• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik dan Keharmonisan Keluarga pada Keluarga Petani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konflik dan Keharmonisan Keluarga pada Keluarga Petani"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

KONFLIK DAN KEHARMONISAN KELUARGA PADA

KELUARGA PETANI

DWI PUSPITA SARI

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konflik dan Keharmonisan Keluarga pada Keluarga Petani adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

DWI PUSPITA SARI. Konflik dan Keharmonisan Keluarga pada Keluarga Petani. Dibimbing oleh HERIEN PUSPITAWATI.

Konflik dalam keluarga merupakan salah satu yang menjadi penyebab dari ketidakharmonisan keluarga. Keharmonisan keluarga dapat tercipta jika fungsi-fungsi dalam keluarga dapat dijalankan dengan baik serta adanya keseimbangan dalam sistem keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi konflik keluarga petani dan keharmonisan keluarga, mengidentifikasi tipologi konflik dan keharmonisan keluarga, dan menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dan potensi konflik dengan keharmonisan keluarga. Populasi pada penelitian ini adalah keluarga petani yang ada di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dengan contoh sebanyak 35 keluarga. Pengambilan contoh dilakukan dengan metode sensus kemudian simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik pada keluarga petani tergolong rendah dan keharmonisan keluarga tergolong tinggi. Tipologi konflik dan keharmonisan keluarga termasuk ke dalam Tipe 3 dan Tipe 4. Semakin tua ibu, maka potensi konflik pada keluarga akan semakin rendah dan keharmonisan tinggi). Hubungan antara konflik dengan keharmonisan keluarga tidak berhubungan secara signifikan.

Kata kunci: konflik keluarga, keharmonisan keluarga, keluarga petani

ABSTRACT

DWI PUSPITA SARI. Family Conflict and Family Harmony on Farmer Families.Supervised by HERIEN PUSPITAWATI.

Conflict in the family is one of the caused of family disharmony. The family harmony can be maintained if family functions were implemented in balanced condition. The purposes of the study were identified family conflict of farmer families and family harmony, to identified conflict family and family harmony’s typologies and to analyzed the correlation between characteristics of family and conflict potential withfamily harmony. The population in this research was farmer families in the Sub-district Cipendawa, District Pacet, Cianjur, West Java, with samples as many as 35 familes. Sampling was selected by census then simple random sampling. The results showed that conflicton farmer families was in low level and family harmony was in high level. The typology of family conflict and family harmony was categorized as Type 3 and Type 4. The results also showed that the older mother, tend to lower the conflict within family. However, there was no significant correlation between family conflict with family harmony.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

KONFLIK DAN KEHARMONISAN KELUARGA PADA

KELUARGA PETANI

DWI PUSPITA SARI

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Sktipsi: Konflik dan Keharmonisan Keluarga pada Keluarga Petani Nama : Dwi Puspita Sari

NIM : 124100014

Tanggal Lulus:

Disetujui oleh

Dr Ir Herien MSc

Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

r Ir

Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiahdengan judul “Konflik dan Keharmonisan Keluarga pada Keluarga Petani” dapat diselesaikan. Penulisan karya ilmiah ini tentunya tidak terlepas dari beberapa kesalahan dan kekurangan serta mendapatkan bantuan dan dukungan baik langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak.Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Dr Ir Herien Puspitawati, MSc, MSc selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan memberikan banyak masukan dalam proses penyusunan karya ilmiah ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. 2. Dr Ir Dwi Hastuti, MSc selaku pemandu seminar, Dr Ir Lilik Noor

Yuliati, MFSA selaku dosen penguji ujian akhir skripsi, Ir Retnaningsih, MSi selaku moderator ujian akhir skripsi, atas masukan dan saran-saran dalam penyempurnaan dan perbaikan karya ilmiah ini. 3. Neti Hernawati, SP, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang

banyak memberikan masukan dan nasehat dalam hal akademik.

4. Seluruh dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen yang telah memberikan banyak sekali ilmu dan isnpirasi kepada penulis.

5. Kepala Desa Cipendawa, Kepala Sekolah SDN Harapan, serta Kepala Sekolah SDIT Darul Hikmah yang telah memberikan izin serta dukungan dalam proses pengambilan data dan informasi responden. 6. Orang tua penulis yang sangat penulis sayangi dan menjadi motivasi

untuk terus melakukan hal terbaik, Bapak Sutrisno dan Ibu Halmita. Kakak penulis Eka Ratna Sari dan Uda Dasrizal atas dukungannya, serta sepupu yang selalu memberikan semangat Rizma Yuni dan seluruh keluarga di Padang dan Pati.

7. Sahabat-sahabat penulis Ringga, Nila, dan Wela, Fariz, Mba Risty, Indi, Runi, Tria, Nenny, Yosita, Mila, dan teman-teman IKK 47 atas kebersamaan dan dukungan, Kak Salsabila dan Mba Vivi yang memberikan masukan dan saran, serta teman satu bimbingan Izma, Danisya, dan Ilma. Terima kasih untuk dukungan dan semangat yang diberikan.

8. Keluarga Wisma Seroja yang berbaik hati untuk mendukung dan memberikan semangat kepada penulis, serta berbagai pihak yang tidak bisa dituliskan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

KERANGKA PEMIKIRAN 7

METODE 11

Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian 11

Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh 11

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 12

Pengolahan dan Analisis Data 13

Definisi Operasional 14

HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Hasil 15

Keadaan Umum Lokasi Penelitian 15

Karakteristik Keluarga 16

Konflik Keluarga 19

Keharmonisan Keluarga 21

Tipologi Konflik dan Keharmonisan Keluarga 24

Hubungan antar Variabel 26

Pembahasan Umum 28

SIMPULAN DAN SARAN 29

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 35

(11)

DAFTAR TABEL

1 Jenis variabel, skala, dan kategori data 12

2 Sebaran usia suami dan istri 16

3 Sebaran lama pendidikan suami dan istri 17

4 Sebaran tipe petani 18

5 Sebaran besar keluarga 18

6 Sebaran konflik keluarga secara umum 20

7 Sebaran konflik keluarga berdasarkan tipe petani 21

8 Sebaran keharmonisan keluarga secara umum 22

9 Sebaran keharmonisan keluarga berdasarkan tipe petani 23 10 Koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dan konflik dengan

keharmonisan keluarga 27

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran hubungan karakteristik keluarga, potensi konflik,

dan keharmonisan keluarga 10

2 Kerangka pengambilan contoh 11

3 Grafik analisis tipologi konflik dan keharmonisan keluarga 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kronologis sampling 35

2 Peta Kecamatan Pacet 36

3 Hasil-hasil penelitian terdahulu 37

4 Sebaran contoh berdasarkan konflik keluarga 41

5 Sebaran contoh berdasarkan keharmonisan keluarga 43

6 Data kualitatif arti keluarga 45

7 Daftar responden berdasarkan tipologi konflik dan keharmonisan

keluarga 46

8 Hasil uji korelasi Pearson antara karakteristik keluarga, konflik

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia terkenal sebagai negara agraris karena sebagian besar tanahnya dapat dijadikan lahan pertanian serta tidak sedikit masyarakatnya yang bermata pencaharian sebagai petani.Sensus Pertanian 2013 memberikan gambaran bahwa terjadi penurunan rumah tangga usaha pertanian dibandingkan dengan tahun 2003 yang didominasi oleh sektor pertanian tanaman pangan dan hortikultura serta peternakan. Sektor pertanian tersebut memiliki peranan yang sangat strategis dalam penyerapan tenaga kerja, pembentukan kapital, penyediaan pangan, dan penyediaan bahan baku untuk industri dalam negeri (Nainggolan 2005). Namun petani Indonesia dianggap sebagai masyarakat yang termarjinalkan serta kondisinya masih memprihatinkan seperti lemahnya ekonomi usaha, lemah dalam produktivitas, lemah dalam pendapatan, dan lemah dalam posisi tawar (Sastraatmajda 2006). Menurut Sunarti dan Khomsan (2012) keluarga petani masih belum sejahtera dikarenakan sektor pertanian yang semakin terpuruk serta kebijakan pertanian dianggap belum konsisten. Kemiskinan pada keluarga petani diduga dapat menimbulkan konflik dalam keluarga petani tersebut. Rachmadani (2013) menyebutkan bahwa sumber atau pemicu terjadinya konflik dalam hubungan suami-istri yaitu kesulitan ekonomi dalam keluarga. Conger et al., Voydanoff dan Donnelly juga mengatakan bahwa kemiskinan merupakan kontribusi yang memperburuk konflik keluarga (Santiago dan Wadsworth 2009). Konflik merupakan suatu hal yang akan selalu ditemui dalam kehidupan termasuk kehidupan keluarga. Setiap keluarga mengalami konflik yang berbeda-beda dan menyelesaikannya dengan cara yang berbeda.

