• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh harapan dan coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh harapan dan coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Oleh :

TirtaArthaWardani

NIM: 207070000725

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)

BAB I

PENDAHULUAN

Bagian pertama ini menjelaskan hal-hal yang melatarbelakangi peneliti dalam melakukan penelitian tentang resiliensi caregiverkanker. Selain itu, peneliti juga

akan memaparkan tujuan dan manfaat dari penelitian. Tidak lupa peneliti memberikan pembatasan masalah agar pembahasan tidak melebar bahkan berseberangan dari tujuan. Sistematika penulisan juga disertakan untuk memberi

tuntunan dalam menyusun laporan hasil penelitian.

1.1Latar Belakang

Kanker merupakan suatu proses pertumbuhan dan penyebaran yang tidak terkontrol dari sel yang abnormal, yang mempunyai kecenderungan menyebar pada bagian tubuh yang lain. Sel kanker ini bertindak sebagai penghambat dan

perusak bagi organ-organ tubuh dimana ia berkembang, terutama jika sel tersebut tumbuh pada organ vital seperti otak, hati dan paru-paru, yang pada akhirnya

sering kali menyebabkan kematian pada penderitanya (Sarafino, 1998). Penyakit kanker adalah penyakit yang sangat berbahaya. Oleh karena itu sangat diperlukan perhatian yang sangat serius, karena penyakit kanker yang sudah pada tahap

stadium tinggi biasanya berujung kepada kematian. Menurut Gumawan (dalam Kompas, 2001) menyatakan bahwa dua pertiga dari penderita kanker di dunia

berada di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap 11 menit ada satu penduduk dunia meninggal karena kanker dan setiap tiga menit ada satu penderita kanker baru. Data WHO

(19)

kanker baru dan dua pertiga penderita kanker di dunia berada di negara berkembang (Organisasi Kesehatan Dunia, 2001). Di Indonesia, masalah penyakit

kanker menunjukkan lonjakan yang luar biasa. Dalam jangka waktu 10 tahun, terlihat bahwa peringkat kanker sebagai penyebab kematian, naik dari peringkat

dua belas menjadi peringkat enam. Setiap tahun diperkirakan terdapat 190 ribu penderita baru dan seperlimanya akan meninggal akibat penyakit ini (Mediasehat, 2005).

Kanker menjadi sesuatu yang menakutkan bagi semua orang, hal ini karena angka kematian akibat kanker yang sangat tinggi. Angka harapan hidup

penderita kanker hanya 60% dibandingkan dengan bukan penderita (Mediasehat, 2005). Kanker bisa menyerang siapa saja, baik pria maupun wanita. Ada beberapa jenis yang sifatnya lebih spesifik dan lebih sering menyerang pria seperti kanker

prostat dan kanker paru (Mediasehat, 2004). Berdasarkan laporan tengah tahunan catatan medik RS Dr. Soetomo kurun waktu Juni sampai dengan Desember 1984,

didapatkan bahwa kanker paru telah menduduki urutan ketiga sebagai penyebab kematian bagi kaum laki-laki di Indonesia (Gatra, 2001). Lebih dari 1,3 juta kasus baru kanker paru di seluruh dunia, menyebabkan 1,1 juta kematian tiap tahunnya.

Di Indonesia, kanker paru menjadi penyebab kematian utama kaum pria dan lebih dari 70% kasus kanker itu baru terdiagnosis pada stadium lanjut (stadium III atau

IV) sehingga hanya 5% penderita yang bisa bertahan hidup (Mediasehat, 2004).Pada wanita tahun 2005 ditemukan sebanyak 3.884 kasus (36,83%) kanker leher rahim. Sedangkan kanker payudara sebanyak 749 kasus atau

(20)

maka kurang lebih dari separuh penyakit kanker dapat dicegah, bahkan dapat disembuhkan (KBI Gemari, 2003). Sayangnya hasil diagnosis kanker menyatakan

bahwa 80% penderita kanker ditemukan pada stadium lanjut, yakni stadium 3 dan 4 (Kompas, 2001). Pada tahap ini kanker sudah menyebar ke bagian-bagian lain di

dalam tubuh sehingga semakin kecil peluang untuk sembuh dan pulih, dan berkemungkinan langsung tidak akan sembuh. Keadaan di atas menjadi salah satu penyebab meningkatnya penyakit kanker di Indonesia.

Hileman, Lackey, dan Hassanein(dalam Duci, 2011) menjelaskan bahwa secara klinis seorang yang didiagnosis kanker ditandai dengan berangsur-angsur

menghilangnya kemampuan intelektual yang mempengaruhi kognitif, dan perilaku, yang pada akhirnya seorang kanker menjadi tergantung pada orang lain, dan membutuhkan perawatan tetap oleh anggota keluarga.

Peters(dalam Serfelova, 2012)menjelaskan bahwa penyakit kronis seperti kanker, telah lama dikenal sebagai penyakit yang berdampak serius, tidak hanya

terhadap diri penderita namun juga berdampak pada orang lain, terutama keluarga. Keluarga, selain juga mengalami dampak emosional dari diagnosis tersebut, juga terbebani tanggung jawab baru karena hampir semua pasien kanker membutuhkan

pengobatan jangka panjang yang berproses. Ini menuntut anggota keluarga untuk ikut terlibat dalam kepedulian merawat pasien kanker tersebut.

Keluarga mereka yang menjadi perawat bagi pasien biasa disebut sebagai

caregiver. Mereka tidak hanya terlibat pada awal masa pengobatan, tetapi juga dalam kepedulian termasuk kekambuhan, perkembangan kesehatan pasien, dan

(21)

Menurut Barbara A. Given (2012), caregiver adalah sumber utama dukungan bagi individu penderita kanker dan dapat mempengaruhi perubahan

pada pasien. Tanpa dukungan dari caregiver, pasien sulit untuk mempertahankan diri dalam menjalani penyakit yang diderita. Caregiver diperlukan untuk merawat

dan mendorong pasien serta menjadi sumber dukungan bagi pasien dalam menggurangi kekhawatiran yang timbul di dalam dirinya. Wong (dalam Menz, 2012) mengemukakan bahwa ketika pasien merasa perlu mengkomunikasikan

kebutuhan mereka, caregiver adalah tujuan mereka, karena pelayanan kesehatan dan dokter lebih fokus pada kebutuhan medis pasien. Caregiver juga harus ulet

untuk menangani pasien dan menumbuhkan hal-hal yang tidak disediakan oleh tenaga medis seperti rasa kasih sayang, harapan, dorongan pemahaman dan penghargaan dari usahanya bertahan demi memelihara semangat hidupnya

(resilience).

Miller(dalam Chakraborty, 2007) mengemukakan bahwa faktor penting

untuk kesembuhan pasien juga dilihat dari kedekatan hubungan antara caregiver

dan pasiennya. Hal ini sangat berpengaruh bagi efektifitas perawatan yang diberikan caregiver terhadap pasien.

Given, Hudson, dan Moody(dalam Barbara 2012) menjelaskan bahwa

caregiver diharapkan menjadi penyedia utama layanan kesehatan bagi pasien di

rumah. Berbagai macam tanggung jawab caregiver pada saat merawat pasien kanker mempengaruhi masa depan perkembangan penyembuhan pasien tersebut. Segala bentuk tuntutan pasien, baik secara eksternal maupun internal

(22)

diterima caregiver ini dapat berakibat buruk karena stres yang dialami caregiver

dapat menjadi penghambat besar dalam masa perawatan sehari-hari pasien.

Perasaan cemas, khawatir, kelelahan baik secara fisik maupun psikologis, kejenuhan, bingung, dan perasaan lainnya yang menimbulkan stres dalam

merawat pasien seringkali muncul dalam masa pelayanan mereka terhadap pasien. Connor dan Richardson(dalam Rosenberg, 2013)mengemukakan bahwa berkaitan dengan beban yang ditanggungnya, dibutuhkan adanya bantuan dari

penyedia layanan kesehatan untuk mempertahankan kesejahteraan caregiver dan untuk mempertahankan peran mereka sebagai caregiver keluarga. Hasil studi

terhadap caregiver kanker menemukan bahwa ketahanan (resiliensi) caregiver

mempengaruhi semua kondisi pasien kanker termasuk kondisi fisik, psikologis, sosial, keuangan, dan spiritual. Oleh sebab itu untuk membuat keadaan caregiver

jadi lebih baik dibutuhkan cara untuk mengurangi stres pada caregiver yang sesuai dengan kondisi yang diperlukan. Unggar (dalam Bennett 2012)

menekankan perlunya resiliensi untuk meningkatkan ketahanan caregiver disaaat menghadapi stres yang dirasakannya dalam masa perawatan yang tinggi. Resiliensi adalah ketahanan atau kerentanan caregiver dalam menghadapi segala

tuntutan.

