• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanganan Kegawatdaruratan Pada Pasien Trauma Maksilofasial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penanganan Kegawatdaruratan Pada Pasien Trauma Maksilofasial"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PADA

PASIEN TRAUMA MAKSILOFASIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

FAHREVY N I M : 040600049

DEPARTEMEN BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk diperthanakan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 19 Juni 2009

Pembimbing Tanda tangan

Abdullah Oes, drg. ………..

(3)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan tim penguji Pada tanggal 19 Juni 2009

TIM PENGUJI

KETUA : Shaukat Oesmani, Drg, Sp. BM

ANGGOTA : 1. Abdullah Oes, drg.

2. Olivia Avrianti Hanafiah, Drg. Sp. BM

(4)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial

Tahun 2009

Fahrevy

Penanganan kegawatdaruratan pada pasien trauma maksilofasial.

ix + 31 halaman

Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan

keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan

lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada

wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka

jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena

itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.

Perawatan kegawatdaruratan pada trauma maksilofasial oleh dokter gigi hanya

mencakup bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat

kecacatan dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah

sakit. Oleh karena itu, para dokter gigi harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance

Trauma Life Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien yang

mengalami kegawadaruratan.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, yang tidak

henti-hentinya memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan sebagai mana

mestinya.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang

terdalam kepada semua pihak yang telah mendoakan dan memberikan dukungan moril

dan materil yang tidak ternilai harganya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dengan segenap kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Drg. Abdullah selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan

waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing penulis hingga dapat

menyelesaikan skripsi ini.

2. Drg. Eddy Anwar Ketaren Sp.BM, selaku kepala Departemen Ilmu Bedah Mulut

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

3. Ayahanda tercinta Drg. Saifuddin Ishak M.Kes dan Ibunda Hj.Atunisa atas segala

kasih sayang, doa, pengorbanan, bimbingan dan dukungan moril serta materil

yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

4. Drg. Wilda Hafni Lubis selaku pembimbing akademik atas bimbingannya selama

penulis melaksanakan studi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera

Utara

5. Teman-teman yang selalu memberikan semangat, dukungan dan doa serta tempat

(6)

Fadli, Pong, Teguh, Wandi, Doli, Ardi, Bang Iwan, Bang Andreas dan

teman-teman stambuk 2004 lainnya

6. Adik-adik dan senior yang telah memberikan semangat, doa, bantuan, dan

masukan serta pengalaman yang tidak ternilai kepada penulis, Reza, Ala, Alit,

Cece, Arbi, Ulfa, Intan, Ami, Abib dan seluruh keluarga besar HMI Komisariat

FKG-USU. Semoga ALLAH Yang Maha Memelihara akan selalu menjaga hati

dan pikiran kita

Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis berharap, semoga skripsi ini dapat

memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi ilmu pengetahuan dan kita semua.

Semoga ALLAH memberikan yang terbaik bagi kita semua.

Medan, 19 Juni 2009

Penulis

(Fahrevy)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ...

HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

2.3.1 Trauma jaringan lunak wajah ...5

2.3.2 Trauma jaringan keras wajah ... 6

BAB 3 KEADAAN DARURAT TRAUMA MAKSILOFASIAL 3.1 Pengertian ... 11

3.2 Pemeriksaan Klinis ... 11

3.2.1 Pemeriksaan Ekstra Oral Dan Intra Oral ... 13

3.2.2 Pemeriksaan Radiologis ... 15

BAB 4 PERAWATAN DARURAT TRAUMA MAKSILOFASIAL 4.1 Penanggulangan Kesadaran ... 20

4.2 Penanganan Perdarahan ... 24

4.3 Penanganan Sementara Trauma Maksillofasial ... 24

4.3.1 Pemeriksaan Saluran Pernafasan ... 25

4.3.2 Penanganan Luka Pada Jaringan Lunak ... 26

4.3.3 Dukungan Untuk Fragmen Tulang ... 26

4.3.4 Kontrol Rasa Sakit ... 27

(8)

BAB 5 KESIMPULAN ... 28

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Garis Langer ... 6

2 Fraktur Mandibula ... 9

3 Fraktur Le Fort... 9

4 Gambaran foto oklusal yang menunjukkan adanya fraktur mandibula . 16 5 Gambaran foto periapikal yang menunjukkan adanya fraktur di daerah simfisis ... ... 17

6 Gambaran Foto Anteroposterior yang menunjukkan adanya fraktur subkondilar ... ... 17

7 Gambaran Foto Lateral yang menunjukkan adanya fraktur Nasal-Orbital-Ethmoid ... 18

8 Gambaran Foto Panoramik yang menunjukkan adanya fraktur di regio simfisis mandibula ... 18

9 Gambaran Tomografi Komputerisasi CT yang menunjukkan adanya fraktur mandibula ... 19

10 Pembebasan jalan napas ... 20

11 Pemberian ventilasi buatan ... 22

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

(11)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial

Tahun 2009

Fahrevy

Penanganan kegawatdaruratan pada pasien trauma maksilofasial.

ix + 31 halaman

Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan

keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan

lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada

wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka

jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena

itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.

