• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Efek Antifertilitas Ekstrak Etanol Daun Pacing (Cheilocostus Speciosus (J. Koenig) C.D. Specht) Pada Mencit Betina

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Uji Efek Antifertilitas Ekstrak Etanol Daun Pacing (Cheilocostus Speciosus (J. Koenig) C.D. Specht) Pada Mencit Betina"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

UJI EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK ETANOL DAUN

PACING (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)

PADA MENCIT BETINA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UJI EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK ETANOL DAUN

PACING (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)

PADA MENCIT BETINA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

UJI EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK ETANOL DAUN PACING

(Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)

PADA MENCIT BETINA

OLEH:

NADIA PUSPITA DEWI NIM 101501007

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada tanggal: 20 Maret 2015

Pembimbing I, Panitian Penguji,

Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.

NIP 195208241983031001 NIP 195103261978022001

Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt.

Pembimbing II, NIP 195208241983031001

Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. Marianne, S.Si., M.Si., Apt.

NIP 195107231982032001 NIP 198005202005012006

Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt NIP 195112231980032002

Medan, Maret 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Wakil Dekan I,

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Uji Efek Antifertilitas Ekstrak Etanol

Daun Pacing (Cheilocostus speciosus (J.Koenig) C.D. Specht) pada Mencit

Betina”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Farmasi Bapak

Prof. Sumadio Hadisahputra, Apt., yang telah menyediakan fasilitas kepada

penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan rasa

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt.,

dan Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu dan tenaganya dengan sabar membimbing dan mengarahkan

penulis selama penelitian sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima

kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., Ibu

Marianne, S.Si., M.Si., Apt., dan Ibu Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. selaku

penguji yang telah banyak memberikan saran, arahan, serta kritikan demi

menyempurnakan skripsi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak

Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. selaku dosen penasehat akademik yang

selalu memberikan sarannya kepada penulis selama masa perkuliahan serta

Bapak/Ibu Pembantu Dekan, Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi

(5)

Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada

orang tua tercinta Papa Masnadi dan Mama Yediyawati, adinda Anggun Andrini

serta nenek atas kasih sayang, doa, dukungan dan kesabaran yang selalu

tercurahkan untuk penulis hingga penulisan skripsi ini selesai.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin mencurahkan segala

kemampuan yang ada pada diri penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini,

namun demikian penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna,

untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun demi

kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis beharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi kita semua terutama untuk ilmu kefarmasian.

Medan, Maret 2015 Penulis,

(6)

UJI EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK ETANOL DAUN PACING (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)

PADA MENCIT BETINA

ABSTRAK

Tanaman pacing (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)

merupakan tanaman hias yang dapat ditemukan di seluruh Indonesia dan pembudidayaannya mudah dilakukan. Di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara masyarakat menggunakan secara empiris daun pacing sebagai pencegah kehamilan dan perawatan paska persalinan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan karakteristik simplisia dan ekstrak etanol daun pacing serta senyawa metabolit sekundernya dan melakukan uji efek antifertilitas dari ekstrak etanol daun pacing pada mencit betina.

Penetapan kadar air menggunakan metode azeotropi, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam menggunakan metode gravimetri. Pemeriksaan metabolit sekunder dilakukan secara kualitatif. Pembuatan ekstrak etanol daun pacing dengan metode maserasi. Pengujian efek antifertilitas menggunakan hewan uji mencit betina dan mencit jantan untuk proses kopulasi. Pemeriksaan siklus estrus mencit betina dengan metode oles. Hewan percobaan dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok uji. Masing-masing kelompok uji diberi tiga dosis, yaitu 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB dan 200 mg/kg BB. Kelompok kontrol diberi suspensi Na CMC 0,5% dengan dosis 1% BB. Data hasil pengujian efek antifertilitas ekstrak etanol daun pacing dianalisis secara statistik menggunakan uji fisher exact probability test.

Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia diperoleh kadar air 4,98%, kadar sari larut air 6,52%, kadar sari larut etanol 17,85%, kadar abu total 25,79% dan kadar abu tidak larut asam 0,83%. Hasil pemeriksaan karakteristik ekstrak etanol daun pacing diperoleh kadar air 8,73%, kadar abu total 20,43%, dan kadar abu tidak larut asam 0,61%. Hasil skrining fitokimia diperoleh bahwa daun pacing mengandung flavonoida, glikosida, saponin, tanin dan steroida/triterpenoida. Hasil pengujian efek antifertilitas ekstrak etanol daun pacing diperoleh bahwa dosis 100 mg/kg BB dan dosis 200 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi dan pada pemberian seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi memiliki efek antifertilitas.

(7)

ANTIFERTILITY EFFECT ASSAY OF ETHANOL EXTRACT OF CRAPE GINGER LEAVES (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)

IN FEMALE MICE

ABSTRACT

Crape ginger plant (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht) is a houseplants which can be found in all regions of Indonesia and cultivation this plant is easily. Some people in Wawonii Island, Southeast Sulawesi used empirically crape ginger leaves as contraception and treatment after confinement. The purpose of this study was to determine the characteristic of simplex and ethanol extract of crape ginger and theirs secondary metabolites contained and assay antifertility effect of extract ethanol of crape ginger leaves.

Determined water content using azeotropic method, water-soluble content, ethanol-soluble content, total ash content and acid-insoluble content using gravimetry method. Determined secondary metabolites qualitatively. Manufacture of extract of crape ginger leaves using maceration method. Test antifertility effect of extract of crape ginger leaves use female mice as animal experiments and male mice for copulation process. Determined estrus cyclic female mices using cotton bud method. Animal experiment devided into a control group and a test group. Each test group given three doses, 50 mg/kg BW, 100 mg/kg BW and 200 mg/kg BW. The control group gives suspension of CMC Na 0.5% with 1% BW dose. The result of antifertility test of ethanol extract of crape ginger analyzed statistically using of fisher exact probability test.

The result obtained from simplex characterization are water content 4.98%, water-soluble extract content 6.52%, ethanol-soluble extract content 17.85%, total ash content 25.79%, and acid-insoluble ash content 0.83%. Result obtained from extract of crape ginger leaves characterization are water content 8.73%, total ash content 20.43%, and acid-insoluble ash content 0.61%. the results of phytochemical screening it contained flavonoide, glycoside, saponin, tannin, and steroide/triterpenoide. Result antifertility test of extract of crape ginger leaves obtained at a dose 100 mg/kg BW and dose 200 mg/kg BW on giving a week before copulation and a week before copulation until a week after copulation have antifertility effect.

(8)
(9)

2.1.5 Nama Asing ... 7

2.4.2 Kontrasepsi non-hormonal ... 13

2.5 Hormon ovarium ... 13

3.7 Pengolahan bahan tumbuhan menjadi simplisia ... 21

3.8 Pembuatan pereaksi ... 21

3.8.1 Pereaksi Mayer ... 21

(10)

3.8.3 Pereaksi Bourchardat ... 22

3.9 Pemeriksaan karakteristik simplisia dan EEDP ... 23

3.9.1 Pemeriksaan secara makroskopik ... 23

3.9.2 Pemeriksaan secara mikroskopik ... 24

3.9.3 Penetapan kadar air ... 24

3.10.2 Pemeriksaan flavonoida ... 27

3.10.3 Pemeriksaan glikosida ... 27

3.10.4 Pemeriksaan saponin ... 28

3.10.5 Pemeriksaan tanin ... 28

(11)

3.11 Persiapan penelitian ... 28

3.11.3 Penentuan siklus estrus ... 29

5 3.11.4 Penentuan dosis yang diberikan ... 28

4.4 Hasil pengujian efek antifertilitas dari EEDP ... 34

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Hasil karakterisasi simplisia dan EEDP ... 32

4.2 Hasil pemeriksaan metabolit sekunder simplisia dan EEDP ... 34

4.3 Efek antifertilitaas EEDP ... 35

4.4 Perbandingan harga p antara kelompok kontrol dengan kelompok ..yang diberi EEDP ... 36

4.5 Perbandingan antara dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB dan 200 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi dan seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi ... 37

