• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intersepsi Pada Berbagai Kelas Umur Tegakan Karet (Hevea brasiliensis) (Studi Kasus Di Desa Huta II Tumorang, Kecamatan Gunung Maligas, Kabupaten Simalungun)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Intersepsi Pada Berbagai Kelas Umur Tegakan Karet (Hevea brasiliensis) (Studi Kasus Di Desa Huta II Tumorang, Kecamatan Gunung Maligas, Kabupaten Simalungun)"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

INTERSEPSI PADA BERBAGAI KELAS UMUR TEGAKAN KARET (Hevea brasiliensis)

(Studi Kasus Di Desa Huta II Tumorang, Kecamatan Gunung Maligas Kabupaten Simalungun)

Skripsi

Oleh

Riki Jaya Dinata 031202032 / Budidaya Hutan

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pematang Siantar pada tanggal 1 Februari 1985 dari

Ayahanda Jamsir dan Ibunda Nasiaty. Penulis merupakan putra ke dua dari tiga

bersaudara.

Tahun 1997 penulis lulus dari SD Negeri Inpres NO 124404 Pematang

Siantar. Tahun 2000 penulis lulus dari SLTP Yayasan Perguruan Keluarga

Pematang Siantar. Tahun 2003 penulis lulus dari SLTA Yayasan Perguruan

Keluarga Pematang Siantar dan pada tahun yang sama diterima di USU melalui

jalur SPMB. Penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan pada Jurusan

Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan organisasi

kampus seperti Komunitas Pembibitan (KOMBIT) dan Badan Kemakmuran

Mushola (BKM) yang ada di Jurusan Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Intersepsi Pada Berbagai

Kelas Umur Tegakan Karet (Hevea brasiliensis) (Studi Kasus Di Desa Huta II Tumorang, Kecamatan Gunung Maligas, Kabupaten Simalungun). Yang

dilaksanakan selama 2 bulan (1 April 2007 sampai dengan 30 Mei 2007).

Penelitian tersebut merupakan bahan skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana

(3)

KATA PENGANTAR

Intersepsi tajuk, air lolos dan aliran batang adalah komponen hidrologi

yang penting untuk diketahui. Air hujan yang jatuh diatas permukaan vegetasi

tidak langsung mengalir ke permukaan tanah melainkan akan tertampung

sementara di tajuk, cabang dan batang vegetasi selanjutnya akan diuapkan yang

disebut intersepsi tajuk. Pada kebanyakan studi analisis neraca air, intersepsi

merupakan faktor yang penting untuk menentukan besarnya curah hujan bersih

atau jumlah curah hujan yang tersedia untuk menjadi air larian dan aliran air

tanah.

Penulis melakukan penelitian ini untuk mengetahui besarnya intersepsi

yang terjadi pada umur yang berbeda serta hubungan curah hujan dan umur

tegakan Hevea barasiliensis terhadap intersepsi tajuk di Huta II Tumorang,

Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis menyampaikan hormat dan

terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Bejo Slamet, S.Hut, M.Si. sebagai

ketua komisi pembimbing dan Bapak Achmad Siddik Thoha, S.Hut, M.Si sebagai

anggota pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dengan sabar sejak dari

perencanaan, pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian skripsi ini.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Universitas Sumatera Utara,

Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan, Program Studi Budidaya Hutan yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi sampai

(4)

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Paimin yang telah

memberikan izin lokasi penelitian berupa tegakan Hevea brasiliensis kepada

penulis.

Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman angkatan 2003 Jurusan

Kehutanan USU, penulis ucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungannya

selama penulis menempuh perkuliahan.

Terima kasih dan hormat penulis kepada ayahanda Jamsir dan ibunda

Nasiaty yang telah membesarkan penulis. Kepada kakanda Dedi Ali Syahputra,

ST., yang telah sabar dan memberikan semangat untuk terus menyelesaikan

skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih.

