• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit Arteri Perifer Pada Sindroma Metabolik (Penelitian Di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU/RS H Adam Malik Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penyakit Arteri Perifer Pada Sindroma Metabolik (Penelitian Di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU/RS H Adam Malik Medan)"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA SINDROMA METABOLIK

PENELITIAN DI BAGIAN /SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS

KEDOKTERAN USU/ RS H ADAM MALIK MEDAN

MEI 2007 – Juli 2007

TESIS

OLEH

LITA SEPTINA CHANIAGO

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP H ADAM MALIK/ RSUD DR PIRNGADI

(2)

DIAJUKAN DAN DIPERTAHANKAN DIDEPAN SIDANG LENGKAP

DEWAN PENILAI DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

DAN DITERIMA SEBAGAI SALAH SATU SYARATUNTUK MENDAPATKAN

KEAHLIAN DALAM BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

PEMBIMBING TESIS

(Dr DHARMA LINDARTO, SpPD KEMD)

DISAHKAN OLEH :

KEPALA DEPARTEMEN

KETUA PROGRAM STUDI

ILMU PENYAKIT DALAM

ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

(3)

DEWAN PENILAI

1. Prof dr Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH

2. Prof dr M. Yusuf Nasution, SpPD-KGH

3. Dr. Adin A St. Bagindo, SpPD-KKV

4. Dr. Juwita Sembiring SpPD-KGEH

5. Dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP

(4)

Abstrak

Penyakit Arteri Perifer pada Sindroma Metabolik

Lita Septina, Dharma Lindarto

Divisi Endokrin dan Metabolik – Diabetes, Departemen Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara – RSUP H Adam Malik ,

Medan

Latar Belakang : Penyakit arteri perifer (PAP) disebabkan adanya oklusi

aterosklerosis pada daerah tungkai, dan akan meningkatkan resiko

kardiovaskuler. Sindroma metabolik bukan merupakan penyakit tertentu, tetapi

sekelompok faktor (obesitas sentral, resistensi insulin, hipertensi, intoleransi

glukosa dan dislipidemia) yang timbul secara bersamaan, dan menjadi resiko

kelainan kardiovaskuler.

Tujuan : Untuk mengetahui peningkatan angka kejadian PAP pada sindroma

metabolik dan pengaruh komponen sindoma metabolik pada PAP

Metode : Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang pada 208 orang

yang melakukan pemeriksaan kesehatan rawat jalan di berbagai poliklinik RS di

Medan. Diagnosa sindroma matabolik ditegakkan berdasarkan kriteria IDF 2005.

PAP ditegakkan dengan mengukur ankle-brachial index (ABI) menggunakan

Vasera VS-1000

TM

(Fukuda Denshi). Nilai ABI

0,9 dianggap abnormal.

Hasil : Dari 208 pasien didapati 112 sindroma metabolik dan 96 non sindroma

metabolik. Wanita 22 orang (78,6%) lebih banyak mendapat PAP dibanding pria

6 orang (21,4%) pada kedua kelompok (p= 0,03). Perbandingan ABI tungkai

kanan dan kiri menunjukkan perbedaan bermakna (p= 0,0001). PAP berkorelasi

negatif dengan KGD puasa ( r= -0,483; p= 0,009 ). Komponen sindroma

metabolik selain obesitas sentral adalah hipertensi 23 orang (24,7%) penyebab

PAP terbanyak, diikuti HDL, TG dan KGD puasa [ 22 (27,5%); 16 (21,9%) dan

15 (25,9%)]. Insidensi PAP secara signifikan lebih tinggi pada sindroma

metabolik dibanding non sindroma metabolik (25 % vs 15,6 %; RP 1,6; IK 95%

0,910 – 2,815).

Kesimpulan : Adanya peningkatan insiden PAP pada sindroma metabolik,

dimana komponen terbanyak adalah hipertensi.

(5)

Abstract

Peripheral Arterial Disease in Metabolic Syndrome Patients

Lita Septina, Dharma Lindarto

Division of Endocrinology and Metabolism – Diabetes, Faculty of Medicine

University of Sumatera Utara – Adam Malik General Hospital , Medan

Background : Peripheral arterial disease (PAD) is caused by atherosclerotic

occlusion of the arteries to the leg, and increases the risk of cardiovascular

(CVD) event. Metabolic syndrome (mets) is not a specific disease but a cluster of

factors (central obesity, insulin resistance, hypertension, glucose intolerance and

dyslipidemi), often occurring together in the same person, that put one at risk for

developing cardiovascular disease

.

Aim : To investigate the incidence PAD in mets patients, and to find the

implication of component mets in PAD.

Method : 208 Patients were recruited for this cross-sectional study from

outpatient clinic hospitals in Medan. Metabolic syndrome was diagnosed by IDF

2005 criteria. In the order to evaluated the PAD, the Fukuda Vascular Screening

system VaSera VS-1000

TM

(Fukuda Denshi) was used. Criteria for the diagnosis

of PAD was an ABI

0,9.

Result : A total of 208 patients (112 mets and 96 non-mets) ware screened for

PAD. PAD was significantly higher in women (22; 78,6%) than man (6; 21,4%) in

both groups (p= 0,03). Comparison ABI in both leg was statistic significant (p=

0,0001). PAD was negatively correlated with fasting blood glucose ( r= -0,483; p=

0,009 ). Highest mets component for PAD except central obesity was

hypertension (23 ; 24,7%), follow with HDL-C, TG and fasting blood glucose [ 22

(27,5%); 16 (21,9%) and 15 (25,9%) respectively].Incidence of PAD was

significant higher in mets than non-mets (25 % vs 15,6 %; RP 1,6; CI 95% 0,910

– 2,815)

Conclusion : There were increased incidence PAD in mets, the highest

component was hypertension.

(6)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati terlebih dahulu penulis mengucapkan segala

puji bagi kebesaran Allah SWT yang telah memberi kekuatan & rahmatnya sehingga

penulis dapat menyelesaikan tesis/karya ilmiah akhir ini dengan judul "Penyakit Arteri

Perifer Pada Sindroma Metabolik" yang merupakan persyaratan dalam

menyelesaikan pendidikan Dokter Ahli dibidang Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan baik isi

maupun bahasanya, namun demikian penulis berharap tulisan dapat menambah

wacana tentang kejadian Penyakit Arteri Perifer pada penderita Sindroma Metabolik.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang

setulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala jasa-jasa yang

diberikan, kepada :

Dr Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH, selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FK-USU/RSUP.H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberi bimbingan

,nasehat serta kemudahan dalam pengembangan ilmu dan keahlian penulis.

Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH sebagai ketua program studi Ilmu Penyakit

Dalam atas segala perhatian dan bimbingan selama penulis menjalani pendidikan.

Dr. Dharma Lindarto, SpPD-KEMD selaku sekretaris program studi Ilmu Penyakit

Dalam sekaligus pembimbing tesis penulis yang dengan kesabaran dan ketelitiannya

membimbing dan mengarahkan penulis sampai selesainya karya tulis ini.

Para Kepala Divisi sewaktu penulis menjalani pendidikan : Prof.Dr.Azhar Tanjung,

Prof Dr. Azmi S Kar, Prof Dr. OK. Moehad Sjah, Prof Dr. Habibah Hanum Nasution,

(7)

Prof. Dr. T. Renaldi Haroen, Dr. Sjafii Piliang, Dr OK Alfien Syukran, Dr. Umar Zein, Dr.

Refli Hasan, atas segala bimbingan yang diberikan kepada penulis.

Dokter Kepala Ruangan sewaktu penulis menjalani pendidikan : Dr. R. Tunggul

Ch S, Dr. Mardianto, Dr. Tambar Kembaren, Dr. Zuhrial, Dr. Zulhelmi Bustami, Dr.

Abdurrahim Rasyid Lubis, Dr. Blondina Marpaung, Dr. Dasril Effendi, Dr llham, Dr

Zainal, Dr Calvin Damanik, Dr Soegiarto Gani, Dr. Santi Syafril, Dr Rahmat Isnanta, Dr

Dairion Gatot, Dr Armon Rahimi , Dr Heriyanto Yoesoef, Dr Saut Marpaung, Dr

Maringgan sebagai Dokter Kepala Ruangan / Senior yang telah banyak memberi

bimbingan-bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan.

Seluruh Staf Departemen llmu Penyakit Dalam FK-USU/RSUD Dr. Pimgadi /

RSUP. H. Adam Malik Medan : Prof. Dr. Bachtiar Fanani Lubis, Prof Dr. Sutomo

Kasiman, Prof M. Yusuf Nasution, Prof Gontar A. Siregar, Prof Harris Hasan, Alm Dr.

Rusli Pelly, Dr. Nur Aisyah, Dr. A. Adin St. Bagindo, , Dr. Lufti Latief, , Dr. Sri M. Soetadi,

Dr. Bethin Marpaung, , Dr. Mabel Sihombing, , Dr. Juwita Sembiring , Dr. Josia Ginting,

Dr. Leonardo P. Dairy , Dr. Alwinsyah Abidin, Alm. Dr Chairul Bahri, Dr. E.N. Keliat, Dr.

Pirma Siburian, yang merupakan guru-guru yang telah banyak memberi bimbingan

pada penulis.

Direktur RSUD. Dr. Pimgadi dan RSUP. H. Adam Malik Medan, Direktur RSUD.

PTP Tembakau Deli Medan yang telah memberi kemudahan dan keizinan dalam

menggunakan fasilitas / sarana Rumah Sakit dalam menjalani pendidikan.

Direktur RSU Langsa, NAD Dr Furqan, SpB dan konsultan bagian Penyakit Dalam

Dr Azwir A ,SpPD yang telah memberi kesempatan kepada penulis selama ditugaskan

sebagai konsultan di bagian Penyakit Dalam di RSU Langsa dalam rangka pendidikan ini.

Para Sejawat PPDS Interna yang saya cintai : Dr Marna Ismy, SpPD, Dr. Sabar

Sembiring, SpPD, Dr. Corry Silaen, Dr. Suhartono, Dr. Iman Tarigan, Dr. Rismauli , Dr.

