Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
SKRIPSI
PENERAPAN AKUNTANSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) PADA PT ENAM ENAM GROUP MEDAN
Oleh :
NAMA : ANDRE H PAKPAHAN NIM : 050503212
DEPARTEMEN : AKUNTANSI
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Ekonomi
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada PT Enam Enam Group” adalah benar hasil karya
saya sendiri dan judul ini belum pernah dimuat, dipublikasikan, atau diteliti oleh
mahasiswa lain dalam konteks penulisan skripsi untuk program S1 Departemen Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Semua sumber data dan informasi yang diperoleh telah dinyatakan dengan jelas, benar,
apa adanya dan apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, saya bersedia
menerima sanksi yang ditetapkan oleh Universitas Sumatera Utara.
Medan, 22 Juni 2009
Yang Membuat Pernyataan,
Andre H Pakpahan NIM 050503212
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
anugerah dan berkat-Nya yang telah dilimpahkan sejak penulis mencari ide, mengajukan,
menyusun, hingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan berupa pengarahan,
bimbingan, bantuan, dan kerjasama semua pihak yang telah turut membantu dalam proses
menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Hasan Sakti Siregar, M.Si., Ak. dan Ibu Mutia Ismail, MM, Ak. selaku Ketua
Departemen dan Sekretaris Departemen Akuntansi Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Arifin Lubis, MM, Ak selaku Dosen Pembimbing atas bimbingan dan
arahan Bapak dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Drs. Hotmal Jafar, MM, Ak selaku Dosen Penguji I dan Bapak Fahmi Natigor
Nst, SE, M.Acc, Ak selaku Dosen Penguji II atas segala masukan dan saran yang telah
diberikan.
5. Kepada ayah tercinta dr. Rudolf H Pakpahan Sp Rad dan ibunda tercinta Bintang
Silaen. Terima kasih banyak untuk kasih sayang, didikan, dan dukungan berupa
nasehat, doa dan materi yang diberikan kepada saya.
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
senantiasa melimpahkan berkat dan karunia-Nya. Amin.
Medan, 22 Juni 2009
Penulis
Andre H Pakpahan NIM 050503212
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
PPN. Adapun tujuan penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah PT Enam Enam Group Medan telah menerapkan akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai dengan SAK.
Dalam penulisan skripsi ini, penulisan menggunakan metode studi deskriptif yaitu menguraikan dan menjelaskan tentang akuntansi PPN pada PT Enam Enam. Jenis data yang dikumpulkan adalah data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif yang terdiri dari data primer dan sekunder. Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik penelitian lapangan yaitu wawancara, observasi dan teknik dokumentasi.
Dari hasil penelitian akan dapat disimpulkan apakah perlakuan akuntansi atas PPN telah sesuai dengan peraturan perpajakan. Dari hasil observasi menunjukkan bahwa akun PPN yang diterapkan perusahaan telah memadai dengan prinsip-prinsip akuntansi dan peraturan perpajakan, walaupun masih ada hal-hal yang belum dilaksanakan tetapi perusahaan berusaha untuk menyempurnakannya. Perusahaan hendaknya terus mengikuti perkembangan peraturan perpajakan, sehingga tidak ada kesalahan yang disebabkan ketidaktahuan terhadap peraturan perpajakan yang berlaku.
Kata kunci : Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai, Peraturan Perpajakan
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
to record all the price of acquisition and delivery of Taxable Gods especially to apply the Accounting of Value-Added Tax (VAT).
The objective of this research is to know about if the company has been applying the Accounting of Value-Added Tax (VAT) according to Indonesia Financial Accounting Standard. In obtaining the necessary datas for the research, the author used the interview and documentation method. Datas used in this research consist of primary and secondary data. The analitical procedure used is descriptive analitical method.
The observation result has been shown that the Accounting of Value-Added Tax (VAT) which is applied by the company has been appropriated with accounting principal and taxation laws, even tough there still other things have not done yet, the company always try to complete it. At least the company keeps following the development of taxation laws, until there is no mistakes that caused by the unknowing of taxation laws.
Keywords : Accounting of Value-Added Tax, Taxation Laws
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
KATA PENGANTAR……….. ii
ABSTRAK……… iv
ABSTRACT………. v
DAFTAR ISI……… vi
DAFTAR GAMBAR……….... x
DAFTAR TABEL……… xi
BAB I PENDAHULUAN………. 1
A. Latar Belakang Masalah……… 1
B. Perumusan Masalah……….... 4
C. Tujuan Penelitian……… 5
D. Manfaat Penelitian……….. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 6
A. Pengertian Akuntansi……….. 6
B. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Secara Umum…………. 6
1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)……… 6
2. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai (PPN)…… 8
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
1. Subjek Pajak………... 11
2. Objek Pajak……….. .. 14
D. Penghitungan dan Prosedur / Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai (PPN)……… .. 17
1. Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)… .. 17
2. Prosedur / Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai (PPN)………. 21
E. Faktur Pajak……….. 24
1. Faktur Pajak Standar……… .. 25
2. Faktur Pajak Gabungan……….……… 29
3. Faktur Pajak Sederhana………. 30
F. Pengakuan dan Pengukuran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Menurut SAK dan UU Perpajakan………… 32
G. Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)……….. 37
H. Koreksi Fiskal Pajak Pertambahan Nilai (PPN)……….. ... 46
I. Tinjauan Penelitian Terdahulu……… ... 49
J. Kerangka Konseptual………. ... 50
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
C. Teknik Pengumpulan Data……….. .. 52
D. Metode Analisis Data………... .. 52
E. Responden……… .. 52
F. Lokasi dan Jadwal Penelitian………... . 53
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN………... 54
A. Data Penelitian……… 54
1. Sejarah Singkat Perusahaan……….. . 54
2. Struktur Organisasi Perusahaan………. . 55
3. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)……… 57
4. Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)…………. 58
5. Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).... 58
6. Mekanisme Pengkreditan Pajak serta Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN)……… 59
7. Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)…… ... 60
8. Koreksi Fiskal Pajak Pertambahan Nilai (PPN). ... 63
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
3. Mekanisme Pengkreditan Pajak serta Pelaporan
SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN)……… 64
4. Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)………. 65
5. Koreksi Fiskal Pajak Pertambahan Nilai (PPN)….. 67
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………. 68
A. Kesimpulan……….. 68
B. Saran………. 68
DAFTAR PUSTAKA……… 70
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual……… 50
Gambar 4.1 Struktur Organisasi Perusahaan………. 72
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Tabel 2.1 Pengakuan Pendapatan………. 34
Tabel 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu……… 49
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian………. 53
1
A. Latar Belakang Masalah
Pajak sebagai sumber penerimaan dalam negeri semakin lama semakin
terasa sebagai andalan penerimaan negara. Untuk lebih meningkatkan penerimaan
di bidang perpajakan, telah beberapa kali dilakukan penyempurnaan, penambahan,
bahkan perubahan di bidang perpajakan.
