• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batasan Usia Minimal Nikah Di Negara Muslim (Studi Perbandingan Negara Indonesia, Turki, Dan Maroko)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Batasan Usia Minimal Nikah Di Negara Muslim (Studi Perbandingan Negara Indonesia, Turki, Dan Maroko)"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

i

Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

CEPI JAYA PERMANA

NIM. 1112044100075

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ii

AN PANITIA UJIAN

(3)

iii

(Studi Perbandingan Negara Indonesia, Turki, dan Maroko)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

CEPI JAYA PERMANA

NIM 1112044100075

Pembimbing

Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar, MSPD

NIP: 19481020 196612 1 001

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

iv Nama : Cepi Jaya Permana

NIM : 1112044100075

Fakultas : Syariah dan Hukum Program Studi : Hukum Keluarga

Menyatakan dengan sesungguhnya dan sejujurnya, bahwa skripsi saya yang berjudul: ”BATASAN USIA MINIMAL NIKAH DI NEGARA MUSLIM (Studi Perbandingan Negara Indonesia, Turki, dan Maroko)” adalah asli hasil penelitian saya sendiri dan bukan plagiasi hasil karya orang lain.

(5)

v

Ahwal Al-Syakhiyyah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016 M/ 1348 H. viii + 94

Persoalan batas usia pernikahan sejatinya menjadi perhatian khusus bagi kita umat muslim di Indonesia, dan umumnya umat Islam di negara lain. Pentingnya mempersiapkan kematangan badan dan jiwa dalam membangun bahtera rumah tangga menuju keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah tidak terlepas dari kematangan umur seseorang yang hendak melangsungkan ikatan perkawinan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur‟an maupun di perjelas oleh Sabda Rasulullah SAW yang tertuang dalam berbagai riwayat Hadist tentang anjuran menikah bagi seseorang yang telah memenuhi usia baligh.

Tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mengetahui perbedaan batas usia pernikahan di Indonesia, Turki, dan Maroko, serta faktor yang melatarbelakangi perbedaan tersebut. Disamping itu, sebagai penambah wawasan khasanah ilmu pengetahuan terkait masalah batas usia pernikahan di Dunia Islam Kontemporer, terutama sebagai pembanding negara Indonesia yaitu Turki dan Maroko. Terkait metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Penelitian Kualitatif, dengan jenis Penelitian Kepustakaan, dan dengan menggunakan pendekatan metode Analisis Perbandingan. Tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah: Data Primer yang diambil dari Al-Qur‟an, Kitab-kitab Fikih, dan UU, dan data sekunder yaitu berasal dari Buku Referensi terkait, Jurnal, Karya Ilmiah, dan Hasil Penelitian Terdahulu. Kemudian data tersebut dianalisis dengan metode analisis perbandingan.

Hasil dari kajian penulis menunjukan bahwa, batas usia pernikahan di Indonesia, Turki, dan Maroko memiliki barometer yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan setiap negara memiliki tuntutan dan kebutuhan yang berbeda seiring berkembangnya zaman. Namun, dari polemik yang ada menyangkut batas usia perkawinan setiap negara memiliki cara masing-masing dalam menyikapinya, dari mulai memberlakukan peraturan yang bersifat baku hingga bersifat fleksibel. Kata Kunci : Batasan Usia Minimal Nikah di Negara Muslim (Perbandingan

(6)

vi

Puji syukur kehadirat Illahi Robbi Allah S.W.T Tuhan semesta alam. Yang mana telah memberikan nikmatnya tidak ada batasan. Tidak ada kuasa dan kehendak melainkan hanya Allah yang mampu menggerakan semua mahluk. Dan tidak ada kata untuk_Nya melainkan hanya puji dan rasa syukur kita kepada Allah sebagai bentuk pengabdian kita sebagai mahluk, oleh karena nya kita tidak pantas untuk tidak mematuhi segala apa yang di perintahkan_Nya, serta sebisa mungkin untuk menjauhi apa yang menjadi larangan_Nya. Kepadanya pula hamba memohon pertolongan dan perlindungan, sehingga dalam penulisan karya tulis ilmiah ini dapat di selesaikan dengan baik.

Sholawat serta salam tak luput kita panjatkan kepada junjungan alam, Ashabu Syafa‟at, yang mana dalam kehidupannya selalu membawa kedamaian bagi umat manusia karena sikap yang baik namun tegas jika ada kemaksiatan. Semoga sholawat serta salamnya dapat mengantarkan hamba menuju gerbang Pengadilan yang sesungguhnya.

Tidak lupa juga, penulis sampaikan rasa terimakasih kepada orang-orang yang turut membantu serta mendoakan penulis dalam penulisan skripsi ini, kepada yang terhormat :

1. Ucapan terimakasih yang mendalam kepada kedua orang tua tercinta, ibunda Hj. Umiasih dan ayahanda H. Mahrod Makbuloh yang selalu memberikan nasihat, motivasi, serta doanya dengan tulus. Semoga apa yang telah beliau berikan di balas oleh Allah S.W.T yang jauh lebih baik dan perlindungan semoga selalu dihaturkan untuk beliau berdua;

2. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga, Bapak Arip Furqon, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga;

4. Prof. Dr. H. M. Atho‟ Muzdhar, MSPD sebagai dosen pembimbing, semoga apa yang telah bapak berikan bermanfaat bagi penulis dan dibalas dengan kebaikan yang berlipat;

5. Sri Hidayati, M.Ag, Dosen Penasehat Akademik, Dr. Azizah, M.A, Dosen Pembimbing Kuliah Kerja Nyata (KKN)

6. Staf Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memfasilitasi guna mencari referensi-referensi dalam penulisan skripsi;

(7)

vii

dkk kelas Peradilan Agama B angkatan 2012, yang selalu memberikan bantuan dan motivasi, semoga sukses selalu;

9. Teman-teman KKN MISAKI yang telah saling memberikan motivasi dan dukungan: Miqdad, Izhar, Adit, Raka, Arif, Luhtfi, Wisnu, Ihsan, Evia, Icha, Hanifah, Rere, Ocha, Puty dan dede.

10.Para Senior dan teman-teman Keluarga Besar Islamic Family Law, Peradilan Agama (PA) yang memberikan saran dan motivasi dalam penulisan skripsi; 11.Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Kepala Sekolah, rekan guru,

staff tata usaha dan laksana, serta murid SMA Negeri 2 Gunung Putri yang selalu memberikan support.

12.Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan kepada penulis baik secara moral dan materiil.

Akhirnya, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatunya, semoga do‟a dan harapan kita semua dapat dikabulkan oleh Allah SWT, Aamiin Allahuma Amiin..

Ciputat, 1 September 2016 Penulis

(8)

viii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Perumusan Masalah ... 4

D. Pembatasan Masalah ... 5

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

F. Signifikansi Penelitian ... 6

G. Metodelogi Penelitian ... 6

H. Kajian (Review) Studi Terdahulu ... 9

I. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : BATAS USIA MINIMAL KAWIN DALAM KITAB-KITAB FIKIH A. Pengertian Usia Kawin dalam Fiqih ... 12

B. Batas Usia Minimal Kawin Menurut Pandangan Imam Madzhab ... 15

BAB III : SEJARAH PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA DI NEGARA INDONESIA, TURKI, DAN MAROKO A. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia ... 23

(9)

ix

2. Pembentukan Hukum Keluarga Islam Turki ... 36

C. Sejarah Hukum Keluarga di Maroko... 45

1. Sejarah Islam Negara Maroko ... 45

2. Pembentukan Hukum Keluarga Islam Maroko ... 48

BAB IV : ANALISIS PERBANDINGAN VERTIKAL DAN HORIZONTAL BATASAN USIA MINIMAL KAWIN DI INDONESIA, TURKI, DAN MAROKO A. Perbandingan Vertikal... 52

- Aturan Hukum di Negara Indonesia, Turki, dan Maroko dengan Kitab Fikih ... 52

B. Perbandingan Horizontal ... 63

- Perbandingan Aturan Hukum antara Negara Indonesia, Turki, dan Maroko ... 63

C. Analisis Perbandingan ... 80

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 86

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tahir Mahmood membagi penerapan hukum keluarga pada negara-negara (berpenduduk) Muslim menjadi tiga bentuk: pertama negara-negara yang menerapkan hukum keluarga secara tradisional yang banyak terdapat di teritorial jazirah Arab dan beberapa negara Afrika yaitu Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali, Mauritania, Nigeria, Sinegal, Somalia dan lain-lain. Kedua yaitu negara yang menerapkan hukum sekularis, dalam kategori ini seperti halnya negara Turki, Albania, Tanzania, minoritas Muslim Philipina dan Uni Soviet. Negara ini berpenduduk mayoritas Muslim, tetapi mengganti hukum keluarga dengan hukum yang bersumber dari Eropa (Turki dan Swiss), atau negara dengan penduduk minoritas Muslim tapi harus tunduk pada aturan hukum negaranya. Ketiga adalah negara yang menerapkan hukum keluarga yang di perbaharui seperti Indonesia, Jordania, Malaysia, Brunei, Singapore, dan lain-lain.1