(8)

memberi bantuan, dorongan dan pengorbanan selama menjalani pendidikan sehingga

terjalin rasa persaudaraan yang erat.

Paramedis dan seluruh karyawan/ti bagian Penyakit Dalam RSUD. Dr. Pirngadi

dan RSUP. H. Adam Malik Medan : Lely, Yanti, Theresia, Syafruddin Abdullah, Fitri dan

Deni yang telah banyak membantu dan bekerjasama dengan baik selama ini.

Kepada Drs Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah memberikan bantuan yang

tulus kepada penulis khususnya dalam metodologi penelitian ini.

Para penderita rawat inap dan rawat jalan di SMF/Departemen Ilmu Penyakit

Dalam RSUD. Dr. Pirngadi dan RSUP. H. Adam Malik Medan, karena tanpa mereka

mustahil penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Pada kesempatan ini, secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada: Direktur Eksekutif dan Staf/Paramedis Klinik Spesialis Bunda, dr Zukhairi,SpPD

konsultan Penyakit Dalam RS Bhayangkara POLDA , Kepala dan Staf Laboratorium

Klinik Prodia, Dr. Arichta Maria dan bapak Djohar Sjah sebagai dokter Poliklinik dan

pensiunan PTPN IV Medan yang memberi kemudahan dan bantuan yang tulus kepada

penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.

Kepada Kepala Dinas Kesehatan TK I Departemen Kesehatan RI Propinsi

Sumatera Utara, Bapak Rektor USU dan Dekan Fakultas Kedokteran USU yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan ini.

Kepada yang mulia ayahanda Dr Sjafii Piliang, SpPD KEMD dan Ibunda

(alm) Kamilah Chaniago yang sangat ananda sayangi dan kasihi, tiada kata-kata yang

paling tepat untuk mengungkapkan perasaan hati, rasa terima kasih atas segala

jasa-jasa ayahanda dan ibunda yang tiada mungkin terucapkan dan terbalaskan. Dan tak

lupa penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada ibu (alm) Dr Mardiana

(9)

penulis disaat suka dan duka dan juga memberi dorongan serta semangat kepada

penulis dalam menyelesai pendidikan ini.

Kepada Suamiku tercinta Dr. Deske Muhadi Rangkuti, tiada kata yang paling

tepat selain terima kasih yang tak terhingga yang selama ini tiada bosan-bosannya

memberi bantuan, dorongan dan semangat serta doanya selama kita menjalani

pendidikan di Departemen Penyakit Dalam sehingga terselesaikannya tugas akhir ini,

mudah-mudahan Allah SWT memberi balasan yang berlipat ganda.

Kepada saudara-saudaraku : adinda Alfi Noviansyah , Dr. Amelia Martira, SpAN,

Rizky Juniansyah , Dr. Fitri Rahmah , Nurul Yani, SPsi dan abang/adik ipar serta keluarga

besarku yang telah banyak membantu, memberi semangat dan dorongan selama

pendidikan, terima kasihku yang tak terhingga untuk segalanya.

Akhimya izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besamya atas

kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan,

dorongan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan

kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT yang maha pengasih,

maha pemurah dan maha penyayang. Amin ya Rabbal Alamin.

Medan, Nopember 2007.

Penulis,

(10)

DAFTAR ISI

Hal

Kata pengantar ………. i

Daftar Isi ……….... v

Daftar Tabel dan Gambar ………... viii

BAB I : PENDAHULUAN ………. 1

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ……….... 3

2.1. SINDROMA METABOLIK ………... 3

2.1.1. Sejarah ………... 3

2.1.2.

Defenisi

………..

4

2.1.3.

Epidemiologi

………..

7

2.1.4. Sindroma Metabolik dan Penyakit Kardiovaskuler ….. 9

2.1.4.1. Obesitas sebagai Prediktor Komplikasi

Kardiovaskuler ………... 10

2.1.4.2. Resistensi Insulin dan komplikasi

kardiovaskuler ……….... 12

2.1.4.3.

Dislipidemia Aterogenik ……….... 15

2.1.4.3.1.

Peranan kolesterol HDL pada

aterosklerosis ……….. 17

2.1.4.4.

Hipertensi

pada

Sindroma Metabolik ... 19

2.1.4.5.

Derajat

Pro

trombotik dan Pro inflamasi ... 21

2.2. PENYAKIT ARTERI PERIFER ... 22

(11)

2.2.2.

Epidemiologi

... 23

2.2.3.

Patofisiologi

... 24

2.2.4. Faktor Resiko ... 25

2.2.5.

Diagnosa

... 31

2.2.5.1.

Acute

Limb

Ischemia ... 32

2.2.5.2.

Critical

Limb

Ischemia ... 33

2.2.5.3.

Diagnostik

Non

Invasif

... 33

BAB III : PENELITIAN SENDIRI ... 38

3.1.

Latar

Belakang

... 38

3.2. Perumusan Masalah ... 39

3.3.

Hipotesa

... 39

3.4.

Tujuan

Penelitian

... 40

3.5. Manfaat Penelitian ... 40

3.6. Kerangka Konsepsional ... 40

3.7. Bahan dan Cara ... 41

3.7.1.

Desain

Penelitian

... 41

3.7.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 41

3.7.3.

Populasi

Terjangkau

... 41

3.7.4.

Kriteria

yang

dimasukkan ... 41

3.7.5.

Kriteria

yang

dikeluarkan ... 41

3.7.6.

Besar

Sampel

... 41

3.7.7.

Cara

Penelitian

... 42

(12)

3.9.1. Defenisi Operasional ... 44

3.9.2. Kerangka Operasional ... 45

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

4.1. Hasil Penelitian ... 46

4.2.

Pembahasan

... 53

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

5.1.

Kesimpulan

... 57

5.2.

Saran

... 58

BAB VI : DAFTAR PUSTAKA ... 59

LAMPIRAN ... 69

1. Master Tabel ... 67

2. Lembaran Penjelasan Kepada Calon Subjek ... 72

3. Inform Consent untuk Penelitian Penyakit Arteri Perifer Pada

Sindroma Metabolik ... 73

4. Data Pasien ... 74

5. Persetujuan Komite Etik Tentang Penatalaksanaan Penelitian

Bidang Kesehatan ... 75

(13)

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Sindroma Metabolik ... 5

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Klinis Sindroma Metabolik ... 6

Tabel 3. Kelainan yang dapat terjadi berkaitan dengan resistensi

insulin/hiperinsulinemia ...

14

Tabel 4. Kriteria klinis kategori critical limb ischemia... 33

Tabel 5. Karateristik sampel studi 46

Tabel 6. Karateristik sampel studi berdasarkan jenis kelamin ... 47

Tabel 7. Perbandingan PAP ‘tanpa’ dan ‘dengan’ PAP pada

sindroma metabolik ………

48

Tabel 8. Perbandingan PAP berdasarkan satu dan dua tungkai ... 49

Tabel 9. Korelasi PAP terhadap Komponen Sindroma Metabolik ….. 50

Tabel 10. Kombinasi Komponen Sindroma Metabolik berdasarkan

kriteria IDF 2005 ...

50

Tabel 11. Hubungan jumlah komponen sindroma metabolik

berdasarkan IDF terhadap PAP ...

51

Tabel 12. Komponen sindroma metabolik terhadap PAP ……….. 51

Tabel 13. Prediksi terjadinya PAP pada sindroma metabolik ... 52

Tabel 14. Prediksi terjadinya PAP terhadao komponen sindroma

metabolik ...

52

Gambar 1. Mekanisme Terjadi Sindroma Metabolik ... 10

Gambar 2. Patofisiologi penyakit kardiovaskuler/aterosklerosis pada

sindroma metabolik ...

(14)

KETERANGAN DAFTAR SINGKATAN

IMT

:

Indeks Massa Tubuh

IGT

:

Intoleransi Glukosa Terganggu

TD

:

Tekanan

Darah

DMT2

:

Diabetes Mellitus Tipe 2

TG

:

Trigliserida

HDL

:

High Density Lipoprotein

FBG

:

Fasting Blood Glucose

ABI

:

Ankle Brachial Index

KGD

:

Kadar Gula Darah

(15)

BAB I PENDAHULUAN

Sindroma metabolik adalah sekelompok kelainan-kelainan dengan berbagai

konsekuensi klinis, yang ditandai dengan adanya suatu gangguan toleransi glukosa,

resistensi insulin, dislipidemia, hipertensi, kelainan koagulasi dan obesitas sentral.

Semua faktor komorbiditas diatas secara sinergis dapat menyebabkan aterosklerosis

lebih dini, sehingga individu tersebut memiliki resiko tinggi untuk mengalami penyakit

jantung dan pembuluh darah.1 Diperkirakan 20-25 % populasi dewasa di dunia didapati

sindroma metabolik , dan serangan jantung atau stroke tiga kali lebih sering dibanding

mereka yang tanpa sindroma metabolik .2 Menurut Alexander dkk (2003) berdasarkan

survei di Amerika didapati sindroma metabolik 24 % pada dewasa usia diatas 20 tahun

dan pada kelompok usia diatas 50 tahun ditemukan 44 %.1 Pada penelitian populasi di

Singapura, dengan menggunakan kriteria NCEP ATP III , Tan dan kawan-kawan

melaporkan prevalensi sindroma metabolik sebesar 17,9 %.3 Studi epidimiologi di

Indonesia oleh Semiardji (2004) pada penelitian 3429 penduduk dewasa dari 26 etnik

didapati prevalensi sindroma metabolik dengan defenisi ATP III 15,5 % dan 24,6 %

dengan batasan ukuran lingkar pinggang Asia.4

Penyakit arteri perifer (PAP) adalah adanya obstruksi pada arteri tungkai bawah

dan terjadi penurunan aliran darah arteri sewaktu aktivitas, sedang pada tahap lanjut

dijumpai pada saat istirahat. Hal ini merupakan manifestasi aterosklerosis pada arteri

daerah tungkai. 5 Prevalensi PAP yang mendapat penyakit jantung koroner,stroke pada

pria sebesar 29,4 % dan wanita sebesar 21,2 %. Sedangkan populasi tanpa PAP

didapati pria 11,5 % dan wanita 9,3 %.Hal ini menggambarkan bahwa angka kejadian

kardiovaskuler dan serebrovaskuler lebih sering 2-3 kali pada penderita PAP. 6Pada

(16)

penderita Diabetes tipe 2 sebesar 17,7 %. 7Lebih dari 50 % penderita PAP dijumpai

tanpa gejalaatau gejala yang tidak khas , 25% dengan keluhan klasik dan 10 % dengan

critical ischemia limb (CLI) atau Penyakit arteri perifer yang berat (adanya ischemic rest

pain), ulkus iskemik yang tidak sembuh (nyeri, kulit ulkus yang kering terutama di daerah

distal atau jempol kaki), atau terdapat adanya gangren.5 Pasien dengan penyakit arteri

perifer meskipun tanpa riwayat penyakit jantung koroner atau stroke, mempunyai resiko

kematian karena kardiovaskuler yang sama dengan pasien yang mempunyai riwayat

PJK. Tingkat keparahan penyakit arteri perifer berhubungan erat dengan resiko PJK,

stroke dan kematian karena penyebab vaskular.