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1. Skema kerangka pikir penelitian ... 5

2.1. Siklus haid ... 16

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

5. Gambar simplisia kering daun pacing dan gambar serbuk simplisia daun pacing ... 46

6. Gambar bagan pembuatan, skrining fitokimia dan karakterisasi simplisia ... 48

7. Gambar hasil mikroskopik serbuk simplisia daun pacing... 48

8. Gambar bagan pembuatan, skrining fitokimia, dan karakterisasi EEDP ... 49

9. Perhitungan hasil karakterisasi simplisia daun pacing ... 50

10. Perhitungan hasil pemeriksaan karakteristik EEDP ... 52

11. Gambar bagan kerja pengujian ekstrak etanol daun pacing ... 54

12. Gambar fase proestrus siklus estrus, gambar fase estrus siklus estrus, gambar fase matestrus siklus estrus dan gambar fase diestrus siklus estrus ... 55

13. Gambar oral sonde dan gambar Mencit ... 57

14. Contoh perhitungan dosis ... 58

15. Hasil perhitungan statistik ... 60

(15)

UJI EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK ETANOL DAUN PACING (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)

PADA MENCIT BETINA

ABSTRAK

Tanaman pacing (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)

merupakan tanaman hias yang dapat ditemukan di seluruh Indonesia dan pembudidayaannya mudah dilakukan. Di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara masyarakat menggunakan secara empiris daun pacing sebagai pencegah kehamilan dan perawatan paska persalinan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan karakteristik simplisia dan ekstrak etanol daun pacing serta senyawa metabolit sekundernya dan melakukan uji efek antifertilitas dari ekstrak etanol daun pacing pada mencit betina.

Penetapan kadar air menggunakan metode azeotropi, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam menggunakan metode gravimetri. Pemeriksaan metabolit sekunder dilakukan secara kualitatif. Pembuatan ekstrak etanol daun pacing dengan metode maserasi. Pengujian efek antifertilitas menggunakan hewan uji mencit betina dan mencit jantan untuk proses kopulasi. Pemeriksaan siklus estrus mencit betina dengan metode oles. Hewan percobaan dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok uji. Masing-masing kelompok uji diberi tiga dosis, yaitu 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB dan 200 mg/kg BB. Kelompok kontrol diberi suspensi Na CMC 0,5% dengan dosis 1% BB. Data hasil pengujian efek antifertilitas ekstrak etanol daun pacing dianalisis secara statistik menggunakan uji fisher exact probability test.

Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia diperoleh kadar air 4,98%, kadar sari larut air 6,52%, kadar sari larut etanol 17,85%, kadar abu total 25,79% dan kadar abu tidak larut asam 0,83%. Hasil pemeriksaan karakteristik ekstrak etanol daun pacing diperoleh kadar air 8,73%, kadar abu total 20,43%, dan kadar abu tidak larut asam 0,61%. Hasil skrining fitokimia diperoleh bahwa daun pacing mengandung flavonoida, glikosida, saponin, tanin dan steroida/triterpenoida. Hasil pengujian efek antifertilitas ekstrak etanol daun pacing diperoleh bahwa dosis 100 mg/kg BB dan dosis 200 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi dan pada pemberian seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi memiliki efek antifertilitas.

(16)

ANTIFERTILITY EFFECT ASSAY OF ETHANOL EXTRACT OF CRAPE GINGER LEAVES (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht)

IN FEMALE MICE

ABSTRACT

Crape ginger plant (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht) is a houseplants which can be found in all regions of Indonesia and cultivation this plant is easily. Some people in Wawonii Island, Southeast Sulawesi used empirically crape ginger leaves as contraception and treatment after confinement. The purpose of this study was to determine the characteristic of simplex and ethanol extract of crape ginger and theirs secondary metabolites contained and assay antifertility effect of extract ethanol of crape ginger leaves.

Determined water content using azeotropic method, water-soluble content, ethanol-soluble content, total ash content and acid-insoluble content using gravimetry method. Determined secondary metabolites qualitatively. Manufacture of extract of crape ginger leaves using maceration method. Test antifertility effect of extract of crape ginger leaves use female mice as animal experiments and male mice for copulation process. Determined estrus cyclic female mices using cotton bud method. Animal experiment devided into a control group and a test group. Each test group given three doses, 50 mg/kg BW, 100 mg/kg BW and 200 mg/kg BW. The control group gives suspension of CMC Na 0.5% with 1% BW dose. The result of antifertility test of ethanol extract of crape ginger analyzed statistically using of fisher exact probability test.

The result obtained from simplex characterization are water content 4.98%, water-soluble extract content 6.52%, ethanol-soluble extract content 17.85%, total ash content 25.79%, and acid-insoluble ash content 0.83%. Result obtained from extract of crape ginger leaves characterization are water content 8.73%, total ash content 20.43%, and acid-insoluble ash content 0.61%. the results of phytochemical screening it contained flavonoide, glycoside, saponin, tannin, and steroide/triterpenoide. Result antifertility test of extract of crape ginger leaves obtained at a dose 100 mg/kg BW and dose 200 mg/kg BW on giving a week before copulation and a week before copulation until a week after copulation have antifertility effect.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk

keempat tertinggi setelah Cina (RRC), India, dan Amerika Serikat (Siahaan,

2011). Jumlah penduduk Indonesia tahun 2013 menurut pusat data dan informasi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia berjumlah 248.422.956 jiwa

(Kemenkes RI, 2014). Jumlah penduduk yang tinggi dapat menimbulkan

permasalahan kesehatan, sosial dan ekonomi. Diperlukan kebijakan untuk

mengatur atau membatasi jumlah kelahiran agar jumlah penduduk dapat

dikendalikan dan kesejahteraan penduduk semakin meningkat. Pemerintah

Indonesia melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

(BKKBN) mencanangkan program Keluarga Berencana (KB) untuk mencapai

tujuan Penduduk Tumbuh Seimbang 2015. Pelaksanaan KB dengan cara

menggunakan metode, alat dan obat kontrasepsi.

Antifertilitas atau kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah kehamilan

baik sementara maupun permanen. Berbagai cara untuk mencegah kehamilan,

antara lain mencegah ovulasi, menghalangi konsepsi, menghambat proses

implantasi dan menghambat pembentukan sperma (Wiknjosastro, 2009).

Dewasa ini obat-obat modern telah menjadi bagian dari kehidupan kita

sehari-hari. Namun, akhir- akhir ini pengobatan modern cenderung kembali ke

tanaman obat yang digunakan secara tradisional. Alasannya adalah karena

tanaman obat memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan obat

(18)

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber tanaman obat yang

telah banyak digunakan oleh masyarakat secara turun–temurun. Pemanfaatan

tanaman obat antara lain adalah sebagai kontrasepsi (Nursiyah, 2013).

Pacing (Cheilocostus speciosus (J. Koenig) C.D. Specht) merupakan

tanaman hias yang dapat ditemukan hampir di seluruh Indonesia dan

pembudidayaannya mudah dilakukan. Penelitian yang telah dilakukan daun

pacing digunakan secara empiris oleh masyarakat di Pulau Wawonii, Sulawesi

Tenggara sebagai pencegah kehamilan serta perawatan paska persalinan (untuk

mempercepat keluarnya darah nifas) (Rahayu, dkk., 2006). Tanaman pacing

memiliki aktivitas hipolipidemik, hepatoprotektif, antioksidan dan antifungi (Sari,

dkk., 2013). Daun pacing digunakan juga untuk antidiabetes, antibakteri, anti

inflamasi dan antipiretik (Srivastava, dkk., 2011). Rimpang dan daun pacing

mengandung diosgenin (Sari, dkk., 2013).

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa infusa daun pacing

pada mencit jantan dapat menurunkan jumlah spermatozoa sebesar 36% - 39%,

dimana perhitungan jumlah sperma dilakukan di dalam kamar hitung Improved

Neubauer (Sari, dkk., 2013). Ekstrak air rimpang pacing efektif dalam mencegah

kehamilan pada pemberian seminggu sebelum kopulasi dan pada pemberian

seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi (Wahyuni, 1997).