Perawatan kegawatdaruratan pada trauma maksilofasial oleh dokter gigi hanya

mencakup bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat

kecacatan dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah

sakit. Oleh karena itu, para dokter gigi harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance

Trauma Life Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien yang

mengalami kegawadaruratan.

(12)

BAB 1

PENDAHULUAN

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan

sekitarnya. Trauma pada maksilofaksial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu

trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah.1,2,3

Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,

kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api.Kecelakaan lalu lintas

adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada

orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai

batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma

maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan

kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat

mengalami cacat permanen.3,4,5,6

Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma

maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta menggunakan

penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan terjadinya gangguan saluran

pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen

tulang dan rasa sakit. Namun, trauma pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal

tersebut terjadi mungkin disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien

dengan batas kesadaran yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari

(13)

Tulisan ini membahas lebih lanjut mengenai etiologi, klasifikasi, penegakan

diagnosa yang diamati secara klinis baik pada pemeriksaan intra oral maupun ekstra oral,

serta pemeriksaan radiologi dan laboratorium sehingga dokter gigi dapat melakukan

(14)

BAB 2

TRAUMA MAKSILOFASIAL

2.1 Defenisi

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan

sekitarnya.2 Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan

jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang

menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah

adalah tulang kepala yang terdiri dari :7

1. Tulang hidung

2. Tulang arkus zigomatikus

3. Tulang mandibula

Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,

kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas

adalah penyebab utama trauma maksilobasial yang dapat membawa kematian dan

kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar

(15)

Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena

harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan

orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma

maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).9 Berikut

ini tabel etiologi trauma maksilofasial.

Tabel 1. Etiologi trauma maksilofasial (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa, Purwanto, Basoeseno, Jakarta: 1987 : 222)

Penyebab Persentase (%)

Dewasa

Olahraga (termasuk naik sepeda)

Jatuh

10-15

5-10

50-65

(16)

2.3 Klasifikasi

Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma

jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya

disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau

pisau dan golok pada perkelahian.3,10,11

2.3.3 Trauma jaringan lunak wajah

Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma

dari luar.11,10

Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan: 3,10,11

1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab

a. Ekskoriasi

b. Luka sayat, luka robek , luka bacok.

c. Luka bakar

d. Luka tembak

2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan

3. Dikaitkan dengan unit estetik

Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer. (Gambar

(17)

Gambar 1. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut (Oral surgery). Alih bahasa Purwanto, Basoeseno. Jakarta:EGC, 1987:226).

2.3.4 Trauma jaringan keras wajah

Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi

dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari

terminologinya ( pengistilahan ) :

I. Tipe fraktur

1. Fraktur simpel

• Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus,

koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.

Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik

fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.

(18)

• Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak

• Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu

tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan

beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.

3. Fraktur komunisi

• Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru

yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk.

• Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan

kerusakan tulang dan jaringan lunak.

4. Fraktur patologis

• keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti

Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis

sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

II. Perluasan tulang yang terlibat

1. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.

2. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )

III. Konfigurasi ( garis fraktur )

1. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.

2. Oblique ( miring )

3. Spiral (berputar)

4. Komunisi (remuk)

(19)

2. Undisplacement, bisa terjadi berupa :

a. Angulasi / bersudut

b. Distraksi

c. Kontraksi

d. Rotasi / berputar

e. Impaksi / tertanam

Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah :

a. Dento alveolar

b. Prosesus kondiloideus

c. Prosesus koronoideus

d. Angulus mandibula

e. Ramus mandibula

f. Korpus mandibula

g. Midline / simfisis menti

(20)

Gambar 2. Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis (Banks P. Fraktur mandibula (Killeys Fractures of the mandible). Alih bahasa, Lilian Yuwono, Jakarta: Hipokrates, 1990:2).

V. Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan :

a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita)

b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III

c. Fraktur segmental mandibula

(21)

BAB 3

KEADAAN DARURAT TRAUMA MAKSILOFASIAL

3.1 Pengertian

Trauma maksilofasial merupakan cedera yang mengenai rongga mulut dan

jaringan sekitarnya, baik pada tulang maupun jaringan lunak. Tingginya frekuensi

trauma pada wajah disebabkan karena wajah merupakan daerah yang terbuka dan paling

mudah dikenai cedera.12,14,15

Pada umumnya prinsip perawatan cedera hanya terdiri atas fiksasi gigi pada

oklusi sentrik, kemudian pada daerah fraktur rahang dilakukan reposisi dan fiksasi antar

fragmen. Fraktur-fraktur yang pada zaman dahulu tidak dapat diidentifikasi sama sekali

atau hanya bersifat dugaan, sekarang ini dengan perkembangan radiologi terkini bisa

ditunjukkan sampai hal yang terkecil. Dengan peralatan yang khusus, membuat

pendekatan peroral pada perawatan fraktur maksilofasial menjadi aman dan layak

dilakukan.4,6,9

3.2 Pemeriksaan Klinis

Pendekatan awal terhadap pasien maksilofasial yang disertai komplikasi berbeda

dengan trauma yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernapasan

dan kontrol perdarahan. Sebelum melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, gangguan

saluran pernapasan dan perdarahan yang mengancam jiwa pasien harus ditangani terlebih

dahulu. Kemudian baru dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital dan status neurologis

(paling tidak mengenai tingkat kesadaran). Pembukaan mata merupakan tanda

(22)

kemampuan pasien membuka matanya jika diberi stimulus tertentu, dan jika diperlukan

dapat juga diberi stimulus yang menyakitkan. Disamping itu, lamanya kehilangan

kesadaran merupakan indikator untuk menunjukkan adanya tingkat kerusakan otak.4,5,7

Adapun gejala dan tanda sumbatan jalan napas yang tampak pada pasien yang

mengalami trauma maksilofasial adalah :3,5,16,17 1. Sumbatan jalan napas total

- Aliran udara dari mulut atau hidung tidak dapat didengar atau dirasakan.

- Pada gerakan napas spontan terlihat retraksi supra klavikula dan sela iga serta

tidak ada pengembangan dada pada inspirasi.

- Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan.

- Pada bayi sering ditemui pernapasan parodoksal.

2. Sumbatan jalan napas parsial

- Terdengar suara napas buatan, yaitu bunyi dengkur (snoring) menandakan

sumbatan hipofaring yang disebabkan oleh adanya jaringan lunak, misalnya

jatuhnya dasar lidah, dll. Bunyi lengking (crowing) yang menandakan

laringospasme, bunyi kumur (gargling) yang menandakan adanya benda asing

berupa cairan, dan bunyi bengek (wheezing) yang menandakan adanya sumbatan

jalan napas bawah.

Keadaan di atas merupakan suatu keadaan yang akut, yang disertai dengan

penurunan fungsi respirasi yang mengancam jiwa, dimana terjadi hipoksemia dan

hiperkarbia atau hipoksemia saja.13 Tanda dari hipoksemia antara lain bingung, gelisah,

gangguan status mental, sianosis, berkeringat berlebihan, takikardi. Tanda dari

hiperkarbia antara lain sakit kepala, mengantuk, sedasi, takipnea, dispnea, batuk dan

(23)

Adanya napas dan jantung yang berhenti merupakan periode dini suatu kematian

yang disebut juga mati klinis. Tanda napas dan jantung berhenti adalah sebagai berikut :

10,11,14

1. Hilangnya kesadaran dalam waktu 10-20 detik

2. Henti nafas atau megap-megap yang muncul setelah 15-30 detik

3. Terlihat seperti mati dengan warna kulit pucat sampai kelabu.

4. Pupil dilatasi dalam waktu 45 detik setelah jantung berhenti.

5. Tidak teraba denyut arteri besar, yaitu arteri femoralis dan arteri karotis pada

orang dewasa, atau arteri brakialis pada bayi atau anak kecil. Tanda ini muncul segera

setelah jantung berhenti.

3.2.1 Pemeriksaan Ekstra Oral dan Intra Oral

Pemeriksaan Ekstra Oral

Pemeriksaan di luar rongga mulut yakni pada leher dan kepala merupakan

pemeriksaan awal yang bermanfaat. Luka pada wajah dicatat mengenai lokasi, panjang,

dan kedalamannya serta kemungkinan terlibatnya struktur di bawah luka seperti arteri,

saraf, dan glandula saliva (kelenjar ludah). Bagian yang mengalami abrasi dan kontusi

dicatat. Edema fasial diobservasi dan dievaluasi karena ini bisa merupakan tempat yang

terkena benturan/trauma atau merupakan tanda adanya kerusakan struktur di bawahnya

misalnya hematom, fraktur atau keduanya. 4,7,19

Pada wajah bagian tengah dilakukan pemeriksaan dengan melakukan palpasi,

yang dimulai dari atas hingga ke bawah. Pemeriksaan dimulai dari aspek medial dari

cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dan sutura nasofrontalis dipalpasi secara

(24)

supraorbital menuju sutura zigomatikofrontalis. Jaringan lunak yang menutupinya digeser

dan sutura dipalpasi apakah terjadi kelainan atau tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari

medial ke lateral untuk mengevaluasi sutura zigomatikomaksillaris. Bagian-bagian yang

mengalami nyeri tekan menunjukkan adanya fraktur atau trauma pada saraf. Arkus

zigomatikus dipalpasi bilateral dan diamati apakah terdapat tanda-tanda asimetri.