Davidson (dalam Pinke 2009) memandang resiliensi sebagai kualitas

personal yang baik dan ketahanan mereka terhadap stres yang mendorong individu untuk dapat berkembang meskipun berada dalam kesulitan. Sanggeta bhatia(dalam Grotberg, 2004) menjelaskan tentangtanggung jawab dalam

(23)

segala perubahan, bukanlah suatu tuntutan hidup yang mudah. Oleh karenanya, dibutuhkan resiliensi yang baik dalam merawat pasien. Resiliensi dapat

dimanfaatkan sebagai alat untuk mengelola stres caregiver terkait dengan masalah klinis kejiwaan, anak, kesehatan masyarakat, pengaturan seluruh jangka hidup

dengan penyakit kronis.

Resiliensi tidak hanya dilihat dari kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik pada situasi sulit yang dialami, tetapi juga kemampuan

individu untuk tetap mempertahankan kondisi fisik dan kesehatan dengan baik dan melakukan proses adaptasi dengan cara-cara yang tidak merusak (Siebert,

2005). Dengan kata lain, caregiver yang memiliki resiliensi yang baik akan mampu mengatasi stres yang dialaminya dengan cara yang baik.

Kemampuan caregiver untuk menyediakan perawatan pada pasien dapat

dikatakan tergantung pada kemampuannya mempertahankan resiliensi. Pada umumnya bahwa caregiver menjadi stres karena hasil kesehatan dirinya yang

memburuk, karena caregiver tidak mampu menjaga kesehatan, disebabkan banyakwaktu yang tersita untuk merawat pasien. Luthar (dalam Lin Fang-Yi, 2013) menyatakan bahwa stressor yang dirasakan oleh caregiver merupakan

tantangan bagi keluarga untuk mengkondisikan kekuatan yang ada pada diri

caregiver melalui resiliensi.

Kekuatan resiliensi memungkinkan caregiver untuk mencapai keseimbangan, keyakinan, dan kekuatan pribadi. Caregiver tidak bisa menghindar dari tugasnya merawat pasein, sehingga ia harus bisa menangani sebaik mungkin

(24)

Wagnild dan Young (1993) menyatakan bahwa resiliensi adalah keberhasilan untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan atau dengan kata lain,

resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah jatuh dan terpuruk.

Dengan resiliensi, membuat caregiver dapat mengendalikan perasaannya dengan sehat. Caregiver membiarkan dirinya sendiri untuk merasakan kemarahan,kehilangan, dan keraguan, namun ia tidak membiarkan perasaan

tersebut menjadi keadaan yang permanen dalam dirinya. Aspinwall dan Clark (dalam Rowland, 2005) menjelaskan bahwa resiliensi bukanlah sekedar suatu ciri

sifat yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh individu, namun lebih sebagai bagian dari proses perkembangan kesehatan untuk dapatberadaptasi dan meningkatkan kesejahteraan di sepanjang rentang waktu kehidupan. Dari berbagai jenis kanker

dan stadium yang diderita pasien, caregiver harus bisa menyesuaikan kebutuhannya untuk memberikan dukungan kepada pasien dan mengatur

emosionalnya.

Setiap orang yang didiagnosis dengan kanker membutuhkan caregiver

terlibat dalam perawatannya, untuk mempertahankan kondisi normal sehari-hari

dan memelihara harapan pasien dalam menghadapi kanker. Menurut Gazini, (dalam Rabkin, 2000) caregiver dapat mengubah kondisi psikologis pasien dari

waktu ke waktu, dengan adanya resiliensi dalam bentuk harapan dan optimisme dalam menghadapi kondisi negatif ataupun positif. Harapan dan optimisme yang berhubungan dengan kondisi negatif berkaitan dengan penanganan terhadap

(25)

dapat berupa penyesuaian psikologis yang baik, agar pasien dapat memelihara semangatnya untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik.

Resiliensi dianggap berfungsi pada caregiver dalam menghadapi stres yang berdampak pada semua aspek fungsi keluarga, yang paling erat kaitannya

dengan fungsi pemecahan masalah dalam membangun kognitif caregiver dalam kemampuan menggunakan coping. Menurut Bruhn dan Felder(dalam Moseley, 2011) menjelaskan bahwa resiliensi caregiver menyiratkan kemampuan caregiver

untuk bertahan dari stres dalam merawat pasien kanker, resiliensi juga telah dikaitkan dengan kuantitas yang lebih besar dan lebih efektif, dengan

menggunakan coping.

Kemampuan coping padacaregiver kanker merupakan kemampuan yang dimiliki oleh caregiver untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal yang

berasal dari sumber stres selama merawat pasien kanker untuk dapat mencapai resilien. Pakenham (dalam Bennett, 2012) mengemukakan bahwa kemampuan

coping sebagai upaya-upaya khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan individu untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan stres. Lazarus(dalam

Moseley, 2011) menjelaskan bahwa kematangan individu terhadap kemampuan

coping menunjukkan bahwa individu memiliki kematangan dalam coping yang

tinggi sehingga lebih cenderung pada problem focused coping saat ia bermasalah. Sebaliknya, kematangan coping yang relatif rendah akan lebih cenderung mengarah pada emotional focused coping dalam penyelesaian masalahnya.

(26)

eksternal pada caregiver yang dapat mempengaruhi kemampuannya dalam

coping. Menurut Norton (dalam Pinke, 2009) resiliensi memegang peranan

penting untuk membuat seseorang mencapai kehidupan yang positif dan dinamis meskipun mengalami masalah, sehingga mampu mengembangkan

kemampuannya melaksanakan tugas-tugas pada perkembangan dan mampu untuk terus menghasilkan coping yang baik terhadap permasalahaan yang dihadapinya.

Berkaitan dengan fenomena diatas, maka dari itu peneliti tertarik

melakukan penelitian skripsi mengenai “Pengaruh Harapan dan Coping stres terhadap Resiliensi Caregiver Kanker”.

1.2Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan Masalah

Untuk membatasi meluasnya permasalahan penelitian, maka masalah dalam

penelitian ini dibatasi pada pengaruh harapan dancoping stresterhadap resiliensicaregiverkanker.

Adapun konsep-konsep yang berkaitan dengan obyek penelitian dibatasi sebagai berikut:

1. Harapan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dengan meningkatkan

ketahanan caregiver kanker untuk mengembangkan bagaimanakeberanian menjumpai hambatan dan motivasiuntuk menggunakan cara atau jalur tersebut

agar mencapai tujuan(Snyder, 2000).Berdasarkan dari dimensi harapan (hope) yaitu, untuk merencanakan menuju tujuan (goal)denganadanya motivasi

(27)

2. Coping Stres yang dimaksud dalam penelitian ini menurut pengertian Pakenham (dalam Bennett, 2012) kemampuan coping sebagai upaya-upaya

khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan individu untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian

yang menimbulkan stres. Berdasarkan dari dimensi coping stres yaitu, memecahkan masalah (planful problem solving), menghadapi masalah

(confrontive coping), mencari dukungan sosial (seeking social support),

menerima tanggungjawab (accepting responsibility), menjaga jarak

(distancing), melarikan diri-menghindari (escape-avoidance), penilaian positif

(reappraisal positive).

3. Resiliensi (resilience) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keberhasilan untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan atau dengan kata

lain, resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah jatuh dan terpuruk (Wagnild, & Young, 1993).Menekankan bahwa

semua individu sangat membutuhkan kemampuan yang dapat dikembangkan dengan melalui lima komponen resiliensi yaitu ketenangan hati (equnimity),

ketekunan(perseverance), kebermaknaan (meaningfulness),kemandirian (self

reliance), daneksistensial kesendirian(exixtential aloneness).

4. Caregiver dalam penelitian ini yang dimaksud caregiver adalah sumber utama

dukungan bagi individu penderita kanker dan dapat mempengaruhi perubahan pada pasien (Barbara A. Given, 2012). Caregiver adalahanggota keluargayang secara langsung terlibat dalam perawatan pasien kanker baik di rumah atau

(28)

1.2.2 Perumusan Masalah

Berdasarkanpembatasan masalah diatas, maka penelitimerumuskan masalah

penelitian sebagaiberikut :

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi harapandan dimensi

coping stres terhadap resiliensi pada caregiverkanker?