Turki dan Indonesia merupakan dua negara yang secara geografis terletak di benua yang sama. Namun Muslim Turki bermadzhab Hanafi, sedangkan Muslim Indonesia bermadzhab Syafi’i. Turki berada di benua Asia bagian Barat sedangkan Indonesia berada di benua Asia Tenggara. Berbeda halnya dengan Turki dan Indonesia yang terletak di benua yang

1

(11)

sama, Maroko adalah sebuah negara kerajaan yang terletak di bagian barat-laut Afrika. Penduduk asli Maroko adalah Berber, yaitu masyarakat kulit putih dari Afrika Utara. Mereka penganut agama Islam bermadzhab Maliki. Bahasa yang di miliki dan yang menjadi bahasa kebudayaan mereka yaitu bahasa Arab.1

Berdasarkan data sensus pertengahan tahun 1991, jumlah penduduk Maroko adalah sekitar 27 juta jiwa dan lebih dari 99% adalah Muslim Sunni. Penganut agama Yahudi hanya kira-kira berjumlah kurang dari 8000 orang yang sebagian besar bertempat di Casablanca dan kota-kota di pesisir.2 Adapun Indonesia merupakan negara mayoritas Muslim yang menganut madzhab Syafi’i. Dalam konstitusi demikian menarik

untuk di kaji adalah dalam pembentukan UU atau hukum keluarga islam ketiga negara tersebut, khususnya dalam mengatur batasan usia perkawinan dan implikasinya terhadap masalah dispensasi nikah.

Tahir Mahmood menjelaskan bahwa dalam Undang-undang Turki umur minimal seseorang yang hendak melangsungkan pernikahan adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.3Dalam kasus tertentu pengadilan dapat mengijinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan. Hal ini menjadi unik karena patokan umur tetap menjadi hal utama, berbeda dengan negara Islam atau

1

Cammak, Mark. ”Hukum Islam dalam Politik Hukum Orde Baru” dalam Sudirman

Tebba (editor), Perkembangan Hukum Islam di Asia Tenggara Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, (Bandung: Mizan, 1993), h. 27-54.

2M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern dan Kitab-Kitab Fikih, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.97.

3

(12)

mayoritas Muslim lainnya dimana dengan putusan pengadilan dapat memberikan dispensasi nikah dengan syarat keutamaan telah memasuki masa baligh bagi kedua calon mempelai sebagaimana dalam fikih.1

Indonesia termasuk negara yang cukup menoleransi perkawinan muda. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan negara-negara lain dalam pembatasan usia nikah. Negara yang menerapkan usia 21 bagi laki-laki adalah Aljazair dan Bangladesh, serta 18 tahun bagi perempuan. Sementara Tunisia sama dengan Indonesia 19 tahun bagi laki-laki, hanya saja Tunisia membatasi 17 tahun untuk perempuan. Yang cukup banyak adalah usia 18 tahun bagi laki-laki, yaitu Mesir, Irak, Lebanon, libya, Maroko, Pakistan, Somalia, Yaman Selatan dan Suriah. Sisanya adalah di bawah 18 tahun, yakni Turki yang mematok umur 17 tahun untuk laki-laki, Yordania 17 tahun, dan yang paling rendah adalah Yaman Utara 15 tahun bagi perempuan.2

Islam sejatinya tidak pernah melarang perkawinan antara orang tua dengan anak-anak. Hanya saja, perkawinan dalam Islam sendiri dimaksudkan agar tercipta ketenangan jiwa dan kebahagiaan, hal mana sepenuhnya diserahkan kepada orang tua mereka terkait dengan perempuan yang belum dewasa. Pertimbangan orang tualah yang akan menentukan arah masa depan sang anak, namun demikian, menurut al-Siba’i, al-Qulyubi pernah berpendapat bahwa boleh saja orang tua

1

Dedi, Supriyadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, (Bandung: Pustaka setia, 2011), h. 57.

2

(13)

menikahkan anaknya dengan orang tua atau orang buta, tetapi hukumnya haram.1

B. Identifikasi Masalah

Dari latarbelakang masalah diatas, penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:

1. Apakah yang mendasari perbedaan batasan usia pernikahan di negara Indonesia, Turki, dan Maroko?

2. Adakah hubungan dari perbedaan batasan usia nikah di negara Indonesia, Turki, dan Maroko?

3. Bagaimana pengaruh atau dampak penetapan batasan usia pernikahan di masing-masing negara tersebut?

C. Perumusan Masalah

Adapun yang di jadikan rumusan masalah dalam perbandingan batasan usia kawin di tiga negara tersebut di atas adalah:

1. Bagaimana persamaan dan perbedaan ketentuan batas usia minimal kawin di Negara Indonesia, Turki, Maroko dan apa dasar pertimbangan penetapan tersebut baik dari segi argumen ushul fiqih maupun sosial dan budaya?

2. Bagaimana ketentuan batas usia minimal kawin di negara Indonesia, Turki, Maroko yang mengacu atau beranjak dari pendapat madzhab-madzhab?

1

Musthafa al-Siba’i, Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan.

(14)

D. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah penelitian sehingga tidak keluar dari pembahasan, maka kajian penelitian ini hanya terbatas pada perbandingan batasan usia kawin terhadap pandangan kitab-kitab fiqih dan undang-undang di Negara Indonesia, Turki, dan Maroko.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Memberikan penjelasan kepada pembaca maupun peneliti di masa yang akan datang tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab perbedaan penetapan batasan usia nikah di negara Indonesia, Turki, dan Maroko.

b. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh madzhab terhadap penetapan usia nikah di negara Indonesia, Turki, dan Maroko. 2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Memberikan kontribusi positif terhadap wawasan keilmuan pembaca pada umumnya dan mahasiswa UIN Jakarta khususnya. b. Dengan selesainya penelitian ini, diharapkan mampu memberikan

(15)

F. Signifikansi Penelitian

Penelitian ini penting dilakukan mengingat masih banyaknya hukum-hukum di dunia Islam yang memiliki dampak kontradiktif terhadap realita sesungguhnya di masyarakat. Khususnya terhadap pembahasan penelitian yaitu mengenai batasan usia nikah dengan konsekuensi adanya dispensasi nikah bagi calon mempelai yang tidak mencukupi umur pernikahan. Setiap negara memiliki kebijakan berbeda-beda yang juga menimbulkan dampak berbeda pula terhadap kehidupan rakyatnya masing-masing, sehingga hal tersebut perlu adanya pengkajian secara mendalam demi memberikan penjelasan dengan di dasari pembuktian yang ilmiah.

G. Metodelogi Penelitian

A. Metode Penelitian Kualitatif

(16)

kesamaan sejarah antar satu negara yang mengalami hemogoni oleh penjajah.1

Pengumpulan data: kegiatan pengumpulan data selalu harus

dilakukan sendiri oleh peneliti.2 Adapun tekhnik pengumpulan data dari penelitian kepustakaan maupun historis ini diperoleh melalui Al-Qur’an dan Hadits, Kitab-kitab Fikih, Undang-undang, catatan-catatan

artifak, Journal, E-Book, Buku referensi terkait atau laporan-laporan verbal.

B. Pengumpulan Data

Penentuan metode pengumpulan data tergantung pada jenis dan sumber data yang di perlukan. Pada umumnya pengumpulan data dapat dilakukan dengan beberapa metode, baik yang bersifat alternatif maupun kumulatif yang saling melengkapi.3 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan dokumentasi yang bersifat tertulis terutama buku-buku yang terkait dengan penelitian tersebut ataupun data tertulis lainnya yang kemudian dikumpulkan dan dilakukan penelaahan terhadap naskah-naskah tersebut.

C. Sumber Data

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menyusun berdasarkan sumber data yang terbagi kedalam dua kriteria, yaitu

1

Http:///macam-macampenelitiankualitatif.Subliyanto.comdiakses pada 03 Maret 2016, 12.42.Wib

2

Arikunto Suharsimi, PROSEDUR PENELITIAN SUATU PENDEKATAN PRAKTIK,

(Jakarta: PT RINEKA CIPTS, 2006), h.13.

3

(17)

sumber hukum utama (primer) dan sumber hukum tambahan (sekunder) antara lain:

a. Bahan Hukum Primer

Dilihat dari segi sumber data, sumber data utama yang di jadikan dasar dalam penelitian ini adalah bersumber dari Kitab-Kitab Fiqih dan Undang-Undang yang di jadikan landasan undang-undang ke-3 negara terbahas yaitu Indonesia, Turki dan Maroko. b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang merupakan data tambahan.1 Sumber data sekunder yang peneliti gunakan ialah dengan melalui kajian terhadap studi kepustakaan seperti buku karya ilmiah, jurnal, serta kasus-kasus yang berkaitan yang didapat melalui sumber yang akurat.