Pajak merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh masyarakat baik
pribadi maupun badan dari pendapatan atau penghasilannya kepada Pemerintah
yang ditujukan untuk kegiatan pembangunan di segala bidang.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas
penyerahan barang/jasa kena pajak di daerah pabean yang dilakukan oleh
pabrikan, penyalur utama atau agen utama, importer, pemegang hak paten/ merek
dagang dari barang/jasa kena pajak tersebut. Menurut Soemarso S.R (2003 : 269)
dalam buku Akuntansi Suatu Pengantar mengatakan bahwa “Pajak Pertambahan
Nilai merupakan pajak yang dikenakan pada waktu perusahaan melakukan
pembelian atas Barang Kena Pajak (BKP)/ Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan
dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP)”. Setiap pembelian barang yang ada
hubungannya secara langsung dengan barang yang akan dihasilkan/ dijual, maka
atas pajak yang dikenakan terhadap barang tersebut, oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) merupakan pajak masukan yang besarnya 10% dari harga beli barang,
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
pajak sebagai PPN yang merupakan pajak keluaran untuk masa pajak yang
bersangkutan.
PT. Enam Enam Group merupakan suatu perusahaan yang bergerak dalam
bidang pemasaran alat KWh. KWh meter yaitu alat berupa piringan yang
berfungsi mengukur konsumsi energi pelanggan. Ditinjau dari kegiatan usahanya,
PT. Enam Enam Group melakukan kegiatan perdagangan yang dikenakan PPN,
karena merupakan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa dengan
pabrikan PT. Mecoindo. Sebagai penyalur untuk kawasan Sumatera Utara, PT.
Enam Enam Group yang secara langsung mendistribusikan Barang Kena Pajak
(BKP) produk pabrikan. Bila perusahaan melakukan pembelian terhadap Barang
Kena Pajak (BKP) maka dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masukan dari
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) barang tsb. Sebaliknya bila perusahaan ini
melakukan penjualan terhadap barang tersebut , maka perusahaan berhak
melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) keluaran terhadap Barang
Kena Pajak (BKP) tersebut. Pajak masukan yang telah disetor dapat dikreditkan
dengan pajak keluaran yang telah dipungut. Kelebihan atas Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) ini dapat di restitusi atau dikompensasikan ke masa tahun pajak
berikutnya.
Masalah yang timbul dalam pencatatan Pajak Masukan maupun Pajak
Keluaran adalah berbedanya saat penyerahan barang kena pajak dan saat
pembuatan faktur pajak. Faktur pajak dapat dibuat pada akhir bulan setelah bulan
penyerahan barang kena pajak/ jasa kena pajak. Akibatnya, pada saat penyerahan
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
menurut pajak belum diakui karena faktur belum diterbitkan, tetapi pihak
perusahaan sudah menganggapnya sebagai penghasilan atas penjualan lokal dari
barang kena pajak tersebut dan mencatatnya sebagai pendapatan (prinsip akrual).
Dari segi akuntansi, saat penyerahan barang merupakan salah satu saat pengakuan
beban atau perolehan aktiva. Penetapan penghasilan / pendapatan sangat penting
bagi perusahaan dan juga aparat perpajakan (fiskus) karena kekeliruan dalam
menentukan penghasilan / pendapatan tersebut akan mengakibatkan informasi
yang salah. Penetapan yang terlalu kecil (understated) atau terlalu tinggi
(overstated) akan mengakibatkan kesalahan dalam membuat keputusan.
Penyampaian jumlah penghasilan kena pajak yang salah, misalnya lebih rendah
(understated) daripada yang sebenarnya merupakan suatu kesalahan yang dapat
dikenakan sanksi perpajakan.
Prosedur akuntansi untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lebih kompleks
bila dibandingkan dengan Pajak Penjualan (PPn) sebelumnya. Namun,
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak mengatur secara jelas bagaimana
mekanisme pembukuan pajak masukan dan pajak keluaran, sehingga
masing-masing perusahaan membukukannya sesuai dengan persepsinya. Tidak ada aturan
yang jelas mengenai pajak masukan dan ajak keluaran tersebut akan menyebabkan
terjadinya kesalahan pencatatan oleh perusahaan di dalam Laporan Keuangan
khususnya neraca. Seperti penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Mila Sartika
(2007) pada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) Cabang Medan,
dimana laporan keuangan yang dibuat oleh perusahaan tersebut hanya untuk
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
tidak dapat dijadikan sebagai dasar penghitungan besarnya penghasilan kena
pajak. PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) Cabang Medan dalam
melakukan pencatatan pajak masukan dan pajak keluaran dilakukan pada setiap
akhir bulan yaitu setelah dibuatnya rekapitulasi pembelian dan rekapitulasi
penjualan. Apabila terjadi kesalahan di dalam pajak keluaran yang disajikan
terlalu besar (overstated) menyebabkan informasi yang dihasilkan di dalam neraca
menjadi tidak akurat serta mengakibatkan tingkat likuiditas perusahaan semakin
kecil, maka untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang akan terjadi sangat
diperlukan pencatatan yang baik mengenai akuntansi pajak sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK).
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis termotivasi untuk membahasa masalah
ini dengan judul “Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada PT
Enam Enam Group Medan”.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka untuk mempermudah penulis
melakukan penelitian ini dirumuskan masalah sebagai berikut : “ Apakah
penerapan akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada PT. Enam Enam Group
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
apakah PT Enam Enam Group Medan telah menerapkan akuntansi Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) sesuai dengan SAK.
D. Manfaat Penelitian
Pada penelitian ini, penulis berharap dapat memberikan manfaat antara lain :
1. Bagi Penulis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan
tentang masalah yang diteliti, yaitu bagaimana penerapan akuntansi pajak
pertambahan nilai.
2. Bagi perusahaan, penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran
maupun bahan pertimbangan dalam menerapkan Akuntansi Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) pada perusahaan.
3. Bagi pihak lain, penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan
wawasan serta dapat sebagai referensi bagi peneliti lain bila mengadakan
6
A. Pengertian Akuntansi
Akuntansi adalah suatu proses mengidentifikasi, mengukur dan
melaporkan informasi ekonomi untuk memungkinkan dilakukannya penilaian dan
pengambilan keputusan secara jelas dan tegas bagi pihak–pihak yang
menggunakan informasi tersebut.
Dari pengertian di atas terkandung tujuan utama akuntansi adalah
menghasilkan atau menyajikan informasi ekonomi (economic information) dari
suatu kesatuan ekonomi (economic entity) kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Informasi akuntansi itu pada dasarnya menyajikan informasi
ekonomi kepada banyak pihak yang memerlukan, sehingga akuntansi juga sering
disebut dengan bahasa dunia usaha karena akuntansi merupakan alat komunikasi
dan informasi bagi pihak-pihak yang memerlukannya. Adapun pihak yang
memerlukan akuntansi dapat dibedakan yaitu pihak intern dan pihak ekstern.
B. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Secara Umum 1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Untuk memahami pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN), perlu diketahui
defenisi dari PPN yang dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain :
Menurut Soemarso S.R (2003 : 269) dalam buku Akuntansi Suatu Pengantar
mengatakan bahwa “Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan
pada waktu perusahaan melakukan pembelian atas BKP/JKP yang dikenakan dari
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Menurut Yusdianto (2002 : 117) dalam buku Akuntansi Perpajakan Terapan
mengatakan bahwa “Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang
menggantikan Pajak Penjualan (PPn) karena memiliki karakter positif yang tidak
dimiliki olek Pajak Penjualan”.
Menurut Wirawan Ilyas dan Rudy Suhartono (2007 : 8) dalam buku Pajak
Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah mengatakan bahwa “Dalam UU
PPN tidak terdapat defenisi mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Pejualan atas Barang Mewah (PPnBM), sehingga setiap orang dapat secara bebas
memberikan defenisi mengenai pajak tersebut.”
Dari pengertian di atas, walaupun pada hakekatnya defenisi tersebut berbeda, tapi
pada dasarnya maksud dan tujuan yang terkandung di dalamnya adalah sama.
Secara umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terdiri dari dua komponen,
yaitu Pajak Masukan dan Pajak Keluaran.
Menurut Soemarso S.R (2003:270) :
“Pajak Masukan adalah PPN yang dibayar pada waktu pembelian atau impor barang kena pajak serta penerimaan jasa kena pajak yang dapat dikreditkan untuk masa pajak yang sama. Dalam hal tertentu, pajak masukan tidak dapat di kreditkan. Sedangkan Pajak Keluaran adalah pajak yang dikenakan atas penjualan barang kena pajak yang ditambahkan sebesar 10% dari harga jual.”
Menurut UU PPN No. 18 Tahun 2000 Pasal 1 :
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai adalah UU Nomor 8 Tahun 1983.
Kemudian UU ini diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1994, dan yang terakhir
diubah lagi dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM). Aturan
pelaksanaan terakhir diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-159/PJ./2006 Tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara
Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar
Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 13/PJ.52/2006 Tanggal :31-10-2006.
2. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
a. Pajak Tidak Langsung
Pemikul beban pajak/pembeli dan penanggung jawab
pembayaran/penjual berada pada pihak yang berbeda. Apabila terjadi
penyimpangan pemungutan pajak, maka fiskus akan meminta
pertanggungjawaban penjual.
b. Pajak Objektif
Timbulnya kewajiban membayar PPN ditentukan oleh adanya objek
pajak.
c. Multi Stage Tax
PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
d. Indirect Subtraction Method/Credit Method/Invoice Method
PPN yang dipungut tidak langsung disetorkan ke Kas Negara. PPN yang
disetor ke Kas Negara merupakan hasil perhitungan Pajak Masukan
dengan Pajak Keluaran.
Pajak Masukan yang diperhitungkan untuk memperoleh jumlah PPN
yang harus dibayar ke Kas Negara merupakan kredit pajak. Untuk
mendeteksi kebenaran jumlah Pajak Masukan dan Pajak Keluaran
dibutuhkan suatu dokumen sebagai alat bukti yang dinamakan Faktur
Pajak.
e. Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri
PPN hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP)/ Jasa
Kena Pajak (JKP) di dalam negeri.
f. Netral
PPN dikenakan atas konsumsi barang maupun jasa dan pemungutannya
menganut prinsip tempat tujuan (PPN dipungut di tempat barang/jasa
dikonsumsi).
g. Tidak Menimbulkan Dampak Pajak Berganda
PPN hanya dikenakan atas nilai tambah dan PPN yang dibayar dapat
diperhitungkan dengan PPN yang dipungut.
h. Consumption Type Value Added Tax (VAT)
Dalam Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia, Pajak Masukan atas
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Pajak Keluaran yang dipungut atas penyerahan Barang Kena Pajak dan
atau Jasa Kena Pajak.
3. Kelebihan dan Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Dari beberapa karakteristik PPN tersebut diatas, dapat dikemukakan
bahwa PPN memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh Pajak
Penjualan. Meskipun demikian, sebagai suatu sistem, ternyata PPN juga tidak
bebas sama sekali dari beberapa kekurangan.
Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai :
1) Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda
2) Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri
3) Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan Barang Modal dapat diperoleh
kembali pada bulan perolehan, sesuai dengan tipe konsumsi (consumption
type VAT) dan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction
method).
4) Ditinjau dari sumber pendapatan Negara, Pajak Pertambahan Nilai
mendapat predikat sebagai “money maker” karena konsumen selaku
pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh pajak tersebut sehingga
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Kelemahan Pajak Pertambahan Nilai :
1) Biaya administrasi relative tinggi bila dibandingkan dengan Pajak Tidak
Langsung lainnya, baik dipihak administrasi pajak maupun dipihak wajib
pajak.
2) Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat kemampuan
konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul, dan sebaliknya
semakin rendah tingkat kemampuan konsumen, semakin berat beban pajak
yang dipikul. Dampak ini timbul sebagai konsekuensi karakteristik PPN
sebagai pajak objektif.
3) PPN sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak. Kerawanan ini
ditimbulkan sebagai akibat dari mekanisme pengkreditan yang merupakan
upaya memperoleh kembali pajak yang dibayar oleh pengusaha dalam
bulan yang sama tanpa terlebih dahulu melalui prosedur administrasi
fiskus.
Konsekuensi dari kelemahan PPN tersebut menuntut tingkat pengawasan yang
lebih cermat oleh administrasi pajak terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak
dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
C. Subjek dan Objek Pajak
1. Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat :
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
1) menghasilkan barang ; merakit, memasak, mencampur, mengemas,
membotolkan, menambang, menyediakan makanan dan minuman
yang dilakukan oleh usaha catering
2) mengimpor barang,
3) mengekspor barang,
4) melakukan usaha perdagangan,
5) memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean,
6) melakukan usaha jasa, atau
7) memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP/JKP yang
dikenakan PPN, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha
Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
1) yang melakukan penyerahan BKP/JKP (Ps.4 huruf a UU PPN)
2) yang mengekspor BKP (Ps. 4 huruf f UU PPN)
3) yang menyerahkan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Pengusaha kecil :
1) Pengusaha yang menyerahkan BKP/JKP dalam 1 tahun buku
memperoleh peredaran penerimaan bruto tidak lebih dari
Rp.600.000.000,-
2) Meskipun peredaran bruto dalam 1 tahun buku tidak lebih dari
Rp.600.000.000,- Pengusaha Kecil dapat memilih untuk
dikukuhkan menjadi PKP.
3) Pengusaha Kecil yang telah melampaui Rp 600.000.000,- dalam
suatu masa pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP paling lambat akhir bulan setelah bulan
terlampauinya batasan tersebut.
4) Jika pelaporan tidak tepat waktu, maka saat pengukuhan adalah
awal bulan berikutnya setelah akhir bulan seharusnya kewajiban
pelaporan usaha dilakukan.
5) Jika pengukuhan PKP dilakukan secara jabatan, maka saat
pengukuhan adalah awal bulan berikutnya setelah akhir bulan
seharusnya kewajiban pelaporan usaha dilakukan.
c. Bukan Pengusaha Kena Pajak (Non PKP)
1) Siapapun yang mengimpor BKP (Ps. 4 huruf b UU PPN)
2) Siapapun yang memanfaatkan BKP tidak berwujud/ JKP dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean (Ps.4 huruf d,e UU PPN)
3) Siapapun yang membangun sendiri tidak dalam linkungan
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
2. Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) :
a. Barang Kena Pajak (BKP)
BKP adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang
tidak berwujud yang dikenai PPN.