Kritik dan saran penulis terima dengan besar hati dan rasa syukur. Semoga

skripsi ini memberi manfaat kepada yang membacanya, dan ikut menyumbangkan

tambahan ilmu pengetahuan

Medan, Nopember 2007

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Hipotesa Penelitian ... 2

Kegunaan Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Morfologi Karet / Rambung ( Hevea brasiliensis ) ... 3

Sistematika Karet ... 4

Kesesuaian Tempat Tumbuh Pohon Karet ... 5

Manfaat Pohon Karet (Hevea brasiliensis)... 6

Perkembangan Perkebunan Karet (Hevea brasiliensis) Di Indonesia . 7 Siklus Hidrologi ... 8

Intersepsi ... 9

Faktor Yang Mempengaruhi Intersepsi ... 12

Pengukuran Intersepsi ... 15

Penelitian Intersepsi Pada Berbagai Tegakan Hutan... 17

BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 21

Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

Bahan dan Alat ... 21

Metode Penelitian ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil... 28

Curah Hujan ... 29

Air Lolos ... 29

Aliran Batang ... 31

Intersepsi Tajuk ... 33

Hubungan Air Lolos Dengan Curah Hujan ... 35

Hubungan Aliran Batang Dengan Curah Hujan ... 41

Hubungan Intersepsi Tajuk Dengan Curah Hujan... 45

KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

(6)

Saran ... 50

(7)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam daur hidrologi, hutan mempunyai pengaruh dan peranan yang

sangat penting. Keberadaan penutupan hutan terhadap siklus hidrologi sangat

penting, terutama terhadap neraca air dan iklim mikro. Selan itu hutan juga dapat

memberikan naungan, mengurangi kecepatan angin, debu dan suara serta

menurunkan suhu yang ekstrim. Hutan mampu mengintersepsikan curahan hujan,

mengurangi dan mencegah bahaya erosi serta mengurangi limpasan permukaan

(surface run of ).

Menurut Oetomo (1997, dalam Lahjie, 2004) menyebutkan bahwa saat ini

kawasan hutan yang benar bervegetasi tinggal 21.4 juta hektar, dengan demikian

dalam kurun waktu tiga dekade terakhir telah terjadi kehilangan hutan seluas 78.6

juta hektar. Selama kurun waktu tersebut hutan telah mengalami perubahan, baik

fisik maupun biologis. Perubahan ini terjadi karena hutan telah dikonversi

menjadi penggunaan lain yaitu pemukiman dan perkebunan. Konversi hutan

menjadi perkebunan adalah faktor terbesar berkurangnya luas kawasan hutan di

Indonesia.

Susila (1998, dalam Kartodihardjo dan Supriono, 2000) Dari seluruh

komoditas utama perkebunan (karet, kopi, teh dan kelapa sawit), komoditas karet

adalah areal pertanaman yang terluas. Indraty (2005, dalam Boerhendhy dan

Agustina, 2006) menyebutkan bahwa tanaman karet memberikan kontribusi yang

sangat penting dalam pelestarian lingkungan. Upaya pelestarian lingkungan

(8)

memprihatinkan. Pada tanaman karet, energi yang dihasilkan seperti oksigen,

kayu, dan biomassa dapat digunakan untuk mendukung fungsi perbaikan

lingkungan seperti rehabilitasi lahan, pencegahan erosi dan banjir, pengaturan tata

guna air bagi tanaman lain, dan menciptakan iklim yang sehat dan bebas polusi.