Beberapa penelitian oleh Jobien K dkk, Sarah dkk pada The Edinburgh Artery

Study, Wei YD dkk, dan Carlos Lahoz dkk tentang prediksi peningkatan resiko

kardiovaskuler pada sindroma metabolik mendapatkan hasil masing-masing 14 %, 6 %,

22,5 %, dan 7,5 % secara berurutan.9-12

Berdasarkan data-data diatas dan penelitian tentang sindroma metabolik dengan

PAP belum pernah dilaksanakan di Indonesia, maka peneliti ingin melihat bagaimana

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SINDROMA METABOLIK

2.1.1.SEJARAH

Konsep tentang sindroma metabolik telah ada sejak 80 tahun yang silam.

Diawali pada tahun 1923 oleh Kylin, seorang dokter Swedia yang menggambarkan

suatu sindroma yang melibatkan hipertensi, hiperglikemia dan hiperurisemia. Pada

tahun 1949 Vague menulis tentang obesitas abdominal dan distribusi lemak dan

hubungannya dengan diabetes dan kelainan- kelainan lainnya. Pada tahun 1965 sebuah

abstrak dipresentasikan pada pertemuan tahunan European Assosiation for Study of

Diabetes oleh Avogaro dan Crepaldi yang menggambarkan lagi suatu sindroma yang

terdiri dari hipertensi, hiperglikemia dan obesitas.14,15

Selanjutnya pengenalan terhadap sindroma ini terus berkembang secara

signifikan mengikuti Banting Lecture tahun 1988 yang disampaikan Gery Reaven.Ia

menggambarkan “sekelompok faktor-faktor resiko untuk diabetes dan penyakit

kardiovaskuler” dan menyebutnya “Sindroma X” .Konstribusi utamanya ialah

pengenalan konsep resistensi insulin. Pada tahun 1989 Kaplan menamai kembali

sindroma tersebut menjadi “ The Deadly Quartet” (kuartet yang mematikan) atau

sindroma dismetabolik dan pada tahun 1992 kembali dinamai ulang menjadi Sindroma

Resistensi Insulin. Pada tahun 1999 oleh World Health Organization diresmikan istilah “

Sindroma Metabolik” yang sekarang telah dikenal luas dan tetap menjadi deskripsi yang

(18)

2.1.2. DEFENISI

Defenisi sindroma metabolik dalam perkembangannya, berkembang beberapa

kriteria yang sebenarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu mengenal sedini mungkin

gejala gangguan metabolik sebelum seseorang menjadi sakit. Beberapa kriteria

sindroma metabolik adalah sebagai berikut 14,15,19:(tabel 1)

1. World Health Organization (WHO) – 1999

2. European Group for study of Insulin Resistance (EGIR) – 1999

3. National Cholesterol Education Program (NCEP) – 2002

4. American College of Endocrinology (ACE) – 2003

5. American Heart Assosiation / National Heart,Lung, and Blood Institute - 2005

6. International Diabetes Federation (IDF) – 2005

Defenisi terbaru sindroma metabolik dari International Diabetes Federation

adalah sebagai berikut :2,19.21,27

Terdapat obesitas abdominal (lingkar pinggang pria ≥ 90 cm; wanita ≥ 80 cm

atau berdasar etnik asia), ditambah dua dari empat faktor berikut ini :

1. Peningkatan kadar trigliserida : ≥ 150 mg/dl (1,7 mmol/l), atau mendapat

pengobatan untuk kelainan lipid terkait

2. Penurunan kolesterol HDL : Pria < 40 mg/dl (0,9 mmol/l) ; Wanita < 50 mg/dl (1,1

mmol/l) atau mendapat pengobatan untuk kelainan lipid terkait

3. Peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 130 mmhg atau tekanan darah diastolik ≥ 85

mmHg, atau sebelumnya mendapat pengobatan hipertensi.

4. Peningkatan gula darah puasa ≥ 100 mg/dl (5,6 mmol/l), atau sebelumnya

(19)

Tabel 1. Kriteria Diagnosis sindroma Metabolik dikutip dari 19

Unsur sindroma metabolik

WHO NCEP ATP III EGIR ACE IDF

Hipertensi -Sedang dalam

terapi anti hipertensi dan /atau -TD >140/90 mmHg -Pengobatan TD atau -TD >130/85

SBP ≥ 140 mmHg,dan/atau DBP ≥ 90 mmHg

TD > 130/85 mmHg

SBP≥ 130 atau DBP ≥ 85 mmHg,atau pengobatan HT

Dislipidemia Plasma TG >1,7

mmol/l (150 mg/dl) dan/atau

HDL-C < 0,9 mmol/l ( 40

mg/dl)

- Plasma TG >150 mg/dl -HDL-C

L < 40 mg/dl P < 50 mg/dl

-Plasma TG >2.0 mmol/l (180 mg/dl) -HDL-C <1.0 mmol/l (40 mg/dl) dan/atau terapi dislipidemia

- Plasma TG >150 mg/dl - HDL-C L <40 mg/dl P <50 mg/dl

TG level > 150 mg/dl (1,7 mmol/l), atau terapi khisus gangguan lipid

HDL-C L <40 mg/dl (0,9 mmol/l)

P <50 mg/dl(1,1 mmol/l),atau terapi khusus gangguan lipid Obesitas IMT > 30 kg/m2

dan/atau WHR L > 0,90 P > 0,85

WC L > 102 cm P > 88 cm

Waist girth L > 94 cm P ≥ 80 cm

Obesitas sentral

(WC) *

Asia: L ≥ 90 cm P ≥ 80 cm (nilai tergantung etnis) Gangguan Metabolisme glukosa -DMT2 -IGT

FBG >110 mg/dl FBG ≥ 6,1 mmol/l(110 mg/dl)

-FBG 110- 125 mg/dl -2 HPP 140- 200 mg/dl

FBG ≥ 100 mg/dl (5,6 mmol/l), atau didiagnosis DMT2 Lain-lain Mikroalbuminuria =kadar UAE semalaman > 20 µg/min(30 mg/g Cr)

Hiperinsulinemia (konsentrasi

insulin puasa > kuartil atas populasi non diabetes) Kriteria

diagnosis

-DMT2 atau IGT dan 2 kriteria di atas

-jika toleransi glukosa normal, diperlukan 3 kriteria

Minimal 3 kriteria -DMT2 atau IGT dan 2 kriteria di atas

-Jika toleransi glukosa normal, diperlukan 3 kriteria

Obesitas sentral

+ 2 kriteria di atas

(20)

Tabel 2.

Kriteria Diagnosis Klinis Sindroma Metabolik Menurut AHA/NHLBI 2005kutip dari 14

Nilai (3 dari 5 komponen SM) Cut points kategori

Lingkar pinggang meningkat ≥ 102 cm(≥ 40 in ) pada pria

≥ 88 cm(≥ 35 in) pada wanita

Trigliserida meningkat ≥ 150 mg/dl (1,7 mmol/l) atau

dalam pengobatan untuk trigliserida

Kolesterol HDL rendah Pria < 40 mg/dl ; wanita < 50 mg/dl atau

Dalam pengobatan untuk kolesterol HDL

Tekanan darah meningkat TDS ≥ 130 mmHg atau TDD ≥ 85 mmHg

atau dalam pengobatan hipertensi

Kadar gula darah puasa meningkat ≥ 100 mg/dl atau dalam pengobatan untuk

kadar gula darah

The American Heart Association(AHA) and National Heart, Lung and blood

Institute (NHLBI) mempublikasikan kriteria diagnosis baru untuk sindroma metabolik

dalam jurnal Circulation : Journal of American Heart Association, September 2005

memberikan rekomendasi kriteria sindroma ini sesuai dengan kriteria NCEP ATP III,

namun dengan beberapa modifikasi (table 2). Selain itu juga memberi data terbaru dari

penelitian ilmiah. Sindroma metabolik yang terdiri dari berbagai faktor resiko yang saling

berhubungan, meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler, aterosklerosis 1,5-3 kali

lipat dan meningkatkan resiko DM sebesar 3-5 kali lipat.19,23,24

Menurut AHA dan NHLBI terdapat individu yang tidak obes, tetapi memiliki

resistensi insulin dan faktor resiko metabolik terutama pada orang tua yang diabetes

atau keluarga inti maupun tingkat dua yang diabetes, juga pada individu dengan etnis