Konflik yang berkepanjangan dapat menimbulkan kekacauan dalam kehidupan keluarga yaitu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga bahkan perceraian. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) yang dilaporkan oleh harian Republika menyebutkan bahwa semenjak tahun 2005 sampai 2010 telah terjadi peningkatan perceraian di Indonesia sebesar 70 persen, dan diperkirakan naik 10 persen pada tahun 2011 dibandingkan tahun sebelumnya dengan faktor penyebab yang paling banyak adalah ketidakharmonisan, tidak ada tanggung jawab, dan masalah ekonomi. Wilayah Jawa Barat merupakan penyumbang tertinggi terkait kasus perceraian di Indonesia1. Menurut data dari

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA), sepanjang 2010 terdapat 33.684 kasus perceraian di Jawa Barat, sedangkan di Jawa Timur sendiri terdapat 21.324 kasus dan 12.019 kasus di Jawa Tengah.

Angka kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2010 berdasarkan data Komnas Perempuan yang dilansir harian Tempo (2013) yaitu hampir mencapai 101 ribu kasus dengan korban perempuan dan anak. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh perempuan biasanya berupa kekerasan fisik seperti ditampar, kata-kata kasar atau mencaci maki, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi dengan tidak memberi uang untuk keperluan rumah tangga atau kebutuhan anak (Kisinky 2012).

1

(14)

2

Konflik keluarga mengakibatkan ketidakharmonisan keluarga (Pekdemir, Kocogu, dan Gurkan 2013). Keluarga yang harmonis terbentuk karena adanya komunikasi, sikap saling menghormati antar anggota keluarga, rendahnya konflik, dan memiliki waktu luang atau waktu bersama dengan keluarga (Lam et al. 2012). Keluarga yang harmonis dapat mencegah timbulnya permasalahan bagi individu yang ada dalam keluarga tersebut misalnya terlibat narkoba atau minum-minuman alkohol bagi anak (Trinidad et al. 2003) atau prestasi akademik anak (Desiani 2012). Keharmonisan keluarga perlu dipelihara agar keluarga tersebut dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan seimbang. Konflik yang muncul dalam keluarga petani harus diatasi dan diselesaikan dengan baik sehingga tercipta keharmonisan keluarga dan akhirnya mencapai kesejahteraan. Penelitian-penelitian terdahulu mengenai konflik keluarga khususnya di Indonesia masih sebatas menggambarkan tentang konflik yang berujung pada perceraian (Prianto, Wulandari, dan Rahmawati 2013) atautentang kekerasan dalam rumah tangga (Wahab 2006; Kisinky 2012; Rachmadani 2013). Disamping itu, penelitian keharmonisan keluarga secara umum membahas mengenai kaitannya dengan hubungan perkawinan (Nancy 2013) dan interaksi keluarga (Yigibalom 2013), perilaku dan prestasi anak (Afiah dan Purnamasari 2012; Desiani 2012; Utama dan Nurwidawati 2013) atau persepsi secara umum (Lestari, Hardjanta, dan Primastuti 2000). Studi mengenai hubungan antara keharmonisan keluarga dengan konflik keluarga terutama pada keluarga petani masih belum ditemukan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai konflik dan keharmonisan pada keluarga petani.

Perumusan Masalah

Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal dalam ketuhanan Yang Maha Esa. Keluarga yang bahagia meliputi keharmonisan keluarga, sikap peduli dan dukungan, perasaan nyaman dan kebersamaan, dan kesenangan atau kepuasan, sedangkan keharmonisan keluarga terdiri dari komponen komunikasi, saling menghormati, rendah akan konflik, dan memiliki waktu untuk keluarga (Lam et al. 2012). Konflik dapat terjadi karena adanya nilai atau perilaku yang berbeda dan jika salah satu anggota keluarga mengalami konflik dengan anggota keluarga lainnya, maka anggota keluarga yang lain akan terpengaruh, hal ini karena keluarga merupakan sebuah sistem (Galvin, Bylund, dan Brommel 2004).

Salah satu bentuk permasalahan keluarga yang disebabkan oleh munculnya konflik yaitu kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Kekerasan dalam rumah tangga dapat disebabkan oleh kurangnya komunikasi, ketidakharmonisan, alasan ekonomi, ketidakmampuan mengendalikan emosi, ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga, dan efek konsumsi narkoba atau miuman keras, rasa cemburu, problem seksual, pertengkaran tentang anak, suami memiliki masalah diluar rumah, dan keputusan istri untuk bekerja (Wahab 2006; Kisinky 2012).

(15)

3 Jawa Barat dan sepuluh persennya tercatat bercerai di pengadilan agama dan banyak perceraian yang juga tidak resmi atau tidak tercatat di pengadilan agama2. Menurut data Pengadilan Agama Cianjur, tercatat sebanyak 609 kasus cerai gugat dan 105 kasus cerai talak sepanjang tahun 2013.Permasalahan keluarga tersebut erat kaitannya dengan konflik yang timbul dalam kehidupan keluarga dan mengganggu keharmonisan keluarga. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengenai:

1. Bagaimanakahkonflik yang ada pada keluarga petani? 2. Bagaimanakah keharmonisan keluarga petani?

3. Bagaimanakah tipologi konflik dan keharmonisan keluarga pada keluarga petani?

4. Bagaimanakah hubungan karakteristik keluarga dan konflik keluarga dengan keharmonisan keluarga pada keluarga petani?

Tujuan Penelitian Tujuan umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan konflik keluargadengan keharmonisan keluarga pada keluarga petani

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi konflik pada keluarga petani 2. Mengidentifikasi keharmonisan keluarga petani

3. Mengidentifikasi tipologi konflik dan keharmonisan keluarga keluarga petani

4. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dan konflik dengan keharmonisan keluarga petani

Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna:

1. Bagi peneliti; mengasah kompetensi dalam studi ilmu keluarga dan mengaplikasikan teori yang telah diperoleh saat perkuliahan

2. Bagi masyarakat; memberikan gambaran mengenai konflik pada kehidupan keluarga serta penyelesaiannya sehingga terciptanya keharmonisan keluarga 3. Bagi pemerintah; sebagai referensi untuk membuat kebijakan terkait aspek

yang lebih memperhatikan pada keharmonisan keluarga terutama keluarga petani

4. Bagi institusi pendidikan: mengembangkan studi tentang keluarga khususnya konflik keluarga dan keharmonisan keluarga

2

(16)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Struktural-Fungsional

Dasar dari pendekatan struktural-fungsional dikemukakan oleh Spencer kemudian dikembangkan oleh Durkheim. Pendekatan ini mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial yang merupakan sumber utama dari struktur masyarakat. Beberapa ilmuwan atau tokoh yang mengembangkan teori struktur-fungsional ini adalah August Comte yang dikenal sebagai “Bapak Sosiologi” yang menginginkan sebuah “konsensus sosial”, kemudian Herbert Spencer yang membedakan antara konsep “struktur” dan konsep “fungsi”, Emile Durkheim, dan Talcott Parsons. (Megawangi 1999). Talcott Parsons merupakan tokoh yang paling berpengaruh dalam pengembangan struktural-fungsional sebagai teori untuk menganalisis perubahan keluarga.Menurut Parsons keluarga memiliki dua fungsi yaitu fungsi instrumental (untuk pertahanan) dan fungsi ekspresif atau fungsi yang berhubungan untuk pemeliharaan moral dan kerjasama (Georgas 2006).

Keluarga merupakan salah satu bagian dari subsistem dalam masyarakat yang berinteraksi dengan subsitem lainnya seperti sistem ekonomi, politik, pendidikan, dan agama sehingga keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan dalam masyarakat (Megawangi 1999). Struktur dalam keluarga mencakup tiga elemen utama yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan: 1) Status sosial yaitu sebagai identitas dan kepemilikan dalam sistem individu serta merupakan gambaran hubungan timbal balik antar individu dengan status sosial yang berbeda, 2) Fungsi sosial merupakan peran dan fungsi masing-maising individu dalam interaksi dengan individu lainnya atau kelompok dengan status sosial yang berbeda, 3) Norma sosial yang berperan dalam mengatur tingkah laku individu dalam kehidupan sosialnya.

Keluarga Petani

Menurut para sosiologis dan antropologi Barat, keluarga diartikan sebagai keluarga inti yaitu terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Akan tetapi pada kebudayaan secara umum, dalam keluarga juga terdapat kakek, nenek, paman, bibi, bahkan seseorang yang tidak berhubungan sama sekali. Oleh sebab itu berdasarkan kesepakatan, keluarga didefinisikan sebagai suatu institusi umum dan penting bagi pertahanan manusia dalam semua aspek sosial (Georgas 2006). Keluarga befungsi sebagai perantara individu kepada masyarakat atau struktur sosial yang lebih besar dan menyumbangkan hal-hal sebagai berikut kepada masyarakat yaitu kelahiran, pemeliharaan fisik anggota keluarga, penempatan anak dalam masyarakat, pemasyarakatan, dan kontrol sosial (Goode 2007).

