• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN "

Copied!
209
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

THE ANALYSIS OF FACTORS AFFECTING POVERTY AND POVERTY REDUCTION STRATEGIES IN SOUTH

KALIMANTAN PROVINCE

YULIANA

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(2)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

Disusun dan diajukan oleh

YULIANA

Kepada

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

(4)

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Yuliana

Nomor Mahasiswa : P0204216312

Program Studi : Perencanaan Pengembangan Wilayah

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 10 Agustus 2018 Yang menyatakan

Yuliana

(5)

PRAKATA

Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga dapat terselesaikan tesis ini.

Gagasan yang melatari tajuk permasalahan ini timbul dari hasil pengamatan penulis terhadap kehidupan penduduk miskin yang masih jauh dari kesejahteraan dan kehidupan yang layak, sehingga penulis berupaya menuangkan gagasan untuk menemukan faktor-faktor yang mendasari kemiskinan dalam upaya mengangkat kondisi kehidupan mereka yang berada dibawah garis kemiskinan ke taraf yang lebih tinggi.

Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka tesis ini selesai pada waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Mahyuddin, M.Si sebagai Ketua Komisi Penasehat dan Dr. Muhammad Hatta Jamil, SP, M.Si sebagai Anggota Komisi Penasehat yang telah mencurahkan segenap waktu, pikiran serta dengan sabar memberikan arahan dan masukan bagi penulis.

Tim Komisi Penguji Prof. Dr. Ir. Sitti Bulkis, MS, Prof. Dr. Ir. Didi Rukmana, MS., dan Prof. Dr. Supratman, S.Hut, MP yang telah memberikan kritik dan saran sehingga tesis ini dapat disempurnakan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Kepala Pusbindklatren Bappenas yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada jenjang magister.

2. Bapak Bupati Hulu Sungai Utara, Drs. H. Abdul Wahid, H.K, MM., M.Si yang telah memberikan ijin belajar

3. Ketua Sekolah Pascasarja, Ketua Prodi Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Ketua Konsentrasi Manajemen Perencanaan serta seluruh pihak administrasi sekolah pascasarjana Universitas Hasanuddin.

4. Keluarga tercinta: kedua orangtuaku H. Kurmansyah dan Hj. Marpuah, Saudaraku: Dra. Hj. Lesnawati, MM, Taupikkurahman, Agus Salim,

(6)

Rusrinawati, S.Pd, Ani Indrayani, S.Pd dan Rusidawati, S.Pd yang senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan, suamiku: Andri Wijaya, Amd. Kep atas kesabaran dan pengertiannya.

5. Rekan-rekan mahasiswa Magister Perencanaan Pengembangan Wilayah (Konsentrasi Studi Manajemen Perencanaan, Kelas Bappenas Angkatan XVI) yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani perkuliahan dan penyelesaian tesis.

6. Kepala Bappelitbang Kab. Hulu Sungai Utara: H. Fajeri Ripani, S.Sos, M.Si dan rekan-rekan kerja di Bappelitbang yang telah memberikan bantuan dan dukungan data selama proses penyusunan tesis.

7. Kepada semua pihak yang namanya tidak tercantum tetapi telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Semoga Allah SWT membalas semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Makassar, Agustus 2018

Yuliana

(7)

ABSTRAK

(8)

ABSTRACT

(9)

DAFTAR ISI

Nomor Halaman

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iv

PRAKATA ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTARTABEL... xi

DAFTARGAMBAR ... xii

DAFTARLAMPIRAN ... xv

BAB PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 5

C.Tujuan Penelitian ... 6

D.Manfaat Penelitian ... 6

E.Batasan Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A.Pengertian dan Penyebab Kemiskinan ... 8

B.Pengukuran Kemiskinan ... 11

C.Teori Kemiskinan ... 16

D.Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ... 18

E.Belanja Langsung terhadap kemiskinan ... 22

F. Pertumbuhan Ekonomi terhadap kemiskinan ... 23

G.Pengangguran terhadap Kemiskinan ... 26

H.Pengeluaran Perkapita terhadap kemiskinan ... 27

I. Pendidikan terhadap kemiskinan ... 28

J. Program Penanggulangan Kemiskinan ... 31

K.Penelitian yang Relevan ... 33

L. Kerangka Konseptual ... 38

(10)

M.Hipotesis Penelitian ... 40

BAB III METODE PENELITIAN ... 42

A.Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 42

B.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

C.Jenis dan Sumber data ... 44

D.Teknik Pengumpulan Data ... 45

E.Teknik Analisa Data ... 45

F. Definisi Operasional ... 61

G.Matriks Penelitian ... 64

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 66

A. Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Selatan ... 66

B. Kondisi Kemiskinan Di Provinsi Kalimantan Selatan ... 69

C. Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemiskinan Di Provinsi Kalimantan Selatan ... 106

D.Analisis Implementasi Strategi Program Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan ... 141

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 164

Kesimpulan ... 164

Saran ... 165

DAFTAR PUSTAKA ... 167

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Kerangka Identifikasi Autokorelasi ... 53 2 Matriks Penelitian ... 64 3. Luas wilayah, jumlah Kecamatan, Desa/Kelurahan dan Jumlah Penduduk Provinsi Kalimantan Selatan. ... 67 4. Tingkat Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Kalimantan SelatanTahun 2011-2017 ... 78 5. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Kalimantan SelatanTahun 2011-2017 ... 82 6. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Kalimantan SelatanTahun 2011-2017 ... 83 7. Persentase Penduduk Miskin Usia 15 Tahun ke Atas Berdasarkan Tingkat Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2012-2017 ... 87 8. Angka Melek Huruf Penduduk Miskin dan Golongan Umur Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013-2017 .... 91 9. Angka Partisipasi Sekolah Penduduk Miskin dan Golongan Umur Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013- 2017 ... 94 10. Persentase Penduduk Miskin Usia 15 Tahun ke Atas Berdasarkan Status Bekerja di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013-2017 ... 97 11. Persentase Perempuan Berstatus Miskin Usia 15-49 Tahun yang Menggunakan Alat KB Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013-2017 ... 101 12. Matriks Korelasi antarvariabel Independen (Hasil Pengujian dengan Eviews 7.0) ... 123 13. Hasil Regresi Data Panel Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan... 125

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Lingkaran Setan Kemiskinan ... 16

2 Kerangka Konsep ... 40

3 Peta Provinsi Kalimantan Selatan ... 43

4 Tingkat Kemiskinan Provinsi di Indonesia Tahun 2017 ... 70

5. Gini Ratio Provinsi di Indonesia Tahun 2017 ... 71

6. Perkembangan Garis Kemiskinan Kalimantan Selatan dan Nasional Tahun 2011-2017 ... 72

7 Garis Kemiskinan (Rupiah) Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2017. ... 74

s8 Perkembangan Tingkat Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011-2017 ... 75

9 Tingkat Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2017 ... 76

10 Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011-2017 ... 81

11 Prioritas Wilayah berdasarkan tingkat kemiskinan dengan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Kabupaten/Kota Di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2017. ... 84

12 Prioritas Wilayah berdasarkan tingkat kemiskinan dengan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Kabupaten/Kota Di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2017. ... 84

13 Persentase Penduduk Miskin Usia 15 Tahun ke Atas Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kalimantan Selatan Tahun 2017 ... 86

