Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Oleh :
TirtaArthaWardani
NIM: 207070000725
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
Bagian pertama ini menjelaskan hal-hal yang melatarbelakangi peneliti dalam melakukan penelitian tentang resiliensi caregiverkanker. Selain itu, peneliti juga
akan memaparkan tujuan dan manfaat dari penelitian. Tidak lupa peneliti memberikan pembatasan masalah agar pembahasan tidak melebar bahkan berseberangan dari tujuan. Sistematika penulisan juga disertakan untuk memberi
tuntunan dalam menyusun laporan hasil penelitian.
1.1Latar Belakang
Kanker merupakan suatu proses pertumbuhan dan penyebaran yang tidak terkontrol dari sel yang abnormal, yang mempunyai kecenderungan menyebar pada bagian tubuh yang lain. Sel kanker ini bertindak sebagai penghambat dan
perusak bagi organ-organ tubuh dimana ia berkembang, terutama jika sel tersebut tumbuh pada organ vital seperti otak, hati dan paru-paru, yang pada akhirnya
sering kali menyebabkan kematian pada penderitanya (Sarafino, 1998). Penyakit kanker adalah penyakit yang sangat berbahaya. Oleh karena itu sangat diperlukan perhatian yang sangat serius, karena penyakit kanker yang sudah pada tahap
stadium tinggi biasanya berujung kepada kematian. Menurut Gumawan (dalam Kompas, 2001) menyatakan bahwa dua pertiga dari penderita kanker di dunia
berada di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap 11 menit ada satu penduduk dunia meninggal karena kanker dan setiap tiga menit ada satu penderita kanker baru. Data WHO
kanker baru dan dua pertiga penderita kanker di dunia berada di negara berkembang (Organisasi Kesehatan Dunia, 2001). Di Indonesia, masalah penyakit
kanker menunjukkan lonjakan yang luar biasa. Dalam jangka waktu 10 tahun, terlihat bahwa peringkat kanker sebagai penyebab kematian, naik dari peringkat
dua belas menjadi peringkat enam. Setiap tahun diperkirakan terdapat 190 ribu penderita baru dan seperlimanya akan meninggal akibat penyakit ini (Mediasehat, 2005).
Kanker menjadi sesuatu yang menakutkan bagi semua orang, hal ini karena angka kematian akibat kanker yang sangat tinggi. Angka harapan hidup
penderita kanker hanya 60% dibandingkan dengan bukan penderita (Mediasehat, 2005). Kanker bisa menyerang siapa saja, baik pria maupun wanita. Ada beberapa jenis yang sifatnya lebih spesifik dan lebih sering menyerang pria seperti kanker
prostat dan kanker paru (Mediasehat, 2004). Berdasarkan laporan tengah tahunan catatan medik RS Dr. Soetomo kurun waktu Juni sampai dengan Desember 1984,
didapatkan bahwa kanker paru telah menduduki urutan ketiga sebagai penyebab kematian bagi kaum laki-laki di Indonesia (Gatra, 2001). Lebih dari 1,3 juta kasus baru kanker paru di seluruh dunia, menyebabkan 1,1 juta kematian tiap tahunnya.
Di Indonesia, kanker paru menjadi penyebab kematian utama kaum pria dan lebih dari 70% kasus kanker itu baru terdiagnosis pada stadium lanjut (stadium III atau
IV) sehingga hanya 5% penderita yang bisa bertahan hidup (Mediasehat, 2004).Pada wanita tahun 2005 ditemukan sebanyak 3.884 kasus (36,83%) kanker leher rahim. Sedangkan kanker payudara sebanyak 749 kasus atau
maka kurang lebih dari separuh penyakit kanker dapat dicegah, bahkan dapat disembuhkan (KBI Gemari, 2003). Sayangnya hasil diagnosis kanker menyatakan
bahwa 80% penderita kanker ditemukan pada stadium lanjut, yakni stadium 3 dan 4 (Kompas, 2001). Pada tahap ini kanker sudah menyebar ke bagian-bagian lain di
dalam tubuh sehingga semakin kecil peluang untuk sembuh dan pulih, dan berkemungkinan langsung tidak akan sembuh. Keadaan di atas menjadi salah satu penyebab meningkatnya penyakit kanker di Indonesia.
Hileman, Lackey, dan Hassanein(dalam Duci, 2011) menjelaskan bahwa secara klinis seorang yang didiagnosis kanker ditandai dengan berangsur-angsur
menghilangnya kemampuan intelektual yang mempengaruhi kognitif, dan perilaku, yang pada akhirnya seorang kanker menjadi tergantung pada orang lain, dan membutuhkan perawatan tetap oleh anggota keluarga.
Peters(dalam Serfelova, 2012)menjelaskan bahwa penyakit kronis seperti kanker, telah lama dikenal sebagai penyakit yang berdampak serius, tidak hanya
terhadap diri penderita namun juga berdampak pada orang lain, terutama keluarga. Keluarga, selain juga mengalami dampak emosional dari diagnosis tersebut, juga terbebani tanggung jawab baru karena hampir semua pasien kanker membutuhkan
pengobatan jangka panjang yang berproses. Ini menuntut anggota keluarga untuk ikut terlibat dalam kepedulian merawat pasien kanker tersebut.
Keluarga mereka yang menjadi perawat bagi pasien biasa disebut sebagai
caregiver. Mereka tidak hanya terlibat pada awal masa pengobatan, tetapi juga dalam kepedulian termasuk kekambuhan, perkembangan kesehatan pasien, dan
Menurut Barbara A. Given (2012), caregiver adalah sumber utama dukungan bagi individu penderita kanker dan dapat mempengaruhi perubahan
pada pasien. Tanpa dukungan dari caregiver, pasien sulit untuk mempertahankan diri dalam menjalani penyakit yang diderita. Caregiver diperlukan untuk merawat
dan mendorong pasien serta menjadi sumber dukungan bagi pasien dalam menggurangi kekhawatiran yang timbul di dalam dirinya. Wong (dalam Menz, 2012) mengemukakan bahwa ketika pasien merasa perlu mengkomunikasikan
kebutuhan mereka, caregiver adalah tujuan mereka, karena pelayanan kesehatan dan dokter lebih fokus pada kebutuhan medis pasien. Caregiver juga harus ulet
untuk menangani pasien dan menumbuhkan hal-hal yang tidak disediakan oleh tenaga medis seperti rasa kasih sayang, harapan, dorongan pemahaman dan penghargaan dari usahanya bertahan demi memelihara semangat hidupnya
(resilience).
Miller(dalam Chakraborty, 2007) mengemukakan bahwa faktor penting
untuk kesembuhan pasien juga dilihat dari kedekatan hubungan antara caregiver
dan pasiennya. Hal ini sangat berpengaruh bagi efektifitas perawatan yang diberikan caregiver terhadap pasien.
Given, Hudson, dan Moody(dalam Barbara 2012) menjelaskan bahwa
caregiver diharapkan menjadi penyedia utama layanan kesehatan bagi pasien di
rumah. Berbagai macam tanggung jawab caregiver pada saat merawat pasien kanker mempengaruhi masa depan perkembangan penyembuhan pasien tersebut. Segala bentuk tuntutan pasien, baik secara eksternal maupun internal
diterima caregiver ini dapat berakibat buruk karena stres yang dialami caregiver
dapat menjadi penghambat besar dalam masa perawatan sehari-hari pasien.
Perasaan cemas, khawatir, kelelahan baik secara fisik maupun psikologis, kejenuhan, bingung, dan perasaan lainnya yang menimbulkan stres dalam
merawat pasien seringkali muncul dalam masa pelayanan mereka terhadap pasien. Connor dan Richardson(dalam Rosenberg, 2013)mengemukakan bahwa berkaitan dengan beban yang ditanggungnya, dibutuhkan adanya bantuan dari
penyedia layanan kesehatan untuk mempertahankan kesejahteraan caregiver dan untuk mempertahankan peran mereka sebagai caregiver keluarga. Hasil studi
terhadap caregiver kanker menemukan bahwa ketahanan (resiliensi) caregiver
mempengaruhi semua kondisi pasien kanker termasuk kondisi fisik, psikologis, sosial, keuangan, dan spiritual. Oleh sebab itu untuk membuat keadaan caregiver
jadi lebih baik dibutuhkan cara untuk mengurangi stres pada caregiver yang sesuai dengan kondisi yang diperlukan. Unggar (dalam Bennett 2012)
menekankan perlunya resiliensi untuk meningkatkan ketahanan caregiver disaaat menghadapi stres yang dirasakannya dalam masa perawatan yang tinggi. Resiliensi adalah ketahanan atau kerentanan caregiver dalam menghadapi segala
tuntutan.