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik melakukan penelitian tentang

efek antifertilitas ekstrak etanol daun pacing (Cheilocostus speciosus (J. Koenig)

(19)

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

a. Apakah karakteristik simplisia dan ekstrak etanol daun pacing (EEDP)

memenuhi persyaratan?

b. Apakah golongan metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia dan

EEDP?

c. Apakah EEDP memiliki efek antifertilitas pada mencit betina?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi hipotesis

masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Karakteristik simplisia dan EEDP memenuhi persyaratan.

b. Golongan metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia dan EEDP

adalah alkaloida, flavonoida, glikosida, saponin, tanin dan

steroida/triterpenoida.

c. EEDP memiliki efek antifertilitas pada mencit betina.

1.4 Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui karakteristik simplisia dan EEDP.

b. Untuk mengetahui golongan metabolit sekunder yang terkandung dalam

simplisia dan EEDP.

(20)

1.5 Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi tentang karakteristik,

golongan metabolit sekunder dari simplisia dan EEDP serta efek antifertilitas dari

(21)

1.6 Kerangka pikir penelitian

Adapun kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

- Makroskopik

- Mikroskopik

- Kadar air

- Kadar sari larut air - Kadar sari larut etanol

- Kadar abu total

- Kadar abu tidak larut

asam

SK : seminggu sebelum kopulasi.

SK-SSK : seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah

d kopulasi.

Gambar 1.1 Skema kerangka pikir penelitian

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian tumbuhan

Uraian tumbuhan pacing (Cheilocostus speciosus (J.Koenig) C.D. Specht)

terdiri dari habitat, morfologi tumbuhan, sistematika tumbuhan, nama daerah,

nama asing dan kandungan kimia.

2.1.1 Habitat

Tanaman pacing tumbuh liar di tempat yang lembab dengan sedikit

naungan atau tumbuh liar di bawah tumbuh-tumbuhan yang tinggi seperti di hutan

primer, hutan sekunder dan hutan jati pada daratan rendah sampai ketinggian 2050

meter di atas permukaan laut. Banyak ditemukan di pulau jawa (Kinho, dkk.,

2011).

2.1.2 Morfologi tumbuhan

Tanaman pacing merupakan jenis herba tegak, bercabang 2-3 atau lebih,

tinggi 0,5-4 m. Perbungaan terminalis, besar dan berwarna putih, bulir terdiri dari

beberapa bunga, duduk atau bertangkai sangat pendek. Daun pelindung

membundar telur dan memanjang berwarna merah, daun mahkota putih, bentuk

bibir membulat telur sungsang melebar, putih dan di bagian tengah berbulu

kuning. Buah membulat, berbulu menyerupai sutera sangat halus. Berwarna

merah. Daunnya berkedudukan melingkar, tunggal dengan bentuk melonjong,

ukuran daun 15-35 cm x 6-10 cm. Panjang pelepah pendek, berwarna ungu

(23)

panjang 10-30 cm dan diameter 3-5 cm dalam keadaan kering, patahan akar

berserat, tidak ada rasa dan bau yang khas (Srivastava, 2011).

Sebelumnya tanaman pacing dimasukkan ke dalam suku Zingiberaceae,

dimana suku ini merupakan terna perenial dengan rimpang yang biasanya

mengandung minyak menguap sehingga berbau aromatik. Daun tunggal tersusun

dua baris, mempunyai tiga bagian yaitu helaian daun, tangkai daun dan upih daun,

selain itu juga lidah-lidah. Bunga terpisah-pisah tersusun dalam bunga majemuk

tunggal atau berganda, kebanyakan banci, zigomorf atau asimetrik. Buahnya buah

kendaga yang berkatup tiga, atau berdaging tidak membuka. Biji bulat atau

berusuk, mempunyai salut biji, endosperm banyak (Tjitrosoepomo, 2010).

2.1.3 Sistematika tumbuhan

Sistematika dari tanaman pacing menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI) adalah:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Costaceae

Genus : Cheilocostus C.D. Specht

Spesies :,Cheilocostus speciosus (J.Koenig) C.D. Specht)

2.1.4 Nama daerah

Nama daerah tanaman pacing antara lain pacing tawar, tepung tawar

(Sunda); pacing tawa (Jawa); binto (Madura); tawa-tawa (Sumatera Barat);

tobar-tobar (Batak); tabar-tabar (Bangka); tubu-tubu (Ambon); (Hariana, 2013).

(24)

Nama asing dari tanaman pacing antara lain Zhang liu tou (Cina) (Hariana,

2013), crape ginger (Inggris); Keukand (India) (Srivastava, dkk., 2011).

2.1.6 Kandungan kimia

Kandungan kimia tanaman pacing diantaranya diosgenin, tigogenin,

dioscin, gacilin (Hariana, 2013). Daun pacing juga mengandung senyawa steroida,

tanin dan fenolik (Devi dan Urooj, 2009).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Metode

ekstraksi menurut Depkes (2000) yang sering digunakan yaitu maserasi, perkolasi,

refluks, sokletasi, digesti, infundasi dan dekoktasi.

1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut

dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar

dengan prinsip pencapaian konsentrasi pada keseimbangan (Depkes, 2000).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan (Depkes, 2000).

3. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur didihnya, selama

waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya

pendingin balik (Depkes, 2000).

(25)

Sokletasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru menggunakan

alat soklet dimana ekstraksi terjadi secara kontinu dengan adanya pendingin balik

(Depkes, 2000).

5. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan secara terus menerus pada

temperatur 40-50˚C (Depkes, 2000).

6. Infundasi

Infundasi adalah metode ekstraksi yang dilakukan dengan menyari

simplisia nabati dengan air pada suhu 90˚C selama 15 menit. Hasil infundasi

desebut dengan infus (Depkes, 1995).

7. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut air selama 30

menit atau lebih pada temperatur sampai titik didih air. Dekoktasi biasanya

digunakan untuk bahan tumbuhan yang lebih keras (Depkes RI, 2000).

Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak. Ekstrak adalah sediaan kering,

kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara

yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Depkes RI, 2008).

a. Ekstrak kering

Ekstrak kering merupakan sediaaan berbentuk serbuk yang dibuat dari

ekstrak tumbuhan yang diperoleh dari penguapan bahan pelarut dan pengeringan

(Voigt, 1995).

b. Ekstrak kental

Ekstrak kental memiliki konsistensi yang liat dalam keadaan dingin dan

(26)

c. Ekstrak cair

Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol

sebagai pelarut atau sebagai pengawet (Depkes RI, 2000).

2.3 Keluarga Berencana (KB)

Meskipun telah dilakukan pengembangan secara terus-menerus namun

sampai saat ini kita masih menghadapi masalah kependudukan (Meilani, dkk.,

2010). Pertambahan jumlah penduduk pada negara-negara berkembang,

menimbulkan masalah kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhan pangan

dan pendidikan, pada negara-negara industri, masalah pertambahan penduduk

berbeda dengan negara berkembang karena perbedaan gaya hidup dan perbedaan

tingkat kesejahteraan (Zain, 2013).

Upaya mengatasi masalah kependudukan tersebut dilakukan oleh banyak

pihak dari berbagai instansi atau departemen secara bersama-sama. Upaya yang

dilakukan antara lain dengan menurunkan tingka pertumbuhan penduduk dengan

menurunkan tingkat fertilitas, menurunkan TFR antara lain dengan gerakan KB

nasional (Meilani, dkk., 2010).

Menurut WHO (World Health Organization) keluarga berencana adalah

tindakan yang membantu pasangan suami istri untuk menghindari kehamilan yang

tidak diinginkan, mendapat kelahiran yang memang sangat diinginkan, mengatur

interval diantara kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan

dengan umur suami istri serta menentukan jumlah anak dalam keluarga (Suratun,

(27)

Program KB sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam bidang

kependudukan, memiliki arti yang tinggi terhadap pembangunan kesehatan yang

bersifat kuantitatif dan kualitatif. Tujuan yang ingin dicapai, bukan hanya

bertumpu pada aspek demografis (kuantitatif), tetapi lebih ditekankan pada

peningkatan kualitas hidup individu (kualitatif) (Suratun, dkk., 2008).

