• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Pertumbuhan Jahe Putih Kecil (Zingiber officinale var. Amarum) terhadap Pemupukan pada Media Tanpa Tanah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Pertumbuhan Jahe Putih Kecil (Zingiber officinale var. Amarum) terhadap Pemupukan pada Media Tanpa Tanah."

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON PERTUMBUHAN JAHE PUTIH KECIL (Zingiber

officinale var. Amarum) TERHADAP PEMUPUKAN PADA

MEDIA TANPA TANAH

HILMA SUCIANDARI LAHAY

AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon pertumbuhan jahe putih kecil (Zingiber officinale var. Amarum) terhadap pemupukan pada media tanpa tanah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Hilma Suciandari Lahay

(4)

ABSTRAK

HILMA SUCIANDARI LAHAY. Respon Pertumbuhan Jahe Putih Kecil

(Zingiber officinale var. Amarum) terhadap Pemupukan pada Media Tanpa

Tanah. Dibimbing oleh MH BINTORO DJOEFRIE dan MUHAMMAD SYAKIR.

Budidaya jahe putih kecil masih mengalami kendala yaitu serangan bakteri Ralstonia solanacearum yang menyebabkan kehilangan hasil cukup besar. Sifat bakteri Ralstonia solanacearum yaitu tular tanah dan mampu bertahan lama di dalam tanah sehingga penelitian ini dilakukan menggunakan media tanpa tanah yaitu campuran serbuk sabut kelapa (cocopeat) dan arang sekam. Penelitian bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan jahe putih kecil pada media campuran serbuk sabut kelapa (cocopeat) dan arang sekam dengan dosis pupuk tertentu. Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), Cimanggu Bogor Jawa Barat dari September 2014 hingga Februari 2015. Penelitian menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) satu faktor dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan berupa aplikasi dosis pupuk lengkap (NPK 29+10+10+3), antara lain; P0 (0 g/l) sebagai kontrol, P1 (1 g/l), P2 (2 g/l), P3 (3 g/l), P4 (4 g/l), dan P5 (5 g/l). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk mempengaruhi tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, tinggi anakan, dan jumlah anakan tetapi tidak berpengaruh pada diameter batang. Perlakuan dosis pupuk mempengaruhi panjang akar, jumlah akar, bobot rimpang, bobot segar biomassa, dan bobot kering biomassa, tetapi tidak berpengaruh terhadap bobot segar dan bobot kering akar. Jahe putih kecil dapat tumbuh baik pada media tanam campuran arang sekam dan serbuk sabut kelapa (cocopeat). Dosis yang menghasilkan bobot rimpang terbaik yaitu 3 g/l (P3).

Kata kunci: jahe putih kecil, arang sekam, serbuk sabut kelapa

ABSTRACT

HILMA SUCIANDARI LAHAY. Growth Response of White Small Ginger

(Zingiber officinale var. Amarum) to Fertilization on Media Without Soil.

Supervised by MH BINTORO DJOEFRIE and MUHAMMAD SYAKIR.

(5)

Design Group (RKLT) one factor with six treatments and four repetition. Treatment in the form of a complete fertilizer dose applications, among others; P0 (0 g / l) as a control, P1 (1 g / l), P2 (2 g / l), P3 (3 g / l), P4 (4 g / l), and P5 (5 g / l) , The results showed that the dosage of fertilizers affect plant height, number of leaves, leaf length, height and number of tillers but had no effect on stem diameter, whereas for production factor variable dosage of fertilizer affect root length, number of roots, rhizome weight, fresh weight biomass and the dry weight of biomass but did not affect the fresh weight and dry weight of root. Small white ginger can grow well in the mixture rice husk and coconut coir dust (cocopeat) media, a dose that produces the best rhizome weight is 3 g/l (P3).

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

RESPON PERTUMBUHAN JAHE PUTIH KECIL (Zingiber

officinale var. Amarum) TERHADAP PEMUPUKAN PADA

MEDIA TANPA TANAH

HILMA SUCIANDARI LAHAY

AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala

atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah pertumbuhan tanaman pada media tanpa tanah, dengan judul Respon pertumbuhan jahe putih kecil (Zingiber officinale var. Amarum) terhadap pemupukan pada media tanpa tanah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir H M H Bintoro Djoefrie M.Agr dan Bapak Dr Ir Muhammad Syakir MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada serta Bapak Ir Agus Ruhnayat yang telah banyak membantu, mengarahkan, dan membimbing selama pelaksanaan di lapangan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu atas segala doa dan kasih sayangnya, terimakasih kepada Miftah Ayatussurur S.Hut atas dukungan serta doanya, dan juga kawan-kawan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Ratih dan Gilang, Universitas Pakuan Tyan dan Glen, teman-teman Lawalata IPB Alam, Dafi, Fadhlan, dan Sheila, serta keluarga besar AGH 46 Syahidah, Achma, dan semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas doa, dukungan, bantuan dan saran yang membangun dari awal hingga terselesaikannya penelitian ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis 3

TINJAUAN PUSTAKA 3

Botani dan Karakteristik Jahe 3

Budidaya Jahe Putih Kecil 4

Arang Sekam dan Serbuk Sabut Kelapa (Cocopeat) sebagai Media

Tanam 5

Pemupukan 7

METODE 9

Tempat dan Waktu Penelitian 9

Bahan 9

Alat 9

Metode Penelitian 9

Pelaksanaan 10

Pengamatan 11

Analisis Data 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Tinggi Tanaman 12

Jumlah Daun 13

Panjang Daun 13

Jumlah Anakan 14

Tinggi Anakan 15

Diameter Batang 16

Kondisi Lingkungan 17

Panjang, Jumlah, Bobot Segar dan Bobot Kering Akar 20

(11)

SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 22

UCAPAN TERIMAKASIH 22

DAFTAR PUSTAKA 22

LAMPIRAN 26

(12)

DAFTAR TABEL

1 Kriteria iklim dan tanah untuk jahe (Rostiana et al. 2007) 4 2 Analisis kimia arang sekam, serbuk sabut kelapa, dan arang sekam

serbuk sabut kelapa 7

3 Pengaruh dosis pupuk terhadap tinggi tanaman 12 4 Pengaruh dosis pupuk terhadap jumlah daun 13 5 Pengaruh dosis pupuk terhadap panjang daun 13 6 Pengaruh dosis pupuk terhadap jumlah anakan 15 7 Pengaruh dosis pupuk terhadap tinggi anakan 16 8 Pengaruh dosis pupuk terhadap diameter batang 17 9 Pengaruh pemupukan terhadap panjang (cm) dan jumlah akar jahe

20 10 Pengaruh pemupukan terhadap bobot segar dan bobot kering

akar 21

11 Pengaruh pemupukan terhadap bobot rimpang dan bobor biomassa

(g) 21

15 Perbandingan akar jahe pada 21 MST 27

16 Rimpang P0 pada 21 MST 27

23 Intensitas cahaya pada U1 29

24 Intensitas cahaya pada U2 29

25 Intensitas cahaya pada U3 30

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rata-rata suhu dan kelembaban rumah kaca per bulan 25

2 Akar tanaman setelah dipanen 27

3 Rimpang hasil panen jahe 27

4 Tanaman dosis P5 pada 21 MST 28

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jahe merupakan komoditas tanaman obat dan aromatik yang diperdagangkan secara luas di dunia karena kegunaannya yang beragam baik sebagai rempah, obat, maupun bahan makanan. Berkembangnya pemanfaatan rimpang dari jahe sebagai bahan baku obat tradisional, fitofarmaka, maupun industri makanan dan minuman di dalam maupun di luar negeri membuka peluang bagi bahan baku jahe di pasar dunia, tetapi hal ini tidak didukung dengan kondisi budidaya jahe nasional. Terbukti produksi jahe nasional mengalami penurunan pada 2008 sebanyak 154,963,886 kg menjadi 114,537,658 kg pada tahun 2012 bahkan mencapai penurunan drastis pada 2011 yaitu 94,743,139 kg (BPS, 2014).

