut Weber dalam Soekanto (1982) konsep stratifikasi sosial meliputi class (kelas), status (kelompok status), dan partai-partai. Kelas merupakan stratifikasi sosial yang berdimensi ekonomi berupa produksi dan penguasaan. Status merupakan perwujudan stratifikasi sosial yang berhubungan dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh masyarakat dalam mengonsumsi “harta benda”, menyangkut gaya hidup (life style), kehormatan (honour) dan hak-hak istimewa (privileges). Partai merupakan perkumpulan sosial yang berdimensi pada penggunaan kekuasaan yang mempengaruhi tindakan masyarakat.

(25)

orang yang memiliki peluang kehidupan yang sama dipandang dari sudut ekonomis, antara lain melalui pemilikan dan penguasaan tanah.

Dasar-Dasar Pelapisan Masyarakat

Pelapisan masyarakat memiliki banyak bentuk dan berbeda-beda. Namun, pelapisan masyarakat tetap ada, meskipun dalam masyarakat kapitalis, demokratis, komunis dan lain sebagainya (Soekanto 1982). Menurut Inkeles (1965) dalam Soekanto (1982) pada awalnya pelapisan masyarakat didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, pembagian kerja, dan bahkan pembedaan berdasarkan kekayaan. Semakin rumit dan semakin maju teknologi suatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisan masyarakatnya. Saat ini ada empat ukuran yang biasa dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan, yaitu :

- ukuran kekayaan, seseorang yang memiliki banyak kekayaan termasuk dalam lapisan teratas. Misalnya dapat dilihat dari bentuk rumah, kendaraan yang dimiliki, pakaian, dan lain sebagainya.

- ukuran kekuasaan, seseorang yang memiliki kekuasaan atau wewenang terbesar menempati lapisan teratas.

- ukuran kehormatan, ukuran semacam ini biasanya ditemui pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.

- ukuran ilmu pengetahuan, ukuran ini biasanya dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang dengan gelar tertinggi menempati lapisan teratas.

Dasar pelapisan masyarakat tidak terbatas pada keempat ukuran sebagaimana yang dipaparkan di atas. Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia, misalnya di Jawa, seseorang yang berasal dari kerabat dan keturunan pembuka tanah menempati lapisan tertinggi. Kemudian, menyusul para pemilik tanah. Lalu, menyusul mereka yang hanya mempunyai pekarangan atau rumah saja.

Kerangka Pemikiran

(26)

tetapi memiliki dasar. Biasanya ukuran yang menjadi dasar pelapisan adalah sesuatu hal yang berharga.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Rumahtangga Petani

Keterangan :

: Mempengaruhi

: Diukur secara kualitatif

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan peneliti di atas, maka dapat dirumuskan dua hipotesis, yaitu :

1. Diduga faktor internal mempengaruhi penguasaan lahan 2. Diduga penguasaan lahan mempengaruhi stratifikasi sosial

Definisi Operasional

Faktor Internal

Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri responden yang mempengaruhi penguasaan lahan. Merujuk pada penelitian Wiradi dan

Penguasaan Lahan :

-Luas Lahan -Status Lahan

Stratifikasi Sosial :

-Tingkat pendapatan -Kepemilikan aset -Luas Lahan Faktor Eksternal:

-Nilai jual lahan -Lokasi Lahan

Faktor Internal : -Jumlah tanggungan

keluarga

(27)

Maanning (1984) faktor internal terdiri atas jumlah tanggungan keluarga dan tingkat pendapatan. Adapun status sosial, status penduduk dan tingkat pengeluaran belum pernah dilaporkan sebelumnya sebagai faktor internal yang mempengaruhi penguasaan lahan, namun dianggap perlu untuk diketahui. Status sosial terdiri atas tiga pertanyaan tertutup dan dua pertanyaan terbuka. Indikator untuk status sosial digolongkan menjadi dua yaitu rendah dan tinggi. Skor yang digunakan untuk menggolangkan status sosial ke dalam dua kategori tersebut merupakan jumlah skor dari tiga pertanyaan tertutup. Sementara penentuan indikator keempat variabel lainnya dilakukan dengan cara jawaban tertinggi (bukan jawaban pencilan) dikurangi jawaban terendah dibagi dua.

Tabel 1 Definisi operasional faktor internal

No Variabel Definisi Indikator Jenis Data

1 Akses

(28)

Tabel 2 Definisi operasional penguasaan lahan

No Variabel Definisi Indikator Jenis Data

1 Luas Lahan Ukuran lahan yang

2 Status Lahan Hal yang berhubungan dengan status lahan

Stratifikasi sosial merupakan pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas yang bertingkat. Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani. Setiap masyarakat di berbagai daerah memiliki ukuran dan bentuk stratifikasinya masing-masing.

Tabel 3 Definisi operasional stratifikasi sosial

No Variabel Definisi Indikator Jenis Data

(29)

PENDEKATAN LAPANGAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di dua dusun yaitu Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo, Desa Tonggara, Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive. Alasan pemilihan lokasi penelitian mempertimbangkan tiga aspek. Aspek yang pertama yaitu karakteristik kedua dusun sebagai dusun pertanian. Aspek kedua mempertimbangkan mata pencaharian masyarakat di kedua dusun. Mayoritas masyarakat Dusun margajaya bekerja sebagai buruh tani di lahan Perhutani tanpa memiliki pekerjaan sampingan, sementara mayoritas masyarakat Dusun Karanglo bekerja sebagai petani dan memiliki pekerjaan sampingan. Aspek ketiga yang dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi yaitu keadaan masyarakat dusun yang memiliki perbedaan kondisi ekonomi. Kondisi ekonomi masyarakat Dusun Karanglo dapat dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan konidisi ekonomi masyarakat Dusun Margajaya.

