SKRIPSI
Oleh :
YUNITA DEWITRIANA LINGGA NIM. 111000167
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Skripsi ini diajukan sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh :
YUNITA DEWITRIANA LINGGA NIM. 111000167
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i “
INAP DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. HADRIANUS SINAGA PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2014” ini beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau
pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang
berlaku dalam masyarakat keilmuan, Atas pernyataan ini saya siap menanggung
resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemungkinan ditemukan
adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini atau klaim dari
pihak lain terhadap karya saya ini.
Medan, Agustus 2015
iii
Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi gagal jantung di Indonesia sebesar 300 per 100.000 orang, sedangkan di Sumatera Utara prevalensi gagal jantung
sebesar 280 per 100.000 orang pada usia ≥ 15 tahun. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui karakteristik penderita gagal jantung di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan tahun 2014.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain case series. Data penelitian adalah data sekunder dengan populasi penelitian seluruh data penderita gagal jantung yang berjumlah 103 data dan dijadikan sebagai sampel. Data dianalisis secara deskriptif dan dengan uji Chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi penderita gagal jantung
tertinggi pada kelompok umur 60−74 tahun (35%), berjenis kelamin perempuan
(52,4%), suku Batak (100%), bekerja sebagai petani/buruh (63,1%), dan tinggal di wilayah Kabupaten Samosir. Keluhan utama terbanyak sesak napas (54,5%), klasifikasi gagal jantung kelas II dan III (38,8%), penyakit penyerta PPOK dan hipertensi (27,2%), terapi kombinasi (49,5%), dirawat inap satu kali (83,5%),
bukan biaya sendiri (69,9%), lama rawatan ≤4 hari, pulang berobat jalan (65%). Hasil uji statistik tidak ada perbedaan proporsi antara umur dan jenis kelamin (p=0,395), umur dan klasifikasi gagal jantung (p=0,925), umur dan kematian (p=1,00), jenis kelamin dan klasifikasi gagal jantung (p=0,904), jenis kelamin dan keadaan sewaktu pulang (p=0,113), pekerjaan dan klasifikasi gagal jantung (p=0,847), penyakit penyerta dan klasifikasi gagal jantung (p=0,876), penyakit penyerta dan rujukan (p=0,517), lama rawatan dan rujukan (p=0,533), serta klasifikasi gagal jantung dan keadaan sewaktu pulang (p=0,075)
Diharapkan kepada kelompok berisiko tinggi untuk menerapkan pola hidup sehat, kepada penderita gagal jantung untuk tetap melakukan kontrol dan pola hidup sehat, seta ikut serta menjadi peserta BPJS, kepada pihak rumah sakit umtuk meningkatkan pemberian informasi kepada penderita gagal jantung.
iv
was 300 per 100.000 people. In North Sumatera, the prevalence of heart failure was 280 per 100.000 people more than 15 years old.
This descriptive research has been designed with case series that aimed to find out the characteristic of heart failure patients in dr. Hadrianus Sinaga General Hospital in 2014. The population were the data of people with heart failure totaling 103 data and used as sample. Data were analyzed descriptively using Chi-square.
The results showed the proportion of patients with heart failure was highest in the age group 60−74 years (35%), female (52,4%), Bataknese (100%), farmer (63,1%), lived in Samosir regency (99%), hard to breathe (54,5%), suffered for second or third heart failure (38,8%), COPD and hypertension of comorbidity (27,2%), got the combination teraphy (49,5%), once hospitalized
(83,5%), were not own expense (69,9%), stayed in ≤ 4 days (65%), were
becoming outpatient (65%). There was no difference of age based on sex (p= 0,395), age based on classification (p= 0,925), age based on mor tality (p= 1,00), sex based on classification (p= 0,904), sex based on becoming outpatient (p= 0,113), occupation based on classification (p= 0,847), comorbidities based on classification (p= 0,876), comorbidities based on being admitted (p= 0,517), length of stay based on being admitted (p= 0,533), and classification based on becoming outpatient (p= 0,075)
It would be advisable for the high risk people to take good lifestyle, for the patients have heart control and take medicine regularly and become participant of BPJS, for the dr. Hadrianus Sinaga General Hospital to improve service and providing information to patient with heart failure.
v
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Karakteristik
Penderita Gagal Jantung yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Hadrianus Sinaga Pangururan Kabupaten Samosir Tahun 2014” yang
merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak terlepas dari dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materiil. Untuk itu penulis
pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes selaku Dosen Pembimbing I sekaligus
Ketua Departemen Epidemiologi FKM USU yang telah meluangkan waktu
dan pikirannya dalam memberikan bimbingan, saran, dan petunjuk kepada
penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
3. Bapak Dr. dr. Taufik Ashar, MKM selaku Dosen Pembimbing II yang juga
telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan,
saran, dan petunjuk kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
4. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH selaku Dosen Penguji I yang telah
vi
7. Seluruh dosen dan staf di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara, khususnya Departemen Epidemiologi.
8. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah dr. Hadrianus Sinaga Pangururan
Bapak dr. Nimpan Karo-karo, MM dan seluruh staf khususnya bagian
rekam medik yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Orangtuaku tercinta Ayahanda Baktiar Lingga dan Ibunda Renna Saragih
yang senantiasa memberi kasih sayang, mendukung, mendoakan, dan
memotivasi penulis, juga kepada kedua adikku tersayang Debby Cynthia
Lingga dan Bryan Ananta Lingga, dan seluruh keluarga, terkhusus kepada
A. Siahaan dan A. Sinaga atas doa, perhatian, dan semangat yang diberikan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Yang terkasih Dionsius Fredi Nainggolan atas kasih sayang, perhatian, dan
semangat yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman “Tiga Benua” (Rolentina, Anjela, Ervina, Ellys, Serani, Denny, Rafika) yang selalu memberikan semangat dan berbagi dalam
menyelesaikan skripsi ini.
12. Teman-teman stambuk 2011, khususnya teman seperjuangan di peminatan
Epidemiologi atas semangat, dukungan, dan kebersamaan dalam
vii
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyajian
skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk
perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Tuhan memberkati. Ut Omnes Unum Sint.
