• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemaknaan Dalam Video “Takotak Miskumis” Karya Cameo Project: Analisis Semiotika Terhadap Pesan Video “Takotak Miskumis” Karya Cameo Project

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemaknaan Dalam Video “Takotak Miskumis” Karya Cameo Project: Analisis Semiotika Terhadap Pesan Video “Takotak Miskumis” Karya Cameo Project"

Copied!
316
0
0

Teks penuh

(1)

PEMAKNAAN DALAM VIDEO “TAKOTAK MISKUMIS”

KARYA CAMEO PROJECT

(Analisis Semiotika terhadap Pesan Video “Takotak Miskumis”

Karya Cameo Project)

SKRIPSI

SHEILA SULTHANA TASWIN

090904037

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

(2)

PEMAKNAAN DALAM VIDEO “TAKOTAK MISKUMIS”

KARYA CAMEO PROJECT

(Analisis Semiotika terhadap Pesan Video “Takotak Miskumis”

Karya Cameo Project)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

SHEILA SULTHANA TASWIN

090904037

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Sheila Sulthana

NIM : 090904037

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : Pemaknaan dalam Video “Takotak Miskumis”

Karya Cameo Project (Analisis Semiotika terhadap Video “Takotak Miskumis” Karya Cameo Project)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : ... ( ... )

Penguji : ... ( ... )

Penguji Utama : ... ( ... )

Ditetapkan di : ...

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, Allah SWT,

karena berkat rahmatNya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi

ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)

Universitas Sumatera Utara (USU). Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan

skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena

itu, dari lubuk hati yang terdalam, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1) Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2) Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.Si selaku ketua Departemen Ilmu

Komunikasi FISIP USU.

3) Bapak Syafruddin Pohan, M. Si, Ph.D selaku dosen pembimbing

yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk

mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih

untuk pengertian dan kebebasan yang Bapak berikan sehingga saya

bisa mengeksplorasi materi skripsi dengan leluasa.

4) Bapak/Ibu dosen dan staf pegawai Ilmu Komunikasi FISIP USU

yang telah berperan besar dalam terlaksananya perkuliahan selama

ini.

5) Ibunda tercinta, Ir. Cut Nasmiati, untuk cinta dan doa yang tak

pernah putus. Untuk adik-adik: Imam Syauqani, Nardhini Shadiqa

dan Nabila Shabira, yang selalu mengingatkan saya agar tidak

mudah stres. Untuk Cut Nismaita dan Cut Nurmailida, bibi yang

kehadirannya menentramkan.

6) Keempat sahabat terbaik sekaligus keluarga kedua: Dana Alfi

Anjani, Nelly F. Kembaren, Novia Sabrina Ginting, dan Juliawaty.

(5)

7) Sahabat-sahabat di Komunikasi 2009: Atiqa Khaneef Harahap,

Khairani Harahap, Suryadi, Tri Ayu Videlia Sari, Efira Novia

Kamil, Asri Naufal Pane, Rouli Afrilya Gultom. Terima kasih

untuk waktu yang dibagi dan cerita-cerita yang kalian percayakan.

8) Kawan-kawan seperjuangan di Pers Mahasiswa PIJAR. Saya

bersyukur kita belajar dan berkembang bersama sebagai satu tim.

9) Kakanda Jovita Sabarina Sitepu, atas kesediaan dan kesabarannya

dalam mengoreksi dan memberikan masukan berharga untuk

skripsi saya. Terima kasih sebesar-besarnya karena telah

mendudukkan pola pikir saya.

10) Kakanda Emilia Ramadahi selaku Ketua P2KM periode

2012-2013. Terima kasih untuk bimbingan serta bantuannya selama saya

berorganisasi di PIJAR. Kehadiran Kakak selalu menjadi penyejuk

yang dinanti.

11) Kawan-kawan yang luar biasa di Sapulidi. Senang dilibatkan

dalam hidup dan mimpi-mimpi kalian.

12)Saudara-saudara di dunia virtual: Ismi Pradnya Safeya, Monica

Suprantio, Rizka Maulida, Retty Tania, Sanich Iyonni, Wardahtul

Jannah, Rina Setiawati. Terima kasih telah menjadi pembaca yang

antusias serta sahabat yang suportif.

13) Sahabat-sahabat sedari SMA : Arlia Fachreny, Ade Sandria, Dwi

Uthami Putri, Hanny Rizki Erwanda, Shoffa Malini, Hamid Al

Khair, Rohim Edy Yuniarto. Kalian selalu istimewa.

14) Rekan-rekan di CEC (Creative English Club) : Abangda Iman

Pasu Purba, kak Ade, kak Nidya. Bob Turton dan Louise Turton,

thank you so much for being there.

15) Kakanda Siti Nuraini, untuk pinjaman buku dan terutama, untuk

nasihat-nasihatnya yang sangat berharga.

16) Abangda M. Iqbal Damanik, untuk sesi brainstorming dan

(6)

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala

kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat menjadi

kontribusi yang signifikan bagi dunia keilmuan, khususnya Ilmu Komunikasi.

Medan, 30 Januari 2014

(7)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

_________________________________________________________________

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Sheila Sulthana Taswin

NIM : 090904037

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (ISIP)

Universitas : Universitas Sumatera Utara (USU)

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-Exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

... ... ... ... ...

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : ... Pada Tanggal : ...

Yang Menyatakan

(8)

ABSTRAK

Skripsi ini berisi penelitian mengenai pemaknaan terhadap video Takotak Miskumis. Takotak Miskumis adalah video karya Cameo Project, sebuah grup pecinta fotografi dan sinematografi yang berbasis di Jakarta. Skripsi ini meneliti konstruksi makna serta mitos yang ditampilkan di sepanjang video. Demi mengungkap kedua hal tersebut, peneliti menggunakan semiotika signifikasi Roland Barthes sebagai instrumen analisa data. 27 scene dibagi menjadi 83 gambar kemudian dianalisis menggunakan analisis leksia dan lima kode pembacaan. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan aplikasi paradigma konstruktivis kritis. Sesuai dengan perumusan masalah, yaitu “bagaimanakah pemaknaan dan apa mitos yang dapat diungkap dari video Takotak Miskumis”, terungkap bahwa Cameo Project berpihak pada Joko Widodo, menggambarkannya sebagai kandidat yang bijak dan pantas dipilih. Sebaliknya, Fauzi Bowo digambarkan sebagai pemimpin yang korup sehingga tidak pantas dipilih. Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kombinasi penggunaan Youtube dan persuasi yang efektif berpengaruh dalam menentukan ketokohan serta mengkonstruksi wacana terhadap tokoh-tokoh politik.

Kata kunci :

Video, Semiotika, Fauzi Bowo, Joko Widodo, Cameo Project, Youtube.

ABSTRACT

This thesis examines the signification of Joko Widodo and Fauzi Bowo in Takotak Miskumis video. Takotak Miskumis is made by Cameo Project, a group based in Jakarta, which formed by photography and cinematography enthusiasts. This thesis investigates the construction of meaning and myths portrayed throughout the video. In order to arrive at said objectives, I utilize signification framework of Roland Barthes’s semiotics as data analysizing instrument. 27 scenes are divided into 83 shots then analyzed using lexia analysis and five codes of reading. This thesis applies critical constructivism paradigm, thus categorized as qualitative research in nature. In accordance with designated inquiry, namely “how do signification work and what kind of myths revealed in Takotak Miskumis video?” I conclude that Cameo Project’s established portrayal results in Joko Widodo’s favor, depicting him as the wise candidate worthy of Jakarta’s citizen approval. In stark contrast, Fauzi Bowo warrants the image of deceitful, unworthy candidate for governor election. Conclusively, combined usage of Youtube as user-generated content site and effective persuation are influencial on determining mass perception as well as constructing discourse about political figures.