Davidson (dalam Pinke 2009) memandang resiliensi sebagai kualitas
personal yang baik dan ketahanan mereka terhadap stres yang mendorong individu untuk dapat berkembang meskipun berada dalam kesulitan. Sanggeta bhatia(dalam Grotberg, 2004) menjelaskan tentangtanggung jawab dalam
segala perubahan, bukanlah suatu tuntutan hidup yang mudah. Oleh karenanya, dibutuhkan resiliensi yang baik dalam merawat pasien. Resiliensi dapat
dimanfaatkan sebagai alat untuk mengelola stres caregiver terkait dengan masalah klinis kejiwaan, anak, kesehatan masyarakat, pengaturan seluruh jangka hidup
dengan penyakit kronis.
Resiliensi tidak hanya dilihat dari kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik pada situasi sulit yang dialami, tetapi juga kemampuan
individu untuk tetap mempertahankan kondisi fisik dan kesehatan dengan baik dan melakukan proses adaptasi dengan cara-cara yang tidak merusak (Siebert,
2005). Dengan kata lain, caregiver yang memiliki resiliensi yang baik akan mampu mengatasi stres yang dialaminya dengan cara yang baik.
Kemampuan caregiver untuk menyediakan perawatan pada pasien dapat
dikatakan tergantung pada kemampuannya mempertahankan resiliensi. Pada umumnya bahwa caregiver menjadi stres karena hasil kesehatan dirinya yang
memburuk, karena caregiver tidak mampu menjaga kesehatan, disebabkan banyakwaktu yang tersita untuk merawat pasien. Luthar (dalam Lin Fang-Yi, 2013) menyatakan bahwa stressor yang dirasakan oleh caregiver merupakan
tantangan bagi keluarga untuk mengkondisikan kekuatan yang ada pada diri
caregiver melalui resiliensi.
Kekuatan resiliensi memungkinkan caregiver untuk mencapai keseimbangan, keyakinan, dan kekuatan pribadi. Caregiver tidak bisa menghindar dari tugasnya merawat pasein, sehingga ia harus bisa menangani sebaik mungkin
Wagnild dan Young (1993) menyatakan bahwa resiliensi adalah keberhasilan untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan atau dengan kata lain,
resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah jatuh dan terpuruk.
Dengan resiliensi, membuat caregiver dapat mengendalikan perasaannya dengan sehat. Caregiver membiarkan dirinya sendiri untuk merasakan kemarahan,kehilangan, dan keraguan, namun ia tidak membiarkan perasaan
tersebut menjadi keadaan yang permanen dalam dirinya. Aspinwall dan Clark (dalam Rowland, 2005) menjelaskan bahwa resiliensi bukanlah sekedar suatu ciri
sifat yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh individu, namun lebih sebagai bagian dari proses perkembangan kesehatan untuk dapatberadaptasi dan meningkatkan kesejahteraan di sepanjang rentang waktu kehidupan. Dari berbagai jenis kanker
dan stadium yang diderita pasien, caregiver harus bisa menyesuaikan kebutuhannya untuk memberikan dukungan kepada pasien dan mengatur
emosionalnya.
Setiap orang yang didiagnosis dengan kanker membutuhkan caregiver
terlibat dalam perawatannya, untuk mempertahankan kondisi normal sehari-hari
dan memelihara harapan pasien dalam menghadapi kanker. Menurut Gazini, (dalam Rabkin, 2000) caregiver dapat mengubah kondisi psikologis pasien dari
waktu ke waktu, dengan adanya resiliensi dalam bentuk harapan dan optimisme dalam menghadapi kondisi negatif ataupun positif. Harapan dan optimisme yang berhubungan dengan kondisi negatif berkaitan dengan penanganan terhadap
dapat berupa penyesuaian psikologis yang baik, agar pasien dapat memelihara semangatnya untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik.
Resiliensi dianggap berfungsi pada caregiver dalam menghadapi stres yang berdampak pada semua aspek fungsi keluarga, yang paling erat kaitannya
dengan fungsi pemecahan masalah dalam membangun kognitif caregiver dalam kemampuan menggunakan coping. Menurut Bruhn dan Felder(dalam Moseley, 2011) menjelaskan bahwa resiliensi caregiver menyiratkan kemampuan caregiver
untuk bertahan dari stres dalam merawat pasien kanker, resiliensi juga telah dikaitkan dengan kuantitas yang lebih besar dan lebih efektif, dengan
menggunakan coping.
Kemampuan coping padacaregiver kanker merupakan kemampuan yang dimiliki oleh caregiver untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal yang
berasal dari sumber stres selama merawat pasien kanker untuk dapat mencapai resilien. Pakenham (dalam Bennett, 2012) mengemukakan bahwa kemampuan
coping sebagai upaya-upaya khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan individu untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan stres. Lazarus(dalam
Moseley, 2011) menjelaskan bahwa kematangan individu terhadap kemampuan
coping menunjukkan bahwa individu memiliki kematangan dalam coping yang
tinggi sehingga lebih cenderung pada problem focused coping saat ia bermasalah. Sebaliknya, kematangan coping yang relatif rendah akan lebih cenderung mengarah pada emotional focused coping dalam penyelesaian masalahnya.
eksternal pada caregiver yang dapat mempengaruhi kemampuannya dalam
coping. Menurut Norton (dalam Pinke, 2009) resiliensi memegang peranan
penting untuk membuat seseorang mencapai kehidupan yang positif dan dinamis meskipun mengalami masalah, sehingga mampu mengembangkan
kemampuannya melaksanakan tugas-tugas pada perkembangan dan mampu untuk terus menghasilkan coping yang baik terhadap permasalahaan yang dihadapinya.
Berkaitan dengan fenomena diatas, maka dari itu peneliti tertarik
melakukan penelitian skripsi mengenai “Pengaruh Harapan dan Coping stres terhadap Resiliensi Caregiver Kanker”.
1.2Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
Untuk membatasi meluasnya permasalahan penelitian, maka masalah dalam
penelitian ini dibatasi pada pengaruh harapan dancoping stresterhadap resiliensicaregiverkanker.
Adapun konsep-konsep yang berkaitan dengan obyek penelitian dibatasi sebagai berikut:
1. Harapan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dengan meningkatkan
ketahanan caregiver kanker untuk mengembangkan bagaimanakeberanian menjumpai hambatan dan motivasiuntuk menggunakan cara atau jalur tersebut
agar mencapai tujuan(Snyder, 2000).Berdasarkan dari dimensi harapan (hope) yaitu, untuk merencanakan menuju tujuan (goal)denganadanya motivasi
2. Coping Stres yang dimaksud dalam penelitian ini menurut pengertian Pakenham (dalam Bennett, 2012) kemampuan coping sebagai upaya-upaya
khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan individu untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian
yang menimbulkan stres. Berdasarkan dari dimensi coping stres yaitu, memecahkan masalah (planful problem solving), menghadapi masalah
(confrontive coping), mencari dukungan sosial (seeking social support),
menerima tanggungjawab (accepting responsibility), menjaga jarak
(distancing), melarikan diri-menghindari (escape-avoidance), penilaian positif
(reappraisal positive).
3. Resiliensi (resilience) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keberhasilan untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan atau dengan kata
lain, resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah jatuh dan terpuruk (Wagnild, & Young, 1993).Menekankan bahwa
semua individu sangat membutuhkan kemampuan yang dapat dikembangkan dengan melalui lima komponen resiliensi yaitu ketenangan hati (equnimity),
ketekunan(perseverance), kebermaknaan (meaningfulness),kemandirian (self
reliance), daneksistensial kesendirian(exixtential aloneness).