Tanaman jahe berdasarkan bentuk dan warna kulit rimpang terbagi menjadi tiga jenis yaitu jahe putih besar (Zingiber officinale var. officinale) atau biasa dikenal dengan sebutan jahe badak atau jahe gajah, jahe putih kecil (Zingiber officinale var.

amarum) atau biasa dikenal dengan sebutan jahe emprit, dan jahe merah (Zingiber

officinale var. rubrum). Balai penelitian tanaman obat dan aromatik telah melepas satu

varietas unggul jahe putih besar (Cimanggu 1), empat varietas jahe putih kecil (Halina 1, Halina 2, Halina 3, Halina 4), dan dua varietas jahe merah (Jahira 1 dan Jahira 2) (Rostiana et. al, 2007). Dalam industri pengolahan jahe, jahe putih besar dimanfaatkan sebagai jahe segar yang banyak digunakan untuk sayur, makanan, minuman, permen, dan rempah-rempah karena aroma dan rasanya kurang tajam jika dibandingkan dengan kedua varietas lainnya. Jahe merah lebih dikenal penggunaannya sebagai minuman jahe, bumbu masak, dan obat-obatan karena rasa jahe tersebut sangat pedas dan beraroma tajam. Jahe putih kecil lebih banyak digunakan untuk penyedap makanan dan bahan minyak atsiri jahe, selain digunakan sebagai rempah-rempah dan minuman (Januwati,

et. al, 1991).

Jahe putih kecil (Zingiber officinale var. amarum) atau biasa juga disebut dengan jahe emprit merupakan jenis jahe yang paling banyak disuling minyak atsirinya. Kadar minyak atsiri jahe putih kecil merupakan yang paling besar dibandingkan dengan kadar minyak atsiri jahe merah. Jahe putih kecil Varietas Halina 3 memiliki kadar minyak atsiri sebesar 0,88 – 3,91% sedangkan jahe merah Varietas Jahira 1 memiliki kadar minyak atsiri sebesar 0,83 – 3,41%. Keunggulan jahe putih kecil lainnya yaitu sifat tanaman yang adaptif dan tingkat kepedasan yang paling tinggi yaitu 7.99 sedangkan jahe merah yaitu 5.94 dan jahe gajah 2.25 (Fathona, 2011). Jahe putih kecil merupakan komoditas jahe yang paling banyak di ekspor dalam bentuk jahe kering (Rostiana, et. al, 2007).

Jahe merupakan tanaman obat yang rentan terhadap serangan hama dan penyakit (OPT) seperti penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum), bercak daun

(Phyllosticta sp., Cercospora sp., Phakospora sp.), nematoda (Meloidogyne sp.), busuk

(16)

2

mengandalkan penggunaan pestisida sintetik karena belum tersedianya varietas tanaman jahe yang tahan terhadap serangan OPT (Supriadi dan Rosita, 2011).

Salah satu kendala terbesar yang dihadapi dalam budidaya tanaman jahe yaitu penyakit layu bakteri pada jahe yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum.

Patogen Ralstonia solanacearum menyebabkan penyakit layu bakteri pada lebih dari 200 spesies tanaman dari 50 famili, yaitu kentang, tomat, jahe, lada, tembakau, dan pisang. Penyakit layu bakteri dianggap penyakit paling merusak karena sifatnya yang agresif, distribusi geografis yang luas, dan inang yang tahan terhadap kondisi ekstrim (Meng, 2013). Penggunaan varietas tahan penyakit akan mengurangi kerugian biaya pengendalian dan aman terhadap lingkungan, namun sampai saat ini belum ada varietas jahe yang tahan terhadap penyakit busuk rimpang dan layu bakteri. Kondisi tersebut disebabkan oleh sifat patogen yang merupakan cendawan tular tanah dan mampu bertahan lama di dalam tanah tanpa adanya tanaman inang, dengan membentuk struktur istirahat (Pancasiwi, et al. 2013).

Ralstonia solanacearum merupakan patogen yang mampu bertahan hidup pada

akar tanaman yang bukan inang dan pada tanah dalam jangka waktu yang cukup lama. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi kemampuan bertahan dari Ralstonia

solanacearum. Kelembaban tanah yang tinggi dapat meningkatkan populasi bakteri

tersebut, sementara kandungan bahan organik tanah yang tinggi dan kondisi suhu yang tinggi akan mengurangi populasinya. Ralstonia solanacearum mudah berkembang, menular, dan menyebar terutama pada musim hujan, lembab, dan panas. Oleh karena itu penyakit layu bakteri sangat sulit dikendalikan (Hartati, 2012).

Jahe dikenal sebagai tanaman yang banyak menyerap unsur hara terutama N dan K (Yusron, et al. 2012). Media tanam campuran arang sekam dan serbuk sabut kelapa tidak mengandung unsur hara sebanyak media tanah sehingga pemberian pupuk tambahan sangat dibutuhkan. Jahe merupakan temu-temuan yang responsif terhadap pemupukan, pada media yang miskin unsur hara pertumbuhan jahe akan terhambat sedangkan pada media dengan unsur hara yang tinggi maka efisiensi penyerapan unsur hara tanaman jahe sangat rendah yang menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu (Yusron, et al. 2012).

Percobaan penanaman jahe putih kecil pada media tanpa tanah diharapkan mampu menghasilkan pertumbuhan jahe yang optimal dan mampu menghindari serangan bakteri Ralstonia solanacearum, akan tetapi penggunaan media tanam tanpa tanah masih belum populer di kalangan petani secara umum karena biaya produksi yang dianggap lebih mahal. Untuk itu dilakukan percobaan menggunakan media tanam tanpa tanah yang mudah di dapat di lapangan serta tidak membebani petani secara finansial. Media tanam yang dipilih adalah campuran cocopeat dan arang sekam.

Tujuan Penelitian

(17)

3

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini yaitu:

1. Terdapat perbedaan respon tanaman jahe terhadap dosis pupuk.

2. Semakin tinggi dosis pupuk maka pertumbuhan tanaman jahe akan semakin baik

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Karakteristik Jahe

Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu jenis tanaman yang termasuk kedalam suku Zingiberaceae. Jahe tumbuh merumpun berupa tanaman terna tahunan, berbatang semu, dan berdiri tegak dengan ketinggian mencapai 0,75 m. Secara morfologi tanaman jahe terdiri atas akar, rimpang, batang, daun, dan bunga. Perakaran tanaman jahe merupakan akar tunggal yang semakin membesar seiring dengan umurnya, hingga membentuk rimpang serta tunas-tunas yang akan tumbuh menjadi tanaman baru. Akar tumbuh dari bagian bawah rimpang, sedangkan tunas akan tumbuh dari bagian atas rimpang (Bermawie dan Susi, 2011).

Akar jahe berbentuk bulat, ramping, berserat, berwarna putih sampai cokelat terang. Akar keluar dari garis lingkaran sisik rimpang. Ukuran panjang akar jahe putih besar 12,9 – 21,5 cm, jahe putih kecil 20,5 – 21,2 cm, dan pada jahe merah 17,4 – 24,0 cm. Diameter akar pada jahe putih besar 4,5 – 6,3 mm, jahe putih kecil 4,8 – 5,9 mm dan jahe merah 12,3 – 12,6 mm (Rostiana et al. 1991)

Rimpang jahe berdaging, bernas dan strukturnya bercabang secara tidak teratur. Rimpang merupakan modifikasi bentuk dari batang yang terdapat di dalam tanah, berfungsi sebagai alat perkembangbiakan dan sebagai tempat menyimpan cadangan makanan dan sangat kaya dengan senyawa-senyawa metabolit sekunder. Karena merupakan modifikasi dari batang, bagian luar rimpang ditutupi dengan daun yang berbentuk sisik tipis yang tersusun melingkar seperti karang. Pada setiap lingkaran sisik terdapat satu tunas yang tersembunyi (Ajijah et al. 1997).

Batang pada tanaman jahe merupakan batang semu yang tumbuh tegak lurus, berbentuk bulat pipih, tidak bercabang tersusun atas seludang-seludang dan pelepah daun yang saling menutup sehingga membentuk seperti batang. Bagian luar batang berlilin dan mengkilap, serta mengandung banyak air/succulent, berwarna hijau pucat, bagian pangkal biasanya berwarna kemerahan (Bermawie dan Susi, 2011).

(18)

4

Bunga jahe terbentuk langsung dari rimpang, tersusun dalam rangkaian bulir

(spica) berbentuk silinder seperti jagung. Panjang bulir berkisar antara 4-7 cm dengan

lebar 1,5 – 2,5 cm. Pada jahe putih panjang bulir berkisar antara 4 – 6,5 cm sedangkan pada jahe merah berkisar antara 8 – 11,5 cm. Setiap bunga dilindungi oleh daun pelindung berwarna hijau berbentuk bulat telur. Jahe merupakan tanaman hermaprodit dengan sistem serbuk silang karena posisi kepala putik lebih tinggi dibandingkan kepala sari (Ajijah et al. 1997).