Tahapan dilaksanakannya penelitian ini dimulai dari penyusunan proposal skripsi yang dilaksanakan selama bulan Februari hingga minggu kedua bulan Maret. Pada minggu ketiga bulan Maret dilaksanakan kolokium. Perbaikan proposal dilakukan selama tiga minggu, yaitu minggu ke tiga dan ke empat bulan Maret serta minggu pertama bulan April. Setelah proposal selesai diperbaiki, tahap selanjutnya yaitu pengambilan data lapang yang dilaksanakan selama tiga minggu, yaitu minggu ke dua hingga minggu ke empat bulan April. Selama minggu pertama hingga minggu ke tiga bulan Mei, data yang didapat dari lapang kemudian diolah dan dianalisis. Setelah data diolah dan dianalisis, tahap selanjutnya yaitu penulisan draft skripsi yang dilaksanakan selama minggu ke tiga bulan Mei hingga minggu ke dua bulan Juni. Setelah draft selesai disusun, dilakukan uji petik pada minggu ke dua bulan Juni. Selesai uji petik, kemudian pada minggu ke tiga bulan Juni dilakukan sidang. Tahap yang terakhir adalah tahap perbaikan skripsi. Perbaikan skripsi dilakukan setelah sidang selesai dilakukan.

Metode Penelitian

(30)

dengan masyarakat dusun, wawancara mendalam kepada responden dengan panduan pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat.

Teknik Penentuan Responden

Unit analisis yang diambil oleh peneliti adalah rumahtangga, baik yang bekerja di bidang pertanian maupun non pertanian yang menguasai lahan. Selanjutnya, informasi dan data penelitian diperoleh melaui responden yang sekaligus menjadi informan. Responden adalah pihak yang memberikan keterangan mengenai dirinya dan keluarganya, sekaligus memberikan informasi mengenai situasi yang terjadi di sekitarnya karena responden juga berperan sebagai informan.

Populasi dalam penelitian ini adalah rumahtangga yang ada di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo, Desa Tonggara, Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Tegal. Menggunakan teknik simple random sampling, dipilih rumahtangga yang tinggal dan lahan yang dikuasai ada di Dusun Margajaya serta rumah tangga yang tinggal dan lahan yang dikuasai ada di Dusun Karanglo. Berdasarkan kerangka sampling tersebut didapatkan sebanyak 55 calon responden Dusun Margajaya dan 66 calon responden Dusun Karanglo. Kemudian responden ditentukan menggunakan rumus Slovin, yaitu :

Keterangan : n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi

α = Derajat kepercayaan (digunakan 10%)

Berdasarkan rumus Slovin, didapatkan 35 responden untuk Dusun Margajaya, dan 40 responden untuk Dusun Karanglo. Selanjutnya responden dipilih secara acak menggunakan Ms. Excel.

Teknik Pengumpulan Data

(31)

pengisian kuesioner tersebut untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam pengisian. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman pertanyaan kepada seluruh responden. Sementara data sekunder diperoleh melalui data potensi desa dan literatur lainnya yang terkait.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

(32)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Fisik

Desa Tonggara merupakan desa terujung barat dari Kecamatan Kedung Banteng dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Pangkah, dipisahkan oleh jalan raya Pangkah-Tonggara. Desa ini memiliki bentangan wilayah yang terbagi menjadi dataran rendah dan berbukit-bukit serta curah hujan sebesar 306 mm, sebagian besar wilayahnya dimanfaatkan untuk persawahan yaitu sebesar 118.88 hektar. Persawahan yang ada di Desa Tonggara terbagi menjadi sawah irigasi teknis sebesar 55.26 hektar, irigasi sebagian teknis 35.60 hektar, dan sawah tadah hujan sebesar 28.02 hektar. Komoditas pertanian utama di desa ini adalah jagung, padi, dan tebu.

Prasarana dan kondisi irigasi yang digunakan untuk sawah tercatat sepanjang 950 meter untuk saluran primer dan 1250 meter untuk saluran sekunder sedangkan saluran tersier hanya sepanjang satu meter, prasarana yang lain seperti pintu sadap terdapat sejumlah tiga unit dan 400 unit pintu pembagi air. Namun, sebesar 400 meter dari saluran primer, 250 meter saluran sekunder, 710 saluran tersier, dan satu unit pintu sadap air rusak. Prasarana air bersih yang digunakan untuk sanitasi penduduk, sebesar 1420 unit rumah menggunakan sumur pompa dan 40 unit rumah menggunakan sumur gali.

Tanah kering yang dimanfaatkan sebesar 163.85 hektar yang lebih dari separuhnya digunakan sebagai ladang, 32.80 hektar digunakan sebagai pemukiman dan 6.05 hektar digunakan sebagai pekarangan. Sebesar 32.80 hektar yang digunakan sebagai pemukiman terbagi menjadi perkantoran pemerintah, bangunan sekolah, pertokoan, pasar, perumahan, dan jalan desa.