Medan, Agustus 2015
viii
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
RIWAYAT HIDUP PENULIS ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah... 6
1.3 Tujuan Penelitian... 6
1.3.1 Tujuan Umum ... 6
1.3.2 Tujuan Khusus ... 6
1.4 Manfaat Penelitian... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Definisi Gagal Jantung ... 9
2.2 Jantung ...10
2.2.1 Anatomi Jantung ...10
2.2.2 Siklus Jantung ...10
2.2.3 Denyut Jantung ...11
2.2.4 Curah Jantung ...11
2.3 Patofisiologi ...12
2.3.1 Mekanisme Hemodinamik ...12
2.3.2 Mekanisme Neurohormonal ...13
2.4 Klasifikasi Gagal Jantung ...14
2.4.1 Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Kemampuan Fungsional ....14
2.4.2 Klasifikasi Berdasarkan Manifestasi Klinis ...15
2.5 Manifestasi Klinis ...18
2.5.1 Respirasi ...18
2.5.2 Hemodinamika ...20
2.5.3 Renal...23
2.5.4 Abdomen ...23
2.5.5 Ektremitas...24
2.6 Epidemiologi ...25
2.6.1 Distribusi Frekuensi ...25
2.6.2 Determinan ...26
2.7 Penyakit Penyerta ...32
2.8 Rawat Inap Ulang ...33
ix
2.9.2.4 Terapi Farmakologis ...38
2.9.2.5 Terapi Non-Farmakologis ...40
2.9.2.6 Mencegah Influenza dan Pneumonia ...41
2.9.3 Pencegahan Tersier ...41
2.10 Kerangka Konsep ...42
BAB III METODE PENELITIAN ...43
3.1 Jenis Penelitian...43
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...43
3.2.1 Lokasi Penelitian ...43
3.2.2 Waktu Penelitian ...43
3.3 Populasi dan Sampel ...43
3.3.1 Populasi Penelitian ...43
3.3.2 Sampel Penelitian ...44
3.4 Metode Pengumpulan Data ...44
3.5 Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data...44
3.6 Definisi Operasional ...44
BAB IV HASIL ...49
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ...49
4.1.1 Rumah Sakit Umum Daerah dr. Hadrianus Sinaga Pangururan ...49
4.2 Analisis Univariat ...50
4.2.1 Sosiodemografi Penderita Gagal Jantung ...51
4.2.2 Keluhan Utama ...52
4.2.3 Klasifikasi Gagal Jantung menurut Kemampuan Fungsional ...53
4.2.4 Penyakit Penyerta ...53
4.2.5 Terapi yang Diberikan ...54
4.2.6 Frekuensi Rawat Inap ...55
4.2.7 Sumber Pembiayaan ...55
4.2.8 Lama Rawatan ...56
4.2.9 Keadaan Sewaktu Pulang ...56
4.3 Analisis Bivariat...57
4.3.1 Umur berdasarkan Jenis Kelamin ...57
4.3.2 Umur berdasarkan Klasifikasi Gagal Jantung ...57
4.3.3 Umur berdasarkan Kematian ...58
4.3.4 Jenis Kelamin berdasarkan Klasifikasi Gagal Jantung ...59
4.3.5 Jenis Kelamin berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ...60
4.3.6 Pekerjaan berdasarkan Klasifikasi Gagal Jantung ...60
x
BAB V PEMBAHASAN ...65
5.1. Deskriptif ...65
5.1.1 Distribusi Proporsi Penderita Gagal Jantung berdasarkan Sosiodemografi ...65
5.1.2 Keluhan Utama ...70
5.1.3 Klasifikasi Gagal Jantung ...71
5.1.4 Penyakit Penyerta ...72
5.1.5 Terapi yang Diberikan ...74
5.1.6 Frekuensi Rawat Inap ...75
5.1.7 Sumber Pembiayaan ...76
5.1.8 Lama Rawatan ...77
5.1.9 Keadaan Sewaktu Pulang ...78
5.2 Analisis Statistik ...79
5.2.1 Umur berdasarkan Jenis Kelamin ...79
5.2.2 Umur berdasarkan Klasifikasi Gagal Jantung ...79
5.2.3 Umur berdasarkan Kematian ...79
5.2.4 Jenis Kelamin berdasarkan Klasifikasi Gagal Jantung ...80
5.2.5 Jenis Kelamin berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ...81
5.2.6 Pekerjaan berdasarkan Klasifikasi Gagal Jantung ...81
5.2.7 Penyakit Penyerta berdasarkan Klasifikasi Gagal Jantung ..81
5.2.8 Penyakit Penyerta berdasarkan Rujukan ...82
5.2.9 Lama Rawatan berdasarkan Rujukan ...82
5.2.10 Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang...83
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...84
6.1 Kesimpulan ...84
6.2 Saran ...86
xi
Jenis Kelamin di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan
tahun 2014 ... 51
Tabel 4.2 Distribusi Proporsi Penderita Gagal Jantung berdasarkan Pekerjaan dan Tempat Tinggal di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan
tahun 2014 ... 52
Tabel 4.3 Distribusi Proporsi Penderita Gagal Jantung berdasarkan Keluhan Utama di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan tahun 2014 ... 52
Tabel 4.4 Distribusi Proporsi Penderita Gagal Jantung berdasarkan Klasifikasi Gagal Jantung di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan
tahun 2014 ... 53
Tabel 4.5 Distribusi Proporsi Penderita Gagal Jantung berdasarkan Penyakit Penyerta di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan tahun 2014 ... 54
Tabel 4.6 Distribusi Proporsi Penderita Gagal Jantung berdasarkan Terapi yang Diberikan di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan tahun 2014 ... 54
Tabel 4.7 Distribusi Proporsi Penderita Gagal Jantung berdasarkan Frekuensi Rawat Inap di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan tahun 2014 ... 55
Tabel 4.8 Distribusi Proporsi Penderita Gagal Jantung berdasarkan Sumber Pembiayaan di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan
tahun 2014 ... 55
Tabel 4.9 Lama Rawatan Penderita Gagal Jantung di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan tahun 2014 ... 56
Tabel 4.10 Distribusi Proporsi Penderita Gagal Jantung berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan
tahun 2014 ... 56
Tabel 4.11 Distribusi Proporsi Umur berdasarkan Jenis Kelamin Penderita di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan tahun 2014 ... 57
xii
Pangururan tahun 2014... 59
Tabel 4.15 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan tahun 2014 ... 60
Tabel 4.16 Distribusi Proporsi Pekerjaan berdasarkan Klasifikasi Gagal Jantung di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan tahun 2014 ... 60
Tabel 4.17 Distribusi Proporsi Penyakit Penyerta berdasarkan Klasifikasi Gagal Jantung di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan tahun 2014 ... 61
Tabel 4.18 Distribusi Penyakit Penyerta berdasarkan Rujukan di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan tahun 2014 ... 62
Tabel 4.19 Distribusi Proporsi Lama Rawatan berdasarkan Rujukan di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan tahun 2014 ... 63
xiii
Tempat/ Tanggal Lahir : Caringin Bogor/16 Juni 1993
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Status Perkawinan : Belum Kawin
Anak ke : 1 dari 3 bersaudara
Alamat Rumah : Jl. A. Yani No. 51 Ling. III Kwala Begumit, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat
Riwayat Pendidikan
Tahun 1999 − 2005 : SD Negeri 050578 Kwala Begumit Tahun 2005 – 2008 : SMP Negeri 1 Kecamatan Binjai Tahun 2008 – 2011 : SMA Negeri 5 Binjai
iii
Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi gagal jantung di Indonesia sebesar 300 per 100.000 orang, sedangkan di Sumatera Utara prevalensi gagal jantung
sebesar 280 per 100.000 orang pada usia ≥ 15 tahun. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui karakteristik penderita gagal jantung di RSUD dr. Hadrianus Sinaga Pangururan tahun 2014.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain case series. Data penelitian adalah data sekunder dengan populasi penelitian seluruh data penderita gagal jantung yang berjumlah 103 data dan dijadikan sebagai sampel. Data dianalisis secara deskriptif dan dengan uji Chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi penderita gagal jantung
tertinggi pada kelompok umur 60−74 tahun (35%), berjenis kelamin perempuan
(52,4%), suku Batak (100%), bekerja sebagai petani/buruh (63,1%), dan tinggal di wilayah Kabupaten Samosir. Keluhan utama terbanyak sesak napas (54,5%), klasifikasi gagal jantung kelas II dan III (38,8%), penyakit penyerta PPOK dan hipertensi (27,2%), terapi kombinasi (49,5%), dirawat inap satu kali (83,5%),
bukan biaya sendiri (69,9%), lama rawatan ≤4 hari, pulang berobat jalan (65%). Hasil uji statistik tidak ada perbedaan proporsi antara umur dan jenis kelamin (p=0,395), umur dan klasifikasi gagal jantung (p=0,925), umur dan kematian (p=1,00), jenis kelamin dan klasifikasi gagal jantung (p=0,904), jenis kelamin dan keadaan sewaktu pulang (p=0,113), pekerjaan dan klasifikasi gagal jantung (p=0,847), penyakit penyerta dan klasifikasi gagal jantung (p=0,876), penyakit penyerta dan rujukan (p=0,517), lama rawatan dan rujukan (p=0,533), serta klasifikasi gagal jantung dan keadaan sewaktu pulang (p=0,075)
Diharapkan kepada kelompok berisiko tinggi untuk menerapkan pola hidup sehat, kepada penderita gagal jantung untuk tetap melakukan kontrol dan pola hidup sehat, seta ikut serta menjadi peserta BPJS, kepada pihak rumah sakit umtuk meningkatkan pemberian informasi kepada penderita gagal jantung.
iv
was 300 per 100.000 people. In North Sumatera, the prevalence of heart failure was 280 per 100.000 people more than 15 years old.
This descriptive research has been designed with case series that aimed to find out the characteristic of heart failure patients in dr. Hadrianus Sinaga General Hospital in 2014. The population were the data of people with heart failure totaling 103 data and used as sample. Data were analyzed descriptively using Chi-square.
The results showed the proportion of patients with heart failure was highest in the age group 60−74 years (35%), female (52,4%), Bataknese (100%), farmer (63,1%), lived in Samosir regency (99%), hard to breathe (54,5%), suffered for second or third heart failure (38,8%), COPD and hypertension of comorbidity (27,2%), got the combination teraphy (49,5%), once hospitalized
(83,5%), were not own expense (69,9%), stayed in ≤ 4 days (65%), were
becoming outpatient (65%). There was no difference of age based on sex (p= 0,395), age based on classification (p= 0,925), age based on mor tality (p= 1,00), sex based on classification (p= 0,904), sex based on becoming outpatient (p= 0,113), occupation based on classification (p= 0,847), comorbidities based on classification (p= 0,876), comorbidities based on being admitted (p= 0,517), length of stay based on being admitted (p= 0,533), and classification based on becoming outpatient (p= 0,075)
It would be advisable for the high risk people to take good lifestyle, for the patients have heart control and take medicine regularly and become participant of BPJS, for the dr. Hadrianus Sinaga General Hospital to improve service and providing information to patient with heart failure.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan bagi negara
dalam pembangunan nasional. Sumber daya manusia yang berkualitas pada
dasarnya ditentukan oleh derajat kesehatannya. Derajat kesehatan masyarakat
dapat dilihat dari beberapa indikator, di antaranya angka harapan hidup, angka
kesakitan, angka kematian, dan status gizi. Indikator-indikator di atas juga
dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan sosial, keturunan, dan
faktor-faktor lain (Depkes RI, 2009). Karena itu masalah-masalah kesehatan yang
ada pada berbagai negara perlu dipahami dari berbagai aspek agar derajat
kesehatan masyarakat dapat ditingkatkan. Selain itu, masalah kesehatan pada
penduduk mempengaruhi ketahanan ekonomi yang merupakan beban bagi negara.
