• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Bogor Melalui Pendekatan Anggaran Dan Regulasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Bogor Melalui Pendekatan Anggaran Dan Regulasi"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN

DI KOTA BOGOR MELALU ENDEKATAN

ANGGARAN DAN REGULASI

YUSUF DARDIRI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir yang berjudul Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Bogor Melalu Pendekatan Anggaran Dan Regulasi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Mei 2014

(3)

ABSTRACT

YUSUF DARDIRI. The Strategy of Poverty Eradication in The City Of Bogor By Using Budgeting and Regulation Approaches. Supervised by SRI HARTOYO and MA’MUN SARMA

Poverty has become a major problem in the city of Bogor for years. The percentage number of poverty is around 7% in 2012. This situation is ironic if we consider that Bogor has been achieving a good economic situation during 2004- 2012. Bogor’s economic growth rate has exceeded 6 percent during 2004-2012. Along with economic record, the City of Bogor has also recorded a high number of human development index, 76,4 in 2012. Economic growth in one side and poverty in another side explain us that there is a problem in local government policy that must be corrected. Poverty in the City of Bogor is considered to be influenced by some factors. This study was carried out to identify those factors and has founded that unemployment and public budget from the government were very important factors dealing with poverty. Based on SWOT analysis, the effective strategy to minimize poverty in the City of Bogor is W-T strategy. This strategy mentions that some internal weakness should be handled first to face threats from the outside.

Key words : poverty, the City of Bogor, public budget, programs dealing with poverty eradication.

(4)

RINGKASAN

YUSUF DARDIRI. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Bogor Melalu Pendekatan Anggaran Dan Regulasi. Dibimbing oleh : SRI HARTOYO

dan MA’MUN SARMA

Kemiskinan merupakan masalah serius yang banyak dihadapi oleh negara berkembang. Banyaknya masalah yang dihadapi saat ini baik di bidang sosial, ekonomi, budaya, politik dan keamanan berakar pada kemiskinan. Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Dalam arti luas, Chambers (dalam Chriswardani Suryawati, 2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (poverty), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.

Permasalahan kemiskinan di Kota Bogor merupakan permasalahan yang terus terjadi dari tahun ke tahun. Berdasarkan data, jumlah penduduk miskin di Kota Bogor memperlihatkan adanya peningkatan pada 2004 – 2007, namun kemudian terjadi penurunan pada 2007-2012. Penduduk miskin pada tahun 2004 mencapai 85.317 jiwa dan mencapai puncaknya pada tahun 2007 yaitu sebesar 97.700 jiwa. Pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin di kota bogor menurun menjadi 88.940 jiwa dan pada tahun 2012 menjadi 84.000 jiwa. Demikian juga kalau dilihat KK miskin pada tahun 2004 menunjukkan angka 19.28 KK mengalami perubahan satgnan hingga tahun 2009 sebesar 18.29 KK kemudian mengalami penurunan pada tahun 2011 menjadi 17.188 KK dan pada tahun 2012 menjadi 16.930 KK.

Masih tingginya angka kemiskinan di Kota Bogor bertolak belakang dengan kenyataan bahwa Kota Bogor merupakan daerah yang memiliki kondisi perekonomian yang cukup baik. Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Kota Bogor pada tahun 2004-2011 berada pada kisaran angka 6 persen. Angka indeks pembangunan manusia (IPM) Kota Bogor juga terus meningkat hingga pada tahun 2011 mencapai 79,4. Kondisi tersebut terjadi salah satunya karena program penanggulangan kemiskinan di Kota Bogor belum berjalan dengan efektif.

Kajian ini menggunakan pendekatan analisis regresi berganda dengan dua variabel bebas untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah Kepala Keluarga (KK) miskin di Kota Bogor. Variebel bebas yang digunakan adalah jumlah belanja langsung APBD riil dan jumlah pengangguran. Hasil analisis regresi berganda (multiple regression) memperlihatkan bahwa dua variabel yang dikaji yaitu belanja langsung APBD riil dan jumlah pengangguran berpengaruh nyata terhadap jumlah KK miskin di Kota Bogor.

(5)

dalam persamaan tersebut berpengaruh sebesar 80.6 persen, selebihnya dipengaruhi oleh variabel lain diluar kedua variabel tersebut.

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, tanda dari koefisien alokasi belanja langsung APBD riil (setelah dihilangkan pengaruh inflasinya) sesuai yang diharapkan karena bernilai nigatif dengan jumlah persentase KK miskin, hasil ini sesuai dengan teori yaitu negatif . Oleh karena itu interpretasi dari nilai koefisien belanja langsung adalah jika ada peningkatan belanja langsung APBD sebesar 1 persen, maka akan menurunkan angka persentase KK miskin sebesar 11.99 persen. Hal ini menggambarkan kebijakan untuk terus menambah proporsi belanja langsung sangatlah tepat untuk menekan jumlah angka kemiskinan. Demikian juga faktor jumlah pengangguran berkorelasi positif terhadap persentase KK miskin dan berpengaruh nyata terhadap persentase angka KK miskin. Interpretasi dari nilai koefisien jumlah pengangguran adalah setiap setiap kenaikan 1 persen angka pengangguran akan meningkatkan 5.64 persen KK miskin.

Berdasarkan analisis SWOT, dapat diketahui komponen kekuatan yang dimiliki Kota Bogor berkaitan dengan upaya penanggulangan kemiskinan adalah : letak strategis Kota Bogor, kondisi perekonomian Kota Bogor, komitmen Pemkot Bogor dan program penunjang penanggulangan kemiskinan berjalan baik. Kelemahan yang dimiliki adalah : kurang terserapnya penduduk miskin dalam kegiatan ekonomi, kualitas SDM penduduk miskin, belum akuratnya data kemiskinan, dan APBD Kota Bogor belum fokus pada penanggulagan kemiskinan. Adapun peluang yang dimiliki adalah : dukungan pemerintah pusat, pertumbuhan ekonomi daerah sekitar, banyaknya investor luar, dan adanya dukungan pihak akademis. Ancaman yang dihadapi antara lain adalah migrasi penduduk ke Kota Bogor, banyaknya produk luar, penguasaan lahan oleh swasta dan ancaman globalisasi.

Berdasarkan analisis SWOT, komponen kelemahan (weakness) dan ancaman (threats) lebih dominan secara intenal dan eksternal. Berdasarkan hal tersebut, maka strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat untuk diterapkan di Kota Bogor adalah strategi W-T yaitu dengan mengatasi kelemahan untuk menghadapi ancaman. Beberapa program dan kebijakan yang dapat diterapkan antara lain adalah : (a) peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan SDM penduduk miskin Kota Bogor, (b) pembuatan kebijakan yang mengharuskan investor untuk mempekerjakan warga Kota Bogor terutama penduduk miskin, (c) program pemutakhiran data penduduk miskin Kota Bogor secara periodik, (d) penyusunan program APBD yang lebih berfokus pada penanggulangan kemiskinan di Kota Bogor dengan porsi anggaran yang memadai, (e) pengaturan penduduk pendatang yang berencana tinggal menetap agar tidak mempengaruhi upaya pemberdayaan penduduk miskin Kota Bogor dan (f) pencegahan penguasaan lahan oleh swasta secara berlebihan terutama yang berpotensi menyingkirkan penduduk lokal Kota Bogor.