(21)

menyatakan bahwa ketika menegakkan diagnosis sindroma metabolik, tidak terlalu

diperlukan peningkatan lingkar perut, jika kriteria lainnya ada.19,23,24

IDF sendiri menetapkan obesitas abdominal merupakan yang parameter penting

dalam menegakkan sindroma metabolik. Hal ini berdasarkan nilai cut off masing-masing

etnis.21,22 . Sehubungan dengan itu International Diabetes Federation (IDF) mengajukan

kriteria sindroma metabolik yang dibuat untuk kepentingan klinik maupun penelitian,

yang menyediakan sarana diagnostik yang dapat dipakai diseluruh dunia dan

mengembangkan suatu daftar “platinum standard” tambahan yang harus dimasukkan

dalam penelitian-penelitian epidemiologi dan penelitian lain kedalam sindroma

metabolik.21

2.1.3. EPIDEMIOLOGI

Adanya defenisi sindroma metabolik yang banyak telah menimbulkan

kebingungan dan terbitlah begitu banyak studi dan dokumen riset yang membandingkan

kelebihan masing-masing defenisi. Sulit untuk membuat perbandingan langsung antara

data dari studi-studi tersebut karena menggunakan defenisi-defenisi yang berbeda.14,15,19

Prevalensi sindroma metabolik sangat bervariasi oleh karena beberapa hal

antara lain ketidak seragaman kriteria yang digunakan, perbedaan etnik/ras, umur dan

jenis kelamin. Walaupun demikian prevalensi sindroma metabolik dapat dipastikan

cenderung meningkat bersamaan dengan meningkatnya prevalensi obesitas maupun

obesitas sentral. Penelitian San Antonio Heart Study (1972-1982) melaporkan 15,8 %

dari 1125 orang Mexico-Amerika dan kulit putih berusia antara 25-64 tahun yang

sedikitnya ditemukan dengan dua faktor resiko, dan 4,8 % dengan tiga faktor resiko

kriteria sindroma metabolik WHO.Hasil penelitian Framingham Offspring Study

menemukan prevalensi pada pria sebesar 29,4 % dari 1144 dan 23,1 % dari 1295

(22)

Perbedaan dalam rerata prevalensi sindroma metabolik menggunakan defenisi

WHO, EGIR, dan ATP III dapat ditampilkan oleh data dari sebuah studi besar dari

Australia terhadap gaya hidup dan intoleransi glukosa yaitu studi AusDiab. Meskipun

masing-masing dari tiga defenisi tersebut mengidentifikasi berkisar 16 -21 % dari

populasi penduduk Australia memiliki sindroma metabolik (20,9 % menggunakan

defenisi WHO, 18,4 % menggunakan defenisi ATP III, 15,9 % menggunakan defenisi

EGIR), terdapat variabilitas yang luas dan hanya sekitar 9 % individu memenuhi kriteria

untuk ketiga defenisi tersebut.14-16,19,26

WHO memperkirakan sindroma metabolik banyak ditemukan pada kelompok

etnis tertentu termasuk beberapa etnis di Asia Pasifik, seperti India, Cina, aborigin,

Polinesia dan Milinesia.Penelitian WHO MONICA oleh Marques-Vidal dkk di Prancis

menemukan prevalensi lebih besar pada populasi pria (23 %) dibandingkan populasi

wanita(12 %). Prevalensi terbanyak ditemukan pada kelompok usia antara 55-64 tahun

yaitu pria 34 % dan wanita 21 %.15,17,20

Suatu penelitian National Health and Nutrition survey (NHANES) di Amerika

serikat dengan kriteria NCEP ATP III menemukan prevalensi sindroma metabolik

sebesar 22 % atau 47 juta orang dari populasi penduduk dewasa. Prevalensi meningkat

dengan bertambahnya umur, pada kelompok usia 20-29 tahun 6,5 % dan pada usia

60-69 tahun 43,5 %. Menurut jenis kelamin, prevalensi yang lebih besar ditemukan pada

wanita 24 % sedangkan pria 23,4 %. Menurut ras prevalensi terbesar ditemukan pada

kelompok etnis Amerika-Meksiko yaitu 31,9 %. Suatu penelitian di Makassar yang

melibatkan 330 orang pria berusia 30-65 tahun dan menggunakan kriteria NCEP ATP III

dengan ukuran batasan lingkar pinggang yang disesuaikan untuk orang Asia (mengikuti

klasifikasi usulan WHO untuk orang Asia dewasa yaitu ≥ 90 cm untuk pria dan ≥ 80 cm

untuk wanita) menemukan prevalensi sebesar 33,9 %. Pada kelompok pria yang

(23)

Pranoto dkk di Surabaya melakukan penelitian menggunakan kriteria WHO, NCEP ATP

III dan IDF mendapat prevalensi sindroma metabolik menurut WHO adalah 29 %, NCEP

ATP III sebesar 31 % sedangkan menurut IDF sebesar 32 %. Perbandingan pria dan

wanita pada kelompok sindroma metabolik menunjukkan pria lebih dominan.14-20,26

Data prevalensi sindroma metabolik di negara-negara yang berbeda dan dalam

kelompok-kelompok etnis yang berbeda jelas menunjukkan bahwa sindroma tersebut

merupakan suatu masalah besar di negara manapun di dunia dan bahwa jumlah mereka

yang mengalaminya terus meningkat. Pasien sindroma metabolik berisiko tinggi

menderita penyakit kardiovaskuler dan/atau diabetes tipe 2. Oleh karena itu penting

halnya bagi individu-individu untuk diidentifikasi dan ditangani sedini mungkin.14,25

2.1.4. SINDROMA METABOLIK DAN PENYAKIT KARDIOVASKULER

Sindroma metabolik dihubungkan dengan peningkatan resiko terjadi diabetes

dan penyakit kardiovaskuler.13 Pada studi DECODE meneliti pada pria dan wanita

eropa yang non diabetes dengan sindroma metabolik terdapat peningkatan resiko

kematian penyakit kardiovaskuler, dimana perbandingan antara dengan dan tanpa

sindroma metabolik adalah 1,44 dan 1,26 pada pria dan wanita 1,38 dan 2,78 menurut

usia,kadar kolesterol total dan merokok. Penelitian internasional INTERHEART

melaporkan dari 52 negara yang diteliti didapati 30.000 orang mempunyai resiko

penyakit kardiovaskuler. Studi ini memperlihatkan hubungan antara komponen sindroma

metabolik sebagai faktor resiko dan infark miokard. Komponen tersebut yang dapat

meningkatkan resiko kardiovaskuler adalah :(1) Peningkatan obesitas abdominal, (2)

kadar gula darah puasa atau 2 jam post prandial, (3) peningkatan tekanan darah, (4)

(24)

Gambar 1. Mekanisme Terjadi Sindroma Metabolik dikutip dari22

2.1.4.1. OBESITAS SEBAGAI PREDIKTOR KOMPLIKASI KARDIOVASKULER

Defenisi obesitas ialah indeks massa tubuh lebih dari 30 kg/m2. Pertemuan

federasi Diabetes Internasional di Berlin pada tanggal 14 April 2005, telah membuat

konsensus defenisi baru tentang sindroma metabolik, yaitu obesitas sentral ditambah

dengan penyakit penyerta yang multipel. Obesitas sentral menjadi pusat dari sindroma

metabolik, karena ‘jaringan adiposa’ yang paling berbahaya adalah jaringan yang

berupa jaringan adiposa viseral. Jaringan adiposa viseral memiliki kontribusi terhadap

terjadinya resistensi insulin dibanding dengan jaringan lemak subkutan.13,25,26,28,29

Jaringan adiposa memiliki fungsi utama sebagai unit penyimpanan energi. Pada

keadaan non-obes, tidak ada masalah metabolik yang ditimbulkan. Sedangkan pada

keadaan obes, terjadinya peningkatan asam lemak bebas yang berlebihan pada

akhirnya dapat menimbulkan gangguan lipolisis oleh insulin, peningkatan berbagai

petanda inflamasi, peningkatan angiotensin II, peningkatan derajat metabolik, gangguan

lipoprotein, peningkatan stess oksidatif, dan penurunan sintesa Nitric Oxide.

(25)

lipotoksisitas mencerminkan efek toksik dari trigliserida dan asam lemak yang

berlebihan terhadap sel sehat, seperti terlihat pada miokardium maupun sistim konduksi

di jantung.13

Jaringan adiposa telah diklasifikasikan sebagai organ yang secara aktif

mensekresi berbagai sustansi yang dikenal sebagai adipositokin, diantaranya ialah

TNF-α,interleukin-6,leptin,adiponektin, dan resistin yang berfungsi sebagai mediator berbagai

perubahan metabolik pada sindroma metabolik. Beberapa faktor tersebut merupakan

substansi yang secara langsung bersifat aterogenik. Leptin plasma, yang sebagian

besar berasal dari jaringan adiposa, meningkat pada penderia obes dan resistensi

insulin. Defesiensi leptin pada tikus dapat memproteksinya dari aterosklerosis meskipun

menimbulkan obesitas berat, sehingga plasma leptin dapat dipakai sebagai prediktor

terjadinya kejadian kardiovaskuler yang independen terhadap faktor resiko tradisional

seperti index massa tubuh dan kadar C-reaktive Protein (CRP). Sebaliknya kadar

plasma adiponektin menurun pada obesitas dan diabetes melitus tipe 2 dan bukti awal

memperlihatkan bahwa molekul ini memiliki sifat anti aterosklerosis pada binatang

model dan manusia. Keterkaitan antara adiponektin dengan obesitas dan faktor resiko

kardiovaskuler telah banyak dilaporkan. Penurunan kadar adiponektin baik pada subjek

dengan atau tanpa diabetes melitus tipe 1 diketahui dapat menimbulkan aterosklerosis

maupun memicu progresivitas klasifikasi pada pembuluh darah koroner, independen

terhadap faktor resiko kardiovaskuler yang lain.13-15,25

Subjek dengan obesitas sebenarnya berada dalam keadaan proinflamasi, hal ini

ditandai dengan adanya peningkatan kadar high sensitivity C- reactive protein (hs-CRP)

serum. Peningkatan hs-CRP secara tidak langsung mencerminkan tingginya kadar

sitokin dalam serum.13,19

Jaringan adiposa yang berlebihan juga meningkatkan pelepasan plasminogen

(26)

sehingga mencetus keadaan pro trombotik. Keadaan-keadaan ini tidak saja dapat

merangsang aterogenesis, tetapi juga dapat menimbulkan kerentanan untuk mengalami

kejadian kardiovaskuler, seperti sindroma koroner akut. Laporan dari Pathological