(17)

5 keluarga petani hidup di bawah garis kemiskinan (Witrianto 2005 dalam Gustiana 2012). Dua konsep mengenai petani menurut Reddy (2011) yaitu, peasants (subsistence farmers) merupakan petani yang memiliki lahan sempit dan hasil pertanian digunakan untuk kebutuhan sendiri, serta farmers yaitu petani yang hidup dari pertanian dan hasil pertaniannya kemudian dijual.

Status petani dalam usaha tani dapat dikelompok menjadi empat (Soeharjo dan Patong dalam Gustiana 2012), yaitu:

1. Petani pemilik

Petani pemilik merupakan petani yang mempunyai hak milik terhadap tanah pertaniannya dan mereka mengerjakan atau mengelola dan menggarap pertaniannya tersebut secara langsung.Selain tanah, faktor-faktor produksi lainnya seperti peralatan dan sarana produksi merupakan milikk petani sendiri.

2. Petani penyewa

Petani yang menyewa tanah orang lain untuk usaha pertanian karena tidak memiliki lahan atau tanah sendiri. Bentuk sewa dapat berupa produksi fisik atau uang yang telah ditentukan atau sesuai perjanjian yang telah ditetapkan sebelumnya.Resiko usaha tani merupakan tanggung jawab penyewa, bukan tanggung jawab pemilik tanah.

3. Petani penggarap

Petani penggarap yaitu petani yang mengelola tanah milik orang lain untuk kemudian hasilnya menggunakan sistem bagi hasil dengan resiko hasil pertanian ditanggung bersama dengan pemilik tanah dan penggarap.

4. Buruh tani

Buruh tani yaitu orang yang mengerjakan tanah milik orang lain dengan sistem upah. Resiko usaha tani merupakan tanggung jawab sepenuhnya pemilik tanah, buruh tani hanya mengerjakan usaha tani dan hidupnya bergantung pada pemilik tanah yang mempekerjakannya.

Konflik Keluarga

(18)

6

dalam hal nilai-nilai atau kepercayaan yang berlaku dalam keluarga (Galvin, Bylund, dan Brommel 2004). Konflik dapat berupa hal sepele atau merupakan sebuah komplikasi yang luar biasa dan mengakibatkan banyak hal terlibat yang akan terkena dampaknya (Saxton 1990).

Sumber konflik menurut Knox (1985) adalah sebagai berikut:

1. Perilaku (Behavior); seseorang mungkin akan kecewa jika pasangannya melakukan hal-hal yang tidak disukainya, sebaliknya ia akan merasa baik (feel good) jika pasangannya melakukan hal-hal yang menyenangkan.

2. Persepsi (Perception); persepsi dapat menjadi sumber terhadap kepuasan atau ketidakpuasan. Saat seseorang merasa tidak puas atau kecewa dengan perilaku pasangannya, maka ia harus merubah persepsinya bahwa perilaku pasangannya tersebut merupakan hal yang tidak bermasalah.

3. Perbedaan nilai (Value Difference); perbedaan nilai dari pasangan yang telah menikah dapat berupa perbedaan mengenai pelaksanaan peran suami/istri, perbedaan nilai religi, uang, dan hubungan dengan suadara ipar. Perbedaan nilai dalam sebuah hubungan bukanlah hal yang buruk jika masing-masing anatar pasangan mampu menerima dan menilai dari berbagai sudut pandang.

4. Aturan yang tidak konsisten/ berubah-ubah (Inconsistent Rules); peraturan yang tidak konsisten atau tidak mendapat persetujuan dari pasangan akan menimbulkan konflik.

5. Ambiguitas kepemimpinan (Leadership Ambiguity); konflik dapat terjadi dalam keluarga setiap individu ingin menjadi pemimpin dan sepenuhnya ingin menjadi penentu dalam pengambilan keputusan. Hal ini mengakibatkan keambiguitasan pemimpin di keluarga.

Terdapat lima macam gaya konflik menurut Laver dan Laver (2012) yaitu: 1) Competition, merupakan konflik yang terjadi karena salah satu pasangan mendominasi; 2) Avadence, yakni pasangan meyakini bahwa konflik harus dihindari bukan diselesaikan agar tercipta kebahgiaan, tetapi pada kenyataannya pasangan kurang bahagia; 3) Accomodation, salah satu pasangan bersikap mengabaikan; 4) Compromise, mengkhawatirkan kepentingan sendiri dan kepentingan pasangan; 5) Collaboration, terlalu berlebihan dalam memperhatikan kepentingan sendiri dan pasangan.

(19)

7 Keharmonisan Keluarga

Keharmonisan terjadi karena adanya perasaan yang sangat puas satu sama lain dalam sebuah hubungan serta adanya rasa saling bahagia satu sama lain (Laver dan Laver 2012). Keharmonisan merupakan hasil dari sistem yang demokrasi dan adanya sikap saling kerjasama dalam suatu hubungan, dengan faktor-faktor yang paling penting yaitu afeksi, saling berbagi pengalaman, saling percaya, berbagi dalam membuat keputusan, bekerjasama, bereaksi cepat terhadap krisis keluarga seperti ada anggota yang sakit, bersatu sebagai sebuah unit yang melawan serangan dari luar, memiliki kepentingan bersama, taat menjalankan agama, dan menjaga status yang unggul dalam komunitas sosial (Burgess dan Locke 1960).

Keharmonisan keluarga merupakan sinonim dari kebahagiaan keluarga yang dipersepsikan sebagai suatu hal yang penting dalam sebuah keluarga (Lam et al. 2012), persepsi tentang berjalannya fungsi keluarga dengan baik dan efektif (Trinidad et al. 2003), serta adanya hubungan baik antara anggota keluarga seperti ayah-anak, ibu-anak, anak-anak, ayah-ibu (Chuang 2005). Keluarga yang harmonis akan memenuhi kebutuhan dasar anak seperti kasih sayang, perhatian, dan rasa aman serta adanya komunikasi yang baik antara anggota keluarga sehingga terciptanya keterbukaan dan kebebasan dalam mengemukakan pendapat (Afiah dan Purnamasari 2012). Lam et al. (2012) menyatakan bahwakeharmonisan keluarga merupakan elemen inti dari keberfungsian keluarga dan berkontribusi terhadap kebahagiaan keluarga yang terdiri dari komponen komunikasi, saling menghormati, rendah akan konflik, dan memiliki waktu untuk keluarga.

Keharmonisan keluarga dipengaruhi oleh cara berpikir positif seorang ibu terhadap permasalahan dalam keluarga. Gambaran berpikir positif berupa penafsiran bahwa rumah tangganya berada dalam keadaan yang harmonis yang ditandai dengan suasana yang didasari oleh cinta kasih, iman yang kuat, sifat kedewasaan, rasa tanggung jawab, sikap saling pengertian, mau menerima kenyataan dengan ikhlas, dan sikap mau memaafkan (Lestari, Hardjanta, dan Primastuti 2012).

KERANGKA PEMIKIRAN

(20)

8

retak dan akhirnya berantakan.Ketika salah satu anggota keluarga memiliki keterbatasan atau penyakit yang kronis, seluruh keluarga harus mencari jalan keluar dan usaha melalui dukungan anggota keluarga lainnya, teman, atau komunitasnya (Smart dan Smart 1980).

Konflik keluarga dapat menjadi stressor atau sumber stres bagi anggota keluarga (Scharlach, Li, dan Dalvi 2006) dan keduanya berhubungan secara signifikan (Santiago dan Wadsworth 2009).Konflik dalam keluarga diantaranya yaitu konflik antara suami istri, konflik orang tua dengan anak dan konflik antar saudara (sibling) dan dapat terjadi karena salah satu anggota keluarga ada yang sakit, tuntutan untuk beradaptasi, ketidakberfungsian keluarga (Scharlach, Li, dan Dalvi 2006). Konflik juga dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan (Subiyanto 2003 dalam Rachmadani 2013), masalah perbedaan penghasilan antara suami dan istri yang sama-sama bekerja (Rachmadani 2013), masalah finansial atau keuangan (Nwoye 2000; Lam et al. 2012; Roxana 2013) dan status istri yang bekerja (Suryadi dan Moeryono 1996 dalam Rachmadani 2013). Pendidikan yang lebih tinggi dapat memudahkan seseorang untuk mengakses ekonomi dan sumberdaya lebih mudah sehingga terlepas dari ketidakbahagiaan pernikahan (Zheng dan Penning 1997). Namun Tubbs, Roy, dan Burtons (2005) mengatakan bahwa keluarga yang pendapatannya lebih rendah memiliki waktu yang secara tidak sengaja terjadwal untuk melakukan rutinitas bersama antar anggota keluarga seperti makan bersama, berinteraksi, dan mendidik anak serta adanya pembagian peran dalam mengasuh. Konflik keluarga merupakan faktor yang sangat berkontribusi dalam masalah psikologis pada anak dan orang dewasa (Juang dan Alvarez 2010), seperti masalah emosi dan perilaku negatif pada anak (Hall dan Cummings 1997; El-Sheikh dan Erath 2011), dan sikap depresi pada orang dewasa (Formoso, Gonzales, dan Aiken 2000). Kemampuan untuk mendapatkan dukungan sosial berhubungan dengan kemampuan untuk menyelesaikan konflik, sedangkan sikap penyesuaian berhubungan positif dengan sikap penghindaran konflik (Koerner dan Fitzpatrick 1997). Konflik dalam keluarga menyebabkan ketidakstabilan dalam pernikahan (Kalil dan Wightman 2010), dan ketidakstabilan pernikahan yang disebabkan oleh konflik menuju pada perceraian, orang tua tunggal, dan ditinggalkan oleh pasangan (Ngozi, Peter, dan Stella 2013).