(6)

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2014 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN

DI KOTA BOGOR MELALU PENDEKATAN

ANGGARAN DAN REGULASI

YUSUF DARDIRI

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tugas Akhir : Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Bogor Melalui Pendekatan Anggaran Dan Regulasi

Nama : Yusuf Dardiri

NRP : H 252100185

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S. Dr. Ir. Ma’mun Sarma,MS.M.Ec. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS. M.Ec. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam karya ilmiah berupa kajian pembangunan daerah ini adalah upaya perbaikan program penanggulanan kemiskinan di Kota Bogor. Adapun judul yang digunakan adalah Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Bogor Melalui Pendekatan Anggaran Dan Regulasi

Melalui prakata ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S dan Bapak Dr.Ir. Ma’mun Sarma, MS. M.Ec selaku dosen pembimbing, serta segenap staf pengajar dan karyawan di Program Studi Manajamen Pembangunan Daerah (MPD) yang dipimpin oleh Bapak Dr. Ma’mun Sarma, MS. M.Ec. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan MPD Bogor angkatan ke 12 (2011 - 2013) atas kekompakannya selama ini.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua, Ayahanda (almarhum) H.Imam Rofi’i. dan Ibunda (almarhumah) Hj.Siti Chudsiyyah serta kakak dan adik tercinta atas dukungan moral dan do’a yang diberikan. Hal yang sama juga penulis sampaikan untuk istri tercinta Ir. Iis Istiqamah, MSc. dan anak-anak : Syaffa Sadida Zahra, Ayyas Muhammad Al fatih dan Muhammad Afnan Ahzami atas dukungan dan do’a serta kebersamaannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ngawi pada tanggal 17 Juli 1969 dari ayah H.Imam Rofi’i dan ibu Hj. Siti Chudsiyyah. Penulis merupakan anak ke 7 dari 8 bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dari SD hingga SMP di Ngawi dan menyelesaikan jenjang pendidikan menengah di SMA Negri 1 Sragen pada tahun 1989. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan lulus pada tahun 1996 sebagai Sarjana Teknologi Pertanian dengan keahlian di bidang Keteknikan Pertanian

Penulis pernah bekerja sebagai Direktur Pemasaran PT Aquamas pada tahun 1998 dan GM. Marketing PT Impers Pratama pada tahun 2001. Penulis saat ini sebagai Anggota DPRD Kota Bogor periode ke 2 masa jabatan 2009-2014 dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan menjabat sebagai anggota Badan Anggaran dan Wakil Ketua Komisi C. Pada tahun 2011 penulis melanjutkan studi ke jenjang S2 dengan mengambil program studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pasca Sarjana di Institut Pertanian Bogor.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Kajian ... 5

1.4. Manfaat ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Kemiskinan ... 7

2.2. Pembangunan Daerah ... 12

2.3. Kebijakan Anggaran ... 13

III. METODOLOGI ... 17

3.1. Kerangka Pemikiran ... 17

3.2. Lokasi Dan Waktu Kajian ... 18

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 18

3.4. Metode Analisis Data ... 20

3.5. Metode Perancngan Program ... 21

IV. GAMBARAN UMUM ... 22

4.1. Kondisi Geografis ... 22

4.2. Keadaan Penduduk ... 24

4.3. Kondisi Perekonomian ... 25

4.4. Kondisi Pemerintahan ... 26

V. PEMBAHASAN HASIL KAJIAN ... 28

5.1. Kondisi Perekonomian Kota Bogor ... 28

5.2. Kondis Kemiskinan Di Kota Bogor ... 30

(13)

5.3.1 Pengaruh Belanja Langsung APBD Terhadap Kemiskinan ... 34

5.3.2. Pengaruh Angka Pengangguran Terhadap Kemiskinan ... 36

VI. PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH ... 38

6.1. Analisis SWOT Kondisi Kemiskinan Kota Bogor ... 38

6.2. Rekomendasi Program Penanggulangan Kemiskinan ... 44

6.2.1. Peningkatan Kualitas SDM Penduduk Miskin ... 45

6.2.2. Kebijakan Mempekerjakan Penduduk Miskin Kota Bogor ... 46

6.2.3. Pemutakhiran Data Penduduk Miskin Kota Bogor ... 46

6.2.4. APBD Yang Berfokus Pada Penanggulangan Kemiskinan ... 47

6.2.5. Kebijakan Pengaturan Penduduk Pendatang dan Perlindungan Produk Lokal... 48

6.2.6. Pencegahan Penguasaan Lahan Oleh Swasta Secaea Berlebihan .... 49

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

7.1. Kesimpulan ... 51

7.2. Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(14)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan Kemiskinan di Kota Bogor Tahun 2004-2012 2 Indikator Makro Kota Bogor

3 Program Penanggulangan Kemiskinan dalam RPJMD 4 Data Yang Diteliti Dan Sumber Data

5 Perkembangan PDRB Kota Bogor Berdasarkan Harga Berlaku Tahun 2006-2010 (Dalam Milyar Rupiah)

6 Jumlah KK miskin per Kecamatan tahun 2010

7 Beberapa Faktor Penyebab Kemiskinan Di Suatu Daerah

8 Hasil Analisis Regresi Berganda Terhadap Faktor – faktor Yang Mempengaruhi KK miskin Di Kota Bogor

9 Komponen Kekuatan dan Kelemahan Yang Berkaitan Dengan Permasalahan Kemiskinan Di Kota Bogor

10 Komponen Peluang dan Ancaman Yang Berkaitan Dengan Permasalahan Kemiskinan Di Kota Bogor

11 Hasil Pembototan Analisis SWOT Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Bogor

12 Hasil Analisis SWOT Penanggulangan Kemiskinan Kota Bogor 13 Rekomendasi Program Penanggulangan Kemiskinan Dalam

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan KK Miskin Kota Bogor 2 Skema Kerangka Pemikiran Kajian 3 Peta Wilayah Administratif Kota Bogor 4 Piramida Penduduk Kota Bogor Tahun 2010 5 Pertumbuhan PDRB Kota Bogor Tahun 2004-2011

6 Perkembangan Jumlah Kemiskinan Kota Bogor 2004-2011 7 Perkembangan Proporsi Belanja Langsung Dan Tidak Langsung

APBD Kota Bogor 2004-2011

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Analisis Regresi Berganda

(17)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemiskinan merupakan masalah serius yang banyak dihadapi oleh negara berkembang. Banyaknya masalah yang dihadapi saat ini baik di bidang sosial, ekonomi, budaya, politik dan keamanan berakar pada kemiskinan. Lingkaran setan dari kemiskinan apabila tidak segera diputus maka akan selalu menghasilkan generasi selanjutnya yang miskin pula. Pembangunan pada akhirnya harus mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Kemiskinan pada ujungnya akan menghambat pembangunan.

Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Dalam arti poverty, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, Chambers (dalam Chriswardani Suryawati, 2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (poverty), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.

(18)

ekstrim. Masing-masing tujuan MDG’s terdiri dari target-target yang memiliki batas pencapaian minimum yang harus dicapai pada tahun 2015. Tujuan Pembangunan Milenium tersebut adalah :

1. Mengentasan kemiskinan ekstrim dan kelaparan 2. Mencapai pendidikan dasar untuk semua

3. Mendukung kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan 4. Mengurangi tingkat kematian anak

5. Meningkatkan kesehatan ibu

6. Memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya 7. Memastikan kelestarian lingkungan

8. Mengembangkan kemitraan untuk pembangunan

Persoalan kemiskinan sesungguhnya juga menjadi persoalan utama di Indonesia termasuk di Kota Bogor. Berdasarkan data, jumlah penduduk miskin di Kota Bogor memperlihatkan adanya peningkatan pada 2004 – 2008, namun kemudian terjadi penurunan pada 2009-2012. Penduduk miskin pada tahun 2004 mencapai 85.317 jiwa dan mencapai puncaknya pada tahun 2008 yaitu sebesar 97.700 jiwa. Pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin di kota bogor menurun menjadi 84.500 jiwa.

Tabel 1. Perkembangan Kemiskinan Di Kota Bogor Tahun 2004-2012

(19)

Jika ditinjau berdasarkan jumlah Kepala Keluarga (KK) miskin di Kota Bogor,maka sejak tahun 2004 hingga tahun 2007 mengalami peningkatan dari angka 21.914 KK pada tahun 2004 menjadi 43.749 KK miskin pada tahun 2007. Selanjutnya stagnan pada periode 2008 sampai 2009 dan sedikit mengalami penurunan pada tahun 2010 menjadi 40.876 KK. Penurunan KK miskin secara drastis terjadi pada tahun 2011 menjadi 17.188 dan menurun kembali walaupun sedikit pada tahun 2012 menjadi 16.189 KK.