Seiring berkembangnya peradaban manusia, faktor ekonomi, budaya, dan
kependudukan mempengaruhi pola penyakit pada masyarakat di seluruh dunia,
dimana telah terjadi transisi epidemiologi dari penyakit menular (penyakit infeksi)
menjadi penyakit tidak menular (penyakit degeneratif) sehingga negara-negara
berkembang termasuk Indonesia mengalami beban ganda dalam menghadapi
masalah kesehatan.
Penyakit tidak menular merupakan penyakit penyebab kematian terbanyak
dibandingkan dengan kematian oleh penyebab lain. Kebanyakan orang mengira
bahwa penyakit tidak menular kebanyakan terjadi di negara-negara maju. Namun
menular terjadi di negara yang penduduknya berpendapatan menengah ke bawah.
Pertumbuhan penyakit tidak menular di negara dengan pendapatan menengah ke
bawah dipercepat oleh dampak buruk globalisasi, seperti urbanisasi yang tidak
terkendali dan meningkatnya kehidupan sedentari. Orang-orang di negara
berkembang juga semakin banyak mengkonsumsi makanan dengan jumlah kalori
yang tinggi, merokok, alkohol, dan junk food. Apalagi upaya pemerintah dalam
mengontrol kebijakan, pelayanan, dan infrastruktur untuk melindungi masyarakat
dari penyakit tidak menular masih belum maksimal.
Penduduk pada status sosial ekonomi rendah lebih mudah mengalami
kesakitan dan kematian akibat penyakit tidak menular daripada penduduk yang
berstatus sosial ekonomi yang lebih tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhinya
antara lain pendidikan, pekerjaan, pendapatan, gender, dan etnik. Terdapat fakta
adanya korelasi antara determinan sosial, khususnya pendidikan, dengan angka
prevalensi penyakit tidak menular dan faktor risikonya. Masalah penyakit tidak
menular pada akhirnya tidak hanya menjadi masalah kesehatan saja, karena bila
tidak dikendalikan dengan tepat, benar, dan berkesinambungan dapat
mempengaruhi ketahanan ekonomi nasional maupun global, karena sifatnya
kronis dan umumnya terjadi pada usia produktif (WHO, 2011).
Dewasa ini, penyakit tidak menular telah mencapai angka yang cukup
tinggi sebagai penyebab kematian, membunuh orang setiap tahunnya dengan
penyebab yang kompleks. World Health Organization (2011) menunjukkan
bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36
tahun 2030 diprediksi angka kesakitan akibat penyakit tidak menular akan
meningkat dan akan ada 52 juta jiwa kematian per tahun karena penyakit tidak
menular di seluruh dunia. Data yang ada juga menunjukkan bahwa sekitar 80%
kematian akibat penyakit tidak menular terjadi di negara-negara miskin dan
berkembang. Di negara-negara dengan tingkat ekonomi rendah dan menengah,
kematian akibat penyakit tidak menular terjadi pada orang-orang pada usia di
bawah 60 tahun dengan proporsi 29%, sedangkan di negara-negara maju
menyebabkan 13% kematian. Penyakit tidak menular sebenarnya dapat dikurangi
dengan mengurangi faktor risikonya, melakukan deteksi dini, dan pengobatan
teratur.
Masyarakat sering menganggap penyakit tidak menular tidak berbahaya
dibandingkan dengan penyakit menular. Hal ini dikarenakan penyakit tidak
menular umumnya bersifat kronis dan patofisiologinya cenderung lebih lama
sehingga manifestasinya baru dirasakan setelah penyakit sudah parah atau sudah
mengalami komplikasi. Akibatnya, banyak orang datang berobat setelah penyakit
sudah memasuki stadium berat bahkan saat keadaan darurat. Padahal, penyakit
tidak menular dapat dicegah dengan mengetahui dan mengendalikan faktor-faktor
risikonya secara dini. Adapun penyakit tidak menular yang paling banyak dialami
masyarakat secara global di antaranya penyakit kardiovaskular (penyakit jantung
dan pembuluh darah), kanker, diabetes, gagal ginjal, penyakit pernapasan kronis,
dan penyakit tidak menular lainnya. Di antara penyakit-penyakit tidak menular
ini, sering kali antara satu penyakit dengan penyakit lainnya saling
Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit yang menyangkut jantung
dan pembuluh-pembuluh darah. Keduanya sulit dipisahkan dalam manajemen
maupun pembahasannya. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian
terbesar (39%), diikuti penyakit pernafasan kronis, penyakit pencernaan dan
penyakit tidak menular lainnya (30%), kanker (27%), serta diabetes (4%) yang
diprediksikan pula akan mengalami peningkatan yang signifikan. Peningkatan ini
berhubungan dengan faktor risiko akibat perubahan gaya hidup, pertumbuhan
populasi, dan peningkatan usia harapan hidup. Beberapa penyakit yang termasuk
penyakit kardiovaskular yaitu hipertensi, penyakit jantung koroner (termasuk
angina pektoris dan infark miokard akut), penyakit pembuluh darah otak (stroke),
penyakit jantung hipertensi, penyakit jantung rematik, gagal jantung, penyakit
jantung katup, penyakit jantung bawaan, kardiomiopati, dan lain-lain.
Komitmen global dalam sidang The World Health Assembly (WHA)
ke-53 pada tahun 2004 telah menetapkan salah satu solusi untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat, yaitu pencegahan dan penanggulangan penyakit
tidak menular, termasuk penyakit tidak menular. Untuk itu diperlukan upaya
global dalam pengendalian faktor risiko penyakit guna mengurangi angka
kesakitan (morbiditas), kecacatan (disabilitas), dan kematian (mortalitas) (WHO,
2011)
Gagal jantung merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang saat ini
disadari sebagai masalah penting dalam kesehatan masyarakat. Gagal jantung
merupakan stadium akhir dari semua gangguan kardiovaskular dan merupakan
pasien gagal jantung sering datang dengan kondisi yang sudah parah sehingga
menjadi salah satu faktor penyebab tingginya angka kematian akibat gagal
jantung. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 23 juta orang menderita gagal
jantung (Lloyd-Jones, et.al., 2010).
Di Amerika Serikat, prevalensi gagal jantung pada usia ≥ 20 tahun sebesar 5,7 per 100.000 orang pada tahun 2009 sampai 2012 (AHA, 2014). Sekitar
setengah dari jumlah penderita gagal jantung meninggal dalam waktu 5 tahun
setelah didiagnosis (Go, et.al., 2013). Biaya untuk penderita gagal jantung
diperkirakan sebesar 32 milyar Dollar pertahun. Jumlah ini termasuk biaya
asuransi kesehatan, pengobatan dan perawatan, dan hari kerja yang hilang
(Heidenreich, et.al., 2011). Di Inggris, menurut data British Health Foundation
(BHF, 2014), jumlah penderita gagal jantung pada tahun 2012–2013 sebesar 486.680 orang atau sekitar 0,7% dari seluruh populasi.
Berdasarkan hasil Riskesdas (2013) prevalensi gagal jantung di Indonesia
sebesar 300 per 100.000 orang, sedangkan di Sumatera Utara prevalensi gagal
jantung sebesar 280 per 100.000 orang pada usia ≥ 15 tahun. Menurut data Sistem Informasi Rumah Sakit (2010-2011), gagal jantung termasuk ke dalam peringkat
sepuluh besar penyakit rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan proporsi
2,74% pada tahun 2009 dan 2,71% pada tahun 2010 (Kemenkes RI, 2012).