Keywords:

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

ABSTRAK ... vii

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma Kajian ... 8

2.2 Kajian Pustaka ... 10

2.3 Model Teoritis ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 34

(10)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 249

5.2 Saran ... 250

5.3 Implikasi Teoritis ... 251

5.4 Praktis ... 251

(11)

DAFTAR GAMBAR dalam Video Takotak Miskumis Karya

(12)
(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Teknik Pengambilan Gambar 26-27

(14)

ABSTRAK

Skripsi ini berisi penelitian mengenai pemaknaan terhadap video Takotak Miskumis. Takotak Miskumis adalah video karya Cameo Project, sebuah grup pecinta fotografi dan sinematografi yang berbasis di Jakarta. Skripsi ini meneliti konstruksi makna serta mitos yang ditampilkan di sepanjang video. Demi mengungkap kedua hal tersebut, peneliti menggunakan semiotika signifikasi Roland Barthes sebagai instrumen analisa data. 27 scene dibagi menjadi 83 gambar kemudian dianalisis menggunakan analisis leksia dan lima kode pembacaan. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan aplikasi paradigma konstruktivis kritis. Sesuai dengan perumusan masalah, yaitu “bagaimanakah pemaknaan dan apa mitos yang dapat diungkap dari video Takotak Miskumis”, terungkap bahwa Cameo Project berpihak pada Joko Widodo, menggambarkannya sebagai kandidat yang bijak dan pantas dipilih. Sebaliknya, Fauzi Bowo digambarkan sebagai pemimpin yang korup sehingga tidak pantas dipilih. Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kombinasi penggunaan Youtube dan persuasi yang efektif berpengaruh dalam menentukan ketokohan serta mengkonstruksi wacana terhadap tokoh-tokoh politik.

Kata kunci :

Video, Semiotika, Fauzi Bowo, Joko Widodo, Cameo Project, Youtube.

ABSTRACT

This thesis examines the signification of Joko Widodo and Fauzi Bowo in Takotak Miskumis video. Takotak Miskumis is made by Cameo Project, a group based in Jakarta, which formed by photography and cinematography enthusiasts. This thesis investigates the construction of meaning and myths portrayed throughout the video. In order to arrive at said objectives, I utilize signification framework of Roland Barthes’s semiotics as data analysizing instrument. 27 scenes are divided into 83 shots then analyzed using lexia analysis and five codes of reading. This thesis applies critical constructivism paradigm, thus categorized as qualitative research in nature. In accordance with designated inquiry, namely “how do signification work and what kind of myths revealed in Takotak Miskumis video?” I conclude that Cameo Project’s established portrayal results in Joko Widodo’s favor, depicting him as the wise candidate worthy of Jakarta’s citizen approval. In stark contrast, Fauzi Bowo warrants the image of deceitful, unworthy candidate for governor election. Conclusively, combined usage of Youtube as user-generated content site and effective persuation are influencial on determining mass perception as well as constructing discourse about political figures.

Keywords:

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

“Broadcast Yourself” adalah slogan yang digunakan Youtube dalam

menjalankan fungsinya. Situs yang didirikan oleh Stev Chen, Chad Hurley, dan

Jared Karim pada 14 Februari 2005 ini berbasis di San Bruno, California. Youtube

bisa diakses dalam lima puluh empat versi bahasa dari seluruh dunia. Youtube

adalah situs berkarakter user generated content. Artinya, isi dari situs itu sendiri

disediakan oleh para anggotanya. Lewat Youtube, pengguna internet dari seluruh

dunia bisa mengakses, mengunggah, mengunduh berbagai macam video, dari

mulai produksi rumahan, iklan, klip musik, tayangan televisi, sampai film.

Penggunaannya yang praktis membuat Youtube populer di semua lapisan

pengguna, dari mulai individu, kelompok masyarakat, hingga institusi. Sejak

dibeli oleh Google pada November 2006, Youtube beroperasi sebagai subsider

Google.

Selama beberapa tahun terakhir, perkembangan jangkauan internet dan

konvergensi teknologi begitu pesat. Akses yang intens terhadap media sosial

menjadi kebutuhan sekaligus gaya hidup. Akibatnya, tidak sedikit pihak yang

memanfaatkan Youtube sebagai media untuk mempropagandakan ide-ide mereka.

Selain karena mudah dan murah, aksesibilitas Youtube semakin meningkat.

Streaming video kini tak hanya bisa dinikmati lewat komputer pribadi saja,

melainkan juga lewat komputer jinjing (laptop), ponsel pintar (smartphone), dan

tablet. Komunikator berkesempatan memiliki khalayak sasaran yang lebih besar.

Kampanye politik melalui media pun menjadi opsi yang krusial bagi tokoh-tokoh

politik yang hendak membidik suara calon pemilih.

Beberapa pihak pun mulai berspekulasi dan mempelajari kemungkinan

Youtube mengubah diskursus politik dan praktik politik pemilu. Heldman (2007)

menyebutkan beberapa dampak potensial Youtube terhadap politik pemilu.

Pertama, dia berspekulasi bahwa Youtube memungkinkan kandidat yang kurang

kuat—dengan sumber daya ekonomi dan sosial yang relatif lebih kecil—mampu

bersaing dengan kandidat yang disokong oleh pendanaan yang lebih besar.

(16)

menyebarkan pesan dalam bentuk iklan politik secara gratis (Ridout, Fowler, & Branstetter, 2010: 4).

Heldman menyatakan bahwa berkampanye di Youtube dapat menarik

perhatian segmen dari populasi yang biasanya tidak terlibat di dalam politik,

khususnya kaum muda, yang tertarik kepada format online (Ridout, Fowler, &

Branstetter, 2010: 4).

Salah satu bukti kesuksesan Youtube dalam kampanye politik adalah video

musik “Yes We Can” karya personil grup Black Eyed Peas, will.i.am. “Yes We

Can” adalah bentuk kolaborasi musisi, penyanyi, dan aktor-aktor tenar Amerika

untuk mendukung naiknya Obama sebagai presiden. Uniknya, walaupun liriknya

murni petikan dari pidato konsensi kepresidenan Obama di New Hampshire, tim

kampanye Obama sendiri tidak terlibat dalam proyek ini. Dirilis perdana pada 2

Februari 2008, video musik ini dilihat lebih dari sepuluh juta kali pada bulan

pertama. Pada 22 Juli 2008, “Yes We Can” sudah dilihat lebih dari dua puluh satu

juta kali. Prestasi itu membuat video ini dianugrahi penghargaan Daytime Emmy

Award.

Prinsip dasar dari politik Youtube adalah memberi jalan pada orang-orang

baru untuk memasuki proses politis. Secara ringkas, Klotz berkata, “Warga

diberdayakan oleh demokratisasi dari pengeditan video, produksi, dan distribusi”

(2010: 146). Agar warga menjadi berpengaruh, video-video ini harus “tersebar

denga pesat”, yang berarti mereka “menjadi amat populer saat mereka disebarkan

dari satu orang ke orang lainnya lewat email, pesan instan, dan situs berbagi

media (Wallsten, 2010: 164) (Ridout, Fowler, & Branstetter, 2010: 5).