Gambar 1. Perkembangan KK Miskin Kota Bogor

1.2. Perumusan Masalah

(20)

Tabel 3. Indikator Makro Kota Bogor

2010 1.052.577.506.897 13.908.900 75.75 647.89 6.07 72.015 1024.14

2011 1.183.796.860.955 15.487.240 76.08 647.89 6.19 44.985 1249.29

2012 1.401.329.094.935 17.323.336 76.4 645.65 6.15 39.417 1350

Sumber : BPS (2013)

Dengan keadaan perekonomian seperti di atas, sudah sepantasnya masyarakat Kota Bogor merasakan tingkat kesejahteraan yang baik. Namun dalam kenyataannya masih terdapat sekitar 7 persen penduduk Kota Bogor yang masih berada dalam keadaan miskin. Hal ini memperlihatkan belum terjadinya pemerataan pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh di Kota Bogor.

(21)

tidak langsung diperlukan pemerintah yang yang cukup efektif mendistribusikan manfaat pertumbuhan yang mungkin didapatkan dari sektor modern seperti jasa yang padat modal (Siregar dan Dwi, 2008).

Upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat. dan dilaksanakan secara terpadu (Nasir, et.al., 2008). Keberhasilan menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah KK miskin merupakan syarat utama dalam program pengentasan kemiskinan di Kota Bogor. Untuk lebih mengetahui profil kemiskinan di Kota Bogor diperlukan karakteristik kemiskinan dan sejauhmana faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di kota Bogor dan bagaimana tingkat

hubungan faktor-faktor tersebut?

Pemerintah Kota Bogor dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dimilikinya diharapkan dapat melahirkan program-program penanggulangan kemiskinan yang efektif. Program penanggulangan kemiskinan di Kota Bogor telah berlangsung selama kurang lebih sepuluh tahun. Namun dengan masih tingginya angka kemiskinan di Kota Bogor, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan efektivitas program tersebut. Untuk melihat apakah kebijakan tersebut efektif atau tepat sasaran maka perlu dilakukan evaluasi terhadap program-program yang ada sejauhmanakah keefektifan program-program penanggulangan kemiskinan selama ini? Bagaimana

dampak-dampaknya? Bagaimanakah strategi penanggulangan kemiskinan tersebut

dapat dijalankan sesuai dengan sumber daya yang ada?

1.3. Tujuan Kajian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas. maka Kajian Pembangunan Daerah dengan judul Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Bogor mengandung tujuan utama untuk menyusun strategi Pemerintah Kota Bogor dalam menanggulangi kemiskinan. Adapun tujuan spesifiknya antara lain adalah : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

kemiskinan di Kota Bogor

(22)

1.4. Manfaat

Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Menghasilkan profil kemiskinan di Kota Bogor

(23)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana pendapatan seseorang berada dibawah garis kemiskinan, yaitu besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk konsumsi pangan dan non pangan (sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan dan bahan bakar). Berdasarkan indikator internasional seperti terdefenisi miskin dalam kategori Millenium Development Goals (MDGs) adalah warga miskin yang berpendapatan dibawah satu dolar AS setiap harinya. Kemudian Asian Development menggunakan dasar garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia sebesar US$ 2 per kapita per hari, setelah dikonversi kedalam rupiah menjadi sekitar Rp 540.000 per bulan. Pemerintah Indonesia saat ini menggunakan standar kemiskinan dengan alat ukur berupa rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Rp 211.726,- pada Maret 2010.

Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu pada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut absolut (Tambunan, 2003).

Menurut Nurkse (1953), ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan struktural. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan struktural terjadi karena lembaga-lembaga yang ada dimasyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, sehingga mereka tetap miskin. Pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada tertumbuhan perbandingan dengan pemerataan pembangunan. Pembangunan yang terlampau bertumpu pada pertumbuhan menyebabkan ketidak merataan meningkat. Pertumbuhan ekonomi tinggi mensyaratkan pertumbuhan akumulasi kapital yang tinggi pula.

(24)

bertumpu padapertumbuhan ekonomi, pemilik modal lebih diuntungkan di bandingkan orang miskin. Nurkse (1953), mengemukakan bahwa berbagai persoalan kemiskinan penduduk dapat disimak dari berbagai aspek : sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan faktor produksi, upah rendah, daya tawar petani rendah, rendahnya tingkat tabungan dan lemahnya mengantisipasi peluang-peluang kesempatan berusaha yang ada. Dari aspek psikologi, kemiskinan terjadi terutama akibat rasa rendah dari, fatalisme, malas dan rasa terisolir. Dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambilan keputusan. Nurkse (1953), menjelaskan bahwa kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian : kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhikebutuhan hidup minimum : pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan.

Garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya. Sajogyo (1987), mengungkapkan bahwa kemiskinan merupakan suatu tingkat kehidupan yang berada dibawah standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan berdasarkan atas kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup sehat didasarkan pada kebutuhan beras dan kebutuhan gizi. Sayogyo dalam menentukan garis kemiskinan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita. Konsumsi beras untuk perkotaan dan perdesaan masing-masing ditentukan sebesar 360 kg dan 240 kg per kapita per tahun.

(25)

pertumbuhan output (produktivitas), tingkat upah neto, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, jenis pekerjaan yang tersedia, inflasi, pajak dan subtitusi, investasi, alokasi serta kualitas sumberdaya alam, penggunaan teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik, hingga politik, bencana alam dan peperangan.Kalau diamati sebagai faktor tersebut juga mempengaruhi satu sama lain. Tingkat pajak yang tinggi membut tingkat upah neto rendah dan ini bisa mengurangi motivasi kerja dari pekerja yang bersangkutan hingga produktivitasnya menurun. Produktivitas menurun dapat mengakibatkan tingkat upah netonya berkurang, dan seterusnya. Dalam hal ini tidak mudah untuk memastikan apakah karena pajak naik atau produktifitasnya yang menurun membuat pekerja tersebut menjadi miskin karena upah nettonya menjadi rendah.

Penelitian yang dilakukan Saputro dan Utomo (2007) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di lima belas propinsi di Indonesia memperlihatkan bahwa ada empat faktor utama yang perlu diperhatikan yaitu : pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan faktor lingkungan. Sebagian besar penduduk miskin di 15 provinsi pada tahun 2007 cenderung memiliki ciri-ciri seperti: pengeluaran per kapita untuk makanan lebih besar daripada pengeluaran per kapita untuk non-makanan, pendidikan masih rendah, bekerja di sektor pertanian, status pekerjaan informal, ada yang tidak bekerja, belum menggunakan tenaga kesehatan modern untuk persalinan anak pertama maupun persalinan anak terakhir, belum menggunakan alat KB, tidak menggunakan air bersih, dan tidak memiliki jamban.

Untuk mengukur angka keluarga miskin (KK), Pemerintah Kota Bogor menetapkan 14 kriteria. Dalam menentukan sebuah keluarga dikategorikan sebagai keluarga miskin atau tidak, diukur berdasarkan kriteria fisik, pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Secara rinci kriteria tersebut adalah sebagai berikut : a. Aspek Fisik :

1) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2/ orang.

2) Lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah /bambu /kayu murahan.

(26)

4) Tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar atau bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5) Sumber penerangan rumah tangga tidak berasal dari listrik.

6) Sumber air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindungi /sungai/ air hujan.

b. Aspek Pendidikan :

7) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya sampai Sekolah Dasar (SD) /tidak tamat SD /tidak sekolah.

c. Aspek Ekonomi :

8) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

9) Tidak pernah atau hanya sekali dalam seminggu mengkonsumsi daging/susu/ayam.

10) Tidak pernah atau hanya sekali dalam setahun membeli pakaian baru untuk setiap anggota rumah tangga

11) Sekali atau dua kali dalam sehari makan untuk setiap anggota rumah tangga.

12) Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5 Ha per buruh/ tani /nelayan/ buruh bangunan /buruh perkebunan /pekerjaan lain dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000/bulan.

13) Tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai minimal sebesar Rp. 500.000 (seperti sepeda motor, emas, ternak, barang modal lainnya).

d. Aspek Kesehatan

14) Tidak mampu membayar untuk berobat ke puskesmas/poliklinik.

(27)

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bogor tahun 2009- 2014.