Penyerahan barang dapat dikenakan PPN bila penuhi unsur :
1) Penyerahan BKP
2) Daerah Pabean
3) Dilakukan dalam lingkungan kegiatan usaha/ pekerjaan
4) Yang melakukan harus PKP
PPN dikenakan atas :
1) Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
2) Impor BKP;
3) Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
4) Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
5) Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
7) Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan
usaha/ pekerjaan oleh orang pribadi/ badan yang hasilnya
digunakan sendiri atau digunakan pihak lain;
8) Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva
tsb tidak digunakan untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang
dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
b. Barang Tidak Kena Pajak (Non BKP) :
1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya;
- Minyak Mentah (Crude Oil)
- Gas bumi, panas bumi
- Pasir dan kerikil
- Batubara sebelum diolah menjadi briket
- Biji besi, biji timah, biji emas, biji nikel, biji tembaga, biji
perak, biji bauksit
2) Barang – barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh
rakyat banyak;
- Beras, gabah
- Jagung
- Sagu
- Kedelai
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah
makan, warung, dan sejenisnya;
4) Uang, emas batangan, dan surat – surat berharga.
c. Jasa Kena Pajak (JKP)
JKP adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan/
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang/ fasilitas/
kemudahan/ hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan
untuk menghasilkan barang karena pesanan/ permintaan dengan bahan
dan atas petunjuk dari pemesanan, yang dikenakan PPN.
Penyerahan jasa dapat dikenakan PPN bila penuhi unsur :
1) Penyerahan JKP
2) Daerah Pabean
3) Dilakukan dalam lingkungan kegiatan usaha/ pekerjaan
4) Yang melakukan harus PKP
d. Jasa Tidak Kena Pajak (Non JKP)
1) Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;
2) Jasa di bidang pelayanan sosial;
3) Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
4) Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan
hak opsi;
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
6) Jasa di bidang pendidikan;
7) Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak
tontonan;
8) Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
9) Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
10)Jasa di bidang tenaga kerja;
11)Jasa di bidang perhotelan;
12)Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum.
D. Penghitungan dan Prosedur/ Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1. Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
a. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
DPP adalah jumlah harga jual. Penggantian, nilai impor, nilai ekspor,
atau nilai lain yang di tetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang
dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak
yang terutang, yaitu:
1) Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP,
tidak termasuk PPN yang dipungut dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak. Harga jual dapat diperoleh dengan
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
pelengkap lainnya ditambah biaya – biaya seperti penyusutan barang
modal, bunga pinjaman dari bank, gaji dan upah tenaga kerja,
manajemen, serta laba usaha yang diharapkan.
2) Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan
JKP, tidak termasuk pajak yang dipungut dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak. Nilai penggantian merupakan
taksiran biaya untuk mengganti biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan profesi, keterampilan, dan pengalaman yang memberikan
pelayanan dalam arti “jasa” tersebut. Jika harga jual atau nilai
penggantian menggunakan mata uang asing, maka harus dikonversikan
ke dalam mata uang rupiah dengan Keputusan Menteri Keuangan
mengenai kurs yang berlaku saat itu.
3) Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar
penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan
pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Nilai Impor yang menjadi
Dasar Pengenaan Pajak adalah harga patokan impor atau Cost
Insurance and Freight (CIF) sebagai dasar penghitungan bea masuk
ditambah dengan semua biaya dan pungutan lain menurut ketentuan
Peraturan Perundang-undangan Pabean. Rumus menghitung Nilai
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
CIF + BEA MASUK = NILAI IMPOR
Dalam Nilai Impor tidak pernah termasuk PPN dan PPnBM.
4) Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
5) Nilai lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar
Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan. Nilai lain
yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai
berikut:
- Untuk pemakaian sendiri BKP dan atau JKP adalah Harga Jual
atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
- Untuk pemberian cuma-cuma BKP dan atau JKP adalah Harga Jual
atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor,
- Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah
pekiraan Harga Jual Rata-rata;
- Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per
judul film;
- Untuk persediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan, adalah harga pasar yang wajar;
- Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut
menurut ketentuan dapat dikreditkan, adalah harga pasar wajar;
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
- Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata
adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah
yang seharusnya ditagih;
- Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih;
- Untuk jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah seluruh imbalan
yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon;
- Untuk penyerahan BKP dan atau JKP dari Pusat ke Cabang atau
sebaliknya dan penyerahan BKP dan atau JKP antar cabang adalah
Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
- Untuk penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui
juru lelang adalah harga lelang.
b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Sistem PPN menganut tarif tunggal yaitu sebesar 10%. Namun
demikian,mengingat UU PPN menganut azas destination principle
dalam pengenaan pajaknya maka untuk kegiatan ekspor dikenakan
tariff 0%. Pengenaan tarif 0% atas ekspor BKP adalah dimaksudkan
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Menurut UU No. 18 Tahun 2000 Pasal 7 ayat 1, tarif PPN adalah sebagai berikut :
1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% (sepuluh persen)
Tarif Pajak Pertambahan Nilai Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak merupakan tarif tunggal yang dikenakan terhadap semua jenis Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak. Dalam keadaan tertentu sesuai Peraturan Pemerintah, tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat dinaikkan menjadi setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) dan serendah-rendahnya 5% (lima persen)
2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen)
Tarif Tarif Pajak Pertambahan Nilai Barang Kena Pajak sebesar 0% dikenakan atas ekspor Barang Kena Pajak, dimaksudkan untuk mendorong para pengusaha agar mampu menghasilkan barang untuk diekspor sehingga dapat bersaing di pasar luar negeri. Penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% bukan berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tetapi agar Pajak Masukan yang telah dibayar oleh pengusaha pada saat pembelian barang ekspor tersebut dapat dikreditkan.
2. Prosedur / Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
a. Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
1) Saat terutang adalah saat pembayaran
2) Faktur dan SSP dibuat pada saat PKP mengajukan tagihan
3) Faktur dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran
4) Pemungut Pajak Wajib memungut PPN terutang pada saat
pembayaran (bukan pada saat penyerahan)
5) Bendahara Wajib setor paling lambat 7 hari setelah bulan
dilakukan pembayaran atas tagihan
6) PPN yang telah disetor dilaporkan dalam SPT Masa PPN Bagi
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Yang ditunjuk pemungut PPN (KMK 563/KMK.03/2003)
1) Bendaharawan Pemerintah
2) Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
Objek Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Setiap pembayaran yang dilakukan oleh Pemungut PPN, kecuali:
1) Pembayaran yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 1.000.000,-
termasuk PPnBm dan tidak terpecah-pecah
2) Pembayaran untuk pembebasan tanah
3) Pembayaran yang mendapat fasilitas dibebaskan dan tidak dipungut
4) Pembayaran untuk penyerahan BBM dan Non BBM oleh Pertamina
5) Pembayaran atas rekening telepon
6) Pembayaran untuk jasa angkutan udara yang diserahkan oleh
pengusahaa penerbangan
b. Mekanisme Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Penghitungan PPN yang terutang dilakukan dengan cara mengalikan
jumlah harga jual/pengganti/nilai impor/nilai ekspor atau nilai lain yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan tarif pajak
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1). Pajak yang terutang ini
merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oelh Pengusaha Kena Pajak.
Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditetapkan dengan
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
hal Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor atau Nilai
Lain yang sukar ditetapkan, dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak yang
dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum, listrik dan
sejenisnya.
Contoh :
1) PKP “A” bulan Januari 2008 menjual tunai kepada PKP “B” 100
pasang sepatu @ Rp 100.000.000,00 = Rp 10.000.000,00
PPN terutang yang dipungut oleh PKP “A”
10% x Rp 10.000.000,00 = Rp 1.000.000,00
Jumlah yang harus dibayar PKP “B” = Rp 11.000.000,00
2) PKP “B” dalam bulan Januari 2008:
Menjual 80 pasang sepatu @ Rp 120.000,00 = Rp 9.600.000,00
Memakai 5 pasang sepatu untuk pemakaian sendiri.
DPP adalah harga jual tanpa menghitung laba kotor, yaitu Rp 100.000
per pasang = Rp 500.000,00
PPN yang terutang :
Atas penjualan 80 pasang sepatu
10% x Rp 9.600.000,00 = Rp 960.000,00
Atas pemakaian sendiri
10% x Rp 500.000,00
3) PKP Pedagang Eceran “C” menjual
= Rp 50.000,00
Jumlah PPN terutang = Rp 1.010.000,00
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Bukan BKP
E. Faktur Pajak
= Rp 5.000.000,00
Rp 15.000.000,00
PPN yang terutang
10% x Rp 10.000.000,00 = Rp 1.000.000,00
PPN yang harus disetor
10% x 20% x Rp 15.000.000,00 = Rp 300.000,00
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau
penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor barang kena
pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Pasal 1 angka 23
UUN PPN Tahun 2000). Faktur Pajak juga merupakan sarana untuk mengkreditan
Pajak Masukan. Oleh karena itu, Faktur Pajak harus benar baik secara formal
maupun secara material. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas dan benar
dan ditanda tangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk
menandatanganinya. Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk
setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak (Pasal 13 UU PPN
Tahun 2000). Orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak, dan apabila Faktur Pajak telah dibuat
maka orang pribadi atau badan tersebut harus menyetorkan jumlah pajak yang
tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara. Dengan demikian pengusaha yang
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
sebagai Pengusaha Kena Pajak dan menyerahkan Barang Kena Pajak / Jasa Kena
Pajak, dilarang membuat Faktur Pajak.
Ada terdapat 3 (tiga) jenis Faktur Pajak menurut UU PPN, yaitu:
1. Faktur Pajak Standar, termasuk dokumen-dokumen tertentu yang diperlakukan
sebagai Faktur Pajak Standar.
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang
Kena Pajak atau penyerahanJasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat (Pasal
13 Ayat 5 UU No 18 Tahun 2000) :
a. Nama, alamat, Nomor Pokok WajibPajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak.
b. Nama, alamat, dan Nomor PokokWajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak.
c. Jenis barang atau jasa, jumlahHarga Jual atau Penggantian, dan potongan harga.
d. Pajak Pertambahan Nilai yangdipungut.
e. Pajak Penjualan Atas Barang Mewahyang dipungut;
f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Syarat yang harus dipenuhi Faktur Pajak Standar yaitu syarat formal maupun
material. Yang dimaksud dengan syarat formal adalah bahwa Faktur Pajak
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
yang melakukan penyerahan atau pembelian BKP atau JKP, seperti yang sudah
disebutkan diatas. Adapun yang dimaksud dengan syarat material adalah bahwa
barang yang diserahkan benar, baik secara nilai maupun jumlah. Demikian juga
pengusaha yang melakukan dan yang menerima penyerahan BKP tersebut sesuai
dengan keterangan yang tercantum.
Bentuk, isi dan tatacara pengisian Faktur Pajak Standar telah diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. Per-159/PJ/2006. Faktur Pajak Standar
pada umumnya dibuat pada saat penyerahan kepada pembeli yang telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena pembeli yang dikukuhkan
sebagai PKP tersebut berkepentingan untuk dapat mengkreditkan Pajak Masukan
tersebut, sedangkan hanya Faktur Pajak Standar dan dokumen tertentu yang dapat
dipergunakan sebagai bukti pengkreditan Pajak Masukan.
Dan dokumen-dokumen yang dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar
adalah:
a. Pemberitahuan Impor Barang yang dilampiri Surat Setoran Pajak (SSP) dan
atau bukti pungutan pajak oleh Dirjen Bea dan Cukai untuk impor BKP;
b. Pemberitahuan Ekspor Barang yang telah dimuat oleh pejabat yang berwenang
dari Dirjen Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;
c. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
d. Faktur Nota Bon Penyerahan (FNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh Pertamina
untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM;
e. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi;
f. Ticket, Tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang
dibuat/ dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkatan udara dalam negeri;
g. SSP untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan BKP tidak
berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean;
h. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa ke
pelabuhan;
i. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik.
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5),
Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen-dokumen yang biasa
digunakan dalam dunia usaha sebagai Faktur Pajak Standar.
Ketentuan ini diperlukan karena:
a. Faktur penjualan yang digunakan oleh Pengusaha telah dikenal oleh masyarakat
luas dan memenuhi persyaratanadministratif sebagai Faktur Pajak. Misalnya,
kuitansi pembayaran telepon dantiket pesawat udara.
b. Untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak
yang seharusnya membuat Faktur Pajak,yaitu pihak yang menyerahkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, beradadi luar Daerah Pabean. Misalnya,
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai FakturPajak.
Faktur Pajak Standar ini harus dibuat paling lambat pada:
a. Akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
dan atau penyerahan keseluruhan Jasa Kena Pajak (JKP) dalam hal
pembayaran diterima setelah bulan penyerahan BKP dan atau penyerahan
keseluruhan JKP, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya
maka Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan
pembayaran; atau
b. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum penyerahan BKP dan atau sebelum penyerahan JKP, atau
c. Pada saat pembayaran termijn dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan; atau
d. Pada saat Pengusaha Kena Pajak (PKP) rekanan menyampaikan tagihan
kepada Pemungutan PPN.
Faktur Pajak Standar dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap dua yaitu:
Lembar ke-1 : Untuk pembeli BKP atau penerima JKP sebagai bukti Pajak
Masukan.
Lembar ke-2 : Untuk PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagai bukti
Pajak Keluaran.
Dalam hal Faktur Pajak Standar dibuat lebih dari rangkap dua, maka peruntukan
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
yang bersangkutan; misalnya lembar ke-3: Untuk PKP dalam hal penyerahan BKP
atau JKP dilakukan kepada Pemungutan PPN.