4. Caregiver dalam penelitian ini yang dimaksud caregiver adalah sumber utama
dukungan bagi individu penderita kanker dan dapat mempengaruhi perubahan pada pasien (Barbara A. Given, 2012). Caregiver adalahanggota keluargayang secara langsung terlibat dalam perawatan pasien kanker baik di rumah atau
1.2.2 Perumusan Masalah
Berdasarkanpembatasan masalah diatas, maka penelitimerumuskan masalah
penelitian sebagaiberikut :
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi harapandan dimensi
coping stres terhadap resiliensi pada caregiverkanker?
2. Diantara variabel yang ada, variabel manakah yang paling berpengaruh terhadap resiliensi pada caregiverkanker?
3. Seberapa besar proporsi harapan dancoping stresbeserta dimensi-dimensinya dalam memberikan pengaruh terhadap resiliensicaregiverkanker?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Memiliki latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan
sebagai berikut:
a. Menguji adanya pengaruh harapan terhadap resiliensicaregiver kanker.
b. Menguji adanya pengaruh coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Setelah dilakukan penelitian ini, diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat dalam pengembangan bidangmengenai bagaimana pengaruh harapandan coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker, serta
cabang psikologi klinis dan psikologi kesehatan.
b. Secara lebih terperinci, hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk
mengembangkan pemahaman mengenai resiliensi pada caregiver dalam merawat pasien kanker.
2. Manfaat praktis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, diantaranya: a. Peneliti
Meningkatkan kemampuan diri untuk dapat bangkit kembali dari kesulitan yang mungkin dialami. Dengan kata lain, hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat memberi pemahaman dan motivasi pada diri peneliti sendiri untuk dapat menjadi individu yang resilien. Kemampuan ini dapat terpenuhi melalui harapan yang ada dalam diri dan coping stres untuk dapat
memecahkan masalah sendiri. b. Yayasan atau praktisi kesehatan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam menentukan intervensi yang bertujuan meningkatkan resiliensi pada
caregiver.
c. Caregiver
Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat membantucaregiveruntuk
d. Komunitas kanker
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pemeliharaan dan
perhatian komunitas untuk ikut berperan dalam memberikan harapan dan memberikan pemecahan masalah (coping) yang tepat kepada caregiver
dalam merawat pasien kanker agar dapat bertahan.
1.4 Sistematika Penulisan
Penulisan laporan hasil penelitian ini mengacu pada “Panduan Penulisan Skripsi
dengan Pendekatan Kuantitatif Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta”. Adapun sistematikanya terinci sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan
skripsi.
BAB II KAJIAN TEORI
Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka yang dikemukakan dalam penelitian ini meliputi pengertian resiliensi, dimensi resiliensi, faktor yang mempengaruhi resiliensi dan pengukuran resiliensi; pengertian harapan, dimensi harapan,
karakteristik individu tingkat harapan tinggi, dan pengukuran harapan; pengertian
coping stres, dimensi coping stres, dan pengukuran coping stres; dan pengertian
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi tentang metode penelitian, jenis-jenis penelitian, tempat dan waktu
penelitian, populasi, sampel dan sampling, variabel dan definsi operasional masing-masing variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas
konstruk, teknik analisis data, metode analisis data, dan prosedur penelitian yang digunakan.
BAB IV HASIL PENELITIAN
Bab ini peneliti menguraikan gambaran subyek penelitian,deskripsi hasil penelitian, pelaksanaan penelitian, statistik diskriptif, gambaran kondisi lokasi
penelitian, analisis data, dan hasilnya. Deskripsi data dilengkapi dengan tabel, grafik, gambar, dan diagram.
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan, keterbatasan, diskusi, dan saran-saran. Kesimpulan berisi tentang uraian hasil penelitian sebagai jawaban atas masalah penelitian yang
dirumuskan sebelumnya. Diskusi merupakan pembahasan hasil penelitian yang berisi analisis hasil penelitian dan membandingkannya dengan teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Sedangkan saran memuat saran teoritis yang
berkaitan dengan penelitian lebih lanjut berdasarkan hasil penelitian dan keterbatasan yang dialami. Selain itu, dijelaskan pula saran praktis yang dapat
diberikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan berkenaan hasil penelitian. DAFTAR PUSTAKA
BAB II KAJIAN TEORI
Bab kedua dari penelitian ini akan memaparkan tentang teori yang digunakan dalam penelitian ini, pengukuran nya, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.
2.1 Resiliensi
2.1.1 Definisi Resiliensi
Rutter (dalam Wagnild & Young, 1993) mendefinisikan resiliensi sebagai faktor
penyangga yang melindungi individu dari gangguan psikotik. Menurut Grotberg (2000, 2004) resiliensi adalah seluruh kapasitas yang memungkinkan individu,
kelompok atau komunitas untuk mencegah, meminimalisir atau mengatasi pengaruh merugikan atas kesengsaraan atau kesulitan. Tekanan ini bersifat terus menerus sehingga individu yang resilien adalah yang mampu melakukan adaptasi
terhadap tantangan yang bersifat terus menerus (Garmezy, Werner, Luthar, & Masten, dalam Basim, 2010).
Norman (dalam Cathy, 2010) mendefinisikan resiliensi sebagai kualitas dan mekanisme protektif yang meningkatkan adaptasi pada kehadiran faktor yang beresiko tinggi terhadap jalannya perkembangan. Kemudian Miller dan Lawton
(dalam Chakraborty, 2007) menyebutkan definisi yang serupa. Ia mengemukakan bahwa resiliensi adalah adaptasi positif terhadap kemalangan. Resiliensi juga
memungkinkan adanya perkembangan kompetensi saat menghadapi tekanan berat (Luthar, Cichetti & Becker, dalam Thomas, 2010) dan merupakan kapasitas untuk bangkit kembali dari kekecewaan, jalan mundur, dan rintangan (Nash, & Bowen,
Pada akhirnya, resiliensi tidak hanya berkisar pada adaptasi positif terhadap resiko tinggi atau melambung dari jalan mundur melainkan juga memberi
kemampuan pada individu untuk berespon dengan fleksibel dibawah tekanan yang terjadi tiap hari dalam kehidupan (Rutter & Greene, 2000). Sedangkan menurut
Luthar, dan Rutter(dalam Betancourt, 2008) resiliensi mengacu pada suatu fenomena atau proses yang secara relatif mencerminkan adaptasi positif saat mengalami ancaman atau trauma yang signifikan.
Beberapa definisi tentang resiliensi menjadi 3 kategori menurut Haase (dalam Basim, 2010) yaitu, a) untuk ketahanan diri sendiri, b) dukungan keluarga
dan, c) dukungan luar lainnya. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka resilliensi diartikan sebagai suatu kemampuan atau kapasitas yang dimiliki individu di mana dengan kapasitas tersebut, individu mampu bertahan serta
mampu berkembang secara sehat dan menjalani hidup secara positif dalam situasi yang kurang menguntungkan atau dalam kondisi yang penuh tekanan.
Resiliensi bukanlah suatu hal yang menetap, melainkan suatu hal yang dinamis dan berkembang sepanjang kehidupan manusia, serta di pengaruhi oleh faktor lingkungan. Wagnild dan Young (1990, 1993) sebelumnya juga
menemukan bahwa resiliensi merupakan suatu hal yang dinamis, tepat suatu kekuatan dalam diri individu sehingga mampu beradaptasi dalam menghadapi
kondisi sulit dan kemalangan yang menimpanya.
Ditambahkan oleh Wagnild (2010), hampir semua manusia mengalami kesulitan dan jatuh dalam perjalanan hidup, namun mereka memiliki ketahanan
melanjutkan hidup ini disebut resiliensi. Penelitian Wagnild (2010) menemukan bahwa resiliensi dapat menjadi faktor protektif dari munculnya depresi,
kecemasan, ketakutan, perasaan tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya sehingga memiliki potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin
muncul. Selanjutnya, individu yang resilien disebut sebagai individu yang berorientasi pada tujuan, di mana hal tersebut akan mendorongnya untuk selalu bangkit dan terus maju ketika menghadapi kesulitan. Ia juga mengetahui kekuatan
yang dimiliki dirinya, serta sadar bahwa ia dapat bergantung pada dirinya sendiri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, meskipun harus menyelesaikannya sendiri
(Wagnild, 2011). Untuk itu, Wagnild menekankan bahwa semua individu sangat membutuhkan kemampuan yang dapat dikembangkan melalui lima komponen resiliensi yaitu meaningfulness, perseverance, equnimity, self reliance, dan
exixtential aloneness.