Sebagai salah satu skala prioritas pembangunan di Kota Bogor, penanggulangan kemiskinan di Kota Bogor, dalam pelaksanaannya melibatkan beberapa sektor atau satuan perangkat kerja daerah (SKPD) yang dijabarkan dalam berbagai program dan kegiatan, yang dikordinasikan oleh sebuah Tim Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang bertanggungjawab langsung kepada Walikota Bogor. Secara formal Tim Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Walikota Bogor. Program penanggulangan kemiskinan Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Program Penanggulangan Kemiskinan dalam RPJMD

URUSAN PROGRAM

Ketahanan Pangan Program peningkatan ketahanan pangan

Pemberdayaan Masyarakat Program pengembangan lembaga ekonomi kelurahan

Perumahan Rakyat Program lingkungan sehat perumahan

Pendidikan Program peningkatan pendidikan anak usia dini

Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun

Program pendidikan menengah

Program pendidikan non-formal

Kesehatan Program pelayanan kesehatan penduduk miskin

Program kesehatan ibu melahirkan dan anak

Program perbaikan gizi masyarakat

Program pengembangan lingkungan sehat

Program pencegahan dan penanggulangan penyakit menular

dan tidak menular.

Pemberdayaan Perempuan

dan Perlindungan Anak

Program peningkatan peran serta dan kesetaraan gender

dalam pembangunan.

Sosial Program pemberdayaan fakir miskin

Program pembinaan anak terlantar

Program pembinaan penyandang cacat. trauma dan korban

bencana

(28)

2.2. Pembangunan Daerah

Pembangunan sering didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil perkapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumberdaya. Meskipun pembangunan harus berkeadilan,namun disadari bahwa pertumbuhan tetap penting. Upaya memadukan konsep pertumbuhan dan pemerataan merupakan tantangan yang jawabannya tidak henti-hentinya dicara dalam studi pembangunan. Sebuah model yang dinamakan pemerataan dengan pertumbuhan atau redistribution with growth (RWG) dikembangkan berdarakan suatu studi yang disponsori oleh Bank Dunia pada tahun 1974 (Chenery, et.al). Ide dasarnya adalah pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian sehingga produsen yang berpendapatan rendah (yang di banyak negara berlokasi di perdesaan dan produsen kecil di perkotaan) akan mendapat kesempatan meningkatkan pendapatan dan secara simultan menerima sumber ekonomi yang diperlukan.

Dalam rangka mencari jawaban terhadap tantangan paradigma keadilan dalam pembangunan, berkembang pendekatan kebutuhan dasar manusia atau basic human needs (BHN) (Streeten, et al., 1981). Strategi BHN disusun untuk menyediakan barang dan jasa dasar bagi masyarakat miskin, seperti makanan pokok, air dan sanitasi, perawatan kesehatan, pendidikan dasar, dan perumahan. Walaupun RWG dan BHN mempunyai tujuan yang sama, tetapi dalam hal kebijaksanaan yang diambil terdapat perbedaan. RWG menekankan pada peningkatan produktifitas dan daya beli masyarakat miskin, sedangkan BHN menekankan pada penyediaan public services disertai jaminan bagi masyarakat miskinm untuk memperoleh pelayanan tersebut.

(29)

Beberapa ahli berpendapat pula bahwa pemerataan pendapatan akan meningkatkan penciptaan lapangan kerja (Seers, 1970). Menurut teori ini, barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat miskin cenderung lebih bersifat padat tenaga kerja dibanding dengan konsumsi masyarakat yang berpendapatan lebih tinggi. Dengan demikian pemerataan pendapatan akan menyebabkan pergeseran pola permintaan yang pada gilirannya akan menciptakan kesempatan kerja.

Studi kasus yang dilakukan oleh Montgomery et al. (2002) yang terfokus pada sektor pertanian, yakni sektor dimana sebagian besar orang miskin di Indonesia bekerja, memberikan pelajaran berharga mengenai bagaimana praktek tata kelola pemerintahan yang buruk merugikan kaum miskin di era sebelum krisis. Gambaran singkat kemiskinan di sektor pertanian menunjukkan bahwa secara nasional sektor ini mempunyai angka kemiskinan per sektor tertinggi, juga memiliki jumlah orang miskin terbanyak (data per Pebruari 1999). Tingkat kemiskinan menurut head count di sektor ini berjumlah 39,7 persen, dan lebih dari 58,4 persen jumlah total penduduk miskin menyebutkan pertanian sebagai sumber utama pendapatan mereka (Pradhan et al,2000). Meskipun sektor pertanian sarat dengan jumlah pendududk miskin, tetapi sektor ini ternyata menjadi satu-satunya sektor yang mampu menampung sejumlah besar penganggur baru selama krisis ekonomi berlangsung. Pada saat kesempatan kerja di sektor lain berkurang tajam, penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian justru naik 13 persen atau 4,6 juta orang dalam waktu setahun, yakni dari 34,8 juta orang pada tahun 1997, meningkat menjadi 39,4 juta pada tahun 1998.

Jasmina, et.al (2001:424) dalam Rusdarti & Sebayang (2013) mengungkapkan bahwa berbagai strategi, kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang sudah dicanangkan pemerintah daerah pada akhirnya tergantung pada ketersediaan dan mekanisme penggunaan anggaran yang dimiliki daerah. 2.3. Kebijakan Anggaran

(30)

istilah anggaran mengandung arti tas kecil (budget, bahasa Inggris diambil dari kata “bougette” bahasa Perancis).

Anggaran merupakan titik fokus dari persekutuan antara proses perencanaan dan pengendalian. Penganggaran (budgetting) adalah proses penerjemahan rencana aktivitas ke dalam rencana keuangan (budget). Dalam makna yang lebih luas, penganggaran meliputi penyiapan, pelaksanaan, pengendalian dan pertanggungjawaban anggaran yang biasa dikenal dengan siklus anggaran. Dengan demikian, penganggaran memiliki standarisasi dalam berbagai formulir, dokumen, interaksi dan prosedur karena menyangkut dan terkait dengan operasional sehari-hari (Hariyandi, Indrajaya, Yuwono, 2005).

Menurut Hariyandi, Indrajaya dan Yuwono, 2005, anggaran memiliki lima fungsi sebagai berikut : (1) fungsi Perencanaan, (2) fungsi koordinasi dan komunikasi, (3) fungsi motivasi, (4) fungsi pengendalian dan evaluasi, dan (5) fungsi pembelajaran.

Dalam sebuah organisasi besar, penganggaran merupakan proses yang terus menerus. Hal tersebut terjadi karena beberapa bulan anggaran tahun berjalan mulai diimplementasikan, tim anggaran telah kembali bekerja untuk anggaran tahun berikutnya. Pada organisasi pemerintahan perlu waktu yang lama dalam menyiapkan suatu anggaran agar tersedia tepat di awal tahun berikutnya dan disetujui semua pihak.

Di Amerika Serikat, GASB Codification, Sec. 1100.109 menyatakan bahwa setiap unit pemerintahan harus membuat anggaran tahunan dan sistem akuntansi harus didesain untuk memungkinkan pengendalian anggaran yang memadai serta laporan yang membandingkan realisasi dan anggaran harus dibuat (Freeman dan Shoulders, 2000)

Di Indonesia anggaran diatur di dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan diimplementasikan dengan disusunnya UU APBN setiap tahun. Selain itu, untuk melaksanakan UU APBN tersebut pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan perundangan lainnya, seperti UU Pajak, UU Bea Masuk dan Cukai, Keppres Pelaksanaaan APBN dan peraturan pelaksanaan lainnya.

(31)

keuangan daerah dalam masa satu tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. APBD merupakan produk terakhir dari serangkaian dokumen perencanaan yang dimulai dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Renstra tahunan SKPD dan musrembang daerah, Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS).

Jenis anggaran dalam struktur APBD (Permendagri No. 13 Tahun 2006) dalah sebagai berikut :

1. Pendapatan daerah, terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah, dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil sumberdaya alam, DAU, DAK, dana otonomi khusus, dana penyesuaian, pendapatan dana darurat dan pendapatan bagi hasil lainnya. 2. Belanja daerah terdiri dari belanja langsung dan belanja tidak langsung.

Belanja langsung adalah belanja modal dan barang , antara lain modal peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal jalan, belanja irigasi dan jaringan serta belanja aset tetap lainnya, sedangkan belanja tidak langsung terdiri dari pegawai, belanja barang, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja modal tanah.