Kampanye lewat media sosial seperti Youtube tidak hanya terjadi di luar

negeri. Indonesia menjadi saksi suksesnya kampanye demikian pada pemilihan

umum gubernur DKI Jakarta. Tahun 2012, animo masyarakat terhadap pesta

demokrasi di ibukota mencapai puncaknya. Terdapat enam calon orang nomor

satu DKI yang bersaing meraup suara. Mereka adalah Fauzi Bowo – Nachrowi

Ramli, Hendardji Sopenadji – Ahmad Riza Patria, Joko Widodo – Basuki Tjahja

Purnama, Hidayat Nur Wahid – Didik J. Rachbini, Faisal Batubara – Biem

(17)

Perhitungan cepat (quick count) Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada

pemilihan gubernur putaran pertama tanggal 11 Juli 2012 lalu menghasilkan

Foke-Nara (34,42%), Hendardji-Riza (1,85%), Jokowi-Basuki (42,85%),

Hidayat-Didik (11,80%), Faisal-Biem (4,75%), dan Alex-Nono (4,41%). Mengingat tak

ada pasangan kandidat yang mencapai hasil suara lebih dari lima puluh persen,

maka pemilihan putaran kedua pun diadakan pada 20 September 2012. Hasil

tersebut menyisakan dua kubu yang nyata bersaing sengit dalam memperebutkan

suara warga. Rivalitas kubu Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dan Joko

Widodo-Basuki Tjahja Purnama pun berlanjut. Ranah dunia siber menawarkan banyak

opsi demi menarik simpati publik. Pada momentum inilah, Youtube memainkan

perannya.

Di Youtube, ada beberapa video relawan Jokowi-Basuki yang cukup terkenal,

seperti video “Jokowi-Basuki Parodi Curahan Hati” milik akun Andre Winardi

dan “Film Dokumenter Jakarta Baru” milik akun Sekilas Info. Namun, tak bisa

dipungkiri bahwa akun relawan Jokowi-Basuki yang paling fenomenal adalah

Cameo Project.

Cameo Project adalah sebuah grup di Jakarta yang berminat di bidang

fotografi dan sinematografi. Anggotanya terdiri kaum muda dengan latar belakang

pendidikan dan profesi yang beragam. Cameo Project bergabung di Youtube pada

tanggal 12 Agustus 2012. Proyek mereka terbagi atas empat kategori: Cameo TV,

Cameo Music, Shortmovies (film pendek), dan Clips. Sampai saat ini, akun

Cameo Project sudah mengunggah dua puluh dua video di Youtube. Tema video

yang mereka buat beragam, mulai dari parodi, politik, hingga fenomena sosial.

Gebrakan mereka di dunia siber ditandai dengan diunggahnya video "Jokowi

dan Basuki - What Makes You Beautiful by One Direction [Parody]" pada 26

Agustus 2012. Video ini menyoroti masalah-masalah yang kronis di Jakarta,

seperti kemacetan, birokrasi, kemiskinan, suap, dan korupsi anggaran

pembangunan. Empat tokoh utama dalam video ini menyerukan bahwa mereka

membutuhkan Jokowi dan Basuki untuk memimpin Jakarta. Berkat kepekaan

mereka dalam menangkap fenomena sosial, video ini sudah dilihat lebih dari 1,7

juta kali.

(18)

Ada cerita tersendiri di balik video parodi satu ini. Lee, salah satu anggota

Cameo Project, mengaku bahwa Jokowi dan Basuki tak tahu soal pembuatan dua

video itu. Namun, mereka telah meminta izin terlebih dulu kepada salah satu tim

sukses pasangan tersebut. Cameo Project tak mau karya mereka dianggap

kampanye terselubung. Setelah mendapat izin, barulah video tersebut diunggah ke

Youtube.

Sepak terjang Cameo Project tidak berhenti sampai di situ. Selesai dengan

video pertama, mereka kembali dengan video berjudul “Takotak Miskumis”.

Video berkategori nonprofits dan activism ini diunggah pada 11 September 2012

dan telah dilihat lebih dari 750 ribu kali. Dua puluh tujuh pemain terlibat di video

ini, termasuk empat pemain utama yang telah lebih dahulu tampil di video parodi

berlatar lagu What Makes You Beautiful milik One Direction. Berbeda dengan

video pendahulunya, “Takotak Miskumis” memiliki lagu orisinal yang diaransir

oleh Ronald Steven. Liriknya ditangani oleh Yosi Mokalu dari Project Pop, yang

hadir sebagai special appearance.

Takotak Miskumis menampilkan sekelompok orang yang akan berpartisipasi

pada Pilkada Jakarta putaran kedua. Saat mereka tengah menyiapkan TPS dan

kotak suara, muncullah Yosi Mokalu dari salah satu kotak suara. Mulailah

personel Project Pop ini bernyanyi bahwa ia tidak ingin salah memilih calon

gubernur. Warga di sekitar TPS pun turut bernyanyi: Sebentar lagi kita harus

memilih, Foke atau Jokowi jadi gubernur DKI. Tak kotak kotak kotak, miskumis

kumis kumis. Pilih pemimpin yang bijak, jangan yang tukang bokis sembari

bergaya dengan atribut kedua calon, yaitu kemeja kotak-kotak dan kumis.

Kubu Jokowi-Basuki dan Foke-Nara memang memiliki janji politik yang

mereka representasikan lewat atribut fisik masing-masing. Namun, Cameo Project

berkata bahwa “Takotak Miskumis” bukanlah video kampanye. Video ini dibuat

agar Pemilukada DKI tahap dua berjalan dengan jujur, demokratis, dan efektif.

Lewat karya ini, Cameo Project mengajak warga Jakarta untuk memilih pemimpin

terbaik untuk lima tahun ke depan. Mereka berharap bahwa siapa pun gubernur

yang terpilih, warga Jakarta akan selalu bersama.

Toto yang merupakan personil Cameo Project berkata bahwa ide untuk video

(19)

yang lebih dari tiga puluh persen. Dia ingin mengemas pesan-pesan politik dalam

bentuk hiburan, agar penontonnya tidak bosan. Martin, salah satu talent dalam

video "Jokowi dan Basuki" dan “Takotak Miskumis” menambahkan bahwa tujuan

Cameo Project adalah ‘mendukung Pemilukada’. Mereka bermaksud membuat

Pemilukada yang tadinya kelihatan serius dan tegang menjadi lebih santai.

Rekannya sesama talent, Moreno, berkata bahwa ‘mereka ingin ada perubahan di

Jakarta, juga untuk Indonesia. Perubahan itu seharusnya dimulai dari kaum muda.

Karya-karya mereka diharapkan membuat kaum muda lebih sadar terhadap dunia

politik’.

Fiksi dan simbol, terlepas dari nilai-nilai mereka terhadap keberadaan

golongan masyarakat, adalah sangat penting terhadap komunikasi manusia.

Hampir setiap indivdu berhubungan dengan suatu kejadian yang jauh dari

penglihatan dan sulit untuk digenggam. Lippmann (1992) mengamati,

‘“Satu-satunya perasaan yang dapat dimiliki oleh seseorang tentang suatu even yang

belum pernah dia alami adalah perasaan yang ditimbulkan oleh kesan mental dari

peristiwa tersebut.”’