2. Diantara variabel yang ada, variabel manakah yang paling berpengaruh terhadap resiliensi pada caregiverkanker?

3. Seberapa besar proporsi harapan dancoping stresbeserta dimensi-dimensinya dalam memberikan pengaruh terhadap resiliensicaregiverkanker?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Memiliki latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan

sebagai berikut:

a. Menguji adanya pengaruh harapan terhadap resiliensicaregiver kanker.

b. Menguji adanya pengaruh coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Setelah dilakukan penelitian ini, diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat dalam pengembangan bidangmengenai bagaimana pengaruh harapandan coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker, serta

(29)

cabang psikologi klinis dan psikologi kesehatan.

b. Secara lebih terperinci, hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk

mengembangkan pemahaman mengenai resiliensi pada caregiver dalam merawat pasien kanker.

2. Manfaat praktis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, diantaranya: a. Peneliti

Meningkatkan kemampuan diri untuk dapat bangkit kembali dari kesulitan yang mungkin dialami. Dengan kata lain, hasil dari penelitian ini diharapkan

dapat memberi pemahaman dan motivasi pada diri peneliti sendiri untuk dapat menjadi individu yang resilien. Kemampuan ini dapat terpenuhi melalui harapan yang ada dalam diri dan coping stres untuk dapat

memecahkan masalah sendiri. b. Yayasan atau praktisi kesehatan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam menentukan intervensi yang bertujuan meningkatkan resiliensi pada

caregiver.

c. Caregiver

Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat membantucaregiveruntuk

(30)

d. Komunitas kanker

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pemeliharaan dan

perhatian komunitas untuk ikut berperan dalam memberikan harapan dan memberikan pemecahan masalah (coping) yang tepat kepada caregiver

dalam merawat pasien kanker agar dapat bertahan.

1.4 Sistematika Penulisan

Penulisan laporan hasil penelitian ini mengacu pada “Panduan Penulisan Skripsi

dengan Pendekatan Kuantitatif Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta”. Adapun sistematikanya terinci sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan

skripsi.

BAB II KAJIAN TEORI

Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka yang dikemukakan dalam penelitian ini meliputi pengertian resiliensi, dimensi resiliensi, faktor yang mempengaruhi resiliensi dan pengukuran resiliensi; pengertian harapan, dimensi harapan,

karakteristik individu tingkat harapan tinggi, dan pengukuran harapan; pengertian

coping stres, dimensi coping stres, dan pengukuran coping stres; dan pengertian

(31)

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tentang metode penelitian, jenis-jenis penelitian, tempat dan waktu

penelitian, populasi, sampel dan sampling, variabel dan definsi operasional masing-masing variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas

konstruk, teknik analisis data, metode analisis data, dan prosedur penelitian yang digunakan.

BAB IV HASIL PENELITIAN

Bab ini peneliti menguraikan gambaran subyek penelitian,deskripsi hasil penelitian, pelaksanaan penelitian, statistik diskriptif, gambaran kondisi lokasi

penelitian, analisis data, dan hasilnya. Deskripsi data dilengkapi dengan tabel, grafik, gambar, dan diagram.

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan, keterbatasan, diskusi, dan saran-saran. Kesimpulan berisi tentang uraian hasil penelitian sebagai jawaban atas masalah penelitian yang

dirumuskan sebelumnya. Diskusi merupakan pembahasan hasil penelitian yang berisi analisis hasil penelitian dan membandingkannya dengan teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Sedangkan saran memuat saran teoritis yang

berkaitan dengan penelitian lebih lanjut berdasarkan hasil penelitian dan keterbatasan yang dialami. Selain itu, dijelaskan pula saran praktis yang dapat

diberikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan berkenaan hasil penelitian. DAFTAR PUSTAKA

(32)

BAB II KAJIAN TEORI

Bab kedua dari penelitian ini akan memaparkan tentang teori yang digunakan dalam penelitian ini, pengukuran nya, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.

2.1 Resiliensi

2.1.1 Definisi Resiliensi

Rutter (dalam Wagnild & Young, 1993) mendefinisikan resiliensi sebagai faktor

penyangga yang melindungi individu dari gangguan psikotik. Menurut Grotberg (2000, 2004) resiliensi adalah seluruh kapasitas yang memungkinkan individu,

kelompok atau komunitas untuk mencegah, meminimalisir atau mengatasi pengaruh merugikan atas kesengsaraan atau kesulitan. Tekanan ini bersifat terus menerus sehingga individu yang resilien adalah yang mampu melakukan adaptasi

terhadap tantangan yang bersifat terus menerus (Garmezy, Werner, Luthar, & Masten, dalam Basim, 2010).

Norman (dalam Cathy, 2010) mendefinisikan resiliensi sebagai kualitas dan mekanisme protektif yang meningkatkan adaptasi pada kehadiran faktor yang beresiko tinggi terhadap jalannya perkembangan. Kemudian Miller dan Lawton

(dalam Chakraborty, 2007) menyebutkan definisi yang serupa. Ia mengemukakan bahwa resiliensi adalah adaptasi positif terhadap kemalangan. Resiliensi juga

memungkinkan adanya perkembangan kompetensi saat menghadapi tekanan berat (Luthar, Cichetti & Becker, dalam Thomas, 2010) dan merupakan kapasitas untuk bangkit kembali dari kekecewaan, jalan mundur, dan rintangan (Nash, & Bowen,

(33)

Pada akhirnya, resiliensi tidak hanya berkisar pada adaptasi positif terhadap resiko tinggi atau melambung dari jalan mundur melainkan juga memberi

kemampuan pada individu untuk berespon dengan fleksibel dibawah tekanan yang terjadi tiap hari dalam kehidupan (Rutter & Greene, 2000). Sedangkan menurut

Luthar, dan Rutter(dalam Betancourt, 2008) resiliensi mengacu pada suatu fenomena atau proses yang secara relatif mencerminkan adaptasi positif saat mengalami ancaman atau trauma yang signifikan.

Beberapa definisi tentang resiliensi menjadi 3 kategori menurut Haase (dalam Basim, 2010) yaitu, a) untuk ketahanan diri sendiri, b) dukungan keluarga

dan, c) dukungan luar lainnya. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka resilliensi diartikan sebagai suatu kemampuan atau kapasitas yang dimiliki individu di mana dengan kapasitas tersebut, individu mampu bertahan serta

mampu berkembang secara sehat dan menjalani hidup secara positif dalam situasi yang kurang menguntungkan atau dalam kondisi yang penuh tekanan.

Resiliensi bukanlah suatu hal yang menetap, melainkan suatu hal yang dinamis dan berkembang sepanjang kehidupan manusia, serta di pengaruhi oleh faktor lingkungan. Wagnild dan Young (1990, 1993) sebelumnya juga

menemukan bahwa resiliensi merupakan suatu hal yang dinamis, tepat suatu kekuatan dalam diri individu sehingga mampu beradaptasi dalam menghadapi

kondisi sulit dan kemalangan yang menimpanya.

Ditambahkan oleh Wagnild (2010), hampir semua manusia mengalami kesulitan dan jatuh dalam perjalanan hidup, namun mereka memiliki ketahanan

(34)

melanjutkan hidup ini disebut resiliensi. Penelitian Wagnild (2010) menemukan bahwa resiliensi dapat menjadi faktor protektif dari munculnya depresi,

kecemasan, ketakutan, perasaan tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya sehingga memiliki potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin

muncul. Selanjutnya, individu yang resilien disebut sebagai individu yang berorientasi pada tujuan, di mana hal tersebut akan mendorongnya untuk selalu bangkit dan terus maju ketika menghadapi kesulitan. Ia juga mengetahui kekuatan

yang dimiliki dirinya, serta sadar bahwa ia dapat bergantung pada dirinya sendiri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, meskipun harus menyelesaikannya sendiri

(Wagnild, 2011). Untuk itu, Wagnild menekankan bahwa semua individu sangat membutuhkan kemampuan yang dapat dikembangkan melalui lima komponen resiliensi yaitu meaningfulness, perseverance, equnimity, self reliance, dan

exixtential aloneness.