Berdasarkan penelitian Gusrida (2001) di Rumah Sakit Haji Medan, pada
tahun 1997–2000, jumlah penderita gagal jantung yang dirawat inap sebanyak 122 orang dengan proporsi laki-laki 63,1% dan perempuan 36,9% dan penderita
Pakpahan (2012) di Rumah Sakit Umum Herna Medan pada tahun 2009–2010, jumlah penderita gagal jantung yang dirawat inap sebanyak 172 orang dengan
proporsi penderita laki-laki sebanyak 57,6% dan perempuan sebesar 42,4%.
Di Kabupaten Samosir, menurut data rekam medik Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Hadrianus Sinaga Pangururan Kabupaten Samosir, jumlah penderita
gagal jantung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011
terdapat 25 orang penderita gagal jantung, pada tahun 2012 sebanyak 46 orang,
pada tahun 2013 sebanyak 62 orang, sedangkan pada tahun 2014 terdapat 103
penderita gagal jantung yang dirawat inap. Bahkan pada tahun 2013 dan 2014,
gagal jantung menjadi salah satu dari sepuluh penyakit terbesar di rumah sakit.
1.2 Perumusan Masalah
Belum diketahui karakteristik penderita gagal jantung yang dirawat inap di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Hadrianus Sinaga Pangururan Kabupaten Samosir
tahun 2014.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui karakteristik penderita gagal jantung yang dirawat inap di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Hadrianus Sinaga Pangururan Kabupaten Samosir
tahun 2014.
1.3.2 Tujuan Khusus
a) Mengetahui distribusi proporsi penderita gagal jantung berdasarkan
b) Mengetahui distribusi proporsi penderita gagal jantung berdasarkan keluhan
utama
c) Mengetahui distribusi proporsi penderita gagal jantung berdasarkan
klasifikasi gagal jantung
d) Mengetahui distribusi penderita gagal jantung berdasarkan jenis penyakit
penyerta
e) Mengetahui distribusi proporsi penderita gagal jantung berdasarkan terapi
yang diberikan
f) Mengetahui distribusi proporsi penderita gagal jantung berdasarkan
frekuensi rawat inap
g) Mengetahui distribusi proporsi penderita gagal jantung berdasarkan sumber
pembiayaan
h) Mengetahui lama rawatan penderita gagal jantung
i) Mengetahui distribusi proporsi penderita gagal jantung berdasarkan keadaan
sewaktu pulang
j) Mengetahui distribusi proporsi umur berdasarkan jenis kelamin
k) Mengetahui distribusi proporsi umur berdasarkan klasifikasi gagal jantung
l) Mengetahui distribusi proporsi umur berdasarkan kematian
m) Mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin berdasarkan klasifikasi gagal
jantung
n) Mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin berdasarkan keadaan sewaktu
pulang
p) Mengetahui distribusi proporsi penyakit penyerta berdasarkan klasifikasi
gagal jantung
q) Mengetahui distribusi proporsi penyakit penyerta berdasarkan rujukan
r) Mengetahui distribusi proporsi lama rawatan berdasarkan rujukan
s) Mengetahui distribusi proporsi klasifikasi gagal jantung berdasarkan
keadaan sewaktu pulang
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu
1.4.1 Sebagai bahan informasi dan masukan bagi Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Hadrianus Sinaga Pangururan Kabupaten Samosir dalam upaya
perencanaan untuk pelayanan pengobatan pasien gagal jantung.
1.4.2 Menambah wawasan penulis maupun pembaca tentang gagal jantung dan
sarana menerapkan ilmu yang diperoleh selama ini di perkuliahan.
1.4.3 Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan dapat digunakan
sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan
9
Gagal jantung adalah keadaan saat jantung tidak mampu lagi memompa
darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh akan nutrien
dan oksigen secara adekuat. Gagal jantung juga dapat didefinisikan sebagai gejala
klinis yang kompleks yang disebabkan gangguan jantung yang menurunkan
kemampuan ventrikel untuk mengalirkan dan memompa darah (Francis, 2008).
Hal ini mengakibatkan peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung
darah lebih banyak untuk dipompakan ke seluruh tubuh sehingga otot jantung
menjadi kaku dan menebal. Jantung hanya mampu memompa darah untuk waktu
yang singkat dan dinding otot jantung yang melemah tidak mampu memompa
dengan adekuat. Sebagai akibatnya, ginjal sering merespon dengan menahan air
dan garam (retensi). Hal ini akan mengakibatkan bendungan cairan dalam
beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau organ lainnya sehingga
tubuh penderita menjadi bengkak (kongestif) (Udjianti, 2011).
Tierney, dkk. (2002) dan Gray (2005) mengemukakan bahwa fungsi
sistolik jantung ditentukan oleh empat determinan utama, yaitu kontraktilitas
miokardium, preload (beban pada ventrikel sebelum kontraksi sistol dan
dihasilkan oleh volume akhir-diastolik ventrikel), afterload (beban pada ventrikel
ketika berkontraksi selama ejeksi ventrikel kiri), dan frekuensi denyut jantung.
Fungsi jantung dapat menjadi tidak adekuat akibat perubahan beberapa
2.2 Jantung
2.2.1 Anatomi Jantung
Jantung adalah organ yang berfungsi mensirkulasi darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolik tubuh. Jantung terletak di dalam rongga mediastinum dada
(thoraks), di antara kedua paru (Ruhyanudin, 2007). Jantung terdiri dari empat
ruang, yaitu atrium kanan, ventrikel kanan, atrium kiri, dan ventrikel kiri.
Atrium kanan berfungsi menampung darah dari seluruh tubuh melalui
vena cava superior dan vena cava inferior. Pada dinding atrium kanan terdapat
nodus sinoatrial, yaitu sumber listrik jantung. Ventrikel kanan menerima darah
dari atrium kanan dan melalui katup trikuspidalis mengalirkannya ke paru-paru.
Atrium kiri berfungsi menerima darah yang teroksigenasi dari paru-paru melalui
vena pulmonalis. Sedangkan ventrikel kiri menerima darah yang teroksigenasi
dari atrium kiri melalui katup bicuspidalis (katup mitralis) yang selanjutnya
dipompakan ke seluruh tubuh melalui katup semilunar aorta. Jantung dipersarafi
oleh sistem saraf otonom, yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Kerja saraf
simpatis adalah mengatur kerja otot ventrikel, sedangkan saraf parasimpatis
adalah mengontrol irama jantung dan denyut jantung (Oemar, 1998).
2.2.2 Siklus Jantung
Menurut Aaronson dan Ward (2007), siklus jantung adalah urutan kejadian
mekanik yang terjadi selama satu denyut jantung tunggal. Saat menuju akhir
diastol, semua rongga jantung berelaksasi. Pada saat ini katup atrio-ventrikuler
(AV) terbuka dan darah mengalir dari atrium ke ventrikel. Katup aorta dan
tekanan di ventrikel yang berelaksasi sehingga darah mengumpul di ventrikel.
Periode ini disebut diastol. Volume darah dalam ventrikel sesaat sebelum
kontraksi disebut volume-akhir diastol. Saat ventrikel berkontraksi, tekanan pada
ventrikel menjadi lebih besar dari tekanan di atrium sehingga katup AV tertutup.
Kemudian tekanan dalam aorta dan arteri pulmonalis lebih besar daripada tekanan
di ventrikel sehingga katup aorta dan pulmonalis tertutup. Karena semakin
tingginya tekanan di ventrikel, katup aorta dan pulmonalis terbuka dengan cepat
sehingga darah mengalir keluar ventrikel dengan kecepatan dan tekanan tinggi.
Periode ini disebut sistol. Pada akhir sistol, ventrikel kembali berelaksasi, siklus
pengisian dan pengosongan kembali berulang (Corwin, 2008).
2.2.3 Denyut Jantung
Dalam kondisi normal, jantung berdenyut sekitar 70 kali permenit yang
dikontrol sendiri oleh jantung. Regulasi denyut jantung dipengaruhi oleh saraf
simpatis dan saraf parasimpatis. Stimulasi saraf simpatis akan meningkatkan
denyut jantung, sedangkan stimulasi saraf parasimpatis akan menghambat
peningkatan denyut jantung (Mutaqqin, 2009)
2.2.4 Curah Jantung
Curah jantung adalah volume darah yang dipompa jantung permenit, yaitu
isi sekuncup x denyut jantung permenit. Pada pria normal dengan berat badan 70
kg, curah jantung saat istirahat sekitar 5 L/menit. Namun selama latihan fisik
berat, curah jantung dapat bertambah hingga 25 L/menit. (Aaronson & Ward,
2.3 Patofisiologi
Gangguan fisiologi gagal jantung bersifat kompleks, namun gangguan
pada kemampuan jantung dalam memompa tergantung pada bermacam-macam
faktor yang saling terkait. Gagal jantung dapat dikatakan adalah proses yang
kronis namun progresif, karena patofisiologinya memperlihatkan
perubahan-perubahan yang terus-menerus yang pada awalnya bertujuan untuk
mempertahankan keseimbangan kardiovaskular, namun pada perjalanannya
menjadi kontraproduktif. Kunci terjadinya gagal jantung adalah tidak
berfungsinya sejumlah sel miokard setelah terjadinya cidera pada jantung.