Mengingat perubahan kawasan hutan juga akan merubah fungsi hutan

maka diperlukan adanya informasi tentang perubahan fungsi akibat dikonversinya

hutan menjadi pola penggunaan lain, salah satunya adalah konversi hutan menjadi

tegakan atau kebun karet.Oleh karena itu kajian fungsi hidrologis tegakan karet

terutama aspek intersepsinya menjadi sangat penting untuk diketahui apakah

tegakan karet juga mempunyai fungsi hidrologis yang baik atau tidak.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui intersepsi pada berbagai umur

tegakan Hevea brasiliensis

Hipotesa Penelitian

Umur pohon berpengaruh terhadap besarnya intersepsi pada tegakan

Hevea brasiliensis

Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan informasi mengenai

besar intersepsi pada Hevea brasiliensis

2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam hal

(9)

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis)

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan pohon yang tumbuh tinggi

dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15 – 25 m. Batang

tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di

beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke

arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama

lateks (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

Sedangkan menurut Setiawan (2000) tanaman karet merupakan pohon

yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Pohon dewasa dapat mencapai

tinggi antara 15 – 30 m. Perakarannya cukup kuat serta akar tunggangnya dalam

dengan akar cabang yang kokoh. Pohonnya tumbuh lurus dan memiliki

percabangan yang tinggi diatas.

(10)

Daun karet berwarna hijau. Apabila akan rontok berubah warna menjadi

kuning atau merah. Biasanya tanaman karet mempunyai “jadwal“ kerontokan

daun pada setiap musim kemarau. Di musim rontok ini kebun karet menjadi indah

karena daun – daun karet berubah warna dan jatuh berguguran (Nazarrudin dan

Paimin, 2006).

Selanjutnya Nazarrudin dan Paimin (2006) menambahkan daun karet

terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun

utama 3 – 20 cm. Panjang tangkai anak daun antara 3 – 10 cm dan pada ujungnya

terdapat kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun

karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing.

Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanaman karet merupakan akar

tunggang. Akar ini mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi dan

besar (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

Sistematika

Menurut Nazarrudin dan Paimin (2006) dalam dunia tumbuhan karet

tersusun dalam sistematika sebagai berikut.

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledone

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Hevea

(11)

Kesesuaian Tempat Tumbuh Pohon Karet

Sesuai dengan habitat aslinya di Amerika Selatan, terutama di Brazil yang beriklim tropis, maka karet juga cocok ditanam di daerah – daerah tropis lainnya.

Daerah tropis yang baik ditanami karet mencakup luasan antara 15o Lintang Utara

sampai 10o Lintang Selatan. Walaupun daerah itu panas, sebaiknya tetap

menyimpan kelembapan yang cukup. Suhu harian yang diinginkan tanaman karet

rata – rata 25 – 30o C. Apabila dalam jangka waktu panjang suhu harian rata – rata

kurang dari 20o C, maka tanaman karet tidak cocok di tanam di daerah tersebut.

Pada daerah yang suhunya terlalu tinggi, pertumbuhan tanaman karet tidak

optimal (Setiawan, 2000). Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada

ketinggian antara 1 – 600 m dari permukaan laut. Curah hujan yang cukup tinggi

antara 2000 – 2500 mm setahun. Akan lebih baik lagi apabila curah hujan itu

merata sepanjang tahun (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

Sinar matahari yang cukup melimpah di negara – Negara tropis merupakan

syarat lain yang diinginkan tanaman karet. Dalam sehari tanaman karet

membutuhkan sinar matahari dengan intensitas yang cukup paling tidak selama 5

– 7 jam (Setiawan, 2000).

Tanah – tanah yang kurang subur seperti podsolik merah kuning yang

terhampar luas di Indonesia dengan bantuan pemupukan dan pengelolaan yang

baik bisa dikembangkan menjadi perkebunan karet dengan hasil yang

memuaskan. Selain jenis podsolik merah kuning, tanah latosol dan alluvial juga

bisa dikembangkan untuk penanaman karet. Tanah yang derajat keasamannya

mendekati normal cocok untuk ditanami karet. Derajat keasaman yang paling

(12)

yang agak masam masih lebih baik dari pada tanah yang basa. Topografi tanah

sedikit banyak juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman karet. Akan lebih baik

apabila tanah yang dijadikan tempat tumbuhnya pohon karet datar dan tidak

berbukit – bukit (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

Manfaat Pohon Karet (Hevea brasiliensis)

Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai

sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan

ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun

pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Kayu karet juga akan mempunyai

prospek yang baik sebagai sumber kayu menggantikan sumber kayu asal hutan.