2.4 Kontrasepsi

Kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti melawan

atau mencegah, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang

matang dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan (Suratun, dkk., 2008).

Kerja kontrasepsi pada dasarnya adalah meniadakan pertemuan antara sel telur

(ovum) dengan sel mani (sperma). Tiga cara untuk mencapai tujuan ini, baik yang

bekerja sendiri maupun bersamaan adalah pertama menekan keluarnya sel telur

(ovulasi) misalnya dengan penggunaan pil kontrasepsi kombinasi. Pil kontrasepsi

kombinasi bekerja di hipotalamus dengan menghambat gonadotropin releasing

hormon sehingga menekan sekresi liteinizing hormon (LH) dan sedikit folicle

stimulating hormon (FSH). Dengan tidak adanya puncak LH, maka ovulasi tidak

terjadi (Siswosudarmo, dkk., 2001).

Kedua menahan masuknya sperma ke dalam saluran pada kelamin wanita,

contohnya penggunaan pil kontrasepsi yang hanya mengandung progesteron yang

dikenal dengan Minipill. Minipill mengandung progesteron dengan dosis yang

lebih rendah dibanding dengan progesteron yang terkandung di dalam pil

kombinasi dimana mekanisme dari pil ini adalah dengan mengentalkan lendir

(28)

Metode ketiga adalah dengan menghalangi implantasi (Siswosudarmo,

dkk., 2001). Implantasi dapat dihambat oleh apa yang disebut sebagai morning

after pill, yaitu jenis kontrasepsi oral yang mengandung estrogen dengan dosis

tinggi yang diminum selama beberapa hari setelah kemungkinan terjadinya

konsepsi. Obat ini mencegah implantasi dengan menimbulkan degenerasi

prematur korpus luteum, sehingga hormon yang menunjang pertumbuhan

endometrium menghilang (Sherwood, 2001).

Cara kontrasepsi yang ideal sampai sekarang belum ada. Kontrasepsi yang

ideal adalah kontrasepsi yang memenuhi persyaratan yaitu dapat dipercaya, tidak

menimbulkan efek yang menggangu kesehatan, daya kerjanya dapat diatur

menurut kebutuhan, tidak menimbulkan gangguan pada saat koitus, tidak

memerlukan motivasi terus menerus, mudah pelaksanaannya, murah harganya

sehingga dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan dapat diterima

penggunaanya oleh pasangan yang bersangkutan (Wiknjosastro, dkk., 2009).

2.4.1 Kontrasepsi hormonal

Hipofisis mengeluarkan hormon gonadotropin Folicle Stimulating

Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) di bawah pengaruh hipotalamus.

Hormon-hormon ini dapat merangsang ovarium untuk membuat estrogen dan

progesteron. Dua hormon ini menumbuhkan endometrium pada waktu siklus haid,

pada keseimbangan tertentu menyebabkan ovulasi, dan penurunan kadarnya

mengakibatkan desintegrasi endometrium dan haid. Penyelidikan lebih lanjut

menunjukkan baik estrogen maupun progesteron dapat mencegah ovulasi.

(29)

progesteron sebagai cara kontrasepsi dengan jalan mencegah terjadinya ovulasi

(Anwar, dkk., 2011).

Beberapa jenis kontrasepsi hormonal berdasarkan cara penggunaannya,

yaitu:

1. Oral

a. Kombinasi (Combine Oral Contraception/COC).

b. Progestin (Progestin only pill/POP).

2. Suntik/Injeksi

a. Suntikan kombinasi.

b. Suntikan progestin.

3. Alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK)/Implant (Meilani, 2010).

2.4.2 Kontrasepsi non-hormonal

Jenis-jenis kontrasepsi non-hormonal antara lain adalah sebagai berikut:

1. Kontrasepsi tanpa menggunakan alat/obat

a. Senggama terputus (Koitus Interuptus)

b. Pembilasan pascasenggama (Postcoital Douche)

c. Pantang berkala (Rhythm Method)

2. Kontrasepsi sederhana untuk laki-laki (kondom)

3. Kontrasepsi sederhana untuk perempuan

a. Diafragma vaginal

b. Kontrasepsi dengan obat-obat spermatisida (Anwar, 2011).

4. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR/IUD) (Meilani, 2010).

(30)

2.5.1 Estrogen

Estrogen yang terdapat secara alamiah adalah 17β-estradiol, estron dan

estriol. Hormon-hormon ini terutama disekresikan oleh sel granulosa folikel

ovarium, korpus luteum dan plasenta. (Ganong, 2008).

FSH maupun LH diperlukan untuk sintesis dan sekresi estrogen oleh folikel, tetapi

hormon-hormon ini bekerja pada sel-sel yang berbeda dan pada tahapan jalur

pembentukan estrogen yang berbeda pula. Sel granulosa maupun sel teka

berpartisipasi dalam pembentukan estrogen. Perubahan kolesterol menjadi

estrogen memerlukan sejumlah langkah berurutan, dengan langkah akhir adalah

perubahan androgen menjadi estrogen. Sel-sel teka banyak menghasilkan

androgen tetapi kapasitas mereka merubah androgen menjadi estrogen terbatas.

Sel-sel granulosa, di pihak lain, mudah mengubah androgen menjadi estrogen

tetapi tidak mampu membentuk androgen sendiri. LH bekerja pada sel-sel teka

untuk merangsang pembentukan androgen, sementara FSH bekerja pada sel-sel

granulosa untuk meningkatkan perubahan androgen menjadi estrogen. Karena

kadar basal FSH yang rendah sudah cukup mendorong perubahan menjadi

estrogen, maka kecepatan sekresi estrogen oleh folikel terutama bergantung pada

kadar LH dalam darah, yang terus meningkat selama fase folikel (Sherwood,

2001).

Estrogen sintetis yang ditemukan dalam kontrasepsi hormonal di Amerika

Serikat yaitu etinil estradiol dan mestranol. Sebagian besar kontrasepsi oral

kombinasi berisi estrogen pada dosis 20 sampai 50 mcg etinil estradiol, dan pada

transdermal dirilis 20 mcg etinil estradiol perhari (Dipiro, dkk., 2008).

(31)

Progesteron disekresi oleh ovarium terutama dari korpus luteum selama

fase pertengahan kedua siklus menstruasi, kecuali di ovarium, hormon ini juga

disintesis di testis, korteks adrenal dan plasenta (Gunawan, 2009). Hormon ini

merupakan zat antara yang penting dalam biosintesis steroid di semua jaringan

yang menyekresi hormon steroid. Progesteron memiliki waktu paruh yang singkat

dan diubah menjadi pregnanediol di hati, yang kemudian dikonjugasi dengan

asam glukoronat dan diekskresikan di dalam urin (Ganong, 2008).

Kadar progesteron pada pria adalah 0,3 mcg/mL sedangkan pada wanita

kadarnya sekitar 0,9 mcg/mL selama fase folikular siklus haid. Sekresi

progesteron mulai meningkat sampai mencapai kadar puncak sekitaar 18 mcg/mL

pada fase luteal yang disekresikan oleh korpus luteum (Ganong, 2008).

Jenis progesteron sintetik yang digunakan sebagai kontrasepsi, yaitu yang

berasal dari 19 nortesteron dan yang berasal dari 17 alfa-asektosi-progesteron.

Progesteron yang berasal dari 17 alfa-asektosi-progesteron akhir-rkhir ini di

Amerika Serikat tidak dipergunakan lagi untuk kontrasepsi oleh karena pada

binatang percobaan pil yang mengandung zat ini, bila dipergunakan pada waktu

yang lama dapat menimbulkan tumor mamma. Derivat 19 nortesteron yang

banyak digunakan untuk pil kontrasepsi adalah noretinodrel, norethindron asetat,

etinodiol asetat, etinodiol diasetat, dan norgestrel (Wiknjosastro, dkk., 2009).