Hasil Pemilukada DKI Jakarta putaran dua diumumkan pada Sabtu, 29

September 2012. Penetapan dilakukan sesuai dengan hasil rekapitulasi

penghitungan suara di tingkat provinsi sehari sebelumnya. Pasangan

Jokowi-Basuki meraih 2.472.130 (53,82%) suara, sedang Foke-Nara mendapatkan

2.120.815 (46,18%) suara. Dengan selisih 351.315 (7,65%) suara, Ketua KPUD

DKI Jakarta Dahliah Umar menyatakan pasangan nomor urut 3 meraih suara

terbanyak dalam putaran kedua.

Youtube ternyata merupakan channel yang sangat potensial untuk

berkampanye kreatif. Kampanye tak hanya tentang mobilisasi massa, orasi di

tempat terbuka, lalu memaparkan visi-misi. Kampanye kreatif di zaman modern—

terlepas dari apa pun kontennya—adalah tentang memanfaatkan media massa

untuk pengenalan, pembentukan, dan penanaman citra. Komunikator yang baik

mampu menggunakan media sosial untuk menarik simpati khalayak yang kini

lebih canggih, kritis, dinamis, dan mobile.

Elaborasi tersebut tepat untuk menggambarkan efek video “Takotak

(20)

terpopuler di dunia sekaligus salah satu situs yang paling banyak diakses di

Indonesia. Kedua, penempatan tersebut mengakibatkan terbukanya akses ke

segala lapisan masyarakat. Komentar-komentar yang masuk menunjukkan bahwa

penontonnya terdiri atas pelajar, mahasiswa, pekerja; orang-orang dengan latar

belakang, etnis, serta profesi yang beragam—dan domisili mereka tidak hanya

dari Jakarta. Ketiga, “Takotak Miskumis” mengangkat isu Pemilukada yang

aktual, relevan, serta menarik bagi warga Jakarta saat itu. Keempat, “Takotak

Miskumis” sudah didahului oleh video parodi yang sukses membangkitkan

antusiasme khalayak terhadap Pemilukada DKI Jakarta.

Nama Cameo Project melambung sehingga karya mereka tentang isu yang

sama ditunggu publik. Kelima, berkat gaung Cameo Project di dunia siber,

media-media online dan beberapa stasiun televisi turut meliput mereka. Tentu saja hal ini

membuka ekspos yang lebih besar terhadap video “Takotak Miskumis” sendiri,

terutama menjelang Pemilukada DKI Jakarta putaran dua.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti video

“Takotak Miskumis” dengan menggunakan metode analisis semiotika. Semiotika

sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh yang semakin kuat

dan luas dalam satu dekade terakhir ini, termasuk di Indonesia. Sebagai metode

kajian, semiotika memperlihatkan kekuatannya di dalam berbagai bidang, seperti

antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, mempunyai pengaruh pula pada

bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk

desain komunikasi visual (Piliang, 2012: 337).

Video “Takotak Miskumis” merupakan satu produk komunikasi visual. Di

dalam semiotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’. Yaitu fungsi

tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengiriman pesan

(sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan kode-kode tertentu.

Meskipun fungsi utamanya adalah fungsi komunikasi, tapi bentuk-bentuk

komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikasi (signification) yaitu fungsi

dalam menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna (Tinarbuko, 2009: xi).

Cameo Project merangkai fragmen demi fragmen isu maupun berita tentang

Jokowi-Basuki dan Foke-Nara hingga menjadi serangkaian cerita di dalam video.

(21)

dihadirkan di video “Takotak Miskumis” tentunya memiliki konstruksi makna

tersendiri. Pemaknaan terhadap pesan video “Takotak Miskumis” itulah yang

menjadi fokus dalam penelitian ini.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian konteks masalah di atas, maka fokus masalah yang akan

diteliti lebih lanjut adalah sebagai berikut:

1. “Bagaimanakah konstruksi pemaknaan yang ada di dalam video Takotak

Miskumis karya Cameo Project?

2. “Mitos seperti apa yang dapat diungkap dari pemaknaan atas tanda yang

terdapat dalam video Takotak Miskumis karya Cameo Project?”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dan menganalisis konstruksi makna demi menemukan pesan di

dalam video “Takotak Miskumis” karya Cameo Project di Youtube.

2. Memetakan dan mengungkap mitos yang dikonstruksikan di dalam video

“Takotak Miskumis”.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini mengkombinasikan semiotika—khususnya

semiotika signifikasi Roland Barthes—dengan paradigma konstruktivis kritis.

Integrasi kajian semiotika dan paradigma konstruktivis kritis dalam penelitian

ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya di

bidang ilmu Komunikasi.

2. Secara praktis, penelitian ini berguna agar pembaca dapat mengetahui dan

memahami pemaknaan di dalam kampanye kreatif, khususnya melalui video

“Takotak Miskumis”, agar konten bisa dimaknai tidak hanya dari muatan

pesan yang tampak (manifest content), tetapi juga muatan pesan yang

tersembunyi (latent content).

3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan berkontribusi dalam

(22)

semiotika. Penelitian ini juga dapat menjadi bahan refrerensi bila ada

(23)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Kajian

Guba dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian

keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan

prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan dunia (world

view) yang menentukan bagi pengamat sifat dari “dunia” sebagai tempat individu

dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta bagian-bagiannya

(Sunarto dan Hermawan, 2011: 4). Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam

pengertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan

saja disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukan suatu kebenaran akhir.

Paradigma adalah basis kepercayaan atau metafisika utama dari sistem

bepikir: basis dari ontologi, epistemologi, dan metodelogi. Paradigama dalam

pandangan filosofis, memuat pandangan awal yang membedakan, memperjelas,

dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian paradigma

membawa konsekuensi praktis berperilaku, cara berpikir, interpretasi dan

kebijakan dalam pemilihan terhadap masalah (Salim, 2006: 96).

Macam paradigma itu sendiri tertnyata bervariasi. Guba dan Lincoln (1994)

menyebutkan empat macam paradigma, yaitu positivisme, post positivisme,

konstruktivisme dan kritis.

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme kritis (critical

constructivism). Paradigma ini adalah penggabungan dari pandangan konstruktivis

dengan pandangan kritis yang dikembangkan oleh Frankfurt School.

Menurut Ardianto dan Q-Anees (2007) paradigma konstruktivis memandang

bahwa semesta secara epistemologi sebagai hasil konstruksi sosial. Pengetahuan

manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan

interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari

interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan.

Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisasi

dan bermakna. Keberagaman pola konseptual/kognitif merupakan hasil dari

(24)

kaum konstruktivisis, semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta

bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara

sosial, dan karenanya plural.

Konsekuensinya, kaum kontruktivis menganggap bahwa tidak ada makna

yang mandiri, tidak ada deskripsi yang murni objektif. Kita tidak dapat secara

transparan melihat “apa yang ada di sana” atau “yang ada di sini” tanpa termediasi

oleh teori, kerangka konseptual atau bahasa yang disepakati secara sosial. Semesta

yang ada di hadapan kita bukan sesuatu yang ditemukan, melainkan selalu

termediasi oleh paradigma, kerangka konseptual, dan bahasa yang dipakai.

Masalah kebenaran dalam konteks konstruktivis bukan lagi permasalahan fondasi

atau representasi, melainkan masalah kesepakatan pada komunitas tertentu.

