• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR DEMOGRAFI DENGAN DEPRESI PADA PENDERITA HIPERTENSI DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DIY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA FAKTOR DEMOGRAFI DENGAN DEPRESI PADA PENDERITA HIPERTENSI DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DIY"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

i

DEPRESI PADA PENDERITA HIPERTENSI

DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DIY

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

NINDYA PUTRI PRASASYA 20130310142

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

(2)

i

DEPRESI PADA PENDERITA HIPERTENSI

DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DIY

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

NINDYA PUTRI PRASASYA 20130310142

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

(3)

ii

DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DIY

Disusun Oleh:

NINDYA PUTRI PRASASYA 20130310142

Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal 21 Desember 2016

Dosen Pembimbing Dosen Penguji

dr. Ida Rochmawati, M. Sc. Sp. KJ (K) dr. Warih Andan P., M. Sc. Sp. KJ (K)

NIK: NIK: 173042

Mengetahui

Kaprodi Pendidikan Dokter FKIK

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

(4)

iii

NIM : 20130310142

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis

ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam

bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal

atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah

ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 14 Desember 2016

Yang membuat pernyataan,

(5)

iv

Alhamdulillahhirobbil’alamin, penulis mengucapkan puji syukur kehadirat

Allah SWT atas berkat, kasih, karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

karya tulis ilmiah berjudul “Hubungan Antara Faktor Demografi dengan Depresi

Pada Penderita Hipertensi di Kabupaten Gunungkidul DIY” sebagai persyaratan

untuk memperoleh derajat sarjana kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Penulisan karya tulis ilmiah ini tidak lepas dari bimbingan dan dukungan

berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan banyak ucapan

terima kasih kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga

pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini

dengan baik.

2. dr. H. Ardi Pramono, M. Kes., Sp. An. selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta.

3. dr. Ida Rochmawati, M. Sc., Sp. KJ. (K) selaku dosen pembimbing

yang telah bersedia meluangkan waktunya, pengalaman, ilmu, bantuan

pemikiran dan bimbingan yang sangat berguna dalam proses

(6)

v

5. Hj. Badingah S. Sos., M. Ap. selaku bupati Kabupaten Gunungkidul

DIY, terima kasih telah memberi kemudahan bagi kami saat

melakukan penelitian.

6. Kedua orang tua saya, dr. Nov Sugiyanto, Sp. A. dan Ir. Nelly Farida

Astina yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan doa.

7. Kakak saya, dr. Febricilla Citra Pratiwi, dr. Dimas Satria Pratama dan

dr. Alisza Novrita Sari yang senantiasa memberikan dorongan

semangat yang tak kunjung henti.

8. Teman sepenelitian saya, Fernanda Arifta Hutama dan Dimas Adhi

Pradita atas kerjasama, bantuan, pengetahuan dan pengalaman yang

diberikan selama penelitian.

9. Terima kasih untuk orang-orang tersayang, sahabat dan teman-teman

yang selalu mendampingi saya dan selalu ada di hari-hari saya.

10.Segenap dosen, staf dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta.

11.Semua rekan seperjuangan, teman-teman Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah angkatan 2013 atas kebersamaannya.

12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

(7)

vi

pihak. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan kepada semua pihak yang

telah membantu penulis. Akhir kata, semoga tugas akhir ini dapat memberikan

manfaat bagi penulis, pembaca dan menjadi sumbangan yang berguna bagi

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kedokteran. Aamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, Desember 2016

(8)

vii

BAB III METODE PENELITIAN... 36

A. Desain Penelitian ... 36

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 36

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

D. Variabel Penelitian ... 39

E. Definisi Operasional... 39

F. Instrumen Penelitian... 40

G. Jalannya Penelitian ... 42

H. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 43

I. Analisis Data ... 44

J. Kesulitan Penelitian ... 44

K. Etika Penelitian ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Hasil ... 47

B. Pembahasan ... 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 58

(9)

viii

Tabel 3. Sebaran Depresi Secara Umum Pada Penderita Hipertensi di Kabupaten

Gunungkidul DIY Bulan September-Oktober 2016 ... 47

Tabel 4. Hasil Hubungan Jenis Kelamin dengan Depresi Pada Penderita

Hipertensi di Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September-Oktober

2016 ... 48

Tabel 5. Hasil Hubungan Usia dengan Depresi Pada Penderita Hipertensi di

Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September-Oktober 2016... 49

Tabel 6. Hasil Hubungan Pendidikan dengan Depresi Pada Penderita Hipertensi di

Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September-Oktober 2016 ... 50

Tabel 7. Hasil Hubungan Pekerjaan dengan Depresi Pada Penderita Hipertensi di

Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September-Oktober 2016 ... 50

Tabel 8. Hasil Hubungan Status Pernikahan dengan Depresi Pada Penderita

Hipertensi di Kabupaten Gunungkidul DIY Bulan September-Oktober

(10)

ix

Gambar 1. Kerangka Teori ... 33

(11)
(12)

xi

Lampiran 3. Kuisioner Beck Depression Inventory

(13)

xii

Depression is a mood disturbance with prevalence in hypertension’s patient about 20-30%, this may be due to biological factor, genetic factor and psychosocial factor, but it is also because of demographic factor, such as gender, age group, education level, occupation and marital status. These factors can influence each other. Therefore, research on the relationship between demographic factor with depression in hypertension’s patient in Gunungkidul DIY is very important to do.

Method: This study is a non-experimental with cross sectional approach. As 36 hypertension patients are measured the depression score using a Beck Depression Inventory (BDI) questionnaire. Purposive sampling technique is used so that we got 36 patient as samples. Then the data will be analyzed using chi-square test.

Result: From 36 samples in this study, it was found that hypertension’s patients had 63,9% normal or minimal depression, 13,9% had mild depression, 16,7% had moderate depression and 5,6% had severe depression. The results of chi-square test showed that demographic factors (gender; age group; education level; occupation and marital status) is not associated with depression, with p value= 0,880; 0,404; 0,331; 0,983 and 0,733 (not significant), where p> 0,05.

Conclusion: In this study, there is no significant relationship between demographic factor with depression in hypertension’s patient in Gunungkidul DIY.

(14)

xiii

dahulu yang menyebabkan hipertensi. Depresi merupakan gangguan mood dengan prevalensi pada penderita hipertensi sekitar 20-30%, hal ini dapat disebabkan karena adanya faktor biologi, faktor genetik dan faktor psikososial, selain itu juga karena adanya faktor demografi, seperti jenis kelamin, kelompok umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan status pernikahan. Faktor-faktor tersebut dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu, penelitian tentang hubungan antara faktor demografi dengan depresi pada penderita hipertensi di Kabupaten Gunungkidul DIY menjadi sangat penting untuk dilakukan.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian studi non-ekperimental dengan metode pendekatan cross sectional. 36 penderita hipertensi diukur skor depresi menggunakan kuisioner Beck Depression Inventory (BDI). Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling hingga didapat jumlah sampel sebanyak 36 orang. Data kemudian dianalisis menggunakan uji chi-square test.

Hasil: Dari 36 sampel pada penelitian ini didapatkan bahwa penderita hipertensi 63,9% mengalami depresi normal atau minimal, 13,9% mengalami depresi ringan, 16,7% mengalami depresi sedang dan 5,6% mengalami depresi berat. Hasil uji

chi-square test menunjukkan bahwa faktor demografi (jenis kelamin; kelompok umur; tingkat pendidikan; jenis pekerjaan dan status pernikahan) tidak berhubungan dengan depresi dengan nilai p= 0,880; 0,404; 0,331; 0,983 dan 0,733 (tidak signifikan) dimana p >0,05.

Kesimpulan: Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara faktor demografi dengan depresi pada penderita hipertensi di Kabupaten Gunungkidul DIY.