14. Persentase Penduduk Miskin Usia 15 Tahun ke Atas Berdasarkan Tingkat Pendidikan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2017 ... 88

15 Persentase Penduduk Miskin Usia 15 Tahun ke Atas Berdasarkan Status Bekerja di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2017 ... 96

(13)

16 Persentase Penduduk Miskin Usia 15 Tahun ke Atas Berdasarkan Status Bekerja di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2017 ... 98 17 Persentase Penduduk Miskin Usia 15 Tahun ke Atas Berdasarkan Status Bekerja Pertanian dan Non Pertanian Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013-2017 ... 99 18 Persentase Penduduk Miskin Usia 15 Tahun ke Atas Berdasarkan Status Bekerja Pertanian dan Non Pertanian Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2017 ... 100 19. Persentase Penduduk Miskin yang Menggunakan Air Layak dan Jamban Sendiri/Bersama Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2012- 2016 ... 104 20 Persentase Penduduk Miskin yang Menggunakan Air Layak dan Jamban Sendiri/Bersama Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2016 ... 105 21. Perkembangan Realisasi Belanja Langsung Kabupaten/Kota Di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011-2016 ... 107 22 Kontribusi PDRB Menurut Sektor Lapangan Usaha Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2016 ... 110 23. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011-2016 ... 111 24. Perkembangan Tingkat Pengangguran Kabupaten/Kota Di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011-2016 ... 114 25. Pengeluaran Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011-2016 ... 117 26. Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten/Kota Di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011-2016 ... 120 27. Hasil Uji Normalitas (Hasil Pengujian dengan Eviews 7.0) ... 124 28. Pengukuran Ekonomi Program Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014-2016. ... 143 29. Pengukuran Efisiensi Program Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014-2016 ... 146

(14)

30. Pengukuran Efektivitas Program Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014-2016 ... 147 31. Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Bantuan Sosial Di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014-2016 ... 150 32. Kelompok Program Bantuan Sosial Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014-2016 ... 152 33. Kelompok Program Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014-2016 ... 153 34. Kelompok Program Usaha Ekonomi Kecil dan Mikro Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014-2016 ... 156 35. Anggaran dan Realisasi Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Bantuan Sosial Berdasarkan Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, Belanja Modal Di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014-2016 ... 158 36. Realisasi Program Penanggulangan Kemiskinan, penduduk miskin dan Anggaran (per orang miskin) Di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014-2016 ... 161 37. Realisasi Program Penanggulangan Kemiskinan, Target RPJMD dan Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014-2016 ... 162

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan

Tahun 2011-2016 ... 176

2 Belanja Langsung Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011-2016 ... 176

3 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011-2016 ... 177

4 Tingkat Pengangguran Terbuka Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011-2016 ... 177

5 Pengeluaran Perkapita Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011-2016 ... 178

6 Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011-2016 ... 178

7 Hasil Estimasi Common Effect Model ... 179

8 Hasil Estimasi Fixed Effect Model ... 180

9 Hasil Estimasi Random Effect Model ... 181

10 Uji Chow... 182

11 Uji Hausman ... 183

12 Uji Multikolinearitas ... 184

13 Uji Heteroskedasitas ... 184

14 Uji Autokorelasi ... 186

15 Uji Normalitas ... 186

16 Hasil Pengukuran Ekonomi Program Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014-2016 ... 187

17 Hasil Pengukuran Efisien Program Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014-2016 ... 188

18 Hasil Pengukuran Efektivitas Program Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014-2016 ... 189

(16)

19 Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Bantuan Sosial Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014-2016 ... 190 20 Klasifikasi Program Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, Belanja Modal Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014-2016 ... 192

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan masalah pembangunan diberbagai bidang yang ditandai dengan adanya pengangguran dan keterbelakangan.

Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan mempunyai akses yang terbatas terhadap kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan dan kesehatan, sehingga tertinggal jauh dari kelompok masyarakat lain yang mempunyai potensi yang lebih baik. Kemiskinan dapat menghambat pencapaian demokrasi, persatuan, dan keadilan, sehingga penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu kebijakan utama yang diperlukan untuk memperkuat landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Kemiskinan merupakan masalah yang membutuhkan penanggulangan dan pendekatan sistematis, terpadu dan komprehensif untuk memenuhi beban dan memenuhi hak-hak dasar warga negara melalui pengembangan yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan untuk mencapai kehidupan yang bermartabat (Fikri, Nurpratiwi, & Saleh, 2015).

Masalah kemiskinan tidak hanya bagi negara berkembang, bahkan negara-negara maju pun mengalami kemiskinan walaupun tidak sebesar negara berkembang. Masalah kemiskinan hampir terjadi di semua daerah di Indonesia. Kemiskinan di Indonesia berdasarkan tingkat kemiskinan

(18)

mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2017 di mana tingkat kemiskinan sebesar 10,64 persen dengan jumlah penduduk miskin sebesar 27.771.220 orang, sedangkan tingkat kemiskinan di tahun 2016 sebesar 10,70 persen dan jumlah penduduk miskin sebesar 27.764.320 orang. Dalam hal ini Pemerintah telah bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa seluruh program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana. Beberapa diantaranya yang menjadi bagian dari program penanggulangan kemiskinan yang perlu tetap ditindaklanjuti dan disempurnakan seperti bidang pendidikan,kesehatan masyarakat, perluasan lapangan kerja dan enterpreneurship. Selain itu perlu didukung dengan cara pemantauan terhadap efektivitas pelaksanaan seluruh program-program berbasis individu dan rumah tangga, di wilayah- wilayah prioritas kantong kemiskinan. (Hureirah, 2005) (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2013).

Sejalan dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan pelaksanaan Otonomi Daerah mulai tahun 2001, serta Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, menuntut adanya upaya-upaya untuk mengatasi kemiskinan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat miskin. Permasalahan kemiskinan yang dihadapi akan banyak ditangani, diputuskan, dan dilaksanakan secara cepat dan efektif oleh Pemerintah Daerah, tanpa harus menunggu dan banyak tergantung pada instruksi dari Pemerintah Pusat, dengan kewenangan daerah yang semakin

(19)

besar, maka Pemerintah Daerah bersama DPRD memiliki tanggung jawab dan keleluasaan yang lebih besar untuk mengambil keputusan-keputusan penting dan strategis bagi upaya penanganan masalah kemiskinan dan peningkatan kualitas pelayanan.

Tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2017 mengalami kenaikkan yaitu sebesar 4,70 persen dengan jumlah penduduk miskin 194.560 jiwa, sedangkan di tahun 2016 tingkat kemiskinan adalah 4,52 persen dan jumlah penduduk miskin sebanyak 184.160 jiwa. Dari data tersebut terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin sebanyak 10.400 jiwa. Berdasarkan RPJMD Prov. Kalimantan Selatan Tahun 2016-2021 target untuk angka kemiskinan tahun 2021 adalah 3,96-4,01 persen. (BPS, 2017)

Target diatas tidak mudah untuk diselesaikan, terutama jika melihat peningkatan kemiskinan yang cukup signifikan baik tingkat kemiskinan maupun jumlah penduduk miskin. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu lebih meningkatkan sinergi melalui penargetan program-program kemiskinan secara tepat melalui anggaran daerah (APBD). Selain itu program pengentasan kemiskinan daerah sebagai salah satu indikator penting kinerja pemerintah daerah, di mana dalam menelaah kinerja pemerintah daerah perlu diperhatikan faktor-faktor penyebab determinan kemiskinan, seperti jumlah penduduk miskin, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan ketenagakerjaan. Penelitian Noviant P, dkk (2013) bahwa faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi tingkat kemiskinan yaitu sarana

(20)

kesehatan, sarana pendidikan, jumlah kepala keluarga yang tidak bekerja dan jumlah keluarga yang memperoleh bantuan kredit mikro. (Novianti, Agustina, Sriliana, & Sunardi, 2013)

Menurut Hanna dan Karlan (2016) pemerintah dan non pemerintah perlu mengartikulasikan dan memahami akar masalah untuk memilih diantara banyak kebijakan anti kemiskinan dan kebijakan harus berbeda tergantung pada apakah masalah yang mendasari terjadinya kemiskinan.