Definisi yang dikemukakan Wgnild dan Young (1990, 1993) seperti yang

didapatkan di atas tidak hanya melihat resiliensi sebagai suatu hal yang dinamis dan dapat dikembangkan sepanjang kehidupan manusia, melainkan juga memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai lima komponen yang

mendasari resiliensi itu sendiri. Selain itu, definisi tersebut merupakan salah satu dasar pencetus dan berkembangnya studi tentang resiliensi serta menjadi acuen

(35)

2.1.2 Dimensi Resiliensi

Dimensi resiliensi merupakan suatu cara yang diwujudkan untuk membuat

pertahanan dalam merawat pasien dalam penyakit kronis. Wagnild & Young (1993; 2010) membagi resiliensi kedalam lima bentuk yaitu:

a. Ketenangan hati

Ketenangan hati yaitu suatu perspektif yang dimiliki oleh individu mengenai hidup dan pengalaman-pengalaman yang dialaminya semasa hidup yang

dianggap merugikan. Wagnild(2010), namun demikian individu harus mampu untuk melihat dari sudut pandang yang lain sehingga ia dapat melihat hal-hal

yang lebih positif daripada hal-hal negatif dari situasi sulit yang sedang dialami. Equaminity juga menyangkut karakteristik humor. Oleh karena itu individu resilien dapat menertawakan situasi apapun yang sedang dihadapi,

melihat situasi tersebut dari hal yang positif, dan tidak terjebak pada hal-hal negatif yang terdapat didalamnya.

b. Ketekunan

Ketekunan yaitu suatu sikap individu yang tetap bertahan dalam menghadapi suatu situasi sulit. Perseverance juga berarti keinginan seseorang untuk terus

berjuang dalam mengembalikan kondisi seperti semula. Wagnild(2010), dalam karakteristik perseverance ini dibutuhkan kedisiplinan pada diri individu ketika

berjuang menghadapi situasi yang sulit dan kurang menguntungkan baginya. c. Kemandirian

Kemandirian adalah keyakinan pada diri sendiri dengan memahami

(36)

individu yang resilien sadar kekuatan yang ia miliki dan mempergunakannya dengan benar sehingga dapat menuntun setiap tindakan yang ia lakukan.

Karakteristik ini didapat dari berbagai pengalaman hidup yang dialami sehari-hari dan dapat meningkatkan keyakinan individu akan kemampuan dirinya

sendiri. Individu yang resilien mampu belajar dari pengalaman hidup yang didapatnya setiap hari dan mampu mengembangkan berbagai pemecahan masalah yang dihadapinya.

d. Kebermaknaan

Kebermaknaan merupakan kesadaran individu bahwa hidupnya memiliki

tujuan dan diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Wagnild (2010) menyebutkan bahwa karakteristik ini merupakan karakteristik resiliensi yang paling penting dan menjadi dasar dari keempat karakteristik yang lain, karena

menurutnya hidup tanpa tujuan sama dengan sia-sia karena tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Tujuan mendorong individu untuk melakukan sesuatu

dalam hidup tak terkecuali ketika ia mengalami kesulitan, tujuanlah yang membuat individu terus berjuang menghadapi kesulitan tersebut.

e. Eksistensial kesendirian

Eksistensial Kesendirian menggambarkan kesadaran bahwa setiap individu unik dan beberapa pengalaman dapat dihadapi bersama namun ada juga yang

harus dihadapi sendiri. Individu resilien belajar untuk hidup dengan keberdayaan dirinya sendiri. Individu tidak terus-menerus mengandalkan orang lain, dengan kata lain mandiri dalam menghadapi situasi sulit apapun sehingga

(37)

Wagnild(2010), karakteristik existential aloneness bukan berarti tidak menghiraukan pentingnya berbagi pengalaman dan merendahkan orang lain,

melainkan menerima diri sendiri apa adanya.

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Rutter, Luthar, dan Richardson(dalam Zauszniewski, 2010) menjelaskan bahwa perkembangan resiliensi pada manusia merupakan suatu proses perkembangan manusia yang sehat, suatu proses dinamis dimana terdapat pengaruh dari interaksi

antara kepribadian seorang individu dengan lingkungannya dalam hubungan yang timbal balik. Hasilnya ditentukan berdasarkan keseimbangan antara faktor resiko,

kejadian dalam hidup yang menekan, dan faktor protektif. Selanjutnya, keseimbangan ini tidak hanya ditentukan oleh jumlah dari faktor resiko dan faktor protektif yang hadir dalam kehidupan seorang individu tetapi juga dari frekuensi,

durasi, derajat keburukannya, sejalan dengan kemunculannya. 1. Faktor Risiko

Faktor risiko dapat berasal dari kondisi budaya, ekonomi, atau medis yang menempatkan individu dalam risiko kegagalan ketika menghadapi situasi yang sulit. Faktor risiko menggambarkan beberapa pengaruh yang dapat

meningkatkan kemungkinan munculnya suatu penyimpangan hingga keadaan yang lebih serius lagi. Trait risiko merupakan predisposisi individu yang

meningkatkan kelemahan individu pada hasil negatif. Efek lingkungan, dimana lingkungan atau keadaan dapat berhubungan atau mendatangkan risiko. Hubungan antar beberapa variabel resiko yang berbeda akan membentuk suatu

(38)

2. Faktor Protektif

Faktor protektif adalah karakteristik pada individu atau kondisi dari keluarga,

sekolah, ataupun komunitas yang meningkatkan kemampuan individu dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan dengan baik. Menurut Rutter (dalam

Zauszniewski, 2010) menyatakan interaksi antaraproses sosial dan intrapsikis dapat memungkinkan seseorang untuk dapat menghadapi kesulitan dan segala kumpulan tantangan kehidupan secara positif. Menjelaskan resiliensi sebagai

proses dinamik yang sangat dipengaruhi oleh faktor protektif, dimana seseorang dapat bangkit kembali dari kesulitan dan menjalani kehidupannya.

Ditambahkan juga bahwa faktor protektif merupakan setiap traits, kondisi situasi yang muncul untuk membalikkan kemungkinan dari masalah yang diprediksi akan muncul pada individu yang mengalami masalah. Menyatakan

faktor protektif merupakan prediktor terkuat dalam mencapai resiliensi dan hal yang memainkan peran kunci dalam proses yang melibatkan seseorang untuk

berespon dalam situasi sulit.

2.1.4 Pengukuran Resiliensi

Meskipun penelitian mengenai resiliensi ini tergolong baru, namun telah banyak

peneliti yang mengembangkan alat ukut atau skala untuk menilai kemampuan seseorang dalam menghadapi bentuk-betuk situasi yang menekan.

a. The Brief Resilience Scale

Brief Resilience Scale (BRS) didesain oleh Smith dan rekan-rekannya sebagai pengukuran hasil untuk menilai kemampuan untuk bangkit kembali atau pulih

(39)

ini dikembangkan untuk menentukan apakah resiliensi dapat dinilai sebagai kemampuan bangkit kembali dari stres, berkaitan dengan sumber-sumber

resiliensi, dan apakah berkaitan dengan dampak kesehatan (Smith, dalam Kusuma 2014).

b. The Connor-Davidson resilience Scale

Connor-Davidson resilience Scale (CD-RISC) dikembangkan sebagai penilaian singkat mengenai self-rated untuk membantu mengukur resiliensi

sebagai ukuran klinis untuk menilai respon terhadap treatment (Connor & Davison, 2003). CD-RISC terdiri dari 25 item yang masing-masing itemnya

dikelompokkan ke dalam lima faktor, yaitu kompetensi personal, kepercayaan penguatan stress, penerimaan terhadap perubahan dan hubungan yang aman, kontrol serta pengaruh spiritual (Windle, dalam Kusuma 2014).

c. Resilience Scale

Resilience Scale (RS) dikembangkan oleh Wagnild dan Young(1990). Tujuan

pengembangan yang dirancang untuk mengidentifikasi individu tangguh atau mereka yang memiliki kapasitas untuk ketahanan dalam merawat, terdiri dari 25 item.

Berdasarkan hubungan antara pengertian dan jenis-jenis alat ukur yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti dalam kesempatan ini memilih Resilience Scale

(RS). Alasan menggunakan RS dikarenakan skala ini mampu mewakili tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, yaitu menilai resiliensi dari faktor protektif yang dianggap memfasilitasi dari munculnya depresi, kecemasan, ketakutan,

(40)

potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin muncul untuk ketahanan

caregiver dalam merawat pasien kanker.