Indonesia sebagai negara dengan luas areal kebun karet terbesar dan produksi

kedua terbesar di dunia (Goenadi et al., 2005).

Indraty (2005, dalam Boerhendhy dan Agustina, 2006) menyebutkan

bahwa tanaman karet juga memberikan kontribusi yang sangat penting dalam

pelestarian lingkungan. Upaya pelestarian lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu

penting mengingat kondisi sebagian besar hutan alam makin memprihatinkan.

Pada tanaman karet, energi yang dihasilkan seperti oksigen, kayu, dan biomassa

dapat digunakan untuk mendukung fungsi perbaikan lingkungan seperti

rehabilitasi lahan, pencegahan erosi dan banjir, pengaturan tata guna air bagi

tanaman lain, dan menciptakan iklim yang sehat dan bebas polusi. Pada daerah

kritis, daun karet yang gugur mampu menyuburkan tanah. Daur hidup tanaman

karet yang demikian akan terus berputar dan berulang selama satu siklus tanaman

(13)

sangat strategis bagi kelangsungan kehidupan, karena mampu berperan sebagai

penyimpan dan sumber energi.

Hal senada dikemukakan oleh Azwar et al. (1989, dalam Boerhendhy dan

Agustina, 2006) bahwa laju pertumbuhan biomassa rata-rata tanaman karet pada

umur 3−5 tahun mencapai 35,50 ton bahan kering/ha/ tahun. Hal ini berarti

perkebunan karet dapat mengambil alih fungsi hutan yang berperan penting dalam

pengaturan tata guna air dan mengurangi peningkatan pemanasan bumi (global

warming).

Perkembangan Perkebunan Karet Di Indonesia

Perkembangan pembudidayaan karet (Hevea brasiliensis) akhir – akhir ini

mengalami kemajuan yang sangat pesat khususnya di Propinsi Sumatera Utara,

baik di perkebunan milik negara, swasta maupun yang diusahakan oleh rakyat.

Pohon karet atau disebut juga rambung banyak diusahakan oleh masyarakat baik

dengan sistem monokultur maupun secara agroforestry.

Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet dikelola oleh

rakyat (91%), perkebunan negara dan perkebunan swasta (9%). Pertumbuhan

karet rakyat masih positif walaupun lambat yaitu 1,58% per tahun, sedangkan

areal perkebunan negara dan swasta sama yaitu 0,15% per tahun. Oleh karena itu,

tumpuan pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat

(Goenadi et al., 2005).

Menurut Susila (1998, dalam Kartodihardjo dan Supriono, 2000) saat ini

(14)

Riau (544.700 ha), propinsi Kalimantan Barat (211.400 ha) dan propinsi Sumatera

Selatan (206.000 ha).

Siklus Hidrologi

Di bumi terdapat kira – kira sejumlah 1,3 – 1,4 milyar km3 air: 97,5 %

adalah air laut, 1,75 % berbentuk es dan 0,73 % berada ditanah sebagai air sungai,

air danau, air tanah dan sebagainya. Hanya 0,001 % berbentuk uap di udara. Air di

bumi ini mengulangi secara terus – menerus sirkulasi: penguapan, presipitasi dan

pengaliran keluar (out flow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan

laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh

sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke

permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba ke

permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi

mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuhan dimana

sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir melalui dahan

– dahan ke permukaan tanah. Sirkulasi yang kontiniu antara air laut dan air

daratan berlangsung terus. Sirkulasi air ini disebut siklus hidrologi (Mori, 1993).