Tanaman jahe sangat jarang dapat membentuk buah. Bakal buah (ovarium) berbentuk bundar, diameternya sekitar 0,2 cm terdiri atas tiga ruang, masing-masing ruang berisi tujuh bakal biji. Buah berbentuk bulat panjang seperti kapsul, berkulit tipis dan berisi sejumlah biji-biji. Jika buah itu masak maka kapsul akan pecah dan terbuka (Ajijah et al. 1997).

Budidaya Jahe Putih Kecil

Faktor iklim dan tanah seperti curah hujan dan intensitas cahaya serta tekstur tanah dan drainase sangat mempengaruhi pembentukan rimpang. Pembentukan rimpang akan sangat terhambat dengan kadar liat tinggi dan drainase kurang baik, demikian juga pada intensitas cahaya dan curah hujan yang rendah. Tinggi tempat optimum untuk budidaya jahe pada kisaran 300 – 800 m dpl. Di dataran rendah (<300 m dpl) tanaman rentan terhadap serangan penyakit, terutama layu bakteri, sedangkan di dataran tinggi pertumbuhan rimpang akan terhambat (Rostiana, et al. 2007).

Tabel 1 Kriteria iklim dan tanah untuk jahe (Rostiana et al. 2007).

Karakteristik Kriteria

Jenis tanah Latosol, andosol, asosiasi regosol-andosol

Tipe iklim A, B, C (Schmidt & Ferguson)

Jumlah curah hujan 2.500 – 4.000 (mm/tahun)

Ketinggian tempat 300 – 800 m dpl tujuan agar ketersediaan air terpenuhi selama fase pertumbuhan rimpang. Penanaman jahe sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan (Effendi dan Hidayat, 1997).

(19)

5

rimpang yang kurus dan memanjang, sedangkan penanaman yang terlalu dangkal akan mengakibatkan rimpang keriput dan lambat tumbuh (Effendi dan Hidayat, 1997).

Jahe diperbanyak dengan menggunakan setek rimpang. Tingginya kontaminasi layu bakteri di dalam rimpang mengharuskan perlunya seleksi benih sejak dari pertanaman, dipilih dari tanaman yang sehat, dan bebas dari serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Ciri-ciri rimpang yang cocok dijadikan benih yaitu berasal dari pertanaman sehat, lahan harus bebas patogen, kulit rimpang mengkilat (bernas), kandungan serat tinggi dan kasar, kulit licin dan keras, tidak mudah mengelupas, umur panen rimpang minimal sembilan bulan, ruas rimpang yang masih muda tidak digunakan, serta bebas hama dan penyakit. Kriteria benih yang baik yaitu yang berbobot antara 40 – 60 gram untuk jahe putih besar, 20 – 40 gram untuk jahe putih kecil dan jahe merah, mempunyai 2-3 bakal mata tunas yang baik, dan tinggi tunas 1-2 cm (Rostiana, et al. 2007).

Penanaman jahe dapat dilakukan dengan sistem parit, bedengan dan guludan, hal ini disesuaikan dengan kondisi lahan dan jarak tanam. Jarak tanam jahe biasanya dilakukan 40 – 60 cm antar baris dan 25 – 50 cm dalam baris. Jarak tanam jahe untuk tujuan panen tua yaitu 60 x 30 cm antar baris dan 30 x 40 cm dalam baris agar saaat pembumbunan dan penyiangan tidak mengalami kesulitan. Jarak tanam jahe untuk tujuan panen muda dilakukan lebih rapat yaitu jarak antar baris 35 cm dan jarak dalam baris 25 cm (Effendi dan Hidayat, 1997).

Pemupukan memegang peranan penting untuk meningkatkan hasil rimpang, yaitu pupuk organik untuk memperbaiki tekstur dan aerasi tanah, serta pupuk anorganik terutama N, P, dan K. Untuk jahe putih kecil dianjurkan diberi pupuk kandang 2 – 4 minggu sebelum tanam dosis 20 – 30 ton/ha. Pupuk SP-36 diberikan pada saat tanam dosis 200 – 300 kg/ha. Pupuk KCl diberikan pada saat tanam dosis 200 – 300 kg/ha. Pupuk Urea diberikan masing-masing 1/3 pada umur 1, 2, dan 3 bulan setelah tanam dosis 300 – 400 kg/ha. Selain pemupukan faktor penting lain yang perlu diperhatikan yaitu penyiangan gulma yang harus dilakukan secara hati-hati. Periode kritis gulma jahe yaitu 3 – 6 bulan dan merupakan periode pembentukan rimpang, sedangkan umur 6 – 9 bulan merupakan periode pengisian rimpang. Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati atau tumbuh tidak normal pada umur 1-1,5 bulan dengan benih cadangan.

Arang Sekam dan Sabut Kelapa (coco peat) sebagai Media Tanam

(20)

6

(digilas/ditumbuk). Tujuan pemadatan yaitu agar butir-butir media rapat dan volume berkurang. Semakin ringan dan padat media tumbuh, maka semakin mudah dan murah pengangkutannya (Hasriani, 2013).

Pada percobaan yang dilakukan oleh Hasriani (2013) terhadap tanaman sengon dan mahoni di Gunung Walat, diketahui bahwa media serbuk sabut kelapa memiliki daya simpan air yang tinggi dibandingkan media tanah dan media campuran serbuk kelapa + tanah. Kadar air serbuk sabut kelapa yaitu 119% dan daya simpan air 695,4%, sedangkan daya simpan air tanah 154,07%. Tanaman sengon yang ditanam menggunakan media tanah mengalami kekeringan pada hari ke – 5 dan 15, sedangkan tanaman sengon yang ditanam pada media serbuk sabut kelapa baru mengalami kekeringan pada hari ke – 23 dan 25. Begitu pula pada tanaman mahoni yang ditanam pada media tanah menjadi layu dan kering pada hari ke – 10 dan 15, sedangkan mahoni yang ditanam pada media serbuk sabut kelapa baru menjadi layu dan kering pada hari ke – 41 dan 55. Dengan waktu penyiraman setiap hari pada pagi dan sore hari selama satu minggu. Setelah satu minggu tanaman disiram sampai jenuh dan di amati perubahannya.

Hal ini menggambarkan bahwa penggunaan serbuk sabut kelapa efektif digunakan untuk daerah yang kekeringan air atau penanaman pada musim kemarau. Harga per-karung serbuk sabut kelapa pun relatif murah, yaitu Rp 20.000,- per 10 kg.

Sekam merupakan hasil sampingan dari padi sehingga penggunaan sebagai media tanam tidak menyulitkan petani karena mudah diperoleh. Pembuatan arang sekam dimaksudkan untuk memperbaiki sifat fisik sekam agar lebih mudah ditangani dan dimanfaatkan lebih lanjut. Salah satu kelemahan sekam bila digunakan langsung sebagai media tumbuh tanaman akan mendorong tumbuhnya bakteri pembusuk akar dan jamur rhizophonia (Nugraha dan Jetty, 2003).

Hasil penelitian Gusmini et. al, (2009) tentang perbedaan pemanasan sekam padi terhadap kesediaan silika (Si) menggunakan suhu 200o C sampai 600o C. Semakin tinggi suhu pemanasan sekam maka ketersediaan silika (Si) pun semakin meningkat. Tingkat ketersediaan silika (Si) tertinggi terdapat pada pemanasan dengan suhu 600o C. Hal ini diduga karena kandungan bahan-bahan organik dapat terurai secara sempurna dengan tingginya suhu pemanasan. Silika (Si) adalah salah satu unsur hara yang dibutuhkan tanaman meskipun bukan termasuk dalam golongan unsur hara esensial. Silika (Si) dikenal sebagai unsur hara yang bermanfaat (beneficial element) karena dapat mendukung pertumbuhan tanaman yang sehat dan menghindarkan tanaman dari serangan penyakit, cekaman suhu, radiasi matahari, serta defisiensi dan keracunan unsur hara (Husnain, 2010).

(21)

7

Campuran arang sekam dan serbuk sabut kelapa memiliki nilai pH, porositas total, dan KPK, yang sesuai dengan kesesuaian lahan jahe yaitu pH 6 – 7 dan berdrainase baik (Tabel 2), karena jahe membutuhkan lahan dengan drainase yang baik tetapi juga cukup menahan air.

Pemupukan

Pertumbuhan tanaman sangat bergantung pada suplai unsur hara. Unsur hara tanaman dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu unsur hara esensial dan tidak esensial. Unsur hara esensial terbagi menjadi dua yaitu unsur hara makro dan mikro. Pengelompokan unsur hara makro dan mikro didasarkan atas kuantitas hara yang dibutuhkan tanaman. Unsur hara makro terdiri atas sembilan unsur yaitu C, O, H, N, P, K, Ca, Mg, dan S sedangkan unsur hara mikro terdiri atas tujuh unsur yaitu Fe, Mn, B, Zn, Cu, Mo, dan Cl (Wijaya 2008).