(21)
(22)

10

Keterangan:

= Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang diteliti = Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan karakteristik keluarga, konflik,dan keharmonisan keluarga Karakteristik keluarga:

- Usia suami - Usia istri

- Lama pendidikan suami - Lama pendidikan istri - Pekerjaan suami - Pekerjaan istri - Pendapatan keluarga - Besar keluarga

- Dukungan sosial - Interaksi keluarga - Nilai-nilai perkawinan - Fungsi keluarga

Konflik keluarga: - Konflik suami-istri - Konflik antar anak - Konflik orang tua-anak - Konflik keluarga besar - Aspek material

- Aspek non material

Keharmonisan keluarga: - hubungan suami-istri - hubungan orang tua-anak - hubungan anak-anak - hubungan menantu-mertua

(23)

11

METODE

Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan subsample dari penelitian Strategi Nasional (Stranas) TA 2014 yang berjudul “Analisis Gender tentang Strategi Hidup Keluarga, Investasi dan Kualitas Anak dalam Mencapai Target Millenium DevelopmentGoals (MDGs) pada Petani Dataran Tinggi” yang diketuai oleh Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc. Disain pada penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu dengan mengobservasi banyak orang dalam satu periode waktu tertentu dan tidak berkelanjutan. Lokasi penelitian yaitu di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa jumlah petani di Jawa Barat tergolong tinggi dan Kabupaten Cianjur merupakan kawasan pertanian dataran tinggi salah satunya adalah Desa Cipendawa. Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan April hingga Juni 2014.

Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh

Populasi pada penelitian ini adalah keluarga petani di daerah Pacet. Contoh penelitian dipilih sebanyak 35 keluarga dengan status pekerjaan suami atau istri atau keduanya adalah petani. Unit analisis pada penelitian ini adalah keluarga dan individu. Penarikan contoh dilakukan pada siswa-siswi kelas 4 dan kelas 5 di SDN Harapan dan SDIT Darul Hikmah dengan melihat status pekerjaan orang tua. Secara detail kronologis pengambilan contoh terdapat pada Lampiran 1. Berikut adalah kerangka pengambilan contoh pada penelitian:

Gambar 2 Kerangka pengambilan contoh Kabupaten Cianjur

Kecamatan Pacet

Desa Cipendawa

n= 120

n= 35

Purposive berdasarkan data wilayah pertanian

Purposive berdasarkan data luas lahan pertanian

Purposive berdasarkan data jumlah petani

Sensus berdasarkan data siswa kelas 4 dan kelsas 5 SDN Harapan dan SD IT Darul Hikmah dengan orang tua sebagai petani

(24)

12

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari instrumen penelitian berupa kuesioner yang terdiri dari karakteristik keluarga (usia suami, usia istri, lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, pekerjaan suami, pekerjaan istri, pendapatan keluarga, dan besar keluarga), konflik keluarga, dan keharmonisan keluarga. Sementara itu data sekunder diperoleh dari jurnal atau literatur terkait. Secara rinci, jenis variabel, skala data, dan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis variabel, skala, dan kategori data

Variabel Jenis Data Skala Cara

pengumpulan data Kategori data

Karakteristik

Tipe petani Nominal Gustiana (2012)

(25)

13 Lanjutan Tabel 1

Variabel Jenis Data Skala

Cara pengumpulan

data

Kategori data

Tipe petani Primer Nominal Gustiana (2012) 2. Petani penyewa

Primer Rasio Wawancara

Besar

Konflik keluarga Primer Ordinal

Kuesioner

keluarga Primer Ordinal

Kuesioner mengacu kepada Chuang (2005)

1= Rendah ( ≤ 75)

2= Tinggi ( > 75)

Tipologi konflik Primer Ordinal

McCubbin dan

(26)

14

yang valid. Variabel keharmonisan keluarga juga dikur dengan pernyataan-pernyataan yang menggunakan 4 skala dengan kategori, 1= tidak puas/bahagia, 2= kurang puas/bahagia, 3= cukup puas/bahagia, 4= sangat puas/bahagia yang terdiri dari 14 item pernyataan dengan nilai cronbach α sebesar 0,82 dan validasi isi sebanyak 6 item pernyataan yang valid.

Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif untuk melihat sebaran karakteristik keluarga, kategori konflik, kategori keharmonisan keluarga, serta tipologi keluarga. Analisis deskriptif yang digunakan yaitu nilai maksimum, nilai minimum, rata-rata, standar deviasi, dan frekuensi. Analisis lainnya yang digunakan yaitu uji validitas, uji reliabilitas, uji bedaIndependent-sample t test, dan uji korelasi Pearson. Uji validitas digunakan untuk mengukur ketepatan atau keabsahan kuesioner, sedangkan uji reliabilitas digunakan untuk mengukur keandalan kuesioner atau seberapa konsisten kuesioner dapat digunakan. Uji bedaIndependent-sample t test digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata usia suami dengan usia istri dan lama pendidikan suami dengan lama pendidikan istri serta perbedaan konflik keluarga dan keharmonisan keluarga berdasarkan tipe petani (petani pemilik dan petani non pemilik). Uji korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan antar karakteristik keluarga dengan potensi konflik dan antara karakteristik keluarga dan potensi konflik dengan keharmonisan keluarga. Pengkategorian variabel potensi konflik dan keharmonisan keluarga dilakukan dengan cara menghitung skor indeks masing-masing variabel terlebih dahulu.

Rumus menentukan nilai indeks yaitu sebagai berikut:

Keterangan:

Indeks = skala nilai 0-100

Nilai aktual = nilai yang diperoleh responden

Nilai maksimal = nilai tertinggi yang seharusnya dapat diperoleh responden Nilai minimal = nilai terendah yang seharusnya dapat diperoleh responden

Setelah diperoleh indeks setiap variabel, kemudian indeks dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu “rendah” dan “tinggi” ditentukan dengan menggunakan cut off yakni kategori “rendah” memiliki nilai ≤ 75 dan kategori “tinggi” memiliki nilai > 75.

Definisi Operasional

Contoh adalah keluarga petani dengan salah satu suami atau istri bekerja sebagai petani.

Karakteristik keluarga yaitu ciri atau identifikasi keluarga yang meliputi usia suami, usia istri, lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, pekerjaan suami, pekerjaan istri, tipe petani, pendapatan keluarga, dan besar keluarga. Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri,

anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal dalam rumah yang sama. Tipe petani yaitu jenis petani yang merupakan status pekerjaan baik suami

(27)

15 Pekerjaam suami-istri yaitu kegiatan suami dan istri untuk menghasilkan

pendapatan keluarga yang dibedakan atas petani dan non petani.

Pendapatan keluarga merupakan total keseluruhan penghasilan dari semua anggota keluarga yang bekerja baik sebagai petani maupun pekerjaan non-petani.

Keluarga petani adalah keluarga dimana suami ataupun istri bermata pencaharian sebagai petani dan menjadikan pertanian sebagai sumber penghasilan keluarga, baik sumber penghasilan utama maupun sumber penghasilan tambahan.

Konflik yaitu kondisi tidak seimbangnya suatu sistem akibat permasalahan baik dari luar sistem maupun dari dalam sistem.

Potensi konflik adalah indikasi terjadi ketidakseimbangan dan ketidakberfungsian keluarga yang mengarah pada konflik dalam keluarga. Konflik keluarga merupakan kondisi tidak berfungsinya keluarga sebagaimana

mestinya dan mengganggu keseimbangan dalam keluarga, penyelesaian konflik tersebut berbeda-beda antar keluarga.

Keharmonisan keluarga yaitu terciptanya rasa aman dalam keluarga serta adanya interaksi yang baik antara suami-istri, orang tua-anak, dan antar anak yang mencakup kebahagiaan dan kepuasan dalam keluarga.

