ANALISIS KEWENANGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS
DALAM PENGAWASAN NOTARIS MENURUT
UNDANG-UNDANG NO 30 TAHUN 2004
TENTANG JABATAN NOTARIS
TESIS
Oleh
DESNI PRIANTY EFF. MANIK
077005007/HK
S
E K O L AH
P A
S C
A S A R JA NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS KEWENANGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS
DALAM PENGAWASAN NOTARIS MENURUT
UNDANG-UNDANG NO 30 TAHUN 2004
TENTANG JABATAN NOTARIS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
DESNI PRIANTY EFF. MANIK
077005007/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS KEWENANGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM PENGAWASAN NOTARIS MENURUT UNDANG-UNDANG NO 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS
Nama Mahasiswa : Desni Prianty Eff. Manik
Nomor Pokok : 077005007
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) K e t u a
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Telah diuji pada
Tanggal 22 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
:
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
:
1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
ABSTRAK
Kehadiran institusi Notaris di Indonesia memerlukan pengawasan oleh Pemerintah. Adapun yang merupakan tujuan dari pengawasan agar para Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya memenuhi semua persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris, demi untuk pengamanan kepentingan masyarakat, karena Notaris diangkat oleh pemerintah, bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri melainkan untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris yang semula dilakukan oleh Pengadilan Negeri setempat di wilayah Notaris tersebut kini berada di bawah wewenang Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Metode penelitian dilakukan secara deskriptif-analitis. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisi data terhadap data sekunder dilakukan secara deduktif.
Dari hasil penelitian kewenangan Majelis Pengawas Notaris dalam pengawasan Notaris menurut UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris diatur dalam Pasal 66 dan Pasal 70 untuk MPD, pada Pasal 73 untuk MPW dan pada Pasal 77 untuk MPP. Sedangkan kewenangan Majelis Pengawas Notaris dalam pengawasan Notaris menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M.02.PR.08.10 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 untuk MPD, pada Pasal 18 untuk MPW dan pada Pasal 19 untuk MPP. Akibat hukum terhadap putusan Majelis Pengawas Notaris adalah adanya pemberian sanksi terhadap Notaris yaitu sanksi perdata, sanksi administrasi juga dapat dijatuhi sanksi etika dan sanksi pidana. Di Sumatera Utara, dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2008 pihak Kepolisian telah memeriksa 128 orang Notaris yang bermasalah, yang sering terjadi adalah permasalahan penerbitan Akta Jual Beli Tanah. Kendala yang timbul dalam pelaksanaan pengawasan Notaris oleh Majelis Pengawas Notaris adalah wilayah kerja yang sangat luas dan MPD di Sumatera Utara baru terbentuk 4 (empat) MPD sedangkan jumlah Notaris yang cukup banyak, anggaran dari Pemerintah tidak ada sama sekali, serta apabila Majelis Pengawas tidak memberikan persetujuan kepada pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim untuk memeriksa Notaris dapat mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman. Sedangkan upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan kunjungan ke tiap Kantor Notaris di wilayah Sumatera Utara secara berkala.
Disarankan mengganti anggota Majelis Pengawas yang berasal dari Organisasi Notaris menjadi masyarakat umum yang mengerti seluk beluk Notaris, perlu adanya standar prosedur operasional pengawasan Notaris secara nasional yang diatur oleh peraturan perundang-undangan secara tegas, serta perlu ditingkatkan koordinasi antara Majelis Pengawas dengan pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan Hakim dan hendaknya pemerintah memberikan anggaran bagi Majelis Pengawas Notaris.
ABSTRACT
The presence of Notary institution in Indonesia must supervised by the government. The supervision aims to enable the Notary fulfill any requirements related to the task performance of Notary position for the society interest because the Notary assigned by government not for themselves but for the society interest. By the application of Act No. 30 of 2004 concerning to Notary position, the guidance and supervision on notary is under the authority of Minister of Law and HAM of RI.
The research method is a descriptive analysis. The applied approach method in this research is normative juridical approach. The main data in this research is secondary data. The data was collected by library and field studies. While the secondary data was analyzed by deductive analysis.
Based on the results of research indicates that the authority of Notary Supervision Board in Notary supervision in accordance with Act No. 30 of 2004 concerning to the Notary Position as regulated in Article 66 and Article 70 for MPD, Article 73 for MPW and on rticle 77 for MPP. While the authority of Notary Supervision Board in Notary supervision according to the Regulation of Minister of Law and HAM of RI No. M.02.PR.08.10 of 2004 are regulated in Article 13 and Article 14 for MPD, Article 18 for MPW and Article 19 for MPP. The law consequence of the decision of Notary Supervision Board is to provide the Notary with sanction either civil, administrative, ethic sanction or punishment. In North Sumatera, during 2006 up to 2008, the Police had investigate 128 problem Notaries specially in a case of the issuance of Contract of Sale on a land. The obstacles in the implementation of notary supervision by Notary Supervision Board is the widest coverage area and in North Sumatera there are only 4 (four) MPD while there is a big number of Notary, there is not allocated local budget and if Supervision Board did not provide the Police, Attorney and Judge with permit to investigate a notary, it will cause misunderstanding. While the applied effort is to visit a Notary Office in North Surnatera regularly.
It is suggested to substitute the member of Supervision Board from the Notary Organization by the community figure who understand the Notary affairs, it is necessary the formulation of Operational Procedure Standard for Notary supervision in national level that regulated by the Acts and to increase the coordination between the Supervision Board and Police, Attorney, Judge and to ask the government allocate the budget for Notary Supervision Board.
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahiim, Assalamu’alaikum Wr, Wb.
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat
waktu. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar
Sarjana Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
Dalam tesis ini, penulis menyajikan judul : ”Analisis Kewenangan Majelis
Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena
kemampuan penulis yang sangat terbatas. Untuk itu dengan segenap kerendahan hati,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatmya membangun dari semua pihak
untuk penyempurnaannya dikemudian hari.
Pada kesempatan ini, dengan segala hormat penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H. SpA (K), selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
selalu memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.
4. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku anggota Komisi Pembimbing yang
dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan arahan-arahan yang sangat
membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
5. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Magister Hukum Sekolah
Pascasarjana USU dan juga selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberikan saran, bimbingan, perhatian dan dukungan yang tiada henti-hentinya
demi selesainya penulisan tesis ini tepat pada waktunya. Untuk itu penulis doakan
kiranya Allah SWT selalu melindungi dan melimpahkan rahmat karuniaNya kepada
Beliau sekeluarga.
6. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji.
7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji.
8. Para Dosen Penulis pada Sekolah Pascasarjana USU yang telah banyak memberikan
ilmunya dan membuka cakrawala berpikir penulis agar bermanfaat dikemudian hari.
9. Bapak Amri Marjunin, SH selaku Ketua MPD Kota Medan, Ibu Juraini Sulaiman,
SH, M.Hum selaku Sekretaris MPW Sumatera Utara, Martua Batubara Selaku
Sekretaris MPP serta Bapak Drs. Rosman Siregar, SH, MH selaku Kepala Divisi
Pelayanan Hukum dan HAM Kanwil Sumatera Utara.
10.Orang tua tercinta, Ayahanda Sofyan Manik dan Ibunda Syamsinar, yang telah
membesarkan, mendidik dan memberikan doa yang tiada putus-putusnya demi
11.Adik-adik ku tercinta, Julian Manik, Ridwan Manik dan Jhoni Manik yang telah
memberikan cinta, perhatian dan dukungannya.
12.Teristimewa untuk “Sahabat Terbaikku” terima kasih atas cinta, kasih sayang,
perhatiannya dan dukungannya selama ini, sebagai tempat berdiskusi penulis selama
menuntut ilmu di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
13.Rekan-rekan seperjuangan pada Kelas Kekhususan Hukum dan HAM Program Studi
Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU Angkatan I Tahun 2007, atas dukungan dan
kebersamaannya (Satu untuk tiga puluh, tiga puluh untuk satu, akhirnya …… sampai
juga di tujuan ya !!!)
14.Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum SPs USU atas segala
bantuan-bantuan, pelayanan dan kemudahan yang telah diberikan, kiranya Allah
jualah yang membalas semua kebaikannya.
Akhirnya penulis berharap bahwa tesis ini dapat berguna sebagai sumbang dan
saran pemikiran mengenai Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam
Pengawasan Notaris Menurut UU No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Semoga
Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin
Ya Robbal Alamin.
Medan, Juni 2009 Wassalam,
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Desni Prianty Eff. Manik
Tempat/ Tanggal Lahir : Cot Girek, Aceh Utara, 16 Desember 1970
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Pada Kantor Wilayah
Hukum dan HAM Sumatera Utara
Pendidikan : 1. Sekolah Dasar Negeri No. 2 Cot Girek,
Aceh Utara (Lulus tahun 1983)
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri Cot
Girek, Aceh Utara (Lulus tahun 1986)
3. Sekolah Menengah Atas Negeri Langsa,
Aceh Timur (Lulus tahun 1986)
4. Fakultas Hukum Universitas Syah Kuala,
Banda Aceh (Lulus tahun 1995)
5. Program Studi Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Sumatera Utara (Lulus
DAFTAR ISI
BAB II KEWENANGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM PENGAWASAN NOTARIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS... 28
A. Dasar Pemikiran Lahirnya Lembaga Majelis Pengawas Notaris ... 28
B. Kewenangan Majelis Pengawas Notaris ... 30
C. Struktur Organisasi ... 46
D. Majelis Pengawas Notaris Sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara ... 51
BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAJELIS
PENGAWAS NOTARIS ... 70
A. Perbuatan Yang Dikelompokkan Sebagai Pelanggaran Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris ... 70
B. Mekanisme Pengawasan, Pemeriksaan, dan Penjatuhan Sanksi Terhadap Pelanggaran Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris... 75
1. Pengawasan Notaris ... 75
2. Pemeriksaan Notaris ... 78
3. Penjatuhan Sanksi ... 83
C. Akibat Hukum Putusan Majelis Pengawas Notaris Terhadap Notaris Yang Melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris ... 87
1. Sanksi Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris ... 91
2. Sanksi Perdata ... 99
3. Sanksi Administratif ... 100
4. Sanksi Lainnya dan Kumulasi Sanksi Terhadap Notaris ... 114
5. Penegakan Sanksi Administratif ... 118
D. Upaya Hukum Bagi Notaris yang Dijatuhi Sanksi ... 121
1. Upaya Hukum Notaris Terhadap Sanksi Perdata untuk Akta Notaris Yang Mempunyai Kekuatan Pembuktian Sebagai Akta di Bawah Tangan dan Sanksi Akta Notaris Batal Demi Hukum ... 122
2. Upaya Hukum Notaris Terhadap Sanksi Administrasi ... 124
E. Analisis Terhadap Beberapa Kasus ... 127
1. Pemeriksaan Terhadap Notaris HS, SH ... 127
2. Pemeriksaan Terhadap Notaris SW, SH ... 131
BAB IV KENDALA YANG TIMBUL DALAM PELAKSANAAN KEWENANGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS SERTA UPAYA-UPAYA UNTUK MENGATASINYA ... 134
A. Kendala Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris ... 134
B. Upaya-Upaya yang Dilakukan ... 137
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 142
A. Kesimpulan ... 142
B. Saran ... 144
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1 : Notaris Yang Dipanggil Pihak Kepolisian di Sumatera Utara
Tahun 2006-2008 ... 81
2 : Laporan Bulanan Notaris Wilayah Sumatera Utara Tahun 2008 ... 82
3 : Data Perkara Banding Pada Majelis Pengawas Pusat
DAFTAR SINGKATAN
LN : Lembaran Negara
MPD : Majelis Pengawas Daerah
MPW : Majelis Pengawas Wilayah
MPP : Majelis Pengawas Pusat
MPN : Majelis Pengawas Notaris
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
PTUN : Peradilan Tata Usaha Negara
TLN : Tambahan Lembaran Negara
TUN : Tata Usaha Negara
DAFTAR ISTILAH
Bundel : Kumpulan Minuta Akta yang dibukukan, maksimal 50 buah dan
dibuat tiap bulan. Bundel terbagi dua yaitu :
1. Kumpulan Minuta Akta
2. Kumpulan surat-surat dibawah tangan yang terdiri dari
legalisasi dan waarmerking
Legalisasi : Mengesahkan tandatangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftarkannya dalam buku khusus.
Minuta Akta : Akta Asli Notaris
Protokol : Kumpulan buku-buku yang dimiliki oleh setiap Notaris yang
terdiri dari :
1. Bundel yang berisi Minuta Akta
2. Reportorium
Reportorium : Buku daftar keterangan para penghadap sehubungan dengan akta
yang dibuat oleh Notaris yang terdiri dari :
1. Nomor Urut
2. Bulan akta dibuat
3. Tanggal Akta
4. Jenis Akta
5. Nama Penghadap
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkataan Notaris berasal dari perkataan Notarius, yakni nama pada zaman
Romawi yang diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis.