Menurunnya kemampuan kontraksi miokard memegang peran utama pada
kejadian gagal jantung, akan tetapi kontraksilitas miokard sulit untuk diukur
(Prabowo, 2003)
Cidera pada jantung dapat disebabkan oleh infark miokard akut, toksin
(alkohol atau obat-obatan), infeksi (virus atau parasit), stres kardiovaskular
(hipertensi atau penyakit katup jantung), dan penyebab-penyebab lain yang tidak
diketahui. Tidak berfungsinya sejumlah miokard menyebabkan jantung bereaksi
agar fungsinya tetap stabil dengan melakukan beberapa mekanisme yang disebut
mekanisme kompensasi. Menurut Manik (2006) secara garis besar, ada dua
mekanisme kompensasi yang dilakukan jantung, yaitu mekanisme hemodinamik
dan mekanisme neurohormonal.
2.3.1 Mekanisme Hemodinamik
Mekanisme hemodinamik merupakan mekanisme yang dilakukan jantung
memberikan suplai oksigen yang cukup ke seluruh jaringan. Mekanisme ini mengikuti
hukum Frank-Starling yang menyatakan bahwa volume sekuncup jantung atau
jumlah darah yang dipompakan jantung akan meningkat sebagai respon terhadap
peningkatan volume darah yang mengisi jantung pada volume akhir diastolik.
Karena preload meningkat, serabut-serabut otot jantung lebih banyak meregang
sebelum berkontraksi agar dapat berkontraksi lebih kuat. Dengan meregangnya
serabut-serabut otot jantung yang akan memberikan kontraksi lebih kuat akan
meningkatkan volume sekuncup, yang berakibat pada peningkatan curah jantung
sewaktu sistol.
2.3.2 Mekanisme Neurohormonal
Selain mekanisme hemodinamik, jantung juga melakukan kompensasi
melalui mekanisme neurohormonal, yaitu mekanisme yang dilakukan jantung
untuk tetap mempertahankan fungsionalnya melalui pengaktifan hormon-hormon.
Gangguan pada sejumlah miokard yang mengurangi fungsi sistolik, menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke aorta. Kekurangan ini mengaktifkan saraf simpatis
sehingga reseptor β-adregenik pada sel miokard sehat terangsang dan
menghasilkan peningkatan denyut jantung, kemampuan kontraksi jantung, dan
vasokonstriksi pada vena dan arteri. Sebagai akibat vasokonstriksi vena, aliran
balik vena ke jantung akan meningkat sehingga meningkatkan preload. Sedangkan
vasokonstriksi pada arteri, khususnya arteri renal akan menyebabkan aliran darah
di ginjal berkurang dan ginjal memberi reaksi berupa retensi garam dan air
(Udjianti, 2011). Aktivasi neurohormonal juga memacu peningkatan
terjadinya vasokonstriksi, retensi natrium di ginjal, dan dilatasi hipertofi miokard
(remodelling) yang pada akhirnya mengakibatkan gagal jantung.
Meskipun belum diketahui mekanisme mana yang lebih dulu bekerja
ketika terjadi gangguan fungsi ventrikel, kedua mekanisme ini bekerja saling
melengkapi, namun ketika terjadi perbaikan fungsi ventrikel, kedua mekanisme
ini aktivitasnya tidak segera berhenti. Bahkan ketika mekanisme kompensasi ini
mulai dan atau sedang bekerja juga terjadi reaksi ikutan di dalam tubuh termasuk
pada jantung. Ketika mekanisme hemodinamik dan neurohormonal aktif, terjadi
dilatasi ventrikel serta aktivasi sistem simpatis yang berakibat stres pada dinding
jantung saat diastol sehingga merusak rongga jantung dan meningkatkan
konsumsi oksigen otot jantung untuk pengeluaran energi jantung. Pada saat itulah
gejala gagal jantung berkembang (Manik, 2006).
2.4 Klasifikasi Gagal Jantung
2.4.1 Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Kemampuan Fungsional
New York Heart Assosiation (NYHA) mengklasifikasikan gagal jantung
menurut keluhan yang dialami penderita sebagai berikut.
a. Kelas I
Tidak ada keterbatasan aktivitas fisik pada penderita. aktivitas fisik biasa tidak
menimbulkan keluhan fatique, dispnea, atau palpitasi.
b. Kelas II
Sedikit keterbatasan aktivitas fisik, merasa nyaman bila istirahat, tetapi
c. Kelas III
Keterbatasan yang nyata pada aktivitas fisik, merasa nyaman saat istirahat
namun gejala akan muncul saat melakukan aktivitas fisik yang lebih ringan
dari yang biasa
d. Kelas IV
Rasa tidak nyaman saat melakukan aktivitas fisik apapun. Gejala sudah muncul
bahkan saat istirahat dan semakin parah ketika melakukan aktivitas fisik
(Manik, 2006).
2.4.2 Klasifikasi Berdasarkan Manifestasi Klinis a. Gagal Jantung Kiri dan Gagal Jantung Kanan
Jantung memompa darah kaya oksigen dari paru-paru ke atrium kiri
kemudian ke ventrikel kiri, yang memompa darah ke seluruh tubuh. ventrikel kiri
memang memiliki kekuatan yang paling besar untuk memompa darah ke seluruh
jaringan tubuh, namun pada gagal jantung kiri, bagian kiri jantung harus bekerja
lebih keras lagi dari yang normal untuk curah jantung yang sama. Ada dua tipe
gagal jantung kiri, dengan pengobatan yang berbeda, yaitu gagal jantung sistolik
dan gagal jantung diastolik. Gagal jantung sistolik terjadi ketika ventrikel kiri
kehilangan kemampuan kontraksi secara normal. Jantung tidak dapat berkontraksi
dengan tekanan yang cukup untuk memompa darah secara normal. Sedangkan
gagal jantung diastolik (disfungsi diastolik) terjadi jika ventrikel kiri kehilangan
kemampuannya untuk berelaksasi secara normal (karena otot jantung menjadi
kaku) sehingga jantung tidak dapat terisi dalam jumlah yang tepat saat periode
Jantung memompa darah untuk mengembalikan darah ke jantung melalui
vena ke atrium kanan lalu ke ventrikel kanan. Kemudian ventrikel kanan
memompa darah kembali ke jantung melalui paru-paru untuk diisi dengan
oksigen. Gagal jantung kanan biasanya terjadi karena efek gagal jantung kiri.
Ketika terjadi gagal jantung kiri, tekanan cairan meningkat, dan hasilnya, kembali
ke paru, yang pada akhirnya mengganggu bagian kiri jantung. Ketika bagian
kanan jantung kehilangan kemampuan untuk memompa, darah kembali ke
pembuluh darah tubuh dan biasanya menyebabkan pembengkakan pada
pergelangan kaki (AHA, 2014). Gabungan kedua gagal jantung ini disebut gagal
jantung kongestif, dimana kedua bagian jantung gagal memompa dengan efisien
(Mutaqqin, 2009)
b. Gagal Jantung Akut dan Gagal Jantung Kronik
Gagal jantung akut terjadi dengan cepat, sehingga mekanisme kompensasi
menjadi tidak efektif, terjadi perubahan gejala secara cepat sehingga
membutuhkan penanganan yang cepat pula. Gagal jantung akut dapat terjadi
sebagai serangan pertama gagal jantung, namun dapat pula terjadi akibat gagal
jantung kronik sebelumnya. Gambaran klinis pada gagal jantung akut yaitu
adanya kongesti paru, penurunan curah jantung, dan hipoperfusi jaringan
(Manurung, 2009). Sedangkan menurut Ghanie (2009), gagal jantung kronik
adalah sindrom klinik yang komplek disertai keluhan sesak, rasa lelah baik pada
saat istirahat maupun beraktivitas. Gagal jantung kronik berlangsung dalam waktu
relatif cukup lama dan biasanya merupakan hasil akhir dari peningkatan
jantung kronis terjadi karena hipertensi, penyakit katup, atau penyakit paru
obstruksi kronis (PPOK) (Udjianti, 2010).