Vestibulum nasi juga diperiksa karena bisa terjadi pergeseran septum, dan adanya

perdarahan atau cairan (rhinorrhea). 4,7,19

Mandibula perlu dievaluasi posisinya terhadap maksila, apakah tetap di garis

tengah atau terjadi pergeseran ke arah lateral. Pergerakan mandibula juga dievaluasi

dengan jalan mengintruksikan pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu. Semua

gerakan diperhatikan pada semua arah dan kemudian jarak inter insisal dicatat. Pada

fraktur subkondilus tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan yang amat sangat atau

kaput mandibula tidak terdeteksi. Tepi inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai

dari prosesus kondilaris sampai ke simfisis mandibula. Adanya nyeri tekan dan kelainan

kontinuitas pada saat pemeriksaan, sebaiknya menjadi perhatian.4,7,10, 20

Pemeriksaan Intra Oral

Pemeriksaan trauma pada rongga mulut meliputi pemeriksaan jaringan lunak dan

jaringan keras serta pemeriksaan adanya pembengkakan dan laserasi. Trauma pada

rongga mulut yang berhubungan dengan trauma maksilofasial bervariasi mulai dari

fraktur mahkota dan akar gigi sampai avulsi gigi dari soketnya, serta laserasi mukosa di

rongga mulut dan bibir. Pemeriksaan oklusi gigi geligi juga dilakukan pada pasien yang

mengalami trauma maksilofasial karena fraktur rahang dapat menyebabkan gigi sulit

(25)

setiap gigi tersebut goyang atau memiliki tanda-tanda fraktur atau subluksasi, juga

kemungkinan adanya gigi atau protesa yang patah sebaiknya dapat dikeluarkan. 22

Trauma pada rongga mulut sering menimbulkan perdarahan. Pemeriksaan intra

oral tidak dapat dilakukan bila daerah tersebut tertutup darah. Bila pasien sadar dan tidak

dirawat di rumah sakit, dapat diberikan larutan obat kumur. Namun biasanya dokter gigi

harus membersihkan darah yang membeku dengan menggunakan kapas atau kain kasa

steril. 4,5,7,9,19

Pada pemeriksaan mandibula, palpasi dilakukan pada bagian sulkus lingualis dan

bukalis dengan hati-hati, karena kemungkinan adanya pergeseran tulang. Daerah yang

diduga fraktur diraba dengan ibu jari dan telunjuk diletakkan di kedua sisi yang diduga

mengalami fraktur. Pasien dapat juga diintruksikan untuk menggerakkan mandibula

semaksimal mungkin sehingga rasa sakit yang terjadi diobservasi.4,5,7,9,19

3.2.2 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi dilakukan jika pemeriksaan klinis intra dan ekstra oral

telah selesai dilakukan. Jika pada pemeriksaan klinis memberikan gambaran adanya

fraktur rahang, maka perlu dilakukan pengambilan radiografi untuk mempertegas hal

tersebut dan memberikan data yang lebih akurat.

Berikut ini beberapa jenis radiografi yang dapat dipakai untuk melihat adanya

fraktur maksilofasial:

1. Foto Anterior-Posterior

2. Foto TMJ

3. Foto Panoramik

(26)

5. Foto Lateral Kanan-Kiri

6. Water’s View

7. Tomografi Komput erisasi (CT).

Pengambilan foto oklusal dilakukan untuk melihat gambaran fraktur-fraktur di

daerah parasimfisis, sedangkan foto panoramik lebih ditujukan pada fraktur yang terjadi

di mandibula dan maksila. Pengambilan foto oklusal dan periapikal dilakukan jika terjadi

trauma terhadap gigi sehingga gigi mengalami luksasi dan avulsi atau adanya fraktur

prosesus alveolaris. Pengambilan foto anteroposterior dilakukan untuk melihat fraktur

kondilar. Pemeriksaan fraktur dapat juga dibantu tomografi komputer atau Computed

Tomography (CT) yang berguna untuk menentukan tingkat pergeseran segmen

proksimal, karena kemungkinan terjadinya dislokasi fraktur.4,13,18

Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang luas dan kemungkinan

keterlibatan struktur penting di sekitarnya masih diragukan, maka dapat dilakukan

tomografi komputer (CT). CT mempunyai kelebihan dibandingkan dengan radiografi

yang lain, yakni tidak menghasilkan gambaran yang tumpang tindih dan dapat

mempertahankan detail jaringan lunak. Kedua kelebihan tersebut merupakan penunjang

yang sangat penting dalam menentukan diagnosa yang akurat dari fraktur maksilofasial.