3. Pembiayaan daerah, terdiri dari Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan

Dalam Musrembangnas 2011 terdapat 5 isu yang harus diperhatikan dalam perumusan kebijakan dan penyusunan APBD, yaitu:

1. Penguatan ketahanan pangan dalam upaya menjaga ketersediaan bahan pokok dan energi

2. Percepatan pengurangan kemiskinan

3. Peningkatan keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses pembangunan

4. Peningkatan nilai tambah pemanfaatn potensi & peluang sumber daya alam, bonus demografi, relokasi industri dan pasar domestik yang besar 5. Implementasi upaya-upaya pembangunan berkelanjutan

(32)

pengangguran dan mengurangi kemiskinan, maka diperlukan pengelolaan alokasi anggaran sebagai salah satu strategi pengelolaan pendapatan. Strategi alokasi anggaran ini bisa mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi sekaligus menjadi alat mengurangi kesenjangan / ketimpangan regional (Kuncoro, 2003).

(33)

BAB III. METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran

Kemiskinan tidak lahir dengan sendirinya, juga tidak muncul bukan tanpa sebab. Orang-orang miskin muncul bukan karena mereka malas atau boros. Mereka miskin bukan pula karena nasibnya yang sedang sial sehingga menjadi miskin. Mereka menjadi miskin karena ada faktor-faktor penyebab kemiskinan antara lain faktor ekonomi, faktor sosial, faktor politik yang sebagian besar dipengaruhi oleh kebijakan dan program pemerintah. Diantara faktor-faktor tersebut tentunya ada yang berpengaruh besar ada pula yang berpengaruh sedang atau kecil.

Adanya fenomena kemiskinan di Kota Bogor saat ini merupakan hasil dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan Pemerintah Kota Bogor yang diduga tidak efektif karena tidak memperhatikan karakteristik penduduk miskin serta faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kota Bogor sehingga penurunan jumlah KK miskin tidak terlalu signifikan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian tentang karakteristik kemiskinan dan faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinn di Kota Bogor. Di samping itu juga diperlukan evaluasi terhadap kebijakan serta program penanggulangan kemiskinan yang selama ini dijalankan pemerintah Kota Bogor

(34)

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Kajian

3.2. Lokasi dan Waktu Kajian

Kajian ini dilaksanakan di wilayah Pemerintah Kota Bogor dalam hal ini di seluruh 6 wilayah Kecamatan di Kota Bogor dan dapat mencakup keseluruhan permasalahan kemiskinan di Kota Bogor. Waktu Kajian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu bulan Maret – Mei 2012.

3.3. Metode Pengumpulan Data

(35)

dari dua orang anggota DPRD Kota Bogor, satu orang Ketua Komisi B dan satu orang anggota DPRD Kota Bogor yang membidangi masalah anggaran dan perekonomian di Kota Bogor. Selain itu juga kalangan pekerja sosial 2 orang, LSM 3 orang , wartawan 2 orang, peneliti 2 orang, akademisi 8 orang, dan pihak-pihak yang memiliki minat dan menggeluti masalah kemiskinan. Data primer ini untuk mendapatkan tujuan kajian evaluasi program dan rumusan strategi penanggulangan kemiskinan di Kota Bogor

Sedangkan data sekunder bersumber dari studi kepustakaan, data kedinasan maupun dari publikasi instansi resmi. Data sekunder diperoleh dari tahun 1999-2012 yang meliputi data indikator makro, jumlah penduduk miskin, KK miskin, jumlah pengangguran, angka rata-rata lama sekolah, data APBD, data besar belanja langsung APBD, dan indek harga konsumen (IHK) serta informasi tentang laporan kinerja pemerintah Kota Bogor terutama tentang penanggulangan kemiskinan. Data primer ini diperlukan untuk menjawab tujuan kajian tentang identifikasi dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan serta karakteristik kemiskinan di Kota Bogor.

Tabel 4 . Data Yang Diteliti Dan Sumber Data

No Tujuan Data yang dibutuhkan Sumber Data

(36)

No Tujuan Data yang dibutuhkan Sumber Data

Untuk mencari faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah KK miskin digunakan metode analisis regresi berganda. Analisis regresi berganda adalah analisis regresi yang digunakan untuk menduga nilai variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent) dengan menggunakan lebih dari satu variabel bebas (independent). Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor yang diduga mempengaruhi jumlah KK miskin, digunakan persamaan :

Y(t) = ßo +ß1 A(t) + ß2 B(t) + …… + ß(n) X(t) + ε(t), dimana

Y(t) = Jumlah persentase KK miskin ßo = Koefisien intersep

ß1,n = Parameter regresi

A(t) = Variabel belanja langsung APBD riil B(t) = Variabel jumlah pengangguran

ε(t) = Standar error

(37)

Untuk mengetahui karakteristik kemiskinan di Kota Bogor menggunakan metode analisis kedalaman, penyebaran dan ketimpangan. Sementara untuk data data kualitatif disajikan secara deskriptif seperti data aktifitas penduduk miskin dan data kualitatif lainnya. Sedangkan evaluasi program dilakukan dengan menganalisa capaian dengan target-target program yang telah ditetapkan.

3.5. Metode Perancangan Program

(38)

BAB IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Kondisi Geografis

Kota Bogor merupakan salah satu dari 25 kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa barat. Kota Bogor memiliki luas wilayah sebesar 118,5 km persegi. Secara geografis, Kota Bogor terletak diantara 106043’30”BB – 106051’00”BT dan 6030’30”LS – 6041’00”LU. Kota Bogor memiliki ketinggian rata-rata minimal 190 meter dan maksimal 350 meter diatas permukaan laut. Jarak Kota Bogor dengan ibukota Jakarta kurang lebih 60 km.

Di Kota Bogor mengalir beberapa sungai yang permukaan airnya jauh di bawah permukaan tanah, yaitu sungai Ciliwung, Cisadane, Cipakancilan, Cidepit, Ciparigi, dan Cibalok. Dengan kondisi sungai seperti ini, Kota Bogor relatif aman dari bahaya banjir walaupun memiliki banyak aliran sungai. Batas-batas wilayah Kota Bogor adalah sebagai berikut:

1. Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor,

2. Timur : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor,

3. Utara : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojonggede, dan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor,

(39)

Gambar 3. Peta Wilayah Administratif Kota Bogor

Secara topografis, kemiringan tanah di Kota Bogor berkisar antara 0-15 persen dan hanya sebagian kecil daerahnya mempunyai kemiringan antara 15-30 persen. Jenis tanah di hampir seluruh wilayah adalah lotosil

coklat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dengan tekstur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap erosi.

(40)

4.2. Keadaan Penduduk

Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Kota Bogor adalah 950.334 orang dengan rincian 484.791 laki-laki dan 465.543 perempuan. Sex rasio Kota Bogor tahun 2010 adalah 104 dan jumlah rata-rata anggota 4 orang per rumah tangga. Kepadatan penduduk di Kota Bogor adalah 8.020 orang/ km2. Kecamatan yang memiliki kepadatan tertinggi adalah Kecamatan Bogor Tengah yaitu 12.472orang/ km2, dan kepadatan terendah ada di Kecamatan Bogor Selatan yaitu 5.887 orang/ km2

Berdasarkan usia, penduduk Kota Bogor tahun 2010 didominasi oleh penduduk usia 25-29 tahun sebanyak 93.032 jiwa sedangkan penduduk dengan usia 70-74 memiliki jumlah paling sedikit yaitu 11.164 jiwa. Penduduk Kota Bogor pada usia produktif (15-59 tahun) menempati porsi yang paling besar yaitu 66,6% sedangkan penduduk usia muda (0-14 tahun) memiliki porsi sebesar 27,1% dan penduduk usia tua (60-75 tahun ke atas) memiliki porsi sebesar 6,3%.

Piramida penduduk Kota Bogor tahun 2010 dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 4. Piramida Penduduk Kota Bogor Tahun 2010

(41)

kelompok umur muda. Adapun ciri constrictive adalah penduduk yang berada dalam kelompok umur termuda jumlahnya sedikit. Piramida berbentuk stationary memperlihatkan keadaan jumlah penduduk dalam tiap kelompok umur relatif sama banyaknya kecuali pada kelompok umur tertentu. Secara empiris, piramida penduduk berubah dari struktur expansive ke arah stationary.