Bidang pendidikan, desa ini memiliki tiga playgroup, satu taman kanak-kanak, tiga sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama serta dua Raudhatul Athfal, namun belum memiliki sekolah menengah atas sendiri, sehingga setelah lulus dari sekolah menengah pertama harus melanjutkan ke kecamatan ataupun daerah lain. Akses dari dan menuju desa, sudah ada satu ruas jalan utama yang menggunakan aspal dan satu ruas jalan yang menggunakan makadam. Jembatan yang digunakan untuk melalui sungai juga sudah ada empat unit jembatan beton dan satu unit jembatan besi. Sebagian besar jalan desa dalam kondisi baik dan terawat, namun ada satu dusun yang terpencil yaitu Dusun Margajaya yang kondisi jalannya masih berbatu dan bergelombang, sehingga memerlukan perhatian khusus.

(33)

Kondisi fisik sarana dan prasarana Desa Tonggara secara keseluruhan terhitung cukup memadai. Adanya minimarket seperti indomaret, serta kantor cabang dan ATM bank BRI menambah lengkap fasilitas di desa ini. Selain itu, akses jalan raya yang menghubungkan dengan kecamatan Pangkah dan ibukota kabupaten yaitu Slawi, juga memudahkan warga Desa Tonggara untuk mencapai fasilitas lain yang tidak tersedia di desa.

Kondisi sosial

Kondisi sosial Desa Tonggara berdasarkan keadaan penduduknya dapat dilihat dari tingkat perkembangan jumlah penduduk, struktur mata pencaharian, tingkat pendidikan, jumlah kejadian kriminalitas, serta partisipasi masyarakat terhadap program pemerintah. Persentase perkembangan jumlah penduduk di Desa Tonggara berdasarkan data profil desa dan kelurahan per bulan September 2013 sebanyak 1.66 persen penduduk laki-laki, dan 1.32 persen penduduk perempuan. Berdasarkan analisis potensi desa, potensi sumberdaya manusia di Desa Tonggara ini termasuk dalam golongan sedang.

Mata pencaharian yang dominan bagi penduduk Desa Tonggara adalah di sektor pertanian yaitu lebih dari 80 persen total jumlah penduduk yang bekerja, namun pekerja di sektor pertanian tersebut hampir 70 persen adalah buruh tani, sisanya adalah petani yang menggarap lahan milik sendiri. Jumlah tersebut sangat potensial untuk melakukan pengembangan pertanian terutama persawahan yang terdapat di Desa Tonggara, sehingga desa ini memiliki tipologi sebagai desa persawahan. Sektor lain yang menjadi mata pencaharian bagi masyarakat Desa Tonggara yaitu peternakan, pegawai atau karyawan, dan wiraswasta.

Tingkat pendidikan penduduk Desa Tonggara terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu penduduk buta aksara, tamat SD/sederajat, tamat SMP/sederajat, tamat SMA/sederajat, dan tamat perguruan tinggi. Persentase penduduk buta aksara cukup kecil hanya 1.15 persen dari total jumlah penduduk, persentase penduduk tamat SD/sederajat sekitar 40.60 persen, persentase penduduk tamat SMP/sederajat yaitu 24.20 persen, persentase penduduk tamat SMA/sederajat sekitar 17.80 persen, serta persentase penduduk yang tamat perguruan tinggi adalah 1.51 persen. Persentase anak usia sekolah yang tidak bersekolah sangat kecil. Persentase anak usia 7-12 tahun yang tidak sekolah di SD/sederajat sebesar 0.07 persen, persentase anak usia 13-15 yang tidak sekolah di SMP/sederajat adalah 0.14 persen, serta persentase anak usia 15-18 tahun yang tidak sekolah SMA/sederajat sebesar 0.93 persen. Fasilitas yang terdapat di Desa Tonggara untuk menekan rendahnya tingkat pendidikan penduduk selain lembaga pendidikan formal adalah adanya perpustakaan desa, perpustakaan keliling, serta kelompok belajar paket A, B, dan paket C.

(34)

persen dari total jumlah penduduk, sedangkan persentase penduduk yang mengonsumsi miras sangat kecil, yaitu 0.03 persen dari total jumlah penduduk.

Tingkat partisipasi masyarakat Desa Tonggara terhadap program pemerintah dapat dikatakan cukup tinggi. Salah satunya dapat dilihat dari kesadaran membayar pajak. Realisasi PBB tahun 2012 sebesar 100 persen dari jumlah wajib pajak sebanyak 11892 orang. Jumlah partisipasi politik masyarakat Desa Tonggara dalam pemilihan umum pun sangat tinggi, yaitu 91.12 persen dari jumlah penduduk yang memiliki hak pilih. Berdasarkan kondisi sosial yang ditinjau dari beberapa aspek tersebut, terlihat bahwa kondisi sumberdaya manusia di Desa Tonggara memiliki potensi yang cukup untuk mendukung sektor pertanian yang memang sangat potensial dikembangkan di Desa Tonggara. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa Desa Tonggara termasuk dalam kategori desa berkembang apabila dilihat dari laju perkembangan tahunan. Sedangkan berdasarkan analisis tingkat perkembangan lima tahunan, Desa Tonggara termasuk dalam kategori desa swasembada.