Tipologi konflik adalah jenis konflik pada keluarga yang dilihat berdasarkan keharmonisan keluarga dengan potensi konflik

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Secara astronomis, Kecamatan Pacet terletak antara 107º 00’00”-107º 04’00” BT dan 06º 42’00”-06º 46’00” LS. Luas wilayah Kecamatan Pacet yaitu 4.166,45 ha dengan ketinggian 1080-2962 mdpl dan kemiringan 3-40% sehingga dapat dikatakan bahwa kecamatan ini merupakan daerah dataran tinggi. Jumlah desa di Kecamatan Pacet ada tujuh desa yaitu Desa Cipendawa, Desa Ciherang, Desa Ciputri, Desa Gadog, Desa Sukanagalih, dan Desa Sukatani. Secara keseluruhan luas lahan pertanian Kecamatan Pacet yaitu 2.355 ha dengan luas untuk sawah 453 ha dan bukan sawah 1.902 ha. Jumlah penduduknya sebanyak 98.422 jiwa. Sarana pendidikan yang ada di Kecamatan Pacet yaitu pendidikan jenjang sekolah dasar/sederajat sebanyak 38 sekolah, SMP/MI sebanyak 6 sekolah, SMA/ SMK sebanyak 6 buah, serta terdapat 2 perguruan tinggi. Desa yang menjadi lokasi penelitian yaitu Desa Cipendawa yang memiliki luas lahan pertanian sebesar 201,20 ha dan termasuk kategori luas dengan jumlah anggota kelompok tani sebanyak 140 orang.

(28)

16

dihasilkan dari pertaniannya yaitu jenis pertanian hortikultura seperti wortel, bawang daun, cabai merah, caisin, sawi, lobak, buncis, tomat, dan lain-lain. Tanaman hortikultura ini sangat berpotensi menguntungkan jika dikelola dengan baik karena waktu panennya yang relatif singkat serta banyak dikonsumsi untuk asupan makanan sehari-hari bagi masyarakat.Selain itu sebagian masyarakat di Desa Cipendawa tersebut juga beternak. Jenis hewan ternak yang dimiliki pada umumnya adalah kambing atau domba.

Karakteristik Keluarga Usia Suami dan Istri

Usia menurut Hurlock (1980) dibedakan menjadi tiga kategori yaitu dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir (> 60 tahun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh (51,40%) usia suami termasuk pada kategori dewasa madya (41 tahun-60 tahun) dengan rata-rata berusia 43,23 tahun, sedangkan usia istri hampir dua per tiga (65,70%) termasuk pada kategori dewasa awal (18 tahun-40 tahun) dengan rata-rata usia 37,69 tahun. Usia suami paling muda adalah 30 tahun dan paling tua adalah 63 tahun, sedangkan usia istri paling muda adalah 28 tahun dan paling tua adalah 60 tahun. Tidak ada satu pun istri memiliki kategori usia dewasa akhir dan hanya satu orang suami yang usianya berada pada kategori dewasa akhir. Terdapat perbedaan yang signifikan antara usia suami dan usia istri dengan rata-rata usia suami lebih tinggi dibandingkan dengan usia istri. Sebaran usia suami dan istri dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Sebaran usia suami dan istri

Sebaran usia (tahun) Suami Istri

n % n %

Dewasa awal (18-40) 16 45,70 23 65,70

Dewasa madya (41-60) 18 51,40 12 34,30

Dewasa akhir (>60) 1 2,90 0 0,00

Total 35 100,00 35 100,00

Min-Maks (tahun) 30-63 28-60

Rata-rata±Stdev (tahun) 43,23±8,90 37,69±8,21

Uji beda suami dan istri (p-value) 0,000** Keterangan: **nyata pada p<0,01

Lama Pendidikan Suami dan Istri

(29)

17 tamat maupun tidak tamat dan hanya ditempuh oleh satu orang suami dan satu orang istri saja, hal ini juga berarti bahwa baik suami maupun istri tidak ada yang menempuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan suami dan istri pada keluarga petani tergolong rendah. Tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,921) antara lama pendidikan suami dan lama pendidikan istri. Sebaran lama pendidikan suami dan istri dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran lama pendidikan suami dan istri

Lama pendidikan (tahun) Suami Istri

n % n %

<6 5 14,30 5 14,30

6 25 71,40 26 74,30

7-9 4 11,40 3 8,60

10-12 1 2,90 1 2,90

>12 0 0,00 0 0,00

Total 35 100,00 35 100,00

Min-Maks (tahun) 0-12 0-12

Rata-rata±Stdev (tahun) 6,03±2,04 6,00±1,88

Uji beda suami dan istri (p-value) 0,921

Pekerjaan Suami-Istri, Tipe Petani, dan Pendapatan Keluarga

Hampir seluruh suami (97,10%) bermata pencaharian atau memiliki pekerjaan sebagai petani, baik pekerjaan tersebut sebagai pekerjaan utama maupun sebagai pekerjaan sampingan dan sisanya (2,90%) memiliki pekerjaan lain seperti pedagang, buruh bangunan, penjaga vila, wiraswasta dan sopir angkot. Lebih dari separuh istri (65,70%) tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga dan hampir sepertiganya (28,60%) bekerja sebagai petani.

(30)

18

Tabel 4 Sebaran tipe petani

Tipe petani n %

Petani pemilik 13 37,10

Petani penyewa 7 20,00

Petani penggarap 5 14,30

Buruh Tani 10 28,60

Total 35 100,00

Pendapatan keluarga dari hasil tani yaitu rata-rata Rp 1.420.000 per bulan dan terdapat perbedaan pendapatan di antara keempat tipe petani tersebut. Pendapatan keluarga dari hasil bertani tersebut berada di bawah garis UMR (upah minimum rata-rata) Kabupaten Cianjur 3 , yaitu Rp 1.500.000, sedangkan pendapatan keluarga dari pekerjaan selain petani adalah rata-rata Rp 1.013.000 per bulan dengan jumlah keluarga yang berpendapatan di luar hasil tani hanya 18 keluarga. Total pendapatan keluarga secara keseluruhan baik dari hasil tani maupun di luar pertanian yaitu rata-rata sebesar Rp 1.750.000 per bulan.

Besar Keluarga

Besar keluarga menurut BKKBN (1994) dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (≥7 orang). Lebih dari separuh keluarga contoh ( 57,10%) termasuk pada kategori keluarga sedang (5-6 orang) dengan rata-rata besar keluarga lima orang. Kategori keluarga kecil dimiliki oleh dua dari tujuh keluarga (28,60%), sedangkan keluarga besar hanya dimiliki oleh satu dari tujuh keluarga (14,30%). Jumlah anggota keluarga paling sedikit pada penelitian ini adalah tiga orang atau hanya memiliki satu anak sedangkan jumlah keluarga yang paling banyak adalah sepuluh orang atau memiliki delapan orang anak. Sebaran besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran besar keluarga

Besar keluarga (orang)* n %

Keluarga kecil (≤4) 10 28,60

Keluarga sedang (5-6) 20 57,10

Keluarga besar (≥7) 5 14,30

Total 35 100,00

Min-Maks (orang) 3-10

Rata-rata±Stdev (orang) 5,34±1,57

Keterangan: *Kategori menurut BKKBN (1994)

3

(31)

19 Konflik Keluarga

Konflik yang terdapat pada keluarga petani berupa permasalahan-permasalahan yang diduga muncul dalam kehidupan keluarga sehari-hari seperti permasalahan hubungan suami dan istri, permasalahan orang tua dan anak, permasalahan antar anak-anak, permasalahan dengan keluarga besar, permasalahan material, dan permasalahan lainnya (non material).

Penelitian menunjukkan bahwa konflik pada keluarga cenderung mengarah kepada:

a. Sikap suami terhadap istri yang terkadang marah, mencaci maki istri, membentak istri, bahkan ada suami yang memukul istri.

b. Keluarga mengalami tekanan ekonomi atau mempunyai masalah dalam pekerjaan/ mencari uang termasuk permasalahan sebagai keluarga petani, sehingga mengakibatkan pertengkaran antara suami dan istri.

c. Sulitnya mengatur perilaku anak-anak, suami atau ayah sering memarahi anak-anak, suami dan istri bertengkar karena masalah anak-anak.

d. Adanya peningkatan pertengkaran antara anak kandung. Terkadang istri bertengkar dengan anak-anak.

e. Anak memiliki permasalahan dalam pelajarannya atau prestasi di sekolah. f. Istri mempunyai masalah emosi yakni terkadang sulit untuk mengontrol

emosi marah atau menyembunyikan emosi sedih.

g. Istri tidak akur dengan mertua perempuan atau ibu suami. Hal-hal yang tidak menimbulkan konflik cenderung kepada:

a. Istri tidak pernah memukul suami, hanya kadang-kadang marah kepada suami dan sedikit sekali yang membentak dan mencaci suami. Hal ini berarti istri sangat menghargai suami.

b. Suami dan istri akur dengan keluarga besar masing-masing atau sangat jarang terjadi konflik antara keluarga dengan keluarga besar.

c. Adanya dukungan dari keluarga besar terhadap segala aktivitas yang dilakukan oleh keluarga.

(32)

20

beberapa dari istri sering sekali mengalami masalah emosi. Roxana (2013) menyebutkan bahwa permasalahan emosi merupakan salah satu hal yang berdampak pada terjadinya konflik keluarga. Masalah dengan kehidupan petani juga terkait dengan permasalahan ekonomi keluarga karena termasuk pada kegiatan dalam menghasilkan pendapatan keluarga.