Definisi yang dikemukakan Wgnild dan Young (1990, 1993) seperti yang
didapatkan di atas tidak hanya melihat resiliensi sebagai suatu hal yang dinamis dan dapat dikembangkan sepanjang kehidupan manusia, melainkan juga memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai lima komponen yang
mendasari resiliensi itu sendiri. Selain itu, definisi tersebut merupakan salah satu dasar pencetus dan berkembangnya studi tentang resiliensi serta menjadi acuen
2.1.2 Dimensi Resiliensi
Dimensi resiliensi merupakan suatu cara yang diwujudkan untuk membuat
pertahanan dalam merawat pasien dalam penyakit kronis. Wagnild & Young (1993; 2010) membagi resiliensi kedalam lima bentuk yaitu:
a. Ketenangan hati
Ketenangan hati yaitu suatu perspektif yang dimiliki oleh individu mengenai hidup dan pengalaman-pengalaman yang dialaminya semasa hidup yang
dianggap merugikan. Wagnild(2010), namun demikian individu harus mampu untuk melihat dari sudut pandang yang lain sehingga ia dapat melihat hal-hal
yang lebih positif daripada hal-hal negatif dari situasi sulit yang sedang dialami. Equaminity juga menyangkut karakteristik humor. Oleh karena itu individu resilien dapat menertawakan situasi apapun yang sedang dihadapi,
melihat situasi tersebut dari hal yang positif, dan tidak terjebak pada hal-hal negatif yang terdapat didalamnya.
b. Ketekunan
Ketekunan yaitu suatu sikap individu yang tetap bertahan dalam menghadapi suatu situasi sulit. Perseverance juga berarti keinginan seseorang untuk terus
berjuang dalam mengembalikan kondisi seperti semula. Wagnild(2010), dalam karakteristik perseverance ini dibutuhkan kedisiplinan pada diri individu ketika
berjuang menghadapi situasi yang sulit dan kurang menguntungkan baginya. c. Kemandirian
Kemandirian adalah keyakinan pada diri sendiri dengan memahami
individu yang resilien sadar kekuatan yang ia miliki dan mempergunakannya dengan benar sehingga dapat menuntun setiap tindakan yang ia lakukan.
Karakteristik ini didapat dari berbagai pengalaman hidup yang dialami sehari-hari dan dapat meningkatkan keyakinan individu akan kemampuan dirinya
sendiri. Individu yang resilien mampu belajar dari pengalaman hidup yang didapatnya setiap hari dan mampu mengembangkan berbagai pemecahan masalah yang dihadapinya.
d. Kebermaknaan
Kebermaknaan merupakan kesadaran individu bahwa hidupnya memiliki
tujuan dan diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Wagnild (2010) menyebutkan bahwa karakteristik ini merupakan karakteristik resiliensi yang paling penting dan menjadi dasar dari keempat karakteristik yang lain, karena
menurutnya hidup tanpa tujuan sama dengan sia-sia karena tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Tujuan mendorong individu untuk melakukan sesuatu
dalam hidup tak terkecuali ketika ia mengalami kesulitan, tujuanlah yang membuat individu terus berjuang menghadapi kesulitan tersebut.
e. Eksistensial kesendirian
Eksistensial Kesendirian menggambarkan kesadaran bahwa setiap individu unik dan beberapa pengalaman dapat dihadapi bersama namun ada juga yang
harus dihadapi sendiri. Individu resilien belajar untuk hidup dengan keberdayaan dirinya sendiri. Individu tidak terus-menerus mengandalkan orang lain, dengan kata lain mandiri dalam menghadapi situasi sulit apapun sehingga
Wagnild(2010), karakteristik existential aloneness bukan berarti tidak menghiraukan pentingnya berbagi pengalaman dan merendahkan orang lain,
melainkan menerima diri sendiri apa adanya.
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Rutter, Luthar, dan Richardson(dalam Zauszniewski, 2010) menjelaskan bahwa perkembangan resiliensi pada manusia merupakan suatu proses perkembangan manusia yang sehat, suatu proses dinamis dimana terdapat pengaruh dari interaksi
antara kepribadian seorang individu dengan lingkungannya dalam hubungan yang timbal balik. Hasilnya ditentukan berdasarkan keseimbangan antara faktor resiko,
kejadian dalam hidup yang menekan, dan faktor protektif. Selanjutnya, keseimbangan ini tidak hanya ditentukan oleh jumlah dari faktor resiko dan faktor protektif yang hadir dalam kehidupan seorang individu tetapi juga dari frekuensi,
durasi, derajat keburukannya, sejalan dengan kemunculannya. 1. Faktor Risiko
Faktor risiko dapat berasal dari kondisi budaya, ekonomi, atau medis yang menempatkan individu dalam risiko kegagalan ketika menghadapi situasi yang sulit. Faktor risiko menggambarkan beberapa pengaruh yang dapat
meningkatkan kemungkinan munculnya suatu penyimpangan hingga keadaan yang lebih serius lagi. Trait risiko merupakan predisposisi individu yang
meningkatkan kelemahan individu pada hasil negatif. Efek lingkungan, dimana lingkungan atau keadaan dapat berhubungan atau mendatangkan risiko. Hubungan antar beberapa variabel resiko yang berbeda akan membentuk suatu
2. Faktor Protektif
Faktor protektif adalah karakteristik pada individu atau kondisi dari keluarga,
sekolah, ataupun komunitas yang meningkatkan kemampuan individu dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan dengan baik. Menurut Rutter (dalam
Zauszniewski, 2010) menyatakan interaksi antaraproses sosial dan intrapsikis dapat memungkinkan seseorang untuk dapat menghadapi kesulitan dan segala kumpulan tantangan kehidupan secara positif. Menjelaskan resiliensi sebagai
proses dinamik yang sangat dipengaruhi oleh faktor protektif, dimana seseorang dapat bangkit kembali dari kesulitan dan menjalani kehidupannya.
Ditambahkan juga bahwa faktor protektif merupakan setiap traits, kondisi situasi yang muncul untuk membalikkan kemungkinan dari masalah yang diprediksi akan muncul pada individu yang mengalami masalah. Menyatakan
faktor protektif merupakan prediktor terkuat dalam mencapai resiliensi dan hal yang memainkan peran kunci dalam proses yang melibatkan seseorang untuk
berespon dalam situasi sulit.
2.1.4 Pengukuran Resiliensi
Meskipun penelitian mengenai resiliensi ini tergolong baru, namun telah banyak
peneliti yang mengembangkan alat ukut atau skala untuk menilai kemampuan seseorang dalam menghadapi bentuk-betuk situasi yang menekan.
a. The Brief Resilience Scale
Brief Resilience Scale (BRS) didesain oleh Smith dan rekan-rekannya sebagai pengukuran hasil untuk menilai kemampuan untuk bangkit kembali atau pulih
ini dikembangkan untuk menentukan apakah resiliensi dapat dinilai sebagai kemampuan bangkit kembali dari stres, berkaitan dengan sumber-sumber
resiliensi, dan apakah berkaitan dengan dampak kesehatan (Smith, dalam Kusuma 2014).
b. The Connor-Davidson resilience Scale
Connor-Davidson resilience Scale (CD-RISC) dikembangkan sebagai penilaian singkat mengenai self-rated untuk membantu mengukur resiliensi
sebagai ukuran klinis untuk menilai respon terhadap treatment (Connor & Davison, 2003). CD-RISC terdiri dari 25 item yang masing-masing itemnya
dikelompokkan ke dalam lima faktor, yaitu kompetensi personal, kepercayaan penguatan stress, penerimaan terhadap perubahan dan hubungan yang aman, kontrol serta pengaruh spiritual (Windle, dalam Kusuma 2014).
c. Resilience Scale
Resilience Scale (RS) dikembangkan oleh Wagnild dan Young(1990). Tujuan
pengembangan yang dirancang untuk mengidentifikasi individu tangguh atau mereka yang memiliki kapasitas untuk ketahanan dalam merawat, terdiri dari 25 item.