c. Gagal Jantung Backward dan Gagal Jantung Forward
Menurut Udjianti (2010), gagal jantung backward terjadi akibat ventrikel
tidak mampu memompa darah keluar, sehingga darah terakumulasi dan
meningkatkan tekanan dalam ventrikel, atrium, dan sistem vena baik pada bagian
kanan maupun bagian kiri jantung. Sedangkan gagal jantung forward terjadi
akibat ketidakmampuan jantung mempertahankan curah jantung yang kemudian
menurunkan perfusi jaringan. Karena jantung merupakan sistem jaringan tertutup,
gagal jantung backward dan gagal jantung forward selalu berhubungan satu sama
lain.
d. Gagal Jantung Low-output dan Gagal Jantung High-output
Udjianti (2010) juga mengemukakan bahwa gagal jantung low-output
terjadi jika jantung gagal sebagai pompa, yang mengakibatkan gangguan sirkulasi
perifer dan vasokonstriksi perifer sehingga curah jantung menjadi di bawah
normal. Bila curah jantung tetap normal atau di atas normal namun tidak dapat
mencukupi kebutuhan metabolik tubuh, maka terjadi gagal jantung high-output.
e. Klasifikasi menurut American College of Cardiology dan American Heart Association
American College of Cardiology dan American Heart Association telah
mempublikasikan klasifikasi baru mengenai evolusi dan progresi gagal jantung..
1. Stadium A
Pasien dengan risiko tinggi gagal jantung namun tanpa kelainan struktur
jantung
2. Stadium B
Pasien dengan kelainan struktur jantung namun tidak pernah menunjukkan
gejala gagal jantung.
3. Stadium C
Pasien dengan kelainan struktur jantung dan mengalami atau pernah
mengalami gejala gagal jantung sebelumnya.
4. Stadium D
Pasien dengan stadium akhir yang sulit disembuhkan dengan pengobatan
standar dan membutuhkan intervensi khusus (Handler & Coghlan, 2009)
2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang dapat diamati pada pasien gagal jantung dapat
dilihat dari aspek respirasi, hemodinamika, renal, abdomen, dan ekstremitas.
2.5.1 Respirasi
Dari aspek respirasi dapat dilihat dengan adanya kongesti vaskular
pulmonal yang ditandai oleh dispnea, ortopnea, dispnea nokturnal paroksimal
(DNP), batuk, dan edema pulmonal.
a. Dispnea
Dispnea dikarakteristikkan sebagai pernapasan cepat, dangkal, dan keadaan
pasien mengeluh adanya insomnia, gelisah, kelemahan yang disebabkan
dispnea.
b. Ortopnea
Ortopnea merupakan ketidakmampuan berbaring datar karena dispnea. Pasien
hanya dapat berbaring dengan posisi kepala jauh lebih tinggi. Namun kondisi
ini harus dikaji lebih teliti karena bisa saja pasien memang memiliki kebiasaan
tidur dengan posisi kepala yang tinggi, sehingga hal ini bukan termasuk gejala
dari gagal jantung.
c. Dispnea nokturnal paroksimal (DNP)
Keluhan ini yaitu terbangun di tengah malam karena mengalami napas pendek
yang hebat. Dispnea nokturnal paroksimal diduga disebabkan oleh perpindahan
cairan dari jaringan ke dalam kompartemen intravaskular akibat posisi
telentang. Pada saat pasien melakukan kegiatan di siang hari, tekanan
hidrostatik vena meningkat, khususnya pada bagian bawah akibat gravitasi,
peningkatan volume cairan, dan peningkatan tonus simpatis. Karena
peningkatan tekanan hidrostatik ini, sejumlah cairan keluar masuk ke jaringan
secara normal. Namun dengan posisi telentang, tekanan pada kapiler-kapiler
menurun dan cairan diserap kembali ke dalam sirkulasi. Peningkatan cairan
pada sirlukasi akan mengakibatkan penambahan jumlah darah yang masuk ke
jantung untuk dipompa tiap menit (peningkatan beban awal).
d. Batuk
Gejala ini sering tidak menjadi perhatian pada dari kongesti vaskular pulmonal,
dapat produktif tetapi biasanya kering dan pendek. Gejala ini dihubungkan
dengan kongesti mukosa bronkial dan berhubungan dengan peningkatan
produksi mukus.
e. Edema pulmonal
Edema pulmonal merupakan gambaran klinis yang paling bervariasi dari
kongesti vaskular pulmonal. Edema pulmonal akut terjadi bila tekanan kapiler
pulmonal melebihi tekanan yang cenderung mempertahankan cairan di dalam
saluran vaskular (kurang lebih 30 mmHg). Pada tekanan ini, akan terjadi
transduksi cairan ke dalam alveoli, namun sebalikya, tekanan ini akan
menurunkan tersedianya area untuk transpor normal oksigen dan karbon
dioksida dari darah dalam kapiler pulmonal. Edema pulmonal akut dicirikan
dispnea hebat, batuk, ortopnea, ansietas, sianosis, berkeringat, kelainan bunyi
pernapasan, nyeri dada yang sering, sputum berwarna merah muda, berbusa
yang keluar dari mulut
2.5.2 Hemodinamika
a. Penurunan tekanan darah perifer
Gejala ini ditandai dengan melemahnya denyut nadi perifer. Menurunnya
tekanan darah disebabkan penurunan volume sekuncup. Sedangkan hipotensi
sistolik ditemukan pada gagal jantung yang lebih berat.
b. Bunyi jantung tambahan
Pada jantung normal, hanya ada bunyi jantung pertama (S1) dan kedua (S2).
Namun pada pasien gagal jantung, tanda fisik dapat dengan mudah dikenali
ketiga (S3) atau gallop ventrikel merupakan tanda penting dari gagal ventrikel
kiri dan sering tidak ditemukan bila tidak terdapat penyakit jantung yang
signifikan. Kebanyakan dokter setuju bahwa tindakan intervensi terhadap gagal
jantung diindikasikan dengan adanya tanda ini. Bunyi jantung ketiga (S3)
terdengar pada awal sistolik setelah bunyi jantung kedua (S2) dan berkaitan
dengan periode pengisian ventrikel pasif dengan cepat. Bunyi ini terdengar
paling baik dengan bell stetoskop yang diletakkan tepat di apeks, akan lebih
baik dengan posisi pasien berbaring miring kiri, dan pada akhir ekspirasi.
Sedangkan bunyi jantung keempat (S4) atau gallop atrium dihubungkan
dengan mengikuti kontraksi atrium dan terdengar paling baik dengan bell
stetoskop yang ditempelkan tepat pada apeks jantung. Pasien diminta berbaring
miring ke kiri. Bunyi jantung keempat (S4) ini terdengar sebelum bunyi
jantung pertama (S1) dan tidak selalu merupakan tanda pasti kegagalan
jantung, tetapi dapat menunjukkan adanya peningkatan kekakuan miokardium.
Hal ini dapat dijadikan indikasi awal kegagalan jantung. Bunyi S4 umumnya
ditemukan pada pasien dengan infark miokard akut dan mungkin tidak
memiliki prognosis bermakna, tetapi dapat menunjukkan kegagalan yang baru
terjadi.
c. Crackles
Crackles atau ronkhi basah halus secara umum terdengar pada dasar posterior
paru dan sering dikenali sebagai bukti gagal ventrikel kiri. Pada saat
pemeriksaan pasien diintruksikan untuk batuk dalam yang bertujuan membuka
diafragma. Jika crackles tidak menghilang setelah batuk, maka perlu dilakukan
evaluasi adanya bunyi S3 pada apeks untuk menegakkan diagnosis gagal
jantung.
d. Peningkatan vena jugularis
Peningkatan vena jugularis dapat dievaluasi dengan melihat pada vena-vena di
leher. Pasien diinstruksikan untuk berbaring di tempat tidur dan kepala tempat
tidur ditinggikan antara 30 sampai 60 derajat, sehingga kolom darah di
vena-vena jugularis eksternal akan meningkat. Pada orang normal, hanya beberapa
milimeter di atas batas klavikula. Namun pada pasien gagal ventrikel kanan
akan tampak sangat jelas dan berkisar antara 1 sampai 2 cm. Peningkatan vena
jugularis terjadi dengan mekanisme sebagai berikut. Bila ventrikel kanan tidak
mampu berkompensasi terhadap kegagalan ventrikel kiri, akan terjadi dilatasi
dari ruang ventrikel, peningkatan volume, dan tekanan pada diastolik akhir
ventrikel kanan, tahanan untuk mengisi ventrikel, dan peningkatan lanjut pada
tekanan atrium kanan. Peningkatan tekanan ini akan diteruskan ke hulu vena
kava dan kemudian dapat diketahui dengan peningkatan vena jugularis.
e. Kulit dingin
Kulit yang terasa dingin disebabkan oleh kegagalan pada ventrikel kiri yang
menimbulkan tanda-tanda yang menunjukkan berkurangnya perfusi ke
organ-organ. Karena darah dialirkan ke organ-organ vital terlebih dahulu seperti
jantung dan otak untuk mempertahankan perfusinya, maka manifestasi lanjut
dari kegagalan ventrikel ini adalah berkurangnya perfusi ke jaringan lain
pembuluh darah perifer mengalami vasokonstriksi dan kadar hemoglobin yang
tereduksi meningkat sehingga akan terjadi sianosis.