2. Faktur Pajak Gabungan
Merupakan Faktur Pajak Standar yang cara penggunaannya diperkenankan kepada
PKP atas beberapa kali penyerahan BKP/JKP kepada pembeli atau penerima jasa
yang sama, yang dilakukan dalam satu Masa Pajak, dan harus dibuat
selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan
BKP/JKP. Dalam hal terdapat pembayaran sebelum penyerahan BKP/JKP atau
terdapat pembayaran sebelum Faktur Pajak Gabungan tersebut dibuat, maka untuk
pembayaran tersebut dibuat Faktur Pajak tersendiri pada saat diterima
pembayaran.
Faktur Pajak yang dibuat meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama satu bulan takwim kepada
pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama.(Pasal 13 ayat 2
UU PPN Tahun 2000)
Bentuk Faktur Pajak ini sama dengan Faktur Pajak Standar, hanya terdapat
perbedaan dalam pengisiannya, yaitu:
a. Faktur Pajak standar dibuat untuk tiap – tiap transaksi
b. Faktur Pajak Gabungan dibuat untuk transaksi selama 1 (satu) bulan
kepada pembeli BKP atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama
Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Gabungan juga dapat
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Pasal 9 ayat 8 UU PPN hanya Faktur Pajak sederhana yang tidak dapat
dikreditkan.
Faktur Pajak Gabungan ini harus dibuat paling lambat pada:
a. Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak, dalam hal pembayaran baik sebagian atau
seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak; atau
b. Pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak,
dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum
berakhirnya bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak.
3. Faktur Pajak Sederhana
Faktur Pajak Sederhana adalah dokumen yang disamakan fungsinya dengan faktur
pajak yang diterbitkan oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/ atau JKP
kepada pembeli BKP dan /atau JKP yang tidak diketehui secara lengkap atau
penyerahan BKP / JKP secara langsung kepada konsumen akhir. Biasanya faktur
pajak sederhana digunakan oleh pembeli BKP / Penerima JKP dan tidak diketahui
identitasnya secara lengkap, misalnya :pembeli yang tidak diketahui NPWP-nya
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Faktur Pajak Sederhana juga merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh
Pengusaha Kena Pajak untuk menampung kegiatan penyerahan Barang Kena
Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan secara langsung kepada
konsumen akhir. Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tanda bukti
penyerahan atau tanda bukti pembayaran sebagai Faktur Pajak Sederhana yang
paling sedikit memuat:
a. Nama, alamat dan Nomor Pokok WajibPajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. Jenis dan kuantum;
c. Jumlah Harga Jual atauPenggantian yang sudah termasuk pajak atau besarnya
pajak dicantumkan secaraterpisah;
d. Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.
Bentuk faktur pajak sederhana dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi
cash register, karcis, kuitansi yang dipakai sebagai tanda bukti penyerahan atau
pembayaran atas penyerahan BKP atau JKP yang bersangkutan. Faktur Pajak
Sederhana yang diisi tidak lengkap bukan merupakan Faktur Pajak Sederhana.
Faktur Pajak Sederhana dibuat sekurang-kurangnya rangkap dua, lembar ke-1 :
untuk pembeli BKP/penerima JKP dan lembar ke-2 : untuk arsip PKP yang
bersangkutan.
Faktur Pajak Sederhana dianggap telah dibuat rangkap dua atau lebih, dalam hal
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
atau lebih bagian atau potongan yang disediakan untuk disobek atau dipotong,
seperti yang terjadi pada karcis.
Sesuai ketentuan Pasal 9 ayat 8 UU PPN Tahun 2000, Pajak masukan yang
tercantum dalam Faktur Pajak sederhana tidak dapat dikreditkan.
Faktur Pajak Sederhana harus dibuat pada saat penyerahan BKP atau saat
penyerahan JKP, atau pada saat pembayaran apabila pembayaran diterima
sebelum penyerahan BKP / JKP.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan
secara langsung kepada konsumen akhir, atau
b. Penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli
Barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak yang nama, alamat
atau Nomor Pokok Wajib Pajaknya tidak diketahui,
dapat membuat Faktur Pajak Sederhana. (Kep DJP No. 128/PJ/2004)
F. Pengakuan dan Pengukuran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Menurut SAK dan UU Perpajakan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) timbul akibat adanya transaksi pembelian dan
penjualan terhadap Barang Kena Pajak / Jasa Kena Pajak. Apabila Pengusaha
Kena Pajak (PKP) melakukan pembelian BKP maka akan dikenakan Pajak
Masukan. Selanjutnya bila PKP tersbut melakukan penjualan atas BKP tersebut
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
sebelumnya dan hal ini merupakan Pajak Keluaran. Seperti halnya pendapatan,
PPN juga harus diketahui kapan diakui dan bagaimana cara pengkurannya.
Menurut Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan dalam
SAK (2007 : 22 : par.92), dijelaskan bahwa :
“Penghasilan diakui dalam laporan laba rugi kalau kenaikan manfaat ekonomi di masa depan yang berkaitan dengan peningkatan aktiva atau penurunan kewajiban telah terjadi dan dapat diukur dengan andal. Ini berarti pengakuan penghasilan terjadi bersamaan dengan pengakuan kenaikan aktiva atau penurunan kewajiban (misalnya, kenaikan bersih aktiva yang timbul dari penjualan barang atau jasa atau penurunan kewajiban yang timbul dari pembebasan pinjaman yang masih harus dibayar)”.
Menurut UU Perpajakan No.18 Tahun 2000 Pasal 4 ayat 1, dijelaskan bahwa:
“Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun”.
Menurut Donald E. Kieso, dkk dalam buku Akuntansi Intermediate (2002:53),
pendapatan umumnya diakui jika:
a. Telah direalisasi atau dapat direalisasi
b. Telah dihasilkan
Misal, PT. X melakukan penjualan barang dengan jumlah penyerahan Rp
15.000.000,- terdiri dari :
- Penyerahan yang telah diterima pembayarannya Rp 10.000.000,-
- Penyerahan yang belum diterima pembayarannya Rp 5.000.000,-
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Prinsip kas : Pendapatan (penjualan) adalah Rp 10.000.000,- sisa yang belum
di bayar sebesar Rp 5.000.000 ditetapkan sebagai penghasilan
pada periode berikutnya apabila telah dilakukan pembayaran
berikutnya.
Tabel 2.1
Pengakuan Pendapatan
Penyerahan = Rp 15.000.000
Pembayaran I = Rp 10.000.000 Prinsip akrual
Des 2005 Jan 2006
Pembayaran II = Rp 5.000.000
Penghasilan ditetapkan = Rp 15.000.000
Penyerahan = Rp 15.000.000
Pembayaran I = Rp 10.000.000 Prinsip kas
Des 2005 Jan 2006
Pembayaran II = Rp 5.000.000
Penghasilan ditetapkan = Rp 10.000.000 Penghasilan ditetapkan = Rp 5.000.000
Pengakuan pendapatan dari penjualan barang dalam Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) No 23 (2007 : 23.10 : par 38) menyebutkan bahwa
pendapatan dari penjualan barang harus diakui bila seluruh kondisi berikut
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
a. Perusahaan telah memindahkan resiko secara signifikan dan telah memindahkan manfaat kepemilikan barang kepada pembeli;
b. Perusahaan tidak lagi mengelola atau melakukan pengendalian efektif atas barang yang dijual;
c. Jumlah pendapatan tersebut dapat diukur dengan andal;
d. Besar kemungkinan manfaat ekonomi yang dihubungkan dengan transaksi akan mengalir kepada perusahaan tersebut; dan
e. Biaya yang terjadi atau yang akan terjadi sehubungan dengan transaksi penjualan dapat diukur dengan andal.