Determinats of Atherosclerosis in Youth (PDAY) yang berasal dari hasil otopsi pada

lebih kurang 3000 korban usia 15-34 tahun, yang meninggal karena berbagai sebab,

memperlihatkan bahwa obesitas merupakan konstributor terhadap aterosklerosis

koroner pada usia dewasa muda. Telah disepakati bahwa lingkar pinggang berdasarkan

jenis kelamin adalah parameter yang paling sensitif karena mencerminkan baik jaringan

adiposa abdominal, subkutan maupun visceral, dan ini merupakan index umum dari

massa lemak sentral.13-15,25

2.1.4.2. RESISTENSI INSULIN DAN KOMPLIKASI KARDIOVASKULER

Terminologi Resistensi Insulin sebagai suatu keadaan dimana kerja insulin di

jaringan perifer kurang efisien dibanding keadaan normal, sehingga terjadi peningkatan

sekresi insulin untuk mempertahankan kadar glukosa plasma pada level normal. Para

peneliti menyakini bahwa resistensi insulin merupakan proses patofisiologi yang

memegang peranan penting sebagai faktor resiko kardiovaskular pada sindroma

metabolik. Resistensi insulin atau hiperinsulinemia merupakan prediktor aterosklerosis

dan kejadian kardiovaskular yang independen terhadap faktor resiko lainnya seperti

kadar gula darah dan kadar lipid. Resistensi insulin bukanlah penyakit, namun

merupakan perubahan fisiologis yang dapat terjadinya resiko satu atau lebih kelainan,

seperti tercantum pada tabel 3. Semakin berat derajat resistensi insulin, makin tinggi

kadar hiperinsulinemi akibat mekanisme kompensasi, sehingga semakin memungkinkan

terjadi satu atau lebih kelainan tersebut. Telah diketahui bahwa insulin menyebabkan

terjadinya replikasi sel otot polos pada kultur sel maupun binatang percobaan.

(27)

tinggi pada kelompok penderita yang mengalami restenosis pasca angioplasti koroner

dibandingkan mereka yang tidak mengalami restenosis.13,14,25,26,28

Reseptor insulin terletak pada platelet dan memainkan peran penting pada fungsi

platelet normal. Interaksi insulin dan platelet berbeda pada individu dengan obesitas dan

non obesitas. Pada individu sehat non obesitas, insulin menghambat deposisi platelet

pada kolagen, dimana hal ini tidak terjadi pada individu dengan obesitas.13

Komponen sindroma metabolik memiliki keterkaitan dengan perubahan yang

terjadi pada ventrikel kiri, dan secara jangka panjang dapat memprediksi terjadinya

disfungsi ventrikel sebagai penyebab terjadinya gagal jantung. Pada penderita

hipertensi, ketebalan dinding ventrikel kiri berhubungan dengan tingginya tekanan

darah(r=0.4, p <0.004 ) dan secara independen berkaitan dengan sensitivitas insulin(

r=-0.59,p< 0,0001), memperlihatkan bahwa ada hubungan antara hipertropi ventrikel kiri

dengan disfungsi diastolik dengan resistensi insulin sindroma metabolik. Pengamatan

yang dilakukan selama 20 tahun pada laki-laki kelompok usia pertengahan,

memperlihatkan bahwa faktor-faktor yang berkaitan dengan resistensi insulin telah

ditemukan sebelum terjadinya disfungsi diastolik, dan keadaan tersebut independen

terhadap hipertensi maupun penyakit jantung koroner.13,28

Resistensi insulin, diabetes melitus tipe 2 dan obesitas juga merupakan

faktor-faktor resiko untuk terjadinya gagal jantung. Sebaliknya gagal jantung menimbulkan

resistensi insulin dan berkaitan dengan terjadinya diabetes melitus tipe 2, melalui

mekanisme peningkatan aktivitas simpatis yang berlebihan, disfungsi endotel,

pengurangan massa otot skeletal, atau peningkatan sitokin di sirkulasi seperti TNF-α.

Hal tersebut mendasari pendapat bahwa gagal jantung dan resistensi insulin adalah dua

(28)

Tabel 3.

Kelainan yang dapat terjadi berkaitan dengan resistensi insulin/hiperinsulinemi

dikutip dari 13

Intoleransi glukosa

Glukosa puasa terganggu

Toleransi glukosa terganggu

Gangguan metabolisme asam urat

Peningkatan kadar asam urat plasma

Penurunan bersihan asam urat ginjal

Dislipidemi

Peningkatan kadar trigliserida

Penurunan kadar kolesterol-HDL

Penurunan diameter partikel LDL

Peningkatan lipedemia post prandial

Pengaruh terhadap hemodinamik

Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik

Peningkatan retensi natrium ginjal

Peningkatan tekanan darah

Pengaruh terhadap hemostatik

Peningkatan kadar inhibitor plasminogen aktivator-1(PAI-1)

Peningkatan kadar fibrinogen

Disfungsi endotel

Peningkatan mononuclear cell adhesion

Peningkatan konsentrasi plasma cellular adhesion molecules

Peningkatan asymetric dimethyl arginine

Penurunan nitrit oxyde

Bukti-bukti baru menduga bahwa kualitas imunitas tubuh dan inflamasi kronis

memainkan peran penting terhadap terjadinya resistensi insulin dan memprediksi

(29)

Gambar 2. Patofisiologi penyakit kardiovaskuler/aterosklerosis pada sindroma metabolik.

Adipositas sentral dan gangguan imunitas merupakan kunci terhadap terjadinya resistensi insulin, inflamasi kronis dan gambaran sindroma metabolik melalui efek dari adipokin(leptin,

adiponektin,rsitin) dan sitokin(TNF α, interleukin-6) pada hati,otot skelet dan sel-sel

imunitas.Monosit/makrofag dan berbagai faktor yang berasal dari jaringan lemak dapat memiliki efek aterotrombosis langsung yang mencetuskan terjadinya kejadian kardiovaskuler. Varian genetik dan faktor lingkungan dapat berdampak terhadap timbulnya aterosklerosis pada berbagai tahap,melalui pengaruhnya terhadap adipositas sentral, gangguan imunitas,metabolisme glukosa dan lipoprotein dan fungsi vaskuler. (dikutip dari 25)

2.1.4.3. DISLIPIDEMI ATEROGENIK

Dislipidemi adalah tipikal pada sindroma metabolik, dengan gambaran berupa

trigliserida dan penurunan kolesterol HDL.Kadar kolesterol LDL plasma sering kali

(30)

lebih kecil dan densitasnya lebih tinggi dibanding dengan LDL normal, dan perubahan ini

dilaporkan berkaitan dengan peningkatan resiko kardiovaskuler.13,29-31

Namun demikian, mekanisme terjadinya dislipidemi pada sindroma metabolik

masih berupa hipotesa. Dugaan bahwa peningkatan trigliserida sebagai akibat

peningkatan asam lemak bebas dari perifer ke hati, tidak didukung oleh bukti yang kuat,

dan lebih mengarah antara faktor - faktor genetik dan lingkungan. Demikian juga

penurunan kadar kolesterol HDL, bukanlah sebagai akibat peningkatan kadar

trigliserida, karena sering kali ditemukan kadar kolesterol HDL rendah pada individu

dengan resistensi insulin meskipun kadar trigliserida masih dalam batas normal. Salah

satu mekanisme yang diduga terlibat ialah bahwa selama proses inflamasi subklinis,

peningkatan sitokin akan meningkatkan juga produksi enzim lipase yang bekerja pada

fosfolipid HDL, sehingga menurunkan kandungan lipid HDL, yang selanjutnya akan

meningkatkan katabolisme. Sebagai faktor resiko kardiovaskuler, baik hipertrigliseridemi

maupun penurunan kadar kolesterol HDL, telah diketahui sebagai faktor resiko

independen untuk terjadinya aterosklerosis maupun kejadian kardiovaskuler.,30,31

HDL mempunyai fungsi lain dalam proteksi terhadap PJK. Seperti misalnya anti

inflamasi dan antioksidan. Studi eksperimental memperlihatkan potensi langsung

antiaterosklerosis HDL yang secara kuat mendukung epidemiologi dan studi klinis yang

menyatakan hasil klinis yang tampak dalam meningkatkan HDL bukanlah efek sekunder

terhadap faktor resiko lain, dan menetapkan untuk memperbaharui bahwa evaluasi

dalam menetapkan HDL sebagai target dalam pencegahan dan pengobatan PJK.30,31

Banyak pasien dengan HDL yang rendah juga disertai trigliserida yang tinggi dan

peningkatan konsentrasi trigliserida remnant kaya lipoprotein yang sangat aterogenik

(diturunkan dari kilomikron dan VLDL). Studi PROCAM memperlihatkan resiko tinggi

terkait dengan profil lipid tertentu. Pasien seperti ini umumnya mempunyai obesitas

(31)

insulin puasa. Peningkatan produksi VLDL dan terganggunya lipolisis VLDL

menyebabkan peningkatan trigliserida dengan HDL yang rendah. Trigliserida yang tinggi

merupakan indikasi tingginya kilomikron yang aterogenik dan remnant VLDL dan

remnant yang kaya trigliserida ini yang mempunyai apolipoprotein C-III berhubungan

dengan meningkatnya resiko PJK. Resistensi insulin menyebabkan meningkatnya

produksi VLDL.30

Hubungan antara HDL dan kejadian PJK adalah kurvalinier dan cerminan kurva

yang terkait dengan LDL seperti terlihat dalam Framingham Heart Study. HDL yang

rendah merupakan prediktor PJK pada kedua jenis kelamin. Meta analisis dari 4 studi

epidemiologi prospektif besar merumuskan hubungan antara HDL dan resiko

kardiovaskuler. Setiap peningkatan 1 mg/dl HDL sepadan dengan penurunan resiko PJK

sebanyak 2 % pada laki-laki dan 3 % pada perempuan. Dengan kata lain , penekanan

konsentrasi HDL meningkatkan resiko PJK pada berbagai level LDL dan trigliserida,

pada pasien dengan maupun tanpa diabetes, pria maupun wanita dan mereka dengan

atau tanpa PJK.30

Survei-survei di Amerika Serikat NHANES III(1988-1992) memperlihatkan HDL

<40 mg/dl terjadi pada 35 % pria dan 55 % wanita. Bagaimanapun persentase teringgi

wanita dan pria yang terkena PJK mempunyai HDL <40 mg/dl. Pada studi Framingham,

57 % pria mendapat PJK dengan HDL <40 mg/dl dan dalam CARE studi kira-kira 40 %

wanita mempunya infark miokard dengan HDL <40 mg/dl.30

2.1.4.3.1. Peranan Kolesterol HDL pada Aterosklerosis 29,30,32

Terdapat 2 jalur utama HDL dapat mengubah dinding arteri,yaitu :

1. Mempengaruhi reverse cholesterol transport dengan membantu

efflux /pengeluaran lemak dari dinding arteri.