D. Metode Analisis

Pada dasarnya analisis data merupakan penguraian data melalui tahapan: kategorisasi dan klasifikasi, perbandingan dan pencarian hubungan antara data yang spesifik. Dalam penelitian ini, pada tahap pertama yang dilakukan adalah seleksi data yang telah dikumpulkan kemudian diklasifikasikan menurut kategori tertentu. Tahap kedua, kemudian dilakukan perbandingan unsur-unsur persamaan dan perbedaan substansi bahasan yaitu: antara perbandingan vertikal (Fikih dengan Undang-undang) dan

1

(18)

perbandingan horizontal (antara Undang-undang di masing-masing negara: Indonesia, Turki, dan Maroko).

H. Kajian (Review) Studi Terdahulu

1.1 Daftar beberapa kajian terdahulu yang berkaitan dengan studi dapat disebutkan diantaranya sebagaimana terdapat dalam tabel.

No Judul Skripsi/ (Review) terdahulu

Fokus Bahasan Perbandingan yang di teliti

1 PEMBATASAN USIA KAWIN DAN

PERSETUJUAN CALON MEMPELAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Penyusun: Ramlan Yusuf Rangkuti

Batasan usia nikah dalam UU Perkawinan di Indonesia No. 1 tahun 1974 dan kaitannya dengan perwalian bagi perempuan Memberikan penjelasan secara dalam mengenai UU Perkawinan di Indonesia dan 2 negara terbahas lainnya, serta dispensasi pernikahan bagi kedua atau salah satu calon mempelai yang ingin melangsungkan pernikahan tetapi terbentur dengan batasan usia pernikahan yang ada dalam konstitusi di setiap Negara masing-masing (Indonesia, Turki dan Maroko) 2 PENETAPAN UMUR

DALAM RANGKA MENCAPAI TUJUAN PERNIKAHAN

(Perbandingan Antara UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak) Penyusun: Muhammad Rajab Hasibuan Menjelaskan idealisme sebuah pernikahan dengan pertimbangan kematangan usia antara UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak

3 BATAS USIA MINIMAL PERKAWINAN

MENURUT FIQIH EMPAT MADZHAB DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

Penyusun: Elly Surya Indah

Pandangan empat madzhab dalam memberikan pengaruh terhadap batas usia nikah serta

korelasinya dengan UU No. 1 Tahun 1974

(19)

berlaku di tiga negara terbahas yaitu Indonesia, Turki dan Maroko.

I. Sistematika Penulisan

` Agar dalam penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengambang, penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, dan setiap bab memiliki subbab yang menjadi penjelasan dari masing-masing bab tersebut. Skripsi ini diakhiri dengan kesimpulan hasil penelitian dan saran bagi pembaca. Adapun sistematika penulisan tersebut ialah sebagai berikut :

Bab pertama, menyajikan tentang pendahuluan yang merupakan

suatu pengantar umum pada tulisan berikutnya yang meliputi : latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, adalah tinjauan umum tentang batas usia perkawinan

(20)

Bab ketiga, merupakan pembahasan mengenai sejarah masuknya

Islam ke Indonesia, Turki, dan Maroko. Serta sejarah pembentukan Hukum Keluarga di setiap negara terbahas.

Bab keempat, adalah analisa penulis terhadap Penetapan batas usia

pernikahan secara Vertikal (Negara dengan Kitab Fikih). Kemudian analisa penulis tentang perbandingan batas usia pernikahan secara Horizontal (Undang-undang setiap Negara).

Bab kelima, merupakan bab penutup yang meliputi kesimpulan

(21)

BAB II

BATAS USIA MINIMAL KAWIN DALAM KITAB-KITAB FIKIH

A. Pengertian Usia Kawin dalam Fikih

Jika dilacak dengan menggunakan kata kunci nikah, maka dalam al-Qur‟an akan ditemukan ayat yang berkaitan dengan pernikahan sebanyak 23 ayat. Tapi tidak satupun ayat yang menyebutkan secara jelas tentang batas usia perkawinan, namun jika diteliti lebih lanjut, ayat yang berkaitan dengan kelayakan seseorang untuk menikah ada dua ayat dalam al-Qur‟an, yaitu surat al-Nur ayat 32 dan surat An nisa‟ ayat 61

ݕح݃ݎأݔ

ݍ݊ ڰَ ݉ݓݏغي ء۴ܕܿف ۴ݕݎݕ݃ي ݌إ ۚ ݉݃ئ۵݊إݔ ݉كܐ۵۹ع ݍ݊ ݍيح݆۵ڰص݆۴ݔ ݉݃ݏ݊ ٰى݊۵يْ۴ ۴

݉ي݇ع عس۴ݔ ڰَݔ ۗ ݑ݇ضف

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur : 32)2

Al-Maraghi sebagaimana dikutip Dedi Supriyadi dan Mustofa menafsiri wassalihin ialah para laki-laki atau perempuan yang mampu untuk menikah dan menjalankan hak-hak suami isteri, seperti berbadan sehat, mempunyai harta dan lain-lain. Quraysh Shihab menafsiri ayat

1

Supriyadi, Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009), h. 22-24.

2

(22)

tersebut “wassalihin”, yaitu seseorang yang mampu secara mental dan

spiritual untuk membina rumah tangga,3 bukan dalam arti yang taat beragama, karena fungsi perkawinan memerlukan persiapan bukan hanya materi, tetapi juga kesiapan mental maupun spiritual, baik bagi calon laki-laki maupun perempuan. Surat An nisa‟ ayat 6:

݆۴ݕ݊أ ݉ݓي݆إ ۴ݕعفܐ۵ف ۴ܑشܔ ݉ݓݏ݊ ݉ۿسݎآ ݌إف ܈۵݃ڲݏ݆۴ ۴ݕغ݇۸ ۴ܒإ ٰىڰۿح ٰى݊۵ۿي݆۴ ۴ݕ݇ۿ۸۴ݔ

َݔ ݉ݓ

يݏغ ݌۵ك ݍ݊ݔ ۴ݔܕ۹݃ي ݌أ ۴ܔ۴ܑ۸ݔ ۵ف۴ܕسإ ۵ݒݕ݇كأ۾

݅كأي݇ف ۴ܕيܿف ݌۵ك ݍ݊ݔ فܻعۿسي݇ف ۵

۵۹يسح ڰَ۵۸ ٰىܻكݔ ݉ݓي݇ع ۴ݔܑݓشأف ݉ݓ݆۴ݕ݊أ ݉ݓي݆إ ݉ۿعفܐ ۴ܒإف فݔܕع݋݆۵۸

:ء۵سݏ݆۴ۤ

٦

ۣ

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (diantara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”4

Dalam tafsir al-misbah, makna kata dasar rusdhan adalah ketepatan dan kelurusan jalan. Dari sini lahir kata rushd yang bagi manusia adalah kesempurnaan akal dan jiwa yang menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin.5 Al-Maraghi menafsirkan dewasa (rusdhan), sedangkan yang dimaksud balighu al-nikah ialah jika umur

3

M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, jilid IX (Jakarta: Lentera Hati, cet IV 2005) , h. 335.

4

Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, h.143. 5

(23)

telah siap untuk menikah.6 Menurut Rasyid Ridha sebagaimana dikutip Dedi Supriyadi dan Mustofa, kalimat balighu al-nikah menunjukan bahwa usia seseorang untuk nikah, yakni sampai bermimpi dan haid. Pada umur ini seseorang telah bisa memberikan keturunan dan melahirkan sehingga tergerak hatinya untuk menikah.7

Berdasarkan penafsiran kedua ayat di atas, menunjukan bahwa kedewasaan dapat ditentukan dengan mimpi dan rusdhan, akan tetapi rusdhan dan umur kadang-kadang tidak sama dan sukar ditentukan. Hal ini dapat dibuktikan dalam perbuatan sehari-hari, karena itu kedewasaan pada dasarnya dapat di tentukan dengan umur dan dapat pula dengan tanda-tanda. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ali (bin Abi Thaalib) ‟alaihis-salaam, dari Nabi shallallaahu „alaihi wasallam, beliau

bersabda :

݌ݕݏ܇݋݆۴ ݍعݔ ݉݇ۿحي ىۿح ي۹ص݆۴ ݍعݔ ظܿيۿسي ىۿح ݉ئ۵ݏ݆۴ ݍع ۻثاث ݍع ݆݉݇ܿ۴ عفܔ

݅ܿعي ىۿح

Diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang, yaitu : orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang

gila hingga berakal” [HR. Abu Dawud no. 4403 dan At-Tirmidzi no. 1423; shahih].8

Berdasarkan hadits di atas, ciri utama baligh adalah dengan tanda-tanda seperti mimpi bagi anak laki-laki, dan haid bagi perempuan. Hadits

6

Supriyadi, Dedi dan Mustofa, PerbandinganHukum Perkawinan di Dunia Islam, h. 62.

7

Supriyadi, Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, h. 63.