Nama Notarius lambat laun mempunyai arti berbeda dengan semula, sehingga
kira-kira pada abad kedua sesudah Masehi yang disebut dengan nama itu ialah mereka
yang mengadakan pencatatan dengan tulisan cepat.1
Menurut sejarahnya, Notaris adalah seorang pejabat negara/pejabat umum
yang dapat diangkat oleh negara untuk melakukan tugas-tugas negara dalam
pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai
Pejabat pembuat akta otentik dalam hal keperdataan. Notaris adalah suatu jabatan
yang tidak digaji oleh Pemerintah akan tetapi Pegawai Pemerintah yang berdiri
sendiri dan mendapat honorarium dari orang-orang yang meminta jasanya.
Secara administratif, Notaris memiliki hubungan dengan negara dalam hal ini
Pemerintahan, misalnya yang berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian
Notaris.2 Sedangkan menurut Komar Andasasmita, bentuk atau corak Notaris dapat
dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama yakni :
1
R. Sugondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 13.
2
Notariat functionnel, hal mana wewenang-wewenang Pemerintah
didelegasikan (gedelegeerd), dan demikian itu diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di negara-negara yang menganut bentuk notariat ini terdapat pemisahan yang keras antara wettelijke dan niet wettelijke,
werkzaamheden yaitu pekerjaan-pekerjaan yang didasarkan
Undang-undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat.
Notariat profesionel, dalam kelompok ini walaupun Pemerintah mengatur
tentang organisasinya, tetapi akta-akta Notaris ini tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti, demikian kekuatan eksekutorialnya.3
Sejak lama telah terdapat Peraturan Perundang-undangan yang menyangkut
ketentuan-ketentuan tentang pengawasan terhadap Notaris seperti Reglement op de
Rechterlijke Organisatie en het beleid der justitie in Indonesia (LN 1847 No. 23 jo
1848 No. 57), Rechtsreglement buitengewesten (LN 1927 No. 227), Peraturan Jabatan
Notaris (LN 1860 No. 3) dan sejak pada tanggal 6 Oktober 2004, maka diberlakukan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Dimana
dari peraturan di atas bisa diketahui dan dipahami akan adanya penetapan Notaris di
bawah pengawasan.
Kehadiran institusi Notaris di Indonesia perlu dilakukan pengawasan oleh
Pemerintah. Adapun yang merupakan tujuan dari pengawasan agar para Notaris
ketika menjalankan tugas jabatannya memenuhi semua persyaratan yang berkaitan
dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris, demi untuk pengamanan kepentingan
masyarakat, karena Notaris diangkat oleh pemerintah, bukan untuk kepentingan diri
Notaris sendiri melainkan untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya.
3
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, maka pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris yang semula dilakukan
oleh Pengadilan Negeri setempat di wilayah Notaris tersebut kini berada di bawah
wewenang Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Untuk pengawasan
tersebut, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia membentuk Majelis
Pengawas Notaris. Majelis Pengawas Notaris tersebut kini telah terbentuk yang
terdiri dari sembilan orang yaitu dari unsur Pemerintah tiga orang, Notaris tiga orang,
maupun akademisi tiga orang.4
Dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai Pejabat Umum,
tidak jarang Notaris berurusan dengan proses hukum. Pada proses hukum ini Notaris
harus memberikan keterangan dan kesaksian menyangkut isi akta yang dibuatnya.
Dengan diletakkannya tanggung jawab secara hukum dan etika kepada Notaris, maka
kesalahan yang sering terjadi pada Notaris banyak disebabkan oleh keteledoran
Notaris tersebut sedangkan kesalahan yang terjadi akibat bujukan nilai honorarium
yang tinggi sudah jarang terjadi karena hal tersebut tidak lagi mengindahkan aturan
hukum dan nilai-nilai etika. Oleh karenanya agar nilai-nilai etika dan hukum yang
seharusnya dijunjung tinggi oleh Notaris dapat berjalan sesuai undang-undang yang
ada, maka sangat diperlukan adanya pengawasan.5
4
http:// www2. kompas. com/ kompas -cetak/ 0501/08/Politikhukum/1486237.htm, diakses tanggal 3 Maret 2009.
5
Sambutan Menteri Hukum dan HAM RI, yang dibacakan oleh Drs. Hasanuddin, Bc.IP, SH, yang ketika itu sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM RI, pada acara pembukaan Pra Kongres Ikatan Notaris Indonesia, pada tanggal 13-16 Juli 2005 di Makassar, Sulawesi Selatan. Pra Kongres ini mengusung topik “Melalui Implementasi Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris
Sebagai konsekwensi logis, seiring dengan adanya tanggung jawab Notaris
kepada masyarakat, maka haruslah dijamin adanya pengawasan dan pembinaan yang
terus menerus agar tugas Notaris selalu sesuai dengan kaidah hukum yang mendasari
kewenangannya dan dapat terhindar dari penyalahgunaan kewenangan atau
kepercayaan yang diberikan.6
Adapun tujuan pengawasan Notaris adalah agar Notaris bersungguh-sungguh
memenuhi persyaratan-persyaratan dan menjalankan tugasnya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam Perundang-undangan yang berlaku, demi pengamanan
kepentingan masyarakat umum. Sedangkan yang menjadi tugas pokok pengawasan
Notaris adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan
kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh
peraturan dasar yang bersangkutan, senantiasa dilakukan di atas jalur yang telah
ditentukan bukan saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi
terjaminnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Mekanisme pengawasan yang dilakukan secara terus menerus terhadap
Notaris di dalam menjalankan tugas dan jabatannya, dilaksanakan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Peraturan
Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004
6
tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan
Organisasi, Tata Kerja, Dan Tata Cata Pemeriksaan Majelis Pengawas.7
Pengawasan Notaris sebelum berlakunya Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris dilakukan oleh pihak Pengadilan Negeri dalam hal ini oleh
hakim, namun setelah keberadaan Pengadilan Negeri diintegrasikan satu atap di
bawah Mahkamah Agung (MA), maka kewenangan pengawasan dan pembinaan
Notaris beralih ke Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Pengawasan Notaris tersebut dilakukan oleh Menteri dengan membentuk
Majelis Pengawas Notaris yang terdiri dari Majelis Pengawas Daerah (selanjutnya
disingkat dengan MPD) di Kabupaten/Kota, Majelis Pengawas Wilayah (selanjutnya
disingkat dengan MPW) di Provinsi dan Majelis Pengawas Pusat (selanjutnya
disingkat dengan MPP) di Jakarta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 68
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris yang dilakukan oleh Majelis
Pengawas tersebut dimana di dalamnya ada unsur Notaris, dengan demikian
setidaknya Notaris diawasi dan diperiksa oleh anggota Majelis Pengawas yang
memahami dunia Notaris. Adanya anggota Majelis Pengawas dari kalangan Notaris
merupakan pengawasan internal, artinya dilakukan oleh sesama Notaris yang
memahami dunia Notaris luar-dalam. Sedangkan unsur lainnya merupakan unsur
eksternal yang mewakili dunia akademik, Pemerintah, dan masyarakat. Perpaduan
7
keanggotaan Majelis Pengawas diharapkan dapat memberikan sinergi pengawasan
dan pemeriksaan yang objektif, sehingga setiap pengawasan dilakukan berdasarkan
aturan hukum yang berlaku, dan para Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
tidak menyimpang dari UUJN karena diawasi secara internal dan eksternal.