(32)

detoksifikasi lemak teroksidasi pada plak aterosklerosis.

Reverse Cholesterol Transport membuang kelebihan kolesterol bebas pada

sel-sel di jaringan perifer, terutama makrofag pada dinding arteri, mengembalikan kolesterol

ke hati untuk kemudian diekskresikan ke empedu. HDL berperan dalam 2 proses ini

melalui 2 jalur :

1) Jalur langsung

2) Memindahkan kolesterol melaui VLDL dan LDL.

Plak aterosklerosis memuat partikel LDL dan sel-sel inflamasi seperti limposit

T dan makrofag berisi lipid. Saat kontak dengan plak seperti itu, partikel HDL

menjadi lebih sferis karena mengambil kolesterol. HDL juga mengambil

apolipoprotein E yang disintesis oleh makrofag.

Juga terdapat kemajuan dalam pengetahuan molekuler pada jalur langsung

metabolisme kolesterol dan HDL. Peneliti-peneliti dari institut teknologi

Massachusetts menemukan scavenger reseptor B-1(SR-B1). SR-B1 merupakan

protein transmembran yang mengikat HDL dan memungkinkan HDL membongkar

muatan kolesterol dan membawa ke sel seperti sel hepatosit.

Melalui apolipoprotein E yang berikatan dengan B,E reseptor (reseptor LDL)

ataupun melalui SR-B1 untuk memetabolisme kolesterol di hati dan diekskresikan

melalui empedu.

Reseptor SR-B1 memiliki peran penting dalam mengangkut kolesterol untuk

pembentukan hormon steroid. Banyak metabolisme HDL terjadi di adrenal dan

gonad, dan SR-B1 mengangkut kolesterol yang merupakan bahan dari steroid

hormon sex maupun steroid adrenal.

HDL memodifikasi ateroma tidak hanya dengan mempengaruhi metabolisme

kolesterol juga karena adanya efek inflamasi. Inflamasi berperan dalam berbagai

(33)

HDL disini merupakan faktor endogen penting dalam memecahkan proses

inflamasi ini.

HDL membawa serta enzim-enzim antioksidan yang dapat memecah lemak

proinflamasi yang aktif dan teroksidasi. Enzim ini dikenal sebagai paroxonase dan

platelete activating factor (PAF) ,acetylhyrolase; enzim yang terutama berperan

dalam metabolisme fosfolipid.

Fosfolipid multioxygenated merupakan bahan untuk paroxonase pada

HDL.Jika konsentrasi paroxonase rendah atau kadar lipid paroxide tinggi, fragmen

fosfolipid teroksidasi menjadi bahan untuk mekanisme pertahanan kedua yaitu

PAF-AH. Kerja substrat ini adalah menghidrolisis lipid-lipid aktif menjadi molekul yang

tidak menimbulkan respon inflamasi pada sel endotel. Jalur biokimiawi ini

memungkinkan suatu mekanisme agar tubuh terbebas dari fosfolipid teroksidasi

yang toksik, yang tampaknya berperan dalam proses inflamasi yang menghasilkan

plak aterosklerotik.

2.1.4.4. HIPERTENSI PADA SINDROMA METABOLIK

Hipertensi merupakan diantara berbagai penyulit akibat obesitas. Peranan

peningkatan berat badan sebagai penyebab hipertensi telah dibuktikan pada penelitian

eksperimental maupun pada observasi klinik dan penelitian populasi. Pada penelitian

United States Community Hypertension Evaluation Clinic yang memeriksa lebih dari

satu juta penduduk di Amerika serikat, didapatkan prevalensi hipertensi 50-300 % lebih

tinggi pada kelompok individu yang digolongkan obes dibandingkan kelompok non obes.

Hasil-hasil penelitian menyebutkan bahwa peningkatan 1 kg berat badan meningkatkan

resiko hipertensi lebih besar pada obesitas sentral dibanding obesitas perifer. 13,33

Berbagai faktor dalam sindroma metabolik ikut berperan dalam terjadinya

(34)

dengan tekanan darah, dan mempunyai kaitan erat dengan prevalensi dan insiden

hipertensi.The Olivetty Heart Study melaporkan bahwa lingkar pinggang merupakan

prediktor independen terkuat terhadap peningkatan tekanan darah(p<0,001) dan bersifat

independen terhadap indeks massa tubuh maupun resistensi insulin. Peningkatan

aktivitas sistem saraf simpatik akibat hiperinsulinemi juga memegang peran penting

dalam peningkatan resistensi perifer, sehingga mengalahkan efek vasodilator langsung

dari insulin. Mekanisme tersebut juga menempatkan hiperinsulinemi sebagai mata rantai

antara hipetensi, obesitas dan gangguan toleransi glukosa. Hipertensi sendiri

merupakan resiko independen untuk penyakit jantung koroner maupun berbagai

komplikasi target organ lain.33

Patogenesis hipertensi pada obesitas bersifat kompleks dan melibatkan berbagai

mekanisme. Dua mekanisme utama yang berperan pada terjadinya hipertensi pada

obesitas yaitu :33

a.Resistensi natrium

Pada obesitas terjadi gangguan pressure natriuresis dari ginjal. Pressure natriuresis

adalah fenomena dimana bila terjadi peningkatan tekanan darah di atas normal maka

akan terjadi peningkatan ekskresi natrium dan air dari ginjal yang tujuannya untuk

menurunkan tekanan darah. Pada obesitas, kurve pressure natriuresis ini bergeser ke

kanan menjadi lebih tinggi. Dengan kata lain dibutuhkan tekanan darah yang lebih tinggi

baru terjadi pressure natriuresis. Gangguan ekskresi natrium dan air ini disebabkan oleh

aktifasi sistim saraf simpatis dan sistim renin angiotensin aldosterone (RAA),

peningkatan tekanan intrarenal serta adanya resistensi insulin.

b. Peningkatan resistensi perifer

Insulin mempunyai efek vasodilatasi yang meregulasi resistensi vaskuler perifer.

Insulin disamping memghambat influx kalsium juga menstimulasi transpor glukosa dan

(35)

transkripsi Ca2+ ATPase dan meningkatkan eflux kalsium sel,yang pada akhirnya akan

menurunkan resistensi perifer. Pada obesitas dimana terjadi resistensi insulin, sehingga

efek insulin ini tidak terjadi; dalam hai ini tidak menyebabkan penurunan resistensi

perifer. Di lain pihak, pada obesitas terjadi aktifasi sistem saraf simpatis dan sistem RAA

yang menyebabkan vasokonstriksi. Sebagai hasil akhir dari resistensi insulin serta

aktifasi sistem RAA ini adalah terjadinya peningkatan resistensi perifer.

Resistensi natrium dan peningkatan resistensi perifer ini disebabkan oleh

interaksi berbagai faktor, sebagai berikut :33

1) Peningkatan aktivitas saraf simpatis

2) Resistensi insulin

3) Peningkatan tekanan intrarenal peningkatan kadar leptin

4) Peningkatan kadar asam lemak bebas

5) Aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron

6) Penurunan kadar atrial natriuretic peptide

7) Obstructive sleep apnea

8) Disfungsi endotel.

2.1.4.5. DERAJAT PRO TROMBOTIK DAN PRO INFLAMASI

Komponen penting dari sindroma metabolik adalah adanya disfungsi sistem

trombosis dan fibronolisis. Seperti dapat dilihat pada tabel 3, pada penderita

hiperinsulinemi dapat terjadi peningkatan fibrinogen, PAI-1 dan mungkin berbagai faktor

koagulasi lainnya. Demikian juga dengan petanda inflamasi seperti hs-CRP.

Pengukuran kedua faktor tersebut belum secara rutin dilakukan. Kadar hs-CRP pada

penderita sindroma metabolik dengan jenis kelamin pria merupakan prediktor

independen pada penyakit jantung koroner maupun resiko diabetes. Peningkatan

(36)

juga melaporkan bahwa hs-CRP merupakan prediktor kuat,tidak hanya untuk infark

miokard dan stroke, tetapi juga insiden diabetes melitus tipe 2. hs-CRP juga berkorelasi

kuat dengan jumlah gangguan metabolik (dislipidemi, obesitas, hipertensi dan resistensi

insulin).13,25,26,

Ada empat penjelasan yang mungkin mendasari keterkaitan antara sindroma

metabolik dan peningkatan inflamasi. Pertama, keterkaitan tersebut merupakan

cerminan adanya pencetus proses proinflamasi terhadap terjadinya resistensi insulin

dan diabetes; kedua, peningkatan hs-CRP merupakan akibat dari proses

aterosklerosis;ketiga, penurunan sensitivitas insulin dapat meningkatkan ekspresi

hs-CRP; keempat, sitokin yang dihasilkan oleh jaringan adiposa dapat menjadi pencetus

proses tersebut.