Dalam kawasan hutan/tegakan maka siklus hidrologi akan melalui

beberapa proses.masukan berupa curah hujan akan didistribusikan melalui

beberapa cara, yaitu aliran batang (stemflow), air lolos (troughfall), dan air hujan

langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian dibagi menjadi air larian,

evapotranspirasi dan infiltrasi. Intersepsi sebagai salah satu komponen dalam

(15)

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa air secara terus menerus

mengalami sirkulasi yang disebut siklus hidrologi seperti yang terlihat pada

Gambar 2.

Gambar 2. Siklus Hidrologi (UNESCO, 1978)

Intersepsi

Intersepsi merupakan proses tertahannya air hujan oleh tanam – tanaman

atau permukaan lain yang kemudian diuapkan kembali (Sri Harto, 1993).

Sedangkan menurut Purbo (1987) intersepsi merupakan proses

tertangkapnya dan tertahannya air hujan oleh tumbuhan atau bangunan dan akan

diuapkan kembali tanpa mencapai permukaan tanah.

Dalam hal ini ada 3 fenomena yaitu, interception loss, troughfall dan

(16)

kembali. Jumlah kehilangan ini sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman dan

kerapatan daun. Air lolos (Troughfall) merupakan bagian air yang baik menetes di

antara daun – daun maupun ranting dan dahan yang kemudian jatuh ke tanah.

Aliran batang (Stemflow) adalah bagian air hujan yang mengalir melalui ranting,

dahan selanjutnya ke batang dan jatuh ke tanah (Sri Harto, 1993).

Air hujan yang jatuh di atas permukaan vegetasi yang lebat terutama pada

permulaan hujan, tidak langsung mengalir ke permukaan tanah. Untuk sementara,

air tersebut akan ditampung oleh tajuk, batang, dan cabang vegetasi. Setelah

tempat – tempat tersebut jenuh dengan air, maka air hujan yang datang kemudian

akan menggantikan air hujan yang tertampung tersebut untuk selanjutnya menetes

ke tajuk, batang dan cabang vegetasi di bawahnya sebelumnya akhirnya sampai di

atas tumbuhan bawah, serasah dan permukaan tanah. Besarnya air yang

tertampung di permukaan tajuk, batang dan cabang vegetasi dinamakan kapasitas

simpan intersepsi (canopy storage capacity) dan besarnya ditentukan oleh bentuk,

kerapatan dan tekstur vegetasi (Asdak, 2004).

Secara lebih terperinci Sri Harto (1993) menjelaskan troughfall merupakan

bagian air hujan yang jatuh di sela – sela daun tanaman sampai ke permukaan

tanah. Bagian air ini dapat langsung merupakan air hujan atau bagian dari air

hujan yang tertahan pohon, akan tetapi telah melebihi kapasitas tampungan

(interception loss). Stemflow merupakan bagian air yang mengalir melalui ranting,

dahan dan selanjutnya ke batang pohon dan jatuh ke tanah. Bagian air ini

(17)

Gambar 3. Skema intersepsi pada pohon (Gerrits, 2005).

Pembahasan intersepsi tidak hanya mengenai aliran batang dan air lolos.

Singh (1992) menyatakan bahwa ada beberapa defenisi lain yang harus dimengerti

dalam mempelajari intersepsi, antara lain Interception storage adalah banyaknya

air hujan atau salju yang ditahan oleh tajuk atau oleh benda lain seperti gedung,

pada waktu tertentu. Forest floor interception loss didefenisikan sebagai

banyaknya air hujan yang diintersepsi dan dievaporasikan oleh lantai hutan

sebelum terjadinya proses infiltrasi. Total interceptios loss merupakan besarnya

tingkat evaporasi dari air hujan atau salju yang mencair yang di intersepsikan oleh

benda lain atau tajuk vegetasi.

Intersepsi tajuk adalah bagian dari presipitasi yang tidak mencapai lantai

hutan; secara kuantitatif hal tersebut menyatakan perbedaan antara presipitasi,

(18)

tajuk, P adalah presipitasi, T adalah air lolos dan S adalah aliran batang (Lee,

1990).