Sedangkan paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang

terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap

sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan

pikirannya, karena dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di dalam

masyarakat. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang

berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun

strategi-strategi di dalamnya (Eriyanto, 2001: 6).

Teori kritis dapat dianggap sama dengan paradigma konstruktivisme dengan

alasan sebagai berikut: (1) teori kritis meyakini bahwa ilmu pengetahuan itu

dikonstruksi atas dasar kepentingan manusiawi; (2) dalam praksis penelitian (dari

pemilihan masalah untuk penelitian, instrumen dan metode analisis yang

digunakan, interpretasi, kesimpulan dan rekomenasi) dibuat sangat bergantung

pada nilai-nilai peneliti; (3) standar penilaian ilmuwan bukan ditentukan oleh

prinsip verifikasi atau falsifikasi melainkan didasarkan konteks sosial historis

serta kerangka pemikiran yang digunakan ilmuwan.

Konstruktivis kritis mengkombinasikan pemikiran yang berkaitan dengan

cara manusia berpikir sambil berinteraksi dengan lingkungan sosial

(konstruktivis) atau bagaimana makna diperoleh secara sosial dan dipengaruhi

oleh struktur kekuasaan di masyarakat, juga konsekuensi etis dari pilihan manusia

(kritis). Istilah konstrutivis kritis pertama kali digunakan tahun 1960-an di bidang

(25)

Istilah konstruktivisme kritis—yang juga bisa disebut kontruksionisme kritis—

pertama kali dipublikasikan dalam studi komunikasi tahun 1999 di buku

Questioning Technology karangan filsuf teknologi Amerika Andrew Feenberg.

Kemudian, Maria Bakardijieva memunculkan istilah tersebut secara independen

di disertasi doktoral komunikasinya tahun 2002 (dia juga meraih gelar PhD di

Sosiologi), yang lalu menjadi awal diterbitkannya buku terkenal The Internet in

Everyday Life, yang terbit tahun 2005. Kini, Feenberg dan Bakardjieva adalah

tokoh-tokoh terpenting dalam tradisi ini (LittleJohn & Foss, 2009: 216).

Keduanya sepaham dengan pendekatan kontruktivis kritis pendidikan yang

dikembangkan oleh sekolah berpikir kritis dalam pandangan terhadap perubahan

dan berfokus pada gagasan konstruksi untuk menjelaskan proses pemahaman.

Namun, para sarjana ini berangkat dari landasan bersama ini dalam pendekatan

mereka terhadap kritik. Dari perspektif mereka, konstruktivisme kritis mengacu

pada integrasi pembangunan sosial teori realitas, yang diajukan dalam tradisi

sosiologi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan teori kritis, yaitu, kontribusi filsuf

Jerman, Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas (LittleJohn & Foss, 2009: 216).

Menurut Feenberg, pendekatan kontruktivis kritis mengkritisi pandangan

deterministik, yang berpendapat bahwa teknologi membentuk masyarakat dengan

sendirinya, independen dari perkembangan utama politik dan kebudayaan.

Feenberg membuat tiga dalil: (1) teknologi dibentuk oleh proses sosial di mana

pilihan terhadap teknologi dipengaruhi berbagai kriteria kontekstual; (2) proses

sosial ini memuaskan berbagai kebutuhan kultural yang berhubungan dengan

teknologi; dan (3) definisi kompetitif teknologi mencerminkan pandangan

masyarakat yang bertentangan. Karena itulah, pilihan terhadap teknologi

dipengaruhi oleh pengaturan kekuatan di dalam masyarakat (LittleJohn & Foss,

2009:216).

2.2Kajian Pustaka

2.2.1 Semiotika

Secara etimologis, kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semeion

(26)

“penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1999:4). Semiotika berakar dari studi klasik

dan skolastik atas seni, logika, retorika, dan poetika (Kurniawan, 2001: 49).

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.

Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari

jalan di dunia, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Barthes

menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu ilmu dan metode analisis untuk

mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana

kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa

objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem

terstruktur dari tanda (Sobur, 2004: 15).

Umberto Eco (1979: 4-5) mengatakan bahwa semiotika adalah “ilmu yang

mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, atau

mengecoh.” Lebih lanjut lagi, menurutnya “semiotika menaruh perhatian apa pun

yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat

diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan

sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu harus ada, atau tanda itu

secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Dengan begitu,

semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari apa pun yang

bisa digunakan untuk mengatakan sesuatu kebohongan, sebaliknya, tidak bisa

digunakan untuk mengatakan kebenaran...” (Berger, 200a: 11-12).

Fiske (dalam Bungin, 2005: 67) mengatakan, bahwa semiotika mempunyai

tiga bidang studi utama yaitu:

a) Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara-cara tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

b) Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

(27)

Di lain pihak, menurut Littlejohn (2009: 55-56) semiotika dapat dibagi ke

dalam tiga dimensi kajian, yaitu semantik, sintaktik, dan pragmatik. Adapun

penjabarannya adalah sebagai berikut:

1. Semantik, berkenaan dengan makna dan konsep. Dalam hal ini membahas bagaimana tanda memiliki hubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantara atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009: 29).

2. Sintaktik, berkenaan dengan keterpaduan dan keseragaman, studi ini mempelajari mengenai hubungan antara tanda. Tanda di lihat sebagai bagaian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui cara tertentu. Sistem tanda seperti ini biasa disebut dengan kode. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya (Morrisan, 2009: 30).

3. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia dengan kata lain adalah studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Berkaitan pula dengan mempelajari bagaimana pemahaman atau kesalahpahaman terjadi dalam berkomunikasi (Morrisan, 2009: 30). Ada dua pendekatan penting terhadap tanda-tanda yang biasa menjadi rujukan

para ahli (Berger, 2000b: 11-22). Pertama, adalah pendekatan yang didasarkan

pada pandangan Ferdinand de Sausurre (1857-1913) yang mengatakan bahwa

tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam

kata atau representasi visual) dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan

(Sobur, 2004: 31).

Bagi Sausurre, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer

(bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Menurut Sausurre, ini tidak

berarti “bahwa pemilihan penanda sama sekali meninggalkan pembicara” namun

lebih dari itu adalah “tak bermotif” yaitu arbitrer dalam pengertian penanda tidak

mempunyai hubungan alamiah dengan petanda (Sausurre, 1996, dalam Berger

2000b:11).

Pendekatan kedua adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan

seorang filsuf dan pemikir Amerika yang cerdas, Charles Sanders Perce

(1839-1914). Pierce (dalam Berger, 2000b: 14) menandaskan bahwa tanda-tanda

berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki

(28)

dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya,

indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional.

Menurut Pierce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada

pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan

mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua,

menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika

kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti

bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu

kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebagai simbol (Sobur, 2004: 35).

Semiotika memecah-mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan

menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis

semiotik menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan di

mana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual pada isi: ia mengulas

cara-cara beragam unsur bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan

kultural kita untuk menghasilkan makna. Semiotika memiliki keuntungan dalam

menghasilkan apa yang disebut Clifford Geertz (1973) sebagai “deskripsi tebal”

(thick descriptions) yang berstruktur serta analisis-analisis yang kompleks. Karena

sangat subjektif, semiotika tidak reliable dalam konteks pemahaman ilmu

pengetahuan sosial tradisional—peneliti lain yang mempelajari teks yang sama

dapat saja mengeluarkan sebuah makna yang berbeda (Stokes, 2006: 78).