8

Muhammad bin Kamal Khalid As-Suyuthi, KUMPULAN HADITS YANG DISEPAKATI

(24)

ini tidak mengisyaratkan tentang batas usia baligh. Hanya menjelaskan tentang tanda-tanda baligh (alamatu al-baligh).

B. Batas Usia Minimal Kawin Menurut Pandangan Imam Madzhab

Tentang hal baligh Para Ulama Madzhab sepakat bahwa haidh dan hamil merupakan bukti ke-baligh-an seorang wanita. Hamil terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haidh kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-laki.9

Imam Maliki, Syafi’i dan Ahmad Bin Hambal mengatakan:

tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti baligh-nya seseorang, begitu juga Imamiyah. Sedangkan Imam Abu Hanifa menolaknya, sebab bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu lain yang ada pada tubuh.

Begitupula menurut Murtadha Muthahari (Ulama asal Iran) sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa masa baligh/dewasa adalah ketika bulu rambut wajah (cambang) dan dagu (jenggot) serta bulu dada pemuda mulai tumbuh. Pertumbuhan bulu rambut ini demikian juga “pecah”nya suara. Sedangkan, pada masa itu,

jari-jari perempuan memperoleh kelembutan, pinggulnya mulai membesar. Demikian juga muncul penonjolan yang jelas pada dadanya sebagai persiapan melaksanakan fungsi penyusuan anak.10

9

Muhammad Jawad Mughniyah, FIQIH LIMA MADZHAB, (Jakarta: Lentera, 2006), h.317-318.

10

(25)

Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Bin Hambal menyatakan: usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah lima belas tahun, sedangkan ImamMaliki menetapkannya tujuh belas tahun. Sementara itu

Imam Abu Hanifa menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah delapan belas tahun, sedangkan anak perempuan tujuh belas tahun.11

Adapun Imamiyah, maka madzhab ini menetapkan usia baligh anak laki-laki adalah lima belas tahun, sedangkan anak perempuan sembilan tahun, berdasarkan hadits Ibnu Sinan berikut ini:

۵ݓي݇عݔَۻ݊۵ڰۿ݆۴ܐݔܑح݆۵ۿ݋يܾأݔ۵ݒܕ݊أܖ۵جݔَ۵݊۵ݓي݆إعفܑݏسعس۾ۻيܔ۵܇݆۵ۿغ݇۸۴ܒإ

“Apabila anak perempuan telah mencapai usia sembilan tahun, maka

hartanya diserahkan kepadanya, urusannya dipandang boleh, dan hukum pidana dilakukan atas haknya dan terhadap dirinya secara penuh.”12

Pendapat Imam Abu Hanifa dalam hal usia baligh di atas adalah batas usia maksimal, sedangkan usia minimalnya adalah dua belas untuk anak laki-laki, dan sembilan tahun untuk anak perempuan. Sebab pada usia tersebut seorang anak laki-laki dapat mimpi mengeluarkan sperma, menghamili atau mengeluarkan mani (di luar mimpi), sedang pada anak perempuan dapat mimpi keluar sperma, hamil, atau haidh.13

Ketentuan baligh maupun dewasa tersebut, menurut sebagian fuqaha‟, bukanlah persoalan yang di jadikan pertimbangan boleh tidaknya

seseorang untuk melaksanakan perkawinan, akan tetapi Imam Abu

11

Muhammad Jawad Mughniyah, FIQIH LIMA MADZHAB, h. 318.

12

Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana Pranata Media Group, 2003), h. 56-57.

13

(26)

Hanifa, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad Bin Hambal

berpendapat bahwa ayah boleh mengawinkan anak perempuan kecilnya yang masih perawan (belum baligh), demikian juga neneknya apabila ayah tersebut tidak ada. Hanya Ibn Hazm dan Shubrumah berpendapat bahwa ayah tidak boleh mengawinkan anak perempuan yang masih kecil kecuali ia sudah dewasa dan mendapat izin dari padanya.14

Secara historis tentang batasan usia perkawinan dicontohkan oleh pernikahan Nabi Saw, dengan „Aisyah yang berusia 9 tahun dan 15 tahun.

Batasan usia 9 tahun sebagaimana hadits yang diriwayatkan Muslim berbunyi:

ܽحس۴ ݔ ىيحي ݄۵ܾ ۷يܕك ݕ۸۴ ݔ ܕ݃۸ ݕ۸۴ ݔ ݉يݒ۴ܕ۸۴ ݔ ܽحس۴ ݔ ىيحي ݍ۸ ىيحي ۵ݏثܑح

۽݆۵ܾ ۻشئ۵ع ݍع ܐݕسْ۴ ݍع ش݋عْ۴ ݍع ۻيݔ۵ع݊ ݕ۸۴ ۵ݏثܑح ݌۴ܕخآ۴ ݄۵ܾ ݔ ۵ݎܕ۹خأ

عس۾ ۽ݏ۸ يݒ ݔ ۵ݓ۸ ىݏ۸ ݔ ۽س ۽ݏ۸ يݒ ݔ ݉݇س ݔ ݑي݇ع َ ى݇ص َ ݄ݕسܔ ۵ݓجݔܗ۾

(݉݇س݊ ݐ۴ݔܔ) ۺܕشع ݌۵݋ث ۽ݏ۸ يݒ ݔ ۵ݓݏع ۼ۵݊ ݔ

Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Karib. Yahya dan Ishaq telah berkata : Telah menceritakan kepada kami dan berkata al Akhrani : Telah menceritakan kepadaku Abu Mu‟awiyah dari al A‟masyi dari al Aswad

dari „Aisyah ra. berkata : Rasulullah SAW mengawiniku pada saat usiaku

6 tahun dan hidup bersama saya pada usiaku 9 tahun dan beliau wafat saat usiaku 18 tahun (HR. Muslim)15

Sedangkan batasan 15 tahun sebagaimana riwayat Ibnu Umar yang berbunyi:

14

Supriyadi, Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam. h. 29.

15

(27)

ۺܕشع ع۸ܔأ ݍ۸۴ ۵ݎأݔ .݄۵ۿ݆ܿ۴ يف ܑحأ ݈ݕي ݉݇سݔ ݑي݇ع َ ى݇ص َ ݄ݕسܔ يݏضܕع

.يݎܖ۵جأف .ۻݏس ۺܕشع س݋خ ݍ۸۴ ۵ݎأݔ ،ܑܼݏ܏݆۴ ݈ݕي يݏضܕعݔ .يݎܗ܇ي ݉݇ف .ۻݏس

۴ܓݒ ݑۿثܑحف .ۻܻي݇خ ܓ۳݊ݕي ݕݒݔ ،ܗيܗع݆۴ܑ۹ع ݍ۸ ܕ݋ع ى݇ع ۽ܑ݊ܿف :عف۵ݎ ݄۵ܾ

.ثيܑح݆۴

ݍ۸۴ ݌۵ك ݍ݋݆ ۴ݕضܕܻي ݌أ ݑ݆۵݋ع ى݆إ ۷ۿ݃ف .ܕي۹݆݃۴ݔ ܕيغص݆۴ ݍي۸ ܑح݆ ۴ܓݒ ݌إ :݄۵ܿف

.݄۵يع݆۴ يف ݐݕ݇عج۵ف ك݆ܒ ݌ݔܐ ݌۵ك ݍ݊ݔ .ۻݏس ۺܕشع س݋خ

Rasulullah shallallaahu ‟alaihi wa sallam menunjukku untuk ikut serta

dalam perang Uhud, yang ketika itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian beliau menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai

lima belas tahun. Beliau pun memperbolehkanku”.

Naafi‟ berkata : ”Aku datang kepada ‟Umar bin ‟Abdil-‟Aziz yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, lalu aku beri tahu tentang hadits tersebut.

Kemudia ia berkata : ‟Sungguh ini adalah batasan antara kecil dan besar‟. Maka ‟Umar menugaskan kepada para pegawainya untuk

mewajibkan bertempur kepada orang yang telah berusia lima belas tahun, sedangkan usia di bawahnya mereka tugasi untuk mengurus keluarga orang-orang yang ikut berperang” [HR. Al-Bukhari no. 2664, Muslim no. 1868, Ibnu Hibban no. 4727-4728, dan yang lainnya].16

Para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat. Orang yang sudah berkeinginan untuk menikah dan khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina, sangat dianjurkan untuk melaksanakan nikah. Yang demikian adalah lebih utama daripada haji,

16

(28)

shalat, jihad dan puasa sunnah. Demikian keutamaan menikah menurut kesepakatan Para Imam Madzhab.17

Apabila ada orang yang ingin sekali menikah, tetapi tidak mampu mengadakan ongkos-ongkosnya, seperti mas kawin dan sebagainya, maka yang lebih utama dari orang ini adalah tidak usah menikah, tetapi hendaklah ia melemahkan syahwatnya dengan berpuasa.18

Batasan usia pernikahan tidaklah menjadi penting menurut Para Imam Madzhab ketika orang yang sudah sangat berkeinginan untuk menikah dan mempunyai persiapan mustahab untuk melaksanakan nikah. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Ahmad Bin Hambal

berpendapat: Orang yang sangat berkeinginan untuk menikah dan khawatir berbuat zina wajib menikah. Ada pun, menurut pendapat Abu Hanifa: Dalam keadaan apa pun nikah adalah mustahab, dan menikah lebih utama daripada tidak menikah untuk beribadah, karena menikah merupakan anjuran langsung dari Rasulullah Saw, sebagaimana hadist riwayat „Alqamah r.a. dan Abdullah bin Mas‟ud yang berbunyi:19

ڰَ݆݇ݕسܔ۵ݏ݆݇۵ܿݓݏعݓ݆݇۵يضܔܐݕعس݋ݏ۹ݓڰ݆݇۴ܑ۹عݏع

݉݇سݕݓي݇عݓ݆݇۵ى݇صݓ

)

۶۵۹ڰش݆۴ܕشع݊۵ي

!