2.2 Harapan

2.2.1 Definisi harapan

Synder (2000) menyatakan harapan adalah keseluruhan dari kemampuan yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan yang diinginkan, bersamaan dengan motivasi yang dimiliki untuk menggunakan jalur-jalur tersebut.

Harapan didasarkan pada harapan positif dalam pencapaian tujuan. Synder, Irving, dan Anderson (dalam Synder, 2000) menyatakan harapan adalah keadaan

termotivasi yang positif didasarkan pada hubungan interaktif antara agency

(energi yang mengarah pada tujuan) dan pathway (rencana untuk mencapaitujuan).

Dufault dan Martocchia(dalam Moseley, 2011), harapan memungkinkan seseorang untuk mengatasi situasi yang penuh tekanan (stressful) dengan

mengharapkan hasil yang positif. Karena hasil positif yang diharapkan maka seseorang termotivasi untuk bertindak dalam menghadapi ketidakpastian.Menurut Herth dan Snyder(dalam Moseley, 2011) harapan adalah suatu proses terhadap

pencapaian tujuan di masa depan yang ditentukan oleh pentingnya tujuan tersebut bagi seseorang dan motivasi dalam bertindak untuk meraih tujuan.

Pemahaman terhadap konsep harapan berkembang menurut Farran, Herth, dan Popovitch, Snyder(dalam Drach-Zahavy, 2002) melakukan meta-analisis terhadap beberapa definisi yang ada dan mengemukakan bahwa harapan

(41)

sebagai cara merasakan, cara berpikir, cara bertindak dan cara berhubungan dengan dirinya maupun dengan dunianya. Harapan ada ketika suatu objek atau

hasil yang didambakan belum terwujud.

Sebagai suatu cara merasakan (afektif), harapan digambarkan sesuatu

yang melampaui emosi dan berfungsi sebagai suatu kekuatan pendorong. Harapan menggerakan seseorang utnuk maju ketika merasakan sesuatu cara berpikir (kongnitif), harapan dilakukan dengan keberanian, keteguhan dalam menghadapi

masalah yang sulit atau mengalami begitu banyak rintangan(a sense of fortitude). Harapan merupakan suatu sikap positif secara kongnitif, emosi, dan motivasi

terkait dengan masa depan (Kanfer & Ackerman, dalam Drach-Zahavy, 2002). Synder (dalam Carr, 2004) mengkonsepkan harapan ke dalam dua komponen, yaitu kemampuan untuk merencanakan jalur untuk mencapai tujuan

yang diinginkan dan agency atau motivasi untuk menggunakan jalur tersebut. Harapan merupakan keseluruhan dari kedua komponen tersebut. Berdasarkan

konsep ini, harapan akan menjadi lebih kuat jika harapan ini disertai dengan adanya tujuan yang bernilai yang memiliki kemungkinan untuk dapat dicapai, bukan sesuatu yang mustahil dicapai. Pemikiran hopeful mencakup tiga

komponen, yaitu goal, pathway thinking, dan agency thinking. Namun juika individu memiliki keyakinan untuk mencapai tujuannya, maka individu tidak

memerlukan harapan. Sebaliknya, jika individu yakin bahwa ia tidak akan bisa maka ia akan menjadi hopeless. Berdasarkan konseptualisasi ini, emosi positif dan negati merupakan hasil dari pemikiran hopeful atau hopeless yang memiliki

(42)

2.2.2 Dimensi Harapan

Menurut Snyder (2000), dimensi yang terkandungmerupakan suatu harapan yang

diwujudkan dalam goal, agency, dan pathway, yaitu: 1. Goal/ Tujuan

Goal atau tujuan adalah sasaran dari harapan tindakan mental yang

menghasilkan komponen kongnitif. Tujuan merupakan suatu objek, pengalaman, atau hasil titik akhir dari tahapan perilaku mental individu. Tujuan

dapat berupa harapan menjadi sesuatu yang bernilai untuk mengaktifkan pemikiran yang disadari dalam hidup seseorang (Snyder, Cheavers &

Sympson, 2000). Tujuan juga sangat beragam dilihat dari tingkat kemungkinan untuk mencapainya. Bahkan suatu tujuan yang tampaknya tidak mungkin untuk dicapai pada waktunya akan dapat dicapai dengan perencanan dan usaha yang

lebih keras.

2. Agency Thinking/Willpower

Agency Thinking atauWillpower merupakan kapasitas kekuatan untuk menggunakan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Agency

mencerminkan persepsi individu bahwa dia mampu mencapai tujuannya

melalui jalur-jalur yang dipikirkannya, agency juga dapat mencerminkan penilaian individu mengenai kemampuannya bertahan ketika menghadapi

(43)

Agency berisikan keteguhan hati dan komitmen yang dapat digunakan untuk membantu menggerakan seseorang untuk maju kearah pencapaian tujuan

yang ditetapkan dalam suatu momen tertentu. Agency memunculkan persepsi seseorang untuk dapat melakukan dan mempertahankan suatu tindakan menuju

pencapaian tujuan yang diinginkan terutama tujuan yang penting dalam kehidupan. Agencydapat lebih mudah dibangkitkan ketika seseorang dapat memahami dan mepresentasikan tujuan yang jelas dalam benaknya. Tujuan

yang samar tidak mencetuskan dorongan secara mental untuk maju. Oleh karena itu, ketika seseorang dapat mengklarifikasi tujuan maka ia cenderung

dapat mengisi dirinya dengan pemikiran yang aktif dan memberdayakan diri menuju pencapaian tujuan. Agency juga memunculkan keyankinan dalam diri seseorang bahwa ia mampu melakukan suatu tindakan menuju pencapaian

tujuan (Snyder, 2000).

Kemampuan seseorang untuk menciptakan agency didasarkan pada

pengalaman sebeumnya tentang keberhasilan yang mengaktifasikan benak dan tubuh kita untuk mengejar tujuan Penting untuk digarisbawahi bahwa agency

tidak diperoleh ketika seseorang menjalani kehidupannya dengan mudah

dimana tujuan dapat dicapai tanpa adanya rintangan. Seseorang yang memiliki

agency adalah seseorang yang telah mampu mengatasi kesulitan-kesulitan

sebelumnya dalam hidup (Snyder, 2000).

3. Pathway Thinking/Waypower

Pathway Thinking atauWaypower mereleksikan rencana atau peta jalur secara

(44)

Pathway adalah kapasitas mental yang dapat digunakan untuk menemukan satu atau lebih cara yang efektif untuk mencapai tujuan (Snyder, Lapointe, crowson,

&Ear, 2000). Pathway adalah suatu persepsi bahwa seseorang dapat terlibat dalam pemikiran yang penuh perencanaan. Secara khusus, kemampuan

pathway seseorang dapat diterapkan dalam beberapa tujuan yang berbeda satu

sama lain. Secara umum, seseorang tampak lebih mudah untuk merencanakan secara efektif ketika tujuan yang hendak dicapai dapat didefinisikan atatu

dioperasionalkan dengan baik. Tujuan yang lebih penting bagi seseorang lebih cenderung memunculkan perencanaan yang kaya. Hal ini terjadi karena

seseorang dalam perkembangannya cenderung menghabiskan banyak waktu untuk berpikir tentang bagaiman meraih tujuan yang lebih penting dan cenderung mempraktekkan perencanaan terkait dengan tujuan yang lebih

penting tersebut (Irving, Snyder, & Crowson, Snyder, Harris, 2000).

Kemampuan seseorang untuk menciptakan pathway didasarkan pada

pengalaman sebelumnya tentang keberhasilan menemukan satu atau lebih cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil penelitian, ingatan seseorang diatur atau diorganisasikan kedalam tujuan dan rencana. Dengan

perkataan lain, seseorang menyimpan informasi secara mental berdasarkan tujuan dan cara yang diasosiasikan dengan tujuan tersebut (Snyder, Irving, &

(45)

Gambar 2.1 Visualisasi Harapan

Learning History Pre-Event Event Sequence 2.2.3 Karakteristik Individu Dengan Tingkat Harapan Tinggi

Menurut Synder (2000), orang dewasa dengan tingkat harapan tinggi memiliki

profil tertentu. Mereka telah mengalami berbagai kemunduran atau “pukulan”

sama seperti orang lain dalam kehidupan mereka namun mereka telah mengembangkan keyakinan bahwa mereka dapat melakukan penyesuaian terhadap tantangan yang ada dan mengatasi kesulitan yang terjadi. Mereka juga

mempertahankan dialog dalam dirinya yang positif, seperti mengatakan pada

dirinya pernyataan berikut: “saya pasti bisa atau saya tidak akan menyerah”.