Kebijakan pemerintah daerah yang berorientasi pada program pengentasan kemiskinan sudah seharusnya didasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kemiskinan tersebut. Semakin tinggi jumlah dan persentase penduduk miskin disuatu daerah akan menjadi tinggi beban pembangunan, sehingga akan mengakibatkan semakin besar peran pemerintah dan semakin besar pula alokasi dana APBD untuk program- program penanggulangan kemiskinan. (Hanna & Karlan, 2016)

Pembangunan dikatakan berhasil apabila jumlah dan persentase penduduk miskinnya turun atau bahkan tidak ada, namun tingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan belum mencapai maksimal dan sesuai dengan target pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa perlu dicermati dan dikaji ulang atas strategi program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan pemerintah daerah serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam menangani kemiskinan dengan ditingkatkan pemahaman akar penyebabnya, mengingat pentingnya keberlanjutan

(21)

penanganan kemiskinan, banyak penelitian telah difokuskan pada bagaimana, mengapa faktor ekonomi mempengaruhi kemiskinan.

(Churchill & Smyth, 2017). Menurut Mai & Mahadevan (2015) penelitian masa depan harus berfokus pada efektivitas program pengentasan kemiskinan, seberapa baik program-program ini mengatasi berbagai bentuk kemiskinan untuk mengejar pendekatan pada target yang lebih spesifik (Mai

& Mahadevan, 2015)

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kondisi kemiskinan dan bentuk program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan serta faktor- faktor apa yang mempengaruhi terjadinya kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan.

B. Rumusan Masalah

Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang sangat kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi baik dari segi ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan mata pencaharian, selain itu juga menyangkut kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin. Cara pandang yang berbeda akan menentukan pemahaman tentang kondisi, sifat dan konteks kemiskinan, bagaimana sebab-sebab kemiskinan dapat diidentifikasi, dan bagaimana masalah kemiskinan dapat diatasi. Kemiskinan juga merupakan salah satu tolak ukur sosial ekonomi dalam menilai keberhasilan

(22)

pembangunan yang dilakukan suatu pemerintah daerah. Berdasarkan uraian latar belakang permasalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kondisi kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan ?

2. Apa faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan ?

3. Bagaimana implementasi strategi program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis kondisi kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan

3. Menganalisis implementasi strategi program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan

D. Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis yang diharapkan dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah:

1. Dapat memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan pada Pemerintah Daerah dalam menyusun prioritas kebijakan anggaran dan mengefektifkan implementasi kebijakan agar menunjang keberhasilan pengentasan kemiskinan di daerah.

(23)

2. Bagi peneliti dan akademis diharapkan penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai informasi faktor-faktor yang turut mempengaruhi kemiskinan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya untuk meneliti masalah yang sama.

E. Batasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi untuk berfokus pada analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan Strategi Program Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Kalimatan Selatan, di mana analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan yaitu belanja langsung, pertumbuhan ekonomi, pengangguran, pengeluaran perkapita dan rata-rata lama sekolah, sedangkan implementasi strategi program penanggulangan kemiskinan berfokus pada program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Penyebab Kemiskinan

Miskin didefinisikan sebagai ketidakmampuan berpartisipasi dalam bermasyarakat secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik (Lubis, 2004).

Menurut Chamber (1998) bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu kemiskinan (proper), ketidakberdayaan (powerless), kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), ketergantungan (dependence), dan keterasingan (isolation) (Chambers, 1998). Kemiskinan adalah profil kehidupan masyarakat yang menggambarkan ketidakmampuannya untuk hidup layak dan berpartisipasi dalam pembangunan yang sedang dan terus berjalan.

Kemiskinan tersebut akan menghambat perkembangannya dirinya, mempersulit masyarakat secara luas, dengan sendirinya menghambat pembangunan (Pasandaran, 1994).

Menurut Krishna A. (2007) kemiskinan adalah inheren dinamis, banyak orang yang melarikan diri dari kemiskinan pada waktu tertentu, tetapi juga dalam jumlah besar banyak yang jatuh ke dalam kemiskinan secara bersamaan. Setiawan R. (2010) kemiskinan merupakan masalah deprivasi atau problematika kekurangan. Kemiskinan adalah sesuatu keadaan seseorang atau keluarga yang serba kekurangan. Menurut BPS penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran

(25)

perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Pengukuran kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs aproach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. (Krishna, 2007) (Badan Pusat Statistik, 2016) (Setiawan R. , 2010)

Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, kemiskinan dapat diartikan sebagai gambaran kehidupan seseorang, keluarga atau masyarakat yang memiliki problematika kekurangan, di mana memiliki rata- rata pengeluaran perkapita dibawah garis kemiskinan, ketidakberdayaan, kerentanan, ketergantungan serta keterisolasian yang tidak memiliki kemampuan untuk hidup layak dan berpartisipasi bermasyarakat dalam pembangunan baik secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Penyebab dasar kemiskinan menurut Bank Dunia (2002) adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak

(26)

adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan. (World Bank Institute, 2002)

Chriswardani (2005) penyebab kemiskinan di masyarakat khususnya di pedesaan karena keterbatasan aset yang dimiliki yaitu : a. Natural assets: seperti tanah dan air, karena sebagian besar

masyarakat desa hanya menguasai lahan yang kurang memadai untuk mata pencahariannya.

b. Human assets: menyangkut kualitas sumber daya manusia yang relatif masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan, pengetahuan keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi).

c. Physical assets: minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan jalan, listrik, dan komunikasi di pedesaan.

d. Financial assets: berupa tabungan (saving), serta akses untuk memperoleh moda usaha.

e. Social assets: berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan- keputusan politik. (Chriswardani, 2005)

Menurut Mardimin (1996), jenis-jenis kemiskinan yaitu:

1. Kemiskinan absolut. Seseorang dapat dikatakan miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum hidupnya untuk memelihara fisiknya agar dapat bekerja penuh dan efisien,

(27)

2. Kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif muncul jika kondisi seseorang atau sekelompok orang dibandingkan dengan kondisi orang lain dalam suatu daerah,

3. Kemiskinan Struktural. Kemiskinan struktural lebih menuju kepada orang atau sekelompok orang yang tetap miskin atau menjadi miskin karena struktur masyarakatnya yang timpang, yang tidak menguntungkan bagi golongan yang lemah,

4. Kemiskinan Situsional atau kemiskinan natural. Kemiskinan situsional terjadi di daerah-daerah yang kurang menguntungkan dan oleh karenanya menjadi miskin.