جڰݔܗۿي݇فۺء۵۹݆۵݋݃ݏ݋ع۵طۿس۵ݏ݊

,

ܕص۹݇݇ڱضغأݓڰݎإف

,

جܕܻ݇݇ݏصحأݔ

,

݈ݕڰص݆۵۹ݓي݇عܻعطۿسي݋݇ݏ݊ݔ

;

ء۵جݕݓ݇ݓڰݎإف

(

ݑي݇عܻܿڰۿ݊

17

Syaikh al-„Allamah Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqî, FIQIH EMPAT MADZHAB, (Bandung: Hasyimi, 2014), h.318.

18

Imam Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad Alhusaini, Khifayatul Al-Akhyar,(Surabaya: CV. BINA IMAN, 2007), h.80.

19

(29)

“Ia berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Wahai para pemuda!

Barangsiapa yang sudah mempunyai kesanggupan menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena menikah itu lebih menundukan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Namun barang siapa yang belum sanggup, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu akan menjadi

periasi baginya.” (Muttafaq „Alaihi).20

Hadits lain juga yang dijadikan landasan untuk menyegerakan menikah di riwayatkan dari Anas bin Malik yang berbunyi:

ڲي۹ڰݏ݆۴ ۶۵حص۴ ݍ݊ ۴ܕܻݎ ڰ݌۴ سݎ۴ ݍع

ى݇ص

َ

ݑي݇ع

݉݇سݔ

ݔ .جڰݔܗ۾۴ َ :݉ݓضع۸ ݄۵ܾ

ڰي۹ڰݏ݆۴ ك݆ܒ غ݇۹ف ،ܕطف۴ َ ݔ ݈ݕص۴ :݉ݓضع۸ ݄۵ܾ ݔ .݈۵ݎ۴ َ ݔ ىڲ݇ص۴ :݉ݓضع۸ ݄۵ܾ

ى݇ص

َ

ݑي݇ع

݉݇سݔ

ݔ ݈ݕص۴ ىݏ݆݃ .۴ܓك ݔ ۴ܓك ۴ݕ݆۵ܾ ݈۴ݕܾ۴ ݄۵۸ ۵݊ :݄۵ܿف

݈۵ݎ۴ ݔ ىڲ݇ص۴ ݔ ܕطف۴

ىݏ݊ سي݇ف ىۿڰݏس ݍع ۷غܔ ݍ݋ف ،ء۵سݏ݆۴ جڰݔܗ۾۴ ݔ

Dan dari Anas, bahwasanya ada sebagian shahabat Nabi SAW yang

berkata, “Aku tidak akan kawin”. Sebagian lagi berkata, “Aku akan

shalat terus-menerus dan tidak akan tidur”. Dan sebagian lagi berkata,

“Aku akan berpuasa terus-menerus”. Kemudian hal itu sampai kepada

Nabi SAW, maka beliau bersabda, “Bagaimanakah keadaan kaum itu,

mereka mengatakan demikian dan demikian ?. Padahal aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, dan akupun mengawini wanita. Maka

barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, bukanlah dari golonganku”.

[HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]21

Terhadap anak perempuan yang berusia 9 tahun, maka terdapat dua pendapat. Pertama, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi‟i mengatakan bahwa anak perempuan yang berusia 9 tahun hukumnya sama seperti anak berusia 8 tahun sehingga dianggap belum baligh. Kedua, ia

20

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, h. 433-434.

21

(30)

dianggap telah baligh karena telah memungkinkan untuk haid sehingga diperbolehkan melangsungkan perkawinan meskipun tidak ada hak khiyar baginya sebagaimana dimiliki oleh wanita dewasa.22

Tentang hukum melakukan perkawinan erat kaitannya batasan usia dengan hukum-hukum syara, Ibnu Rusyd sebagaimana dikutip Abdul Rahman Ghozali menjelaskan:23

Segolongan fuqaha‟, yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah mutaakhkhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan lainnya.

Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum taklif yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnat (mandub) dan adakalanya mubah. Ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah

mubah, di samping ada yang sunnat, wajib, haram dan yang makruh.24 Mengingat perkawinan merupakan akad/perjanjian yang sangat kuat (miitsaqan ghalizan) yang menuntut setiap orang yang terikat di

22

Husain Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Jilid 1, h. 595.

23

Abdul Rahman Ghozali, FIQH MUNAKAHAT, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2015), h.16.

24

Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, Jilid 7, (Mesir: Dar

(31)

dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing dengan penuh keadilan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan.25

Perkawinan sebagai salah satu bentuk pembebanan hukum tidak cukup hanya dengan mensyaratkan baligh (cukup umur) saja. Pembebanan hukum (taklif) didasarkan pada akal (aqil, mumayyiz), baligh (cukup umur) dan pemahaman. Maksudnya seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik terhadap taklif yang ditujukan kepadanya.26 Jadi penulis lebih sepakat bahwa syarat calon mempelai adalah mukallaf.27

Pada dasarnya, Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan dapat di pahami memberi kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. Al-Qur‟an mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan

perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu, tapi ada tanda-tanda jasmaniah dan psikologis seperti haid dan mimpi.

25

Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan (Membina Keluarga Sakinah Menurut Al Qur‟an Dan As Sunnah), (Jakarta: Akademika Pressindo, Cet. III, 2003), h.1.

26

Ali Imron, Kecakapan Bertindak dalam Hukum (Studi Komparatif Hukum Islam dengan Hukum Positif di Indonesia), (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007), h.3.

27

(32)

BAB III

SEJARAH PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA DI NEGARA

INDONESIA, TURKI, DAN MAROKO

A. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia

1. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia

Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah bersamaan. Demikian pula kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatanginya mempunyai situasi politik dan sosial maupun budaya yang berlainan. Proses masuknya Islam ke Indonesia memunculkan beberapa pendapat. Para tokoh yang mengemukakan pendapat itu diantaranya ada yang langsung mengetahui tentang masuk dan tersebarnya budaya serta ajaran agama Islam di Indonesia, ada pula yang melalui berbagai bentuk penelitian seperti yang dilakukan oleh orang-orang barat (eropa) yang datang ke Indonesia karena tugas atau dipekerjakan oleh pemerintahnya di Indonesia. Tokoh-tokoh itu diantaranya, Marcopolo,1 Muhammad Ghor, Ibnu Bathuthah,2 Dego Lopez de Sequeira, Sir Richard Wainsted.3

1

Kennet W. Morgan menjelaskan bahwa berita yang dapat dipercaya tentang Islam di Indonesia mula-mula sekali adalah dalam berita Marcopolo. Menurut Marcopolo yang ketika itu singgah di Perlak, sebuah kota dipantai utara sumatra, penduduk Perlak pada waktu itu diIslamkan oleh pedagang yang di sebut kaum saracen. (P.A. Hoesain Djadjadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), h. 119.

2

Ibnu Bathuhthah (1304-1369 M), merupakan pengembara terbesar bangsa Arab yang terakhir. Ia berhasil menyaingi orang besar yang hidup sezamannya, Marcopolo. Pengembaraannya meliputi seluruh dunia Islam. (Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam , (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 232.

3

(33)

Adapun sumber-sumber pendukung masuknya Islam di Indonesia diantaranya adalah:

a. Berita dari Arab

Berita ini diketahui dari pedagang Arab yang melakukan aktivitas perdagangan dengan bangsa Indonesia. Pedagang Arab telah datang ke Indonesia sejak masa kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 M) yang menguasai jalur pelayaran perdagangan di wilayah Indonesia bagian barat termasuk Selat Malaka pada waktu itu. Pendapat ini dikemukakan oleh Crawfurd, Keyzer, Nieman, de Hollander, Syeh Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya yang berjudul Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu dan mayoritas tokoh-tokoh islam di Indonesia seperti Hamka dan Abdullah bin Nuh. Bahkan Hamka menuduh bahwa teori yang mengatakan Islam datang dari India adalah sebagai sebuah bentuk propaganda, bahwa Islam yang datang ke Asia Tenggara itu tidak murni.4

b. Berita Eropa

Berita ini datangnya dari Marcopolo tahun 1292 M. Ia adalah orang yang pertama kali menginjakan kakinya di Indonesia, ketika ia kembali dari Cina menuju Eropa melalui jalan laut. Di perjalannya itu ia singgah di Sumatera bagian utara. Di daerah ini ia menemukan adanya kerajaan Islam, yaitu kerajaan Samudera dengan ibu kotanya Pasai.5 Diantara

4

Busman Edyar, dkk (Ed.), Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2009), h.207.