Berdasarkan hubungan antara pengertian dan jenis-jenis alat ukur yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti dalam kesempatan ini memilih Resilience Scale
(RS). Alasan menggunakan RS dikarenakan skala ini mampu mewakili tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, yaitu menilai resiliensi dari faktor protektif yang dianggap memfasilitasi dari munculnya depresi, kecemasan, ketakutan,
potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin muncul untuk ketahanan
caregiver dalam merawat pasien kanker.
2.2 Harapan
2.2.1 Definisi harapan
Synder (2000) menyatakan harapan adalah keseluruhan dari kemampuan yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan yang diinginkan, bersamaan dengan motivasi yang dimiliki untuk menggunakan jalur-jalur tersebut.
Harapan didasarkan pada harapan positif dalam pencapaian tujuan. Synder, Irving, dan Anderson (dalam Synder, 2000) menyatakan harapan adalah keadaan
termotivasi yang positif didasarkan pada hubungan interaktif antara agency
(energi yang mengarah pada tujuan) dan pathway (rencana untuk mencapaitujuan).
Dufault dan Martocchia(dalam Moseley, 2011), harapan memungkinkan seseorang untuk mengatasi situasi yang penuh tekanan (stressful) dengan
mengharapkan hasil yang positif. Karena hasil positif yang diharapkan maka seseorang termotivasi untuk bertindak dalam menghadapi ketidakpastian.Menurut Herth dan Snyder(dalam Moseley, 2011) harapan adalah suatu proses terhadap
pencapaian tujuan di masa depan yang ditentukan oleh pentingnya tujuan tersebut bagi seseorang dan motivasi dalam bertindak untuk meraih tujuan.
Pemahaman terhadap konsep harapan berkembang menurut Farran, Herth, dan Popovitch, Snyder(dalam Drach-Zahavy, 2002) melakukan meta-analisis terhadap beberapa definisi yang ada dan mengemukakan bahwa harapan
sebagai cara merasakan, cara berpikir, cara bertindak dan cara berhubungan dengan dirinya maupun dengan dunianya. Harapan ada ketika suatu objek atau
hasil yang didambakan belum terwujud.
Sebagai suatu cara merasakan (afektif), harapan digambarkan sesuatu
yang melampaui emosi dan berfungsi sebagai suatu kekuatan pendorong. Harapan menggerakan seseorang utnuk maju ketika merasakan sesuatu cara berpikir (kongnitif), harapan dilakukan dengan keberanian, keteguhan dalam menghadapi
masalah yang sulit atau mengalami begitu banyak rintangan(a sense of fortitude). Harapan merupakan suatu sikap positif secara kongnitif, emosi, dan motivasi
terkait dengan masa depan (Kanfer & Ackerman, dalam Drach-Zahavy, 2002). Synder (dalam Carr, 2004) mengkonsepkan harapan ke dalam dua komponen, yaitu kemampuan untuk merencanakan jalur untuk mencapai tujuan
yang diinginkan dan agency atau motivasi untuk menggunakan jalur tersebut. Harapan merupakan keseluruhan dari kedua komponen tersebut. Berdasarkan
konsep ini, harapan akan menjadi lebih kuat jika harapan ini disertai dengan adanya tujuan yang bernilai yang memiliki kemungkinan untuk dapat dicapai, bukan sesuatu yang mustahil dicapai. Pemikiran hopeful mencakup tiga
komponen, yaitu goal, pathway thinking, dan agency thinking. Namun juika individu memiliki keyakinan untuk mencapai tujuannya, maka individu tidak
memerlukan harapan. Sebaliknya, jika individu yakin bahwa ia tidak akan bisa maka ia akan menjadi hopeless. Berdasarkan konseptualisasi ini, emosi positif dan negati merupakan hasil dari pemikiran hopeful atau hopeless yang memiliki
2.2.2 Dimensi Harapan
Menurut Snyder (2000), dimensi yang terkandungmerupakan suatu harapan yang
diwujudkan dalam goal, agency, dan pathway, yaitu: 1. Goal/ Tujuan
Goal atau tujuan adalah sasaran dari harapan tindakan mental yang
menghasilkan komponen kongnitif. Tujuan merupakan suatu objek, pengalaman, atau hasil titik akhir dari tahapan perilaku mental individu. Tujuan
dapat berupa harapan menjadi sesuatu yang bernilai untuk mengaktifkan pemikiran yang disadari dalam hidup seseorang (Snyder, Cheavers &
Sympson, 2000). Tujuan juga sangat beragam dilihat dari tingkat kemungkinan untuk mencapainya. Bahkan suatu tujuan yang tampaknya tidak mungkin untuk dicapai pada waktunya akan dapat dicapai dengan perencanan dan usaha yang
lebih keras.
2. Agency Thinking/Willpower
Agency Thinking atauWillpower merupakan kapasitas kekuatan untuk menggunakan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Agency
mencerminkan persepsi individu bahwa dia mampu mencapai tujuannya
melalui jalur-jalur yang dipikirkannya, agency juga dapat mencerminkan penilaian individu mengenai kemampuannya bertahan ketika menghadapi
Agency berisikan keteguhan hati dan komitmen yang dapat digunakan untuk membantu menggerakan seseorang untuk maju kearah pencapaian tujuan
yang ditetapkan dalam suatu momen tertentu. Agency memunculkan persepsi seseorang untuk dapat melakukan dan mempertahankan suatu tindakan menuju
pencapaian tujuan yang diinginkan terutama tujuan yang penting dalam kehidupan. Agencydapat lebih mudah dibangkitkan ketika seseorang dapat memahami dan mepresentasikan tujuan yang jelas dalam benaknya. Tujuan
yang samar tidak mencetuskan dorongan secara mental untuk maju. Oleh karena itu, ketika seseorang dapat mengklarifikasi tujuan maka ia cenderung
dapat mengisi dirinya dengan pemikiran yang aktif dan memberdayakan diri menuju pencapaian tujuan. Agency juga memunculkan keyankinan dalam diri seseorang bahwa ia mampu melakukan suatu tindakan menuju pencapaian
tujuan (Snyder, 2000).
Kemampuan seseorang untuk menciptakan agency didasarkan pada
pengalaman sebeumnya tentang keberhasilan yang mengaktifasikan benak dan tubuh kita untuk mengejar tujuan Penting untuk digarisbawahi bahwa agency
tidak diperoleh ketika seseorang menjalani kehidupannya dengan mudah
dimana tujuan dapat dicapai tanpa adanya rintangan. Seseorang yang memiliki
agency adalah seseorang yang telah mampu mengatasi kesulitan-kesulitan
sebelumnya dalam hidup (Snyder, 2000).
3. Pathway Thinking/Waypower
Pathway Thinking atauWaypower mereleksikan rencana atau peta jalur secara
Pathway adalah kapasitas mental yang dapat digunakan untuk menemukan satu atau lebih cara yang efektif untuk mencapai tujuan (Snyder, Lapointe, crowson,
&Ear, 2000). Pathway adalah suatu persepsi bahwa seseorang dapat terlibat dalam pemikiran yang penuh perencanaan. Secara khusus, kemampuan
pathway seseorang dapat diterapkan dalam beberapa tujuan yang berbeda satu
sama lain. Secara umum, seseorang tampak lebih mudah untuk merencanakan secara efektif ketika tujuan yang hendak dicapai dapat didefinisikan atatu
dioperasionalkan dengan baik. Tujuan yang lebih penting bagi seseorang lebih cenderung memunculkan perencanaan yang kaya. Hal ini terjadi karena
seseorang dalam perkembangannya cenderung menghabiskan banyak waktu untuk berpikir tentang bagaiman meraih tujuan yang lebih penting dan cenderung mempraktekkan perencanaan terkait dengan tujuan yang lebih
penting tersebut (Irving, Snyder, & Crowson, Snyder, Harris, 2000).