Jumlah troughfall bervariasi secara terbalik dengan kerapatan tegakan

hutan dan umumnya naik dengan jarak dari batang – batang pohon, dengan

mencerminkan pengaruh kerapatan terhadap intersepsi tajuk. Intensitas rata – rata

troughfall lebih kecil dibandingkan dengan intensitas curah hujan, namun ukuran

tetesannya lebih besar (Lee, 1990).

Dari pernyataan tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa

besarnya intersepsi tidak ditemukan secara kuantitatif di lapangan, tetapi harus

melalui pengukuran dari air lolos, aliran batang dan presipitasi yang terjadi pada

waktu tertentu.

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Intersepsi Faktor Vegetasi

Faktor – faktor yang mempengaruhi intersepsi berdasarkan vegetasi yaitu

luas vegetasi hidup atau mati, bentuk daun dan cabang vegetasi serta dipengaruhi

oleh umur dari suatu vegetasi. Dalam perkembangannya bagian tanaman akan

mengalami pertumbuhan atau perkembangan. Pertumbuhan bagian tanaman yang

paling berpengaruh dalam intersepsi adalah perkembangan tajuk, batang dan

cabang pohon (Asdak, 2002).

Teklehaimanot dan Jarvis (1991) dalam Asdak (2002), menyatakan

bahwa pada hutan tanaman yang mempunyai berbagai jarak tanam yang berbeda

juga dapat mempengaruhi besar – kecilnya intersepsi. Pada tingkat kerapatan

(19)

m, 4x4 m, 6x6 m, dan 8x8 m memberikan hasil intersepsi yang berbeda sebesar

33 %, 24 %, 15 %, dan 9 % dari curah hujan total.

Besarnya intersepsi hujan suatu vegetasi juga dipengaruhi oleh umur

tegakan vegetasi yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, bagian – bagian

tertentu vegetasi akan mengalami pertumbuhan atau perkembangan. Pertumbuhan

bagian – bagian vegetasi yang mempunyai pengaruh terhadap besar kecilnya

intersepsi adalah perkembangan kerapatan/luas tajuk, batang dan cabang vegetasi.

Semakin luas atau rapat tajuk vegetasi semakin banyak air hujan yang dapat

ditahan sementara untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfir. Demikian juga

halnya dengan percabangan pohon. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

semakin tua, luas dan kerapatan tajuk kebanyakan vegetasi akan semakin besar.

Jumlah percabangan pohon juga semakin banyak. Oleh kombinasi kedua faktor

tersebut menyebabkan jumlah air hujan yang dapat ditahan sementara oleh

vegetasi tersebut menjadi semakin besar sehingga kesempatan untuk terjadinya

penguapan juga menjadi besar (Asdak, 2004).

Besarnya kapasitas cadangan tajuk tergantung pada luas permukaan daun

dan kulit kayu, kekasaran, orientasi, penyusunan, dan pembasahannya, serta pada

kekuatan angin dan gravitasi yang cenderung mengeluarkan partikel – partikel

presipitasi. Secara kuantitatif air lolos merupakan perbedaan antara presipitasi

dengan penjumlahan intersepsi tajuk dan aliran batang. Besarnya air lolos

bervariasi secara terbalik dengan kerapatan tegakan – tegakan hutan, dan

umumnya naik dengan jarak dari batang – batang pohon, dengan mencerminkan

pengaruh kerapatan terhadap intersepsi tajuk; pada tegakan – tegakan hutan padat

(20)

Intensitas rata – rata air lolos lebih kecil dibandingkan dengan intensitas curah

hujan, namun ukuran – ukuran tetesannya lebih besar, dan dampak potensial

totalnya sebagai suatu kekuatan erosi adalah lebih besar. Distribusi air lolos yang

tidak merata pada lantai hutan disebabkan oleh variabilitas presipitasi berskala

kecil diatas tajuk dan oleh pengaruh mekanis dedaunan dan cabang – cabang

dalam mendistribusikan kembali tetesan – tetesan dan kepingan salju (Lee, 1990)