Selain dapat menentukan adanya fraktur, CT juga dapat menunjukkan adanya trauma

intrakranial, misalnya hematom intra atau ekstra-serebral, daerah kontusio dan edema

serebral. 4,7,10, 18

Di bawah ini ditunjukkan gambaran beberapa radiografi untuk pemeriksaan

(27)

Gambar 4. Gambaran foto oklusal yang menunjukkan adanya fraktur mandibula (Asmaa A. Al-Musaed T. Panoramic radiography as an aid in diagnosing mandibular fractures. The Saudi Dental Journal, Volume 11, Number 1, January - April 1999).

(28)

Gambar 6. Gambaran Foto Anteroposterior yang menunjukkan adanya fraktur subkondilar. (Asmaa A. Al-Musaed T. Panoramic radiography as an aid in diagnosing mandibular fractures. The Saudi Dental Journal, Volume 11, Number 1, January - April 1999)

(29)

Gambar 8. Gambaran Foto Panoramik yang menunjukkan adanya fraktur di regio simfisis mandibula. (Asmaa A. Al-Musaed T. Panoramic radiography as an aid in diagnosing mandibular fractures. The Saudi Dental Journal, Volume 11, Number 1, January - April 1999)

(30)

BAB 4

PERAWATAN DARURAT TRAUMA MAKSILOFASIAL

4.1 Penanggulangan Kesadaran

Pada korban trauma sering mengalami hilangnya kesadaran. Pada penilaian awal

dan tahap penatalaksanaan pasien tersebut sering dipakai istilah ABCDE. Adapun

tahap-tahap tersebut, sebagai berikut:

a. A-Airway (pembebasan jalan napas)

Hal ini harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami depresi pernapasan akut,

termasuk memastikan aliran udara ke saluran napas atas dan bawah lancar. Pada

pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran, lidah akan jatuh ke belakang

dan menyumbat faring. Hal yang perlu dilakukan adalah mengangkat dagu atau rahang

untuk mencegah penyumbatan oleh lidah.3,8,14 (Gambar 10).

Gambar 10. Pembebasan jalan napas. (Mansjoer A, Suprohaita,

Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 200 : 269)

(31)

Pada tahapan ini yang dinilai adalah ada atau tidaknya henti napas dan kemampuan

pasien untuk menghembuskan udara ke luar dengan baik dari dalam dada. Pernafasan

yang baik harus meliputi fungsi yang baik dari paru-paru, dinding dada dan diafragma.

Gangguan pernafasan sering dijumpai pada pasien yang mengalami kasus trauma.

Frekuensi napas merupakan indikator yang penting. Pasien dengan frekuensi napas

lebih dari 20 kali per menit harus diperiksa dengan teliti untuk memastikan ada atau

tidaknya gangguan pernafasan. Dada harus diperiksa dengan melakukan inspeksi,

palpasi, perkusi dan auskultasi. Tindakan inspeksi dan palpasi dapat menemukan

kelainan dinding dada yang menggangu pernafasan. Perkusi dilakukan untuk menilai

adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Sedangkan tindakan auskultasi

dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru-paru. Gangguan

pernafasan dapat disebabkan oleh adanya luka atau kelainan seperti tension

pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru, open pneumothorax, hematothorax,

dan patahnya tulang iga. Jika pernafasan spontan tidak dijumpai, maka tindakan yang

dapat dilakukan adalah ventilasi buatan (Gambar 11). Ventilasi buatan dapat dilakukan

dari mulut ke mulut, mulut ke hidung ataupun mulut ke trakea. Selain tindakan

ventilasi buatan, intubasi endotrakeal juga dapat dilakukan melalui mulut atau hidung.

Pemberian oksigen juga dapat dilakukan dengan memakaikan kantong berkatup yang

dihubungkan ke masker (face mask). Tindakan bedah juga dapat dilakukan untuk

mengatasi gangguan nafas yakni dengan melakukan tindakan surgical airway

(32)

Gambar 11. Pemberian ventilasi buatan (Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani

WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 200: 271).

c. C-Circulation (sirkulasi)

Pada tahapan ini dilakukan penilaian volume intravaskuler pasien, dengan

berpedoman kepada banyaknya perdarahan yang dialami. Selain pernapasan dan

ventilasi yang merupakan faktor penyebab kematian dini yang sering terjadi pada

kasus trauma, penyebab lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah kegagalan

mengembalikan volume darah yang hilang secara adekuat pada pasien yang

mengalami perdarahan hebat. Setiap keadaan hipotensi yang dialami pasien setelah

mendapat trauma harus diduga akibat perdarahan serius.3,8,14 Ada 3 penemuan klinis

yang dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik, yakni tingkat

kesadaran, warna kulit, dan nadi. Jika volume darah menurun, perfusi oksigen ke otak

menjadi berkurang dan akhirnya mengakibatkan penurunan tingkat kesadaran. Warna

(33)

wajah dan kulit ekstremitas yang pucat. Kecepatan nadi juga dapat menunjukkan

adanya penurunan volume darah yang ditandai oleh nadi yang cepat dan kecil. Namun,

tidak selamanya nadi yang cepat dan kecil disebabkan oleh penurunan volume darah.