Kondisi ekonomi Desa Tonggara jika dilihat dari kesejahteraan keluarga, dibagi menjadi lima kategori. Kategori tersebut antara lain keluarga prasejahtera, sejahtera 1, sejahtera 2, sejahtera 3, dan sejahtera 3 plus. Hampir sebanyak 42 persen dari total jumlah keluarga berada dalam kategori keluarga prasejahtera.

Dusun Margajaya

Dusun Margajaya merupakan dusun yang paling terpencil dibandingkan dusun lainnya yang ada di Desa Tonggara. Bentangan wilayah dusun ini merupakan perbukitan. Jenis lahan di dusun ini merupakan lahan tegalan dengan luas 150 hektar. Separuh dari luas tersebut merupakan lahan Perhutani. Sedangkan 75 hektar sisanya merupakan lahan tegalan yang dikuasai oleh orang luar dusun. Prasarana air bersih yang digunakan oleh penduduk setempat hanya berasal dari saluran air waduk Cacaban. Kondisi tanah yang berbatu membuat masyarakat sulit untuk mengakses sumber air tanah karena tanah sulit digali. Sarana peribadatan hanya ada satu yaitu mushola. Kondisi jalan menuju dan di sekitar dusun merupakan tanah liat dan berbatu, sehingga ketika musim hujan kondisi jalan sangat licin.

Dusun Margajaya dihuni oleh 66 Kepala Keluarga (KK). Sebanyak 11 KK bermata pencaharian di sektor non pertanian, dan 55 KK bermata pencaharian di sektor pertanian. Tingkat pendidikan penduduk Dusun Margajaya terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu buta aksara, tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, dan tamat SMA. Tidak ada satu orang Dusun Margajaya pun yang tamat perguruan tinggi. Hal ini disebabkan kondisi ekonomi masyarakat Dusun Margajaya yang rendah.

(35)

aliran air Waduk Cacaban yang juga digunakan oleh petani setempat untuk mengairi lahan mereka.

Masyarakat Dusun Margajaya merupakan masyarakat pendatang. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari luar Desa Tonggara, bahkan ada yang berasal dari luar Kabupaten Tegal. Sebelum tahun 1982, masyarakat Dusun Margajaya adalah penggarap lahan milik orang Desa Tonggara. Pada tahun 1982, masyarakat Desa Tonggara merasa iba dengan para pendatang, sehingga mereka menempatkan masyarakat pendatang di Dusun Margajaya. Lokasi Dusun Margajaya dipilih sebagai tempat untuk masyarakat pendatang karena dusun tersebut masih belum berpenghuni dan dekat dengan aliran air.

Setelah mereka menempati Dusun Margajaya, mata pencaharian mereka tidak berubah. Mereka tetap menjadi penggarap lahan milik masyarakat Desa Tonggara dan ada beberapa yang menjadi buruh pemotong kayu serta bekerja di sektor non pertanian seperti menjadi supir. Tahun 2004, Perhutani memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan pengaplingan lahan garapan di lahan milik Perhutani dengan syarat ikut memelihara tanaman milik Perhutani (sanggem). Lokasi Dusun Margajaya yang berdekatan dengan Perhutani membuat mereka lebih mudah mendapat akses terhadap kesempatan tersebut, sehingga sejak tahun 2004 masyarakat Dusun Margajaya bekerja sebagai penggarap di lahan Perhutani. Selain menggarap lahan Perhutani, beberapa masyarakat yang masih berusia 30-an biasanya juga bekerja sebagai buruh tani yang menggarap lahan milik orang luar Dusun Margajaya, tetapi lahannya terletak di Dusun Margajaya.

Dusun Karanglo

Dusun Karanglo merupakan salah satu dusun yang masih berbasis pertanian dari delapan dusun yang ada di Desa Tonggara. Dusun ini terdiri atas lima Rukun Tetangga (RT) dan dua Rukun Warga (RW) yang dihuni oleh 180 Kepala Keluarga (KK). Mata pencaharian masyarakat dusun ini terhitung cukup beragam jika dibandingkan dengan masyarakat Dusun Margajaya. Mayoritas masyarakat Karanglo memiliki pekerjaan sampingan di sektor non pertanian seperti berdagang atau karyawan pabrik gula maupun pabrik teh. Sebanyak 114 KK bekerja di sektor non pertanian, sementara sisanya 66 KK masih bekerja di sektor pertanian meskipun mereka juga memiliki pekerjaan sampingan di sektor non pertanian. Tingkat pendidikan masyarakat Dusun Karanglo terbagi menjadi beberapa golongan, yaitu buta aksara, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, dan perguruan tinggi.

(36)

Karanglo memiliki fasilitas MCK. Sumber air yang mereka gunakan adalah air tanah.