Kemampuan seseorang untuk menciptakan pathway didasarkan pada
pengalaman sebelumnya tentang keberhasilan menemukan satu atau lebih cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil penelitian, ingatan seseorang diatur atau diorganisasikan kedalam tujuan dan rencana. Dengan
perkataan lain, seseorang menyimpan informasi secara mental berdasarkan tujuan dan cara yang diasosiasikan dengan tujuan tersebut (Snyder, Irving, &
Gambar 2.1 Visualisasi Harapan
Learning History Pre-Event Event Sequence 2.2.3 Karakteristik Individu Dengan Tingkat Harapan Tinggi
Menurut Synder (2000), orang dewasa dengan tingkat harapan tinggi memiliki
profil tertentu. Mereka telah mengalami berbagai kemunduran atau “pukulan”
sama seperti orang lain dalam kehidupan mereka namun mereka telah mengembangkan keyakinan bahwa mereka dapat melakukan penyesuaian terhadap tantangan yang ada dan mengatasi kesulitan yang terjadi. Mereka juga
mempertahankan dialog dalam dirinya yang positif, seperti mengatakan pada
dirinya pernyataan berikut: “saya pasti bisa atau saya tidak akan menyerah”.
Mereka fokus pada keberhasilan bukan pada kegagalan. Pada saat menghadapi rintangan dalam pencapaian tujuan yang didambakan, mereka mengalami emosi negatif yang sedikit dan kurang intens. Hal ini terjadi karena mereka secara kreatif
tujuan lainnya yang dapat dicapai. Ketika menghadapi permasalahan dalam hidupnya, seseorang dengan tingkat harapan tinggi cenderung mampu
memecahkan masalah yang tampak besar dan tidak jelas menjadi masalah-masalah yang lebih kecil dan dapat didefinisikan secara lebih jelas sehingga dapat
dikelola. Sedangkan seseorang dengan tingkat harapan yang rendah, ketika menghadapi rintangan yang berat akan mengalami perubahan emosi dengan siklus sebagai berikut: dari berharap menjadi marah, kemudian dari marah menjadi putus
asa dan pada akhirnya putus asa menjadi apatis. Mengemukakan karakteristik psikologis yang dimiliki seseorang dengan tingkat harapan tinggi berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukannya. Karakteristik tersebut yaitu: 1. Optimis
Seseorang dengan harapan yang tinggi pasti optimis namun tidak sebaliknya.
Optimis tampak berkaitan erat dengan willpower namun tidak dengan
waypower. Mereka yang optimis memiliki suatu energi mental terkait dengan
pencapaian tujuannya namun mereka tidal selalu memiliki pemikiran terkait dengan cara pencapaian tujuan (waypower).
2. Memiliki cara pencapaian tujuan terhadap kehidupannya
Seseorang dengan tingkat harapan yang tinggi cenderung memiliki keyakinan bahwa dirinya sendiri memiliki kendali terhadap hidupnya dan dirinya sendiri
menentukan nasib hidupnya. 3. Harga diri (self esteem) tinggi
Seseorang yang terbiasa mengembangkan willpower dan waypower terkait
Mereka berpikir positif dengan diri sendiri karena mereka mengetahui bahwa mereka telah meraih tujuan mereka dimasa lalu dan melakukan hal yang sama
untuk tujuan dimasa yang akan datang. Harga diri orang dengan tingkat harapan yang tinggi tampil dalam ruang privat terkait dengan perasaan bangga
terhadap diri sendiri.
4. Memiliki persepsi tentang kemampuannya dalam pemecahan masalah
Kemampuan seseorang dalam pemecahan masalah berkaitan dengan pemikiran
seseorang terkait dengan cara pencapaian tujuan. Pada saat mengalami situasi sulit dalam melakukan cara yang biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan,
mereka menjadi sangat berorientasi pada tugas dan menjalankan cara alternatif untuk mencapai tujuan. Mereka cenderung telah mengantisipasi permasalahan dengan mengembangkan perencanaan dengan sistem back-up (cadangan) untuk
mengatasi kemungkinan mengalami suatu kesulitan.
2.2.4 Pengukuran Harapan
Ada beberapa skala harapan untuk melihat kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mencapai sebuah harapan.
1. TheMillerHopeScale(MHS)
TheMillerHopeScale(MHS)dikembangkan olehMiller(1988), yangterdiri dari40 item. Skordari40 sampai 200, semakin tinggi skor, semakin
berbagai penelitiandanpengaturan yang berbeda, khususnya harapandalam kelompokpasien dengansakitdiri, dukungan sosialdanpendidikan.
2. TheHerthHopeScale(HHS)
TheHerthHopeScale(HHS)dibuat olehHerth(1991), ada30item, di manauntuk
menggambarkansebagai"tidak pernah berlaku untuk saya" dansebagai "sering berlaku untuk saya". Skor dari30 sampai 120, semakin tinggi skor, semakin tinggitingkatharapan. Koefisien reliabilitassampai dengan0.94, melaluitigasub
skala: masa depan, kesiapan, harapan, dan keterkaitan.
3. TheHerthHopeIndex(HHI)
TheHerthHopeIndex(HHI)dibaut oleh Synder (2000)adalah versi
singkatdariHHS, termasuktiga subskaladariHHSasli. The HHIterdiri dari12item, diatur denganskordari 1 sampai 4, di mana1adalah'sangat tidak
setuju' dan4 adalah'sangat setuju'. Skordari12 sampai48,semakin tinggi skor, semakin tinggi tingkatharapan.
Tetapi dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala Herth Hope Index (HHI)Snyder (2000) mendefinisikan harapan sebagai kemampuan yang dirasakan untuk memperoleh jalur ke tujuan (goal) yang diinginkan, dan memotivasi diri
melalui lembaga berpikir (agency) untuk menggunakan jalur (pathway) tersebut.
2.3 Coping Stres 2.3.1 Definisi Stres
Stres seringkali dianggap sebagai keadaan dimana individu merasa tertekan untuk memenuhi tuntutan dari ligkungan di sekitarnya. Tiap individu merespon tekanan
pengalaman tiap individu terhadap stres bergantung pada reaksinya terhadap tekanan dari luar. Menurut Lazarus dan Folkman, (1984) mengindikasikan suatu
konsep yang sistematis untuk memahami fenomena dalam lingkup yang luas mengenai pentingnya adaptasi manusia dan juga hewan.
Stres dalam arti secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang. Dalam bahasa sehari-hari stres di kenal sebagai stimulus atau respon yang menuntut individu untuk melakukan penyesuaian. Menurut Lazarus dan Folkman
(1986) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial
membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stres juga adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis (Rodrigue & Hoffman, dalam Duci, 2011). Stres juga diterangkan
sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme
yang memberikan tekanan kepada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya (Taylor, dalam Duci, 2011).
Menurut Lazarus dan Folkman (1986) stres memiliki memiliki tiga
bentuk yaitu:
1. Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang
menimbulkan stres atau disebut juga dengan stressor.
2. Respon, yaitu stres yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang
serta respon psikologis seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung.
3. Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi
maupun afeksi. Mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang. Mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan
fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres ini sebagai respon stres.
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, bahwa stres merupakan suatu keadaan yang menekan diri individu. Stres merupakan mekanisme yang kompleks dan menghasilkan respon yang saling terkait baik fisiologis, psikologis, maupun
perilaku pada individu yang mengalaminya, dimana mekanisme tersebut bersifat individual yang sifatnya berbeda antara individu yang satu dengan individu yang
lain.
2.3.2 Penyebab Stres atau Stressor
Stressor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan
terjadinya respon stres. Stressor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul pada situasi kerja,
dirumah, dalam kehidupan sosial, dan lingkungan luar lainnya. Istilah stressor
diperkenalkan pertama kali oleh Panter-Brick (dalam Skoudal, 2009). Menurut Lazarus dan Folkman (1986) stressor dapat berwujud atau berbentuk fisik (seperti
sosial). Pikiran dan perasaan individu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor.
2.3.3Definisi Coping
Individu dari semua umur mengalami stres dan mencoba untuk mengatasinya.