2.6 Siklus haid

Secara klinis haid dinilai berdasarkan tiga hal yaitu siklus haid, lama haid

dan jumlah darah yang keluar selama satu kali haid (Anwar, 2011). Rata-rata

(32)

sampai 40 hari. Umumnya, perbedaan ini paling besar terjadi pada fase folikuler

terutama tahun-tahun setelah menarke dan sebelum menopouse (Dipiro, dkk.,

2008).

Siklus haid dipengaruhi oleh hubungan antara hipothalamus, pituitari

anterior, dan ovarium (Dipiro, dkk., 2008). Terdapat dua siklus yang

mempengaruhi siklus haid, yaitu siklus ovarium yang terdiri dari fase folikel,

ovulasi dan fase luteal. Selain itu siklus uterus juga mempengaruhi siklus haid

yang terdiri dari fase proliferasi dan fase sekretori (Sherwood, 2001).

Gambar 2.1 Siklus haid

Selama fase folikel, folikel ovarium mengeluarkan estrogen di bawah

pengaruh FSH, LH, dan estrogen itu sendiri. Kadar estrogen yang awalnya rendah

dan terus meningkat menyebabkan penghambatan terhadap sekresi FSH yang

terus menurun sampai akhir fase folikel, dan menekan sekresi LH yang terus

meningkat pada masa folikel. Keadaan saat sekresi tertinggi estrogen, kadar

estrogen tersebut memicu lonjakan sekresi LH pada pertengahan siklus. Lonjakan

LH ini menyebabkan ovulasi folikel yang matang. Sekresi estrogen terus menurun

(33)

Sel-sel folikel yang telah mengalami ovulasi diubah menjadi korpus

luteum, yang mengeluarkan progesteron serta estrogen pada masa luteal, dimana

progesteron lebih dominan dibandingkan dengan estrogen. Progesteron sangat

menghambat FSH dan LH, yang terus menurun selama fase luteal. Korpus luteum

berdegenerasi dalam waktu sekitar dua minggu apabila ovum yang dikeluarkan

tidak dibuahi dan tidak tertanam di uterus. Kadar progesteron dan estrogen

menurun secara tajam pada saat korpus luteum berdegenerasi, sehingga pengaruh

inhibitorik pada sekresi FSH dan LH lenyap. Kadar kedua hormon ini kembali

meningkat dan merangsang berkembangnya folikel baru seiring dimulainya fase

folikel (Sherwood, 2001). Fase-fase di uterus yang terjadi pada saat yang

bersamaan mencerminkan pengaruh hormon-hormon ovarium pada uterus. Awal

fase folikel, lapisan endometrium yang kaya akan nutrien dan pembuluh darah

terlepas. Pelepasan itu terjadi akibat turunnya estrogen dan progesteron ketika

korpus luteum tua berdegenerasi pada akhir fase luteal sebelumnya. Akhir fase

folikel, kadar estrogen yang meningkat menyebabkan endometrium menebal.

Setelah ovulasi, progesteron dari korpus luteum menimbulkan perubahan vaskuler

dan sekretorik di endometrium yang telah dirangsang oleh estrogen untuk

menghasilkan lingkungan yang ideal untuk implantasi. Sewaktu korpus luteum

berdegenerasi, dimulailah fase folikel dan fase haid uterus yang baru (Sherwood,

2001).

2.7 Siklus estrus

Mamalia selain primata tidak mengalami haid, dan siklus seksual mereka

(34)

periode birahi (estrus) yang mencolok pada saat ovulasi, yang biasanya

merupakan satu-satunya waktu saat terjadinya peningkatan hasrat seksual pada

hewan betina (Ganong, 2008). Siklus estrus dapat diartikan sebagai jarak antara

satu estrus sampai pada estrus berikutnya (Partodihardjo, 1980).

Tikus dan mencit termasuk hewan poliestrus. Artinya, dalam periode satu

tahun terjadi siklus reproduksi yang berulang-ulang. Siklus estrus mencit

berlangsung 4-5 hari, sedangkan hewan tikus satu kali siklus selesai dalam 6 hari.

Daur estrus kedua jenis hewan ini dibedakan menjadi lima fase yaitu proestrus,

estrus, matestrus I, matestrus II dan diestrus (Akbar, 2010).

Setiap fase dari siklus estrus dapat dikenali melalui pemeriksaan apusan

vagina. Siklus secara kasar dapat dibagi menjadi empat stadium sebagai berikut:

a. Fase proestrus

Fase ini berlangsung selama 12 jam. Preparat apus vagina pada fase

proestrus ditandai akan tampak jumlah sel epitel berinti dan leukosit berkurang,

digantikan dengan sel epitel bertanduk, dan terdapat lendir yang banyak.

b. Fase estrus

Fase ini berlangsung selama 12 jam. Ovulasi hanya terjadi pada fase ini.

Pada preparat apus vagina ditandai dengan menghilangnya leukosit dan sel epitel

berinti, yang ada hanya epitel bertanduk dengan bentuk tidak beraturan dan

berukuran besar. Kelenjar-kelenjar endometrium pada fase estrus menghasilkan

cairan estrus yang diperlukan spermatozoa mendewasakan diri.

(35)

Fase ini berlangsung selama 21 jam. Pada preparat apus vagina ciri yang

tampak yaitu sel epitel berinti dan leukosit terlihat lagi dan jumlah epitel

menanduk makin lama makin sedikit.

d. Fase diestrus

Fase ini berlangsung selama 48 jam. Pada preparat apus vagina dijumpai

banyak sel darah putih dan epitel berinti yang letaknya tersebar dan homogen

(Akbar, 2010).

Untuk memperoleh gambaran yang lebih singkat mengenai suatu siklus

estrus, seringkali fase-fase yang diterangkan di atas disingkat menjadi dua fase.

Fase proestrus dan estrus menjadi fase folikel, karena pada fase inilah folikel

tumbuh secara cepat, sedangkan fase matestrus dan diestrus disebut fase luteum,

karena pada fase ini korpus luteum tumbuh dan berfungsi. Fase folikel pada

umumnya berlangsung lebih singkat dari pada fase luteum berbeda dengan yang

terjadi pada wanita dimana fase folikel lebih panjang dari pada fase luteum

(Partodihardjo, 1980).

2.8 Diosgenin

Diosgenin merupakan senyawa saponin steroid yang sangat berguna dalam

industri farmasi yang digunakan sebagai sumber alami hormon steroid. Steroid

berfungsi sebagai bahan awal yang penting untuk produksi kortikosteroid, hormon

seksual, kontrasepsi oral serta obat steroid lainnya melalui hemisintesis steroid

(Shah dan Lele, 2012).

(36)

Gambar 2.2 Struktur kimia diosgenin

Diosgenin merupakan konstituen utama yang diisolasi dari pacing.

Kandungan diosgenin pada bunga pacing adalah 1,21%, pada daun 0,37%

sedangkan pada rimpang 0,2% (Srivastava, dkk., 2011). Sumber diosgenin lain

diantaranya spesies dari generasi Balanites (Zygophyllaceae), Dioscorea

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental.

Penelitian meliputi pengumpulan dan pengolahan bahan tumbuhan, identifikasi

bahan tumbuhan, karakterisasi simplisia dan EEDP, pemeriksaan golongan

metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia dan EEDP, pembuatan

EEDP dan pengujian efek antifertilitas EEDP pada mencit betina.

3.1 Tempat dan waktu penelitian

Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakognosi dan

Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara pada bulan April 2014–September 2014.

3.2 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas

laboratorium, neraca analitis (Vibra AJ), neraca kasar (Presica), mikroskop photo,

rotary evapator (Stuart), cotton bud, oral sonde, heating magnetic stirrer.

3.3 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun pacing, air

suling, pewarna giemsa, minyak imersi, etanol 70%, etanol 95%, NaCl 0,9%, Na

CMC, amil alkohol, asam asetat anhidrida, asam klorida pekat, asam nitrat pekat,

asam sulfat pekat, benzen, besi (III) klorida, bismuth (III) nitrat, isopropanol,

(38)

magnesium (Mg), timbal (II) asetat, kristal kloral hidrat, toluen, kalium iodida, α-

naftol.