2.5.3 Renal
Perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung oleh karena penurunan
volume intravaskular dan atau penurunan curah jantung. Penurunan fraksi ejeksi
ataupun hipertropi ventrikel kiri saja sebelum munculnya gejala klinis disfungsi
ventrikel (gagal jantung) sudah menyebabkan terganggunya aliran darah ginjal
dan aktivasi renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS) yang dapat
meningkatkan kadar cystatin C sebagai petanda dini gangguan fungsi ginjal
(Sarraf, et.al, 2009). Pada gagal jantung yang berat, terjadi pelepasan
neurohormon vasokontriktor dan penyebab retensi sodium dan air seperti
angiotensin II, norepineprin, endothelin, adenosin dan arginin vasopressin.
Namun terjadi juga pelepasan hormon vasodilator dan natriuresis seperti
natriuretic peptide, prostaglandin, bradikinin, dan nitrik oksida sebagai efek
penyeimbang. Ketidakseimbangan kedua kedua kelompok hormon inilah yang
memiliki peranan penting untuk terjadinya perburukan fungsi ginjal dan retensi
natrium pada gagal jantung (Carbajal, 2003)
2.5.4 Abdomen
a. Hepatomegali
Hepatomegali atau pembesaran hepar terjadi akibat pembesaran vena di hepar.
Bila bagian kanan atas abdomen ditekan akan terasa nyeri. Bila proses ini
berkembang, maka tekanan dalam pembuluh portal meningkat sehingga cairan
disebut asites. Penumpukan cairan dalam rongga abdomen ini dapat
menyebabkan tekanan pada diafragma sehingga pasien dapat mengalami
distres pernapasan.
b. Anoreksia
Hilangnya selera makan atau anoreksia dan mual dapat terjadi akibat
pembesaran vena di dalam rongga abdomen.
2.5.5 Ektremitas
a. Edema
Edema sering ditemukan bila gagal ventrikel kanan telah terjadi sehingga
sering pula dipertimbangkan sebagai tanda gagal jantung. Bila edema tampak
dan berhubungan dengan kegagalan ventrikel kanan, ini tergantung pada
lokasi. Bila pasien berdiri atau bangun, edema akan ditemukan secara primer
pada pergelangan kaki dan akan terus berlanjut ke bagian atas tungkai bila
kegagalan makin buruk. Bila pasien berbaring, bagian tubuh yang tergantung
adalah area sakrum sehingga edema harus diperhatikan pada daerah tersebut.
Manifestasi klinis gagal ventrikel kanan yang tampak adalah edema
ekstremitas bawah, yang biasanya merupakan pitting edema. Pitting edema
merupakan cara pemeriksaan edema di mana edema akan tetap cekung setelah
penekanan ringan dengan ujung jari dan akan jelas terlihat setelah terjadi
retensi cairan minimal sebanyak 4,5 kg. Edema dimulai pada kaki dan tumit
yang secara bertahap akan meningkat hingga ke bagian tungkai dan paha dan
b. Mudah Lelah
Pasien dengan gagal jantung akan cepat merasa lelah, hal ini terjadi akibat
curah jantung yang berkurang sehingga menghambat sirkulasi normal dan
suplai oksigen ke jaringan serta pembuangan sisa hasil metabolisme. Kelelahan
ini juga terjadi karena meningkatnya energi yang digunakan untuk bernapas
dan insomnia yang terjadi akibat distres pernapasan dan batuk. Selain itu,
kelelahan juga terjadi akibat perfusi yang kurang pada otot-otot rangka. Gejala
ini dapat dipicu oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit atau anoreksia.
2.6 Epidemiologi
2.6.1 Distribusi Frekuensi a. Menurut Orang
Gagal jantung umumnya terjadi pada orang dewasa. Menurut data AHA
(2015), di Amerika Serikat prevalensi penderita gagal jantung pada tahun 2012
sebanyak 5,7 per 100.000 orang pada usia ≥20 tahun dengan jumlah penderita
terbanyak pada usia 80 tahun ke atas. Sedangkan di Inggris, berdasarkan data
BHF (2014), pada tahun 2012-2013, jumlah penderita gagal jantung tertinggi
pada usia 75 tahun ke atas.
Sedangkan menurut jenis kelamin, berdasarkan data AHA (2015), di
Amerika Serikat jumlah penderita laki-laki sebanyak 2,7 per 100.000 orang dan
perempuan sebanyak 3 per 100.000 orang. Berdasarkan penelitian Afina (2012)
di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, penderita gagal jantung
dengan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki yaitu 65,6% dan perempuan
b. Menurut Tempat
Penderita gagal jantung tersebar di berbagai negara, namun jumlahnya
cenderung lebih tinggi pada negara maju dan negara berkembang. Hal ini
disebabkan pola hidup di negara maju dan negara berkembang cenderung lebih
konsumtif dan kurangnya aktivitas fisik. Di negara maju seperti Amerika Serikat,
sekitar 5,1 juta orang menderita gagal jantung dan sekitar setengah dari jumlah
penderita gagal jantung meninggal dalam waktu 5 tahun setelah didiagnosis (Go,
et.al., 2013). Sedangkan di negara berkembang seperti di Indonesia, gagal jantung
menjadi satu dari sepuluh peringkat besar penyakit tidak menular penyebab rawat
inap di rumah sakit pada tahun 2009 dengan proporsi 2,52% (SIRS, 2010–2011).
c. Menurut Waktu
Jumlah penderita gagal jantung dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Hasil penelitian yang dilakukan Pakpahan (2012) di RSU Herna
Medan diketahui bahwa jumlah penderita gagal jantung yang dirawat inap tahun
2009 adalah sebanyak 97 orang dan pada tahun 2010 sebanyak 75 orang.
2.6.2 Determinan a. Umur
Gagal jantung dapat terjadi pada orang dengan berbagai usia. Namun
pada umumnya semakin tua usia seseorang, maka semakin rentan terserang
berbagai penyakit, termasuk gagal jantung. Hal ini terjadi karena kemampuan
tubuh, termasuk otot jantung dan pembuluh darah semakin menurun sehingga
kemungkinan untuk menderita gagal jantung meningkat. Menurut penelitian
proporsi penderita gagal jantung pada kelompok umur ≥ 40 tahun sebesar 96,5%
dan pada kelompok umur < 40 tahun sebesar 3,5%.
b. Jenis Kelamin
Pria memiliki risiko lebih besar terkena gagal jantung daripada wanita
yang belum menopause. Namun, setelah masa menopause, wanita cenderung lebih
rentan daripada pria karena kemampuan tubuh untuk memproduksi estrogen
menurun (World Heart Federation, 2015). Wanita yang menopausenya cepat, baik
secara alami maupun karena histerektomi, dua kali lebih berisiko menderita gagal
jantung daripada wanita dengan usia yang sama namun belum memasuki masa
menopause (National Institutes of Health, 2014). Berdasarkan penelitian Afina
(2012) di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, penderita gagal
jantung dengan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki yaitu 65,6% dan
perempuan sebanyak 34,4%.
c. Merokok dan Konsumsi Alkohol
Menurut AHA (2015), merokok merupakan faktor risiko utama dalam
kejadian penyakit kardiovaskular. McGowen (2001) menyatakan bahwa merokok
dapat mempercepat denyut jantung, merendahkan kemampuan jantung dalam
membawa dan mengirimkan oksigen, menurunkan level HDL-C (kolesterol baik)
di dalam darah, serta menyebabkan pengaktifan platelet, yaitu sel-sel
penggumpalan darah. Pengumpalan cenderung terjadi pada arteri jantung,
terutama jika sudah ada endapan kolesterol di dalam arteri. Sedangkan menurut
WHO (2010), merokok diperkirakan menyebabkan 71% kanker paru, 42%
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal
jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol mengubah
keseimbangan cairan, memperburuk hipertensi, dan mempresipitasi aritmia.