5. Kemiskinan kultural. Kemiskinan penduduk terjadi karena kultur atau budaya masyarakatnya yang sudah turun temurun yang membuat mereka menjadi miskin. (Mardimin, 1996)

B. Pengukuran Kemiskinan

Di Indonesia sumber data mengenai kemiskinan telah tersedia di berbagai sumber. Namun demikian, sumber yang resmi digunakan oleh pemerintah adalah data kemiskinan yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data kemiskinan yang bersumber dari BPS sering menjadi dasar dalam implementasi program penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah. Seperti yang diketahui, BPS mengeluarkan dua jenis data kemiskinan, yaitu data kemiskinan makro dan data kemiskinan mikro. Data kemiskinan makro biasanya digunakan untuk geographical targeting

(28)

sedangkan kemiskinan mikro lebih banyak digunakan untuk keperluan household targeting seperti untuk social protection. Kedua data ini memiliki kriteria, pengukuran, dan cakupan kemiskinan yang berbeda. (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2015)

Pendekatan pertama, yaitu kemiskinan makro yang dikeluarkan oleh BPS adalah data kemiskinan yang bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Selain Susenas digunakan juga Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) sebagai informasi tambahan yang dipakai untuk memperkirakan proporsi pengeluaran masing-masing komoditi pokok non makanan. Kemiskinan makro dihitung dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar yang mencakup kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Dari kebutuhan dasar ini dihitung suatu garis yang disebut garis kemiskinan. Kebutuhan dasar ini merupakan kebutuhan minimum seseorang dapat hidup dengan layak. Indikator kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Pangan, dinyatakan dengan kebutuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori dan protein

b. Sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan pakaian, alas kaki dan tutup kepala

c. Perumahan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk sewa rumah, listrik, minyak tanah,kayu bakar, arang dan air

(29)

d. Pendidikan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan biaya sekolah (uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku).

e. Kesehatan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk penyediaan obat-obatan dirumah, ongkos dokter, perawatan, termasuk obat-obatan.

Menurut Badan Pusat Statistik (2016) Garis kemiskinan berdasarkan pada ukuran pendapatan, dimana batas kemiskinan dihitung dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bahan makanan. Penetapan perhitungan garis kemiskinan dalam masyarakat adalah masyarakat yang berpenghasilan dibawah US$1,7 perorang perhari. Penetapan angka US$1,7 perorang perhari tersebut berasal dari perhitungan garis Kemiskinan yang mencakup kebutuhan makanan dan non makanan. Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kilo Kalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi, sedangkan untuk pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan ukuran menurut World Bank menetapkan standar kemiskinan berdasarkan pendapatan perkapita. Penduduk yang pendapatan perkapitanya kurang dari sepertiga rata-rata pendapatan perkapita nasional. Dalam konteks tersebut, maka ukuran kemiskinan

(30)

menurut World Bank adalah USD$2 perorang perhari. (Badan Pusat Statistik, 2016) (Khadafi & Mutiarin, 2017)

Indikator yang digunakan untuk menyatakan kemiskinan berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar adalah Head Count Index (HCI), yaitu jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Indikator kemiskinan yang dihasilkan diantaranya adalah persentase penduduk miskin, yaitu (1) persentase penduduk yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan (yang disebut Po/ Head Count Index), (2) jumlah penduduk miskin, (3) Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1/ Poverty Gap Index) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk mskin terhadap garis kemiskinan,semakin tinggi nilai P1 maka semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan, (4) Indeks Keparahan Kemiskinan (P2/ Poverty Severity Index) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin, semakin tinggi nilai P2 menunjukkan semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Pendekatan ini juga disebut sebagai pendekatan moneter Keberadaan data kemiskinan makro tidak hanya menjawab berapa jumlah penduduk dan persentase penduduk miskin secara agregat, namun juga menelaah sejauh mana kedalaman dan keparahan kemiskinan di suatu wilayah (provinsi/kabupaten/kota) (Badan Pusat Statistik, 2016) (Lubis, 2004).

(31)

Pendekatan kedua adalah kemiskinan mikro yang penghitungannya menggunakan pendekatan non moneter, di mana data mikro mampu menyediakan informasi mengenai penduduk miskin sampai dengan nama dan alamat penduduk miskin tersebut. Perbedaan yang terjadi selain metode dan pendekatan adalah juga cakupan. Pada kemiskinan makro hanya mencakup penduduk miskin, sedangkan pada kemiskinan mikro selain penduduk miskin juga mencakup penduduk hampir miskin.

Dalam menangani kemiskinan dengan ditingkatkan pemahaman akar penyebabnya, mengingat pentingnya keberlanjutan penanganan kemiskinan, banyak penelitian telah difokuskan pada bagaimana, mengapa faktor ekonomi mempengaruhi kemiskinan (Churchill & Smyth, 2017).

Kemiskinan penduduk selalu berkaitan dengan pendapatan penduduk yang digunakan untuk membiayai kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, pemukiman, kesehatan dan pendidikan. Tingkat hidup golongan masyarakat miskin tidak dapat dinaikkan hanya dengan menaikkan daya belinya melalui program kesejahteraan sosial yang biasanya berumur pendek. Peningkatan tingkat hidup golongan miskin hanya bisa dilaksanakan dengan peningkatan produktivitasnya. Hal ini menuntut adanya kelembagaan baru yang dapat menjangkau kelompok-kelompok masyarakat ini, karena struktur kekuasaan yang ada sering kali berpijak pada hubungan sekutu yang berbeda-beda antara elit politik dan ekonomi.

(32)

C. Teori Kemiskinan

Kuncoro (2000) mencoba mendefinisikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, secara makro kemiskinan pola kepemilikan sumber daya yang menyebabkan distribusi pendapatan yang timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia karena kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya juga akan rendah, yang pada gilirannya upahnya pun rendah. Ketiga, kemiskinan muncul karena akibat perbedaan akses dalam modal. (Kuncoro, 2000)

Ketiga penyebab kemiskinan itu bermuara pada lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) (gambar 1). Teori ini ditemukan oleh Ragnar Nurkes (1953) dalam Kuncoro (2000), yang mengatakan: “a poor country is poor because it is poor “ (Negara miskin itu miskin karena dia miskin).

Sumber: Nurkse (1953) dalam Kuncoro, 2000 Gambar 1 Lingkaran Setan Kemiskinan

(33)

Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan produktivitas yang rendah. Produktivitas rendah mengakibatkan rendahnya pendapatan yang diterima dan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan. Oleh karena itu, usaha untuk mengurangi kemiskinan seharusnya diarahkan untuk memotong lingkaran dan perangkap kemiskinan ini.

Menurut Todaro dan Smith (2006) kemiskinan yang terjadi di negara- negara berkembang akibat dari interaksi antara 6 karakteristik berikut : 1) Tingkat pendapatan nasional negara-negara berkembang terbilang

rendah dan laju pertumbuhan ekonominya tergolong lambat

2) Pendapatan perkapita negara-negara Dunia Ketiga juga masih rendah dan pertumbuhannya amat sangat lambat, bahkan ada beberapa yang mengalami stagnasi

3) Distribusi pendapatan amat sangat timpang atau sangat tidak merata 4) Mayoritas penduduk di negara-negara Dunia Ketiga harus hidup dibwah

kemiskinan absolut.