(15)
(16)

Depression is a mood disturbance with prevalence in hypertension’s patient about 20-30%, this may be due to biological factor, genetic factor and psychosocial factor, but it is also because of demographic factor, such as gender, age group, education level, occupation and marital status. These factors can influence each other. Therefore, research on the relationship between demographic factor with depression in hypertension’s patient in Gunungkidul DIY is very important to do.

Method: This study is a non-experimental with cross sectional approach. As 36 hypertension patients are measured the depression score using a Beck Depression Inventory (BDI) questionnaire. Purposive sampling technique is used so that we got 36 patient as samples. Then the data will be analyzed using chi-square test.

Result: From 36 samples in this study, it was found that hypertension’s patients had 63,9% normal or minimal depression, 13,9% had mild depression, 16,7% had moderate depression and 5,6% had severe depression. The results of chi-square test showed that demographic factors (gender; age group; education level; occupation and marital status) is not associated with depression, with p value= 0,880; 0,404; 0,331; 0,983 and 0,733 (not significant), where p> 0,05.

Conclusion: In this study, there is no significant relationship between demographic factor with depression in hypertension’s patient in Gunungkidul DIY.

(17)

dahulu yang menyebabkan hipertensi. Depresi merupakan gangguan mood dengan prevalensi pada penderita hipertensi sekitar 20-30%, hal ini dapat disebabkan karena adanya faktor biologi, faktor genetik dan faktor psikososial, selain itu juga karena adanya faktor demografi, seperti jenis kelamin, kelompok umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan status pernikahan. Faktor-faktor tersebut dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu, penelitian tentang hubungan antara faktor demografi dengan depresi pada penderita hipertensi di Kabupaten Gunungkidul DIY menjadi sangat penting untuk dilakukan.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian studi non-ekperimental dengan metode pendekatan cross sectional. 36 penderita hipertensi diukur skor depresi menggunakan kuisioner Beck Depression Inventory (BDI). Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling hingga didapat jumlah sampel sebanyak 36 orang. Data kemudian dianalisis menggunakan uji chi-square test.

Hasil: Dari 36 sampel pada penelitian ini didapatkan bahwa penderita hipertensi 63,9% mengalami depresi normal atau minimal, 13,9% mengalami depresi ringan, 16,7% mengalami depresi sedang dan 5,6% mengalami depresi berat. Hasil uji

chi-square test menunjukkan bahwa faktor demografi (jenis kelamin; kelompok umur; tingkat pendidikan; jenis pekerjaan dan status pernikahan) tidak berhubungan dengan depresi dengan nilai p= 0,880; 0,404; 0,331; 0,983 dan 0,733 (tidak signifikan) dimana p >0,05.

Kesimpulan: Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara faktor demografi dengan depresi pada penderita hipertensi di Kabupaten Gunungkidul DIY.

(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Di dalam ruang lingkup ilmu penyakit dalam, depresi masih sering

terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena

seringkali pasien depresi lebih mengedepankan keluhan fisiknya dibandingkan

keluhan psikisnya, akibatnya sering keluhan fisik ini ditelusuri ke arah kelainan

organik dengan melakukan pemeriksaan yang sebenarnya tidak terlalu penting

(Mudjaddid, 2001).

Mudjaddid (2001) menjelaskan pada populasi umum, depresi ditemukan

sebanyak <6,5%, sedangkan depresi yang menyertai kelainan bidang penyakit

dalam prevalensinya bervariasi.

Di bidang penyakit dalam, depresi dapat ditemukan sebagai bagian dari

gangguan psikosomatik murni yaitu tanpa disertai kelainan organik, tetapi

sering pula depresi ditemukan bersama-sama dengan penyakit organik atau

kondisi medik yang sudah ada sebelumnya (biasanya disebut komorbiditas).

Depresi sering tidak terdiagnosis karena keluhan fisik yang samar, tidak

mendapat perhatian yang serius, akibatnya tata laksananya juga sering tidak

memadai.

Maramis (2009) juga beranggapan semua depresi baik yang tidak disertai

kelainan medik maupun yang disertai dengan kelainan medik harus mendapat

pengobatan yang sempurna, karena bila tidak diobati dapat memperburuk

penyakit yang sudah ada, menyulitkan pengobatan, mempengaruhi kepatuhan

(19)

berobat, memperpanjang masa perawatan atau perawatan menjadi sering

berulang akhirnya meningkatkan biaya perawatan bahkan meningkatkan angka

kematian.

Prevalensi depresi pada beberapa penyakit tertentu memberikan gambaran

bahwa depresi perlu mendapatkan perhatian karena kasusnya cukup banyak.

Menurut Silverstone (1996) dalam Mudjaddid (2001), seperti: jantung koroner

18-23%, infark miokard 16-19%, stroke 23-29% dan diabetes melitus 9-27%.

Meninjau lebih jauh mengenai kelainan dalam ruang lingkup ilmu

penyakit dalam, kedokteran psikosomatik menjembatani tumpang tindih antara

kedokteran medik dan psikiatrik, antara kelainan fisik dan psikis termasuk

gangguan psikis pada penyakit kardiovaskular (PKV). Shatri (2002)

melanjutkan, depresi sering dijumpai bersama-sama PKV, seperti pada

hipertensi, penyakit jantung koroner (PJK) dan infark miokard (IM) terutama

pasca infark miokard akut (IMA). Saat ini, beberapa penelitian prospektif

berhasil membuktikan bahwa depresi merupakan faktor risiko independen

hipertensi dan PJK, serta pada perjalanan penyakitnya dapat mencetuskan IMA

dan gagal jatung. Depresi dapat memperlambat penyembuhan dan

meningkatkan komplikasi selama perawatan, depresi dapat memperburuk

prognosis, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta menurunkan kualitas

hidup.

Khususnya pada hipertensi yang peneliti teliti, hipertensi atau tekanan

darah tinggi merupakan gangguan pada sistem peredaran darah yang dapat

(20)

Health Organization (WHO) (2012), prevalensi hipertensi di dunia sekitar 972

juta orang atau 26,4% penghuni bumi dengan perbandingan 26,6% pria dan

26,1% wanita. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di

tahun 2025. Dari 972 juta penderita hipertensi, 333 juta berada di negara maju

dan 639 juta sisanya berada di negara sedang, temasuk Indonesia. Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2007), prevalensi hipertensi di Indonesia

mencapai 31,7% dari total jumlah penduduk dewasa. Hipertensi lebih banyak

menyerang pada usia setengah baya dengan golongan umur 55-64 tahun (Adib,

2009). Sementara itu, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2013),

prevalensi kasus hipertensi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat

kurang lebih sekitar 25% dari total jumlah penduduk dengan kisaran umur ≥18

tahun yang tersebar di beberapa kabupaten, untuk Kabupaten Gunungkidul

terdapat 4944 orang pada kurun waktu Januari-Desember 2015 yang tersebar di

30 puskesmas di beberapa kecamatan (Dinas Kesehatan Kabupaten

Gunungkidul, 2015).

Banyaknya angka kejadian dari penyakit hipertensi di dunia khususnya

Indonesia, maka timbul permasalahan yang kompleks pada penderita hipertensi

tersebut, seperti masalah pada organ tubuh penderita, misalnya pada jantung,

pembuluh darah, otak dan ginjal, selain itu, juga akan timbul masalah yang

terkait dengan mental penderita, misalnya sulit tidur, mudah marah dan

gangguan mood. Masalah tersebut akan membuat penderita hipertensi rentan

menderita depresi. Hipertensi menimbulkan perubahan psikologis, antara lain

(21)

penderita hipertensi beranggapan bahwa penyakit hipertensi ini akan banyak

menimbulkan permasalahan, seperti pengendalian diet, serta terapi yang lama

dan kompleks, biaya pengobatan yang mahal, komplikasi penyakit, serta

banyak kekhawatiran lain yang dapat menimbulkan potensi munculnya depresi.