Cara pemeriksaan nadi yakni meraba nadi yang besar seperti a. femoralis atau a.

karotis.24 Jika pasien mengalami henti jantung, tindakan yang dapat dilakukan adalah

pijat jantung luar. Pijat jantung luar dilakukan dengan menekan dada pasien secara

lembut dan berirama. Caranya yakni penolong berlutut di samping korban dan

meletakkan sebelah tangannya di atas 1/3 bawah tulang dada pasien. Tangan penolong

yang lain diletakkan di atas tangan pertama. Kemudian penolong menekan dada pasien

kira-kira 4-5 cm. Penekanan yang dilakukan harus diikuti juga dengan pemberian

ventilasi. Dalam 1 menit minimal ada 60 penekanan dan 12 ventilasi.3,8,14

d. D-Disability (ketidakmampuan)

Tahapan ini menilai status neurologis pasien secara menyeluruh. Hal yang perlu

dilakukan adalah mengamati tingkat kesadaran dan ukuran atau reaksi pupil, serta

respon terhadap rangsangan suara. Penurunan kesadaran dapat disebabakan oleh

penurunan oksigenasi ke otak atau trauma langsung ke otak. Penilaian ukuran atau

reaksi pupil dapat dilakukan dengan menyinari mata dengan senter.3,8,14,24

e. E-Exposure (paparan)

Pada tahapan ini, hal yang perlu dilakukan adalah melonggarkan atau melepaskan

pakaian pasien agar dapat memeriksa bagian depan dan belakang tubuhnya. Jika sulit

melepaskan pakaian pasien, dapat juga dilakukan dengan memotong pakaian pasien

dengan gunting.3,8,14 Hal yang penting lainnya adalah menutupi tubuh pasien dengan

(34)

menggunakan selimut hangat, pemberian cairan intravena yang sudah dihangatkan

juga dapat dilakukan untuk mencegah hipotermia.23,24

4.2 Penanganan Perdarahan

Perdarahan yang menyertai trauma maksilofasial jarang berakibat fatal.

Penekanan, baik langsung dengan jari ataupun secara tidak langsung dengan

menggunakan kasa, bisa menghentikan sebagian besar kasus perdarahan di rongga mulut.

Untuk membatasi perdarahan kadang-kadang diperlukan klem dan pengikatan pembuluh

yang terlibat (biasanya a. maksilaris, a.lingualis, a.karotis eksterna). Walaupun

perdarahan yang tertunda jarang menimbulkan masalah serius, tetapi karena diperlukan

untuk tindakan bedah selanjutnya, maka pada sebagian besar trauma maksilofasial yang

parah harus dilakukan pemeriksaan golongan darah untuk keperluan transfusi.4,14,17,21

4.3 Penanganan Sementara Trauma Maksilofasial

Prinsip penanganan sementara fraktur maksilofasial sama dengan penanganan

fraktur yang lain yaitu reposisi, fiksasi, imobilisasi dan rehabilitasi. Reposisi bisa

dilakukan secara tertutup tanpa melihat garis fraktur, maupun terbuka langsung melihat

garis fraktur dengan membuka kulit atau mukosa di atas fraktur yang terjadi. Setelah

reposisi, fragmen fraktur dapat dilakukan fiksasi internal menggunakan kawat atau plat

dan sekrup. Bila perlu imobilisasi maka dapat dilakukan pemasangan fiksasi intermaksila

dengan menggunakan arch bar pada maksila dan mandibula yang kemudian keduanya

diikat dengan karet dan kawat. 5,19,20

(35)

Trauma yang menyebabkan perdarahan, fraktur gigi dan gigi tiruan dapat

menimbulkan penyumbatan jalan nafas pada pasien yang tidak sadar atau setengah sadar.