Peningkatan PAI-1 berkaitan dengan sindroma metabolik, ateroklerosis dan

resiko aterotrombosis. Peningkatan ekspresi PAI-1 merupakan efek langsung dari

insulin, dan pengobatan yang dapat mengatasi keadaan hiperinsulinemi terbukti dapat

menurunkan kadar PAI-1 dan memperbaiki penebalan intima dan dinding arteri karotis.

Dengan asumsi bahwa pada individu dengan sindroma metabolik telah terjadi

peningkatan derajat pro trombotik maupun proinflamasi maka direkomendasikan untuk

memberi aspirin begitu kriteria diagnosa telah terpenuhi.13,25

2.2. PENYAKIT ARTERI PERIFER

Penyakit Arteri Perifer (PAP) merupakan manifestasi utama dari aterosklerosis

sistemik pada daerah tungkai. Para dokter sering kali salah mendiagnosa peyakit ini

sebagai kelainan muskoloskeletal atau neurologis. Pasien dengan PAP simptomatik

mempunyai gangguan fungsi yang sering sulit dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

PAP merupakan suatu petanda adanya kejadian kardiovaskuler (miokard infark, stroke)

(37)

2.2.1. DEFENISI

PAP adalah penyakit arteri obstruksi pada tungkai bawah dimana aliran arteri

menurun selama beraktivitas, atau pada tahap lanjut juga dijumpai saat istirahat.

Adanya PAP bervariasi dan diawali dengan penyakit arteri yang asimptomatik yang

dijumpai abnormal bila dideteksi dengan pemeriksaan noninvasif, yang simptomatik

didapati dengan adanya keluhan klasik atau klaudicatio intermitten atau critical limb

ischemia (CLI)5.Klasik klaudikatio intermitten ditandai adanya exertional discomport

pada saat beraktivitas pada daerah tungkai bawah dan hilang bila beristirahat. Adanya

manifestasi CLI ditandai timbulnya ischemic rest pain (nocturnal foot/toe discomport

yang mengganggu tidur) , luka yang tidak sembuh karena ulkus iskemik (adanya nyeri,

kulit yang kering didaerah tulang distal yang menetap atau jempol kaki), atau gangren.6

Lebih dari 50 % pasien dengan PAP yang asimptomatik atau simtom yang

atipikal, dan 10 % pasien pada CLI. Pasien dengan CLI tanpa simptom sebelumnya,

contoh klasik pada pasien diabetes mellitus yang mendapat trauma minor pada daerah

kaki sesudah menggunakan sepatu yang tidak nyaman dan kemudian mendapat

gangren, dimana sebelumnya tidak pernah ada keluhan klaudikasio.5

2.2.2. EPIDEMIOLOGI

Penyakit Arteri Perifer terjadi pada penduduk Amerika hampir mencapai 8-12

juta orang dan meningkat seiring dengan pertambahan usia. Di Amerika Serikat terdapat

4,3 % individu usia diatas 40 tahun dan 14,5 % diatas 70 tahun yang mendapat PAP.

Studi epidemiologi mendapatkan angka prevalensi berkisar 1,6-12 % , sedangkan

beberapa studi lain menggunakan deteksi penyakit tersebut dengan tes noninvasif

mendapatkan prevalensi sebesar 3,8 %-33 %.5,34-36

Ankli Brachial Index (ABI) yaitu perbandingan tekanan darah sistolik arteri

(38)

pada lengan menggunakan doppler yang telah divalidasi dibanding angiografi dengan

spesifisitas 95 % dan sensitivitas hampir 100 %. Dalam praktek klinis, alat ini sangat

mudah, murah dan akurat sehingga mudah dalam menggunakannya untuk

menegakkan suatu PAP. 5

PAP dinilai abnormal bila nilai ABI ≤ 0,9. Prevalensi PAP menggunakan tes non

invasif yang telah dilaporkan 2,5 % usia 40-59 tahun, 8,3 % usia 60-69 tahun dan 18,8

% usia 70-79 tahun.5,34-37

2.2.3. PATOFISIOLOGI 41

Aterosklerosis merupakan proses komplex yang melibatkan disfungsi endotel,

gangguan lipid, aktivasi platelet, trombosis, stres oksidatif, aktvasi otot polos vaskuler

dan faktor genetik.

Aterosklerosis sering terjadi pada bifurkasio arteri dan cabangnya dimana terjadi

gangguan terhadap mekanisme ateroproteksi endogen yang menghasilkan efek

gangguan aliran pada sel endotel. Faktor resiko seperti peningkatan usia, diabetes

melitus, merokok, peningkatan kolesterol total dan low density lipoprotein(LDL) dan

hipertensi berperan penting dalam proses inisiasi dan aselerasi aterosklerosis.

Tingkatan aterosklerosis dibagi atas adanya lesi , pembentukan lapisan lemak,

ateroma fibroproliferatif. Adanya lesi berasal dari disfungsi endotel, dimana lapisan

lemak terjadi adanya lesi inflamasi yang pertama kali mempengaruhi arteri intima dan

terjadi pembentukan sel busa. Lapisan lemak terdiri dari sel otot polos, monosit,

makrofag dan sel T dan B. Atero fibroproliferatif berasal dari lapisan lemak yang terdiri

dari banyaknya sel otot polos yang berisi lemak. Pada lesi tahap lanjut dihasilkan dari

akumulasi sel yang membuat lapisan lemak dan atero proliferatif. Lesi tahap lanjut kaya

akan sel yang terdiri dari sel dinding vaskuler intrinsik (endotel dan otot polos) dan sel

(39)

Kompensasi arteri diawali dengan terjadi pembentukan aterosklerosis yang

dapat menyebabkan pembuluh darah meningkat ukurannya. Lesi tahap lanjut yang

mengganggu lumen yang akhirnya aliran darah menjadi terbatas sehingga terjadi

stenosis dan sindroma iskemik kronis.

Kejadian arteri akut terjadi jika adanya sumbatan fibrous yang mengganggu;

hasilnya terjadi pembukaan prothrombotic necrotic lipid core dan jaringan subendotel

yang memudahkan terbentuk trombus dan terjadi oklusi aliran darah.

2.2.4. FAKTOR RESIKO

Faktor resiko terjadinya PAD yaitu :

a. Faktor resiko tradisional41,

Adanya aterosklerosis pada pembuluh arteri karotis, koroner dan pembuluh

darah tepi. Pada penelitian Famingham Heart study, Cardiovascular Health Study, PAD

Awareness, Risk and Treatment: New Resources for Survival(PARTNERS) program,

NHANES dan Atherosclerosis Risk in Communities(ARIC) Study, menyatakan bahawa

faktor resiko utama PAP termasuk peningkatan usia, merokok, diabetes melitus,

dislipidemia dan hipertensi. Merokok dan diabetes melitus menempati urutan terbesar

terjadi PAP.

- Usia

Prevalensi PAP meningkat seiring dengan pertambahan usia. Pada Framingham

Heart study didapati usia ≥ 65 tahun meningkat resiko PAP. Hubungan yang kuat

bertambahnya usia (≥ 70 tahun) dan prevalensi PAP dilaporkan NHANES dimana 4,3 %

usia 40 tahun atau lebih dibandingkan dengan 14,5 % usia 70 tahun atau lebih.

Criqui dkk telah melaporkan prevalensi PAP (dengan ABI abnormal) 2- 3 %

individu usia ≤ 50 tahun dibanding 20 % usia 75 tahun atau lebih, PARTNERS program

(40)

dengan riwayat merokok atau diabetes. Meskipun PAP didapati juga pada usia ≤ 50

tahun tetapi jumlahnya kasus sangat kecil.

- Merokok41-43

Merokok merupakan salah satu faktor resiko yang sangat penting terjadi PAP

dan komplikasinya : intermitten claudicatio dan critical limb ischemia. Merokok

meningkatkan resiko PAP 4 kali lipat dan onset terjadi PAP berhubungan dengan jumlah

batang yang dihisap dan juga lamanya merokok.

Perbandingan merokok dan tidak merokok pada PAP didapati dua kali lebih

sering untuk dilakukan amputasi dan terjadi critical limb ischemia pada yang merokok.

Hubungan merokok dan PAP dua kali lebih kuat dibandingkan antara merokok dan

penyakit jantung koroner.

- Diabetes Melitus4145

Diabetes Melitus akan meningkatkan resiko PAP asimptomatik atau simptomatik

PAP sebesar 1,5-4 kali lipat dan berhubungan dengan kejadian kardiovaskuler dan

mortalitas pada individu dengan PAP.

Pada penelitian Farmingham heart study didapati 20 % pasien PAP yang

simptomatik dilaporkan mendapat diabetes. NHANES melaporkan diagnosa PAP

menggunakan ABI didapati 26 % dengan diabetes, sementara Edinburgh Arteri Study

menggunakan kwesioner WHO atau nilai ABI < 0,90 didapati prevalensi PAP lebih tinggi

dengan diabetes atau intoleransi glukosa (20,6 %) dibanding dengan normal glukosa

(12,5 %). Multi Ethnic study of Atherosclerosis (MESA) menjumpai 26 % wanita dan 27,5

% pria dengan nilai ABI < 0,90 mendapat diabetes.

Pada pasien diabetes, prevalensi PAP berhubungan dengan usia dan lamanya

menderita diabetes. Diabetes merupakan faktor resiko yang lebih kuat terjadi PAP pada

pria dan wanita, dan prevalensi PAP lebih tinggi pada orang Afrika Amerika dan

(41)

Tingkat keparahan diabetes berperan penting dalam terjadi PAP. Terdapat 28 %

peningkatan resiko PAP pada setiap peningkatan HbA1c, dan lamanya menderita

hiperglikemi.

Diabetes mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan penyakit oklusi pada

arteri tibialis. Pasien diabetes dengan PAP lebih sering mendapat mikroangiopati atau

neuropati dan terjadi gangguan penyembuhan luka dibanding PAP sendiri. Pasien PAP

yang mendapat diabetes mempunyai resiko lebih tinggi terjadi ulkus iskemik dan

gangren.

Diabetes dipercayai merupakan kontribusi terjadi resiko peningkatan PAP.