3.4 Hewan uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mencit (Mus

musculus). Mencit betina sebagai hewan uji dan mencit jantan untuk proses

kopulasi.

3.5 Pengumpulan bahan tumbuhan

Bahan tumbuhan yang digunakan adalah daun pacing yang diambil di

daerah Jalan Tuanku Tambusai, Bagan Besar, Dumai secara purposive yaitu tidak

membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain.

3.6 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Herbarium Bogoriense,

Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Bogor. Hasil identifikasi dapat dilihat

pada Lampiran 2, Halaman 43.

3.7 Pengolahan bahan tumbuhan menjadi simplisia

Daun pacing disortir, dicuci, ditiriskan dan ditimbang berat basah.

Selanjutnya daun pacing tersebut dikeringkan di dalam lemari pengering pada

suhu ± 40˚C sampai kering kemudian ditimbang sebagai berat kering. Diperiksa

karakteristik makroskopik simplisia. Simplisia kemudian diblender untuk

mendapatkan ukuran yang lebih kecil, serbuk kemudian disimpan di dalam plastik

klip pada suhu kamar untuk mencegah pengaruh luar (Depkes, 1985).

(39)

Pembuatan pereaksi berdasarkan Materia Medika Indonesia jilid VI

(Depkes RI, 1995).

3.8.1 Pereaksi Mayer

Sebanyak 1,4 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 60 ml,

pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 10

ml air suling, kedua larutan dicampurkan dan ditambahkan air suling hingga

diperoleh larutan 100 ml.

3.8.2 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 0,8 g bismut (III) nitrat ditimbang, dilarutkan dalam 20 ml asam

nitrat pekat, pada wadah lain ditimbang sebanyak 27,2 g kalium iodida, dilarutkan

dalam 50 ml air suling, kemudian kedua larutan dicampurkan dan didiamkan

sampai memisah sempurna. Larutan yang jernih diambil dan diencerkan dengan

air suling hingga volume larutan 100 ml.

3.8.3 Pereaksi Bourchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, dilarutkan dalam air suling

secukupnya, lalu ditambahkan 2 g iodium kemudian ditambahkan air suling

hingga diperoleh larutan 100 ml.

3.8.4 Pereaksi Molisch

Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N

hingga diperoleh larutan 100 ml.

3.8.5 Pereaksi asam klorida 2 N

Sebanyak 17 ml larutan asam klorida pekat ditambahkan air suling hingga

diperoleh larutan 100 ml.

(40)

Sebanyak 5,4 ml larutan asam sulfat pekat ditambahkan air suling sampai

100 ml.

3.8.7 Pereaksi natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dengan air suling

sebanyak 100 ml.

3.8.8 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam

air suling bebas karbon dioksida sebanyak 100 ml.

3.8.9 Pereaksi besi (III) klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air

secukupnya hingga diperoleh larutan 100 ml.

3.8.10 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 5 bagian volume asam sulfat pekat dicampurkan dengan 50

bagian volume etanol 95%, kemudian ditambahkan dengan hati-hati 5 bagian

volume asam asetat anhidrida ke dalam campuran tersebut dan.

3.8.11 Pereaksi kloralhidrat

Sebanyak 50 g kristal kloralhidrat ditimbang lalu dilarutkan dalam 20 ml

air suling.

3.9 Pemeriksaan karakteristik simplisia dan EEDP

Pemeriksaan karakterisatik simplisia dan EEDP terdiri dari pemeriksaan

secara makroskopik, pemeriksaan secara mikroskopik, penetapan kadar air,

penetapan kadar sari larut air, penetapan kadar sari larut etanol, penetapan kadar

abu total dan penetapan kadar abu tidak larut dasam.

(41)

Karakterisasi secara makroskopik daun pacing dilakukan dengan cara

mengamati warna, bentuk, ukuran dan tekstur daun segar dan simplisia dari daun

pacing. Hasil makroskopik dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 46.

3.9.2 Pemeriksaan secara mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan menggunakan serbuk

simplisia daun pacing yang ditaburkan di atas kaca objek yang telah ditetesi

kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian diamati dibawah

mikroskop. Hasil mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 7, halaman 48.

3.9.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen).

Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, pendingin, tabung penyambung, tabung

penerima 5 ml berskala 0,05 ml, alat penampung dan pemanas listrik.

a. Penjenuhan toluen

Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu

alas bulat, dipasang alat penampung dan pendingin, kemudian didestilasi selama 2

jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit, kemudian volume

air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.

b. Penetapan kadar air simplisia

Sebanyak 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama dimasukkan

ke dalam labu yang berisi toluen yang telah dijenuhkan, kemudian labu

dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan

(42)

kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik. Setelah semua air

terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan

selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu

kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan

ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan

air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen

(WHO, 1998).

3.9.4 Penetapan kadar sari larut air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml

air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu

bersumbat, dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18

jam, kemudian disaring. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam

cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa

dipanaskan pada suhu 105ºC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang

larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.9.5 Penetapan kadar sari larut etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml

etanol 96% di dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam

pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk

menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering

dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa

dipanaskan pada suhu 105ºC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang

larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes

(43)

3.9.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama

dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian

diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada

suhu 600 ºC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh

bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes

RI, 1995).

3.9.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25

ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam

dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas,

lalu dipijar sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu

yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan

(Depkes RI, 1995).

3.10 Pemeriksaan metabolit sekunder

3.10.1 Pemeriksaan alkaloida

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dan ekstrak ditimbang kemudian

ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas

penangas air selama 2 menit, didinginkan lalu disaring. Diambil tiga tabung, lalu

ke dalam masing-masing tabung dimasukkan 0,5 ml filtrat.

Pada tabung I : ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer, akan terbentuk endapan

(44)

Pada tabung II : ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff, akan terbentuk

endapan berwarna coklat atau jingga kecoklatan.

Pada tabung III : ditambahkan 2 tetes pereaksi Bourchardat, akan terbentuk

endapan berwarna coklat sampai kehitaman.

Alkaloida dinyatakan positif jika terjadi endapan paling sedikit dua atau

tiga dari percobaan di atas (Depkes, 1995).

3.10.2 Pemeriksaan flavonoida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, ditambahkan 10 ml air panas,

dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml

filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml

amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika terjadi

warna merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth,

1966).

3.10.3 Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g, lalu disari dengan 30 ml

campuran dari 7 bagian etanol 96% dengan 3 bagian air suling (7:3) dan 10 ml

asam klorida 2 N. Kemudian direfluks selama 10 menit, didinginkan, lalu

disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II)

asetat 0,4 M dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml

campuran isopropanol dan kloroform (2:3), perlakuan ini diulangi sebanyak 3

kali. Sari organik dikumpulkan dan ditambahkan Na2SO4 anhidrat, disaring,

kemudian diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50ºC, sisanya dilarutkan

dalam 2 ml metanol. Sari air digunakan untuk percobaan berikut, 0,1 larutan

(45)

air. Sisanya ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes larutan pereaksi Molish, lalu

ditambahkan dengan perlahan-lahan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding

tabung, terbentuk cincin ungu pada batas kedua cairan, menunjukkan adanya

ikatan gula (glikon) atau glikosida (Depkes RI, 1995).

3.10.4 Pemeriksaan saponin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam

tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok

kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1 sampai 10 cm yang

stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes

asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).

3.10.5 Pemeriksaan tanin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g, disari dengan 10 ml air suling

lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan

diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%.

Jika terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin

(Farnsworth, 1966).

3.10.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g kemudian dimaserasi dengan 20

ml n-heksan selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap.