(37)

PENGUASAAN LAHAN

Pola-Pola Penguasaan Lahan

Lahan merupakan sumber hidup bagi manusia baik lahan sawah, kebun, maupun lahan tempat tinggal. Struktur agraria mengenal dua istilah yaitu istilah pemilikan dan penguasaan lahan. Istilah pemilikan lahan sudah jelas pengertiannya, yaitu memiliki sebidang tanah dengan luasan tertentu secara de fakto dan juga de jure, sedangkan istilah penguasaan biasanya tidak begitu dipahami oleh kebanyakan orang. Istilah penguasaan lahan dalam pengertian struktur agraria menurut Wiradi (2009) tidak hanya pemilikan tanah, tetapi lebih menunjuk kepada penguasaan efektif. Penguasaan efektif sendiri memiliki arti menguasai tanah tidak hanya secara milik, tetapi dapat juga dilakukan dengan cara sewa, gadai, bagi hasil dan lain sebagainya. Penguasaan lahan menjadi penting bagi masyarakat agraris, seperti masyarakat di Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya, karena lahan menjadi sumber kehidupan mereka.

Lahan tidak hanya berperan sebagai aset produktif, tetapi juga sebagai aset bernilai ekonomis tinggi yang dapat diperjualbelikan. Hal ini menjadikan lahan sebagai aset yang dapat berpindah tangan dan berubah status penguasaannya maupun luasannya setiap saat. Oleh karena itu, ketika berbicara penguasaan lahan, luasan lahan menjadi penting untuk diketahui. Berikut Tabel 4 yang menunjukkan jumlah dan persentase luas lahan yang dikuasai oleh rumahtangga responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya.

Tabel 4 Jumlah dan persentase luas lahan yang dikuasai rumahtangga responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya

Kategori

Dusun Karanglo Dusun Margajaya

Milik Non Milik Milik Non Milik

n (%) n (%) n (%) n (%)

Tinggi 4 12.5 1 100 5 45.4 21 87.5

Rendah 35 67.5 0 0 6 54.6 3 12.5

Total 39 100 1 100 11 100 24 100

Sumber : Data Primer, 2014

(38)

untuk membeli tanah, sehingga responden melakukan sewa. Sementara di Dusun Margajaya mayoritas masyarakatnya menggarap lahan Perhutani. Hanya 11 responden dari 35 responden yang menguasai lahan milik, sisanya 24 responden menguasai lahan secara sanggem atau menggarap lahan Perhutani. Sebelum menggarap lahan Perhutani, masyarakat Margajaya mayoritas bekerja sebagai buruh tani yang menggarap lahan masyarakat Desa Tonggara. Mereka tidak memiliki tanah sendiri karena mereka merupakan masyarakat pendatang. Rendahnya upah mereka sebagai buruh tani, membuat mereka tidak mampu membeli tanah meskipun harga tanah di Dusun Margajaya tergolong murah. Sebanyak 11 responden yang menguasai lahan milik, merupakan mereka yang memiliki pekerjaan sampingan selain sebagai buruh tani.

Sebanyak 39 dari 40 responden Dusun Karanglo menguasai lahan milik. Lahan milik yang dikuasai, mayoritas diperoleh melalui waris dan jual beli. Penguasaan lahan secara tetap yang didapat dengan cara memiliki lahan tersebut merupakan penguasaan yang umum terjadi di Dusun Karanglo. Hal ini disebabkan lahan merupakan faktor produksi utama yang harus mereka miliki. Jika mereka tidak memiliki lahan, mereka tidak dapat bertani. Sementara jika hanya mengandalkan penghasilan dari pekerjaan sampingan seperti berdagang atau menjadi karyawan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Selain itu, dengan memiliki lahan mereka merasa lebih aman dalam menjalankan usaha tani.

Mekanisme penguasaan lahan di Dusun Karanglo sendiri lebih beragam jika dibandingkan dengan mekanisme penguasaan lahan di Dusun Margajaya. Dusun Karanglo sudah ada sejak Desa Tonggara ada. Saat zaman penjajahan, lahan pertanian di Desa Tonggara dikuasai oleh pemerintaha, namun sejak Indonesia merdeka, lahan di desa ini menjadi milik masyarakat. Pembagian lahan di Dusun Karanglo pada saat itu, didasarkan pada kesanggupan masyarakat. Siapapun yang mau dan sanggup untuk memanfaatkan lahan-lahan tersebut, maka dipersilahkan oleh pemerintah setempat untuk menguasai lahan. Sistem seperti tu digunakan karena pada zaman dulu, tidak banyak masyarakat Dusun Karanglo yang senang pada sektor pertanian. Lambat laun, lahan-lahan yang dikuasai ini akhirnya menjadi hak milik. Mayoritas dari masyarakat yang menggarap lahan ini mewariskan lahan kepada anak-anaknya, meskipun ada juga beberapa yang menjual kepada orang lain. Mereka yaang menjual kepada pihak lain disebabkan alasan ekonomi. Keterdesakan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang membuat masyarakat Dusun Karanglo menjual lahannya kepada pihak lain. Seiring berjalannya waktu, cara penguasaan yang lain seperti sewa mulai dikenal masyarakat. Mereka yang menyewakan lahannya biasanya adalah orang yang pendapatannya lebih menjanjikan dari sektor non pertanian, tetapi tidak mau melepas tanahnya. Sementara mekanisme penguasaan tanah di Dusun Margajaya berawal dari adanya sistem pengaplingan lahan Perhutani yang ada di dusun tersebut. Tahun 2004, Perhutani membuka kesempatan kepada masyarakat setempat untuk mengapling lahan garapan mereka di Perhutani dengan syarat ikut merawat tanaman milik Perhutani. Kedekatan lokasi Dusun Margajaya dengan Perhutani membuat masyarakat dusun ini lebih akses terhadap informasi, sehingga mayoritas dari masyarakat Margajaya yang bekerja di sektor pertanian adalah penggarap lahan Perhutani.