Karena ketegangan fisik dan emosional yang menyertai stres menimbulkan ketidaknyaman, seseorang menjadi termotivasi untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi stres. Hal-hal yang dilakukan bagian dari coping Garmezy, Rutter dan
Lazarus (dalam Skoudal, 2009) coping adalah proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang diterima antara demands dan resources yang
dinilai dalam suatu keadaan yang stressful.Menurut Lazarus dan Folkman (1986) mendefenisikan coping sebagai segala usaha untuk mengurangi stres, yang merupakan proses pengaturan atau tuntutan (eksternal maupun internal) yang
dinilai sebagai beban yang melampaui kemampuan seseorang. Menurut Garrity dan Marx (dalam, Sarafino 2006) menambahkan bahwa coping adalah proses
dimana individu melakukan usaha untuk mengatur (management) situasi yang dipersepsikan adanya kesenjangan antara usaha (demands) dan kemampuan (resources) yang dinilai sebagai penyebab munculnya situasi stres. Menurut
Theorell dan Rahe (dalam Sarafino 2006) usaha coping sangat bervariasi dan tidak selalu dapat membawa pada solusi dari suatu masalah yang menimbulkan
Suatu tindakan dalam menghadapi stres biasanya disebut dengan coping.
Lazarus dan Folkman (1984, hal. 19) mendefinisikan coping sebagai berikut:
“constantly changing cognitive and behavioral efforts to manage specific estenal and internal demands that are apprasaid as taxing or exceeding the
resources of person.”
Berdasarkan penjelasan di atsa, dapat disimpulkan bahwa coping
merupakan cara pandang dan tingkah laku yang secara konstan berubah untuk mengatur tuntutan eksternal dan internal yang dinilai membebani atau melebihi
sumber daya dari seseorang. Tindakan ini bisa bersifat action-oriented maupun intrapsikis, keduanya berusaha untuk mengatur, menguasai, menoleransi, ataupun
mengurangi muatan dari lingkungan yang mengakibatkan stres.
Definisi yang disebutkan menurut Lazarus dan Folkman (1984) juga memberikan batasan mengenai coping, yaitu yang pertama bahwa coping dilihat
bukan sebagi trait, melainkan sebuah proses. Hal ini terlihat dari pernyataan
“constantly changing and specific demands”. Kemudian ditekankan juga adanya
perbedaan antara coping dengan tingkah laku adaptif yang otomatis dengan membatasi coping pada tuntutan yang dinilai membebani ataupun melebihi sumber daya seseorang. Maka, segala bentuk tingkah laku maupun pemikiran
yang tidak membutuhkan usaha tidak dapat digolongkan sebagai coping.
Selanjutnya pernyataan bahwa coping merupakan “usaha untuk mengatur” juga
copingjuga dapat mengandung, mengurangi, menghindari, menoleransi dan menerima kondisi yang mengakibatkan stres serta menguasai lingkungan.
Dengan kata lain coping adalah usaha individu baik secara kognitif maupun tingkah laku mengelola tuntutan internal maupun eksternal yang dinilai
melebihi kapasitas kemampuan individu dari situasi yang menekan. Coping
merupakan pencarian cara untuk memperkecil dampak dari tekanan-tekanan yang dialami oleh individu.
2.3.4 Fungsi Coping
Menurut Lazarus dan Folkman (1987) proses coping terhadap stres memiliki 2
fungsi utama yang terlihat dari bagaimana gaya menghadapi stres, yaitu :
1. Emotional-Focused Coping
Coping ini bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap respon emosional
terhadap situasi penyebab stres, baik dalam pendekatan secara behavioral maupun kognitif. Mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan
Emotional-Focused Coping ketika individu memiliki persepsi bahwa stresor yang ada tidak dapat diubah atau diatasi.
2. Problem-Focused Coping
Coping ini bertujuan untuk mengurangi dampak dari situasi stres atau memperbesar sumber daya dan usaha untuk menghadapi stres. mengemukakan
2.3.5 Dimensi Coping Stress
Menurut Lazarus dan Folkman (1986) mengidentifikasikan berbagai jenis coping
stres,baik secara problem-focused maupun emotion-focused, yaitu:
1. Planful problem solving yaitu usaha untuk mengubah situasi, danmenggunakan
usaha untuk memecahkan masalah.
2. Confrontive coping yaitu menggunakan usaha agresif untuk mengubah situasi,mencari penyebabnya dan mengalami resiko.
3. Seeking social support yaitu menggunakan usaha untuk mencari sumber dukungan informasi, dukungan sosial dan dukungan emosional.
4. Accepting responsibility yaitu mengakui adanya peran diri sendiri dalam masalah.
5. Distancing yaitu menggunakan usaha untuk melepaskan dirinya, perhatian
lebih kepada hal yang dapat menciptakan suatu pandangan positif.
6. Escape-avoidance yaitu melakukan tingkah laku untuk lepas atau menghindari.
7. Self-control yaitu menggunakan usaha untuk mengatur tindakan dan perasaan diri sendiri.
8. Positive reappraisal yaitu menggunakan usaha untuk menciptakan hal-hal
positif dengan memusatkan pada diri sendiri dan juga menyangkut religiusitas.
2.3.6 Pengukuran Coping Stres
1. The brief COPE
The brief COPE yang dikembangkan oleh Carver(1997). Alat ukur yang
merupakan adaptasi dari alat ukur COPE yang dibuat oleh Cerver, Scheier, dan Weintraub (1989) ini digunakan untuk melihat cara individu dalam mengatasi
masalah, mengukur respon coping yang penting dan potensial dengan cepat.
The brief COPE terdiri dari 28 itemyang mengukur 14 konsep reaksi coping
yang berbeda.
2. Coping Strategi Indicator (CSI)
Coping Strategi Indicator (CSI)di buat oleh Amirkhan(1990). Terdiri dari 33
item,dengan tiga sub skala masing-masing berisi 11 item, skor yang lebih tinggi menunjukkan lebih besar menggunakan coping.
3. Ways of Coping Scale (WOC)
Ways of Coping Scale (WOC) skala baku milik Folkman dan Lazarus (1986) memakai perbedaanProblem-Focused Coping danEmotional Focused Coping.
Terdiri dari 66 item mengandung berbagai pikiran dan tindakakanseseorang untuk dengan tuntutan internal dan eksternal stres. Biasanya untuk pertemuan tertentu, seperti pengobatan medis atau pemeriksaan akademis, dipilih oleh
peneliti sebagai fokus kuesioner.
Dimana peneliti menggunakan pengukuran Ways of Coping Scale (WOC) karena
Problem Focused Coping dan Emotional Focused Coping mengandung berbagai pikiran dan tindakakanseseorang untuk dengan mengelolafaktor internal dan
2.4Caregiver
2.4.1 Definisi Caregiver
Caregiveradalah individu yang memberikan perawatan kepada orang lain yang sakit atau orang tidak mampu (Oyebade, 2003). Seorang caregiver bisa berasal
dari anggota keluarga, teman, ataupun tenaga profesional yang mendapatkan bayaran (Nadya, 2009). Caregiver keluarga di definisikan sebagai individu yang memberikan asuhan keperawatan berkelanjutan untuk sebagai waktunya secara
bersungguh-sungguh setiap hari dan dalam waktu periode yang lama, bagi anggota keluarganya yang menderita penyakit kronis (Tantono, 2006). Caregiver
adalah seseorang yang memberikan bantuana kepada orang yang mengalami ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena penyakit dan keterbatasannya (Sukmarini, 2009).
2.4.2 Jenis Caregiver
Caregiver di bagi menjadi caregiver informal dan caregiver formal. Caregiver
informal adalah seseorang individu (anggota kelurga, teman, atau tetangga) yang membeikan perawatan tanpa di bayar, paruh waktu atau sepanjang waktu, tinggal bersama maupun terpisah dengan orang yang dirawat, sedangkan caregiver formal
adalah caregiver yang merupakan bagian system pelayanan, baik di bayar maupun sukarelawan (Sukmarini, 2009).
2.4.3 Fungsi Caregiver
Fungsi dari caregiver adalah menyediakan makanan, membawa pasien ke dokter, dan memberikan dukungan emosional, kasih sayang dan perhatian (Tantono,
dimana faktor psikis juga ikut berperan. Faktor psikis tersebut sudah menjadi beban mental kepada pasien (Adikusumo, 1999).