Tabel 6 Sebaran konflik pada keluarga petani secara umum (n=35)

Dimensi**

Keterangan: * = nilai indeks (0-100)

**= secara detil item pernyataan disajikan pada Lampiran 4

Pertengkaran antara anak kandung juga salah satu bentuk konflik yang cukup sering dan terjadi pada hampir seprtiga keluarga contoh. Pertengkaran antar anak kandung (sibling conflict) merupakan konflik yang sering terjadi, terkadang menimbulkan kekerasan dan sulit untuk diselesaikan (Howe dan Recchia 2006). Hubungan dengan keluarga besar merupakan bentuk konflik yang tergolong rendah (11,60). Hampir seluruh responden mengaku bahwa keluarga besar selalu mendukung segala aktivitas yang dilakukan oleh keluarga dan suami akur dengan orang tua atau keluarga besar istri. Namun, konflik antara istri dengan mertua perempuan cukup sering terjadi. Artinya, hubungan antara menantu dan mertua pada keluarga petani kurang baik.

(33)

21 Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan konflik pada keluarga tergolong rendah (100%). Artinya, hubungan antara suami-istri, hubungan orang tua-anak, hubungan anak dengan anak, hubungan dengan keluarga besar berjalan baik dalam keluarga, serta permasalahan terkait aspek material dan non material sangat jarang terjadi pada keluarga petani. Akan tetapi apabila dilihat per dimensi diperoleh bahwa terdapat konflik yang tinggi pada dimensi konflik orang tua-anak, konflik pada aspek material dan aspek non material.

Penelitian juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan konflik keluarga antara petani pemilik dengan petani non pemilik lahan secara signifikan. Artinya, keluarga petani pada penelitian ini hampir memiliki konflik yang sama dan seragam. Namun, berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa pada petani pemilik lahan seluruh dimensi konflik tergolong rendah (100,00%) dan tidak ada yang tergolong tinggi, sedangkan pada petani non pemilik lahan terdapat konflik yang memiliki kategori tinggi pada dimensi konflik orang tua-anak, aspek material, dan aspek non matrial. Latar belakang budaya dan pendidikan yang sama antara keluarga petani pemilik dan petanii non pemilik lahan merupakan salah satu tidak terdapatnya perbedaan konflik secara signifikan.

Tabel 7 Sebaran konflik keluarga berdasarkan tipe petani (n=35)

Dimensi** Keterangan: * = nilai indeks (0-100)

**= secara detil item pernyataan disajikan pada Lampiran 4

Keharmonisan Keluarga

(34)

22

Keharmonisan keluarga yang paling tinggi adalah keharmonisan keluarga pada dimensi hubungan orang tua dengan anak (99,26). Kehadiran anak merupakan sebuah kebahagiaan dan kepuasaan yang tinggi bagi orang tua dan orang tua merasa sangat bersyukur dengan hubungannya bersama anak-anak. Hal ini berarti, anak merupakan hal yang berharga dalam keluarga dan menjadi sumber kepuasan dalam keluarga. Selanjutnya, keharmonisan yang tinggi (98,46) juga terdapat pada hubungan antara anak dengan anak. Orang tua, dalam hal ini istri, merasa puas dan bahagia serta bersyukur melihat anak-anak akur dan bekerja sama serta sangat jarang terjadi pertengkaran antar saudara. Namun, terdapat beberapa keluarga yang kurang bahagia melihat hubungan antara anak kandung, artinya adanya pertengkaran yang terjadi antara anak kandung sehingga menimbulkan ketidaksenangan istri atau ibu. Pertengkaran antara kandung merupakan hal yang utama dari sumber kecemasan orang tua dan perlu adanya campur tangan orang tua untuk menyelesaikannya (Howe dan Recchia 2006).

Hubungan suami istri juga merupakan bentuk keharmonisan yang tinggi pada keluarga petani.Istri memiliki kepuasan yang tinggi dan sangat bahagia dengan kehidupan perkawinannya. Artinya, hubungan suami dan istri harmonis dan perkawinan merupakan hal membahagiakan bagi seorang perempuan. Keharmonisan keluarga yang paling rendah terdapat pada dimensi hubungan dengan orang tua/ lansia atau mertua. Terdapat responden yang merasa tidak bahagia dan tidak puas serta tidak bersyukur dengan hubungannya bersama orang tua atau mertuanya. Hal ini berarti responden merasa bahwa keberadaan orang tua atau mertua merupakan hal yang mengganggu sehingga menimbulkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Namun, beberapa keluarga pada penelitian ini sudah tidak memiliki orang tua atau mertua sehingga keberadaan orang tua atau mertua dipersepsikan sebagai kebahagiaan dan kepuasan dalam keluarga, sehingga hubungan bersama orang tua atau mertua pada keluarga tergolong harmonis.

Tabel 8 Sebaran keharmonisan keluarga petani secara umum (n=35)

Dimensi**

Keterangan: * = nilai indeks (0-100)

(35)

23 Tabel 8 menunjukkan bahwa keharmonisan keluarga pada penelitian ini hampir seluruhnya (97,10%) tergolong tinggi atau termasuk keluarga yang harmonis. Hubungan suami-istri dalam hal perkawinan, hubungan orang tua-anak, hubungan anak dengan dan hubungan dengan orang tua atau mertua sangat harmonis. Keluarga merasa sangat puas dan sangat bahagia dengan hubungan antar anggota dalam keluarga. Responden merasa bersyukur dengan kondisi perkawinannya sehingga hubungan suami-istri pun terjalin dengan baik, begitu juga dengan hubungan bersama anak, dan merasa puas melihat hubungan antara anak dengan anak. Artinya, hubungan di dalam keluarga sangat harmonis yakni ditandai dengan perasaan bahagia dan puas dengan hubungan antar anggota keluarga. Namun, jika dilihat per dimensi didapatkan bahwa terdapat keharmonisan yang rendah pada dimensi hubungan suami-istri dan dimensi hubungan dengan orang tua lansia/ mertua. Terdapat keluarga yang merasa tidak puas dan tidak bahagia dengan kehidupan perkawinannya serta tidak puas dan tidak bahagia dengan hubungan bersama orang tua lansia/ mertua sehingga keharmonisan keluarga rendah.

Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada keharmonisan keluarga antara keluarga petani pemilik dengan keluarga petani non pemilik. Artinya, seluruh keluarga petani pada penelitian ini memiliki keharmonisan yang tinggi dan hubungan antar anggota keluarga dalam keluarga berjalan baik. Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian kecil keluarga petani memiliki keharmonisan yang rendah pada dimensi hubungan suami-istri baik pada petani pemilik maupun petani non pemilik lahan, serta pada dimensi hubungan dengan orang tua atau mertua lansia pada petani non pemilik lahan. Namun, hampir keseluruhan keharmonisan keluarga baik pada petani pemilik lahan maupun non pemilik lahan termasuk kategori tinggi. Keluarga petani non pemilik yang cenderung memiliki pendapatan rendah tidak mengganggu keharmonisan dalam keluarga begitu pula dengan keluarga petani pemilik yang merasa puas serta bahagia dengan hubungannya dengan anggota keluarga.

Tabel 9 Sebaran keharmonisan keluarga petani berdasarkan tipe petani (n=35)

Dimensi**

Keterangan: * = nilai indeks (0-100)

(36)

24

Tipologi Konflik dan Keharmonisan Keluarga

Tipologi konflik pada penelitian ini dilihat berdasarkan sebaran kategori potensi konflik dengan keharmonisan yang ada pada keluarga, yaitu potensi konflik tinggi dan potensi konflik rendah dengan keharmonisan keluarga tinggi dan keharmonisan keluarga rendah, yang dibedakan atas Tipe 1, Tipe 2, Tipe 3, dan Tipe 4. Keempat tipologi tersebut dimodifikasi dari tipologi model T-Double ABCX dari family adjustment and adaptation oleh McCubbin dan McCubbin (1987) dalam Farhood (2004). Tipologi konflik keluarga Tipe 1 yaitu konflik keluarga tinggi sedangkan keharmonisan keluarga rendah, hal ini berarti bahwa banyak terjadi permasalahan-permasalahan dalam keluarga serta keluarga tersebut merasa tidak puas dan tidak bahagia dengan keadaan keluarga mereka. Berdasarkan tipologi perkawinan menurut Olson (1981) dalam Puspitawati (2012), keluarga Tipe 1 termasuk ke dalam tipe perkawinan tanpa vitalitas, yakni adanya perasaan tidak puas terhadap perkawinan yang menggambarkan rendahnya keharmonisan dan tidak stabilnya perkawinan atau terdapatnya konflik.Tipe 2 dengan kondisi konflik dan keharmonisan yang tinggi dapat diartikan bahwa meskipun keluarga tersebut banyak memiliki permasalahan dan rentan akan konflik, namun keluarga tersebut tetap merasakan kebahagiaan dan kepuasan sehingga keharmonisan keluarga tetap terjaga. Keluarga Tipe 2 ini termasuk dalam keluarga dengan tipe perkawinan finansial dan perkawinan pasangan konflik, yakni terdapatnya konflik dan memprioritaskan uang dari pada keluarga, namun juga merupakan pasangan tradisional karena adanya kepuasan dan terciptanya hubungan baik dengan keluarga besar atau kerabat.