(39)

Pada Dusun Karanglo, luasan lahan yang dikuasai mayoritas berkategori rendah, karena lahan pertanian di Dusun Karanglo rata-rata sudah dikuasai secara waris, sehingga lahan yang tersisa untuk dikuasai secara jual beli relatif sempit. Sementara di Dusun Margajaya, lahan yang dikuasai relatif sempit karena lahan pertanian yang ada di Dusun Margajaya milik orang Desa Tonggara. Alasan lain yang menyebabkan lahan yang dikuasai berkategori rendah karena berkaitan dengan tingkat pendapatan mereka yang rendah, seperti yang telah dijelaskan di atas.

Tidak hanya luasan lahan, pola penguasaan lahan juga dapat dilihat dari cara responden menguasai lahan. Cara responden pada pembahasan ini dilihat dari banyaknya cara yang digunakan. Hal ini disebabkan beberapa responden menguasai lahan dengan beberapa cara sekaligus. Data tersebut ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah dan persentase banyak cara penguasaan lahan yang digunakan responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya

Jumlah Cara Dusun Karanglo Dusun Margajaya

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

1 Cara 33 82.5 28 80

2 Cara 7 17.5 5 14.3

3 Cara 0 0 2 5.7

Total 40 100 35 100

Sumber : Data Primer, 2014

(40)

masyarakat dari luar Desa Tonggara yang baru datang ke Margajaya setelah Dusun Margajaya ini terbentuk. Alasan mereka merantau tentu untuk mendapat kehidupan yang lebih baik, sehingga dengan modal awal yang mereka punya, mereka membeli lahan di Dusun Margajaya yang harganya relatif murah jika dibandingkan dengan harga tanah pada umumnya.

Tidak hanya satu cara yang digunakan responden untuk menguasai lahan, sebanyak 17.5 persen responden Dusun Karanglo dan 14.3 persen responden Dusun Margajaya menguasai lahan dengan dua cara. Kombinasi dua cara di Dusun Karanglo merupakan kombinasi antara sistem waris dan jual beli. Pada umumnya mereka yang menggunakan dua cara ini merasa bahwa lahan yang mereka kuasai melalui waris masih sempit, sehingga mereka merasa perlu untuk membeli lahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Berikut penuturan Bapak BS, salah satu responden yang menggunakan dua cara (responden Dusun Karanglo) :

“...dulu kan anake bapak kulo katah mba, dadose pas tanah dibagi-bagi ngge waris niku nggeh angsale sakedik. Lah tapi kan pegaweane kulo kan tani mba, nek ngandelaken tanah waris tok nggeh mboten cekap dadose kulo tumbas walaupun mboten amba sing penting gadahe kulo piyambek, wong saniki kiyate tumbas semonten mba... (dulu kan anak bapak saya banyak mba, jadi waktu tanahnya dibagi-bagi buat warisan ya dapatnya sedikit. Tetapi karena pekerjaan saya bertani, kalau hanya mengandalkan tanah waris tidak cukup jadi saya membeli tanah walaupun tidak luas yang penting milik saya sendiri mba. Ya mau bagaimana lagi, sekarang saya kuatnya baru bisa beli segitu mba) ...”

Berbeda dengan Dusun Karanglo, dua cara yang umum digunakan oleh responden Dusun Margajaya adalah cara sanggem dan jual beli. Cara yang awalnya digunakan oleh mereka adalah sanggem atau menggarap lahan Perhutani yang dimulai pada tahun 2004. Sebelum tahun 2004 mereka buruh tani di lahan pertanian milik orang Desa Tonggara. Setelah tahun 2004 mereka memiliki modal dan ada tanah yang dijual, mereka membeli meskipun tidak luas.

Selain dengan dua cara, ada dua responden Dusun Margajaya yang menguasai lahan melalui tiga cara. Satu dari dua responden tersebut menggunakan kombinasi sanggem, beli, dan sewa. Sementara satu responden yang lain menggunakan kombinasi waris, beli, dan sanggem. Sama seperti responden yang menerapkan dua cara, cara awal yang digunakan adalah sanggem, menyusul kemudian digunakan cara lain yaitu beli dan sewa, atau beli dan waris. Berikut penuturan Bapak T (responden Dusun Margajaya, 54 tahun) yang menguasai lahan dengan cara beli, sanggem dan sewa :

(41)

saya menawarkan sewa jadi saya sewa tanahnya. Sebenarnya kalau sama yang punya tanah mau dijual sih saya beli mba)...”