Menanggapi uraian sebelumnya, sebenarnya, dapat pula terjadi hubungan

timbal balik antara depresi terlebih dahulu yang menyebabkan hipertensi

ataupun hipertensi berkepanjangan memberikan dampak depresi, depresi dapat

menyebabkan peningkatan tekanan darah, karena saat seseorang dalam kondisi

stress akan terjadi pengeluaran beberapa hormon yang akan menyebabkan

penyempitan dari pembuluh darah dan produksi cairan lambung yang

berlebihan, akibatnya seseorang akan mengalami mual, muntah, mudah

kenyang, nyeri lambung yang berulang dan nyeri kepala, kondisi stress yang

terus menerus dapat menyebabkan komplikasi hipertensi lebih jauh (Anonim,

2008).

Gangguan depresi merupakan salah satu bentuk gangguan mood yang

dapat terjadi pada semua umur. Data dari World Health Organization (WHO)

(2013), sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan jiwa. World

Health Organization (WHO) menyatakan setidaknya ada satu dari empat orang

di dunia mengalami masalah mental dan masalah gangguan kesehatan jiwa

yang ada di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius. Secara

berurutan, gangguan depresi (80%), skizofrenia (10%), gangguan demensia

dan delirium (5%) (World Health Organization (WHO) (2000)). Untuk

(22)

(2007) mencapai 11,6% atau 19 juta orang dengan wanita (10-25%) dan pria

(5-12%). Kejadian depresi lebih tinggi pada usia produktif dibanding pada usia

anak remaja atau lanjut usia. Gangguan depresi mayor usia 30-44 tahun

memiliki prevalensi 19,8%, usia 18-29 tahun 15,4%, sedangkan usia ≥60 tahun

hanya 10,6%. Khususnya di Kabupaten Gunungkidul, berdasarkan Dinas

Kesehatan Kabupaten Gunungkidul (2015) sebanyak 860 orang pada 2015.

Depresi sebagai peringkat ke-4 pada prevalensi gangguan jiwa secara umum di

Kabupaten Gunungkidul setelah somatoform, skizofrenia dan faktor psikologis

dan perilaku yang berhubungan dengan gangguan atau penyakit YDK (yang

diklasifikasikan di tempat lain), hal tersebut berhubungan dengan tingginya

prevalensi hipertensi di Kabupaten Gunungkidul seperti yang telah dijelaskan

di atas dan juga memiliki komplikasi secara langsung berhubungan dengan

depresi. Prevalensi depresi pada hipertensi dapat berkisar 20-30% (Shatri,

2002).

Dua teori yang berpengaruh pada terjadinya depresi, yakni teori biologis

dan teori kognitif. Teori biologis (amine hypothesis) mengatakan bahwa

depresi disebabkan oleh sistem amine serebral yang bekerja di bawah aktivitas

normal. Teori kognitif pertama kali dikembangkan berdasarkan kasus depresi

pada orang dewasa. Ide yang mendampingi teori ini adalah berkembangnya

persepsi yang berubah pada seseorang, seperti ekspektasi terhadap setiap hal

yang selalu salah, hal ini akan menjadi kesulitan awal dan bila menetap, maka

pengertian negatif ini akan bermanifestasi dan selanjutnya akan menjadi

(23)

berdampak pada individu yang akan mengalami rasa takut dan sedih, perilaku

ini sangatlah bertentangan seperti yang dijelaskan dalam Quran, surat

Al-Baqarah ayat 38 yang berbunyi sebagai berikut:

Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka tidak ada atas mereka ketakutan dan tidaklah mereka bersedih.

Faktor penyebab depresi terbagi atas faktor biologi, faktor genetik dan

faktor psikososial berdasarkan uraian fakta di atas, ketiga faktor tersebut juga

dapat saling mempengaruhi satu sama lain.

Bertambahnya umur berdasarkan dari faktor biologi, individu dapat terjadi

ketidakseimbangan zat kimia di otak yang menyebabkan sel di otak tidak

berfungsi dengan baik, selain itu, dengan bertambahnya umur pula, individu

dapat mengalami masalah gangguan fisik menahun, misalnya hipertensi,

diabetes melitus dan rematik.

Aspek psikososial yang berperan dalam timbulnya depresi adalah

perubahan status ekonomi, cenderung kehilangan dukungan anak, menantu dan

teman (Santoso & Ismail, 2009). Menurut Sadock dan Sadock (2010), faktor

psikososial lainnya meliputi hilangnya peranan sosial, peningkatan isolasi diri,

keterbatasan finansial dan penurunan fungsi kognitif. selain itu, faktor

demografi seperti jenis kelamin, kelompok umur, tingkat pendidikan, jenis

pekerjaan dan status pernikahan juga dikaitkan dengan gejala depresi (Gao

dkk., 2009). Untuk itu peneliti merasa tertarik untuk mengetahui hubungan

antara faktor demografi dengan depresi pada penderita hipertensi di Kabupaten

(24)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang di atas

adalah apakah faktor demografi berhubungan dengan depresi pada penderita

hipertensi di Kabupaten Gunungkidul DIY?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Umum.

Menganalisis hubungan faktor demografi dengan depresi pada

penderita hipertensi.

2. Tujuan Khusus.

Mengetahui hubungan faktor demografi dengan depresi pada

penderita hipertensi di Kabupaten Gunungkidul DIY.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis.

a. Bagi Peneliti.

1)Menjadi bahan referensi untuk bahan belajar selanjutnya.

2) Mengetahui apakah ada hubungan antara faktor demografi dengan

depresi pada penderita hipertensi.

b. Bagi Mahasiswa Kedokteran.

1) Sumber data untuk penelitian selanjutnya.

2) Diharapkan bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di

(25)

c. Bagi Masyarakat.

Meningkatkan pengetahuan tentang faktor-faktor yang

meningkatkan depresi pada individu maupun keluarga, terutama

pengetahuan mengenai hubungan faktor demografi dengan depresi pada

penderita hipertensi, sehingga dapat memberikan informasi dalam

terlaksananya kemandirian penanggulangan maupun pencegahan sedini

mungkin.

2.Manfaat Teoritis.

a. Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan

dalam ilmu pengetahuan di bidang kedokteran khususnya psikiatri.

b. Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi

(26)

E. Keaslian Penelitian

Tabel 1. Keaslian Penelitian.

Nama

Peneliti/Publikasi/Tahun

Judul Penelitian Metode Penelitian Perbedaan

Ninnda Dwi Kurniasari. Program Studi Ilmu simple random sampling, sebanyak 58 sampel. Data diperoleh dengan cara memberikan pertanyaan kepada responden berdasarkan kuisioner yang dijawab oleh responden. Metode penelitian ini adalah penelitian non eksperimental deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional, serta menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode survei.

Variabel, subjek dan lokasi penelitian.

Sartika. Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta, 2014.

Hubungan Tingkat Stress Dengan Tingkat Hipertensi Pada Dewasa Madya di Inten Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta.

Teknik pengambilan sampel menggunakan non probabality sampling, sebanyak 30 sampel. Metode penelitian ini adalah penelitian non eksperimental dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah dewasa madya di Niten Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta. Diponegoro Rumah Sakit Kariadi Semarang, 2000.

Hubungan Stresor Psikososial dan Dukungan Sosial Dengan Depresi Pada Lanjut Usia

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka

1. Faktor Demografi

Faktor demografi adalah faktor-faktor yang terdapat dalam struktur

penduduk dan perkembangannya, seperti jenis kelamin, kelompok umur,

tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status pernikahan dan sebagainya

(Hanum, 2000). Beberapa faktor demografi yang berpengaruh pada

penderita depresi, antara lain:

a. Jenis Kelamin.

Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis

kelamin manusia yang ditentukan oleh Tuhan secara biologis, yaitu jenis

kelamin laki-laki dan perempuan (Fakih, 2012). Ditambahkan National

Institute of Mental Health (2011) bahwa sebesar 70% wanita memiliki

kecenderungan mengalami depresi dibanding pria sepanjang hidupnya.

Sartika (2014) juga menjelaskan bahwa wanita selalu membuat satu

permasalahan menjadi komplek karena adanya penghubung otak kanan

dan otak kiri pada wanita, selain itu, secara fisiologis pun, otak wanita

lebih kecil daripada otak pria, meskipun begitu, otak wanita bekerja 7-8

kali lebih keras dibandingkan pria pada saat mengalami masalah.

(28)

b. Umur.

Umur adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun, yang

terhitung pada individu mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun

(Candra, 2008).

Friedman (2003) menambahkan bahwa kemunduran kemampuan

fisik, kemunduran kesehatan dan penyakit fisik, seperti hipertensi dapat

menyebabkan depresi dan terjadi lebih sering pada lansia. Sejalan dengan

penelitian Igwe, dkk. (2013) bahwa tingkat depresi pada penderita

hipertensi berdasarkan umur terdapat 36,7% berumur 50-59 tahun lebih

banyak di antara kelompok umur lainnya, hal ini disebabkan karena

proses menua merupakan proses alami yang disertai adanya penurunan

kondisi fisik dengan terlihat adanya penurunan fungsi organ tubuh,

diikuti dengan perubahan emosi secara psikologis dan kemunduran

kognitif seperti suka lupa dan hal yang mendukung lainnya, seperti

kecemasan yang berlebihan, kepercayaan diri menurun, insomnia yang

akan berakhir pada depresi, juga kondisi biologis dan psikologis yang

semuanya saling berinteraksi satu sama lain.

c. Pendidikan.

Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa pendidikan adalah

tahapan pembelajaran yang ditetapkan berdasarkan tingkat

perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan

yang dikembangkan, terdiri dari pendidikan dasar (jenjang pendidikan

(29)

jenjang pendidikan menengah), pendidikan menengah (jenjang

pendidikan lanjutan pendidikan dasar) dan pendidikan tinggi (jenjang

pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program

sarjana, magister, doktor dan spesialis yang diselenggarakan oleh

perguruan tinggi).

Orang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi akan

mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibanding orang dengan

tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, karena akan lebih mampu

dan mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan serta pemanfaatan

pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

d. Pekerjaan.

Pekerjaan adalah sekumpulan kedudukan yang memiliki

persamaan kewajiban atau tugas pokoknya, ditambahkan oleh Sartika

(2014) bahwa dalam masyarakat yang tingkat ekonominya relatif

menengah ke bawah menyebabkan berpenghasilan tidak tetap bahkan ada

juga yang tidak berpenghasilan. Bekerja atau memiliki aktivitas

merupakan salah satu bentuk perilaku hidup aktif, hal ini berkaitan

dengan penghasilan dan penghasilan sering dikaitkan dengan pemenuhan

kebutuhan manusia. Seseorang dapat melakukan sesuatu untuk

meningkatkan kualitas hidupnya dan meningkatkan interaksi sosialnya

dengan bekerja dan apabila tidak bekerja, maka menyebabkan kurangnya

(30)

termasuk dalam berinteraksi sosial dan mendorong rasa bosan atau jenuh,

sehingga dapat mengarahkan pada depresi.

e. Status Pernikahan.

Pernikahan adalah salah satu bentuk interaksi antara manusia,

ditambahkan Hanum (2000) bahwa menikah juga didefinisikan sebagai

hubungan pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang

melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh

anak, saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri dan

sebagai upacara pengakuan dan pernyataan menerima kewajiban baru

dalam tata susunan masyarakat. Depresi terjadi 4 kali lebih sering dengan

status tidak menikah dibandingkan yang status menikah dan gangguan

depresif berat sering terjadi pada orang yang tidak memiliki hubungan

interpersonal yang erat, pada umumnya, individu yang berstatus tidak

nikah sering kehilangan dukungan yang cukup besar yang menyebabkan

suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan kesendirian (Wirasto,

2007).

2. Depresi

Istilah depresi cukup popular di dalam masyarakat. Depresi

merupakan gangguan perasaan hati yang ditandai dengan suasana perasaan

yang murung, hilangnya minat dan kegembiraan, serta berkurangnya energi

untuk aktivitas sehari-hari, kondisi tersebut dapat memengaruhi pikiran,

tingkah laku dan keadaan fisik seseorang, selain ini, ada pula beberapa ahli

(31)

a. Definisi

Depresi seringkali digunakan dalam pembahasan mengenai

gangguan mood. Istilah depresi digunakan untuk menyatakan kesedihan

yang tidak wajar, dejeksi atau melankoli (Dorland, 1998). Kamus Besar

Bahasa Indonesia juga mengungkapkan, depresi sebagai gangguan jiwa

pada seseorang yang ditandai dengan perasaan yang merosot (seperti

suram, sedih, perasaan tertekan).

Depresi merupakan masa terganggunya fungsi manusia yang

berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dengan gejala penyertanya,

termasuk perubahan pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,

konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta gagasan

bunuh diri (Sadock dan Sadock, 1998), selain itu ditambahkan menurut

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) IV, gejala

pengikutnya, meliputi: insomnia, sulit berkonsentrasi dan perasaan

bersalah berlebihan (Mudjaddid, 2001).

Depresi juga dikemukakan oleh Maramis (2009) bahwa depresi

merupakan gangguan perasaan dengan semangat berkurang, rasa harga

diri rendah, menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur dan makan. Sama

halnya dengan Sadock dan Sadock (2010), depresi didefinisikan sebagai

gangguan jiwa dengan gejala utama sedih, merasa sendirian, putus asa,

rendah diri dan disertai gangguan psikomotor atau kadang-kadang

agitasi, menarik diri dari pergaulan sosial dan terdapat gangguan

(32)

b.Epidemiologi

Dunia telah mengakui bahwa depresi merupakan masalah

kesehatan masyarakat dan sangat mendesak untuk mendapat perhatian.

Depresi merupakan penyakit yang menyebabkan morbiditas terbesar di

seluruh dunia (World Health Organization (WHO), 2011). Sekitar 6,7%

orang dewasa di Amerika menderita depresi, dimana 30,4% tergolong ke

dalam depresi berat (National Institute of Mental Health, 2011). Sebesar

70% wanita memiliki kecenderungan mengalami depresi dibanding pria

sepanjang hidupnya. Perbandingan antara pria dan wanita adalah 1:2–3.

Usia 18-29 tahun memiliki kecenderungan 95% mengalami depresi

dibanding dengan usia >60 tahun. Usia 30-44 tahun memiliki

kecenderungan 80% mengalami depresi dan usia rata-rata kejadian

depresi ini, yaitu 32 tahun (National Institute of Mental Health, 2011).