5

(34)

sejarawan yang menganut teori ini adalah C. Snouch Hurgronye, W.F. Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke.6

c. Berita India

Berita ini menyebutkan bahwa para pedagang India dari Gujarat mempunyai peranan penting dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia, karena disamping berdagang mereka aktif juga mengajarkan agama dan kebudayaan Islam kepada setiap masyarakat yang dijumpainya, terutama kepada masyarakat yang terletak di daerah pesisir pantai.7 Teori ini lahir selepas tahun 1883 M. dibawa oleh C. Snouch Hurgronye. Pendukung teori ini, diantaranya adalah Dr. Gonda, Van Ronkel, Marrison, R.A. Kern, dan C.A.O. Van Nieuwinhuize.8

d. Berita China

Berita ini diketahui melalui catatan dari Ma Huan, seorang penulis yang mengikuti perjalanan Laksamana Cheng-Ho. Ia menyatakan melalui tulisannya bahwa sejak kira-kira-kira tahun 1400 telah ada saudagar-saudagar Islam yang bertempat tinggal di pantai utara Pulai Jawa. T.W. Arnold pun mengatakan para pedagang Arab yang menyebarkan agama Islam di Nusantara, ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijrah atau abad ke-7 dan ke-8 M. Dalam

6

Badri Yatim, Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag, 1998), h. 30.

7Menurut W.F. Stutterheim dalam bukunya “ De

Islam en Zijn Komst in the Archipel,” Islam berasal dari Gujarat dengan dasar batu nisan sultan pertama dari kerajaan Samudera Pasai, yakni nisan al-Malik al-Saleh yang wafat pada tahun 1297. Dalam hal ini beliau berpendapat bahwa relif nisan tersebut bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat, h. 23.

8

(35)

sumber Cina disebutkan bahwa pada abad ke-7 M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai

Sumatera (disebut Ta’shih).9

e. Kajian (Seminar Ilmiah)

Terdapat sumber-sumber dari dalam negeri yang menerangkan berkembangnya pengaruh Islam di Indonesia. Yakni Penemuan sebuah batu di Leran (Gresik). Batu bersurat itu menggunakan huruf dan bahasa Arab, yang sebagian tulisannya telah rusak. Batu itu memuat tentang meninggalnya seorang perempuan yang bernama Fatimah Binti Maimun (1028). Kedua, Makam Sultan Malikul Saleh di Sumatera Utara yang meninggal pada bulan Ramadhan tahun 676 H atau tahun 1297M. Ketiga, makam Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang wafat tahun 1419M. Jirat makam didatangkan dari Gujarat dan berisi tulisan-tulisan Arab.10

Mengenai masuknya Islam ke Indonesia, ada satu kajian yakni seminar ilmiah yang diselenggarakan pada tahun 1963 di kota Medan, yang menghasilkan hal-hal sebagai berikut:

1. Pertama kali Islam masuk ke Indonesia pada abad 1 H/7 M, langsung dari negeri Arab.

2. Daerah pertama yang dimasuki Islam adalah pesisir sumatera Utara. Setelah itu masyarakat Islam membentuk kerajaan Islam Pertama yaitu Aceh.

9

Busman Edyar, dkk (Ed.), Sejarah Peradaban Islam, h. 187.

10

(36)

3. Para da’i yang pertama, mayoritas adalah para pedagang. Pada saat itu dakwah disebarkan secara damai.11

2. Pembentukan Hukum Keluarga di Indonesia

Pembentukan hukum keluarga Indonesia terbagi dalam dua masa yaitu hukum keluarga prakemerdekaan dan hukum keluarga pascakemerdekaan. Hukum keluarga prakemerdekaan dibagi dua yaitu hukum keluarga prapenjajahan (prakolonial), dan hukum keluarga zaman penjajahan (kolonial). Adapun hukum keluarga pascakemerdekaan dibagi dalam tiga yaitu hukum keluarga awal kemeredekaan, hukum keluarga sesudah tahun 1950, dan terbentuknya undang-undang perkawinan baru,12 dalam redaksi yang berbeda Prof. Khoiruddin Nasution membagi dengan sebutan masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.13 Sehingga secara keseluruhan dibagi dalam lima bagian.

a. Hukum Keluarga Indonesia Prakolonial

Hukum Keluarga Prakolonial juga bisa kita sebut Hukum Keluarga Masa Kerajaan, sebagaimana Ali Sodiqin membagi periode perkembangan Hukum Islam Indonesia dengan menyebut Masa Kerajaan Islam (Abad XII-XVII M).14

11

Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam, Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2003), h. 336.

12

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandar Lampung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), h.60-64.

13

Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran: Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: ACAdeMIA & Tazzafa, 2010), h.30-95.

14

Ali Sodikin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia,

(37)

Pada masa ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti agama dan budaya masyarakat. Hukum tidak dapat terlepas dari budaya masyarakat dan agama. Jauh sebelum datangnya penjajah dari Eropa, masyarakat Indonesia telah mengenal beberapa macam hukum seperti Hukum adat dan Hukum Islam (pasca datangnya Islam). Hukum adat misalnya, telah dikenal oleh masyarakat jauh sebelum penjajah bahkan Islam datang. Setelah Islam datang terjadi akulturasi budaya lokal dengan ajaran Islam. Sebuah proses yang wajib ketika datang kebudayaan baru. Setelah Islam datang, kemudian terjadi adaptasi serta adopsi ajaran Islam oleh masyarakat adat setempat, sehingga pada perkembangannya ajaran Islam dan budaya lokal menyatu dan tumbuh bersama sehingga melahirkan budaya baru (perpaduan tradisi lokal dan ajaran Islam). Hal ini dapat dibuktikan di beberapa daerah seperti yang terjadi pada masyarakat Minangkabau dengan ungkapan yang terkenal “hukum adat bersendikan

syara‟ dan syara‟ bersendikan kitabullah (Al-Qur’an).15

Selain itu, bukti eksistensi Hukum adat dan Hukum Islam sebelum datangnya penjajah hingga datangnya penjajah adalah adanya lembaga peradilan klasik yang terbentuk kala itu, seperti lembaga tahkim, kemudian ahlu al-hall wa al-aqd dalam bentuk peradilan adat, kemudian dalam perkembangannya Peradilan Swapraja (disebut juga Peradilan Serambi atau juga Peradilan Masjid dan sejenisnya) pada masa kerajaan-kerajaan Islam kemudian menjadi Peradilan Agama hingga sekarang. Seperti pada

15

(38)

Kerajaan Mataram Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X menulis secara singkat, bahwa Peradilan Serambi (disingkat PS) telah ada sejak zaman Sultan Agung. Struktur Organisasi PS diketuai oleh Hakim dan dibantu empat orang ulama, yang dinamakan Phatok Nagari. Selain PS ada juga Peradilan Perdata yang disebut Nawala Pradata Dalam. Bukti lebih lanjut seperti adanya Statuta Batavia 1642 kemudian dipergunakannya kitab maharrar dan Pepakem Cirebon16 serta peraturan-peraturan lain didaerah lain.17

Hal diatas telah menunjukan pengaruh kuat Islam di Indonesia dalam aspek hukum perdata, terutama dalam bidang hukum perkawinan18 atau kekeluargaan.

b. Hukum Keluarga Indonesia Zaman Kolonial

Zaman kolonial dimulai dari masuknya kompi-kompi pedagang Eropa ke Indonesia, mulai dari Portugis, Belanda, Inggris, dan ditambah lagi dari Asia yaitu Jepang.

Masuknya bangsa Eropa berawal dari kedatangan kompi pedagang Portugis ke Indonesia dengan tujuan memperoleh rempah-rempah untuk di jual di perdagangan internasional. Masuknya Portugis diikuti oleh kompi-kompi pedagang Belanda dan seterusnya. Masuknya kompi-kompi-kompi-kompi pedagang ini sangat menentukan nasib bangsa Indonesia dalam

16

Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. Dan status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA & Tazzafa, 2009), h.16-20.

17

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, h. 60.