Nitrogen merupakan unsur hara terpenting untuk pertumbuhan tanaman. Suplai N mempengaruhi pertumbuhan, penampilan, warna, dan hasil tanaman. Nitrogen yang diserap oleh akar tanaman ada dua bentuk yaitu ion nitrat (NO3-) dan ion amonium (NH4+). Nitrogen yang diserap dalam bentuk ion nitrat sebagian akan disimpan langsung di dalam vakuola sel akar, vakuola sel organ penyimpan (buah) dan selebihnya yang tidak tersimpan akan direduksi menjadi nitrit (NO2) untuk selanjutnya di reduksi oleh enzim nitritreduktase menjadi amoniak (NH3). Reaksi reduksi nitrat sebagai berikut (Wijaya 2008):

NO3- + 8H+ + 8e- NH3 + 2H2O + OH

(22)

8

protein yang membutuhkan banyak atom C, akibatnya pembentukan jaringan penguat (lignin dan selulosa) terganggu dan kandungan karbohidrat tanaman menjadi rendah (Fageria 2009).

Nitrogen juga memainkan peran penting dalam pertumbuhan akar. Tanaman yang disuplai N berlebihan akan membentuk perakaran yang dangkal, bercabang banyak, pendek dengan ukuran relatif besar. Tanaman yang memiliki sistem perakaran seperti ini akan rentan terhadap kekeringan (Wijaya 2008).

Fosfor pada tanaman berperan penting dalam hampir semua reaksi biokimia, dan peran P yang istimewa yaitu pada proses penangkapan energi cahaya matahari dan mengubahnya menjadi energi biokimia (Fageria 2009). Unsur P merupakan komponen penyusun membran sel tanaman, penyusun enzim-enzim, penyusun co-enzim, nukleotida (bahan penyusun asam nukleat), sintesis karbohidrat, memacu pertumbuhan bunga dan biji, serta menentukan kemampuan berkecambah biji (Wijaya 2008).

Unsur P berperan dalam memperbaiki pertumbuhan akar tanaman. Densitas (kerapatan) akar dapat distimulasi oleh P meskipun tidak sebaik pengaruh nitrat (Wijaya 2008). Kekurangan P dapat mengurangi ukuran, jumlah, dan viabilitas benih (Fageria 2009). Defisiensi P menyebabkan tanaman tumbuh kerdil, memiliki sedikit anakan, dan luas daun menjadi terhambat karena sintesis karbohidrat tidak berjalan optimal (Wijaya 2008).

Di dalam tanah P tersedia dalam jumlah sedikit yaitu 0,1 – 1,0% sedangkan selebihnya teradsorbsi dan terimmobilisasi. Bentuk ion yang tersedia bagi tanaman yaitu HPO42- (pada tanah netral)dan H2PO4- (pada tanah asam) (Wijaya 2008).

Unsur K sangat berperan dalam menjaga tekanan osmosis dan turgor sel. Kalium merupakan unsur yang sangat mobil di dalam tanaman, sehingga pada kondisi defisiensi, K pada daun tua akan dialihkan ke organ baru yang membutuhkan K. Oleh karena itu gejala defisiensi K dapat dilihat pertama kali pada daun tua (Fageria 2009). Kalium berperan memperbesar ukuran rimpang/umbi, memperbaiki pengisian rimpang/umbi, ukuran dan berat biji kacang-kacangan, memperbaiki bulir padi dan jagung, meningkatkan kandungan vitamin C pada sayur dan buah, serta meningkatkan ketahanan tanaman pada cekaman kekeringan (Wijaya 2008).

Kaliaum diserap oleh tanaman dalam bentuk ion K+. Perakaran tanaman yang mendapat suplai K optimal dapat menyerap air lebih baik, dan dapat mengurangi kecepatan transpirasi. Kekurangan K menyebabkan kerusakan kloroplas dan mitokondria sel tanaman, sehingga tanaman tidak mampu melakukan fotosintesis secara optimal (Wijaya 2008).

Unsur hara N, P, dan K merupakan unsur hara utama yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah lebih besar dibandingkan unsur hara lain. Namun dalam aplikasinya perlu memperhatikan keseimbangan suplai hara. Tanaman yang kekurangan dan kelebihan suplai hara pertumbuhannya akan terganggu, selain itu lingkungan akan ikut tercemar dengan pemberian pupuk yang berlebihan. Keseimbangan suplai hara jumlahnya akan terus berubah bergantung pada ketersediaan hara di dalam tanah.

(23)

9

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2014 – Februari 2015 di Rumah Kaca Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), Cimanggu Bogor Jawa Barat.

Bahan

Bahan yang digunakan yaitu bibit jahe putih kecil Varietas Halina 2 dipanen dari kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), pupuk lengkap NPK 29+10+10+3 (29% N, 10% P2O5, 10% K2O, dan 3% MgO, SO3, B, Cu, Fe, Mn, Zn), media tanam cocopeat dan arang sekam dengan perbandingan (1:1), daun bambu, fungisida dithane dan alkohol 90%.

Alat

Alat yang digunakan yaitu polybag 40 x 40 cm sebagai media tanam, timbangan, takaran, gelas ukur, meteran, pH meter, jangka sorong, bagan warna daun,

hygrothermometer, light meter, botol semprot, tissue, alat tulis, dan alat dokumentasi.

Metode Penelitian

Penelitian disusun menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak dengan satu faktor yaitu dosis pupuk lengkap. Dosis pupuk terdiri atas enam taraf yaitu P0 (0 g/l), P1 (1 g/l), P2 (2 g/l), P3 (3 g/l), P4 (4 g/l), P5 (5 g/l). Percobaan diulang empat kali dan didapat 24 satuan percobaan, tiap satuan percobaan terdiri atas empat tanaman, sehingga digunakan 96 tanaman.

Model rancangan percobaan yang digunakan yaitu Yij = µ + αi + βj + ɛij

Keterangan : Yij = respon tanaman terhadap pengaruh dosis pupuk hidroponik ke – i dan kelompok ke - k

µ = nilai rataan umum hasil pengamatan αi = pengaruh dosis pupuk ke-i

βj = pengaruh kelompok ke – j ɛij = galat perlakuan

Dengan asumsi sebagai berikut

(24)

10

2. Dalam setiap populasi ragam eror ɛij bersifat homogen 3. Eror ɛij bersifat saling bebas

Hasil pengamatan dianalisis dengan analisis ragam (uji F) menggunakan program SAS versi 9.13 pada selang kepercayaan 95% (α = 5%). Jika terdapat pengaruh nyata, maka akan dilakukan uji lanjut DMRT.

Pelaksanaan Persiapan Bahan Tanam

Bahan tanam yang digunakan merupakan bagian dari potongan rimpang dengan 2-3 mata tunas (Gambar2) dan berbobot 20-40 g untuk jahe putih kecil (Gambar3) (Sukarman dan Melati, 2011). Rimpang yang digunakan untuk benih harus sudah cukup tua dan berwarna mengkilat (Gambar1). Rimpang diperoleh dari Kebun Percobaan Cimanggu. Sebelum ditanam di polybag, benih direndam pada larutan 5 liter fungisida dithane dengan dosis 3 gram/liter selama ± 1 jam dan dikering-anginkan selama 1 hari (Gambar4).

Gambar1 Benih awal jahe

Gambar 4 Benih direndam fungisida

Persiapan Media

Media yang digunakan yaitu campuran arang sekam dan serbuk sabut kelapa

(cocopeat) dengan perbandingan (1:1) yaitu masing-masing 1 kg arang sekam dan

serbuk sabut kelapa per polybag. Sebelum bibit ditanam, media disiram air hingga jenuh dan dikering-anginkan selama satu hari. Setelah satu hari media disiram dengan fungisida dosis 2 gram/liter. Hari selanjutnya media disiram air hingga jenuh kemudian ditutup dengan daun bambu sebagai mulsa.

Gambar 2 Benih jahe setelah

(25)

11

Penanaman

Bibit jahe putih kecil ditanam pada kedalaman ± 5 cm dengan posisi mata tunas menghadap ke atas.

Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan meliputi penyulaman, penyiangan, dan pengendalian hama penyakit bila diperlukan. Penyiraman pada saat tanaman belum bertunas dilakukan setiap tiga hari sekali. Setelah tanaman berumur 5 MST penyiraman dilakukan bersama aplikasi larutan pupuk sebanyak 200 ml per polybag setiap dua kali dalam satu minggu.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan sejak tanaman berusia 8 MST dan diamati setiap 2 minggu sekali. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dosis pupuk terhadap pertumbuhan tanaman, peubah yang diukur dan diamati yaitu:

1. Tinggi tanaman diamati dengan mengukur dari pangkal batang tepat di atas permukaan media sampai ke titik tumbuh.

5. Tinggi anakan, diamati dengan mengukur anakan paling tinggi dari pangkal batang tepat di atas permukaan media sampai ke titik tumbuh.

6. Diameter batang diukur menggunakan jangka sorong. Pengamatan kondisi lingkungan tumbuh

1. Suhu dan RH rata-rata, pencatatan suhu dan kelembapan dilakukan setiap hari sebanyak tiga kali yaitu pagi hari pukul 9.00, siang hari pukul 12.00, dan sore hari pukul 15.00 WIB. Pencatatan suhu dan kelembapan dilakukan sejak bulan Oktober 2014 – Februari 2015.

2. Intensitas cahaya, pencatatan intensitas cahaya dilakukan bersamaan dengan suhu dan RH ruang yaitu pada pagi, siang, dan sore hari. Pengukuran dilakukan pada tujuh titik di setiap ulangan.

3. Kelembaban dan pH media tanam, diukur pada dua titik kedalaman yaitu 10 dan 20 cm.

Setelah Jahe dipanen muda pada usia 21 MST peubah yang diukur yaitu: 1. Bobot segar (BS) dan bobot kering (BK) biomassa

2. Bobot segar (BS) dan bobot kering (BK) akar 3. Panjang akar

(26)

12

Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam dengan uji F pada taraf nyata 5%. Jika hasil berbeda nyata pada uji F maka dilakukan uji lanjut DuncanMultiple Range Test (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi tanaman

Perlakuan dosis pupuk lengkap NPK 29+10+10+3 berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada 19 dan 21 MST dan perbedaan tinggi tanaman antara P0 – P5 terlihat berbeda nyata dengan kontrol hanya pada 21 MST (Tabel3).

Tabel 3 Pengaruh dosis pupuk terhadap tinggi tanaman

Tinggi Tanaman (cm)

Respon pertumbuhan tinggi tanaman jahe pada 21 MST menunjukkan P0 berbeda nyata dengan P1 – P5. Hal ini disebabkan tanaman P0 tidak menerima asupan pupuk tambahan sehingga hanya bergantung pada cadangan makanan di dalam benih rimpang. Menurut Addai dan Scott (2011), pertumbuhan tanaman dari perbanyakan vegetatif (umbi dan rimpang) dipengaruhi oleh cadangan makanan pada umbi dan rimpang tersebut, khususnya karbohidrat. Dalam proses metabolisme enzim amilase merombak karbohidrat menjadi energi yang ditransfer ke titik tumbuh digunakan untuk pertumbuhan.

Respon pertumbuhan tinggi tanaman terhadap pemupukan pada awal pertumbuhan terlihat jelas pada dosis P5, pada 5 MST tinggi tanaman 9.040 cm paling rendah di antara seluruh perlakuan tetapi meningkat drastis pada 7 MST menjadi 30.940 cm setara dengan perlakuan lain (Tabel 3). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Attoe dan Osodeke (2009), jahe merupakan tanaman yang responsif terhadap ketersediaan unsur hara N, P, dan K.

(27)

13

adanya perlambatan kecepatan tumbuh pada tanaman jahe dosis tinggi (P4 dan P5) dan apabila diteruskan ada kemungkinan tanaman akan layu dan mengering akibat kelebihan dosis (Lampiran 4). Tinggi tanaman jahe putih menurut Xizben, et al. (2004) yaitu 70 – 90 cm. Menurut Bermawie dan Susi (2011), tinggi tanaman jahe pada umumnya mencapai 75 cm, sedangkan tinggi tanaman yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu 72 – 99 cm pada usia 5 bulan.

Jumlah daun

Hasil analisis terhadap jumlah daun berbeda nyata terhadap kontrol sejak 13 MST (Tabel 4). Perlakuan P2 berbeda nyata terhadap kontrol pada 13 MST, tetapi tidak berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya. Seperti hal nya tinggi tanaman, pada fase tersebut tanaman masih dapat menggunakan cadangan makanan yang terkandung di dalam rimpang. Pada 15 – 21 MST semua perlakuan berbeda nyata terhadap kontrol.

Tanaman dosis P0 mengalami gugur daun pada 17 MST sehingga jumlah daun berkurang sedangkan tanaman lain yang diberi pupuk terus mengalami pertambahan jumlah daun. Jumlah daun terbanyak terdapat pada tanaman yang diberi dosis 2 g/l (P2) yaitu sebanyak 141 daun dan yang terendah tanaman kontrol (P0) yaitu 22 daun (Tabel 4).

Tabel 4 Pengaruh dosis pupuk terhadap jumlah daun

Jumlah Daun terpanjang dibandingkan dengan perlakuan lain, akan tetapi daun dari tanaman yang diberi dosis P0 tersebut lebih tipis kekuningan dan mudah patah (Gambar 5).

Tabel 5 Pengaruh dosis pupuk terhadap panjang daun

Panjang Daun (cm)

Perlk 5 MST 7 MST 9 MST 11 MST 13 MST 15 MST 17 MST 19 MST 21 MST

P0 1.870a 11.315a 16.780a 18.985a 19.725a 20.233a 20.750a 21.738a 20.910a

(28)

14

Tabel 5 Pengaruh dosis pupuk terhadap panjang daun (lanjutan).

Panjang Daun (cm)

Perlk 5 MST 7 MST 9 MST 11 MST 13 MST 15 MST 17 MST 19 MST 21 MST

P2 1.913a 6.663a 14.788a 17.668a 19.778a 20.088a 20.190a 20.348ab 20.010ab

P3 3.835a 10.033a 14.965a 17.728a 18.113a 18.648a 18.968a 19.125ab 19.060ab

P4 1.910a 9.503a 14.405a 17.000a 17.303a 17.660a 18.155a 18.010b 16.748b

P5 0.863a 7.133a 14.085a 16.358a 17.258a 17.715a 17.998a 17.833b 15.920b

Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Gambar 5 Daun tanaman dosis P0

Pada 19 dan 21 MST tanaman P4 dan P5 berbeda nyata terhadap kontrol tetapi tidak berbeda nyata terhadap P1, P2, dan P3. Penurunan pertumbuhan daun terjadi pada P0, P2, P3, P4 dan P5 pada 21 MST. Hal ini disebabkan oleh tanaman yang mulai mengering akibat kelebihan unsur hara yang mengakibatkan efek toksik. Respon terhadap kelebihan unsur hara terlihat lebih jelas pada P4 dan P5 yaitu berkurang sebanyak 2 cm, sedangkan pada P0, P2, P3 dan P4 hanya kurang dari 1 cm.

Tanaman dengan perlakuan 1 g/l (P1) tidak mengalami penurunan panjang daun, diduga karena dosis yang diberikan masih sesuai dengan kapasitas tanaman menyerap hara. Panjang daun jahe pada umumnya sekitar 5 – 25 cm (Bermawie dan Susi, 2011), sedangkan panjang daun yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu 15 – 21 cm pada umur 5 bulan masih sesuai dengan kriteria standar tanaman jahe pada umumnya (Tabel 5).

Jumlah anakan

(29)

15

berbeda nyata. Pada 21 MST perlakuan P0 tetap berbeda nyata dengan semua perlakuan, tetapi P1 berbeda nyata dengan P4 (Tabel 6).

Tabel 6 Pengaruh dosis pupuk terhadap jumlah anakan

Jumlah Anakan

Jumlah anakan terbanyak dihasilkan oleh tanaman dengan dosis P4 yaitu 15 tunas dan terendah P0 yaitu 2 tunas anakan. Hal ini menunjukkan bahwa dosis 4 g/l mampu menghasilkan jumlah anakan terbanyak dibandingkan perlakuan lain. Menurut Sudiarto dan Gusmaini (2004) jumlah anakan jahe muda berkisar antara 4.53-9.33 anakan/tanaman. Jumlah anakan jahe muda yang dihasilkan pada penelitian ini relatif lebih tinggi dibandingkan penelitian sebelumnya. Jumlah anakan pada umumnya berkorelasi positif dengan hasil rimpang pada fase panen, semakin banyak jumlah anakan/tanaman semakin tinggi hasil rimpang (Rahardjo, 2012).