Analisis semiotik biasanya diterapkan pada citra atau teks visual (Berger,

1987; 1998a). Metode ini melibatkan pernyataan dalam kata-kata tentang

bagaimana citra bekerja, dengan mengaitkan mereka pada struktur ideologis yang

mengorganisasi makna (Stokes, 2006: 78).

2.2.1.1 Semiotika Komunikasi Visual

Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh pada

bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk

desain komunikasi visual.

Menurut Tinarbuko (dalam Piliang, 2012: 339-340) semiotika komunikasi

visual yaitu semiotika sebagai metode pembacaan karya komunikasi visual.

(29)

semiotika khusus, dengan perbendaharaan kata (vocabulary) dan sintaks (sintagm)

yang khas, yang berbeda dengan sistem semiotika seni.

Fungsi signifikasi adalah fungsi di mana penanda yang bersifat konkrit

dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna, yang secara umum disebut

petanda. Dapat dikatakan di sini, bahwa meskipun semua muatan komunikasi dari

bentuk-bentuk komunikasi visual ditiadakan, ia sebenarnya masih mempunyai

muatan signifikasi, yaitu muatan makna.

Efektivitas pesan menjadi tujuan utama dari desain komunikasi visual.

Berbagai bentuk desain komunikasi visual: iklan, fotografi jurnalistik, poster,

kalender, brosur, film animasi, karikatur, acara televisi, video klip, web design, cd

interaktif adalah di antara bentuk-bentuk komunikasi visual, yang melaluinya

pesan-pesan tertentu disampaikan dari pihak pengirim (desainer, produser,

copywriter) kepada penerima (pengamat, penonton, pemirsa).

Semiotika komunikasi mengkaji tanda konteks komunikasi yang lebih luas,

yang melibatkan berbagai elemen komunikasi, seperti saluran, sinyal, media,

pesan, kode (bahkan juga noise). Semiotika komunikasi menekankan aspek

produksi tanda di dalam berbagai rantai komunikasi, saluran dan media,

ketimbang sistem tanda. Di dalam semiotika komunikasi, tanda ditempatkan di

dalam rantai komunikasi, sehingga mempunyai peran yang penting dalam

penyampaian pesan.

2.2.1.2 Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang

getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Sausurrean. Dalam studinya,

Barthes menekankan pentingnya peran pembaca tanda (the reader). Konotasi,

walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat

berfungsi (Sobur, 2004: 63).

Karakteristik semiotika Barthes adalah adanya dua tataran sistem pemaknaan.

Dalam Mythologies, sistem pemaknaan tataran pertama disebut denotatif,

sedangkan sistem pemaknaan tataran kedua disebut konotatif.

Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi dan

(30)

penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang

menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Sementara, ‘konotasi’

adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan

petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung

dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan tafsiran). Selain

itu, Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya, akan tetapi lebih

bersifat konvensional, yaitu makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos, dalam

pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial

(yang sebetulnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.

Gambar 2.1

Peta Tanda Roland Barthes

1. signifier

(Penanda)

2. signified

(Petanda)

3. denotative sign (tanda denotatif)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

5.CONNOTATIVE

SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Sumber : Cobley, Paul & Jansz, Litza. (1999). Introducing Semiotics. New York: Totem Books, hlm. 51

Dari peta tanda Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri dari

penanda (1) dan petanda (2), namun bersamaan pula dengan tanda denotatif

menjadi penanda konotatif (4). Tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna

tambahan tapi mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi

keberadaannya.

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang

disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan

(31)

(Budiman, 2001: 28). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda,

petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh

suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos

adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua.

Barthes memampatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos

maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi

secara termotivasi (Budiman, 2001: 28). Seperti Marx, Barthes juga memahami

ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia yang

imajiner dan ideal, meski realitas hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian.

Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan hanya berupa tuturan oral,

namun tuturan itu bisa saja berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah

raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah segala yang

mempunyai modus representasi. Artinya, paparan contoh di atas memiliki arti

yang belum tentu bisa ditangkap secara langsung (Iswidayanti, 2006).

Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five major

code) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau

Barthes yaitu (Sobur, 2004: 65-66) :

1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode proaretik, atau kode tindakan/lakuan dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain semua teks bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Pada praktiknya ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.

3. Kode simbolik, merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan—baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan.

(32)

5. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu.

Di samping penanda teks (leksia) dan lima kode pembacaan yang telah

dijabarkan di atas, beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland

Barthes adalah:

1. Penanda dan Petanda

Menurut Sausurre, bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan setiap tanda itu

tersusun dari dua bagian, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Tanda

adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau

petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna”

atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa:

apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca . Petanda

adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental

dari bahasa (Bertens, 2001: 180). Menurut Sausurre, penanda dan petanda

merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Sausurre menggambarkan

(33)

Gambar 2.2

Elemen-Elemen Makna Sausurre

Sign

Composed of

signification

Signifier plus signified

external

reality of meaning

Sumber: Sobur, Alex. (2004). Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah produk

kultural. Setiap tanda kebahasaan, menurut Sausurre, pada pada dasarnya

menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan

menyatakan sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah kata

yang diucapkan merupakan penanda (signifier) sedangkan konsepnya adalah

petanda (signified). Dua unsur ini tidak bisa dipisahkan sama sekali. Pemisahan

hanya akan menghancurkan ‘kata’ tersebut.

2. Denotasi dan Konotasi

Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang

“sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau

acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini

biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti sesuai dengan apa yang

terucap (Sobur, 2004: 70).

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada

(34)

Denotasi bersifat langsung, dapat dikatakan sebagai makna khusus yang terdapat

dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda.

Sedangkan menurut Kridalaksana, denotasi adalah makna kata atau kelompok

kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu.

Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus.

Makna konotatif ialah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran,

ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata itu. Kata konotasi itu sendiri

berasal dari bahasa Latin connotare, "menjadi tanda" dan mengarah kepada

makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain

dari komunikasi).

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama dalam

sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran.

(Lyons, dalam Pateda, 2001: 98). Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna

khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai

gambaran sebuah petanda (Berger, 2000b: 55). Harimurti Kridalaksana (2001: 40)

mendefinisikan denotasi (denotation) sebagai "makna kata atau kelompok kata

yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang

didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif."

Sedangkan konotasi (connotation, evertone, evocatory) diartikan sebagai

"aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau

pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar

(pembaca)". Dengan kata lain, "makna konotatif merupakan makna leksikal + X"

(Sobur, 2004: 263).

Makna denotatif (denotative meaning) disebut juga dengan beberapa istilah

lain seperti makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna

ideasional, makna referensial, atau makna proporsional (Keraf, 1994: 28). Disebut

makna denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu

menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu

referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau

pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara) dan respons (dari pihak pendengar)

menyangkut hal-hal yang dapat diserap pancaindra (kesadaran) dan rasio

(35)

dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual.

Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang

paling dasar pada suatu kata (Sobur, 2004: 265).

Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna

emotif, atau makna evaluatif (Keraf, 1994: 29). Makna konotatif adalah suatu

jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional.

Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan

setuju-tidak setuju, senang-tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar; di

pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga

memendam perasaan yang sama (Sobur, 2004: 266).