Majelis Pengawas Notaris, tidak hanya melakukan pengawasan dan
pemeriksaan terhadap Notaris, tapi juga berwenang untuk menjatuhkan sanksi
tertentu terhadap Notaris yang telah terbukti melakukan pelanggaran dalam
menjalankan tugas jabatan Notaris.
Pada dasarnya yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan dan
pemeriksaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan HAM yang dalam
pelaksanaannya Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris. Menteri sebagai
kepala Departemen Hukum dan HAM mempunyai tugas membantu Presiden dalam
menyelenggarakan sebagian urusan Pemerintah di bidang hukum dan HAM.8 Dengan
demikian kewenangan pengawasan terhadap Notaris ada pada Pemerintah, sehingga
berkaitan dengan cara Pemerintah memperoleh wewenang pengawasan tersebut.
Dari gambaran keadaan dan permasalahan tentang tugas dan jabatan Notaris
dan hadirnya mekanisme baru terhadap pengawasan Notaris yang diatur oleh UUJN
yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10
Tahun 2004, maka penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian dan
melakukan analisis dengan judul : “Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris
8
Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dan
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004”
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti dan
dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana kewenangan Majelis Pengawas Notaris dalam Pengawasan Notaris
menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris?
2. Bagaimana akibat hukum dari putusan Majelis Pengawas Notaris terhadap
Notaris berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris?
3. Bagaimana kendala yang timbul dalam pelaksanaan kewenangan Majelis
Pengawas Notaris serta upaya-upaya untuk mengatasinya?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kewenangan Majelis Pengawas Notaris dalam Pengawasan
Notaris menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
2. Untuk mengetahui akibat hukum dari Putusan Majelis Pengawas Notaris terhadap
Notaris berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris.
3. Untuk mengetahui kendala yang timbul dalam pelaksanaan kewenangan Majelis
Pengawas Notaris serta upaya-upaya untuk mengatasinya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis, yaitu :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
sumbangsih pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum pada umumnya,
khususnya yang menyangkut pengawasan terhadap Notaris.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan kepada
masyarakat pada umumnya, pejabat yang berwenang dalam melakukan
pengawasan terhadap Notaris, dan secara khusus bagi Notaris agar dalam
menjalankan tugasnya sebagai Pejabat Umum agar lebih berhati-hati, teliti, jujur
dan bertanggungjawab.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap
Utara, penelitian terdahulu mengenai pengawasan Notaris sudah pernah dilakukan,
namun penelitian ini berbeda dalam topik dan permasalahannya. Oleh karena itu,
penelitian tesis ini dapat dikatakan ”asli”, jauh dari unsur plagiat yang bertentangan
dengan asas-asas keilmuan yakni, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka sehingga
kebenaran penelitian juga dapat dipertanggungjwabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi,9 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkan pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.10 Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau
permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.
Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk memberikan
9
J.J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Penyunting : M. Hisyam), (Jakarta : FE UI, 1996), hlm. 203. Lihat juga M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 27 menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
10
landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan
pemikiran teoritis.11
Menurut Kaelan M.S, landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan
dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah
bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.12
Oleh sebab itu kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan
sebagai berikut :
1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta
yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya ;
2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina,
struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi- definisi ;
3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang diteliti ;
4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah
diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor
tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.13
Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan
sebagai pisau analisis dalam tesis ini. Secara konseptual, teori yang dapat dijadikan
acuan dalam Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan
11
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 37.
12
Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan
Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni),
(Yogyakarta : Paradigma, 2005), hlm. 239.
13
Notaris Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri
Hukum dan HAM RI Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 adalah dengan
menggunakan pendekatan teori ”kekuasaan negara” sehingga dapat terlihat
kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum dan struktur kekuasaan negara sebagai
grand theory yang dikemukakan oleh John Locke ataupun Montesquieu, meskipun
kemudian muncul teori-teori lain, tapi teori mereka merupakan awal berkembangnya
teori kekuasaan negara di negara-negara Eropa. Menurut John Locke, bahwa
kekuasaan dalam negara harus dipisahkan menjadi 3 (tiga) bagian yang berdiri sendiri
dengan tugasnya masing-masing, yaitu :14
1. Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan membuat peraturan perundangan yang
berlaku di dalam negara.
2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan peraturan
perundangan-undangan maupun mengawasi pelaksanaannya.
3. Kekuasaan Federatif, yaitu kekuasaan yang tidak termasuk kedua kekuasaan
tersebut di atas.
Teori tersebut di atas didukung oleh midletheory ”Trias Politica” yang
dikembangkan oleh Montesquieu, yang lebih menekankan pada pemisahan kekuasaan
negara yang lebih tegas. Kekuasaan negara haruslah dipisahkan menjadi 3 (tiga)
bagian, yaitu :15
14
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Bandung : Refika Aditama, 2008), hlm. 41.
15
1. Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan membuat peraturan perundangan-
undangan.
2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan peraturan
perundangan-undangan.
3. Kekuasaan Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mempertahankan peraturan
perundang-undangan, yang penjabarannya di dalam Pasal 1 angka 1 UUJN.