5) Fasilitas dan pelayanan kesehatan buruk dan sangat terbatas, kekurangan gizi dan banyaknya wabah penyakit sehingga tingkat kematian bayi di negara-negara Dunia Ketiga sepuluh kali lebih tingi dibanding dengan yang ada di negara maju.

(34)

6) Fasilitas pendidikan di kebanyakan negara-negara berkembnag maupun isi kurikulumnya relatif masih kurang relevan maupun kurang memadai.

D. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Anggaran merupakan satu instrumen penting dalam manajemen dimana merupakan bagian dari fungsi manajemen. Di dunia bisnis maupun organisasi sektor publik,termasuk pemerintah anggaran merupakan bagian dari aktivitas penting yang dilakukan secara rutin dan dibuat pencatatan anggaran (Syarifuddin, 2003).

Anggaran sektor publik dibuat untuk membantu menentukan tingkat kebutuhan masyarakat, seperti listrik, air bersih, kualitas kesehatan, pendidikan dan sebagainya agar terjamin secara layak. Tingkat kesejahteraan masyarakat dipengaruhi oleh keputusan yang diambil oleh pemerintah melalui anggaran yang mereka buat. Anggaran sektor publik menjadi penting karena :

a. Anggaran merupakan alat bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan sosial ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat

b. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas.

(35)

c. Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggung jawab terhadap rakyat. Dalam hal ini anggaran merupakan instrumen pelaksanaan akuntabilitas publik oleh lembaga-lembaga yang ada.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD merupakan suatu rencana kerja pemerintah yang dinyatakan secara kuantitatif, biasanya dalam satuan moneter yang mencerminkan sumber-sumber penerimaan daerah dan pengeluaran untuk membiayai kegiatan dan proyek daerah dalam kurun waktu satu tahun anggaran. Pada hakekatnya anggaran daerah (APBD) merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab serta dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi-potensi keanekaragaman daerah.

Struktur APBD terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah.

a. Dalam APBD pendapatan dibagi menjadi 3 kategori yaitu :

(36)

1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah

2) Dana Perimbangan, kelompok pendapatan dana perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas : dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.

3) dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah mencakup hibah dari pemerintah, badan/lembaga/organisasi, dana darurat, dana penyesuaian dan dana otonomi khusus, dan bantuan keuangan dari provinsi atau pemerintah daerah lainnya.

b. Belanja daerah terbagi atas

1) urusan pemerintahan terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan

2) Belanja menurut fungsi, digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara.

3) Belanja menurut organisasi, disesuaikan dengan susunan organisasi masing-masing pemerintah daerah

4) Belanja menurut program dan kegiatan, disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, terdiri dari belanja menurut kelompok belanja langsung yaitu pengeluaran pemerintah

(37)

yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, sedangkan kelompok belanja tidak langsung dapat diartikan sebagai pengeluaran untuk membayar hal-hal yang secara tidak langsung terkait dengan program dan kegiatan pemerintah seperti belanja belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga.

c. Pembiayaan Daerah terdiri atas penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan, meliputi Sumber pembiayaan berupa penerimaan daerah adalah: sisa lebih anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi, hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan, dan transfer dari dana cadangan. Sedang sumber pembiayaan berupa pengeluaran daerah terdiri atas: pembayaran utang pokok yang telah jatuh tempo, penyertaan modal, transfer ke dana cadangan, dan sisa lebih anggaran tahun sekarang.

Menurut Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Laporan Realisasi Anggaran menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan pemakian sumber daya keuangan yang dikelola oleh pemerintahan pusat/daerah, yang mengambarkan perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam satu periode pelaporan. Idealnya, besaran belanja langsung melampaui besaran belanja tidak langsung. Hal ini merupakan indikator kualitas belanja daerah di mana anggaran

(38)

pendapatan harusnya dihabiskan lebih banyak kepada belanja langsung daripada belanja tidak langsung. Indikator lainnya adalah kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan programnya yang dapat dilihat dari berapa besar realisasi belanjanya. Namun realitasnya berbeda, di mana belanja tidak langsung seringkali lebih besar dari belanja langsung dan bahkan realisasi anggaran belanja langsung masih jauh dari harapan.

Kemampuan untuk merealisasikan anggaran (spending performance) menjadi sangat penting karena program-program pemerintah berjalan atau tidak dapat dilihat dari kucuran dana APBD yang dianggarkan.

Artinya, semakin rendah realisasi anggaran, maka semakin sedikit pula program dan aktivitas pemerintah yang dijalankan. Akhirnya, tujuan pemerintah tidak tercapai sesuai dengan harapan (Fahlevi & Ananta, 2015).

E. Belanja Langsung terhadap kemiskinan

Kebijakan pemerintah daerah yang pro kemiskinan tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), di mana APBD merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang dikelola oleh pemerintah daerah. Dalam APBD tersusun rencana pencapaian pendapatan daerah, rencana belanja tidak langsung (belanja aparatur), dan belanja langsung (publik). Dalam APBD terdapat alokasi untuk berbagai program dan kegiatan yang akan digulirkan kepada masyarakat termasuk untuk program-program penanggulangan kemiskinan. Pengeluaran pemerintah daerah melalui belanja langsung dan belanja tidak langsung

(39)

merupakan alat intervensi pemerintah terhadap perekonomian yang dianggap paling efektif.

Alokasi belanja langsung sangat berpengaruh terhadap kondisi pembangunan daerah. Alokasi belanja langsung yang tinggi akan memberikan peluang tersedianya berbagai program dan kegiatan yang akan dirasakan oleh masyarakat serta dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Menurut Dardiri, Y (2014) belanja langsung sangatlah tepat untuk menekan jumlah angka kemiskinan karena belanja langsung merupakan belanja pemerintah yang diperuntukkan bagi masyarakat termasuk masyarakat miskin, sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Hasil penelitian Minggu, dkk (2015) dalam menganalisis pengaruh belanja langsung terhadap kemiskinan pada Kota Bitung bahwa belanja langsung secara signifikan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin Kota Bitung. (Dardiri, 2014) (Minggu, Veckie, Rumate, & Rotinsulu, 2015)

F. Pertumbuhan Ekonomi terhadap kemiskinan

Pertumbuhan ekonomi didefinisikan menurut Kutznets dalam Todaro (2006) sebagai kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat kinerja perekonomian baik di tingkat nasional maupun regional (daerah). Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan output

(40)

agregat (keseluruhan barang dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan perekonomian) atau Produk Domestik Bruto (PDB). PDD merupakan nilai total seluruh output akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian, biak yang dilakukan oleh warga lokal maupun warga asing yang bermukim di negara bersangkutan, sehingga ukuran umum yang sering digunakan untuk melihat laju pertumbuhan ekonomi adalah persentase perubahan PDB untuk skala provinsi atau kabupaten/kota. (Todaro, 2006)

Ada tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap negara, (1) akumulasi modal meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan modal manusia, (2) pertumbuhan penduduk yang selanjutnya akan menambah jumlah angkatan kerja, (3) kemajuan teknologi yaitu berupa cara-cara baru atau perbaikan atas cara-cara lama dalam menangani suatu pekerjaan (Todaro, 2006).

Pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan dengan investasi, di mana investasi akan memberikan pertumbuhan ekonomi yang lebih bermanfaat kepada kaum miskin (Yusuf & Summer , 2015). Tersedianya investasi akan membantu peningkatan produksi disetiap sektor melalui penambahan modal (Yuhendri, 2013). Peningkatan kualitas tenaga kerja juga berakibat penanaman investasi akan memicu peningkatan produksi (Taufik, Eny, & Fitriadi, 2014)

Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya merupakan indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan syarat keharusan (necessary

(41)

condition) bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Syarat kecukupan pertumbuhan ekonomi tersebut efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan dimana pertumbuhan menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin. Secara langsung hal ini berarti pertumbuhan ekonomi perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor penduduk miskin bekerja seperti sektor pertanian atau sektor yang padat karya, sedangan secara tidak langsung diperlukan pemerintah yang cukup efektif mendistribusikan manfaat pertumbuhan yang mungkin didapatkan dari sektor modern seperti jasa yang padat modal (Siregar & Dwi, 2007).

Penelitian Prasetyo (2010) menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan.

Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat kemiskinan.

Hubungan ini menunjukkan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan kemiskinan ketika pertumbuhan ekonomi diukur berdasarkan pendapatan rata-rata terdapat hubungan yang kuat secara statistik antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan (Adam R, 2004).

Fakta pendukung peran pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan angka kemiskinan dijelaskan dalam World Bank (1991), adanya rekomendasi kebijakan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi agar tercipta lapangan kerja dan pemanfaatan tenaga kerja guna mengentaskan kemiskinan.

(Prasetyo, 2010) (Adam, 2004) (World Bank, World Development Report, 1991).

(42)

G. Pengangguran terhadap Kemiskinan

Pengangguran adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikategorikan sebagai bukan angkatan kerja), dan yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja), dan pada waktu bersamaan mereka tidak bekerja. Penganggur dengan konsep/definisi tersebut biasanya disebut sebagai pengangguran terbuka. Selain pengangguran terbuka ada istilah setengah pengangguran, yaitu penduduk yang bekerja kurang dari jam normal (35 jam seminggu), tidak termasuk yang sementara tidak bekerja. (Badan Pusat Statistik, 2016).

Menurut Dian (2001) bahwa jumlah pengangguran erat kaitannya dengan kemiskinan di Indonesia yang penduduknya memiliki ketergantungan yang sangat besar atas pendapatan gaji atau upah yang diperoleh saat ini. Hilangnya lapangan pekerjaan menyebabkan berkurangnya sebagian besar penerimaan yang digunakan untuk membeli kebutuhan sehari hari, artinya bahwa semakin tinggi pengangguran maka akan meningkatkan kemiskinan. Pengangguran berhubungan erat dengan ketersediaan lapangan kerja, ketersediaan lapangan kerja berhubungan dengan belanja pembangunan. Dalam strategi pengoptimalan dan pengelolaan anggaran akan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui optimalisasi potensi sektor-sektor pembangunan. Pertumbuhan ekonomi akan menekan tingkat pengangguran dan mengurangi jumlah kemiskinan

(43)

di daerah. Hasil penelitian Dardiri (2014) bahwa jumlah pengangguran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah KK miskin di Kota Bogor di mana penurunan pengangguran berpengaruh positif terhadap penurunan kemiskinan. (Dian, 2001) (Setiayawati dan Hamzah, 2007) (Daridiri, 20014)

H. Pengeluaran Perkapita terhadap kemiskinan

Pengeluaran perkapita (daya beli) memberikan gambaran tingkat daya masyarakat dan sebagai salah satu komponen yang digunakan dalam melihat status pembangunan manusia di suatu wilayah. Rata-rata Pengeluaran Perkapita riil yang disesuaikan (daya beli) adalah kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uangnya dalam bentk barang maupun jasa. Kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran perkapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak. Tingkat kesejahteraan dikatakan meningkat jika terjadi peningkatan konsumsi riil perkapita, yaitu peningkatan nominal pengeluaran rumah tangga lebih tinggi dari tingkat inflasi pada periode yang sama. Semakin rendah nilai daya beli masyarakat berkaitan erat dengan kondisi perekonomian pada saat itu yang sedang memburuk, dimana semakin rendah kemapuan masyarakat membeli suatu barang atau jasa.

Sukirno (2011) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menentukan tingkat pengeluaran rumah tangga secara unit kecil atau

(44)

keseluruhan ekonominya, dimana terjadi pengaruh pengeluaran konsumsi bila terjadi kenaikan pendapatan. Biasanya pertambahan pendapatan lebih tinggi daripada pertambahan konsumsi. Kalau pendapatan tidak mengalami perubahan maka kenaikan harga menyebabkan pendapatan riil menjadi semakin sedikit. Dengan kata lain, kemampuan pendapatan yang diterima untuk membeli barang-barang menjadi lebih kecil dari sebelumnya, sehingga kenaikan harga menyebabkan konsumen mengurangi jumlah berbagai barang yang dibelinya, termasuk barang yang mengalami kenaikan harga. (Sukirno, 2011)

Tinggi rendahnya tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia salah satunya tergantung dari pendapatan yang diterima oleh masyarakat dan tergantung dari pengeluaran penduduk terhadap pendidikan serta kebijakan pemerintah dalam menurunkan tingkat pengangguran (Hudaya, 2009). Penelitian Kumalasari dan Poerwono (2011) bahwa angka harapan hidup, pengeluaran perkapita disesuaikan (PP) dan jumlah penduduk berpengaruh negatif dan signfikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2009.

I. Pendidikan terhadap kemiskinan

Pendidikan merupakan investasi bagi pembentukkan modal manusia yang berkualitas, di mana pendidikan baik formal maupun non formal dapat berperan penting dalam mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang.

Pendidikan menyediakan pengetahuan, keterampilan, nilai dan perilaku

(45)

guna meningkatkan kualitas hidup, produktivitas dan kesempatan kerja.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan keahlian juga meningkat sehingga akan mendorong produktivitas seseorang (Arsyad, 1999). Menurut Boex, dkk (2006), dengan melakukan investasi pada pendidikan maka akan meningkatkan produktivitas, peningkatan produktivitas akan meningkatkan pendapatan, dan pendapatan yang cukup akan mampu mengangkat kehidupan seseorang dari kemiskinan. (Arsyad, 1999) (Boex, 2006).

Berdasarkan uraian penjelasan diatas terlihat bahwa keterkaitan kemiskinan dan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan serta menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia.

Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai masa depan.

Hal tersebut harus menjadi semangat untuk terus melakukan upaya mencerdaskan bangsa (Chriswardani, 2005).

Pendidikan tidak hanya membantu memperbesar potensi penghasilan tapi juga memberdayakan masyarakat, serta memungkinkan setiap orang berperan dalam pemerintahan. Menurut Simmons (dikutip dari Todaro,1994), pendidikan di banyak negara merupakan cara untuk menyelamatkan diri dari kemiskinan. Seorang miskin yang mengharapkan pekerjaan yang baik serta penghasilan yang tinggi maka harus mempunyai pendidikan tinggi, namun tidak mempunyai cukup uang untuk membiayai pendidikannya, karenanya keberpihakan pemerintah sangat dibutuhkan.