Pengukuran pendapatan dalam PSAK No.23 (2007 : 23.10 :par.37) dijelaskan
bahwa “ Pendapatan harus diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau
yang dapat diterima”. Dalam UU Perpajakan No.18 Tahun 2000 Pasal 9 ayat 1,
dijelaskan bahwa “ Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 dengan Dasar Pengenaan
Pajak”.
Dalam Pasal 11 ayat 1 UU PPN No.18 Tahun 2000, terutangnya pajak
terjadi pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak b. impor Barang Kena Pajak c. penyerahan Jasa Kena Pajak
d. pemanfaatan Barang Kena Pajaktidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4huruf d.
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajakdari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e; atau
f. ekspor Barang Kena Pajak
Menurut Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan
dalam SAK (2007 : 23 : par.94), dijelaskan bahwa “Beban diakui dalam laporan
laba rugi kalau penurunan aktiva atau peningkatan kewajiban telah terjadi dan
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
dengan pengakuan kenaikan kewajiban atau penurunan aktiva (misalnya, akrual
hak karyawan atau penyusutan aktiva tetap).
Menurut UU Perpajakan No 18 Tahun 2000 Pasal 11 ayat 2, dijelaskan bahwa “ Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan barang kena pajak atau sebelum penyerahan jasa kena pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf d atau jasa kena pajak dari luar daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf e, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran”.
Dalam akuntansi, saat penyerahan barang merupakan salah satu saat pengakuan
beban atau perolehan aktiva (PSAK No 23 par 38). Begitu juga dengan pajak,
pengakuan beban atau perolehan aktiva diakui pada saat penyerahan barang kena
pajak, tetapi karena pembuatan faktur pajak dapat diserahkan bulan berikutnya
maka pendapatan tersebut tidak dapat dilaporkan pada bulan saat penyerahan
BKP.
Terutangnya PPN menurut akuntansi yaitu pada saat penyerahan BKP
walaupun faktur pajak belum dibuat dan belum diterima pembayarannya. Menurut
UU Perpajakan terutangnya PPN sama dengan akuntansi yaitu pada saat
penyerahan BKP atau sudah terjadi penjualan (UU Perpajakan No 18 Tahun 2000
Pasal 11 ayat 1), tetapi apabila diterima uang muka adari penjualan tersbut maka
terutangnya PPN secara administrative adalah pada saat pembayaran uang muka
(UU Perpajakan No.18 Tahun 2000 Pasal 11 ayat 2) dan diterbitkan faktur
pajaknya.
Efek dari pengakuan dan pengukuran beban PPN ini memiliki implikasi
terhadap pelaporan keuangan yaitu laba rugi terlalu rendah sehingga
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Misal, pada tanggal 25 Desember 2008 diterima uang muka sebesar Rp
1.000.000,- dari penjualan barang sebesar Rp 10.000.000,- Barang tersebut akan
diserahkan pada 20 Januari 2009.
Menurut UU Perpajakan, pada saat diterima uang muka PPN, penjualan sudah
diakui dan faktur pajak diterbitkan pada saat itu juga. Sedangkan menurut SAK,
penjualan belum diakui karena barang belum diserahkan dan faktur belum
diterbitkan, tetapi uang muka atas penjualan barang tersebut sudah diakui dan
dikenakan PPN Keluaran. Jadi penjualan diakui menurut akuntansi adalah pada
saat penyerahan barang pada bulan berikutnya yaitu tanggal 20 Januari 2009.
Perbedaan pengakuan penjualan menurut SAK dan Pajak, akan menyebabkan laba
yang dihasilkan perusahaan terlalu rendah (understated). Hal ini terjadi karena
menurut akuntansi, penjualan belum diakui bila belum terjadi penyerahan barang.
Sedangkan dalam pajak, apabila pembayaran diterima lebih dahulu sebelum
barangnya diserahkan maka pada saat pembayaran uang muka tersebut penjualan
dan PPN sudah diakui. Oleh karena itu, perusahaan harus melakukan koreksi
fiskal atas pendapatan dan beban untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak.
G. Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Prosedur pembukuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terdiri dari :
1. Pembelian barang yang PPN-nya dapat dikreditkan dan yang tidak dapat
dikreditkan.
2. Penjualan dan PPN terutang.
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
4. dan lain-lain
Dilihat dari pengenaan PPN, barang yang dibeli oleh perusahaan dapat
digolongkan ke dalam dua jenis barang, yaitu barang yang PPN-nya dapat
dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan. Pembelian kedua jenis barang
tersebut perlu dipertimbangkan dalam rangka pembukuan, karena PPN yang tidak
dapat dikreditkan tersebut dapat dimasukkan ke dalam biaya dalam perhitungan
pajak penghasilan nantinya.
Pembelian barang yang PPN-nya dapat dikreditkan masih dapat dikelompokkan
ke dalam dua jenis, yaitu:
1. pembelian barang untuk diolah (persediaan), dan
2. pembelian barang modal yang ada hubungannya dengan proses produksi.
Berikut ini akan diuraikan prosedur pembukuan pembelian barang yang PPN-nya
dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan (berkaitan dengan PPN
Masukan) :
1. Pembelian barang/persediaan yang PPN-nya dapat dikreditkan
PT X membeli barang untuk persediaan dalam bulan Agustus 2008 seharga
Rp 10.000,00 dengan kredit dari PT Y. Transaksi ini dicatat dengan ayat
jurnal sebagai berikut:
Pembelian 10.000,00
PPN Masukan 1.000,00
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
2. Pembelian barang modal yang PPN-nya dapat dikreditkan
PT X membeli mesin seharga Rp 100.000 dengan kredit pada bulan Juni 2008
dari PT Y. Transaksi ini dicatat dengan ayat jurnal sebagai berikut:
Mesin 100.000,00
PPN Masukan 10.000,00
Utang 110.000,00
3. Pembelian barang/persediaan yang PPN-nya tidak dapat dikreditkan
PT X membeli tunai alat tulis seharga Rp 5.000,00 ditambah PPN 10% karena
alat tulis ini tidak mempunyai hubungan lansung dengan proses produksi.