Sebelum berlakunya UUJN, pengawasan Notaris diatur dalam berbagai
peraturan sebagai berikut16 :
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia (Lembaran Negara 1847 Nomor 57 jo Lembaran Negara 1848 Nomor 57). Dalam peraturan ini terdapat 3 (tiga) pasal yang berhubungan dengan pengawasan terhadap Notaris yaitu Pasal 99, Pasal 140 dan Pasal 178.
2. Rechsreglement Buitengewesten (Lembara Negara 1927 Nomor 227), yaitu Pasal 96.
3. Peraturan Jabatan Notaris (Lembaran Negara 1860 Nomor 3). Didalam Peraturan Jabatan Notaris yang mengatur tentang pengawasan terhadap Notaris dan akta-aktanya terdapat dalam Bab IV Pasal 51 sampai dengan Pasal 56.
4. Ordonantie Buitengerechtelijke Verrichtingen (Lembaran Negara 1946 Nomor 135) yaitu Pasal 3.
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung, yaitu Pasal 36.
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yaitu Pasal 54.
Selain itu terdapat juga beberapa Surat Edaran tentang Pengawasan Terhadap
Notaris yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, yaitu17 :
16
Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, (Yogyakarta : CDSBL, 2003), hlm. 62-71.
17
Karmila, Peran Notaris Dalam Pembuatan Akta Notaris Koperasi Menurut Kepmen
No.98/KEP/M.KUKM/IX/2004 (Studi di Dinas Koperasi Kota Medan), Tesis Magister Kenotariatan
1. Surat Edaran Departemen Kehakiman Republik Indonesia tanggal 17 Februari 1981 Nomor JHA 5/13/16 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia.
2. Surat Edaran Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 1 Maret 1984
Nomor MA/Pemb/1392/84 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia.
3. Surat Edaran Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1985 Nomor
M-24HT.03.10 Tahun 1985 Tentang Pembinaan dan Penertiban Notaris.
Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum maka pada tanggal 6 Juli 1987 dikeluarkanlah Surat
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor KMA/006/SKB/1987 dan Nomor M.04-PR 08.05 Tahun 1987
tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris.18
Sejak diundangkannya UUJN, pada prinsipnya yang didelegasikan untuk
melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia, kemudian kewenangan itu didelegasikan kepada Majelis
Pengawas Notaris (MPN).
Notaris adalah satu-satunya Pejabat Umum yang berhak membuat akta otentik
sebagai alat pembuktian yang paling sempurna. Notaris adalah perpanjangantangan
negara di mana ia menunaikan sebagian tugas negara di bidang hukum perdata,
18
sehingga ketika menjalankan tugasnya wajib diposisikan sebagai Pejabat Umum yang
mengemban tugas layaknya seperti Hakim, Jaksa, Bupati, dan lain sebagainya.19
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, Notaris Indonesia
dikelompokkan sebagai suatu profesi, sehingga Notaris wajib bertindak profesional
dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan UUJN yaitu memberikan pelayanan
yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Menurut Wawan Setiawan, unsur dan ciri yang harus dipenuhi oleh seorang
Notaris profesional dan ideal, antara lain dan terutama adalah :
1. Tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, termasuk dan terutama
ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi seorang Notaris, teristimewa ketentuan sebagimana termaksud dalam Peraturan Jabatan Notaris.
2. Di dalam menjalankan tugas dan jabatannya dan profesinya senantiasa
mentaati kode etik yang ditentukan/ditetapkan oleh organisasi/ perkumpulan kelompok profesinya, demikian pula etika profesi pada umumnya termasuk ketentuan etika profesi/jabatan yang telah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.
3. Loyal terhadap organisasi/perkumpulan dari kelompok profesinya dan
senantiasa turut aktif di dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi profesinya.
4. Memenuhi semua persyaratan untuk menjalankan tugas/profesinya. 20
Majelis Pengawas Notaris sebagai satu-satunya instansi yang berwenang
melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris, dan
setiap jenjang Majelis Pengawas (MPD, MPW dan MPP) mempunyai wewenang
masing-masing.
19
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang dan
Di Masa Datang, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 2008), hlm. 229.
20
Wewenang MPD diatur dalam UUJN, Peraturan Menteri Hukum dan HAM
Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara
Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan
Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas, dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM
Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris. Dalam Pasal 66 UUJN diatur
mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan :
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim
dengan persetujuan MPD berwenang :
a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan surat-surat yang dilekatkan pada
Minuta Akta atau Protokol Notaris dalarn Penyimpanan Notaris;
b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan
akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan
Notaris.
(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dibuat berita acara penyerahan.
Wewenang MPD juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM
Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara
Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan
Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas. Kewenangan MPD yang bersifat
administratif dilaksanakan oleh ketua, wakil ketua, atau salah satu anggota yang
a. Memberikan izin cuti untuk jangka waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
b. Menetapkan Notaris Pengganti;
c. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah-terima
Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
d. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode
Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang;
e. Memberi paraf dan menandatangani daftar akta, daftar surat di bawah tangan
yang disahkan, daftar surat di bawah tangan yang dibukukan dan daftar surat lain yang diwajibkan Undang-undang;
f. Menerima penyampaian secara tertulis salinan dari daftar akta, daftar surat di
bawah tangan yang disahkan, dan daftar surat di bawah tangan yang dibukukan yang telah disahkannya, yang dibuat pada bulan sebelumnya paling lambat 15 (lima belas) hari kalender pada bulan berikutnya, yang memuat sekurang-kurangnya nomor, tanggal dan judul akta.21
Wewenang MPW di samping diatur dalam UUJN, juga diatur dalam
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10
Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor
M.39-PW.07.10.Tahun 2004. Dalam Pasal 73 ayat (1) UUJN diatur mengenai
wewenang MPW yang berkaitan dengan:
a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas
laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;
b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;
21
Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota,
d. Memeriksa dan memutus atas keputusan MPD yang memberikan sanksi berupa
teguran lisan atau tertulis;
e. Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada MPP berupa:
(1) Pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
(2) Pemberhentian dengan tidak hormat.
f. Membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana
dimaksud pada huruf e dan huruf f.
Wewenang MPP di samping diatur dalam UUJN, juga diatur dalam Peraturan
Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004,
dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor
M.39-PW.07.10 Tahun 2004.
Dalam Pasal 77 UUJN diatur mengenai wewenang MPP yang berkaitan
dengan :
a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam
tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada huruf a;22
c. Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara;
d. Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat
kepada Menteri.