Perawatan pendahuluan yang diperlukan terdiri dari pemeriksaan mulut dan

menghilangkan seluruh fragmen gigi-gigi, tambalan yang pecah dan gigi tiruan. Bila

tersedia suction, beku darah dan ludah harus disedot dan pasien dibaringkan sedemikian

rupa sehingga darah dan sekresi dapat keluar dari rongga mulut. Bila daerah simfisis

terkena fraktur, ada kemungkinan lidah jatuh ke belakang dan menyumbat saluran

pernafasan pada pasien yang kehilangan daya kontrol dari otot intrinsik. Kadang-kadang

jahitan ditempatkan melalui dorsum lidah untuk membantu dalam mengontrol posisi

lidah. Posisi yang paling baik untuk pasien yang tidak sadar adalah berbaring miring

(Gambar 13). Posisi ini juga harus digunakan untuk memindahkan pasien dari unit

kecelakaan ke unit perawatan yang lain.3,5,7,19

Gambar 12. Posisi pasien yang baik (Mansjoer A, Suprohaita,

Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 200 : 270)

(36)

Sebaiknya luka jaringan lunak harus ditutup dalam waktu 24 jam setelah

terjadinya fraktur. Tindakan penutupan luka dilakukan untuk mencegah masuknya kuman

atau bakteri serta mencegah perdarahan yang lebih banyak lagi. Sebelum menutup luka,

luka harus dibersihkan untuk menghilangkan benda asing dan mencegah terbentuknya

jaringan parut yang buruk. Luka harus dibersihkan perlahan-lahan, bila perlu dengan

antiseptik ringan.5,15,20

4.3.3 Dukungan Untuk Fragmen Tulang

Pada sebagian besar kasus trauma, perlu dilakukan splinting sementara dari

fragmen gigi atau tulang dan juga dapat dilakukan pemasangan alat seperti bandage. Bila

diperlukan immobilisasi fragmen, sebaiknya dilakukan dengan teknik fiksasi standard

seperti arch bar.5,19,20

4.3.4 Kontrol Rasa Sakit

Sebagian besar pasien dengan fraktur mandibula tidak terlalu merasa sakit, akan

tetapi bila mandibula bergerak terasa sangat tidak nyaman dan sakit. Keadaan ini

merupakan salah satu indikasi untuk segera melakukan immobilisasi mandibula. Hal ini

diharapkan agar tidak terjadi suatu kerusakan yang lebih parah dan dapat mengurangi

rasa sakit yang hebat.

Penggunaan analgesik yang kuat seperti morphin merupakan kontraindikasi

karena bahan ini dapat menekan reflek batuk pada pusat pernafasan dan juga menutupi

rasa sakit.5,7,20

(37)

Apabila tindakan operasi akan dilakukan dengan menggunakan anestesi umum,

sebaiknya pasien puasa ± 6 jam sebelumya. Setelah operasi selesai, perlu diberikan IVFD

(infus) dan obat-obatan per oral ataupun dapat juga diberikan makanan lunak/cair dengan

(38)

BAB 5

KESIMPULAN

Kecacatan dan kematian akibat trauma maksilofasial paling banyak disebabkan

oleh kecelakaan lalu lintas. Kematian sering terjadi pada jam pertama paska trauma. Hal

ini terutama disebabkan penanganan trauma yang tidak sistematis, cermat, cepat, dan

terpadu.

Prinsip ATLS ( Advance Trauma Life Support ) memungkinkan penanganan yang

sistematis dan terorganisir, sesuai dengan skala prioritas penanganan yang akan

meningkatkan kualitas dan kuantitas ketahanan hidup pada pasien trauma maksilofasial.

Perawatan awal trauma maksilofasial sangat berpengaruh terhadap prognosa selanjutnya

dari pasien. Keadaan pasien yang dicapai pada awal perawatan harus dipertahankan dan

dievaluasi secara periodik ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lanjutan.

Perawatan darurat pada trauma maksilofasial oleh dokter gigi hanya mencakup

bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan dan

kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit.

Transportasi pasien ke rumah sakit harus cepat terutama pada pasien dengan trauma

kompleks yang harus segera mendapatkan perawatan yang lebih baik, baik dari segi

tenaga medis maupun peralatannya, seperti trauma kepala, trauma servikal, trauma

(39)

DAFTAR PUSTAKA

1. Lavy CBD, Barrett DS. Ortopedi dan fraktur sistem apley. 7th ed. Alih bahasa Edi

Nugroho. Jakarta : Widya Medika, 1995 : 225-7

2. Kumala P, dkk. Kamus saku kedokteran dorland. 25th ed. Dyah Nuswantari, eds.

Jakarta : EGC, 1998 : 413

3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, eds. Kapita selekta

kedokteran. Jilid 2. 3th ed. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, 2000 : 4-9:267-73:371-96

4. Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa. Purwanto, Basoeseno.