Mereka fokus pada keberhasilan bukan pada kegagalan. Pada saat menghadapi rintangan dalam pencapaian tujuan yang didambakan, mereka mengalami emosi negatif yang sedikit dan kurang intens. Hal ini terjadi karena mereka secara kreatif

(46)

tujuan lainnya yang dapat dicapai. Ketika menghadapi permasalahan dalam hidupnya, seseorang dengan tingkat harapan tinggi cenderung mampu

memecahkan masalah yang tampak besar dan tidak jelas menjadi masalah-masalah yang lebih kecil dan dapat didefinisikan secara lebih jelas sehingga dapat

dikelola. Sedangkan seseorang dengan tingkat harapan yang rendah, ketika menghadapi rintangan yang berat akan mengalami perubahan emosi dengan siklus sebagai berikut: dari berharap menjadi marah, kemudian dari marah menjadi putus

asa dan pada akhirnya putus asa menjadi apatis. Mengemukakan karakteristik psikologis yang dimiliki seseorang dengan tingkat harapan tinggi berdasarkan

hasil penelitian yang dilakukannya. Karakteristik tersebut yaitu: 1. Optimis

Seseorang dengan harapan yang tinggi pasti optimis namun tidak sebaliknya.

Optimis tampak berkaitan erat dengan willpower namun tidak dengan

waypower. Mereka yang optimis memiliki suatu energi mental terkait dengan

pencapaian tujuannya namun mereka tidal selalu memiliki pemikiran terkait dengan cara pencapaian tujuan (waypower).

2. Memiliki cara pencapaian tujuan terhadap kehidupannya

Seseorang dengan tingkat harapan yang tinggi cenderung memiliki keyakinan bahwa dirinya sendiri memiliki kendali terhadap hidupnya dan dirinya sendiri

menentukan nasib hidupnya. 3. Harga diri (self esteem) tinggi

Seseorang yang terbiasa mengembangkan willpower dan waypower terkait

(47)

Mereka berpikir positif dengan diri sendiri karena mereka mengetahui bahwa mereka telah meraih tujuan mereka dimasa lalu dan melakukan hal yang sama

untuk tujuan dimasa yang akan datang. Harga diri orang dengan tingkat harapan yang tinggi tampil dalam ruang privat terkait dengan perasaan bangga

terhadap diri sendiri.

4. Memiliki persepsi tentang kemampuannya dalam pemecahan masalah

Kemampuan seseorang dalam pemecahan masalah berkaitan dengan pemikiran

seseorang terkait dengan cara pencapaian tujuan. Pada saat mengalami situasi sulit dalam melakukan cara yang biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan,

mereka menjadi sangat berorientasi pada tugas dan menjalankan cara alternatif untuk mencapai tujuan. Mereka cenderung telah mengantisipasi permasalahan dengan mengembangkan perencanaan dengan sistem back-up (cadangan) untuk

mengatasi kemungkinan mengalami suatu kesulitan.

2.2.4 Pengukuran Harapan

Ada beberapa skala harapan untuk melihat kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mencapai sebuah harapan.

1. TheMillerHopeScale(MHS)

TheMillerHopeScale(MHS)dikembangkan olehMiller(1988), yangterdiri dari40 item. Skordari40 sampai 200, semakin tinggi skor, semakin

(48)

berbagai penelitiandanpengaturan yang berbeda, khususnya harapandalam kelompokpasien dengansakitdiri, dukungan sosialdanpendidikan.

2. TheHerthHopeScale(HHS)

TheHerthHopeScale(HHS)dibuat olehHerth(1991), ada30item, di manauntuk

menggambarkansebagai"tidak pernah berlaku untuk saya" dansebagai "sering berlaku untuk saya". Skor dari30 sampai 120, semakin tinggi skor, semakin tinggitingkatharapan. Koefisien reliabilitassampai dengan0.94, melaluitigasub

skala: masa depan, kesiapan, harapan, dan keterkaitan.

3. TheHerthHopeIndex(HHI)

TheHerthHopeIndex(HHI)dibaut oleh Synder (2000)adalah versi

singkatdariHHS, termasuktiga subskaladariHHSasli. The HHIterdiri dari12item, diatur denganskordari 1 sampai 4, di mana1adalah'sangat tidak

setuju' dan4 adalah'sangat setuju'. Skordari12 sampai48,semakin tinggi skor, semakin tinggi tingkatharapan.

Tetapi dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala Herth Hope Index (HHI)Snyder (2000) mendefinisikan harapan sebagai kemampuan yang dirasakan untuk memperoleh jalur ke tujuan (goal) yang diinginkan, dan memotivasi diri

melalui lembaga berpikir (agency) untuk menggunakan jalur (pathway) tersebut.

2.3 Coping Stres 2.3.1 Definisi Stres

Stres seringkali dianggap sebagai keadaan dimana individu merasa tertekan untuk memenuhi tuntutan dari ligkungan di sekitarnya. Tiap individu merespon tekanan

(49)

pengalaman tiap individu terhadap stres bergantung pada reaksinya terhadap tekanan dari luar. Menurut Lazarus dan Folkman, (1984) mengindikasikan suatu

konsep yang sistematis untuk memahami fenomena dalam lingkup yang luas mengenai pentingnya adaptasi manusia dan juga hewan.

Stres dalam arti secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang. Dalam bahasa sehari-hari stres di kenal sebagai stimulus atau respon yang menuntut individu untuk melakukan penyesuaian. Menurut Lazarus dan Folkman

(1986) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial

membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stres juga adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis (Rodrigue & Hoffman, dalam Duci, 2011). Stres juga diterangkan

sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme

yang memberikan tekanan kepada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya (Taylor, dalam Duci, 2011).

Menurut Lazarus dan Folkman (1986) stres memiliki memiliki tiga

bentuk yaitu:

1. Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang

menimbulkan stres atau disebut juga dengan stressor.

2. Respon, yaitu stres yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang

(50)

serta respon psikologis seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung.

3. Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi

maupun afeksi. Mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang. Mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan

fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres ini sebagai respon stres.

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, bahwa stres merupakan suatu keadaan yang menekan diri individu. Stres merupakan mekanisme yang kompleks dan menghasilkan respon yang saling terkait baik fisiologis, psikologis, maupun

perilaku pada individu yang mengalaminya, dimana mekanisme tersebut bersifat individual yang sifatnya berbeda antara individu yang satu dengan individu yang

lain.

2.3.2 Penyebab Stres atau Stressor

Stressor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan

terjadinya respon stres. Stressor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul pada situasi kerja,

dirumah, dalam kehidupan sosial, dan lingkungan luar lainnya. Istilah stressor

diperkenalkan pertama kali oleh Panter-Brick (dalam Skoudal, 2009). Menurut Lazarus dan Folkman (1986) stressor dapat berwujud atau berbentuk fisik (seperti

(51)

sosial). Pikiran dan perasaan individu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor.

2.3.3Definisi Coping

Individu dari semua umur mengalami stres dan mencoba untuk mengatasinya.

Karena ketegangan fisik dan emosional yang menyertai stres menimbulkan ketidaknyaman, seseorang menjadi termotivasi untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi stres. Hal-hal yang dilakukan bagian dari coping Garmezy, Rutter dan

Lazarus (dalam Skoudal, 2009) coping adalah proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang diterima antara demands dan resources yang

dinilai dalam suatu keadaan yang stressful.Menurut Lazarus dan Folkman (1986) mendefenisikan coping sebagai segala usaha untuk mengurangi stres, yang merupakan proses pengaturan atau tuntutan (eksternal maupun internal) yang

dinilai sebagai beban yang melampaui kemampuan seseorang. Menurut Garrity dan Marx (dalam, Sarafino 2006) menambahkan bahwa coping adalah proses

dimana individu melakukan usaha untuk mengatur (management) situasi yang dipersepsikan adanya kesenjangan antara usaha (demands) dan kemampuan (resources) yang dinilai sebagai penyebab munculnya situasi stres. Menurut

Theorell dan Rahe (dalam Sarafino 2006) usaha coping sangat bervariasi dan tidak selalu dapat membawa pada solusi dari suatu masalah yang menimbulkan

(52)

Suatu tindakan dalam menghadapi stres biasanya disebut dengan coping.