18

Ali Sodikin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia,

(39)

perkembangan selanjutnya. Berawal dari masuknya Portugis dan Belanda sangat mempengaruhi konstruksi sosial yang ada, hal ini tidak serta merta diterima oleh penduduk masyarakat setempat buktinya dapat terlihat dari penolakan yang berujung menjadi perlawanan dari penduduk asli. Lambat laun para penjajah (dalam hal ini adalah Belanda) berhasil menduduki Indonesia dan membuat penduduk asli tak berdaya. Awal kedatangan Belanda ke Indonesia hingga terbentuknya VOC tidak terlalu mempengaruhi kondisi hukum yang ada. Namun perubahan terjadi ketika daerah jajahan diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Terjadi rekontruksi bidang hukum yang serius. Semula Hukum Islam diterima dan dijadikan dasar hukum secara keseluruhan (receptio in complexu) namun situasi terbalik ketika diambil alih oleh Pemerintah Belanda menjadi berlaku sebagian (hanya yang diresepsi oleh hukum adat atau teori receptio). Kondisi ini memberikan keperihatinan bagi Hukum Islam dan penerapannya. Dalam perkembangan selanjutnya Pemerintah Belanda menerapkan hukum baru bagi negeri jajahan yaitu diterapkannya hukum Barat (termanifestasi dalam BW Hindia-Belanda).

Belanda sebagai penjajah terlama memberikan pengaruh yang cukup besar bagi sistem kehidupan masyarakat, termasuk sistem hukum,19 karena secara filosofis dinyatakan bahwa perubahan sosial menghendaki hukum juga berubah sesuai tuntutan perubahan sosial yang terjadi.20 Dalam pemaparan yang lebih dalam dapat diungkap melalui pertikaian

19

Ali Sodikin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia,

h. 188.

20

(40)

antara dua teori tentang keberlakuan Hukum Islam di Indonesia, yaitu teori recepti in complexu ini ditandai dari sikap minus (tiada intervensi) penjajah terhadap Hukum Islam, teori ini dikemukakan oleh Lodewejik Willem Christian Van Den Berg (1845-1927). Melalui kantor dagang Belanda (VOC), dikeluarkanlah Resolute de Indishe Regeering yang pemberlakuan hukum waris dan hukum perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer, yang merupakan legislasi Hukum Islam pertama di Indonesia. 21

Sebagai tambahan, pada masa penjajahan Belanda, perkawinan diatur dalam beberapa peraturan menurut golongannya. Pertama, bagi orang-orang Eropa berlaku kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Kedua, bagi orang-orang Tionghoa, secara umum juga brelaku BW dengan sedikit pengecualian, yakni hal-hal yang berhubungan dengan pencatatan jiwa dan acara sebelum perkawinan. Ketiga bagi golongan Arab dan Timur Asing yang bukan Tionghoa berlaku hukum adat mereka. Keempat, bagi orang Indonesia asli berlaku hukum adat mereka, ditambah untuk orang kristen berlaku Undang-undang Perkawinan Kristen Jawa dan Ambon (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers Java, Minahasa an Ambonia (HOCI)) berdasarkan

21

(41)

stbl. No. 74 Tahun 1993. Kelima, bagi orang yang tidak menggunakan salah satunya berlaku peraturan Perkawinan Campuran.22

c. Hukum Keluarga Awal Kemerdekaan Hingga Berakhirnya

Orde Lama

Pembagian ini mengkombinasikan pembagian menurut Prof. Abdulkadir Muhammad dan Prof. Khoiruddin Nasution yakni mulai dari awal kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 hingga Tahun 1966 (berakhirnya Orde Lama seiring dengan turunnya Presiden Soekarno). Dalam masa ini Indonesia mengalami babak baru, babak kemerdekaan. Pada masa ini baik pemerintah maupun masyarakat disibukan dengan usaha mengisi kemerdekaan yang baru saja diraih sehingga perhatian pada hukum perkawinan dirasa kurang diperhatikan. Adapun untuk menjaga kekosongan hukum (vacuum racht) masih diadopsi hukum yang ada pada zaman kolonial Belanda misalnya BW. Namun bukan berarti perhatian pemerintah terhadap hukum perkawinan/keluarga tidak ada. Setahun setelah kemerdekaan dikeluarkan peraturan perundangan yang mengatur mengenai perkawinan terutama perkawinan yaitu UU No. 22 Tahun 1946 tentang Nikah, Talak, dan Rujuk. Walaupun telah ada UU tersebut namun jangkauan berlakunya masih terbatas yaitu hanya untuk wilayah Jawa dan Madura, hingga dikeluarkan UU No. 32 Tahun 1954 sebagai perluasan jangkauan dari UU No. 22 Tahun 1946.

22

(42)

Menurut Wasit Aulawi, dari pasal-pasal yang ada, secara eksplisit UU No. 22 Tahun 1946 hanya mengatur pencatatan perkawinan, talak, dan rujuk, yang berarti hanya menyangkut hukum acara, bukan materi hukum perkawinan.23 Pada masa berlakunya UU ini (UU No. 22 Tahun 1946) masih terkekang dengan teori receptio. Teori receptio ini membatasi kewenangan peradilan agama dan menghambat perkembangan hukum keluarga Islam dan agama Islam pada khususnya,24 hingga runtuhnya Orde Lama dan digantikan Orde Baru.

d. Hukum Keluarga Masa Orde Baru

Masa ini dimulai dari lengsernya Soekarno dari kursi jabatan kepresidenan hingga runtuhnya pemerintahan Soeharto yaitu jatuhnya Orde Baru pada bulan Mei 1998. Pada masa inilah mulai nampak klimaks dari pembicaraan hukum keluarga sebagai warisan orde sebelumnya. Terbukti pada tahun 1974 terbentuk Undang-undang tentang keluarga yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Ini tidak lain dari hasil perjuangan sebelumnya dalam membuat rancangan undang-undang tentang perkawinan. Undang-undang ini (UU No. 1 Tahun 1974) merupakan Undang-undang tentang perkawinan pertama yang terbentuk pada masa Orde Baru.

Kehadiran UU No. 1 Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya beberapa peraturan pelaksana. Pertama, PP No. 9 Tahun 1975 yang

23

Wasit Aulawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, halaman. 57-58. Dalam Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. Dan status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, h.32.

24

(43)

diundangkan tanggal 1 April 1975. Kedua, Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Ketiga, Petunjuk Mahkamah Agung R.I.25

Dalam Pasal 67 PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan: (1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975, (2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan secara efektif dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Bagi Umat Islam diatur dalam Peraturan Menag No. 3 Tahun 1975 dan No. 4 Tahun 1975, kemudian diganti dengan Peraturan Menag No. 2 Tahun 1990. Bagi yang beragama selain Islam diatur dalam Keputusan Mendagri No. 221a Tahun 1975, tanggal 1 Oktober 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil.26

Kemudian pada Tahun 1983 lahir pula PP No. 10 yang mengatur Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan pada tanggal 21 April 1983. Selanjutnya disusul lagi dengan Undang-undang N0. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Kemudian pada Tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi perubahan PP No. 10 Tahun 1983. Kemudian satu tahun seseudahnya berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam mengenai perkawinan, pewarisan, dan perwakafan.27

25

Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. Dan status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, h. 48.

26

Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. Dan status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, h. 49.

27

(44)

e. Hukum Keluarga Masa Reformasi Sampai Sekarang

Sejak jatuhnya Orde Baru, Indonesia mengalami sejarah baru. Kondisi ini menimbulkan banyak perubahan terutama dalam hal penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia. Misalnya munculnya Mahkamah Konstitusi dan berdirinya KPK. Ini semua dalam hal penegakan hukum agar menuju Indonesia yang lebih baik. Telah 19 tahun usia reformasi namun masih bisa dikatakan bahwa perubahan dalam hukum perkawinan/keluarga masih tidak ada, yang ada adalah perluasan kompetensi bagi pengadilan agama yang tertuang dalam UU No. 3 tahun 2006. Baru-baru ini tahun 2012 terjadi wacana menarik mengenai UU No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 43 ayat 1 yang berbunyi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang

dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya sehingga ayat tersebut harus dibaca “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan

(45)

menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata

dengan keluarga ayahnya.”28

Dapat disimpulkan, dalam konteks pembentukan dan cikal bakal modernisasi hukum keluarga di Indonesia sejatinya telah terjadi sejak paruh pertama Abad XX, yakni dengan diundangkannya undang-undang yang mengatur perkawinan Nomor 22 Tahun 1946 yang kemudian disusul oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.29 Progres yang cukup menonjol adalah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang secara efektif berlaku pada 1 Oktober 1975. Inilah undang-undang pertama yang cukup komprehensif mengatur hukum kekeluargaan di Indonesia.

B. Sejarah Hukum Keluarga Islam di Turki

1. Sejarah Masuknya Islam di Turki

Islam adalah agama terbesar di Turki. Sejak zaman Kesultanan Utsmaniyah menguasai Turki pada tahun 1400-an pemeluk Islam di Turki semakin banyak. Orang-orang Turki merasa lekat dengan agama yang mereka anut semenjak berabad-abad lampau. Mereka bahkan marah kalau dikatakan bukan orang Islam. Sudah di pastikan agama Islam

28Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 Terhadap Persoalan Anak Luar Kawin. D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), h.217.