Sisanya ditambahkan beberapa tetes pereaksi Liebermann-Burchard. Timbulnya

warna biru atau biru hijau menunjukkan adanya steroida, sedangkan warna merah,

(46)

3.11 Persiapan penelitian

3.11.1 Pembuatan EEDP

Serbuk daun pacing diekstraksi dengan cara dimaserasi dengan etanol

70%. Caranya adalah sebanyak 350 g serbuk daun pacing dimasukkan ke dalam

wadah tertutup tidak tembus cahaya, kemudian ditambahkan 10 bagian pelarut.

Rendam selama 6 jam pertama sambil sesekali diaduk, kemudian didiamkan

selama 18 jam. Maserat kemudian dipisahkan sehingga diperoleh bagian filtrat

dan bagian ampas, diulangi penyarian pada ampas dengan jenis dan jumlah

pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan dipekatkan dengan bantuan

alat rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental daun pacing (EEDP)

(Ditjen POM, 2011).

3.11.2 Pembuatan suspensi Na CMC 0,5%

Sebanyak 0,5 g CMC ditaburkan dalam lumpang yang berisi 20 ml air

suling panas. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang

transparan. Setelah mengembang, digerus hingga terbentuk gel lalu diencerkan

dengan sedikit air. Kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml.

Volumenya dicukupkan dengan air suling hingga garis tanda (Anief, 1997).

3.11.3 Penentuan siklus estrus

Penentuan siklus estrus pada mencit betina dilakukan dengan metode

cotton bud atau metode oles. Sel-sel vagina diambil dengan cotton bud yang

sebelumnya sudah dibasahi dengan larutan NaCl 0,9%, kemudian dimasukkan ke

dalam vagina mencit dan diputar secara perlahan, dioleskan pada kaca objek,

kemudian diwarnai dengan pewarna giemsa 10%, dibiarkan sampai kering, dicuci

(47)

diamati di bawah mikroskop. Siklus estrus ditentukan dengan melihat sel-sel

tertentu yang diperoleh dari hasil apusan (Febrina, dkk., 2013). Hasil dapat dilihat

pada Lampiran 12, halaman 55.

3.11.4 Penentuan dosis yang diberikan

Dosis ditentukan setelah dilakukan orientasi. Dosis EEDP ynag diberikan

adalah 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB selama lebih kurang 1

minggu sambil diamati keadaan fisik dan tingkah laku mencit.

3.12 Tahap pengujian

3.12.1 Penentuan kelompok uji

Hewan penelitian dikelompokkan berdasarkan hasil penentuan siklus

estrus. Hewan yang memiliki fase estrus yang sama atau berdekatan

dikelompokkan ke dalam satu kelompok.

Mencit dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok uji. Kelompok uji

dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang diberi EEDP seminggu sebelum

kopulasi (SK) dan kelompok yang diberi EEDP pada seminggu sebelum kopulasi

sampai seminggu setelah kopulasi (SK—SSK). Masing-masing kelompok diberi 3

dosis, yaitu 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB dan 200 mg/kg BB.

3.12.2 Persiapan mencit

Kontrol : diberi suspensi Na CMC 0,5% dengan dosis 1% BB.

SK 50 : diberi EEDP dengan dosis 50 mg/kg BB seminggu sebelum

kopulasi.

SK 100 : diberi EEDP dengn dosis 100 mg/kg BB seminggu sebelum

k kopulasi.

(48)

kopulasi.

SK—SSK 50 : diberi EEDP dengan dosis 50 mg/kg BB seminggu sebelum

kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi.

SK—SSK 100 : diberi EEDP dengan dosis 100 mg/kg BB seminggu sebelum

kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi.

SK—SSK 200 : diberi EEDP dengan dosis 200 mg/g BB seminggu sebelum

kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi.

3.12.3 Perlakuan terhadap mencit

Mencit dalam kandang khusus diberi makan pelet dan minum ad libitum.

Kandang, tempat minum dan lingkungan sekitarnya dijaga kebersihannya setiap

hari.

Kelompok kontrol diberi Na CMC 0,5% dengan dosis 1% BB sebagai

kelompok pembanding. Kelompok uji diberi ekstrak sesuai dengan pembagian

dosis. Mencit betina dipisahkan dari mencit jantan, pada hari ke-7 pemberian

mencit jantan disatukan dengan mencit betina. Setiap pagi diamati apakah terjadi

kopulasi. Kopulasi ditandai dengan adanya sumbatan vagina (Vaginal plug) yang

dapat diamati secara langsung. Hari terjadinya kopulasi dihitung sebagai hari

pertama kehamilan. Diamati keadaan mencit sampai ± 1 bulan untuk melihat

apakah EEDP memiliki efek antifertilitas pada mencit betina.

3.13 Analisis data

Data hasil pengujian efek antifertilitas dari EEDP terhadap mencit betina

dianalisis secara statistik menggunakan Uji Fisher Exact Probability Test

(Sugiyono, 2006). Hasil perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 15,

(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil dentifikasi tumbuhan

Hasil identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, dimana

dari hasil pemeriksaan didapatkan bahwa tanaman yang digunakan adalah Pacing

(Cheilocostus speciosus (J.Koenig) C.D. Specht.), dari suku Costaceae.

4.2 Hasil karakterisasi simplisia dan EEDP

Hasil pemeriksaan makroskopik daun pacing segar didapat bahwa daun

pacing memiliki bentuk yang bulat lonjong dengan bagian ujung yang meruncing,

berwarna hijau tua, bagian atas licin sedangkan bagian bawah berbulu halus,

pangkal daun pendek dan upih daun memeluk batang. Simplisia daun pacing

menggulung dan berwarna kuning kecokelatan.

Hasil pemeriksaan mikroskopik simplisia daun pacing diperoleh adanya

stomata tipe parasitik, trikoma tipe uniseluler dan multiseluler, hablur kristal

kalsium oksalat berbentuk prisma dan berkas pembuluh dengan penebalan spiral.

Hasil karakterisasi dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil karakterisasi simplisia dan EEDP

NO. Karakteristik Hasil Pemeriksaan (%)

Simplisia (%) Ekstrak(%)

1 Kadar air 4,98 8,73

2 Kadar sari larut air 6,52 -

3 Kadar sari larut etanol 17,85 -

4 Kadar abu total 25,79 20,43

5 Kadar abu tidak larut asam 0,83 0,61

Hasil karaakterisasi menunjukkan bahwa kadar air simplisia daun pacing

(50)

kadar air simplisia daun yaitu 5%. Penentuan kadar air dilakukan untuk memberi

batasan minimal atau rentang kadar air di dalam ekstrak, sebab kadar air yang

tinggi dapat mempengaruhi kestabilan sediaan obat, mempercepat pertumbuhan

bakteri dan jamur yang dapat merusak sediaan obat dan terjadi penguraian

senyawa yang terkandung di dalam sediaan.

Untuk melihat gambaran awal jumlah senyawa yang terkandung di dalam

pelarut dilakukan penetapan kadar sari. Dalam hal ini, dilakukan penetapan kadar

sari larut air dan larut etanol. Hasil penetapan kadar sari larut air adalah 6,52%

dan kadar sari larut etanol adalah 17,85%.

Penetapan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan

mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya

ekstrak. Kadar abu yang tinggi menunjukkan adanya zat anorganik logam-logam

(Ca, Mg, Fe, dan Pb). Kadar logam berat yang tinggi dapat mempengaruhi

kesehatan, sehingga perlu dilakukan penetapan kadar abu total dan kadar abu

tidak larut asam untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung

logam berat tertentu melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi

kesehatan. Hasil penetapan kadar abu total diperoleh kadar abu total simplisia

adalah 25,79% dan kadar abu total EEDP adalah 20,43%. Setiap simplisia

mempunyai kadar abu total yang berbeda-beda.