4.3. Kondisi Perekonomian

Kedudukan topografis Kota Bogor ditengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang dekat dengan Ibukota Negara (berjarak 60 km), merupakan potensi yang strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Adanya Kebun Raya yang didalamnya terdapat Istana Bogor di Pusat Kota, merupakan tujuan wisata, serta kedudukan Kota Bogor diantara jalur tujuan wisata Puncak – Cianjur juga merupakan potensi yang strategis bagi pertumbuhan ekonomi.Pembangunan didaerah ini lebih diarahkan pada pemerataan dan pertumbuhan ekonomi, dengan memprioritaskan pembangunan sektor industri yang ditunjang oleh sektor pertanian.

(42)

Gambar 5. Pertumbuhan PDRB Kota Bogor Tahun 2004-2011

4.4. Kondisi Pemerintahan

(43)

Di samping unsur eksekutif dan legislatif di Kota Bogor juga terdapat unsure yudikatif yang terdiri dari pihak Kejaksaan Negeri, Pengadilan Negeri, serta Kepolisian Resort Kota Bogor.

Dalam melaksanakan pembangunan Pemerintah Kota Bogor bekerjasama dengan DPRD Kota Bogor menyusun Rencana Program Jangka Panjang Daerah (RPJPD) untuk jangka waktu dua puluh tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk jangka waktu lima tahun, serta Rencana Kerja (RENJA) Pemerintah Daerah untuk jangka waktu satu tahun. Dari Renja kemudian dijabarkan dalam Kebijakan Umum Anggaran/Prioritas dan Plafon Anggaran Seementara (KUA/PPAS) pemerintah daerah. KUA/PPAS ini sebagai dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang berisi program dan kegiatan yang merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah daerah dan DPRD. Dalam pelaksanaannya APBD dilaksanakan oleh seluruh SKPD dan mendapatkan pengawasan kinerja dari DPRD melalui mitra komisi terkait.

(44)

BAB V. PEMBAHASAN HASIL KAJIAN

5.1. Kondisi Perekonomian Kota Bogor

Perekonomian Kota Bogor pada tahun 2004-2009 berada dalam keadaan relatif baik. Laju pertumbuhan ekonomi selama 2004-2009 rata-rata adalah sebesar 6,06 persen. Pertumbuhan ekonomi tersebut ditunjang oleh kenaikan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar rata-rata Rp. 1,57 triliun/tahun. Jika diperhatikan lebih jauh, kenaikan PDRB Kota Bogor sebagian besar ditunjang oleh sektor tersier seperti pada PDRB tahun 2009 di mana sektor tersier menyumbang sebesar 66,7 persen sedangkan sektor sekunder sebesar 33,1 persen dan sektor primer sebesar 0,2 persen.

Sektor primer adalah sektor yang tidak mengolah bahan mentah atau bahan baku melainkan hanya mendayagunakan sumber-sumber alam seperti tanah dan deposit di dalamnya. Yang termasuk kelompok ini adalah Sektor Pertanian dan Sektor Pertambangan dan Penggalian. Sektor Sekunder, yaitu Sektor yang mengolah bahan mentah atau bahan baku baik berasal dari Sektor Primer maupun dari Sektor Sekunder menjadi barang yang lebih tinggi nilainya. Sektor ini mencakup Sektor Industri Pengolahan; Sektor Listrik, Gas dan Air Minum dan Sektor Bangunan (Konstruksi). Sektor Tersier atau dikenal sebagai Sektor Jasa, yaitu Sektor yang tidak memproduksi dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk Jasa. Sektor yang tercakup adalah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, Sektor pengangkutan dan Komunikasi, Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan serta Sektor Jasa-jasa.

Tabel 5. Perkembangan PDRB Kota Bogor Berdasarkan Harga Berlaku

(45)

Tahun 2006-2010 (Dalam Milyar Rupiah)

PDRB Harga Berlaku 7,257.74 8,558.04 10,089.94 11,904.60 14,070.35

Sumber : BPS Kota Bogor (2011)

(46)

Dari segi pendapatan per kapita, masyarakat Kota Bogor memiliki pendapatan per kapita yang relatif cukup baik. Dilihat dari PDRB Atas Dasar Harga Berlaku, Pendapatan perkapita Kota Bogor menunjukkan peningkatan dari Rp. 8,63 juta pada tahun 2006 menjadi Rp. 15,63 juta di tahun 2010 (BPS Kota Bogor, 2011). Jika dihitung per bulan, maka pendapatan masyarakat Kota Bogor adalah sebesar Rp. 1,2 juta/bulan. Nilai pendapatan per kapita Kota Bogor masih berada di bawah pendapatan per kapita nasional tahun 2010 sebesar Rp. 2,25 juta/kapita/bulan.

Jika memperhatikan keadaan pendapatan per kapita sebagai indikator ekonomi, maka pemerintah Kota Bogor memiliki dua agenda penting dalam hal ini yaitu : meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan melakukan pemerataan pertumbuhan pada saat bersamaan. Peningkatan pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk meningkatkan angka PDRB lebih tinggi lagi sehingga PDRB per kapita mendekati PDRB per kapita nasional. Pemerataan pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk mengurangi angka kemiskinan yang masih ada di Kota Bogor. 5.2. Kondisi Kemiskinan Di Kota Bogor

(47)

Gambar 6. Perkembangan Jumlah Kemiskinan Kota Bogor 2004-2012

Berdasarkan data, jumlah penduduk miskin dan KK miskin di Kota Bogor tahun 2004-2008 cenderung sedikit meningkat. Jumlah penduduk miskin tahun 2004 sebanyak 85.317 jiwa dan pada tahun 2008 menjadi 97.700 jiwa. Adapun jumlah KK miskin tahun 2004 adalah sebesar 21.914 KK dan pada tahun 2008 menjadi 42.328 KK. Jumlah penduduk miskin dan KK miskin menurun mulai tahun 2009-2012. Penurunan terbesar pada tahun 2011, jumlah KK miskin menurun dari 40.876 KK pada tahun 2010 menjadi 17.188 KK pada tahun 2011. Pada tahun 2012, persentase KK miskin Kota Bogor sebesar 7 % dengan persentase penduduk miskin sebesar 8%. Rata-rata jumlah penduduk miskin 88.450 jiwa dengan rata-rata KK miskin sebesar 38.14 persen sehingga rata-rata penduduk miskin tiap KK miskin adalah 2.3 jiwa.

(48)

(BPS, 2010). Persentase KK miskin tertinggi ada di Kec. Bogor Selatan sebesar 22,30 persen.

Tabel 6. Jumlah KK miskin per Kecamatan tahun 2010

K

5.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kota Bogor

sebagaimana model yang dinamakan pemerataan dengan pertumbuhan atau redistribution with growth (RWG) yang ide dasarnya adalah pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian sehingga produsen yang berpendapatan rendah (yang di banyak negara berlokasi di perdesaan dan produsen kecil di perkotaan) akan mendapat kesempatan meningkatkan pendapatan dan secara simultan menerima sumber ekonomi yang diperlukan (Chenery, et.al, 1974). Model ini dalam kontek otonomi daerah diwujudkan dalam kebijakan yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terutama kebijakan anggaran daerah baik berupa belanja daerah langsung (belanja public) maupun tidak langsung (belanja apparatus).

Cardiman (2006) menyebutkan bahwa belanja aparatur dan belanja public (APBD) berpengaruh signifikan terhadap Indek Pembangunan Manusia (IPM) dan pengaruhnya positif. APBD berpengaruh secara signifikan terhadap indek pendapatan dan bersifat positif. Hal ini berarti akan mengurangi angka kemiskinan.

(49)

Saputro dan Utomo (2007) setidaknya ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemiskinan sebagaimana tertera pada tabel berikut.