Besarnya intersepsi berubah – ubah sesuai dengan keragaman dari spesies,

umur dan kepadatan populasi dari suatu tegakan serta keadaan iklim di suatu

daerah. Dari total keseluruhan presipitasi, 10 – 20 % di intersepsikan kembali ke

atmosfir. Pohon pada hutan konifer mengintersepsikan air hujan lebih banyak dari

pada tipe tegakan yang menggugurkan daunnya (Chow, 1964).

Menurut Fleming (1975, dalam Sri Harto, 1993) luas bagian tanaman yang

dapat diperhitungkan berpengaruh terhadap kuantitas intersepsi adalah luas relatif

mahkota pohon (canopy), yang dinyatakan sebagai canopy density,yang

dinyatakan Dc = Av / A1; Dc adalah canopy density, Av adalah proyeksi mahkota

pohon, A1 adalah luas lahan yang mencakup Av.

Suatu kesimpulan umum yang baik tidak dapat diambil atas dasar

pengukuran intersepsi yang ada. Perbedaan ini beragam dengan komposisi jenis,

umur tanaman, kerapatan tegakan, musim dalam setahun dengan keragaman

dalam intensitas presipitasi (Seyhan, 1990).

Faktor Iklim

Selain faktor vegetasi, faktor yang mempengaruhi intersepsi adalah suhu

(21)

matahari yang saling berhubungan. Faktor iklim termasuk jumlah dan jarak waktu

antara hujan dengan hujan lainnya, intensitas hujan dan kecepatan angin. (Mori,

2003).

Linsley et al. (1949) menambahkan angin mempengaruhi intersepsi dalam

dua cara yang berbeda. (1) angin memperbesar tingkat evaporasi dan

penyimpanan, (2) angin mengurangi jumlah penyimpanan maksimum. Pengaruh

ini terjadi secara berlawanan, dan pengaruh angin dalam meningkatkan dan

mengurangi intersepsi total, tergantung pada kecepatan angin, lamanya angin,

lamanya hujan, dan kelembapan udara. Dalam hujan yang tenang tanpa angin,

tingkat intersepsi relatif cepat sampai daya simpan penuh, dan kemudian

berkurang pada evaporasi yang lambat dalam kondisi yang tenang. Dalam hujan

dengan angin, tingkat awal intersepsi lebih banyak berkurang karena angin

menghembus air dari daun selama waktu penyimpanan menjadi penuh dan pada

saat yang sama kapasitas intersepsi berkurang. Tetapi meski setelah banyaknya air

disimpan dipermukaan vegetasi mencapai tingkat maksimum, angin menyebabkan

tingkat intersepsi jadi tinggi dengan pengaruhnya pada evaporasi.

Pengukuran Intersepsi

Pengukuran besarnya intersepsi pada skala tajuk vegetasi dapat dilakukan

melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan neraca volume (volume balance

approach) dan pendekatan neraca energi (energy balance approach). Cara yang

pertama adalah cara yang paling sederhana dan tradisional yang paling umum

dilakukan yaitu dengan mengukur curah hujan, aliran batang dan air lolos. Cara

(22)

matematis dengan memasukkan parameter – parameter meteorologi dan struktur

tajuk serta tegakan yang diperoleh di lapangan (Asdak, 2004).