Pajak Masukannya tidak boleh dikreditkan. PPN yang tidak dapat dikreditkan
dapat dibebankan sebagai biaya operasi. Transaksi ini dicatat dengan ayat
jurnal sebagai berikut:
Alat tulis 5.000,00
Biaya PPN 500,00
Kas 5.500,00
4. Pembelian barang/modal yang PPN-nya tidak dapat dikreditkan
PT X membeli kendaraan sedan untuk keperluan kantor administrasi seharga
Rp 20.000,00 tunai. Pajak masukan pembelian kendaraan sedan tidak dapat
dikreditkan. Namun, pajak tersebut dapat dibebankan sebagai biaya perolehan
kendaraan. Jadi, tidak dapat dibedakan sekaligus di tahun perolehannya,
melainkan disusut sesuai dengan tariff penyusutannya. Transaksi ini dicatat
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Kendaraan sedan 22.000,00
Kas 22.000,00
5. Pembelian dengan potongan
PT X membeli barang seharga Rp 12.000,00 dengan potongan pembelian Rp
2.000,00 jika pembayaran dilakukan dengan periode yang ditentukan tarif
PPN 10%. Transaksi ini dicatat dengan ayat jurnal sebagai berikut:
Pembelian 12.000,00
Cadangan potongan pembelian (2.000,00)
PPN Masukan 1.000,00
Utang 11.000,00
Apabila perusahaan tidak dapat membayar utang dalam waktu yang ditentukan
maka pembelian tidak berhak atas potongan. Pembayaran utang pembelian ini
dicatat dengan ayat jurnal :
Utang 11.000,00
PPN Masukan 200,00
Rugi karena potongan tidak
diambil 2.000,00
Kas 13.200,00
Karena potongan tidak diambil oleh pembeli maka PPN Masukan atas
potongan yang belum dihitung pada saat pembelian harus dibebankan.
Demikian pula penjualan harus memperhitungkan PPN terutang dengan
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
6. Pengembalian pembelian
Karena tidak sesuai dengan spesifikasi barang, pembelian sebanyak Rp
1.000,00 ditambah PPN 10% dikembalikan kepada penjual. Transaksi ini
dicatat dengan ayat jurnal sebagai berikut:
Utang 1.100,00
Pembelian 1.000,00
PPN Masukan 100,00
Pengembalian ini akan mengurangi PPN Masukan, demikian pula penjual
akan mengurangkan PPN terhutang.
Ada 3 (tiga) metode pencatatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu:
1. PPN Masukan dan PPN Keluaran yang dibukukan pada satu perkiraan.
Pembukuan dengan cara ini, hanya menggunakan satu perkiraan yaitu PPN
yang saldonya mungkin Debit atau Kredit, tergantung mana yang lebih besar
antara pajak masukan atau pajak keluaran untuk suatu masa pajak tertentu.
Misal, PT A membeli barang dengan perhitungan :
Pembelian barang X 100kg dengan harga Rp 10.000.000,-
PPN 10% Rp 1.000.000,-
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Transaksi ini akan dijurnal oleh PT A sebagai berikut :
Persediaan barang 10.000.000
PPN 1.000.000
Kas 11.000.000
Bila dalam bulan atau masa pajak yang sama PT A menjual seluruh barang
tersebut dengan perhitungan :
Harga barang X (Rp 120.000/kg) Rp 12.000.000,-
PPN 10% Rp 1.200.000,-
Jumlah yang akan diterima Rp 13.200.000,-
Maka PT A akan menjurnal :
Piutang/kas 13.200.000
Penjualan 12.000.000
PPN 1.200.000
Pada akhir bulan / akhir periode, PPN akan mempunyai saldo kredit sebesar
Rp 200.000 (1.200.000 – 1.000.000) yang akan disetor ke Kas Negara pada
bulan berikutnya dengan mendebet perkiraan PPN.
Bila selama bulan yang bersangkutan hanya terjual sebagian saja, misalnya
50kg dengan perhitungan :
Harga barang X Rp 6.000.000,-
PPN 10% Rp 600.000,-
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Maka PT A akan menjurnal :
Piutang/kas 6.600.000
Penjualan 6.000.000
PPN 600.000
Pada akhir periode, PPN akan mempunyai saldo debet sebesar Rp 400.000
(1.000.000 – 600.000) yang dapat dimintakan restitusi atau diperhitungkan
dengan masa pajak berikutnya.
Bila kelebihan pajak ini akan diperhitungkan dengan masa pajak berikutnya,
maka perusahaan tidak perlu membuat jurnal, sedangkan bila akan dimintakan
kembali (restetusi), pada saat restitusi diterima akan dijurnal :
Kas 400.000
PPN 400.000
2. PPN Masukan dan PPN Keluaran yang dibukukan secara terpisah, tanpa
prosedur offset pada setiap masa pajak.
Dengan cara ini, PPN Masukan dan PPN Keluaran dibukukan pada
perkiraan yang berbeda, dimana saldo masing-masing perkiraan akan
terus-menerus bertambah karena terjadi akumulasi PPN Masukan dan PPN
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
Berdasarkan contoh pada alternative pertama, PT A akan membukukan
transaksi – transaksi tersebut sebagai berikut :
Pada saat pembelian
Persediaan Barang 10.000.000
PPN Masukan 1.000.000
Kas 11.000.000
Pada saat penjualan
Piutang / Kas 13.200.000
Penjualan 12.000.000
PPN Keluaran 1.200.000
Apabila PPN Keluaran lebih besar dari PPN Masukan, menyebabkan
perusahaan harus menyetor selisihnya ke Kas Negara, dan atas penyetoran ini
akan dijurnal :
PPN Keluaran 200.000
Kas 200.000
Dengan prosedur pembukuan seperti ini, setiap terjadi penyetoran ke Kas
Negara, PPN Masukan akan sama besarnya dengan PPN Keluaran.
Dalam hal terjadi restetusi, maka pada saat uang diterima dari Kas Negara,
akan dijurnal :
Kas 400.000
Andre H Pakpahan : Penerapan Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada PT Enam Enam Group Medan, 2009.
3. PPN Masukan dan PPN Keluaran yang dibukukan secara terpisah, dengan
prosedur offset pada setiap akhir masa pajak.
Dengan cara ini prosedur pembukuan sampai dengan penyetoran selisih PPN
Masukan dan PPN Keluaran ke Kas Negara atau penerimaan restitusi dari kas
Negara sama seperti prosedur pembukuan pada alternative kedua. Pada akhir
masa pajak (akhir bulan) dilakukan penjurnalan untuk meng-offset perkiraan
PPN Masukan dan PPN Keluaran pada saat selesainya pembuatan SPT PPN
bulan yang bersangkutan.
Berdasarkan contoh yang sebelumnya, pada akhir masa pajak PT A akan
menjurnal :
PPN Keluaran 1.000.000
PPN Masukan 1.000.000
Dengan jurnal ini, PPN Keluaran akan mempunyai saldo kredit sebesar Rp
200.000,- yang akan menjadi nihil dengan terjadinya pendebetan pada saat
penyetoran ke Kas Negara.
Pada contoh berikut, dimana terdapat restetusi sebesar Rp 400.000,- jurnal
pada saat SPT selesai dibuat adalah :
PPN Keluaran 600.000
PPN Masukan 600.000
Dengan membukukan jurnal ini, PPN Masukan akan mempunyai saldo
debet sebesar Rp 400.000,- yang akan menjadi nihil dengan diterimanya