Tinggi anakan

Peubah tinggi anakan diukur dari anakan tertinggi per rumpun. Pengaruh pemupukan pada tinggi anakan berbeda nyata terhadap kontrol sejak 13 MST. Pertumbuhan tinggi anakan yang optimal dihasilkan pada perlakuan P2 yaitu 90.460 cm pada 21 MST (Tabel 7). Menurut Wasito dan Tedjasawarna (2003), pemberian pupuk yang berimbang disertai dosis yang tinggi lebih meningkatkan jumlah anakan per rumpun.

(30)

16

Tabel 7 Pengaruh dosis pupuk terhadap tinggi anakan

Tinggi Anakan (cm)

Perlk 5 MST 7 MST 9 MST 11 MST 13 MST 15 MST 17 MST 19 MST 21 MST

P0 1.045a 7.460a 12.690a 20.403a 27.695b 29.653b 31.178b 32.188b 31.430b

P1 4.115a 8.303a 22.230a 40.810a 58.745a 66.465a 72.678a 80.800a 84.420a

P2 3.275a 7.213a 15.120a 35.465a 54.258a 65.808a 73.865a 86.370a 90.460a

P3 0.000a 1.163a 11.990a 35.960a 52.600a 61.048a 66.933a 75.340a 81.150a

P4 0.813a 3.163a 13.380a 31.808a 47.888a 55.970a 60.735a 68.863a 73.940a

P5 2.020a 8.383a 19.740a 37.870a 54.800a 62.863a 71.608a 78.900a 85.760a

Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Tanaman kontrol P0 membentuk bunga pada 17 MST kemudian tanaman P1 membentuk bunga pada 21 MST (Gambar 6). Bunga jahe terbentuk karena jahe mengalami stress hara, terbukti hanya tanaman dosis P0 yang membentuk bunga, bunga jahe terbentuk langsung dari rimpang (Ajijah et al. 1997) sehingga harus segera di potong karena akan mengurangi bobot hasil rimpang (Gambar 7).

Diameter batang

Berbeda dengan variabel lainnya, variabel diameter batang tidak berbeda nyata dari awal hingga akhir pengamatan. Pengamatan diameter batang dilakukan menggunakan jangka sorong digital pada tinggi 5 cm dari pangkal batang.

Pertumbuhan diameter batang cenderung stabil sejak awal hingga akhir pengamatan, laju pertambahan rata-rata 1 mm per 2 minggu, meskipun pada 13 MST laju pertumbuhan untuk P3, P4, dan P5 mulai melambat. Tanaman kontrol dan tanaman dengan dosis pupuk rendah mengalami penurunan diameter batang pada 19 ke 21 MST. Tanaman kontrol P0 mengalami penurunan sebesar 0.5 mm sedangkan tanaman P1 dan P2 sebesar 0.1 mm (Tabel 8).

(31)

17

Tabel 8 Pengaruh dosis pupuk terhadap diameter batang

Diameter batang (mm)

Pengaruh perlakuan dosis pupuk tidak berbeda nyata terhadap diameter batang disebabkan karena pertumbuhan vegetatif tanaman masih dipengaruhi cadangan makanan yang tersimpan di dalam benih rimpang.

Kondisi Lingkungan

Penelitian dilakukan di Rumah Kaca Balittro pada bulan September 2014 – Februari 2015. Selama pengamatan dilakukan pengukuran terhadap suhu dan kelembaban ruang serta intensitas cahaya.

Suhu rata-rata tertinggi mencapai 350 C pada bulan November dan Desember, sedangkan suhu terendah 220 C pada bulan Januari dan Februari (Lampiran 1). Hal ini kurang sesuai dengan kesesuaian lingkungan tumbuh jahe menurut Rostiana, et al.

(2007), kisaran suhu optimal untuk tumbuh jahe yaitu 250 – 300 C. Menurut Xizben, et al. (2004) jahe dapat berkecambah pada suhu dibawah 200 C tetapi sangat lambat, suhu yang tepat yaitu 22-250 C, jika suhu diatas 300 C perkecambahan akan terjadi secara cepat tetapi tunasnya akan menjadi lemah. Suhu yang dibutuhkan pada masa pembibitan dan pertumbuhan awal yaitu 22- 280 C, sedangkan selama masa pembentukan rimpang suhu optimum yaitu 250 C. Menurut Rahardjo (2013), pada periode perkecambahan jahe memerlukan suhu ± 300C, namun setelah perkecambahan memerlukan suhu kurang dari 300 C. Suhu rumah kaca tertinggi selama periode perkecambahan jahe mencapai 32.750 C dan setelah perkecambahan mencapai 340 C, sedangkan suhu tertinggi pada fase akhir pengamatan (21 MST) yaitu 31.50 C dan terendah 23.250 C (Lampiran 1). Kelembaban rumah kaca minimum selama pengamatan yaitu 55% pada bulan Desember dan maksimum 97% pada bulan November dan Desember (Lampiran 1).

(32)

18

intensitas cahaya di dalam rumah kaca selama periode penelitian dilakukan menggunakan light meter pada tujuh titik di setiap ulangan.

Intensitas cahaya tertinggi pada pagi, siang dan sore hari terdapat pada bulan November dan terendah pada bulan Februari. Tercatat pada beberapa hari pengamatan intensitas cahaya siang lebih rendah dibandingkan intensitas cahaya pagi, hal tersebut disebabkan perubahan cuaca yang semula cerah menjadi mendung (Lampiran 5).

Hal penting yang berkaitan dengan intensitas cahaya yaitu laju fotosintesis, konduktansi stomata, dan laju transpirasi yang berbanding lurus dengan peningkatan intensitas cahaya (Rahardjo, 2013). Laju fotosintesis pada jahe berkaitan dengan proses pembentukan metabolit primer yaitu karbohidrat dan metabolit sekunder yaitu produk bioaktif. Produk bioaktif yang terakumulasi di dalam rimpang jahe dimanfaatkan oleh manusia untuk kesehatan. Molekul-molekul bioaktif jahe di antaranya 6-gingerol, flavonoid, dan asam fenolat (Ghasemzadeh et. al, 2010).

Pengukuran kondisi media tanam derajat kemasaman (pH) dan kelembaban media (RH) dilakukan setiap satu bulan saat sebelum dan sesudah perlakuan. Pengukuran dilakukan pada dua titik yaitu 10 dan 20 cm di setiap polybag. Menurut Rahardjo (2013) kondisi pH optimal untuk tumbuh jahe berkisar antara 5.5 – 6.5. Secara umum pH pada titik 20 cm cenderung lebih asam dibanding pH pada titik 10 cm, pada masa sebelum tanam pH di titik 20 cm mencapai 4.5 yang kemudian meningkat seiring dengan perlakuan pemupukan.

Peningkatan pH media yang signifikan terjadi pada P5 (Gambar 14) sedangkan peningkatan yang tidak terlalu signifikan terjadi pada P0 (Gambar 9). Sebelum perlakuan pemupukan, dilakukan pencatatan terhadap pH air yang digunakan untuk penyiraman, tercatat pH air yaitu 6.31(Gambar 8).

(33)

19

Gambar 9 Peningkatan pH pada P0

Gambar 11 Peningkatan pH pada P2

Gambar 13 Peningkatan pH pada P4

Keterangan : P.a= titik kedalaman 10 cm sebelum perlakuan, P.a.1= titik kedalaman 10 cm sesudah perlakuan, P.b= titik kedalaman 20 cm sebelum perlakuan, P.b.1= titik kedalaman 20 cm sesudah perlakuan

Perubahan pH pada P2 (Gambar 11) dan P4 (Gambar 13) tidak terlihat berbeda antara sebelum dan sesudah perlakuan, sedangkan pada P3 (Gambar 12) pH media sebelum perlakuan pada titik 20 cm lebih tinggi dibandingkan pH media sesudah perlakuan pada titik kedalaman yang sama.

Gambar 10 Peningkatan pH pada P1

Gambar 12 Peningkatan pH pada P3

(34)

20

Secara keseluruhan pH tertinggi dan terendah sebelum perlakuan yaitu 5.55 -6.45 dan setelah perlakuan 5.67 – 6.73, sedangkan kelembaban media yang diukur sebelum perlakuan berkisar antara 86% - 100% dan setelah perlakuan kelembaban media keseluruhan yaitu 100%.

Panjang, Jumlah, Bobot Segar dan Bobot Kering Akar

Setelah tanaman berumur 21 MST dilakukan panen muda untuk mengetahui ukuran generatif tanaman yaitu akar dan rimpang, serta variabel vegetatif pasca panen yaitu bobot biomassa.