Prevalensi depresi pada penyakit kardiovaskular secara khusus

belum diketahui dengan tepat oleh karena penelitian pada bidang ini

masih kurang, terutama depresi pada hipertensi. Secara umum, pada

penyakit kardiovaskular tentunya prevalensi depresi lebih tinggi

dibandingkan prevalensi depresi pada populasi umum yang berkisar

1-5%. Penelitian pada pasien hipertensi, mendapat lebih kurang 10% yang

mendapat pengobatan depresi, maka dapat diperkirakan prevalensi

depresi pada hipertensi dapat berkisar 20-30%. Setelah keadaan akut dari

penyakit kardiovaskular dapat diatasi selama perawatan, gejala-gejala

(33)

berlangsung dan menjadi gejala depresi yang menetap sekitar 20-40%

(Shatri, 2002).

c. Etiologi

Depresi merupakan penyakit umum yang banyak dijumpai dan

dapat menyerang siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Hal yang

terkait menjadi penyebab terjadinya menurut Sadock dan Sadock (2010)

dibagi menjadi: faktor biologis yang berhubungan dengan monoamine

neurotransmitter, seperti norephinefrin, dopamin, serotonin dan histamin

yang menjadi teori utama penyebab gangguan mood pada depresi,

selanjutnya terdapat faktor biogenik amine yang terbagi menjadi

norephinefrin yang bekerja dengan cara penurunan sensitivitas dari

reseptor α2 adrenergik dan penurunan respon terhadap antidepresan dan

serotonin yang mengalami penurunan pada pasien depresi dan

berhubungan pada percobaan bunuh diri yang mempunyai kadar

serotonin dalam cairan serebrospinal yang rendah dan konsentrasi rendah

dari uptake serotonin pada platelet, gangguan neurotransmitter lainnya,

seperti pada neuron yang terdistribusi secara menyebar pada korteks

serebrum terdapat Acethilkholine (Ach), selain itu, faktor neuroendokrin

dengan tiga komponen, yaitu: hipotalamus yang disfungsi berakibat pada

perubahan regulasi tidur, selera makan, dorongan seksual dan memacu

perubahan biologi dalam endokrin dan imunologik, kelenjar pituitari dan

korteks adrenal yang bekerja sama dalam feedback biologis yang

(34)

alam perasaan, berupa emosi, depresi dan mania dan korteks serebral,

abnormalitas otak pada korteks prefrontal, khususnya reduksi dari

aktivitas metabolik dan reduksi volume dari gray matter secara partikuler

pada bagian kiri ditemukan pada individu dengan depresi berat atau

gangguan bipolar, hippokampus, korteks cingulate anterior dan

amigdala.

Gunawan (2006) juga menambahkan adanya faktor kepribadian,

seperti dependen, anankastik, histrionik diduga mempunyai resiko tinggi

untuk terjadinya depresi. Nevid dkk. (2005) juga menjelaskan faktor

kognitif berhubungan dengan interpretasi keliru terhadap sesuatu

menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup,

penilaian diri negatif, pesimisme dan keputusasaan, pandangan negatif

tersebut menyebabkan perasaan depresi. Faktor genetik juga

dikemukakan oleh Durand dan Barlow (2006) bahwa sebanyak 50%

pasien bipolar memiliki satu orang tua dengan gangguan alam perasaan

atau gangguan afektif, yang tersering adalah unipolar (depresi saja). Jika

salah satu orang tua mengidap gangguan bipolar (manik dan depresif),

maka 27% anaknya memiliki resiko mengidap gangguan alam perasaan,

faktor psikososial yang berkaitan dengan traumatik kehidupan dan

lingkungan sosial dengan suasana yang menegangkan, seperti kehilangan

(35)

d. Gejala

Seringkali penderita depresi lebih mengedepankan keluhan fisiknya

dibandingkan keluhan psikisnya. Menurut Maramis (2009), terdapat

gejala psikologik dan gejala somatik. Gejala psikologiknya, antara lain:

menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistik, putus asa, nafsu bekerja dan

bergaul berkurang, tidak dapat mengambil keputusan, mudah lupa dan

timbul pikiran-pikiran bunuh diri, sedangkan gejala somatiknya, antara

lain: penderita depresi kelihatan tidak senang, tidak bersemangat, apatis,

bicara dan gerak-geriknya pelan, terdapat anoreksia, insomnia dan

konstipasi.

Episode depresif berdasarkan PPDGJ-III dapat dibagi menjadi

gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat), seperti: adanya afek

depresif, kehilangan minat dan kegembiraan dan berkurangnya energi

yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata

sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas, selain itu ada juga

gejala lainnya, seperti: konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri

dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak

berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistik, gagasan

atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan

nafsu makan berkurang.

Episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan

(36)

periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan

berlangsung cepat.

1) Episode depresif ringan.

Pedoman diagnostik:

a) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti

tersebut di atas.

b) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya.

c) Tidak boleh adanya gejala yang berat di antaranya.

d) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar

2 minggu.

e) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang

biasa dilakukan.

2) Episode depresif sedang.

Pedoman diagnostik:

a) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti

pada episode depresi ringan.

b) Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala

lainnya.

c) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.

d) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,

(37)

3). Episode depresif berat tanpa gejala psikotik.

Pedoman diagnostik:

a) Semua 3 gejala utama depresi harus ada.

b) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa

diantaranya harus berintensitas berat.

c) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi

psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau

atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara

rinci. Penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif

berat masih dapat dibenarkan.

d) Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya

2 minggu, tetapi jika gejalanya amat berat dan beronset sangat

cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis

dalam kurun waktu <2 minggu.

e) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan

sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf

yang sangat terbatas.

4). Episode depresif berat dengan gejala psikotik.

Pedoman diagnostik:

a) Episode depresif berat yang memenuhi kriteria tersebut di atas.

b) Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya

melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang

(38)

Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang

menghina atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk.

Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika

diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi

atau tidak serasi dengan afek (mood congruent).

5) Episode depresif lainnya.

6) Episode depresif YTT.

Gejala yang tampak pada penderita depresi menurut ICD-10,

depresi dikelompokkan berdasarkan gejala utama, seperti: munculnya

mood depresi, hilangnya minat atau semangat dan mudah lelah, ada pula

gejala tambahannya, seperti: konsentrasi menurun, harga diri berkurang,

perasaan bersalah, pesimis melihat masa depan, ide bunuh diri atau

menyakiti diri sendiri, pola tidur berubah dan nafsu makan menurun.

Depresi ringan bila terdapat minimal 2 gejala utama dan 2 gejala

tambahan, depresi sedang bila terdapat minimal 2 gejala utama dan 3-4

gejala tambahan, depresi berat bila terdapat minimal 3 gejala utama dan 4

gejala tambahan (Mudjaddid, 2001 dan Soerjono, 2007).

e. Klasifikasi

Penggolongan depresi sampai saat ini belum memuaskan semua

pihak. Klasifikasi depresi menurut Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders (DSM) IV dibagi menjadi empat gangguan, yaitu

gangguan depresi mayor unipolar dan bipolar dengan gejala berupa

(39)

energi, perasaan bersalah dan pikiran bunuh diri yang berlangsung

setidaknya 2 minggu (Sadock dan Sadock, 2010), gangguan mood

spesifik lainnya, seperti: gangguan distimik depresi minor yang bersifat

ringan tetapi kronis (2 tahun atau lebih) dengan ciri penderita masih

dapat berinteraksi dengan aktivitas sehari-harinya (National Institute of

Mental Health, 2010), gangguan siklotimik depresi dan hipomanik saat

ini atau baru saja berlalu (secara terus menerus selama 2 tahun),

gangguan depresi atipik, depresi postpartum, depresi menurut musim

yang muncul pada saat musim dingin dan menghilang pada musim semi

dan musim panas (National Institute of Mental Health, 2010), gangguan

depresi akibat kondisi medik umum dan gangguan depresi akibat zat

dengan gejala halusinasi dan delusi (National Institute of Mental Health,

2010) dan gangguan penyesuaian dengan mood disebabkan oleh stressor

psikososial.

f. Terapi

Terapi dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pengobatan dan

mengurangi berbagai efek samping yang mungkin muncul selama

pengobatan. Dengan kata lain, pengobatan depresi tidak hanya dengan

menggunakan psikofarmaka semata, tetapi sejak awal sudah melakukan

dengan pengobatan dengan psikofarmaka, seperti: adanya antidepresi

golongan trisiklik, tetrasiklik, Reversible Inhibitory Monoamin Oksidase

(RIMA) type A, atipikal dan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor

(40)

jumlah aminergic neurotransmitter pada sinaps neuron di susunan saraf

pusat dengan menghambat reuptake aminergic neurotransmitter dan

menghambat penghancuran 5HT oleh enzim monoamine oksidase

(Mudjaddid, 2001), selain itu dengan pengobatan psikoterapi, seperti:

ventilasi (menjalin hubungan dokter pasien dengan lebih baik dan

menimbulkan kepercayaan), edukasi, terapi kognitif dan perilaku

(merubah pikiran negatif pada penderita menjadi pikiran positif dan

menguntungkan) dan terapi agama.