Jakarta : EGC, 1987 : 221-55

5. Bank’s P. Fraktur mandibula. Alih Bahasa. Lilian Yuwono. Jakarta : Hipokrates,

1990 : 2 -39

6. London PS. The anatomy of injury and its surgical implication. Oxford :

Butterworth-Heinemana Ltd, 1991 : 5-6

7. Obuekwe ON, Ojo MA, Akpata O, Etetafia M. Maksilofacial trauma due to road

traffic accident in benin city, Nigeria. Annals Of African Medicine, Vol 2(2) : 2003 :

58-63

8. Nealon TF Jr. Nealon WH. Keterampilan pokok ilmu bedah. 4th ed. Alih Bahasa.

Irene Winata Brahm U. Pendit. Jakarta : EGC, 1996 : 114-24

9. Soepardi EA, Iskandar N, eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorokan

kepala leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2001 : 201-8

10. Eliastam M, Sternbach GL, Blesler MJ. Penuntun kedaruratan medis. 5th ed. Alih

(40)

11. Marzoeki D. Luka dan perawatannya asepsis/ antisepsis disinfektan. Surabaya :

Airlangga University Press, 1993 : 1-12

12. Hussain SS, dkk. Maxilloficial trauma: Current practice in management at pakistan

institute of medical science. Department of Plastic Surgery Islamabad: 1-5

13. Connolly RC. Trauma Kapitis. In : Aston JN. Kapita selekta traumatologik dan

ortopedik. 3th ed. Alih Bahasa. Petrus Andrianto. Jakarta : EGC, 1994 : 11-12

14. Duddley HAF, eds. Hamilton bailey ilmu bedah gawat darurat. 11st ed. Penerjemah.

A. Sanik Wahab, Soedjono Aswin. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press,

1992 : 20-3:125-74:222

15. Ballinger WF, Rutherford RB, Zeidema Gd, eds. The management of trauma.

London : W.B. Sounders Company, 1968 : 213-9

16. Ramali A. Pamoentjak ST. Kamus kedokteran. Jakarta : Djambatan, 1992 : 17-133:

221

17. Shahim FN, Cameron P, Mc Neil JJ. Maxillofacial trauma in major trauma patients.

J Dent Australia, 2006, Vol 51(3) : 225-30

18. Greenberg AM. Management of facial fractures. J Dent New York State, 1998 : Vol

64(3) : 42-7

19. Mihalik JP, dkk. Maxillofacial fractures and dental trauma in a high school soccer

goal kepper : A Case Report. Journal of Athletic Training 2005 : Vol 40(2) : 116-9

20. Subhashraj K, Ravindran C. Maxillofacial intervention in trauma patients aged 60

Years and older. Indian J Dent Res, 2008 : Vol 19(2) : 109-11

21. Exadaktylos Ak, dkk. Sports related maxillofacial injuries : The first maxillofacial

(41)

22. Trott J, Cooter R. Craniofacial trauma. 2002. 234-78.

23. Wikipedia, the free encyclopedia. Advanced Trauma Life Support.

(42)

BIODATA PENULIS

Nama : FAHREVY

Tempat/ Tanggal lahir : Banda Aceh/24 September 1986

Alamat : Jln. Darussalam Karya Bakti No. 11

Medan

No Telp / Hp : (061) 77292609 / 0811600910

Nama Orang Tua

Ayah : Drg. Saifuddin ishak.Mkes

Gambar

Tabel 1. Etiologi trauma maksilofasial (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa, Purwanto, Basoeseno, Jakarta: 1987 : 222)
Gambar 1. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek
Gambar 2. Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus E
Gambar 4. Gambaran foto oklusal yang menunjukkan adanya fraktur mandibula (Asmaa A. Al-Musaed T
+6

Referensi

Dokumen terkait

!istem akuntansi biaya dalam perusahaan manufakur erat hubungannya dengan sistem pengawasan produksi, karena sebagian besar kegiatan perusahaan manufaktur berada

Informasi ini hanya menyangkut bahan spesifik yang telah ditentukan dan mungkin tidak berlaku untuk bahan tersebut jika digunakan sebagai campuran dengan bahan lain atau dalam

-Lokasi Lampu Hias Dalam Kota Kuala Tungkal -Pemasangan jaringan listrik instalasi dan daya SMA N 1 Pengabuan.. Belanja jasa konsultansi perencanaan Teknis Program

Uji hipotesis secara parsial dengan variabel independen pengembangan karyawan menghasilkan penerimaan hipotesis nol sehingga dapat disimpulkan bahwa secara parsial pengembangan

Sistem informasi adalah suatu sistem dalam sistem dalam suatu organi suatu organisasi sasi yang mempertem yang mempertemukan ukan kebutuhan pengolahan transaksi harian

Kemudian untuk variabel melatonin 1 dan melatonin 2 pada kelompok kontrol maupun perlakuan diperoleh nilai p masing-masing 0,671 dan 0,153, sehingga dapat disimpulkan

Implikasi dari hasil ini menunjukkan bahwa kombinasi kualitas sumber daya manusia, kompetensi kerja dan komitmen kerja yang baik secara bersamaan akan mampu

PANITIA JIMAT 2013. NO NAMA JABATAN