Tabel 9 Pengaruh pemupukan terhadap panjang dan jumlah akar jahe

P0 P1 P2 P3 P4 P5

Panjang akar 51.15a 40.35ab 34.63ab 36.75ab 29.28b 30.85b

Jumlah akar 11.00b 20.50ab 27.25a 14.75ab 11.25b 11.50b

Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam baris yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada taraf 95%.

Panjang akar diukur dari akar terpanjang per rumpun tanaman. Panjang akar jahe pada dosis P0 berbeda nyata dengan dosis P4 dan P5 tetapi tidak berbeda nyata dengan dosis P1, P2 dan P3. Akar terpanjang terdapat pada tanaman dengan dosis P0 dan menurun bersamaan dengan penambahan dosis. Menurut Xizben, et al. (2004) akar jahe dibedakan menjadi dua yaitu akar serabut dan akar berdaging. Setelah penanaman banyak akar serabut yang tumbuh dari dasar benih yang jumlahnya terus bertambah seiring dengan pertumbuhan benih dan setiap akar memiliki banyak akar lateral lain. Akar serabut tipis, berambut dan berfungsi menyerap hara sehingga disebut juga dengan akar penyerapan. Pada fase pertumbuhan selanjutnya akar berdaging tumbuh dari benih indukan dan buku-buku utama. Akar berdaging ini memiliki ketebalan 0.5 cm dengan panjang 10-25 berwarna putih susu dan sedikit berambut.

Tanaman kontrol P0 hanya membentuk akar serabut tanpa ada akar berdaging, hal ini mengindikasikan adanya proses bertahan hidup pada tanaman dalam mencari area serapan hara, sedangkan akar tanaman P4 dan P5 terdiri atas akar serabut dan akar berdaging (Lampiran 2) yang akar terpanjangnya hanya mencapai 30.85 cm (Tabel 9), hal tersebut karena adanya asupan pupuk berlebih yang membuat tanaman tidak perlu mencari area untuk menyerap hara. Jahe memerlukan jumlah pupuk yang seimbang, apabila terjadi kelebihan pupuk, akar akan kesulitan dalam menyerap hara dan mineral karena tingginya konsentrasi ion akibatnya pertumbuhan tunas udara akan terhambat, kemampuan fotosintesis melemah dan hasil panen berkurang (Xizben, et al. 2004).

(35)

21

Tabel 10 Pengaruh pemupukan terhadap bobot segar dan bobot kering akar (gr)

P0 P1 P2 P3 P4 P5

BS akar 19.54a 17.02a 33.41a 32.54a 9.37a 9.17a

BK akar 2.39a 3.81a 1.88a 3.94a 0.71a 0.67a

Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam baris yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada taraf 5%. BS = Bobot Segar, BK = Bobot kering.

Bobot segar dan bobot kering akar tidak berbeda nyata antara dosis satu dengan yang lainnya. Hal tersebut disebabkan perbedaan bobot segar akar yang terlalu jauh antara P2 (33.41 g) dan P5 (9.17 g) serta perbedaan bobot kering akar yang tidak signifikan, namun terlihat bahwa dosis P4 dan P5 menghasilkan bobot segar dan bobot kering akar yang rendah (Tabel 10). Berdasarkan hasil penelitian Gonggo, et al. (2006) pemberian pupuk yang melebihi dosis optimal akan menurunkan efisiensi serapan hara oleh akar tanaman yang diikuti penurunan bobot akar dan bobot rimpang jahe.

Bobot Rimpang dan Bobot Biomassa

Pengaruh pemupukan berpengaruh sangat nyata terhadap hasil rimpang dan akumulasi biomassa (Tabel 11). Bobot rimpang P0 berbeda sangat nyata terhadap P1, P2, P3, dan P4 tetapi tidak berbeda nyata terhadap P5. Bobot rimpang segar jahe muda tertinggi pada tanaman P3 yaitu 134.81 g dan terendah P0 yaitu 35.66 g. Menurut Bermawie, et al. (2007) bobot rimpang/rumpun jahe putih kecil Varietas Halina-2 yaitu 371.61 g. Bobot rimpang tertinggi yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu 134.81 g dengan masa panen muda (5 bulan) sehingga dapat diperkirakan bobot jahe putih kecil Varietas Halina-2 pada penelitian ini dapat mencapai ukuran maksimumnya pada fase panen 9 bulan (Lampiran 3).

Tabel 11 Pengaruh pemupukan terhadap bobot rimpang dan bobot biomassa (g)

P0 P1 P2 P3 P4 P5

Bobot rimpang 35.66c 109.02a 92.53ab 134.81a 89.55ab 54.87bc

BS biomass 39.79c 187.76b 244.27ab 351.05a 248.31ab 128.63bc

BK biomass 5.17c 34.73bc 45.91ab 83.06a 35.70bc 48.71ab

Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam baris yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada taraf 5%. BS = Bobot Segar, BK = Bobot kering.

Bobot segar biomassa P0 berbeda nyata terhadap bobot segar biomassa P1, P2, P3, dan P4 tetapi tidak berbeda nyata terhadap P5. Terjadi kecenderungan penurunan bobot segar biomassa mulai dari P0 meningkat hingga maksimum pada P3 yaitu 351.05 g dan menurun pada P4 dan P5. Bobot terendah terdapat pada P0 yaitu 39.79 g. Menurut

Li, et al. (2010), akumulasi biomassa pada tanaman jahe fase vegetatif aktif berkorelasi

(36)

22

Bobot kering biomassa dihitung setelah pengeringan menggunakan oven suhu 800 C selama tiga hari, sesuai anjuran peneliti Balittro. Bobot kering biomassa P0 berbeda nyata dengan P2, P3, dan P5 tetapi tidak berbeda nyata dengan P1 dan P4. Bobot kering tertinggi pada P3 yaitu 83.06 g dan terendah pada P0 yaitu 5.17 g (Tabel 11).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penanaman jahe pada media campuran arang sekam dan serbuk sabut kelapa mampu menghasilkan pertumbuhan tanaman jahe yang normal dan sesuai kriteria standar jahe. Perlakuan dosis pupuk mempengaruhi tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, jumlah anakan dan tinggi anakan pada fase panen muda (21 MST), sedangkan pada variabel generatif perlakuan dosis pupuk mempengaruhi panjang dan jumlah akar, bobot rimpang, bobot segar dan bobot kering biomassa. Dosis pupuk yang menghasilkan bobot rimpang tertinggi yaitu dosis 3 g/l.

Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pertumbuhan jahe pada komposisi media tanam campuran serbuk sabut kelapa (cocopeat) dan arang sekam yang berbeda. Tempat penelitian sebaiknya dilakukan pada lahan terbuka dan dengan menggunakan campuran pupuk kandang.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (Puslitbangbun) serta Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) atas kesempatan serta bantuan yang diberikan guna mendukung pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

(37)

23

Ajijah N, Budi M, Nurliani B, Hadad EA. 1997. Botani dan karakteristik. Di dalam: D. Sitepu, Sudiarto, Nurliani B, Supriadi, Deciyanto S, Rosita SMD, Hernani, Amrizal MR, editor. Jahe, monograf no.3. 1997. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. hlm 10 – 26.

Attoe E E dan Osodeke V E. 2009. Effects on N P K on growth and yield of ginger

(Zingiber officinale Rosc.) in soils of contrasting parent materials of cross river

state. EJEAF Che.8 (11): 1261 – 1268.

Bermawie N, Budi M, Nur A, Siti F S, Taryono dan Hermanto. 2007. Jahe putih kecil Varietas Halina-2. http://www.litbang.pertanian.go.id/hasil/200/Tan-Obat/Jahe-putih-kecil-halina-2.pdf. [diakses pada tanggal 25/2/2015]

Bermawie N dan Susi P. 2011. Botani, sistematika dan keragaman kultivar jahe. Di dalam: Supriadi, Muhammad Y, Dono W, editor. Bunga Rampai Jahe (Zingiber

officinale Rosc.) Status Teknologi Hasil Penelitian Jahe. 2011. Bogor (ID): Balai

Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. hlm 1 – 5.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Tanaman Obat – Obatan 2018 – 2013. www.bps.go.id. [diakses pada tanggal 5/9/2014]

Effendi DS, Hidayat M. 1997. Persiapan lahan dan cara tanam. Di dalam: D. Sitepu, Sudiarto, Nurliani B, Supriadi, Deciyanto S, Rosita SMD, Hernani, Amrizal MR, editor. Jahe, monograf no.3. 1997. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. hlm 54.

Fageria, NK. 2009. The use of nutrients in crop plants. Boca Raton : CRC Press.