(46)

Pemberian perhatian yang besar kepada bidang pendidikan sangat beralasan karena pendidikan memiliki kendala teknis yang kecil namun memberi manfaat yang besar. Beberapa studi menemukan bahwa return on investment (tingkat pengembalian investasi) lebih tinggi untuk pendidikan dasar, diikuti pendidikan menengah dan tinggi, misalnya di negara-negara Sub Sahara Afrika (World Bank, 2006). Penelitian Tilak (2007) di India bahwa kebijakan publik tidak hanya untuk pendidikan dasar tetapi juga untuk pengembangan pendidikan menengah dan tinggi sangat dibutuhkan dalam pembangunan, pengentasan kemiskinan, pembangunan manusia dan pertumbuhan ekonomi. (Tilak, 2007)

Penelitian Hermanto dan Dwi (2007) diketahui bahwa pendidikan mempunyai pengaruh paling tinggi terhadap kemiskinan dibandingkan variabel pembangunan lain seperti jumlah penduduk, PDRB dan tingkat inflasi. Siregar dan Wahyuniati (2007) dalam penelitiannya tentang kemiskinan di Indonesia bahwa pendidikan merupakan variabel yang signifikan terhadap penurunan kemiskinan, pengaruh tingkat pendidikan relatif besar terhadap penurunan kemiskinan. Keadaan pendidikan penduduk secara umum dapat diketahui dari beberapa indikator sebagai berikut yaitu: Angka Partisipasi Sekolah APS), Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Harapan Lama Sekolah (Hermanto & Dwi, 2007) (Siregar & Dwi, 2007).

(47)

J. Program Penanggulangan Kemiskinan

Menurut Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan didefinisikan bahwa Penanggulangan kemiskinan adalah kebijakan dan program pemerintah dan pemerintah daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan bersinergi dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Program penanggulangan Kemiskinan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dunia usaha dan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui kegiatan yang pro rakyat kecil yaitu berupa pemberian bantuan pemerintah, perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, agar dapat meningkatkan kegiatan ekonomi.

Penanggulangan kemiskinan melalui mekanisme ekonomi dengan menerbitkan serangkaian kebijakan yang bersifat makro dapat mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan masyarakat yang berpihak kepada masyarakat miskin (Rahayu, 2012).

Berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dikeluarkan dan diimplementasikan bertujuan untuk mengurangi jumlah masyarakat miskin di Indonesia. Penanggulangan kemiskinan pada akhirnya juga menjadi aspek pembangunan yang tidak dapat dipisahkan karena

(48)

pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak secara otomatis mengurangi angka kemiskinan tetapi malah yang terjadi adalah tingkat kesenjangan yang semakin tinggi. Strategi mengembangkan dan meningkatkan peranan usaha masyarakat dalam mencapai kemandirian serta kemampuan dan otonomi daerah adalah wujud nyata dari pelaksanaan demokrasi ekonomi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 166 Tahun 2014 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan, di mana program pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan sosial terdiri dari 3 program, yaitu :

1. Program bantuan sosial

2. Program pemberdayaan masyarakat 3. Program usaha ekonomi kecil dan mikro

Selain itu, ditambah dengan tiga program baru dengan cakupan yang lebih luas kepada rumah tangga sangat miskin yang meliputi : Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS) (Rustanto, 2015).

Berdasarkan data perlindungan sosial global, memperkirakan bahwa program perlindungan sosial yang saat ini mencegah 150 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan. Bahkan jika semua negara-negara berpenghasilan rendah bisa mencapai efisiensi penargetan yang terbaik yang diamati dunia, hanya 50% yang dapat mengurangi separuh kesenjangan kemiskinan melalui perlindungan sosial (Fizzbein, Kanbur, &

Yemstsov, 2014).

(49)

Program pengentasan kemiskinan yang ditargetkan dan dilakukan oleh pemerintah dan organisasi non-pemerintah, kemiskinan tetap pada tingkat agregat. Seringkali tindakan korektif yang diadopsi oleh pemerintah untuk mengurangi kemiskinan dapat menghasilkan masalah lebih lanjut, seperti sebagai penerima manfaat dari program mentransfer sumber daya diterima dari non-miskin yang mungkin tidak menjadi kelompok sasaran, yang pada gilirannya dapat membuat orang miskin masih miskin (Chakravarty & D'Ambrosio, 2013)

Menurut World Bank dalam laporan Era Baru dalam pengentasan kemiskinan Indonesia (2006), pemerintah dapat membantu dalam menghadapi kemiskinan baik dari segi pendapatan maupun non pendapatan. Pengeluaran pemerintah dapat membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan dari aspek pendapatan melalui sistem perlindungan sosial, sedangkan dari aspek non pendapatan, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki indikator-indikator pembangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan

K. Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan maupun kebijakan penanggulangan kemiskinan telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu, diantaranya adalah :

1. Penelitian Sudirman (2014) tentang Analisis Kemiskinan Makro dan Mikro Kabupaten Kutai Kertanegara di mana berdasarkan hasil analisis

(50)

tersebut bahwa penurunan tingkat kemiskinan Kabupaten Kutai Kartanegara perlu mendapat perhatian dalam intervensi kebijakan mengingat penurunannya melambat bahkan di tahun 2013 terjadi peningkatan kemiskinan serta berdasarkan data mikro dapat dikenali karakteristik rumah tanga miskin di Kabupaten Kutai Kartanegara.

2. Penelitian Minggu, dkk (2015) bahwa belanja langsung, belanja tidak langsung dan investasi swasta mempunyai hubungan yang terbalik dengan kemiskinan, di mana belanja langsung pemerintah Kota Bitung secara signifikan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin Kota Bitung, sedangkan belanja tidak langsung dan investasi swasta tidak signifikan secara statistik dalam mereduksi kemiskinan di Kota Bitung 3. Penelitian Siregar dan Mudawali (2013) menganalisis realisasi

anggaran pendapatan dan belanja daerah Aceh terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa realisasi belanja daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan berpengaruh negatif terhadap pengangguran dan kemiskinan, sehingga apabila belanja daerah meningkat maka akan dapat mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.

4. Penelitian Dardiri (2014) tentang Strategi penanggulangan kemiskinan di Kota Bogor melalui pendekatan anggaran dan regulasi menyimpulkan bahwa alokasi belanja langsung APBD dan angka pengangguran di Kota Bogor berpengaruh nyata terhadap jumlah KK miskin dengan nilai

(51)

koefisien negatif untuk belanja langsung dan positif untuk pengangguran, artinya jika ada peningkatan belanja langsung APBD sebesar 1 persen, makan akan menurunkan angka persentase KK miskin sebesar 11,99 persen dan jika ada kenaikan 1 persen angka pengangguran maka akan meningkatkan 5,64 persen jumlah KK miskin.

5. Hasil Penelitian Jonaidi (2012) tentang Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap angka kemiskinan, dan kemiskinan juga berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

6. Penelitian Azwar dan Subkan (2016) tentang Analisis Determinan Kemiskinan di Sulawesi Selatan atau faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Provinsi Sulawesi Selatan pada 24 Kabupaten/kota di mana hasil empiris penelitian membuktikan bahwa seluruh variabel determinan yang terdiri dari pertumbuhan ekonomi, jumlah pengangguran, indeks kesehatan, angka partisipasi sekolah dan belanja daerah secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Sulawesi Selatan.