22
Dalam organisasi Pemerintahan, fungsi pengawasan adalah sangat penting,
karena pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin adanya kearsipan antara
penyelenggara Pemerintahan oleh daerah dan oleh Pemerintah dan untuk menjamin
kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna.23
Menurut Sujamto,24 pengawasan dalam makna sempit adalah segala usaha
atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang
pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak,
sedangkan pengawasan dalam makna luas beliau mengartikan sebagai pengendalian,
pengertiannya lebih forceful daripada pengawasan, yaitu sebagai segala usaha atau
kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan
berjalan sesuai dengan semestinya.
Pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan
organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan
sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.25
Menurut Hadari Nawawi, pengawasan adalah proses pemantauan,
pemeriksaan dan evaluasi yang dilakukan secara berdaya dan berhasil guna oleh
Pimpinan unit/organisasi kerja terhadap sumber-sumber kerja untuk mengetahui
kelemahan-kelemahan atau kekurangan-kekurangan, agar dapat diperbaiki oleh
23
Viktor M. Simorangkir dan Cormentyna Sitanggang, Hukum Administrasi Pemerintahan di
Daerah, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), hlm. 233.
24
Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1987), hlm. 53.
25
Pimpinan yang berwenang pada jenjang yang lebih tinggi, demi tercapainya tujuan
yang telah dirumuskan sebelumnya.26
Sehingga pengertian dasar dari pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan
untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas
atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.27
Pengawasan pada hakekatnya melekat pada Jabatan Pimpinan sebagai
pelaksana fungsi manajemen, di samping keharusan melaksanakan fungsi
perencanaan dan pelaksanaan. Oleh karena pelaksanaan pengawasan di dalam
administrasi atau manajemen negara/Pemerintah sangat luas, maka perlu dibedakan
macam-macam pengawasan tersebut, yakni :
1. Pengawasan fungsional, yang dilakukan oleh aparatur yang ditugaskan
melaksanakan pengawasan seperti BPKP, Irjenbang, Irjen Departemen dan aparat pengawasan fungsional lainnya di lembaga Pemerintahan Non Departemen atau Instansi Pemerintah lainnya
2. Pengawasan politik, yang dilaksanakan oleh DPR
3. Pengawasan yang dilakukan oleh BPK sebagai pengawasan eksternal eksekutif 4. Pengawasan sosial yang dilakukan oleh mass media, Ormas-ormas, dan anggota
masyarakat pada umumnya
5. Pengawasan melekat, yakni pengawasan yang dilaksanakan oleh atasan langsung terhadap bawahannya.28
Sedangkan menurut Pasal 2 ayat (1) Inpres No. 15 Tahun 1983, pengawasan
terdiri dari :
1. Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan/atasan langsung, baik di tingkat Pusat
maupun di tingkat Daerah.
26
Hadari Nawawi, Pengawasan Melekat di Lingkungan Aparatur Pemerintah, (Jakarta : Erlangga, 1995), hlm. 8.
27
Sujamto, op.cit., hlm. 63.
28
2. Pengawasan yang dilakukan secara fungsional oleh aparat pengawas.
Menurut Pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik
Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan
Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara
Pemeriksaan Majelis Pengawas, pengertian pengawasan adalah kegiatan yang bersifat
preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis
Pengawas terhadap Notaris.
Pengawasan terhadap Notaris berdasarkan Pasal 67 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 meliputi pengawasan terhadap perilaku Notaris dan
pelaksanaan jabatan Notaris. Pengawasan terhadap perilaku Notaris dalam UUJN ini
dapat dilihat pada Pasal 9 ayat (1) huruf c dan Pasal 12 huruf c, yaitu perilaku Notaris
yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela, dan perbuatan yang merendahkan
kehormatan dan martabat jabatan Notaris, misalnya berjudi, mabuk-mabukan,
menyalahgunakan narkoba, dan sebagainya.
Dari rumusan di atas yang menjadi tujuan pokok pengawasan adalah agar
segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam
menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh peraturan dasar yang
bersangkutan, senantiasa dilakukan di atas jalur yang telah ditentukan, bukan saja
jalur hukum tetapi juga dasar moral dan etika profesi demi terjaminnya perlindungan
Majelis Pengawas Notaris dapat didefinisikan adalah suatu badan yang
mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pengawasan dan
pembinaan terhadap Notaris.29 Sisi lain dari pengawasan terhadap Notaris adalah
aspek perlindungan hukum bagi Notaris didalam menjalankan tugas dan jabatannya
selaku pejabat umum.
Pengawasan terhadap Notaris sangat diperlukan, agar dalam melaksanakan
tugas dan jabatannya wajib menjunjung tinggi martabat jabatannya. Ini berarti
Notaris harus selalu menjaga segala tindak tanduknya, segala sikapnya dan segala
perbuatannya agar tidak merendahkan martabatnya dan kewibawaannya sebagai
Notaris. Sebagaimana layaknya seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekhilafan, maka Notaris juga adalah manusia sehingga bisa saja berbuat kesalahan
dalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku pejabat umum.
Dasar hukum yang mengatur tentang pengawasan terhadap Notaris dalam
menjalankan tugas dan jabatannya adalah Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang UUJN, yang berbunyi : Majelis Pengawas30 adalah suatu badan
29
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004.
30
Pasal 67 UUJN, yang menyatakan bahwa :
1. Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri;
2. Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri membentuk Majelis
Pengawas;
3. Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9 orang, terdiri dari : Pemerintah (3) orang,
Organisasi Notaris (3) orang, dan Ahli/Akademisi (3) orang;
4. Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf a, keanggotaan dalam Majelis Pengawas di isi dari unsur lain yang ditunjuk oleh Menteri;
5. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi perilaku Notaris dalam pelaksanaan
jabatan Notaris;
6. Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Notaris
yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan
pengawasan terhadap Notaris.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka yang melakukan tugas pengawasan
terhadap Notaris setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 adalah
tugas dari Majelis Pengawas, sedangkan sebelumnya pengawasan dilakukan oleh
Pengadilan Negeri yang dilakukan bersama-sama oleh Mahkamah Agung dan
Departemen Kehakiman, dan Kejaksaan sedangkan aparat pelaksanaan pengawasan
adalah Hakim.