Makna konotatif sebuah kata dipengaruhi dan ditentukan oleh dua

lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan lingkungan budaya (Sumardjo & Saini,

1994: 126). Yang dimaksud dengan lingkungan tekstual ialah semua kata di dalam

paragraf dan karangan yang menentukan makna konotatif itu. Pengaruh

lingkungan budaya menjadi jelas kalau kita meletakkan kata tertentu di dalam

lingkungan budaya yang berbeda (Sobur, 2004: 266).

Di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi

merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan

tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan

ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai

reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif,

Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah

konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap

berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah”

merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999: 22 dalam Sobur, 2004:

71).

3. Paradigmatik dan Sintagmatik

Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya

secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda

lainnya di dalam sebuah sistem. Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi

(36)

pengkombinasian yang terdiri dari dua aksis, yaitu aksis paradigmatik, yaitu cara

pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan atau kode

tertentu, sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.

Bahasa adalah struktur yang dikendalikan oleh aturan main tertentu, semacam

mesin untuk memproduksi makna. Dalam bahasa, kita harus mematuhi aturan

main bahasa (grammar, sintaks) jika kita ingin menghasilkan ekspresi yang

bermakna.

Aturan main pertama dalam bahasa, menurut Sausurre adalah: bahwa di

dalam bahasa hanya ada prinsip perbedaan. Misalnya, tidak ada hubungan

keharusan antara kata topi dan sebuah benda yang kita pakai sebagai penutup

kepala kita: apa yang memungkinkan terjadinya hubungan adalah perbedaan

antara topi, tapi, tepi, kopi, dan seterusnya. Kata-kata mempunyai makna

disebabkan mereka berada di dalam relasi perbedaan. Jadi, yang pertama-tama

dilihat di dalam strukturalisme bahasa adalah relasi, bukan hakikat tanda itu

sendiri.

Perbedaan dalam bahasa, menurut Sausurre, hanya dimungkinkan lewat

beroperasinya dua aksis bahasa yang disebutnya aksis paradigma dan aksis

sintagma. Paradigma adalah satu perangkat tanda yang melaluinya pilihan-pilihan

dibuat, dan hanya satu unit dari pilihan tersebut dapat dipilih. Sintagma adalah

kombinasi tanda dengan tanda lainnya dari perangkat yang ada berdasarkan aturan

tertentu, sehingga menghasilkan ungkapan bermakna (Piliang, 2012: 302-303).

Gambar 2.3

Poros Paradigma dan Sintagma

Sintagma

Paradigma

(37)

Menurut semiotika Sausurrean, apa pun bentuk pertukaran tanda, ia harus

mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil

dan pasti (Sobur, 2004: 278).

4. Mitos

Pada umumnya mitos adalah suatu sikap lari dari kenyataan dan mencari

"perlindungan dalam dunia khayal". Sebaliknya dalam dunia politik, mitos kerap

dijadikan alat untuk menyembunyikan maksud-maksud yang sebenarnya, yaitu

membuka jalan, mengadakan taktik untuk mendapat kekuasaan dalam masyarakat

yang bersangkutan dengan "melegalisasikan" sikap dan jalan anti-sosial. Tujuan

dari suatu mitos politi adalah selalu kekuasaan dalam negara, karena dianggap

bahwa tanpa kekuasaan keadaan tidak dapat diubahnya (Susanto, 1985: 220).

Demikianlah mitos mudah menjadi "alat kekuasaan" yang sukar dibuktikan

kebenarannya selama tujuan mitos belum menjadi kenyataan, maka apa yang

dijanjikan oleh mitos masih saja dapat diproyeksikan ke masa "lebih ke depan"

lagi (Sobur, 2004: 223-224).

Mitos dalam pandangan Lappe & Collins (Rahardjo, 1996: 192) dimengerti

sebagai sesuatu yang oleh umum dianggap benar, tetapi sebenarnya bertentangan

dengan fakta," sekalipun perlu dicatat bahwa penafsiran fakta oleh Lappe &

Collins itu belum tentu benar atau disetujui oleh masyarakat ilmiah pada

umumnya. Apa yang disebut Lappe & Collins sebagai mitos itu adalah jenis

"mitos modern". Dalam bukunya Mythology (1991, dikutip Rahardjo, 1996: 192),

Fernand Comte memang membagi mitos menjadi dua macam: mitos tradisional

dan mitos modern. Mitos modern itu dibentuk oleh dan mengenai gejala-gejala

politik, olah raga, sinema, televisi dan pers.

Mitos (mythes) adalah suatu jenis tuturan (a type of speech), sesuatu yang

hampir mirip dengan sesuatu yang hampir mirip dengan "representasi kolektif" di

dalam sosiologi Durkheim (Budiman, 1999: 76). Barthes mengartikan mitos

sebagai "cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara

mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebut mitos

sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan" (Sudibyo, 2001: 245). Mitos

(38)

objek. Mitos bukan pula konsep atau suatu gagasan, melainkan suatu cara

signifikasi, suatu bentuk. Lebih jauhnya lagi, mitos tidak ditentukan oleh objek

ataupun suatu gagasan, melainkan cara mitos disampaikan. Mitos tidak hanya

berupa pesan yang disampaikan dalam bentuk verbal (kata-kata lisan ataupun

tulisan), namun juga dalam berbagai bentuk lain atau campuran antara bentuk

verbal dan nonverbal. Misalnya dalam bentuk film, lukisan fotografi, iklan, dan

komik (Sobur, 2004:224).

2.2.2 Video

Video sebenarnya berasal dari bahasa Latin, video-vidi-visum yang artinya

melihat (mempunyai daya penglihatan); dapat melihat (K. Prent dkk., 1969: 926).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 1119) mengartikan video dengan: 1)

bagian yang memancarkan gambar pada pesawat televisi; 2) rekaman gambar

hidup untuk ditayangkan pada pesawat televisi. Senada dengan itu, Peter Salim

dalam The Contemporary English-Indonesian Dictionary (1996: 2230)

memaknainya dengan sesuatu yang berkenaan dengan penerimaan dan

pemancaran gambar. Tidak jauh berbeda dengan dua definisi tersebut, Smaldino

(2008: 374) mengartikannya dengan “the storage of visuals and their display on

television-type screen” (penyimpanan/perekaman gambar dan penayangannya

pada layar televisi) (Amien & Lamere, 2010).

Video, dilihat sebagai media penyampai pesan, termasuk media audio-visual

atau media pandang-dengar (Setyosari & Sihkabuden, 2005: 117). Media

audio-visual dapat dibagi menjadi dua jenis: pertama, dilengkapi fungsi peralatan suara

dan gambar dalam satu unit, dinamakan media audio-visual murni; dan kedua,

media audio-visual tidak murni. Film bergerak (movie), televisi, dan video

termasuk jenis yang pertama, sedangkan slide, opaque, OHP dan peralatan visual

lainnya yang diberi suara termasuk jenis yang kedua (Munadi, 2008: 113).

Perkembangan video sebagai media komunikasi tak lepas dari eksistensi

fotografi. 'Foto bergerak' pertama berhasil dibuat pada tahun 1877 oleh Eadward

Muybridge, fotografer Inggris yang bekerja di California. Mubridge mengambil

serangkaian gambar foto kuda berlari, mengatur sederetan kamera dengan benang

(39)

di pelbagai negara dalam mengembangkan perekam citra bergerak. Salah satu dari

mereka adalah Thomas Edison (1847-1931) yang untuk pertama kalinya

mengembangkan kamera citra bergerak pada 1888 ketika ia membuat film

sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang asistennua ketika sedang bersin.