Tabel 7. Beberapa Faktor Penyebab Kemiskinan di Suatu Daerah

Faktor Penyebab Komponen Indikator

Faktor

Jumlah lapangan kerja, angka

pengangguran

Faktor Pendidikan Kualitas SDM, tingkat

penyelenggaraan pendidikan

Jumlah buta huruf, penduduk

berpendidikan rendah, putus

sekolah

Faktor Kesehatan Tingkat kesehatan masyarakat,

pertumbuhan penduduk, fasilitas

Potensi SDA, lingkungan tempat

tinggal

Jumlah bahan tambang,

cakupan air bersih, jamban

keluarga

Sumber : Saputro dan Utomo (2010), diolah

Pada penelitian ini, kemiskinan yang terjadi di Kota Bogor diduga disebabkan oleh faktor perekonomian dan ketenagakerjaan. Faktor perekonomian yang dikaji adalah distribusi pendapatan yang diindikasikan dengan belanja langsung (belanja public) dalam APBD berdasarkan asumsi bahwa belanja publik adalah belanja pemerintah daerah yang diperuntukkan bagi masyarakat termasuk belanja untuk penanggulangan kemiskinan. Asumsi yang digunakan adalah semakin bertambah belanja langsung dalam APBD akan semakin menurunkan angka kemiskinan. Sedangkan faktor ketenagakerjaan diindikasikan dalam kajian ini dengan jumlah angka pengangguran terbuka. Asumsinya bahwa peningkatan pengangguran akan meningkatkan kemiskinan

(50)

kedua-duanya berpengaruh nyata pada 5 persen terhadap kemiskinan yang terjadi di Kota Bogor.

Persamaan regresi memiliki nilai F yang nyata pada taraf 5 persen, artinya persamaan ini memiliki model yang baik, selanjutnya persamaan regresi berganda ini, dengan dua variabel bebas yang terbentuk memiliki koefisien determinan sebesar 0,806 yang berarti bahwa variabel-variabel independen yang digunakan dalam persamaan tersebut berpengaruh sebesar 80.6 persen, selebihnya dipengaruhi oleh variabel lain diluar kedua variabel tersebut.

Tabel 8. Hasil Analisis Regresi Berganda terhadap Faktor - faktor yang Mempengaruhi Persentase KK Miskin di Kota

Bogor

Uraian Koefisien T Stat P-value

F

R2

22.9711698*

0.806

Intersep 104.058 7.173

Belanja Langsung APBD (BA) -11.994 -6.683 3.454E-05

Jumlah Pengangguran (PG) 5.636998563 4.358 0.0011395

Keterangan:

*) nyata pada taraf uji 1%

Secara rinci hasil analisis regresi berganda pada kajian ini dapat dilihat pada Lampiran 2. Adapun dalam bentuk persamaan dapat dilihat pada persamaan berikut ini:

Y =104.058 – 11.994 BA + 5.637 PG

5.3.1. Pengaruh Belanja Langsung APBD Terhadap Kemiskinan

(51)

perundang-undangan yang baru sebenarnya sama dengan belanja publik, terdapat alokasi untuk berbagai program dan kegiatan yang akan digulirkan kepada masyarakat termasuk program penanggulangan kemiskinan.

Alokasi belanja langsung sangat berpengaruh terhadap kondisi pembangunan daerah. Alokasi belanja langung yang tinggi akan memberikan peluang tersedianya berbagai program dan kegiatan yang akan dirasakan oleh masyarakat. Di samping itu belanja langsung juga akan menyerap tenaga kerja dan akan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, tanda dari koefisien alokasi belanja langsung APBD riil (setelah dihilangkan pengaruh inflasinya) sesuai yang diharapkan karena bernilai nigatif dengan jumlah persentase KK miskin, hasil ini sesuai dengan teori yaitu negatif . Oleh karena itu interpretasi dari nilai koefisien belanja langsung adalah jika ada peningkatan belanja langsung APBD sebesar 1 persen, maka akan menurunkan angka persentase KK miskin sebesar 11.99 persen. Hal ini menggambarkan kebijakan untuk terus menambah proporsi belanja langsung sangatlah tepat untuk menekan jumlah angka kemiskinan.

Hal ini dapat terjadi, karena belanja langsung merupakan belanja pemerintah yang diperuntukkan bagi masyarakat termasuk masyarakat miskin, sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Di samping itu belanja langsung juga dapat menyerap tenaga kerja dari kalangan keluarga miskin, yang tidak ada tuntutan ketrampilan dan atau kualifikasi tertentu misal program kebersihan saluran atau kali.

Belanja langsung dapat juga berupa pembangunan fasilitas umum seperti pembangunan jalan tembus, gedung-gedung pemerintahan, sarana kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya dan dapat juga berupa pengembangan kawasan baru. Kegiatan pembangunan tersebut pada umumnya memerlukan dukungan tenaga dan sarana pendukung yang bisa disediakan oleh kalangan keluarga miskin

(52)

2012. Hal ini terlihat seiring dengan penurunan KK miskin. Masih besarnya proporsi untuk belanja tidak langsung selalu lebih dari 50 persen terjadi karena besarnya kebutuhan anggaran untuk belanja aparatur di Kota Bogor yang memiliki 26 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan jumlah pegawai negeri sipil (PNS) sebesar 3566 orang.

Sumber : BAPPEDA Kota Bogor (2013)

Gambar 7. Perkembangan Proporsi Belanja Langsung dan Tidak Langsung

APBD Kota Bogor 2004-2012

5.3.2. Pengaruh Angka Pengangguran Terhadap Kemiskinan

(53)

Gambar 8. Perkembangan Jumlah Angka Pengangguran Kota Bogor

(Sumber BPS Kota Bogor, 2011)

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, peningkatan jumlah pengangguran berpengaruh nyata terhadap persentase KK miskin. Hal tersebut terlihat dari nilai koefisien variabel angka pengangguran yang positif. Hal ini sesuai dengan teori bahwa peningkatan pengangguran akan meningkatkan angka kemiskinan.

(54)

BAB VI. PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

6.1. Analisis SWOT Kondisi Kemiskinan Kota Bogor

Analisis SWOT adalah analisis mengenai kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threat) yang dialami oleh satu pihak dalam menghadapi suatu permasalahan. Analisis SWOT pertama kali dikembangkan oleh Albert Humphrey dari Stanford University AS pada tahun 1960. Analisis SWOT merupakan metode yang ditujukan untuk menyusun strategi perencanaan (strategic planning) bagi program dan kegiatan organisasi yang sesuai dengan kondisi internal dan eksternal organisasi yang bersangkutan. Kondisi internal organisasi dikelompokkan dalam kategori “S” (strength atau kekuatan) dan “W” (weakness atau kelemahan). Kondisi eksternal organisasi dikelompokkan dalam kategori “O” (opportunity atau peluang) dan “T” (threat atau ancaman).

Pihak yang dijadikan acuan sebagai pihak internal untuk menentukan analisis SWOT kemiskinan di Kota Bogor adalah seluruh komponen yang ada di Kota Bogor itu sendiri. Komponen tersebut dapat meliputi komponen pemerintah daerah, APBD, kondisi perekonomian, potensi sumberdaya manusia, kondisi geografis dan juga para pemangku kepentingan (stake holder). Adapun pihak eksternal yang dilihat dalam analisis ini adalah seluruh pihak yang ada di luar Kota Bogor yang memiliki pengaruh terhadap kemiskinan di Kota Bogor.

(55)

Tabel 10. Komponen Kekuatan dan Kelemahan Yang Berkaitan Dengan Permasalahan Kemiskinan Di Kota Bogor

Komponen Kekuatan (Strengths)

1. Letak strategis Kota Bogor yang dekat dengan DKI Jakarta sehingga memberikan dampak positif bagi perekonomian.

2. Kondisi perekonomian Kota Bogor yang sangat baik ditandai dengan laju pertumbuhannya yang selalu meningkat.

3. Komitmen pemerintah daerah Kota Bogor untuk menuntaskan persoalan kemiskinan.

4. Penyelenggaraan program pendidikan, kesehatan, infrastruktur sebagai penunjang program pengentasan kemiskinan berjalan baik.

Komponen Kelemahan (Weakness)

1. Kurang terserapnya tenaga kerja dari penduduk miskin Kota Bogor pada berbagai kegiatan ekonomi di Kota Bogor.

2. Kondisi SDM penduduk miskin Kota Bogor yang kurang terampil sehingga belum dapat mengakses peluang ekonomi dengan baik.

3. Belum tersedianya data kemiskinan secara detail sehingga menyulitkan penyusunan target dan sasaran program secara tepat.