Keluarga dengan tipologi konflik ke tiga (Tipe 3) merupakan keluarga yang memiliki potensi konflik yang rendah dan keharmonisan keluarga yang tinggi. Hal ini berarti bahwa keluarga mampu mengatasi permasalahan-permasalahan dalam keluarga atau menganggap suatu masalah bukan sebagai sesuatu yang sangat berat dan menganggu keseimbangan keluarga serta merasa puas dan bahagia dengan keadaan keluarga dan terciptanya keharmonisan. Berdasarkan tipe perkawinan menurut Olson keluarga Tipe 3 ini termasuk tipe perkawinan yang seimbang, perkawinan pasangan harmonis, dan penuh vitalitas karena bahagia dan puas dengan hubungan bersama anggota keluarga serta rendahnya konflik dalam keluarga. Tipe 4 merupakan tipe dengan potensi konflik dan keharmonisan keluarga rendah. Tipe ini berarti juga keluarga mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada atau rendah akan konflik akan tetapi keluarga tidak merasa puas dan bahagia dengan kondisi keluarga. Berdasarkan ciri-ciri tersebut keluarga Tipe 4 dapat dikategorikan ke dalam tipe perkawinan tanpa vitalitas menurut Olson (1981) dalam Puspitawati (2012).

(37)

25 Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat pula bahwa sebaran konflik keluaga dan keharmonisan keluarga terdapat pada Tipe 4 (2,90%). Hal ini berarti bahwa terdapat keluarga yang memiliki konflik yang rendah namun keharmonisannya juga rendah. Keluarga dengan Tipe 4 ini mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam keluarga seperti hubungan suami-istri, hubungan orang tua-anak, hubungan antar tua-anak, hubungan dengan keluarga besar, aspek material dan aspek non material merupakan hal-hal yang tidak merusak sistem dalam keluarga, akan tetapi, keluarga merasa tidak bahagia dan tidak puas dengan hubungannya bersama pasangan (hubungan perkawinan), hubungan dengan anak, hubungan antar anak, dan hubungan dengan orang tua lansia/ mertua. Gambar 3 juga menunjukkan bahwa tidak ada satupun sebaran konflik dan keharmonisan keluarga yang berada pada Tipe 1 dan Tipe 2.

Keterangan:

H1= keharmonisan rendah (≤ 75; skor 0-100) H2= keharmonisan tinggi (> 75; skor 0-100) K1= konflik rendah(≤ 75; skor 0-100) K2= konflik tinggi (> 75; skor 0-100)

*Secara detil tipologi konflik dan keharmonisan keluarga disajikan pada Lampiran 7.

Gambar 3 Grafik analisis tipologi konflik keluarga dan keharmonisan keluarga Keluarga Tipe 3 ini merupakan keluarga yang mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada dalam keluarga serta merasa bahagia dan puas terhadap kehidupan keluarga. Meskipun suami dan istri memiliki pendidikan

H2 (> 75)

K2 (> 75)

H1 (≤ 75) K1

(38)

26

yang rendah dan pekerjaan sebagai petani, tetapi keluarga tersebut mampu menjaga keseimbangan dalam keluarga dan rendah akan konflik. Pendapatan yang tidak begitu tinggi juga tidak merupakan masalah bagi keluarga yang dapat menurunkan keharmonisan keluarga. Keluarga petani pada penelitian ini memiliki kepuasan dan kebahagiaan yang tinggi dan permasalahan-permasalahan yang ada seperti hubungan suami istri, permasalahan ekonomi, hubungan dengan anak, dan hubungan dengan keluarga besar hanya menimbulkan konflik yang lemah bahkan tidak ada sama sekali. Keluarga saling membantu dan saling mendukung untuk menciptakan keharmonisan.

Keluarga yang tergolong pada Tipe 4 merupakan keluarga dengan pasangan yang termasuk pada kategori usia dewasa awal dan berpendapatan rendah. Keluarga ini menganggap permasalahan yang terjadi sebagai sesuatu hal yang biasa dan dapat ditangani dengan baik, akan tetapi di sisi lain keluarga ini memiliki kepuasan yang rendah terhadap hubungan antara anggota di dalam keluarga, serta merasa kurang bahagia dengan perkawinan, anak, dan orang tua atau mertua. Hal ini bisa terjadi karena belum tuntasnya tugas perkembangan keluarga saat baru menikah yakni penyesuaian dengan pasangan dan membangun jejaring dengan kerabat berdasarkan tugas perkembangan keluarga menurut Duvall (1971).

Tidak adanya keluarga yang termasuk dalam Tipe 1 dan Tipe 2 diduga disebabkan oleh keluarga konsisten bahwa permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam keluarga dianggap sebagai sebuah konflik yang kecil dan tidak mengganggu kestabilan dalam keluarga dan merasa puas dengan hubungan antar anggota keluarga. Hanya sedikit keluarga yang termasuk dalam Tipe 4 yakni keluarga dengan karakteristik khusus yakni pasangan muda yang berpenghasilan rendah namun telah memiliki anak lebih dari dua. Sebaran tipologi konflik dan keharmonisan keluarga hampir seluruhnya berada pada Tipe 3 karena keluarga memiliki karakteristik yang cenderung homogen dengan latar belakang budaya yang sama.

Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Potensi Konflik dan Keharmonisan Keluarga

(39)

27 anggota yang semakin banyak memiliki potensi konflik yang rendah begitu pula sebaliknya, keluarga dengan jumlah anggota yang sedikit atau keluarga kecil maka potensi konflik akan semakin besar. Goode (1995) mengatakan bahwa banyaknya anggota suatu keluarga juga berarti lebih banyak orang yang mempunyai hak dan kewajiban untuk mengawasi satu sama lain sehingga tidak terlepas dari perhatian dan teguran. Hubungan positif terdapat antara pendapatan keluarga dengan potensi konflik namun hubungan tersebut tidak signifikan. Artinya, semakin tinggi pendapatan keluarga maka potensi konflik juga akan semakin tinggi dan pendapatan yang semakin rendah akan menurunkan potensi konflik. Keluarga yang memiliki pendapatan rendah akan sering menghabiskan waktu untuk berinteraksi dengan keluarga, menyempatkan untuk makan bersama, dan mendidik anak, serta pembagian tugas untuk mengasuh sehingga konflik keluarga rendah (Tubbs et al.2005).

Tabel 10 Koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dengan potensi konflik dan keharmonisan keluarga

Variabel

Korelasi Pearson

Konflik keluarga Keharmonisan keluarga

Usia suami (tahun) -0,163 0,176

Usia istri (tahun) -0,292* 0,221

Lama pendidikan suami (tahun) -0,157 -0,060

Lama pendidikan istri (tahun) -0,238 0,131

Pendapatan keluarga (Rp per bulan)

0,008 0,161

Besar keluarga (orang) -0,258 0,042

Konflik keluarga (skor 0-100) -0,084

Keterangan: *= signifikan pada level 0,10 (1-tailed)

Hasil pada Tabel 10 di atas juga menunjukkan bahwa karakteristik keluarga yang terdiri dari usia suami, usia istri, lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, pendapatan keluarga, dan besar keluarga serta konflik tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan keharmonisan keluarga. Namun, pada hasil menunjukkan bahwa variabel usia suami dan istri, lama pendidikan istri, pendapatan keluarga dan besar keluarga memiliki hubungan yang positif dengan keharmonisan keluarga. Artinya, semakin tinggi usia suami dan istri atau semakin tua suami dan istri maka keharmonisan dalam keluarga akan semakin tinggi pula atau kepuasan dan kebahagiaan akan dirasakan jika usia suami dan istri semakin bertambah. Keharmonisan keluarga juga akan semakin tinggi jika lama pendidikan istri semakin tinggi pula. Hal ini juga berarti bahwa pendidikan yang tinggi dari seorang istri akan membuat kepuasan dan kebahagiaan keluarga. Namun, pada suami, semakin tinggi pendidikan yang ditempuh akan mengakibatkan rendahnya keharmonisan keluarga. Artinya, meskipun suami berpendidikan tinggi, kepuasan dan kebahagiaan keluarga kurang dirasakan.

(40)

28

keharmonisan keluarga tinggi. Potensi konflik memiliki hubungan yang negatif dengan keharmonisan keluarga, namun hubungan keduanya tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi konflik suatu keluarga maka keharmonisan keluarga akan semakin rendah atau keluarga tersebut tidak harmonis, sedangkan jika keluarga tersebut memiliki potensi konflik yang rendah maka keharmonisan keluarga tinggi atau keluarga tersebut sangat harmonis.