Konsumsi alkohol yang berlebihan juga dapat menyebabkan kardiomiopati
dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung
2% sampai 3% dari kasus (AHA, 2014).
d. Kurang Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik dapat menurunkan tonus saraf simpatik, mendorong
penurunan berat badan, dan meningkatkan metabolisme tubuh sehingga peredaran
darah menjadi lebih lancar (AHA, 2014). Orang-orang yang kurang aktivitas fisik
memiliki risiko 20% sampai 30% lebih tinggi untuk mengalami penyakit.
Aktivitas fisik yang rutin dapat mengurangi risiko terkena penyakit
kardiovaskular, diabetes, kanker payudara, kanker kolon, dan depresi (WHO,
2010). American Heart Association (2008) merekomendasikan anak-anak
melakukan aktivitas fisik minimal 60 menit perhari (termasuk aerobik, dan
penguatan tulang dan otot). Sedangkan bagi orang dewasa dianjurkan minimal
150 menit untuk aktivitas sedang dan 75 menit untuk aktivitas berat.
e. Diet Tidak Sehat
Konsumsi garam yang tinggi merupakan determinan penting dalam
peningkatan risiko hipertensi dan penyakit kardiovaskular lainnya. Restriksi
natrium yang tinggi mengakibatkan ginjal bekerja lebih keras yang pada akhirnya
berpengaruh pada kerja jantung. Para ahli menganjurkan untuk membatasi asupan
Konsumsi lemak jenuh dan asam lemak jenuh juga berkaitan dengan
penyakit jantung. Konsumsi buah dan sayuran yang cukup dapat mengurangi
risiko penyakit kardiovaskular, kanker lambung, dan kanker kolorektal.
Membatasi konsumsi makanan yang mengandung kadar garam, kolesterol dapat
mengurangi risiko aterosklerosis dan restriksi natrium yang merupakan pemicu
gagal jantung (Gray, dkk. 2005)
Sedangkan konsumsi kafein memiliki banyak efek bagi metabolisme
tubuh, seperti menstimulasi sistem saraf pusat, mengeluarkan asam lemak jenuh
dari jaringan adiposa, meningkatkan urinasi, yang dapat memicu dehidrasi.
Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi kafein dan
penyakit jantung koroner (AHA, 2014).
f. Hipertensi
Ketika tekanan dalam pembuluh darah terlalu tinggi, jantung harus
memompa lebih kuat dari keadaan normal agar sirkulasi darah tetap stabil. Hal ini
menjadi beban bagi jantung dan menyebabkan ruang-ruang jantung menjadi
semakin lebar dan lemah (AHA, 2014). Menurut penelitian Waty (2012) di
Rumah Sakit Haji Adam Malik pada tahun 2011, sebanyak 66,5% pasien gagal
jantung memiliki riwayat hipertensi.
g. Penyakit Jantung Koroner
Ketika kolesterol dan lemak menumpuk di arteri, darah yang sampai ke
otot jantung menjadi berkurang, yang disebut aterosklerosis. Hal ini
mengakibatkan nyeri dada (angina), jika aliran darah terhambat sama sekali akan
dalam peningkatan tekanan darah yang dapat memicu gagal jantung.
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita
penyakit gagal jantung. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit jantung koroner
selama 7-8 tahun akan menderita penyakit gagal jantung (Hellerman, 2003). Pada
negara maju, sekitar 60-75% pasien penyakit jantung koroner menderita gagal
jantung (Mann, 2008). Bahkan dua pertiga pasien yang mengalami disfungsi
sistolik ventrikel kiri disebabkan oleh penyakit jantung koroner (Doughty dan
White, 2007).
h. Infark Miokard
Serangan jantung terjadi saat arteri yang mensuplai darah ke otot jantung
terhambat. Kekurangan oksigen dan nutrisi dapat merusak jaringan otot jantung.
Jaringan yang rusak ini tidak dapat berkontraksi dengan baik sehingga
mengurangi kemampuan jantung untuk memompa darah.
i. Kelainan Katup Jantung
Kelainan katup jantung dapat diakibatkan oleh penyakit, infeksi
(endokarditis), atau cacat lahir. Ketika katup tidak dapat membuka atau menutup
dengan baik saat jantung berdenyut, otot jantung harus memompa lebih kuat agar
darah tetap mengalir. Jika kerja jantung terlalu berat, terjadilah gagal jantung
(AHA, 2014)
j. Kardiomiopati
Beberapa hal yang dapat merusak otot jantung, seperti efek samping obat
dan penggunaan alkohol, infeksi virus, maupun alasan lain dapat meningkatkan
dimana otot jantung menjadi melebar, menebal, atau kaku. Pada beberapa kasus,
jaringan otot jantung berubah menjadi jaringan parut. Kardiomiopati terdiri dari
beberapa jenis, diantaranya ialah dilated cardiomiopathy yang merupakan salah
satu penyebab tersering terjadinya gagal jantung. Dilated cardiomiopathy berupa
dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini
disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan peningkatan ukuran dan
penambahan jaringan fibrosis (Lip, Gibbs, dan Beevers, 2000).
Jenis kardiomiopati lainnya yaitu hipertrophic cardiomiopathy yang
bersifat herediter. Karakteristik dari jenis ini ialah abnormalitas pada serabut otot
miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga menyebabkan hipertrofi
septum. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta (aortic outflow). Kondisi
ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk, peningkatan tekanan
diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel. Kardiomiopati jenis lain, yaitu
restrictive and obliterative cardiomiopathy. Karakteristik dari jenis ini ialah
berupa kekakuan ventrikel dan komplians yang buruk, tidak ditemukan adanya
pembesaran dari jantung. Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi
saat diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari normalm (Scoote,
Purcell, dan Wilson, 2005).
Ketika kardiomiopati semakin buruk, jantung semakin lemah.
Kemampuan jantung memompa darah ke seluruh tubuh dan mempertahankan
irama jantung pada kondisi normal menurun. Hal ini memicu terjadinya gagal
jantung atau denyut jantung yang tidak teratur yang disebut aritmia. Akibatnya
k. Lain-lain
Pada orang yang memiliki kelainan jantung bawaan, jantung dan
ruang-ruangnya tidak terbentuk dengan sempurna, bagian jantung yang sehat harus
bekerja lebih keras untuk menutupi kekurangannya. Gagal jantung juga rentan
pada orang dengan penyakit paru berat, karena jantung harus bekerja lebih keras
karena tubuh tidak mendapat oksigen yang cukup akibat paru tidak bekerja
dengan optimal. Sedangkan orang dengan diabetes cenderung mengalami
hipertensi dan aterosklerosis karena kadar lemak yang meningkat di dalam darah.
Diabetes juga menyebabkan mekanisme perubahan struktur dan fungsi
miokardium yang menyebabkan kerja miokard yang sehat semakin berat sehingga
berakhir pada gagal jantung. Demikian pula pada penderita obesitas, peningkatan
kolesterol meningkatkan risiko penyakit jantung koroner yang pada akhirnya
menyebabkan gagal jantung.
2.7 Penyakit Penyerta
Gagal jantung seringkali tidak berdiri sendiri melainkan disertai dengan
kondisi patologi lain yang prosesnya terjadi bersamaan (komorbid/penyakit
penyerta). Dalam kaitannya dengan gagal jantung, komorbid ini diartikan sebagai
keadaan, di luar penyakit penyebab, yang mencakup faktor pencetus, faktor
pemberat, dan komplikasi yang ketiganya harus dikelola dengan baik agar tidak
memperburuk gagal jantung yang terjadi. Pada pasien usia lanjut, sering
ditemukan lebih banyak komorbid, akibat dari kegagalan multi-organ,
dibandingkan pasien usia dewasa. Namun demikian, distribusi setiap komorbid ini
antara tanda dan gejala proses menua dengan penyakit kardiovaskular serta
banyaknya komorbid pada penderita usia lanjut sering menyulitkan dokter untuk
melakukan diagnosa dan memberikan penanganan pada penyakit kardiovaskular
ini. Hal yang sangat disayangkan, komorbiditas yang terjadi pada kasus gagal
jantung seringkali diabaikan oleh para praktisi klinis sehingga berakibat fatal bagi
pasien (Gani, 2006).
Menurut penelitian Dewi (2007), jumlah penderita gagal jantung yang
dirawat di Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang pada tahun 2006 yang disertai
komorbid sebanyak 64 orang dari 72 penderita (88,9%). Komorbid yang banyak
terjadi di kelompok usia lanjut adalah hipertensi, diabetes mellitus, pneumo