4. Program/kegiatan dalam APBD Kota Bogor yang belum sepenuhnya diarahkan untuk tujuan penanggulangan kemiskinan.

Sumber : Focus Group Discussion (2012)

(56)

Pada bagian lain sebagai komponen kekuatan (strength), pemerintah Kota Bogor juga memiliki komitmen yang baik untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan. Beberapa komitmen tersebut antara lain adalah :

1. Penetapan program penanggulangan kemiskinan dalam Rencana Strategis (Renstra) Kota Bogor 2004 – 2009 yang dilanjutkan dengan menjadikannya sebagai skala prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bogor tahun 2009- 2014.

2. Dibentuknya Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD). 3. Penerapan konsep penanggulangan kemiskinan yang terdiri dari tiga fase

secara simultan, yaitu : fase penyelamatan (BOS, jamkesmas, raskin, PKH, jamkesda), fase pemberdayan (PNPM, KUBE), fase peningkatan ekonomi (pembiayaan perbankan dan lembaga keuangan).

Hal lain yang juga dipertimbangkan menjadi kekuatan (strength) adalah kenyataan penyelenggaraan program yang menunjang penanggulangan kemiskinan di Kota Bogor berjalan baik. Program-program tersebut adalah penyelenggaraan pendidikan (ditandai dengan RLS yang saat ini mencapai 9,85), kesehatan (ditandai dengan angka harapan hidup AHH mencapai 68,9 tahun) dan perbaikan infrastruktur jalan/jembatan. Program-program tersebut sekalipun tidak bersentuhan langsung dengan penduduk miskin namun memberikan dampak positif bagi penanggulangan kemiskinan.

(57)

dialokasikan sekitar Rp. 149 milyar untuk program penanggulangan kemiskinan. Namun besaran APBD tersebut tidak hanya berisi belanja langsung tapi juga termasuk belanja tidak langsung. Anggaran tersebut juga tersebar dalam beberapa SKPD dan tidak khusus berada di bawah SKPD yang memiliki tugas pokok dan fungsi yang berkaitan langsung dengan penanggulangan kemiskinan seperti Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Bogor.

Sebagai komponen peluang (opportunities), kebijakan Pemerintah Pusat secara nasional dalam hal penanggulangan kemiskinan sangat membantu Pemerintah Kota Bogor. Program-program seperti bantuan operasional sekolah (BOS), jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas), program keluarga harapan (PKH), program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) mandiri, kelompok usaha bersama (KUBE) merupakan program yang sangat membantu mengatasi persoalan kemiskinan di Indonesia.

Tabel 11. Komponen Peluang dan Ancaman Yang Berkaitan Dengan Permasalahan Kemiskinan Di Kota Bogor

Komponen Peluang (Opportunities)

1. Adanya dukungan dari pemerintah pusat yang menjadikan program penanggulangan kemiskinan sebagai program nasional.

2. Pertumbuhan ekonomi di daerah sekitar yang memberikan dampak positif terhadap perkembangan Kota Bogor.

3. Banyaknya investor dari luar yang menanamkan investasinya di Kota Bogor.

4. Pihak akademis yang banyak memberikan dukungan konsep, kajian, penelitian dan literatur berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan.

Komponen Ancaman (Threats)

1. Migrasi penduduk ke Kota Bogor yang mengakibatkan kesempatan kerja penduduk miskin Kota Bogor berkurang.

2. Banyaknya produk dari luar Kota Bogor yang menyebabkan produk lokal kurang terserap pasar.

3. Penguasaan sumber daya alam dan aset Kota Bogor oleh swasta yang berpeluang menimbulkan kemiskinan baru.

4. Ancaman globalisasi dengan produk dan tenaga kerja asing yang akan mempengaruhi perekonomian khususnya di Kota Bogor.

(58)

Hal lain yang juga menjadi peluang (opprotunities) dalam penanggulangan kemiskinan adalah adanya situasi yang kondusif baik sosial maupun ekonomi dari daerah sekitar Kota Bogor sehingga memberikan dampak positif bagi Kota Bogor. Daerah-daerah tersebut antara lain Kab. Bogor, Kota Depok, DKI Jakarta, Kab, Sukabumi, Kota Sukabumi dan Kab. Cianjur. Peluang lain yang juga dipertimbangkan adalah keberadaan investor swasta dari luar Kota Bogor yang banyak menanamkan investasinya di bidang properti, hotel, restoran dan pusat perbelanjaan serta bidang lainnya. Keberadaan investor ini secara umum membantu meningkatkan perekonomian di Kota Bogor. Hal yang tidak boleh dilupakan adalah adanya dukungan akademis dalam penanggulangan kemiskinan di Kota Bogor. Dukungan tersebut berupa hasil-hasil penelitian, kajian, seminar dan diskusi yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Bahan-bahan tersebut sangat membantu stake holder dalam melaksanakan program penanggulangan kemiskinan secara sistematis.

Komponen ancaman (threats) yang harus diantisipasi oleh stake holder dalam menanggulangi kemiskinan di Kota Bogor yang utama adalah kedatangan penduduk luar yang mencari nafkah di Kota Bogor. Fenomena ini menyebabkan berkurangnya lapangan usaha dan penyerapan tenaga kerja lokal secara masif. Meskipun hal ini tidak dapat dihindari namun antisipasi perlu dilakukan misalnya dengan mempersiapkan keterampilan penduduk miskin Kota Bogor agar dapat menangkap peluang usaha dan lapangan pekerjaan yang tersedia.

Selain penduduk luar, produk dari luar Kota Bogor juga mengancam produk lokal. Jika tidak diantisipasi hal ini akan memperlemah kondisi perekonomian masyarakat Kota Bogor. Ancaman yang tidak kalah besar adalah adanya penguasaan sumber daya dan aset oleh swasta yang berpotensi menimbulkan ketimpangan ekonomi bahkan kemiskinan baru dengan banyaknya penduduk lokal yang menepi ke pinggiran Kota Bogor.

(59)

sumberdaya manusia baik pengetahuan maupun keterampilannya sangat diperlukan.

Tabel 12. Hasil Analisis SWOT Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Bogor

Komponen Bobot Rating Nilai

Kekuatan (Strengths)

1. Letak strategis Kota Bogor

2. Kondisi perekonomian Kota Bogor 3. Komitmen Pemkot Bogor

1. Kurang terserapnya penduduk miskin 2. Kondisi SDM penduduk miskin 3. Belum tersedianya data kemiskinan 4. APBD Kota Bogor belum mengarah

0,2

Gambar

Tabel 1.  Perkembangan Kemiskinan Di Kota Bogor Tahun 2004-2012
Gambar 1. Perkembangan KK Miskin Kota Bogor
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Kajian
Tabel 4 . Data Yang Diteliti Dan Sumber Data
+7

Referensi

Dokumen terkait

RINI HAKIMI. Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Nata de Coco di Kota Bogor dengan Pendekatan Fuzzy. Dibimbing oleh MACHFUD, MARIMIN dan ANI SURYANI. Perusahaan nata de

Pada penelitian ini diketahui bahwa kualitas pengetahuan, kualitas proses pengelolaan, dan kualitas pembelajaran pada UKM Kota Bogor sebagian besar telah memiliki

(Kasus KSM Ekonomi pada Proyek Penanggulangan Kemiskinan di PerkotaanlPZKP di Kecematan Bogor Timur Kota Bogor)1. OLEH

RINI HAKIMI. Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Nata de Coco di Kota Bogor dengan Pendekatan Fuzzy. Dibimbing oleh MACHFUD, MARIMIN dan ANI SURYANI. Perusahaan nata de

Strategi prioritas yang dapat dilakukan Pemerintah Kota Bogor untuk peningkatan implementasi penatausahaan aset tetap pada Pemerintah Kota Bogor adalah strategi peningkatan

mempengaruhi kehidupan orang miskin. Dana bergulir, yang merupakan pinjaman modal usaha dari BAZ Kota Bandung, adalah salah satu strategi kebijakan publik dalam

Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di Kota Kediri dalam lima tahun terakhir menunjukkan trend menurun meskipun tidak terlalu progresif

Prioritas kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang menjadi prioritas adalah peningkatan peran pemerintah dalam penghormatan dan perlindungan hak-hak dasar