Pembahasan Umum

Keluarga bagi contoh dalam penelitian ini memiliki makna yakni anugrah dan berkah dari Tuhan yang harus disyukuri, sebagai tempat bagi seorang individu untuk mengekspresikan kebahagiaan dan kesedihan, berbagi suka dan duka, hal yang utama dan menjadi prioritas utama dalam kehidupan sosial, sumber kebahagiaan, kesenangan dan kedamaian sehingga seseorang merasa nyaman dan dapat menjalankan kehidupan dengan lebih baik. Berdasarkan makna keluarga tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga petani dalam penelitian ini masih menganggap keluarga sebagai hal yang sangat penting dan dihargai. Latar belakang budaya merupakan salah satu indikator pentingnya sebuah keluarga. Keluarga pada penelitian ini umumnya berlatar belakang budaya sunda yang memiliki karakteristik masyarakat yang lemah lembut, halus perkataan, ramah, berpegang dalam keimanan dan ketakwaan, saling menghormati, dan saling menghargai.

Keluarga petani pada penlitian ini sangat menjaga keharmonisan keluarga yakni ditandai dengan adanya hubungan yang baik dan bahagia antar sesama anggota keluarga. Selain menjaga keharmonisan untuk menjaga keutuhan dalam keluarga, masing-masing keluarga juga mampu dengan baik mengontrol permasalahan-permasalahan yang muncul di dalam keluarga tersebut. Konflik di dalam keluarga tetap ada, akan tetapi dapat diselesaikan dengan baik dan tidak merusak keseimbangan keluarga. Hal ini sesuai dengan pendekatan struktural-fungsional keluarga yang menekankan bahwa dalam kehidupan keluarga harus ada aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga agar memiliki arti sehingga keluarga tersebut dapat bahagia dan terciptanya keseimbangan (Puspitawati 2012). Fungsi dalam keluarga menurut Durkheim yaitu setiap anggota mempunyai peran dalam menjalankan tugasnya masing-masing sehingga sistem dalam keluarga tetap seimbang dan stabil sehingga hasilnya memuaskan (Jones 2003). Teori struktural-fungsional menganggap konflik sebagai hal yang tabu dan harus dihindarkan dan keutuhan keluarga merupakan hal yang paling penting. Oleh karena itu, pada penelitian ini keluarga diharapkan mampu menjaga keutuhan meskipun terdapat konflik di dalamnya.

(41)

29 1985). Hal-hal tersebut merupakan karakteristik dari orang sunda.

Keharmonisan keluarga petani pada penelitian ini termasuk dalam kategori tinggi baik secara keseluruhan maupun per dimensi. Hasil menunjukkan bahwa keluarga hampir seluruh contoh merasa puas dan bahagia dalam hubungan antar anggota keluarga baik itu hubungan suami-istri, hubungan orang tua-anak, hubungan antar anak, dan hubungan dengan orang tua atau mertua. Menurut Laver dan Laver (2012) ciri suatu keluarga harmonis adalah adanya perasaan yang sangat puas satu sama lain dalam sebuah hubungan serta adanya rasa saling bahagia satu sama lain. Tingginya keharmonisan keluarga pada penelitian ini dapat disebabkan pandangan budaya dalam hal ini budaya sunda yang menganggap kebahagiaan lahir dan batin dalam hidup adalah hal utama. Orang-orang yang mengakui bahwa perkawinan mereka bahagia dan tidak terdapat konflik disebabkan oleh perasaan malu untuk mengakui adanya ketidakharmonisan dengan pernikahan mereka (Galvin et al. 2004).

Keluarga petani dalam penelitian termsuk ke dalam kategori dengan potensi konflik rendah dan keharmonisan tinggi atau Tipe 3. Lokasi penelitian yang merupakan lingkungan pedesaan dan masih kuatnya nilai-nilai tradisionalnya seperti nilai religi dan adat istiadat merupakan indikator yang dapat menjadi alasan keharmonisan keluarga tergolong tinggi. Orang-orang dengan latar belakang tradisional yang kuat lebih banyak kemungkinan bahagia dalam perkawinan atau mungkin juga cenderung mengatakan bahwa mereka puas (Goode 1995). Kebiasaan beragama yang kuat juga merupakan hal utama dalam solidaritas perkawinan dan keluarga (Stinnet 1983). Keluarga petani dalam penelitian ini termasuk ke dalam sistem morfostatikyaitu sistem dengan menjaga stabilitas serta memiliki batasan-batasan terhadap pengaruh dari luar, dan memberikan feedback yang negatif.Keluarga dengan sistem ini cenderung tertutup (closed system), yakni lebih mementingkan pertukaran internal dari pada pertukaran dii luar sistem (Deacon dan Firebaugh 1988). Semakin tinggi konflik maka keharmonisan semakin rendah, begitupun sebaliknya, semakin rendah konflik maka keharmonisan semakin tinggi. Lam et al. (2012) menyatakan bahwa terciptanya keharmonisan keluarga karena rendahnya konflik dalam keluarga tersebut.

Keterbatasan pada penelitian ini yaitu keharmonisan dan potensi konflik pada keluarga hanya dilihat berdasarkan sudut pandang dan persepsi istri atau ibu, tidak berdasarkan pernyataan dari seluruh anggota keluarga. Karakteristik contoh dalam penilitian ini juga kurang beragam. Pernyataan-pernyataan dalan kuesioner yang digunakan juga masih belum spesifik atau masih terlalu umum sehingga belum bisa dilihat faktor-faktor yang memengaruhi keharmonisan keluarga.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(42)

30

keluarga. Permasalahan yang umum terjadi pada keluarga petani cenderung kepada yaitu sikap suami terhadap istri, permasalahan perilaku anak dan prestasi belajar, serta permasalahan dalam pekerjaan dan tekanan ekonomi. Hubungan dengan keluarga besar merupakan sumber konflik yang sangat rendah atau tidak menimbulkan konflik dalam keluarga.

Rendahnya konflik merupakan salah satu indikator bahwa keluarga tersebut harmonis hal ini dapat dilihat bahwa keharmonisan keluarga pada penelitian ini sangat tinggi. Keharmonisan dapat dilihat dari persepsi istri yang merasa puas serta bahagia dengan kehidupan perkawinannya. Hubungan dengan anak juga merupakan hal yang memuaskan dan disyukuri sehingga keharmonisan pada keluarga sangat tinggi. Namun hubungan persaudaraan antara anak menimbulkan kurang membahagiakan bagi orang tua.

Tipologi konflik dan keharmonisan keluarga termasuk pada Tipe 3 yaitu konflik keluarga rendah sedangkan keharmonisan keluarga tergolong tinggi. Secara keseluruhan keluarga memiliki potensi konflik yang menengah rendah dan keharmonisan keluarga terkategori sangat tinggi. Namun terdapat keluarga yang termasuk pada Tipe 4, yakni konflik rendah dan keharmonisan rendah. Tidak ada satupun keluarga petani yang berada pada tipe konflik dan keharmonisan Tipe 1 maupun Tipe 2.

Semakin tinggi atau semakin tua istri, maka konflik keluarga akan semakin rendah, sedangkan keharmonisan keluarga akan semakin tinggi. Jumlah anggota keluarga yang semakin banyak pada keluarga maka potensi konflik akan semakin rendah dan hubungan keduanya signifikan, sedangkan pada keharmonisan akan tinggi tetapi tidak berhubungan signifikan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konflik maka keharmonisan akan semakin rendah, begitu pun sebaliknya tetapi hubungan keduanya tidak signifikan.

Saran

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran hubungan karakteristik keluarga, konflik,dan keharmonisan keluarga
Gambar 2  Kerangka pengambilan contoh
Tabel 1  Jenis variabel, skala, dan kategori data
Tabel 3  Sebaran lama pendidikan suami dan istri
+6

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan rata-rata pada label di setiap kemasan tertera total koloni BAL pada yoghurt plain lebih banyak dibandingkan dengan yoghurt yang ditambah perisa buah, perbedaan

Selama survai herpetofauna di Taman Nasional Ujung Kulon yang dilakukan pada bulan Juli sampai September 1990 dijumpai 14 jenis amfibia; yang terdiri dari satu jenis dari

Dari hasil penelitian dilapangan penulis dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi adanya penyimpangan yaitu penggunaan bahan dilapangan berbeda dengan yang

gunting dan memotong tali pusat di antara dua klem tersebut. 29) Mengeringkan bayi, mengganti handuk yang basah dan menyelimuti bayi dengan kain atau selimut yang bersih dan

Indofood Sukses Makmur Tbk untuk periode tahun 2005 mempunyai nilai X sebesar -0,3167 sehingga perusahaan tersebut diklasifikasikan sebagai perushaan yang tidak berpotensi

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7) peraturan Pemerintah Republik

Dari tabel 5.8 dan gambar 5.8 diatas dapat dilihat bahwa seluruh industri jasa bordir memiliki mesin bordir sendiri tetapi untuk industri konveksi sebanyak 19 responden atau 32

• Pada tahap analisis sintaks ini token yang diperoleh dari analisis leksikal disusun dan dikelompokkan dalam suatu hirarki tertentu yang mempunyai arti yang disebut sebagai