29

(46)

sebagai sesuatu yang sudah berakar di Turki sulit untuk di pengaruhi dengan ide-ide barat.30

Para ahli sejarah kuno menduga, bahwa bangsa Hittiti-lah yang pertama menempati wilayah Turki sekarang. Memasuki tahun pertama Masehi, Wilayah Turki yang saat itu bernama Kerajaan Bizantium dikuasai Romawi selama empat abad. Kekuasaan Romawi dijatuhkan kaum Barbar. Pada masa inilah ibu kota kerajaan dipindahkan dari Roma ke Konstantinopel (sekarang Istanbul). Bizantium jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Ottoman atau dibawah bimbingan dinasti Abbasiyah dengan kekuatan orang-orang Turki di bawah komando Erthogrul dan anaknya Raja Osman I yang penaklukannya dipimpin oleh Muhammad al-Fatih. Inilah masa keemasan Turki Ottoman. Pada masa inilah pemerintahan Turki Ottoman memperolah pengaruh Islam yang kuat.31

Pada tahun 1453 M (Era Utsmaniyah) saat mulai berkuasa di Turki, Islam makin dominan di Turki. Bahkan penamaan ibu kota dari Konstantinopel menjadi Istanbul adalah terjadi setelah dinasti Utsmaniyah berjaya. Dulu wilayah kekuasaannya paling luas di antara tiga kerajaan besar (Syafawi, Mughol, dan Utsmaniyah saat itu), meliputi tiga benua yakni jazirah Arabia, Balkan, Hungaria hingga kawasan Afrika Utara. Gereja-gereja di Turki yang merupakan peninggalan

30

Abdul Sani, Perkembangan Modern dalamIslam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1998), h.131.

31Prof. Dr. Abu Su’ud,

(47)

Bizantium termasuk Hagia Sophia banyak diubah menjadi masjid. Islam menjadi sangat dominan hingga tahun 1920an ketika itu.

Dinasti Utsmaniyah merupakan salah satu dinasti pemerintahan Islam yang paling lama berkuasa hingga zaman modern. Kekuasaannya meliputi tiga benua Asia, Afrika, dan Eropa. Pemerintahannya memiliki kekuatan tentara yang mampu bersaing dalam beberapa petempuran dalam Perang Dunia di Lautan Mediterania dan ikut berkoalisi dengan beberapa negara Eropa Modern seperti Jerman dan Itali. Beberapa puluh sultan ikut memerintah dari keluarga besar pewaris kesultanan. Akan tetapi, sejak Perang Dunia I Turki terlalu banyak terlibat dalam peperangan. Akibatnya, Turki banyak mengalami kerugian dalam segi energi ekonomi, termasuk wilayah-wilayah kekuasaanya banyak yang merdeka.32

Saat kesultanan Utsmaniyah runtuh dan diteruskan oleh Republik Turki pada 1923, Islam menjadi sedikit mundur karena perubahan Turki dari kesultanan menjadi negara sekuler. Di bawah kepemimpinan Mustofa Kemal Attaturk, dalam kebijakannya melarang emblem-emblem Islam dan memberi keleluasaan pada agama non-Islam.33

Efek lainnya adalah dimulainya penggunaan Kalender Masehi seperti di negara-negara Barat ketimbang Kalender Hijriah, dan penggunaan kata Tanri ketimbang Allah. Kemudian adanya larangan pengajaran agama Islam dan pembatasan jumlah masjid. Pada masa

32

Abdul Sani, Perkembangan Modern dalam Islam, h. 135.

33

(48)

Reformasi Turki pada 1945, setelah peringanan kontrol politik otoriter pada tahun 1946, banyak orang mulai memanggil secara terbuka untuk kembali ke praktik keagamaan tradisional.34

Kondisi Turki dewasa ini hanya meninggalkan warisan sejarah tentang upaya modernism yang dijiwai oleh sekularisasi, namun sekularisasi itu sendiri boleh dikatakan kurang berhasil sepenuhnya.35 Keadaan sosial sendiri merupakan suatu konsep yang memang sangat kuat bagi rakyat Turki yang Islam masih mendambakan dewi keberuntungan tersebut, dan mengenai keadilan sosial itu hanya bisa ditumpukan harapannya kepada jalur-jalur nilai Islam.

Kini sekitar 99,8% penduduk Turki adalah Muslim, Kebanyakan Muslim di Turki adalah Sunni dengan 70-80%, sisanya adalah Alevis36 dan Syiah dengan 20-30%.

Sekalipun demikian setengah dari 98% penduduk Turki yang beragam Islam terus melanjutkan upaya ini meskipun sebatas gerakan bawah tanah. Tokoh cendikiawan Turki yang muncul pada Tahun 2000 ini, merupakan salah satu di antara fenomena nyata dalam bentuk-bentuk perlawanan bawah tanah ini, penentang sekularisme sains.37

34Prof. Dr. Abu Su’ud,

Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, h. 99.

35

Abdul Sani, Perkembangan Modern dalamIslam, h. 137.

36

Komunitas agama, sub-etnis dan budaya di Turki yang berjumlah 25 jutaan. Merupakan cabang dari Islam Syiah, namun ada perbedaan yang cukup signifikan dalam kepercayaan, tradisi dan ritual. Di samping bahasa Arab, bahasa asli masing-masing masih berkuasa selama ritual dan berdoa.

37

(49)

Islam dalam peradaban Turki Modern merupakan suatu tanda kebangkitan kembali kejayaannya, fenomena itu terjadi secara bersama-sama dengan pengendoran sekularisme. Sejarah kuat Muslim di Turki sebagai bentuk keinginan kembali kemasa kejayaan Islam ialah dengan dasar bahwa Al-Qur’an itu diturunkan di bumi Hijaz, dibaca di Mesir, di tulis di Turki. Adalah betul bahwa cara orang-orang Mesir membaca

Al-Qur’an telah memperoleh kehormatan yang tertinggi di seluruh dunia

Islam, dan mushaf Al-Qur’an yang paling baik adalah ditulis oleh penulis-penulis Turki, dan umat Islam yang paling terkenal dengan sopan-santunnya dan kegiatan melakukan ibadahnya adalah umat Islam Indonesia. Peninggalan-peninggalan tulisan mereka masih tersimpan di museum-museum dan perpustakaan-perpustakaan di Turki. Mushaf Utsmani, mushaf Al-Qur’an yang ditulis oleh kaligrafis Turki termahsyur, menjadi sangat popular di seluruh dunia Islam. Itu merupakan bukti pemerintah Turki selalu memberikan perhatian dalam mencetak mushaf Al-Qur’an, dengan maksud untuk memelihara keshahihannya.38

2. Pembentukan Hukum Keluarga Islam di Turki

Bagi Muslim Turki, Hanafi adalah mazhab yang mengarsir kehidupan keberagamaan secara formal hingga tahun 1926, sebelum ada kebijakan legislasi Undang-Undang (UU) yang dikodifikasi secara elektikal. Undang-Undang Sipil Islam atau yang disebut Majallat

38

(50)

ahkam al‟-Adliyah, yang sebagian materinya didasarkan pada mazhab Hanafi sebetulnya telah dipersiapkan di Turki sejak tahun 1876.39

Abad 19 M bersamaan dengan lengsernya kekuasaan Utsmaniyah, semua lembaga agama tidak diberlakukan kembali (mufti dan kadi). Untuk sistematisasi serta kodifikasi sistem hukum, pada tahun 1839 di keluarkan dekrit Imperium –Hatt-i Syarif- sebagai pondasi bagi rezim legislatif modern.40 Pergantian Undang-Undang Sipil tahun 1876 dan hukum keluarga yang baru ditetapkan pada tahun 1915 dan 1917 serta hukum waris dalam mazhab Hanafi yang belum

Gambar

TABEL. 2.1

Referensi

Dokumen terkait

penuntutan pidana menurut hukum acara pidana di Indonesia dengan negara-negara

UNDANG-UNDANG: PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN BEBERAPA NEGARA MUSLIM (PAKISTAN, MESIR DAN

agar tercapai eisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya. 3) Dalam pemerintahan Islam, zakat dan pajak dikelola oleh negara. 4) Tidak ada ketentuan memperoleh

Sebagaimana kebanyakan cendikiawan Muslim Indonesia yang selalu melandaskan demokrasi pada nilai-nilai islam, maka demikian halnya Abdurrahma Wahid, menyebut Islam sebagai

Asshiddiqie, Jimly, 2000, Kekuasaan Kehakiman di Masa Depan, Makalah Seminar, Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat; dan Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda

Kedua, pidana mati masih diberlakukan dalam hukum Islam (negara yang menganut syariat Islam) dan hukum pidana Indonesia. Ketiga, Pidana mati dalam ketentuan Hukum

Berbeda dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia, pada Perintah Darurat (Undang-Undang Keluarga Islam) Tahun 1999 di Negara Brunei Darussalam diatur bahwa

Seperti yang terjadi saat ini karena wabah covid-19, dampak pandemi Covid-19 seakan menggoyahkan perekonomian Indonesia karena negara mengalami pelemahan konsumsi Dalam Islam walaupun