Pasien diabetes lebih sering mendapatkan faktor resiko tambahan PAP pada pengguna

tembakau, peningkatan tekanan darah , dan peningkatan trigliserida, kolesterol dan

kelainan lipid lainnya. Hal ini juga terjadi inflamasi vaskuler, disfungsi sel endotel, dan

sel otot polos vaskuler yang abnormal dibanding dengan tanpa diabetes. Sebagai

tambahan diabetes juga dapat terjadi peningkatan agregasi trombosit dan gangguan

fungsi fibronolitik.

- Hiperlipidemia41

Pada Framingham Heart Study didapati hubungan peningkatan kolesterol total

dengan dua kali peningkatan klaudikasio intermitten. NHANES melaporkan lebih dari 60

% individu dengan PAP terdapat hiperkolesterolemia, sedangkan PARTNERS

menemukan prevalensi hiperlipidemi pasien dengan PAP sebesar 77 %.

Hiperlipidemia meningkat 10 % setiap peningkatan 10 mg/dl kolesterol total.

Peningkatan total kolesterol, LDL kolesterol, very low density lipoprotein (VLDL)

kolesterol dan trigliserida merupakan faktor resiko independen terjadi PAP, dimana

peningkatan high density lipoprotein (HDL) kolesterol dan apolipoprotein A-1 sebagai

(42)

Bentuk dislipidemia paling sering pada pasien PAP adalah kombinasi penurunan

HDL kolesterol dengan peningkatan trigliserida yang sering didapati pada pasien

sindroma metabolik dan diabetes. Pada Cardiovascular Health study keduanya didapati

berhubungan dengan penurunan nilai ABI. ARIC study dan Edinburgh Artery Study pada

pasien diabetes didapati hanya peningkatan trigliserida yang berhubungan dengan PAP.

- Hipertensi

Hampir semua penelitian epidemiologi menunjukkan hubungan yang kuat antara

hipertensi dengan PAP, dimana 50-92% didapati PAP dengan hipertensi. Pada

penelitian NHANES dan PARTNERS melaporkan hubungan PAP dengan hipertensi

masing-masing 74 % dan 92 %. Cardiovascular Health Study melaporkan 52 % pasien

dengan nilai ABI kurang dari 0,90 didapati tekanan darah tinggi dan Framingham Study

menunjukkan peningkatan 2,5-4 kali lipat resiko klaudikasio intermiten pada pria dan

wanita dengan hipertensi. Pada Systolic Hypertension in Elderly (SHEP) melaporkan

25,5 % partisipan dengan nilai ABI < 0,90.

The Seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,

evaluation and Treatment of High Blood Pressure menyatakan bahwa PAP merupakan

faktor ekuivalen terjadi penyakit jantung koroner.

Pasien dengan hipertensi dan PAP peningkatannya lebih besar terjadi stroke dan

miokard infark. SHEP study dewasa dengan usia lebih tua pada hipertensi sistolik

mendapatkan nilai ABI ≤ 0,90 berhubungan dengan 2-3 peningkatan mortalitas

(43)

b. Faktor resiko Non Tradisional

- Ras/etnis41

Beberapa penelitian menunjukkan PAP terjadi ketidakseimbangan prevalensi

pada populasi kulit hitam dan hispanis walaupun sesudah dimasukkan faktor resiko

tradisional. Usia dan jenis kelamin pada data NHANES menunjukkan orang kulit hitam

non hispanis kira-kira meningkat PAP tiga kali dibanding non hispanis kulit putih. Pada

penelitian Multi Ethnic Study of atherosclerosis menggambarkan paling tinggi prevalensi

PAP pada kulit hitam pria dan wanita dan paling rendah pada wanita Hispanis dan pria

cina.

Criqui dkk menyimpulkan kelebihan PAP pada orang kulit hitam tidak dapat

dijelaskan dan tidak berhubungan dengan diabetes, hipertensi dan index massa tubuh.

- Inflamasi41

Peningkatan petanda inflamasi CRP, fibrinogen, interleukin 6(IL-6), lekosit telah diteliti

pada pasien dengan aterosklerosis pada pembuluh darah arteri perifer. Hubungan PAP

tidak begitu jelas dan hanya beberapa penelitian mendapatkan hubungan tersebut.

Ridker dkk mendapatkan pada Physicians health Study adanya peningkatan CRP yang

merupakan prediksi terjadi PAP . NHANES melaporkan peningkatan fibrinogen dan CRP

yang berhubungan dengan PAP, Wildman dkk menyatakan peningkatan CRP atau

fibrinogen atau peningkatan jumlah lekosit meningkatkan resiko PAP dua kali lipat.

McDermott dkk menjumpai peningkatan fibrinogen, CRP, dan IL-6 pada pria dan wanita

(44)

-Gagal Ginjal Kronik41

Sangat sedikit penelitian epidemiologi pada gagal ginjal kronik (penurunan fungsi

ginjal pada pasien yang tanpa dialisis dan tanpa transplantasi) mendapat resiko PAP.

Prevalensi PAP menurut National Institutes of Health’s United states Renal Data

System pada tahun 1999 sebesar 15 %. NHANES melaporkan 24 % populasi usia 40

tahun keatas dengan renal insufisiensi (nilai kreatinin klirens< 60 ml/min/1,73 m2)

mendapat PAP, dibanding dengan 3,7 % yang nilai kretinin klirens > 60 ml/min/1,73.

Prevalensi nilai ABI abnormal lebih tinggi pada gagal ginjal tahap akhir (yang

menjalani hemodialisis) dibanding gagal ginjal kronik sebesar 30% dan 38 %. PAD pada

gagal ginjal kronik meningkat terjadinya critical limb ischemia, sedang gagal ginjal tahap

akhir meningkat terhadap resiko amputasi.

Hubungan PAP dengan gagal ginjal kronik secara independen pada diabetes,

hipertensi, etnis dan usia, dan meskipun secara nyata alasannya belum diketahui,

mungkin berkaitan dengan peningkatan inflamasi vaskuler dan ditandai adanya

peningkatan homosistein plasma pada gagal ginjal kronik.

- Genetik41

Predisposisi genetik PAP didukung oleh observasi peningkatan angka penyakit

kardiovaskuler (termasuk PAP) pada pasien dengan klaudikasio intermitten.Meskipun

hubungan genetik dengan lingkungan secara patogenesis terjadi PAP sangat sulit

dipisahkan, satu studi menjumpai satu dari empat pasien kembar dengan PAP

mendapat kejadian vaskuler sebelum usia 55 tahun dan setengahnya mendapat keluhan

(45)

-Hiperkoagulasi41

Hiperkoagulasi atau trombofilia merupakan faktor resiko yang jarang pada PAP.

Pada beberapa pasien tertentu seperti individu lebih muda yang tidak mempunyai faktor

resiko tradisional, pasien dengan riwayat keluarga aterosklerosis dini, dan individu yang

revaskularisasi arteri yang gagal tanpa alasan teknik apapun setelah dievaluasi kondisi

tersebut didasari adanya hiperkoagulasi.

Beberapa penelitian menyarankan adanya hubungan independen antara PAP

dan perubahan faktor hemostasis termasuk lipoprotein (a), homosistein, antibodi

antipfosfolipid dan D-dimmer.

Evaluasi peningkatan homisistein dan lipoprotein (a) kelihatan penting pada

individu dengan PAP yang tanpa faktor resiko tradisional. Hiperhomositenemia

dihubungkan dengan aterosklerosis dini dan faktor resikonya lebih kuat pada PAP

dibanding penyakit jantung koroner.

- Rasio waist to hip abnormal 41

Meskipun hubungan ini belum jelas terhadap PAP dan IMT, tetapi hubungan

obesitas abdominal dengan PAP telah dilaporkan. Planas dkk menggambarkan

peningkatan waist to hip ratio (>0,966) dihubungkan dengan 1,7 kali lipat peningkatan

resiko PAP setelah diadjust dengan covariatenya.

2.2.5. DIAGNOSA

Untuk diagnosa yang akurat diperlukan anamnnese yang baik. Adanya faktor

resiko terjadi aterosklerosis merupakan anamnese yang baik untuk mengetahui keadaan

pasien. Pada pasien yang asimptomatik diperlukan pemeriksaan fisik atau tes non

invasif. 13

Klaudikasio intermitten yang klasik terjadi bila timbulnya rasa nyeri dan adanya

Gambar

Tabel 1. Kriteria Diagnosis sindroma Metabolik dikutip dari 19
Tabel 2.
Gambar 1. Mekanisme Terjadi  Sindroma Metabolik dikutip dari22
Tabel 3.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Literatur kedua yang digunakan penulis untuk rumusan masalah kedua diambil dari buku karangan Zacky Anwar Makarim yang berjudul Hari-hari Terakhir Timor Timur Sebuah Kesaksian

suitable examined by qualitative method. After that, the researcher determined the poem whichis analyzed by looked for the poems content of metaphor. 2) Identification, the

Kebutuhan sehubungan dengan bahan katoda yang digunakan dalam SOFC termasuk aktifitas elektrokimia yang baik, konduktifitas elektronik yang tinggi, porositas yang sesuai dan

The machine learning algorithms deployed on low-cost smartphones for live detection are detailed and we discuss the citizen science platform to enable crowdsourcing of data labels

Sewaktu memberikan makanan harus secara perlahan, makanan yang tiap kali diberikan ke pasien harus kadar secukupnya atau dengan jumlah yang sedikit saja, bagi pasien

Hasil analisis bawah permukaan dan pemodelan dengan menggunakan data seismik 2D menunjukan bahwa, Formasi Makats dan Formasi Mamberamo merupakan formasi yang berpotensi

Beberapa biji transgenik menunjukkan pertumbuhan tajuk dan akar yang lebih baik dibandingkan biji transgenik yang lain (Gambar 5A), sedangkan biji SB tipe liar

PINDAD (Persero) Divisi Tempa dan Cor sebagai perusahaan manufaktur yang memproduksi peralatan rel kereta api untuk menilai manfaat anggaran biaya produksi sebagai alat