3. Hipertensi

Hipertensi dapat menyerang siapa saja. Istilah hipertensi sering

juga disebut sebagai tekanan darah tinggi. Beberapa ahli menjelaskan terkait

hipertensi, yakni:

a. Definisi

Hipertensi dapat terjadi ketika darah memberikan gaya yang lebih

tinggi dibandingkan kondisi normal secara persisten pada sistem

sirkulasi. Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik >140 mmHg

dan tekanan diastolik >90 mmHg (Palmer dan Williams, 2007).

Kamus kedokteran Dorland (2008) menambahkan bahwa

hipertensi adalah peningkatan tekanan darah dalam arteri.

b. Klasifikasi

Tekanan darah yang disebut juga sebagai gaya atau dorongan darah

ke dinding arteri saat darah dipompa ke seluruh tubuh menjadi sangat

(41)

hipertensi menurut Joint National Committe (JNC) VII dapat dibedakan

menjadi kelompok normal: <120/<80 mmHg, prahipertensi:

120-139/80-89 mmHg, hipertensi derajat 1: 140-159/90-99 mmHg dan hipertensi

derajat 2: ≥160/≥100 mmHg (Yogiantoro, 2009).

c. Epidemiologi

Data epidemiologi menunjukkan bahwa dengan makin

meningkatnya populasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi

kemungkinan besar juga akan bertambah, dimana baik hipertensi sistolik

maupuan kombinasi hipertensi sitolik dan diastolik sering timbul pada

lebih dari separuh orang yang berusia >65 tahun, selain itu, laju

pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat, dalam dekade

terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi (pola kurva mendatar) dan

pengendalian tekanan darah ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien

hipertensi (Gunawan, 2001).

Data hipertensi yang lengkap hingga saat ini, sebagian besar

berasal dari negara yang sudah maju. Data dari The National Health and

Nutrition Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari

1999-2000, insidensi hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31% yang

berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika dan terjadi

peningkatan 15 juta dari tahun 1988-1991. Hipertensi esensial sendiri

merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi (Staff Bagian Ilmu

(42)

d. Etiologi

Tekanan darah secara alami berfluktuasi sepanjang hari. Tekanan

darah tinggi menjadi masalah hanya bila tekanan darah tersebut persisten.

Penyakit hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibagi menjadi dua

golongan, yaitu:

1). Hipertensi Essensial atau Primer.

Penyebab dari hipertensi essensial sampai saat ini masih belum

diketahui. Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong hipertensi

essensial. Kebanyakan pasien dengan hipertensi primer terdapat

kecenderungan herediter yang kuat (Guyton dan Hall, 2008). Berbagai

hal, seperti genetik, aktivitas saraf simpatis, faktor hemodinamik,

gangguan mekanisme pompa natrium, faktor renin, angiotensin dan

aldosteron dilaporkan mempunyai kaitan dengan peningkatan tekanan

darah hipertensi essensial (Sidabutar dan Wiguno, 1990). Faktor

genetik dibuktikan bahwa kejadian hipertensi lebih banyak dijumpai

pada penderita kembar monozigot daripada heterozigot. Tahap awal

hipertensi essensial, peningkatan aktivitas tonus simpatis

menyebabkan peningkatan curah jantung, sedangkan tahanan perifer

normal, pada tahap selanjutnya, curah jantung kembali normal,

sedangkan tahanan perifer meningkat akibat terjadinya refleks

(43)

2). Hipertensi Sekunder.

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat

diketahui, antara lain kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan

kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit kelenjar adrenal

(hiperaldosteronisme) dan konsumsi obat kortikosteroid, NSAID,

siklosforin dan eritropoietin yang tidak normal yang berkisar sekitar

10% (Depkes RI, 2006).

e. Faktor Risiko

Penyebab tekanan darah tinggi pada sebagian besar kasus tidak

diketahui, hal ini terutama terjadi pada hipertensi esensial, walaupun

demikian, terdapat beberapa faktor risiko, meliputi: kelebihan berat

badan, kurang berolahraga, mengonsumsi makanan berkadar garam

tinggi, kurang mengonsumsi buah dan sayuran segar, terlalu banyak

minum alkohol, merokok dan makan terlalu banyak lemak (terutama

lemak jenuh yang ditemukan pada daging dan produk susu) yang

berkaitan dengan tingginya kadar kolesterol dalam darah (Brunner dan

Suddarth, 2002). Untungnya, faktor risiko yang dapat dimodifikasi tadi

dapat dikurangi dengan sedikit mengubah gaya hidup, namun demikian,

ada beberapa faktor risiko yang tidak dapat diubah, misalnya: usia tua

(tekanan darah cenderung meningkat seiring bertambahnya usia), riwayat

tekanan darah tinggi dalam keluarga, etnis (tekanan darah tinggi lebih

sering terjadi pada orang berkulit hitam) dan jenis kelamin (tekanan

(44)

Tekanan darah tinggi juga dapat meningkat selama kehamilan dan

keadaan stress. “White coat hypertension” adalah contoh dimana tekanan

darah seseorang meningkat saat mereka berada di ruang praktek dokter

atau di rumah sakit, namun kembali normal di luar waktu tersebut

(Palmer dan Williams, 2007).

f. Gejala Klinis

Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menunjukkan

gejala sampai bertahun-tahun. Oleh karena itu, hipertensi dikenal sebagai

silent killer. Palmer dan Williams (2007) menyebutkan bila tekanan

darah tidak terkontrol dan menjadi sangat tinggi (keadaan ini disebut

hipertensi berat atau hipertensi maligna), maka timbul gejala, seperti:

nyeri kepala atau pusing saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan

muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial, pengelihatan

kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi, ayunan langkah yang

tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat atau kebingungan,

nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus,

edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler,

mengantuk dan sulit bernafas.

g. Diagnosis

Evaluasi pada penderita hipertensi bertujuan untuk menilai gaya

hidup dan identifikasi faktor risiko kardiovaskular atau penyakit penyerta

yang mungkin dapat mempengaruhi prognosis sehingga dapat memberi

(45)

menentukan ada tidaknya kerusakan organ target dan penyakit

kardiovaskular (Brunner dan Suddarth, 2002).

Yogiantoro (2009) menambahkan bahwa diagnosis hipertensi tidak

dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran. Diagnosis baru dapat

ditetapkan setelah dua kali atau lebih pengukuran pada kunjungan yang

berbeda, kecuali terdapat kenaikan yang tinggi atau gejala klinis.

Penegakan diagnosis hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis

terhadap keluhan penderita, riwayat penyakit dahulu dan penyakit

keluarga, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah setelah

pasien beristirahat 5 menit. Posisi pasien adalah duduk bersandar dengan

kaki di lantai dan lengan setinggi jantung. Ukuran dan letak manset, serta

stetoskop harus benar. Ukuran manset standar untuk orang dewasa adalah

panjang 12-13 cm dan lebar 35 cm. Penentuan sistolik dan diastolik

dengan menggunakan Korotkoff fase I dan V. Pengukuran dilakukan dua

kali dengan jeda 1-5 menit. Pengukuran tambahan dilakukan jika hasil

kedua pengukuran sangat berbeda. Konfirmasi pengukuran pada lengan

kontralateral dilakukan pada kunjungan pertama dan jika didapatkan

kenaikan tekanan darah.

Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, antara lain tes darah

rutin, glukosa darah (sebaiknya puasa), kolesterol total serum, kolesterol

(46)

kreatinin serum, kalium serum, Hb dan Het, urinalisis dan EKG

(Yogiantoro, 2009).

h. Komplikasi

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ target yang umum

ditemui pada pasien hipertensi adalah: jantung, yakni: hipertrofi

ventrikel kiri, angina atau infark miokardium dan gagal jantung

(Yogiantoro, 2009), otak, seperti: stroke atau transient ischemic attack,

penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer, retinopati (Palmer dan

Williams, 2007).

i. Terapi

Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah terget tekanan darah

<140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi (diabetes, gagal ginjal

proteinuria) <130/80 mmHg, penurunan morbiditas dan mortalitas

kadiovaskular, menghambat laju penyakit ginjal proteinuria

(Yogiantoro, 2009).

Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan

farmakologis. Terapi non farmakologis harus dilaksanakan oleh semua

pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan

mengendalikan faktor risiko, serta penyakit penyerta lainnya (Dekker,

1996), seperti menurunkan berat badan dengan indeks massa tubuh

20-25 kg/m2, mengurangi asupan garam, membatasi konsumsi alkohol,

(47)

rendah lemak dan melakukan aktivitas fisik aerobik (Palmer dan

Williams, 2007), selain itu perlu juga dilakukan adanya terapi

farmakologis, seperti: obat utama diuretik, alfa-bloker, beta-bloker,

bloker kanal kalsium, inhibitor ACE dan bloker reseptor angiotensin.

4. Hubungan Hipertensi dengan Depresi

Banyaknya angka kejadian dari penyakit hipertensi di dunia

khususnya Indonesia, maka timbul permasalahan yang kompleks pada

penderita hipertensi tersebut, seperti masalah pada organ tubuh penderita,

misalnya pada jantung, pembuluh darah, otak dan ginjal, selain itu, juga

akan timbul masalah yang terkait dengan mental penderita, misalnya sulit

tidur, mudah marah dan gangguan mood. Masalah tersebut akan membuat

penderita hipertensi rentan menderita depresi. Hipertensi menimbulkan

perubahan psikologis, antara lain perubahan konsep diri dan depresi

(Darmaningtyas, 2002).

Hipertensi yang dialami sering kali disertai dengan beban

psikologis dalam menjalani proses perawatan. Penderita hipertensi harus

menjalani perawatan, pengobatan, perilaku diet, serta berbagai aturan yang

mungkin dirasakan sebagai beban, perawatan yang rumit dan berkelanjutan

membuat penderita merasa terbebani, putus asa dan merasa sakitnya tidak

sembuh-sembuh, hal inilah yang menyebabkan terjadinya depresi pada

penderita hipertensi. Didukung pendapat dari Mangoenprasodjo (2004)

menyebutkan depresi semakin meningkat karena penyakit kronis dan

(48)

akan berbagai komplikasi hipertensi menyebabkan semakin mengalami

depresi yang berkepanjangan.

Hipertensi berat menyebabkan berbagai keterbatasan untuk

melakukan aktivitas, seperti menjadi kehilangan peran dalam lingkungan

sosial yang menyebabkan semakin tertekan. Keadaan ini juga menjadi faktor

yang dapat meningkatkan depresi. Pendapat dari Friedman (2003) yang

menyebutkan kemunduran kemampuan fisik, kemunduran kesehatan,

penyakit fisik seperti hipertensi dapat menyebabkan depresi, yang mana

kebanyakan terjadi pada lansia.

Menanggapi uraian sebelumnya, sebenarnya, dapat pula terjadi

hubungan timbal balik antara depresi terlebih dahulu yang menyebabkan

hipertensi ataupun hipertensi berkepanjangan memberikan dampak depresi,

depresi dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, karena saat

seseorang dalam kondisi stress akan terjadi pengeluaran beberapa hormon

yang akan menyebabkan penyempitan dari pembuluh darah dan produksi

cairan lambung yang berlebihan, akibatnya seseorang akan mengalami

mual, muntah, mudah kenyang, nyeri lambung yang berulang dan nyeri

kepala, kondisi stress yang terus menerus dapat menyebabkan komplikasi

hipertensi lebih jauh (Anonim, 2008).

Depresi yang terjadi di keluarga dan masyarakat dapat memicu

kenaikan tekanan darah dengan mekanisme peningkatan kadar adrenalin dan

respon adrenokortikal. Depresi akan meningkatkan resistensi pembuluh

(49)

simpatik (Simon, 2002). Oleh karena depresi, maka tubuh akan bereaksi,

antara lain berupa meningkatnya ketegangan otot, meningkatnya denyut

jantung dan meningkatnya tekanan darah. Reaksi ini dipersiapkan tubuh

untuk bereaksi secara cepat, yang apabila tidak digunakan, maka akan dapat

(50)

B. Kerangka Teori

Gambar 1. Kerangka Teori

Faktor tidak terkontrol:

1. Keturunan.

(51)

C. Kerangka Konsep

Keterangan:

: Diteliti.

: Tidak diteliti.

Gambar 2. Kerangka Konsep

Faktor yang mempengaruhi:

1. Faktor primer (genetik,

hemodinamik, renin,

angiotensin, aldosteron).

2. Faktor sekunder

(kelainan pembuluh

darah ginjal, gangguan

kelenjar tiroid).

3. Sosial (alkohol,

merokok).

4. Fisik (berat badan).

.

Pasien

Hipertensi Depresi

Ringan

Sedang

Berat

5. Jenis Kelamin.

6. Usia.

7. Pendidikan.

8. Pekerjaan.

(52)

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan

antara faktor demografi dengan depresi pada penderita hipertensi di Kabupaten

(53)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi

non-eksperimental dengan rancangan penelitian cross sectional untuk menentukan

hubungan antara faktor demografi dengan depresi pada penderita hipertensi.

Pada studi cross sectional, peneliti melakukan observasi atau pengukuran

variabel pada satu waktu tertentu.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian.

Populasi adalah sejumlah besar subjek yang mempunyai

karakteristik tertentu (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). Populasi dalam

penelitian ini adalah penderita hipertensi di Kabupaten Gunungkidul DIY.

2. Sampel Penelitian.

Sastroasmoro dan Ismael (2011) menambahkan sampel sebagai

bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap

dapat mewakili populasi. Sampel pada penelitian ini diambil di Puskesmas

Wonosari yang menderita hipertensi. Pemilihan sampel dalam penelitian ini

menggunakan cara purposive sampling. Kriteria inklusi dan ekslusi dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kriteria Inklusi.

1) Penderita hipertensi di Puskesmas Wonosari.

(54)

2) Penderita hipertensi di Puskesmas Wonosari yang menderita

hipertensi >6 bulan.

3) Penderita hipertensi di Puskesmas Wonosari yang menderita

hipertensi dengan usia >40 tahun.

4) Penderita hipertensi di Puskesmas Wonosari yang menderita

hipertensi tanpa komplikasi lain.

5) Mampu berkomunikasi dan tidak ada keterbatasan dalam hal

pendengaran dan penglihatan.

b. Kriteria Eksklusi.

1) Riwayat hipertensi dengan komplikasi penyakit kronis lain.

2) Penderita hipertensi yang mengalami buta huruf.

3) Penderita hipertensi yang sedang dalam perawatan di rumah sakit.