Berdasarkan pemaparan cara penguasaan yang dilakukan oleh responden di Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pola di masing-masing dusun, yaitu pola penguasaan tetap dan pola penguasaan sementara. Pola penguasaan yang umum diterapkan di Dusun Karanglo adalah pola penguasaan tetap yang didapatkan dari jual beli dan warisan. Sementara pola penguasaan sementara hanya diterapkan oleh satu orang, yang didapatkan dengan cara sewa. Sedangkan pola penguasaan lahan yang umum di Dusun Margajaya adalah pola penguasaa sementara, yang didapatkan dengan cara menggarap lahan Perhutani atau masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah “sanggem”. Sanggem merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk menggarap lahan Perhutani sekaligus diminta oleh Perhutani untuk memelihara tanaman milik Perhutani. Hal ini wajar terjadi karena masyarakat Dusun Margajaya merupakan masyarakat pendatang. Hanya mereka yang berusia sekitar 30 tahun, yang lahir di Desa Tonggara. Sedangkan orangtua mereka semuanya merupakan masyarakat pendatang. Pada awalnya masyarakat Dusun Margajaya menggarap lahan milik orang Desa Tonggara. Karena jumlah mereka semakin hari semakin banyak, sehingga masyarakat Desa Tonggara menempatkan mereka di satu lokasi yang sekarang ini menjadi lokasi Dusun Margajaya. Selain karena mereka masyarakat pendatang yang tidak memiliki lahan, hal lain yang mendukung mereka menggarap lahan Perhutani karena lokasi pemukiman mereka lebih dekat dengan Perhutani, sehingga mereka memiliki lebih banyak kesempatan dibanding masyarakat dusun lain saat pengaplingan lahan garapan di tahun 2004. Alasan lain masyarakat Dusun Margajaya menguasai dengan cara sanggem karena tidak mampu membeli tanah dan sudah tidak adanya tanah yang dijual. Berikut penuturan Bapak W (responden Dusun Margajaya, 32 tahun):

(42)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penguasaan Lahan

Lahan merupakan salah satu sumberdaya terpenting bagi masyarakat agraris. Masyarakat agraris seperti di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo tidak hanya membutuhkan lahan sebagai tempat tinggal, namun juga untuk melakukan kegiatan pertanian. Akan tetapi, tidak semua masyarakat di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo mendapatkan kesempatan yang sama untuk menguasai lahan. Hal tersebut disebabkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan seseorang, seperti tingkat pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, tingkat pengeluaran, status sosial, dan status kependudukan dari orang itu sendiri. Pembahasan sub bab ini akan memaparkan tabel frekuensi masing-masing faktor. Faktor yang pertama adalah tingkat pendapatan, berikut ini Tabel 6 yang menunjukkan jumlah dan persentase tingkat pendapatan dari rumahtangga petani yang menjadi responden.

Tabel 6 Jumlah dan persentase tingkat pendapatan rumahtangga responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya

Kategori Dusun Karanglo Dusun Margajaya

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Tinggi 18 45 15 42.9

Rendah 22 55 20 57.1

Total 40 100 35 100

Sumber : Data Primer, 2014

Faktor yang pertama diduga mempengaruhi penguasaan lahan adalah tingkat pendapatan. Tingkat pendapatan diukur dari rata-rata jumlah pemasukan baik yang berasal dari pertanian maupun non pertanian per musim (per empat bulan), karena pekerjaan utama responden sebagai petani. Data Tabel 6 menunjukkan bahwa sebanyak 45 persen responden Dusun Karanglo memiliki pendapatan tinggi (> Rp 5 540 000). Jumlah responden tersebut lebih banyak dibandingkan dengan responden Dusun Margajaya yaitu hanya 42.9 persen yang memiliki pendapatan tinggi. Hal ini disebabkan responden Dusun Karanglo memiliki pekerjaan sampingan di sektor non pertanian.

Faktor yang selanjutnya adalah tingkat pengeluaran. Pengeluaran dilihat dari banyaknya biaya yang harus dikeluarkan responden yang dihitung per tahun. Berikut Tabel 7 yang menunjukkan jumlah dan persentase tingkat pengeluaran rumahtangga responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya.

Tabel 7 Jumlah dan persentase tingkat pengeluaran rumahtangga responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya

Kategori Dusun Karanglo Dusun Margajaya

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Tinggi 26 65 30 85.7

Rendah 14 35 5 14.3

Total 40 100 35 100

(43)

Tingginya tingkat pengeluaran di kedua dusun dikarenakan adanya pemenuhan kebutuhan selain kebutuhan pokok, seperti pembelian pakaian, biaya kesehatan, transportasi dan lain-lain. Kemudian lebih banyaknya jumlah responden Margajaya yang memiliki pengeluaran tinggi dibandingkan responden Dusun Karanglo karena jauh dan sulitnya akses masyarakat Dusun Margajaya menuju pusat desa. Hal lain yang menyebebabkan pengeluaran masyarakat Margajaya lebih tinggi dari Karanglo disebabkan sebagian besar responden Margajaya memiliki jumlah tanggungan yang masih bersekolah, sehingga harus mengeluarkan biaya lebih banyak dibanding responden Dusun Karanglo dengan sedikit jumlah tanggungan yang masih berusia sekolah. Selain itu, adanya arisan di Dusun Margajaya membuat mereka harus mengeluarkan uang lebih setiap bulannya. Tidak hanya itu saja, tingginya tingkat pengeluaran masyarakat Margajaya disebabkan oleh sikap konsumtif mereka. Hal tersebut dibuktikan dengan tingginya pengeluaran yang dikeluarkan untuk membeli lauk pauk. Kaum ibu di Dusun Margajaya mayoritas ikut membantu suami mereka menjadi buruh tani. Bekerja di lahan membutuhkan waktu yang tidak sedikit, sehingga tidak jarang mereka harus berada di lahan dari pagi hingga sore hari. Lamanya waktu yang dibutuhkan oleh para kaum ibu ini membuat mereka tidak memiliki banyak waktu untuk memasak, sehingga mereka harus membeli lauk yang sudah masak meskipun harganya lebih mahal dan jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan memasak sendiri.