Caregiver juga membantu pasien mengambil keputusan atau pada stadium akhir penyakitnya, justru caregiver ini yang membuat keputusan untuk
pasiennya. Keluarga caregiver merupakan penasihat yang sangat penting dan di perlukan oleh pasien (Tantono, 2006).
2.4.4 Tugas Caregiver
Caregiver berperan penting dalam perawatan di dalam rumah dan sering melakukan tugas perawatan yang kompleks termasuk penilaian dan pengelolaan
gejala, perawatan kebersihan, dan pengadministrasian obat.Caregiver tidak hanya membantu dalam hal perawatan bersama penyedia jasa perawatan, tetapi juga menyediakan sebagian besar dukungan dalam rumah (Hoskins, Coleman, & Mc
Neely, dalam Denise, 2010).Tugas caregiver digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu (Lubis, 2004):
1. Berdasarkan bentuk gangguan yang dialami pasien
Setiap caregiver memberikan bantuan yang berbeda-beda kepada pasiennya dikarenakan masing-masing pasien memiliki bentuk gangguan yang
berbeda-beda. Contohnya, individu yang mengalami gangguan pada fungsi fisik, mengetahui apa yang hendak ia lakukan, namun tidak mampu mengerjakannya
2. Berdasarkan bentuk tindakan yang dilakukan caregiver
Seorang caregiver dapat melakukan beberapa tindakan, antara lain
menyediakan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung, memberikan informasi atau saran tentang situasi dan kondisi pasien,
memberikan rasa nyaman dan dihargai serta diperlukan, menghargai sikap positif individu dan memberikan semnagat dengan memberikan penilaian positif kepada pasien, serta membuat pasien merasa menjadi anggota dari suatu
kelompok yang saling membutuhkan.
2.5 Kerangka Berpikir
Penyakit kanker merupakan penyakit yang sulit untuk disembuhkan, hal inilah yang menjadikan seorangcaregiver bukanlah hal yang mudah, di tambah dengan adanya tanggung jawab baru dalam keluarga, yaitu menjaga dan merawat pasien.
Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan caregiver untuk dapat bertahan dalam menghadapi situasi sulit yang dihubungkan dengan resiliensi, menurut Siebert
(2005) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan individu untuk dapat bangkit kembali dalam menghadapi situasi yang dirasa sulit. Individu yang memiliki resiliensi yang tinggi tidak membutuhkan orang lain untuk
membantunya dalam menghadapi situasi stres dan dengan memiliki resiliensi yang tinggicaregiver mempunyai harapan dalam merawat pasien.
Kanfer dan Ackerman (dalam Drach-Zahavy, 2002) menjelaskan bahwa adapun faktor yang mempengaruhi resiliensi caregiver adalah rasa ingin melindungi pasien yang terkena kanker (faktor protektif), atas dasar keinginan
sikap positif, yang mempengaruhi kognitif, emosi, dan motivasi yang berhubungan dengan masa depan.
Dalam proses mengembangkan kapasistas bertahanuntuk menghadapi tantangan fisik, sosial, dan emosional saat merawat pasien kanker,caregiver
membutuhkan harapan dalam dirinya untuk melindungi pasien dari penyakit yang di derita. Sehingga harapan (hope)sangat berperan penting dalam diri caregiver
saat memutuskan dirinya untuk menjadi seorang caregiver pasein kanker, seperti
yang dikatakan Duflaut dan Martocchia(dalam Moseley, 2011)menjelaskan bahwa harapan(hope)memungkinkan seseorang untuk mengatasi situasi yang penuh
tekanan (stressful) dengan mengharapkan hasil yang positif, karena dengan mengharapkan hasil yang positif maka seseorang akan termotivasi untuk bertindak saat berada di situasi yang tidak pasti.
Diharapkan dengan memiliki tujuan atau goal, caregiver dapat meningkatkan resiliensi dalam merawat pasienbahwa dengan memiliki tujuan
untuk kesembuhan pasien, dan dengan adanya agency atau motivasi pada
caregiver dapat memiliki komitmen untuk mencapai tujuan, serta pathway atau bagaimana seseorang menemukan cara untuk mencapai tujuan yang
diinginkandengan baik.
Biasanya caregiver memiliki banyak harapan, namun ia sadar ia tidak
mengesampingkan kebutuhan dan harapan pada dirinya sendiri dalam merawat pasien kanker.
Pada penelitian ini sendiri, peneliti menempatkan diri pada pandangan yang melihat bahwa pemilihan coping yang tepat untuk dapat bertahan (resilien)
yang dilakukan oleh caregiver dalam merawat pasien kanker. Hal ini disebabkan karena resiliensi menurut Wagnild dan Young (1993), merupakan kekuatan dari dalam diri individu yang menggambarkan keberanian dam kemampuan untuk
beradaptasi dalam menghadapi kondisi sulit dan kemalangan yang menimpanya, sementara coping didefinisikan sebagai cara pandang dan tingkah laku yang
dilakukan untuk mengatur tuntutan eksternal dan internal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya dari seseorang (Lazarus & Folkman, 1984). Oleh karena itu, peneliti mengambil kesimpulan bahwa coping merupakan usaha
ataupun tingkah laku yang diwujudkan untuk mengatasi tuntutan yang dirasa melebihi sumber daya yang dimiliki seseorang, sementara resiliensi merupakan
sesuatu yang lebih bersumber dari dalam diri seseorang.
Secara umum, Grafton, Gillespie, dan Henderson (2010), menyatakan bahwa resiliensi merupakan salah satu faktor yang memungkinkan seseorang
melakukan coping secara positif, bangkit dan berkembang setelah mengalami kesulitan dalam hidup. Resiliensi itu sendiri dilihat Taylor (2012) sebagai salah
satu sumber coping internal yang dimiliki individu. Oleh karena itu menurut Taylor, resiliensi dapat merefleksikan perbedaan individual dalam melakukan
coping terhadap situasi yang menimbulkan stres. Contohnya, terdapat pada
dengan menggunakan coping stres yang tepat akan menjadikan solusi untuk meminimalkan stres pada caregiver. Dalam menghadapi masalah yang sulit
biasanya caregiver memilih untuk menggunakan dua jenis coping, yaitu problem focus coping,dan emotional focus coping.
Dari delapan dimensi coping stress yang telah diungkapkan oleh Lazarus dan Folkman (1986) akan terlihat dampaknya terhadap resiliensi caregiver. Adapun caregiver menggunakan confrontative coping akan memiliki sifat agresif
dan berani dalam mengambil resiko, dan dalam penggunaan distancing pada
caregiver cenderung lebih berusaha untuk tidak larut dalam masalah yang
dihadapinya, serta menganggap masalah tidak seberat yang dibayangkan. Selain itu self-controlling yang ada pada diri caregiver akan menunjukan bahwa individu berusaha menguasai dan mengendalikan diri khususnya dalam menjaga perasaan
dan tindakan, pada sekking sosial support juga caregiver berusaha mencari dukungan dari orang lain dengan tujuan untuk dapat meringgankan beban,
accepting responsibility berarti caregiver bisa menerima tanggung jawab dalam merawat pasien kanker. Selanjutnya escape avoidance bahwa caregiver tidak akan lari dari kenyataan, planful problem solving dengan adanya usaha caregiver
dalam merencanakan pemecahan masalah pada stress yang dialaminya, dan
reaprasial positive dimana caregiver mengambil pelajaran dari stress yang di
hadapinya.Dengan penggunaan coping yang tepat dapat meminimalisir stres pada
caregiver, maka akan berpengaruh terhadap ketahanan (resilience)caregiver
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir
2.6 Hipotesis Penelitian 2.6.1 Hipotesis mayor
H1 :Ada pengaruh yang signifikan antara harapan dan coping stres terhadap
resiliensi caregiver kanker.
H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan antara harapan dan coping stres terhadap
resiliensi caregiver kanker. Coping Stres
Harapan
Goals
Agency
Accepting
Escape-Avoidance
Planful problem-solving
Positive reapprasial Pathways
Distancing
Self-controlling
Seeking social support
Confrontive coping
Resiliensi