7. Penelitian Adinugraha (2016) tentang analisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, rata-rata lama sekolah, dan jumlah pengangguran terhadap jumlah penduduk miskin di Provisni DIY menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan rata-rata lama sekolah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin, sedangkan jumlah pengangguran

(52)

berpengaruh positifdan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi DIY.

8. Penelitian Purnami dan Saskara (2016) tentang Analisis Pengaruh Pendidikan dan Kontribusi Sektor Pertanian terhadap Pertumbuhan Ekonomi serta Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Bali bahwa hasil analisis menunjukkan pendidikan dan pertumbuhan ekonomi secara langsung berpengaruh negatif dan siginifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Bali.

9. Penelitian Fadlillah, Sukiman dan Dewi (2016) tentang Analisis Pengaruh Pendapatan Perkapita, Tingkat Pengangguran, IPM dan Pertumbuhan Penduduk terhadap Kemiskinan Di Jawa Tengah Tahun 2009-2013 menunjukkan bahwa pendapatan perkapita, tingkat pengangguran, IPM dan pertumbuhan penduduk berpengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah, dimana variabel pendapatan perkapita memiliki pengaruh negatif yaitu sebesar 0,3267 artinya bahwa setiap kenaikan pendapatan perkapita sebesar satu persen akan menurunkan jumlah penduduk sebesar 0,3267 persen.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) memiliki pengaruh positif yaitu sebesar 0,006 artinya bahwa setiap kenaian TPT sebesar satu persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,006 persen.

10. Penelitian Reza Fachrudin (2015) tentang Evaluasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Pemerintah Kota Balikpapan dengan teknik analisis deskriptif kualitatif bahwa kebijakan penanggulangan

(53)

kemiskinan yang dimiliki pemeritah Kota Balikpapan perlu dibenahi agar tepat dan relevan dalam menjawab persoalan kemiskinan yang dinamis.

11. Penelitian Hastuti dan Rahutami (2011) tentang Akselerasi Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran Melalui Sinergi Potensi, Program dan Anggaran Di Kabupaten Semarang melalui analisis dengan konsep Value for Money atau Triple E (3E) menunjukkan bahwa di Kabupaten Semarang proses penganggaran terkait program pengurangan kemiskinan dan pengangguran tidak sinkron dengan data pengukuran kemiskinan. Sebagian besar kegiatan yang dianalisis mempunyai tingkat ekonomis 100%, semua kegiatan menghasilkan keluaran yang sama dengan yang dianggarkan (efisiensi realisasi sama dengan yang dianggarkan) dan sebagian besar kegiatan tidak menyediakan data yang cukup terkait hasil (Outcome) yang mampu dicapai.

Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian diatas adalah bahwa dalam penelitian ini melakukan analisis kondisi kemiskinan, kemudian menganalisis faktor-faktor determinan yang mempengaruhi kemiskinan dari segi belanja langsung, pertumbuhan ekonomi, pengangguran, pengeluaran perkapita, dan rata-rata lama sekolah terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Selatan yang meliputi 13 Kabupaten/Kota, serta menganalisis implementasi strategi program penanggulangan kemiskinan fokus pada anggaran dengan konsep value for money.

(54)

L. Kerangka Konseptual

Kebanyakan penduduk Indonesia rentan terhadap kemiskinan.

Hampir 40% penduduk hidup hanya sedikit di atas garis kemiskinan nasional dan mempunyai pendapatan kurang dari US$2 per hari.

Perubahan sedikit saja dalam tingkat harga khususnya harga BBM, pendapatan, dan kondisi kesehatan, dapat menyebabkan mereka berada dalam kemiskinan, setidaknya untuk sementara waktu (Kuncoro, 2000) (Saragih, P.J., 2014)

Dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan di daerah disusun berbagai kebijakan yang mendukung dalam program pengentasan kemiskinan yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam APBD terdapat alokasi untuk berbagai program dan kegiatan yang akan digulirkan kepada masyarakat termasuk untuk program-program penanggulangan kemiskinan. Pengeluaran pemerintah daerah melalui belanja langsung dan belanja tidak langsung merupakan alat intervensi pemerintah terhadap perekonomian yang dianggap paling efektif dalam menekan angka kemiskinan.

Tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan beberapa tahun terakhir relatif fluktuatif, pada tahun 2014 tingkat kemiskinan di Kalimantan Selatan adalah 4,81 persen, mengalami peningkatan dari tahun 2013 yaitu 4,76 persen. Tingkat kemiskinan tahun 2017 kembali mengalami kenaikkan yaitu sebesar 4,70 persen dengan jumlah penduduk miskin 194.560 jiwa, sedangkan di tahun 2016 tingkat kemiskinan adalah 4,52 persen dan jumlah

(55)

penduduk miskin sebanyak 184.160 jiwa Dari data tersebut terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin sebanyak 10.400 Jiwa. Berdasarkan RPJMD Prov. Kalimantan Selatan Tahun 2016-2021 target untuk angka kemiskinan tahun 2021 adalah 3,96-4,01 persen.

Dalam rangka pencapaian target pembangunan tersebut perlu dicermati dan dikaji ulang atas strategi program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Selatan serta menelaah kembali kinerja pemerintah daerah dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan, seperti belanja langsung, pertumbuhan ekonomi, pengangguran, pengeluaran perkapita dan rata-rata lama sekolah sehingga dalam pemenuhan target diatas pemerintah daerah dapat menyusun kebijakan berdasarkan akar penyebab dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan keberlanjutan penanganan kemiskinan dengan lebih meningkatkan sinergi melalui penargetan program-program kemiskinan secara tepat melalui anggaran daerah (APBD).

Pada penelitian ini akan menggambarkan kondisi kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan serta implementasi strategi program penanggulangan kemiskinan pada angggaran dengan konsep value for money sehingga dapat memberikan rekomendasi kebijakan bagi pemerintan provinsi Kalimantan Selatan dalam rangka mempercepat pengentasan kemiskinan.

Referensi

Dokumen terkait

Perwakilan BKKBN Provinsi Maluku merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) sehingga hanya mempunyai 1 (satu) Program Teknis yaitu Program Kependudukan,

Arah daya paduan yang dihasilkan oleh konduktor yang membawa arus dalam medan magnet boleh ditentukan dengan menggunakan petua tangan kiri Fleming. Catapult field is the

Hal ini akirnya yang menjadi pekerjaan yang berkelanjutan dan juga merupakan sebuah tanggung jawab warga kota Maumere dari segala lapisan/elemen masyarakat untuk saling menjaga

Analisis dilakukan terdahap residu insektisida organofosfat didalam tanah kemudian dari hasil pengukuran residu insektisida organofosfat dan hasil perhitungan total plate count

Maka dapat dikatakan latihan ini sangat baik sekali digunakan dalam latihan dalam permainan bola voli guna untuk meningkatkan lompat yaitu daya ledak otot tungkai dari

Namun proses dari metode latihan yang dapat memberikan stimulus lebih baik pada sistem saraf pusat, saraf sensorik hingga respon saraf motorik yang akan mengaktifkan

Hasil penentuan parameter-parameter gempa dari peta percepatan batuan dasar, kondisi tanah dan faktor keutamaan gedung diperoleh bahwa bangunan ini masuk dalam kategori desain seismic

d) Panitia pengadaan meminta kesediaan 2 (dua) orang wakil dari penawar yang hadir sebagai saksi dan apabila tidak terdapat wakil penawar yang hadir pada saat