Fathona, D. 2011. Kandungan gingerol dan shogaol, intensitas kepedasan dan penerimaan panelis terhadap oleoresin Jahe Gajah (Zingiber officinale var. Roscoe), Jahe Emprit (Zingiber officinale var. Amarum), dan Jahe Merah

(Zingiber officinale var. Rubrum) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ghasemzadeh A, Jaafar HZE, Rahmat A, Wahab PEM, Halim MRA. 2010. Effect of different light intensities on total phenolics and flavonoids synthesis and anti-oxidant activities in young ginger varieties (Zingiber officinale Roscoe). Int. J. Mol. Sci. 11:3885-3897.

Gonggo BM, Hasanudin M, dan Yuni I. 2006. Peran pupuk N dan P terhadap serapan N, efisiensi N, dan hasil tanaman jahe di bawah tegakan tanaman karet.J Ilmu Pert Ind. 8(1):61-68

Gusmini, Darmawan, Asmar, Siska P. 2009. Penelitian pemanasan sekam padi terhadap ketersediaan Si (Silika) pada pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Oryza sativa Pengendalian Penyakit Layu Bakteri Tanaman Jahe. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

(38)

24

Husnain. 2010. Mengenal silika sebagai unsur hara. Warta Litbang Pertanian Indonesia

[Internet]. [diunduh 2014 Sep 25 20:07]; 32(3):19-20. Tersedia pada: pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr323109.pdf

Indrawati R, Didik I, Sri NHU. 2012. Pengaruh komposisi media dan kadar nutrisi hidroponik terhadap pertumbuhan dan hasil tomat (Lycopersicon esculentum

Mill.). J Vegetalika. 1(3):4-6

Januwati M, O Rostiana, Rosita SM, D Sitepu. 1991. Pedoman pengadaan rimpang jahe bebas penyakit untuk bibit. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

Li L, Chen F, Yao D, Wang N, Ding, Liu X. 2010. Balance fertilization for ginger production – Why potassium is important. Better Crops. 94:25-27.

Meng, F. 2013. Ralstonia solanacearum species complex and bacterial wilt disease [ulas balik]. J Bacteriol Parasitol. 4(2):1-4

Nugraha S, Jetty S. 2003. Peluang agribisnis arang sekam. Warta Litbang Pertanian

Indonesia [Internet]. [diunduh 2014 Sep 21 20:07]; 25(3):1-2. Tersedia pada:

http://203.176.181.70/bppi/lengkap/wr254033.pdf

Pancasiwi D, Soedarmono, Mugiastuti E, dan Soesanto L. 2013. Ketahanan Tiga Varietas Jahe terhadap Fusarium oxysporum f. sp. zingiberi in Vitro dan in Planta

[komunikasi singkat]. J Fitopatol Indones.9(2):68-70.doi:10.14692/jfi/9.2.68. Rahardjo, M. 2012. Pengaruh pupuk terhadap pertumbuhan, hasil dan mutu rimpang

jahe muda (Zingiber officinale Rocs.). Jurnal Litri. 18(1) : 10-16.

Rahardjo, M. 2013. Pengaruh stres air, intensitas cahaya, konsentrasi karbon dioksida, dan salinitas terhadap parameter fisiologis dan morfologis tanaman jahe (Zingiber

officinale). Bogor (ID): Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

Rostiana O, A. Abdullah, Taryono dan Hadad EA. 1991. Jenis-jenis tanaman jahe. Edisi Khusus Littro VII (1) : 7 – 10

Rostiana O, Dedi SE, Nurliani B. 2007. Teknologi Unggulan Jahe, Budidaya Pendukung Varietas Unggul. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Semangun, H. 2000. Penyakit – Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada

Sudiarto dan Gusmaini. 2004. Pemanfaatan bahan organik in situ untuk efisiensi budidaya jahe yang berkelanjutan. J. Litbang Pert. 23 (2): 37-45.

Sukarman dan Melati. 2011. Produksi Benih Jahe (Zingiber officinale Rosc.). Di dalam: Supriadi, Muhammad Y, Dono W, editor. Bunga Rampai Jahe (Zingiber

officinale Rosc.) Status Teknologi Hasil Penelitian Jahe. 2011. Bogor (ID): Balai

Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. hlm 20-25.

Supriadi dan Rosita SMD. 2011. Induksi ketahanan tanaman jahe secara hayati dan kimia terhadap gangguan hama dan penyakit. Di dalam: Supriadi, Muhammad Y, Dono W, editor. Bunga Rampai Jahe (Zingiber officinale Rosc.) Status Teknologi

Hasil Penelitian Jahe. 2011. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanaman Obat dan

Aromatik. hlm 59.

Soesanto L, Dewi JP, dan Prihatiningsih N. 2005. Pengenalan dini penyakit busuk rimpang jahe. J Penel Pert Agr. 8(2):76-83.

(39)

25

Wijaya, K.A. 2008. Nutrisi tanaman sebagai penentu kualitas hasil dan resistensi alami tanaman. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Xizben A, Song J, dan Xu X. 2004. Ginger production in Southeast Asia. Di dalam: PN Ravindran dan KN Babu, editor. Ginger, the Genus Zingiber. 2004. Medicinal and Aromatic Plants – Industrial Profiles: CRC Press. P 249.

Yusron M, Cheppy S, dan Octivia T. 2012. Respon Lima Aksesi Jahe Putih Kecil

(40)

26

Lampiran 1 Rata-rata suhu dan kelembaban rumah kaca per bulan

(41)
(42)

28

Lampiran 2 Akar tanaman setelah di panen

Gambar15 Perbandingan akar jahe pada 21 MST

Lampiran 3 Rimpang hasil panen jahe

Gambar16 Rimpang P0 pada 21 MST

Gambar18 Rimpang P3 pada 21 MST Gambar19 Rimpang P2 pada 21 MST

(43)

29

Gambar 20 Rimpang P5 pada 21 MST Gambar21 Rimpang P4 pada 21 MST

Lampiran 4 Tanaman dosis P5 pada 21 MST

(44)

30

Lampiran 5 Data intensitas cahaya pada U1, U2, U3, dan U4

Gambar 23 Intensitas cahaya pada U1

(45)

31

Gambar 25 Intensitas cahaya pada U3

(46)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manado, 22 Maret 1992 dari pasangan Husain Husny Lahay dan Heny Wahyuningsih. Penulis merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Pendidikan penulis dimulai dari TK Dharma Wanita Pamanukan, Subang, SD Negeri 1 hingga SMP Negeri 2 Merauke pada tahun 1997-2006, kemudian melanjutkan ke MAN Insan Cendekia Gorontalo pada tahun 2006-2009. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB) Fakultas Pertanian, Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH) melalui jalur UTM pada tahun 2009. Selama menjalani masa perkuliahan di IPB, penulis aktif menjadi anggota dan pengurus Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam Institut Pertanian Bogor (LAWALATA IPB) 2009-sekarang, anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) 2011, pengurus BEM KM Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pada tahun 2012-2013, dan mengikuti Program Mahasiswa Wirausaha yang diselenggarakan oleh CDA IPB pada tahun 2012. Penulis juga aktif menjadi volunteer pada bidang pengembangan masyarakat di Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) pada tahun 2011 dan studio film dokumenter lingkungan (Gekko Studio) 2012-sekarang.

Gambar

Gambar 2 Benih jahe setelah pematahan
Tabel 7 Pengaruh dosis pupuk terhadap tinggi anakan
Gambar 10 Peningkatan pH pada P1
Gambar19 Rimpang P2 pada 21 MST
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan dari data-data yang disebutkan diatas, maka media Mobile Learning Berbasis Android untuk meningkatkan nilai TOEFL mahasiswa angkatan XII di STTAL

Tingkat Kejenuhan Belajar Mahasiswa Kerjasama Kabupaten Landak Dan Penyelesaian Tugas Akhir Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

Berdasarkan program optimasi Design Expert diperoleh formula optimum dari tablet lepas lambat ibuprofen didapatkan pada perbandingan konsentrasi kombinasi HPMC

Dari analisis yang telah dilakukan pada bab-bab terdahulu dapat disimpul- kan bahwa kata sapaan bahasa Minangkabau di Kabupaten Agam dapat dikelompokkan atas dua sapaan,

Untuk itu penilaian yang berbentuk sub sumatif (mid semester) dilaksanakan tidak lain bertujuan untuk melihat hasil dari kegiatan yang telah berlangsung selama beberapa

Jenis spirulina yang ditambahkan tidak memberikan pengaruh berbeda ( p &lt;0,05) terhadap aktivitas antioksidannya (Tabel 3), hal ini menunjukkan bahwa rumput laut

Pemantauan adalah usaha atau tindakan mengamati, mengawasi, dan memeriksa secara terstruktur perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang tidak sesuai dengan

[r]