2. Kerangka Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari konsepsi yang
diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang
konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya definisi operasional
adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua dari suatu
istilah yang dipakai untuk dapat ditemukan suatu kebenaran dengan substansi yang
diperlukan.31
Dalam penulisan tesis ini diperlukan konsepsi yang merupakan definisi
operasional dari istilah-istilah yang dipergunakan untuk menghindari perbedaan
penafsiran. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut :
31
a. Notaris adalah Pejabat Umum yang dapat diangkat oleh negara untuk melakukan
tugas-tugas negara yang dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta
otentik, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata.32
b. Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan
kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris.33
c. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang.34
d. Kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada
suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
mengatur jabatan yang bersangkutan.35
e. Pengawasan adalah suatu usaha pemantauan pemeriksaan dan evaluasi yang
dilakukan secara berdaya dan berhasil guna oleh pimpinan terhadap sumber kerja
untuk mengetahui kelemahan agar dapat diperbaiki demi tercapainya tujuan yang
telah ditetapkan.36
f. Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian
bawah salinan akta tercantum frase ”diberikan sebagai salinan yang sama
bunyinya”.37
Bandingkan dengan FX. Suhardana, Hukum Perdata I (Buku Panduan Mahasiswa), (Jakarta : PT. Prenhalindo, 2001), hlm. 23., bahwa kewenangan itu merupakan suatu kecakapan yang diberikan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri.
36
Pengawasan yang dimaksud dalam tesis ini adalah Pengawasan atas Notaris yang dilakukan oleh Menteri, Pasal 67 ayat (1) UUJN.
37
g. Formasi Jabatan Notaris adalah penentuan jumlah Notaris yang dibutuhkan pada
suatu wilayah jabatan Notaris.38
G. Metode Penelitian
Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran dan
jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat
ditentukan oleh metode yang digunakan dalam penelitian. Dapat dikutip pendapat
Soeryono Soekanto mengenai penelitian hukum, sebagai berikut :
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.39
1. Spesifikasi Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitis, deskriptif maksudnya
menggambarkan atau menelaah permasalahan hukum hal-hal yang berkaitan dengan
pengawasan Notaris. Sedangkan analitis maksudnya data hasil penelitian diolah lebih
dahulu, lalu dianalisis dan kemudian baru diuraikan secara cermat tentang pengawasan
terhadap Notaris yang dilakukan oleh Majelis Pengawas. Seperti dikemukakan oleh
Soeryono Soekanto, “Penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang bertujuan untuk
38
Pasal 1 ayat (13) UUJN.
39
membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki”.40
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut
dengan istilah penelitian doktrinal41 (doctrinal research), yaitu penelitian yang
menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book),
maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided
by the judge through judicial process).42 Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi
dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan yang diperoleh melalui
wawancara dengan Sekretaris MPP, Sekretaris MPW Sumatera Utara, Sekteraris MPD
Kota Medan serta Ketua MPD Kota Medan yang akan dijadikan sebagai data pendukung
atau pelengkap.
2. Sumber Data Penelitian
Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder,43 yang meliputi:
a. Bahan hukum primer, yaitu Peraturan Perundang-undangan di bidang
pengawasan terhadap Notaris, yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
40
Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yogyakarta : Andi Offset, 1998), hlm. 3.
41
Penelitian sejenis ini disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder. Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 10.
42
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hlm. 1.
43
Penelitian Normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum
tentang Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Perundang-undangan lain
yang berkaitan dengan pengawasan terhadap Notaris.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar
hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan
pengawasan Notaris.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelesan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang memuat
informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.44
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis
menggunakan 2 (dua) metode pengumpulan data, yakni:
a. Penelitian Kepustakaan (library research).
Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan data
akan dilakukan melalui Penelitian Kepustakaan, dikumpulkan melalui penelitian
literatur, yakni dengan mempelajari ketentuan Perundang-undangan tentang
pengawasan Notaris dan Peraturan Perundang-undangan lain yang relevan dengan
materi penelitian.
44
b. Penelitian lapangan (field research)
Penelitian lapangan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk
mengumpulkan data pendukung mengenai pengawasan terhadap Notaris. Dalam hal
ini peneliti akan melakukan wawancara langsung dengan Sekretaris MPP, Sekretaris
MPW Sumatera Utara, Sekteraris MPD Kota Medan serta Ketua MPD Kota Medan yang
akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap.
4. Analisis Data
Setelah semua data sekunder diperoleh melalui Penelitian Kepustakaan
(library research) serta data pendukung yang diperoleh dari Penelitian Lapangan
(field research), maka dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui
keabsahannya, kemudian data diseleksi, diolah dan dikelompokkan atas data yang
sejenis, dianalis sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku untuk
melihat kecenderungan yang ada. Terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan
secara yuridis, logis, sistematis dengan menggunakan metode deduktif.
Metode deduktif maksudnya melihat suatu peraturan-peraturan yang berlaku
secara umum yang dijadikan dasar hukum dalam melaksanakan pengawasan terhadap
Notaris. Dengan menggunakan metode deduktif ini, maka akan diperoleh persesuaian
tentang bagaimana sebenarnya pengawasan terhadap Notaris tersebut. Dari hasil
pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh kesimpulan yang memberikan
BAB II
KEWENANGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM PENGAWASAN NOTARIS MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS
A. Dasar Pemikiran Lahirnya Lembaga Majelis Pengawas Notaris
Sejak berlakunya UUJN, pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi
terhadap Notaris dilakukan oleh badan peradilan yang ada pada waktu itu,
sebagaimana pernah diatur dalam Pasal 140 Reglement op Rechtelijke Organisatie en
Het Der Justitie (Stbl. 1847 No. 23), Pasal 96 Reglement Buitingewesten, Pasal 3
Ordonantie Buitengerechtelijke Verrichtingen-Lembaran Negara 1946 Nomor 135
dan Pasal 50 Peraturan Jabatan Notaris, kemudian pengawasan terhadap Notaris
dilakukan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sebagaimana tersebut dalam Pasal
32 dan 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam
Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Kemudian dibuat pula Surat
Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang Tata
Cara Pengawasan Terhadap Notaris, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung
dan Menteri Kehakiman Nomor KMA/006/SKB/VII/1987 tentang Tata Cara
Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris dan terakhir dalam Pasal 54
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004.
Dalam kaitan tersebut di atas, meskipun Notaris diangkat oleh pemerintah
mengenai pengawasannya dilakukan oleh Badan Peradilan, hal ini dapat dipahami
karena pada waktu itu kekuasaan kehakiman ada pada Departemen Kehakiman.