Lazarus dan Folkman (1984, hal. 19) mendefinisikan coping sebagai berikut:

constantly changing cognitive and behavioral efforts to manage specific estenal and internal demands that are apprasaid as taxing or exceeding the

resources of person.”

Berdasarkan penjelasan di atsa, dapat disimpulkan bahwa coping

merupakan cara pandang dan tingkah laku yang secara konstan berubah untuk mengatur tuntutan eksternal dan internal yang dinilai membebani atau melebihi

sumber daya dari seseorang. Tindakan ini bisa bersifat action-oriented maupun intrapsikis, keduanya berusaha untuk mengatur, menguasai, menoleransi, ataupun

mengurangi muatan dari lingkungan yang mengakibatkan stres.

Definisi yang disebutkan menurut Lazarus dan Folkman (1984) juga memberikan batasan mengenai coping, yaitu yang pertama bahwa coping dilihat

bukan sebagi trait, melainkan sebuah proses. Hal ini terlihat dari pernyataan

“constantly changing and specific demands”. Kemudian ditekankan juga adanya

perbedaan antara coping dengan tingkah laku adaptif yang otomatis dengan membatasi coping pada tuntutan yang dinilai membebani ataupun melebihi sumber daya seseorang. Maka, segala bentuk tingkah laku maupun pemikiran

yang tidak membutuhkan usaha tidak dapat digolongkan sebagai coping.

Selanjutnya pernyataan bahwa coping merupakan “usaha untuk mengatur” juga

(53)

copingjuga dapat mengandung, mengurangi, menghindari, menoleransi dan menerima kondisi yang mengakibatkan stres serta menguasai lingkungan.

Dengan kata lain coping adalah usaha individu baik secara kognitif maupun tingkah laku mengelola tuntutan internal maupun eksternal yang dinilai

melebihi kapasitas kemampuan individu dari situasi yang menekan. Coping

merupakan pencarian cara untuk memperkecil dampak dari tekanan-tekanan yang dialami oleh individu.

2.3.4 Fungsi Coping

Menurut Lazarus dan Folkman (1987) proses coping terhadap stres memiliki 2

fungsi utama yang terlihat dari bagaimana gaya menghadapi stres, yaitu :

1. Emotional-Focused Coping

Coping ini bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap respon emosional

terhadap situasi penyebab stres, baik dalam pendekatan secara behavioral maupun kognitif. Mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan

Emotional-Focused Coping ketika individu memiliki persepsi bahwa stresor yang ada tidak dapat diubah atau diatasi.

2. Problem-Focused Coping

Coping ini bertujuan untuk mengurangi dampak dari situasi stres atau memperbesar sumber daya dan usaha untuk menghadapi stres. mengemukakan

(54)

2.3.5 Dimensi Coping Stress

Menurut Lazarus dan Folkman (1986) mengidentifikasikan berbagai jenis coping

stres,baik secara problem-focused maupun emotion-focused, yaitu:

1. Planful problem solving yaitu usaha untuk mengubah situasi, danmenggunakan

usaha untuk memecahkan masalah.

2. Confrontive coping yaitu menggunakan usaha agresif untuk mengubah situasi,mencari penyebabnya dan mengalami resiko.

3. Seeking social support yaitu menggunakan usaha untuk mencari sumber dukungan informasi, dukungan sosial dan dukungan emosional.

4. Accepting responsibility yaitu mengakui adanya peran diri sendiri dalam masalah.

5. Distancing yaitu menggunakan usaha untuk melepaskan dirinya, perhatian

lebih kepada hal yang dapat menciptakan suatu pandangan positif.

6. Escape-avoidance yaitu melakukan tingkah laku untuk lepas atau menghindari.

7. Self-control yaitu menggunakan usaha untuk mengatur tindakan dan perasaan diri sendiri.

8. Positive reappraisal yaitu menggunakan usaha untuk menciptakan hal-hal

positif dengan memusatkan pada diri sendiri dan juga menyangkut religiusitas.

2.3.6 Pengukuran Coping Stres

(55)

1. The brief COPE

The brief COPE yang dikembangkan oleh Carver(1997). Alat ukur yang

merupakan adaptasi dari alat ukur COPE yang dibuat oleh Cerver, Scheier, dan Weintraub (1989) ini digunakan untuk melihat cara individu dalam mengatasi

masalah, mengukur respon coping yang penting dan potensial dengan cepat.

The brief COPE terdiri dari 28 itemyang mengukur 14 konsep reaksi coping

yang berbeda.

2. Coping Strategi Indicator (CSI)

Coping Strategi Indicator (CSI)di buat oleh Amirkhan(1990). Terdiri dari 33

item,dengan tiga sub skala masing-masing berisi 11 item, skor yang lebih tinggi menunjukkan lebih besar menggunakan coping.

3. Ways of Coping Scale (WOC)

Ways of Coping Scale (WOC) skala baku milik Folkman dan Lazarus (1986) memakai perbedaanProblem-Focused Coping danEmotional Focused Coping.

Terdiri dari 66 item mengandung berbagai pikiran dan tindakakanseseorang untuk dengan tuntutan internal dan eksternal stres. Biasanya untuk pertemuan tertentu, seperti pengobatan medis atau pemeriksaan akademis, dipilih oleh

peneliti sebagai fokus kuesioner.

Dimana peneliti menggunakan pengukuran Ways of Coping Scale (WOC) karena

Problem Focused Coping dan Emotional Focused Coping mengandung berbagai pikiran dan tindakakanseseorang untuk dengan mengelolafaktor internal dan

(56)

2.4Caregiver

2.4.1 Definisi Caregiver

Caregiveradalah individu yang memberikan perawatan kepada orang lain yang sakit atau orang tidak mampu (Oyebade, 2003). Seorang caregiver bisa berasal

dari anggota keluarga, teman, ataupun tenaga profesional yang mendapatkan bayaran (Nadya, 2009). Caregiver keluarga di definisikan sebagai individu yang memberikan asuhan keperawatan berkelanjutan untuk sebagai waktunya secara

bersungguh-sungguh setiap hari dan dalam waktu periode yang lama, bagi anggota keluarganya yang menderita penyakit kronis (Tantono, 2006). Caregiver

adalah seseorang yang memberikan bantuana kepada orang yang mengalami ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena penyakit dan keterbatasannya (Sukmarini, 2009).

2.4.2 Jenis Caregiver

Caregiver di bagi menjadi caregiver informal dan caregiver formal. Caregiver

informal adalah seseorang individu (anggota kelurga, teman, atau tetangga) yang membeikan perawatan tanpa di bayar, paruh waktu atau sepanjang waktu, tinggal bersama maupun terpisah dengan orang yang dirawat, sedangkan caregiver formal

adalah caregiver yang merupakan bagian system pelayanan, baik di bayar maupun sukarelawan (Sukmarini, 2009).

2.4.3 Fungsi Caregiver

Fungsi dari caregiver adalah menyediakan makanan, membawa pasien ke dokter, dan memberikan dukungan emosional, kasih sayang dan perhatian (Tantono,

(57)

dimana faktor psikis juga ikut berperan. Faktor psikis tersebut sudah menjadi beban mental kepada pasien (Adikusumo, 1999).

Caregiver juga membantu pasien mengambil keputusan atau pada stadium akhir penyakitnya, justru caregiver ini yang membuat keputusan untuk

pasiennya. Keluarga caregiver merupakan penasihat yang sangat penting dan di perlukan oleh pasien (Tantono, 2006).

2.4.4 Tugas Caregiver

Caregiver berperan penting dalam perawatan di dalam rumah dan sering melakukan tugas perawatan yang kompleks termasuk penilaian dan pengelolaan

gejala, perawatan kebersihan, dan pengadministrasian obat.Caregiver tidak hanya membantu dalam hal perawatan bersama penyedia jasa perawatan, tetapi juga menyediakan sebagian besar dukungan dalam rumah (Hoskins, Coleman, & Mc

Neely, dalam Denise, 2010).Tugas caregiver digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu (Lubis, 2004):

1. Berdasarkan bentuk gangguan yang dialami pasien

Setiap caregiver memberikan bantuan yang berbeda-beda kepada pasiennya dikarenakan masing-masing pasien memiliki bentuk gangguan yang

berbeda-beda. Contohnya, individu yang mengalami gangguan pada fungsi fisik, mengetahui apa yang hendak ia lakukan, namun tidak mampu mengerjakannya

(58)

2. Berdasarkan bentuk tindakan yang dilakukan caregiver

Seorang caregiver dapat melakukan beberapa tindakan, antara lain

menyediakan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung, memberikan informasi atau saran tentang situasi dan kondisi pasien,

memberikan rasa nyaman dan dihargai serta diperlukan, menghargai sikap positif individu dan memberikan semnagat dengan memberikan penilaian positif kepada pasien, serta membuat pasien merasa menjadi anggota dari suatu

kelompok yang saling membutuhkan.