3. Perkiraan Besar Sampel.

Besar sampel ditentukan dengan rumus Slovin pada penelitian

analitik numerik menurut Akdon dan Ridwan (2005), sebagai berikut:

Taraf kepercayaan yang diambil adalah 95% dan batas eror

penaksiran maksimal 5%, maka jumlah sampel sebanyak 40 orang.

Keterangan:

n: Besar sampel minimal.

N: Populasi= 40.

d: Nilai presisi 95% atau sig.= 0,05.

(55)

n = 36,4 ≈ 36

Sampel penelitian ini akan dipakai sebanyak 36 orang dengan skor

depresi pada penderita hipertensi yang memenuhi kriteria yang ditentukan.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi yang digunakan peneliti untuk melakukan penelitian adalah

Puskesmas Wonosari, sedangkan untuk waktu penelitian pada bulan

Maret-Desember 2016.

Tabel 2. Time Table Kegiatan Karya Tulis Ilmiah.

(56)

D. Variabel Penelitian

Variabel adalah karakteristik subjek penelitian yang berubah dari satu

subjek ke subjek lain. Menurut fungsinya dalam konteks penelitian, khususnya

dalam hubungan antar variabel, terdapat beberapa jenis variabel yaitu variabel

tergantung dan variabel bebas. Variabel tergantung adalah variabel yang

berubah akibat perubahan variabel lain. Variabel bebas adalah variabel yang

apabila berubah akan mengakibatkan perubahan pada variabel lain

(Tjokronegoro dan Sudarsono, 2007). Penelitian ini variabel tergantung dan

bebas adalah sebagai berikut:

1. Variabel Tergantung.

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah depresi.

2. Variabel Bebas.

Variabel bebas pada penelitian ini adalah faktor demografi.

E. Definisi Operasional

Definisi operasional ditambahkan oleh Budiarto (2002) sebagai batasan

semua konsep yang ada dalam penelitian agar tidak ada makna ganda dari

istilah yang digunakan. Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang dimiliki oleh subjek penelitian.

Variabel ini berupa skala nominal; laki-laki dan perempuan.

2. Umur adalah usia subjek penelitian saat pengisian kuisioner sesuai dengan

tanggal kelahiran di KTP. Variabel ini berupa skala ordinal, dinyatakan

sebagai dewasa akhir (36-45 tahun), lansia awal (46-55 tahun), lansia akhir

(57)

3. Pendidikan adalah tahapan pembelajaran yang ditetapkan berdasarkan

tingkat perkembangan peserta didik. Variabel ini berupa skala ordinal,

dinyatakan sebagai tidak sekolah, SD, SMP dan SMA.

4. Pekerjaan adalah pekerjaan pokok subjek penelitian saat pengisian kuisioner.

Variabel ini berupa skala ordinal, dinyatakan sebagai ibu rumah tangga,

petani, buruh, pensiunan dan wiraswasta.

5. Status pernikahan adalah status pernikahan subjek penelitian saat pengisian

kuisioner. Variabel ini berupa skala nominal, dinyatakan sebagai menikah

dan tidak menikah.

6. Skor depresi merupakan kondisi mental dengan gejala utama afek depresif,

hilangnya minat dan kegembiraan dan keadaan mudah lelah yang

dinyatakan dalam skor. Dalam penelitian ini, depresi dinilai dengan

kuisioner Beck Depression Inventory (BDI) yang mana instrumen tersebut

digunakan pada semua rentang umur.

7. Hipertensi disebut juga tekanan darah tinggi yang mana ditandai dengan

tekanan sistolik >140 mmHg dan tekanan diastolik >90 mmHg yang mana

didapatkan dari riwayat catatan rekam medis yang ada dan wawancara atau

keterangan pasien dan keluarga.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Beck Depression Inventory (BDI) merupakan instrumen self administered

yang dirancang untuk menilai intensitas depresi pada pasien psikiatri,

(58)

sensitivitas 83% dan spesifisitas 82%. Beck Depression Inventory terdiri

dari 21 pertanyaan yang mengevaluasi gejala depresi, seperti: suasana

perasaan hati, rasa pesimis, perasaan gagal, rasa ketidakpuasan akan dirinya,

perasaan bersalah, perasaan dihukum, perasaan benci pada dirinya,

menyalahkan diri sendiri, ide bunuh diri, menangis, mudah tersinggung,

kehilangan minat, tidak dapat membuat keputusan, pandangan perubahan

bentuk tubuh, kesulitan kerja, gangguan tidur, kelelahan, kehilangan nafsu

makan, penurunan berat badan, preokupasi somatik dan libido. Beck

Depression Inventory terdiri dari 21 item pertanyaan yang diberi skala 0-3

dengan nilai maksimal 63 dan minimal 0. Penilaian skala pengukuran BDI

juga dikemukakan oleh Beck, A.T. (1996), seperti 0-13: normal atau

minimal, 14-19: depresi ringan, 20-28: depresi sedang dan 29-63: depresi

berat. Penelitian ini dilakukan uji validitas internal dan didapatkan semu

butir pertanyaan berkorelasi positif dengan skor depresi (rentang r=

0,344-0,845; p= 0,000-0,024). Uji reliabilitas untuk semua butir pertanyaan

memberikan nilai Alpha Cronbach sebesar 0,721.

Setiap pertanyaan yang dijawab akan dicatat skornya dan akan

diakumulasi dari semua pertanyaan yang dijawab. Akumulasi skor tersebut

akan menjadi skor depresi.

2. Hipertensi didapatkan dari riwayat catatan rekam medis yang ada dan

(59)

G. Jalannya Penelitian

1. Prosedur Persiapan.

Peneliti menyusun proposal penelitian dan melakukan survei

mengenai faktor demografi dengan depresi pada penderita hipertensi di

Dinas Kesehatan Gunungkidul dan menentukan lokasi penelitian di

Kabupaten Gunungkidul DIY.

2. Prosedur Administrasi.

Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada

Dekan Fakultas Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang diajukan

kepada Kepala Kantor Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu dan

Kepala Puskesmas Wonosari.

3. Prosedur Teknis.

a. Peneliti meminta persetujuan dari Kepala Puskesmas Wonosari untuk

melakukan penelitian di Puskesmas Wonosari yaitu dengan

memberikan surat permohonan izin sebagai tempat dilakukannya

penelitian.

b. Peneliti menemui Kepala Puskesmas Wonosari untuk

menginformasikan dan menjelaskan bahwa akan melakukan

pengambilan data.

c. Peneliti menemui calon responden dan meminta kesediaan untuk

berpartisipasi dalam penelitian dengan mengisi lembar informed

Gambar

Tabel 1. Keaslian Penelitian.
Gambar 1. Kerangka Teori
Gambar 2. Kerangka Konsep
Tabel 2. Time Table Kegiatan Karya Tulis Ilmiah.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Minuman serbuk dapat diproduksi dengan biaya yang lebih rendah daripada minuman cair karena sedikit sekali mengandung air dengan bobot dan volume yang rendah,

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Membandingkan aplikasi Metode Meyerhof dengan Metode LCPC apabila digunakan pada jenis pondasi minipile, (2) Membandingkan

Pelanggan terhadap Loyalitas pelanggan smartphone merek Samsung sedangkan penelitian sebelumnya yang menggunakan variabel Pengaruh Kepercayaan dan Kepuasan

[r]

Melakukan penelitian dan evaluasi data Administrasi terhadap surat penawaran harga yang dinyatakan lengkap / sah dalam Berita Acara Pembukaan Dokumen Penawaran

[r]

[r]

(Nye, 2011: 46 dan Rahman, 2014). Diplomasi merupakan salah satu sarana dari soft power. Diplomasi menjadi bagian tidak terpisahkan dari ragam isu, teramasuk isu