Tahun 1999 sampai dengan tahun 2001 dilakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Dasar 1945, dan dengan amandemen tersebut telah pula merubah
Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sebagai tindak lanjut dari perubahan
tersebut dibuat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, ditegaskan
bahwa Mahkamah Agung sebagai pelaku salah satu kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Mahkamah Agung berdasarkan aturan hukum tersebut hanya mempunyai
kewenangan dalam bidang peradilan saja, sedangkan dari segi organisasi,
2004 dibuat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004, dalam Pasal 5 ayat (1)
ditegaskan bahwa pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial
pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.45
Sejak pengalihan kewenangan tersebut, Notaris yang diangkat oleh
pemerintah (Menteri) tidak tepat lagi jika pengawasannya dilakukan oleh instansi lain
dalam hal ini badan peradilan, karena Menteri sudah tidak mempunyai kewenangan
apapun terhadap badan peradilan, kemudian tentang pengawasan terhadap Notaris
yang diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dicabut oleh Pasal
91 UUJN.
Setelah berlakunya UUJN badan peradilan tidak lagi melakukan pengawasan,
pemeriksaan dan penjatuhan terhadap Notaris, tetapi pengawasan, pemeriksaan dan
penjatuhan sanksi terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM dengan
membentuk Majelis Pengawas Notaris.
B. Kewenangan Majelis Pengawas Notaris
Pada dasarnya yang mempunyai wewenang46 melakukan pengawasan dan
pemeriksaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan HAM yang dalam
45
Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 mengenai Pengalihan Organisasi, Administrasi
dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung.
46
pelaksanaannya Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris. Menteri sebagai
pimpinan Departemen Hukum dan HAM mempunyai tugas membantu Presiden
dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah di bidang hukum dan HAM.47
Majelis Pengawas Notaris sebagai satu-satunya instansi yang berwenang
melakukan pengawasan, pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris, tiap
jenjang Majelis Pengawas (MPD, MPW, dan MPP) mempunyai wewenang
masing-masing, yaitu :
1. Majelis Pengawas Daerah
Wewenang MPD diatur dalam UUJN, Peraturan Menteri Hukum dan HAM
Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum
dan HAM Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10. Tahun 2004. Dalam Pasal 66
UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan:
1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan
persetujuan MPD berwenang:
a) Mengambil fotokopi Minuta Akta dan surat-surat yang dilekatkan pada Minuta
Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris.
b) Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta
yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu), Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang
Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid) Pro Justitia Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, (Bandung :
Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, 1998), hlm. 2.
47
2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dibuat berita acara penyerahan.
MPD dapat tidak menyetujui penyidik, penuntut umum atau hakim untuk :
a) Mengambil fotokopi Minuta Akta dan surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta
atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris.
b) Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang
dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
Sepanjang tata cara dan prosedur pembuatan akta telah dipenuhi oleh Notaris yang
bersangkutan, meskipun hal ini tidak diatur dalam UUJN.48
Ketentuan Pasal 66 UUJN ini mutlak kewenangan MPD yang tidak dipunyai oleh
MPW maupun MPP. Substansi Pasal 66 UUJN imperatif dilakukan oleh penyidik,
penuntut umum, atau hakim. Dengan batasan sepanjang berkaitan dengan tugas jabatan
Notaris dan sesuai dengan kewenangan Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15
UUJN. Ketentuan tersebut berlaku hanya dalam perkara pidana, karena dalam pasal
tersebut berkaitan dengan tugas penyidik dan penuntut umum dalam ruang lingkup perkara
pidana. Jika seorang Notaris digugat perdata, maka izin dari MPD tidak diperlukan, karena
hak setiap orang untuk mengajukan gugatan jika ada hak-haknya terlanggar oleh suatu akta
Notaris.
Dalam kaitan ini, MPD harus objektif ketika melakukan pemeriksaan atau
meminta keterangan dari Notaris untuk memenuhi permintaan peradilan, penyidik,
48
penuntut umum, atau hakim, artinya MPD harus menempatkan akta Notaris sebagai objek
pemeriksaan yang berisi pernyataan atau keterangan para pihak, bukan menempatkan
subjek Notaris sebagai objek pemeriksaan, sehingga tata cara atau prosedur pembuatan
akta harus dijadikan ukuran dalam pemeriksaan tersebut.
Dengan demikian diperlukan anggota MPD, baik dari unsur Notaris,
pemerintahan dan akademis yang memahami akta Notaris, baik dari prosedur maupun
substansinya. Tanpa ada izin dari MPD, penyidik, penuntut umum dan hakim tidak
dapat memanggil atau meminta Notaris dalam suatu perkara pidana.49
Pasal 70 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan:
a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode
Etik Notaris50 atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;
49
Notaris dan PPAT sebagai institusi yang esoteri, suatu hal yang tepat jika Notaris dan PPAT diperlakukan secara khusus. Jika Notaris tersangkut dalam suatu perkara pidana dengan cara pemeriksaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 66 UUJN. Tindak lanjut dari ketentuan pasal tersebut telah dibuat Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI) No. Pol. B/1056/V/2006, Nomor 01/MoU/PP-INI/V/2006 dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Indonesia (IPPAT) No. Pol. B/1055/V/2006, Nomor 01/PP-IPPAT/V/2006, tanggal 5 Mei 2006. Dalam hal ini agak kurang tepat jika substansi suatu undang-undang (UUJN) diimplementasikan dalam bentuk Nota Kesepahaman, seharusnya undang-undang tersebut dilaksanakan sebagaimana maksud dan tujuan undang-undang yang bersangkutan.
50
MPD seharusnya tidak perlu diberi kewenangan untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Jabatan Notaris, karena organisasi jabatan Notaris secara internal sudah mempunyai institusi sendiri, jika ada anggotanya melanggar Kode Etik Jabatan Notaris. MPD mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pengawasan menurut UUJN, Dewan Kehormatan Notaris mempunyai kewenangan untuk melaksanakan ketentuan menurut Kode Etik Jabatan Notaris. Hal ini sesuai dengan isi Pasal 83 ayat (1) UUJN, bahwa Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Jabatan Notaris.
Dalam Pasal 7 Kode Etik Notaris ditentukan bahwa pengawas atas pelaksanaan Kode Etik itu dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah
b. Pada tingkat banding oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan
b. Melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;
c. Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
d. Menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang
bersangkutan;
e. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima
Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
f. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol
Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam pasal
11 ayat (4);
g. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode
Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;
h. Membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, huruf e dan g kepada Majelis Pengawas Wilayah.
Kemudian pasal 71 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan:
a. Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan
menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah
tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;