Segera sesudah itu, di tahun 1895, Auguste Marie Louis Nicolas Lumiere

(1864-1948) memberikan pertunjukan film sinematik kepada umum di sebuah kafe di

Paris.

Dengan demikian lahirlah teknologi dan seni gambar bergerak (motion

picture) yang mungkin merupakan sebentuk seni paling berpengaruh dalam abad

yang lalu. Jika saat ini kita hidup dalam dunia yang 'termediasi-secara-visual'—

sebuah dunia tempat citra visual membentuk gaya hidup dan mengajarkan

pelbagai nilai perilaku, kebiasaan dan gaya hidup—kita berhutang pertama-tama

dan yang terutama pada film. Media berbasis penglihatan dan yang diperkuat oleh

penglihatan menjadi begitu umum dan kita hampir tidak menyadari betapa mereka

menjadi demikian intrinsik di dalam tatanan signifikasi modern (Danesi, 2010:

133).

Film juga sebetulnya tidak jauh beda dengan televisi. Namun, film dan

televisi memiliki bahasa yang berbeda (Sardar & Loon, 2001: 156). Tata bahasa

itu terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pemotretan

jarak dekat (close-up), pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (long

shot), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar

(fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (slow motion), gerakan yang

dipercepat (speeded-up), efek khusus (special effect). Namun, bahasa tersebut

juga mencakup kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam

kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang

paling abstrak dan arbitrer serta metafora. Metafora visual sering menyinggung

objek-objek dan simbol-simbol dunia nyata serta mengonotasikan makna-makna

sosial dan budaya.

Berbeda dari permasalahan “tanda” bahasa di mana hubungan bersifat arbitrer

(semena) antara tanda (demikian pun antara significant dan signifie) dan benda

(choses), penanda (significant) sinematografis memiliki hubungan “motivasi” atau

(40)

penanda dengan alam yang dirujuk. Petanda sinematografis selalu kurang lebih,

kata Christian Metz, “beralasan” dan tidak pernah semena. Hubungan motovasi

itu berada baik pada tingkat denotatif maupun konotatif. Hubungan denotatif yang

beralasan itu lazim disebut analogi, karena memiliki persamaan perseptif/auditif

antara penanda/petanda dan referen. Perlu diketahui bahwa analogi ini hanyalah

salah satu bentuk dari motivasi karena konotasi sinematografis juga termasuk di

dalamnya. Meskipun analogi perseptif/auditif bukanlah prasyarat keberadaannya,

Metz menggarisbawahi tesis tentang polisemi motivasi dari Eric Buyyens dengan

mengatakan bahwa konotasi sinematografis bersifat simbolis: petanda memotivasi

penanda, tetapi melampauinya (Masak, 2000: 283 dalam Sobur, 2004: 13).

2.2.2.1 Teknik dalam Pengambilan Gambar

Tabel 2.1

Teknik Pengambilan Gambar

Pengambilan Gambar

Extreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan

Full Shot Hubungan Sosial

Big Close Up Emosi, dramatik, momen penting

Close Up Intim atau dekat

Medium Shot Hubungan personal dengan subjek

Long Shot Konteks perbedaan dengan publik

Sudut Pandang (Angle) Pengambilan Gambar

High Dominasi, kekuasaan dan otoritas

(41)

Tabel 2.1 (sambungan)

Low Didominasi, dikuasai, dan kurang

otoritas

Fokus

Selective Focus Meminta perhatian (tertuju pada satu

objek)

Soft focus Romantis serta nostalgia

Deep Focus Semua unsur adalah penting

Pencahayaan

High Key Riang, cerah

Low Key Suram, muram

High Contrast Dramatikal, teatrikal

Low Contrast Realistik dan terkesan dokumenter

(42)

2.3 Model Teoritik

Gambar 2.4

Bagan Model Teoritik Konstruksi Makna dalam Video Takotak Miskumis Karya Cameo Project

Objek Penelitian

Scene dan lirik lagu pada Video Takotak Miskumis karya Cameo Project

Semiotika Roland Barthes

-Analisis Leksia dan 5 Kode Pembacaan

-Denotasi dan Konotasi

-Mitos

Level Analisis

-Teks (gambar/scene, lirik lagu)

-Konteks (sosial, budaya, sejarah, politik)

-Pemaknaan dalam video

(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif yang

didasarkan pada penafsiran, dengan konsep-konsep yang umumnya tidak

memberikan angka numerik, seperti etnometodologi atau jenis wawancara

tertentu. Metode ini dianggap berdasarkan interpretatif (Stokes, 2006:15). Lebih

spesifik lagi, penelitian ini menggunakan metode kualitatif berparadigma

kontruktivis kritis. Ini berarti penelitian ini bermaksud melihat bagaimana

sebenarnya ‘penafsiran’ terhadap realita dikonstruksikan oleh subjek, yang

kemudian menghasilkan ‘kebenaran’ yang plural dan multi-tafsir. Sisi kritis

membongkar ideologi apa yang ditanamkan dalam suatu mitos, serta bagaimana

mitos itu dibangun sehingga seakan penerima pesan menerimanya sebagai

kebenaran yang ‘apa adanya’.

Penelitian ini menggunakan analisis semiotika sebagai alatnya. Sebab

semiotika merupakan “suatu pendekatan teoritis yang sekaligus berorientasi

kepada kode (sistem) dan pesan (tanda-tanda dan maknanya), tanpa mengabaikan

konteks dan pihak pembaca (audiens)” (Budiman, 2003:12). Adapun spesifikasi

semiotika yang digunakan adalah semiotika signifikasi Roland Barthes. Kerangka

analisis Roland Barthes memiliki dua patokan, yaitu two order of signification dan

lima kode pembacaan.

Barthes melihat sebuah teks dalam dimensi sosial di mana teks itu berada.

Artinya, Barthes menghubungkan sebuah teks dengan struktur makro (mitos,

ideologi) sebuah masyarakat untuk melihat “relasi antara sebuah teks (desain)

dengan struktur sosiopolitik yang lebih luas (mitos, tabu, ideologi, moralitas)

(Wardani, 2006:13). Pada penelitian ini “pembacaan” terhadap video “Takotak

Miskumis” oleh peneliti akan dihubungkan dengan konteks sosialnya, seperti

konteks sosial bahasa verbal maupun visualnya.

Itulah cara untuk mencari mitos dan ideologi apa dan pemaknaan terhadap

Gambar

Gambar 2.1
Tabel 2.1
Gambar 2.4
Gambar 4.1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rangkaian pemaknaan yang telah ada sebelumnya, dengan kata lain mitos adalah suatu sistem pemaknaan tataran kedua (Sobur, 2004:

Tanda-tanda yang terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi baris kalimat yang menandakan bahwa dalam penanda “Gloomy Sunday” merupakan wujud dari

Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu system yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada

Di dalam mitos juga terdapat pola dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya

Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada

a) Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara-cara tanda itu

dalam video “Takotak Miskumis” karya Cameo Project di Youtube. Memetakan dan mengungkap mitos yang dikonstruksikan di

Sesuai dengan perumusan masalah, yaitu “bagaimanakah pemaknaan dan apa mitos yang dapat diungkap dari video Takotak Miskumis”, terungkap bahwa Cameo Project