Hasil penetapan kadar abu tidak larut asam dari simplisia diperoleh 0,83%,

sedangkan kadar abu tidak larut asam dari EEDP diperoleh 0,61%, hasil ini masih

(51)

4.3 Hasil pemeriksaan metabolit sekunder

Pemeriksaan metabolit sekunder dilakukan secara kualitatif. Hal ini perlu

dilakukan untuk memberikan informasi golongan senyawa metabolit sekunder

yang terkandung di dalam simplisia dan EEDP. Hasil pemeriksaan skrining

fitokimia simplisia dan EEDP dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil pemeriksaan metabolit sekunder simplisia dan EEDP

No Golongan Senyawa

Hasil Pemeriksaan

Keterangan: + : mengandung golongan senyawa

- : tidak mengandung golongan senyawa

Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa simplisa dan EEDP

mengandung flavonoida, glikosida, saponin, tanin dan steroida/triterpenoida

namun tidak mengandung senyawa golongan alkaloida.

4.4 Hasil pengujian efek antifertilitas dari EEDP

Uji efek antifertilitas pada mencit betina untuk kelompok kontrol diinduksi

dengan suspensi Na CMC 0,5% dengan dosis 1% BB dan untuk kelompok uji

diinduksi dengan EEDP. Hasil pengujian efek antifertilitas dari EEDP dapat

(52)

Tabel 4.3 Efek antifertilitaas EEDP

Kelompok Mencit Hamil

(%)

Keterangan: + : terjadi kehamilan

- : tidak terjadi kehamilan

* : terjadi pendarahan

Hasil pengujian efek antifertilitas menunjukkan bahwa pada kelompok

kontrol terjadi kehamilan pada setiap mencit, hal ini karena Na CMC tidak

memiliki efek anti fertilitas, kelompok ini dijadikan sebagai kelompok

pembanding.

Hasil pengujian diperoleh bahwa pada pemberian EEDP seminggu

sebelum kopulasi pada dosis 50 mg/kg BB ditemui empat ekor mencit yang hamil,

pada dosis 100 mg/kg BB ditemui dua ekor mencit yang hamil sedangkan pada

dosis 200 mg/kg BB tidak ditemukan mencit yang hamil, ini menunjukkan bahwa

dosis 200 mg/kg BB adalah paling efektif memberikan efek antifertilitas.

Pemberian EEDP pada seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu

setelah kopulasi pada dosis 50 mg/kg BB ditemui tiga ekor mencit yang hamil dan

mengalami pendarahan, pada dosis 100 mg/kg BB ditemui satu ekor mencit yang

hamil dan mengalami pendarahan, sedangkan pada dosis 200 mg/kg BB tidak

ditemukan mencit yang hamil maupun yang mengalami pendarahan. Pendarahan

(53)

memiliki efek antifertilitas post coitus (Wahyuni, 1997).

4.5 Hasil analisis data

Data hasil pengujian efek antifertilitas dari EEDP dianalisis secara statistik

statistik menggunakan uji Fisher Exact Probability Test. Yaitu dengan

membandingkan kelompok kontrol dengan masing-masing kelompok uji. Berikut

ini tabel perbandingan kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi EEDP

setelah dilakukan uji Exact Probability Test.

Tabel 4.4 Perbandingan harga p antara kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi EEDP

Kelompok p Hipotesis

SK 50 0,2270 Diterima

SK 100 0,0303 Ditolak

SK 200 1,082.10-3 Ditolak

SK-SSK 50 0,2412 Diterima

SK-SSK 100 7,5757.10-3 Ditolak

SK-SSK 200 1,0822.10-3 Ditolak

α = 0,05 p ≤ α = ditolak p ≥ α = diterima

Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok dosis SK 50 dan

SK-SSK 50 hipotesis diterima, ini berarti bahwa induksi EEDP dengan dosis 50

mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi maupun pada pemberian

seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi tidak memiliki

efek antifertilitas. Sedangkan pada kelompok SK 100, SK 200, SSK 100,

SK-SSK 200 hipotesis ditolak ini berarti bahwa EEDP pada dosis 100 mg/kg BB dan

dosis 200 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi maupun pada

pemberian seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi

memiliki efek antifertilitas pada mencit betina.

(54)

BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi dan pada pemberian seminggu

sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi dapat dilihat pada Tabel 4.5

Tabel 4.5 Perbandingan antara dosis 50 mg/Kg BB, 100 mg/Kg BB dan 200

mg/Kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi dan seminggu

sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi.

Perlakuan perbandingan p Hipotesa

SK 50 >< SK 100 0,2435 Diterima

SK 50 >< SK 200 0,0303 Ditolak

SK 100 >< SK 200 0,2272 Diterima

SK-SSK 50 >< SK-SSK 100 0,2424 Diterima

SK-SSK 50 >< SK-SSK 200 0,0909 Diterima

SK-SSK 100 >< SK-SSK 200 0,5 Diterima

α = 0,05 p ≤ α = ditolak p ≥ α = diterima

Jika nilai p berada di daerah penerimaan berarti tidak terdapat perbedaan

yang nyata, dan jika p berada di daerah penolakan berati terdapat perbedaan yang

nyata. Hasil dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa hanya dosis 50 mg/kg BB

yang dibandingkan dengan dosis 200 mg/kg BB pada pemberian seminggu

sebelum kopulasi yang memiliki perbedaan yang nyata, sedangkan pada

perbandingan dosis yang lain tidak terdapat perbedaan yang nyata, baik pada

pemberian seminggu sebelum kopulasi maupun pada pemberian seminggu

sebelum kopulasi sampai seminggu setelah kopulasi. Komponen aktif yang

berperan dalam mencegah kehamilan atau kontrasepsi adalah diosgenin (Rahayu,

(55)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka didapat kesimpulan sebagai berikut:

a. Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia didapat kadar air daun pacing adalah

4,98%, kadar sari larut air adalah 6,52%, kadar sari larut etanol 17,85%, kadar

abu total 25,79%, dan kadar abu tidak larut asam 0,83%. Sedangkan

pemeriksaan karakterisasi EEDP diperoleh hasil kadar air 8,73%, kadar abu

total 20,43%, dan kadar abu tidak larut asam adalah 0,61%.

b. Golongan metabolit sekunder yang terkandung di dalam simplisia dan EEDP

adalah flavonoida, glikosida, saponin, tanin dan steroida/triterpenoida.

c. EEDP memiliki efek antifertilitas pada dosis pemberian 100 mg/kg BB dan

dosis 200 mg/kg BB baik pada pemberian seminggu sebelum kopulasi

maupun pada pemberian seminggu sebelum kopulasi sampai seminggu setelah

kopulasi.

5.2 Saran

Peneliti selanjutnya disarankan melakukan uji toksisitas dan kandungan

logam yang terdapat di dalam daun pacing. Disarankan pada peneliti selanjutnya

untuk melakukan uji efek abortivum dari EEDP melihat hasil pengujian dimana

Gambar

Gambar bagan pembuatan, skrining fitokimia dan karakterisasi
Gambar 1.1 Skema kerangka pikir penelitian
Gambar 2.1 Siklus haid
Gambar 2.2 Struktur kimia diosgenin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain untuk menyalin data, anda juga dapat menyalin rumus atau format yang telah

Jenis Kegiatan Bidang Cipta Karya dan batasan kapasitasnya yang wajib. dilengkapi dokumen AMDAL adalah

Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Kata kunci: Remaja, Pembinaan Keagamaan, Lingkungan Seks Komersial. Lingkungan menjadi faktor amat penting dalam kehidupan seseorang,

(2) dapat dibaca tanpa menggunakan koneksi internet, (3) dikembangkan untuk siswa agar dapat meningkatkan interaksi aktif antar siswa dengan sumber belajar yang mereka

Hasil pengamatan pada pembelajaran siklus 2 tidak ada siswa yang tidak terlibat dalam pembelajaran. Siswa mempresentasikan hasil proyeknya, siswa yang lain

Tabel4.1 Deteksi Kecacingan ( Enterobius vermicularis ) Pada Anak SDN Latsari 1 usia 7-10 Tahun di Desa Latsari Kecamatan Mojowarno Kabupaten Jombang. Variabel

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan pembangkitan tersebar pada bus indarmg mengakibatkan terjadinya peningkatan arus hubung singkat tiga fasa pada masing-masing

Tabel 4.11 Hasil percobaan Pertempuran 9 NPC Kirna vs 5 Kirna dengan formasi panah