Faktor internal selanjutnya yaitu faktor jumlah tanggungan keluarga. Jumlah tanggungan keluarga yang dimaksud disini adalah banyaknya orang yang hidup bersama dalam satu rumah dan makan dalam satu dapur yang sama. Tabel 8 menunjukkan jumlah dan persentase jumlah tanggungan keluarga responden di Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya.

Tabel 8 Jumlah dan persentase jumlah tanggungan keluarga responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya

Kategori Dusun Karanglo Dusun Margajaya

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Tinggi 5 12.5 16 45.7

Rendah 35 87.5 19 54.3

Total 40 100 35 100

Sumber : Data Primer, 2014

Data Tabel 8 menunjukkan kedua dusun memiliki jumlah tanggungan keluarga yang rendah, yaitu satu hingga tiga orang. Dusun Karanglo rata-rata memiliki jumlah tanggungan keluarga yang rendah karena usia responden mayoritas di atas 45 tahun, sehingga anak-anak responden sudah menikah dan tinggal berbeda rumah dengan mereka. Sementara Dusun Margajaya memiliki jumlah tanggungan keluarga rendah karena mayoritas masih berusia sekitar 30 tahun, sehingga jumlah tanggungan mereka pada umumnya hanya dua hingga tiga orang, yaitu anak dan istri.

(44)

penguasaan tanah. Akses informasi dilihat dari perkumpulan yang sedang atau pernah diikuti, dengan siapa responden berkomunikasi selama satu minggu, dan pernah tidaknya ditawari gadai tanah. Baik responden Dusun Karanglo maupun Margajaya mayoritas adalah masyarakat yang akses informasinya rendah. Hal mengenai akses informasi akan dijelaskan pada Tabel 9 di bawah ini.

Tabel 9 Jumlah dan persentase akses informasi responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya

Kategori Dusun Karanglo Dusun Margajaya

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Tinggi 9 22.5 7 20

Rendah 31 77.5 28 80

Total 40 100 35 100

Sumber : Data Primer, 2014

Berdasarkan data Tabel 9, mayoritas responden dengan jumlah lebih dari 50 persen di kedua dusun memiliki akses informasi yang rendah. Rendahnya akses informasi responden di kedua dusun jika dilihat dari pertanyaan yang diajukan pada kuesioner, disebabkan karena tidak adanya perkumpulan di masing-masing dusun. Perkumpulan diharapkan dapat memberikan banyak informasi mengenai penjualan, penggadaian atau penyewaan tanah. Selain tidak adanya perkumpulan, mayoritas dari mereka tidak pernah ditawari gadai tanah. Pada umumnya orang yang ditawari gadai tanah memiliki akses informasi yang tinggi di masyarakat.

Faktor terakhir adalah status kependudukan. Status kependudukan yang dimaksud disini adalah perbedaan tempat kelahiran dan tempat tinggal sekarang. Ketika tempat tinggal dan tempat kelahiran responden berbeda, maka dapat dikatakan status kependudukannya termasuk penduduk pendatang. Berikut Tabel 10 yang menunjukkan sebaran jumlah dan persentase status kependudukan responden.

Tabel 10 Jumlah dan persentase status kependudukan responden Dusun Karanglo dan Dusun Margajaya

Kategori Dusun Karanglo Dusun Margajaya

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Asli 26 65 15 42.9

Pendatang 14 35 20 57.1

Total 40 100 35 100

Sumber : Data Primer, 2014

Gambar

Gambar 1  Kerangka Pemikiran Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi
Tabel 1  Definisi operasional faktor internal
Tabel 2  Definisi operasional penguasaan lahan
Tabel 6  Jumlah dan persentase tingkat pendapatan rumahtangga responden Dusun
+3

Referensi

Dokumen terkait

Luas penguasaan lahan tersebut kemudian dilihat kembali menggunakan variabel status penguasaan lahan garapan di Desa Bansari dan Kelurahan Jampirejo. Masyarakat Desa

Dalam masalah tanah, sering terjadi penipuan terkait jual beli tanah dalam tujuan penguasaan tanah secara melawan hukum di atas lahan yang telah dikuasai dan

Hasil penelitian ini didukung oleh hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap responden bahwa kegiatan sewa lahan yang dilakukan menggunakan sawah milik petani lain

Hasil penelitian ini didukung oleh hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap responden bahwa kegiatan sewa lahan yang dilakukan menggunakan sawah milik petani

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGARUH KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI (KASUS DESA CANDIMULYO, KECAMATAN

1) Faktor sosial dan kependudukan; faktor ini berkaitan erat dengan peruntukan lahan bagi pemukiman atau perumahan secara luas. Secara khusus mencakup penyediaan fasilitas

Skripsi ini diberi judul Penga ruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Petani (Studi Kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor , Jawa Barat).. Pilihan

Tulisan ini menelaah secara deskriptif tentang keterkaitan penguasaan sumber daya pertanian (lahan) dengan penguasaan ternak sapi potong, kontribusi usaha tani sapi potong terhadap