2.5 Kerangka Berpikir

Penyakit kanker merupakan penyakit yang sulit untuk disembuhkan, hal inilah yang menjadikan seorangcaregiver bukanlah hal yang mudah, di tambah dengan adanya tanggung jawab baru dalam keluarga, yaitu menjaga dan merawat pasien.

Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan caregiver untuk dapat bertahan dalam menghadapi situasi sulit yang dihubungkan dengan resiliensi, menurut Siebert

(2005) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan individu untuk dapat bangkit kembali dalam menghadapi situasi yang dirasa sulit. Individu yang memiliki resiliensi yang tinggi tidak membutuhkan orang lain untuk

membantunya dalam menghadapi situasi stres dan dengan memiliki resiliensi yang tinggicaregiver mempunyai harapan dalam merawat pasien.

Kanfer dan Ackerman (dalam Drach-Zahavy, 2002) menjelaskan bahwa adapun faktor yang mempengaruhi resiliensi caregiver adalah rasa ingin melindungi pasien yang terkena kanker (faktor protektif), atas dasar keinginan

(59)

sikap positif, yang mempengaruhi kognitif, emosi, dan motivasi yang berhubungan dengan masa depan.

Dalam proses mengembangkan kapasistas bertahanuntuk menghadapi tantangan fisik, sosial, dan emosional saat merawat pasien kanker,caregiver

membutuhkan harapan dalam dirinya untuk melindungi pasien dari penyakit yang di derita. Sehingga harapan (hope)sangat berperan penting dalam diri caregiver

saat memutuskan dirinya untuk menjadi seorang caregiver pasein kanker, seperti

yang dikatakan Duflaut dan Martocchia(dalam Moseley, 2011)menjelaskan bahwa harapan(hope)memungkinkan seseorang untuk mengatasi situasi yang penuh

tekanan (stressful) dengan mengharapkan hasil yang positif, karena dengan mengharapkan hasil yang positif maka seseorang akan termotivasi untuk bertindak saat berada di situasi yang tidak pasti.

Diharapkan dengan memiliki tujuan atau goal, caregiver dapat meningkatkan resiliensi dalam merawat pasienbahwa dengan memiliki tujuan

untuk kesembuhan pasien, dan dengan adanya agency atau motivasi pada

caregiver dapat memiliki komitmen untuk mencapai tujuan, serta pathway atau bagaimana seseorang menemukan cara untuk mencapai tujuan yang

diinginkandengan baik.

Biasanya caregiver memiliki banyak harapan, namun ia sadar ia tidak

(60)

mengesampingkan kebutuhan dan harapan pada dirinya sendiri dalam merawat pasien kanker.

Pada penelitian ini sendiri, peneliti menempatkan diri pada pandangan yang melihat bahwa pemilihan coping yang tepat untuk dapat bertahan (resilien)

yang dilakukan oleh caregiver dalam merawat pasien kanker. Hal ini disebabkan karena resiliensi menurut Wagnild dan Young (1993), merupakan kekuatan dari dalam diri individu yang menggambarkan keberanian dam kemampuan untuk

beradaptasi dalam menghadapi kondisi sulit dan kemalangan yang menimpanya, sementara coping didefinisikan sebagai cara pandang dan tingkah laku yang

dilakukan untuk mengatur tuntutan eksternal dan internal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya dari seseorang (Lazarus & Folkman, 1984). Oleh karena itu, peneliti mengambil kesimpulan bahwa coping merupakan usaha

ataupun tingkah laku yang diwujudkan untuk mengatasi tuntutan yang dirasa melebihi sumber daya yang dimiliki seseorang, sementara resiliensi merupakan

sesuatu yang lebih bersumber dari dalam diri seseorang.

Secara umum, Grafton, Gillespie, dan Henderson (2010), menyatakan bahwa resiliensi merupakan salah satu faktor yang memungkinkan seseorang

melakukan coping secara positif, bangkit dan berkembang setelah mengalami kesulitan dalam hidup. Resiliensi itu sendiri dilihat Taylor (2012) sebagai salah

satu sumber coping internal yang dimiliki individu. Oleh karena itu menurut Taylor, resiliensi dapat merefleksikan perbedaan individual dalam melakukan

coping terhadap situasi yang menimbulkan stres. Contohnya, terdapat pada

(61)

dengan menggunakan coping stres yang tepat akan menjadikan solusi untuk meminimalkan stres pada caregiver. Dalam menghadapi masalah yang sulit

biasanya caregiver memilih untuk menggunakan dua jenis coping, yaitu problem focus coping,dan emotional focus coping.

Dari delapan dimensi coping stress yang telah diungkapkan oleh Lazarus dan Folkman (1986) akan terlihat dampaknya terhadap resiliensi caregiver. Adapun caregiver menggunakan confrontative coping akan memiliki sifat agresif

dan berani dalam mengambil resiko, dan dalam penggunaan distancing pada

caregiver cenderung lebih berusaha untuk tidak larut dalam masalah yang

dihadapinya, serta menganggap masalah tidak seberat yang dibayangkan. Selain itu self-controlling yang ada pada diri caregiver akan menunjukan bahwa individu berusaha menguasai dan mengendalikan diri khususnya dalam menjaga perasaan

dan tindakan, pada sekking sosial support juga caregiver berusaha mencari dukungan dari orang lain dengan tujuan untuk dapat meringgankan beban,

accepting responsibility berarti caregiver bisa menerima tanggung jawab dalam merawat pasien kanker. Selanjutnya escape avoidance bahwa caregiver tidak akan lari dari kenyataan, planful problem solving dengan adanya usaha caregiver

dalam merencanakan pemecahan masalah pada stress yang dialaminya, dan

reaprasial positive dimana caregiver mengambil pelajaran dari stress yang di

hadapinya.Dengan penggunaan coping yang tepat dapat meminimalisir stres pada

caregiver, maka akan berpengaruh terhadap ketahanan (resilience)caregiver

(62)

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir

2.6 Hipotesis Penelitian 2.6.1 Hipotesis mayor

H1 :Ada pengaruh yang signifikan antara harapan dan coping stres terhadap

resiliensi caregiver kanker.

H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan antara harapan dan coping stres terhadap

resiliensi caregiver kanker. Coping Stres

Harapan

Goals

Agency

Accepting

Escape-Avoidance

Planful problem-solving

Positive reapprasial Pathways

Distancing

Self-controlling

Seeking social support

Confrontive coping

Resiliensi

Gambar

grafik, gambar, dan diagram.
Gambar 2.1 Visualisasi Harapan
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir
Tabel 3.1 Bobot Nilai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan refleksi terhadap pelaksanaan tindakan pada siklus III diperoleh hasil sebagai berikut: (a) keterampilan guru dalam mengelola pembelajaran PKn melalui

tak dipe dipengar ngaruhi uhi %leh diet %leh diet dan dan masu masukan kan 'air 'airan. Se'ara ilmiah, purin terdapat dalam tubuh kita pada inti sel"sel tubuh..

Penyusunan RENJA Dinas Perhubungan Kabupaten Cianjur Tahun 2017 dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan diawali dengan pelaksanaan evaluasi pelaksanaan renja tahun lalu,

Kesan negatif bencana ini kepada manusia bukan sahaja memusnahkan harta benda dan kawasan kediaman, malahan turut mengancam nyawa penduduk yang mendiami kawasan

Akan tetapi terdapat perbedaan, ke dua penelitian terdahulu meneliti di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini serta salah satu jurnal meneliti yang berfokus pada peningkatan

Penerbitan majalah/buletin vigor telah direalisasikan sebanyak 2 edisi sesuai target yang telah ditetapkan setelah revisi dengan capaian input 91,98%, sedangkan output

Dari peta juga terlihat bahwa beberapa unit Puskesmas yang berada tidak jauh dari jalan arteri Kabupaten Kebumen memiliki jangkauan pelayanan yang saling tumpang tindih