Model matematika dalam perhitungan intersepsi yang diperkenalkan oleh

Rutter et al. (1971), dengan menggunakan pendekatan regresi empiris dikenal

dengan Model Rutter. Model Rutter ini mengkalkulasikan keseimbangan air pada

tajuk yang menampung air dan batang yang dialiri air. Karena banyaknya

kekurangan dalam model ini, Gash (1979) mengajukan solusinya dalam

perhitungan intersepsi yaitu Analytical Model Of Rainfall Interception. Parameter

yang digunakan dalam model ini adalah curah hujan, rata – rata evaporasi pada

tajuk, daya tampung tajuk, serta fraksi penutupan tajuk (Van Dijk dan Bruijnzeel,

2001).

(a). (b).

Gambar 4. Pengukuran intersepsi : (a) Pengukuran aliran batang (Boyle, 2001). (b) Pengkuran air lolos (Tschaplinski, 2006).

Intersepsi di daerah dengan hutan yang masih baik jelas juga relatif besar,

mengingat kerapatan pohon dan kerapatan daunnya. Besar intersepsi ini dapat

mencapai nilai rata – rata 15%. Jelas dari uraian diatas bahwa peran hutan dalam

memperkecil limpasan permukaan sangat besar, karena dengan demikian maka

(23)

akan menjadi besar sehingga aliran kecil sepanjang tahun dapat dipelihara (Sri

Harto, 1993).

Seyhan (1990) Meramalkan besarnya komponen kehilangan intersepsi

dalam persamaan neraca air adalah suatu hal yang sulit tanpa dilakukan suatu

pengukuran yang intensif. Namun beberapa pengertian umum diberikan sebagai

berikut :

1. Persentase intersepsi lebih besar untuk suatu kejadian hujan dengan jumlah

presipitasi yang kecil, yang berkisar dari 100% hingga sekitar 25% sebagai

rata – rata kebanyakan pohon.

2. Kehilangan intersepsi mungkin besar pada kawasan – kawasan dengan

evaporasi yang tinggi dan biasanya rendah pada kawasan – kawasan dimana

kehilangan tersebut dikompensasikan oleh kabut

3. Jumlah salju yang diintersepsikan pada hutan – hutan conifer beragam antara

13 hingga 27%.

Penakar – penakar presipitasi biasanya ditempatkan terbuka dan dengan

demikian tidak mengukur presipitasi yang sampai tanah dibawah suatu tajuk

vegetasi. Pengukuran intersepsi dilakukan dengan menentukan perbedaan antara

tangkapan presipitasi penakar dibawah dan didekat penutup vegetasi (Seyhan,

1990).

Penelitian Intersepsi Pada Berbagai Tegakan Hutan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwasanya pada musim pertumbuhan,

10 sampai 20% dari total jumlah hujan akan terintersepsikan. Hasil penelitian

(24)

oleh tajuk hutan hujan tropis tidak terganggu di Kalimantan Tengah adalah

sebesar 11% (Asdak, 2004).

Menurut Kittredge (1948, dalam Asdak, 2004) menyatakan di daerah

beriklim sedang Amerika Utara pada curah hujan < 0,25 mm air terintersepsi

mencapai 100%. Sementara pada curah hujan > 1mm air hujan terintersepsi

berkurang menjadi antara 10 hingga 40%.

Hasil penelitian yang menghubungkan umur tegakan dengan perubahan

besarnya intersepsi yang terjadi menunjukkan bahwa semakin tua tegakan jumlah

intersepsi air hujan menjadi semakin besar. Dari hasil penelitiannya di Lembang,

Jawa Barat, Pudjiharta dan Sallata (1985, dalam Asdak, 2004) melaporkan bahwa

pada tegakan Pinus merkusii dengan umur yang berbeda, masing – masing

tegakan dengan umur 10, 15, dan 20 tahun jumlah intersepsi yang dihasilkan

selama 93 kejadian hari hujan adalah 16 %, 22%, dan 31%.

Teklehaimanot dan Jarvis (1991, dalam Asdak, 2004) melaporkan bahwa

pada tingkat kerapatan vegetasi berdaun jarum yang berbeda masing – masing

dengan jarak tanam 2 x 2 m, 4 x 4 m, 6 x 6 m dan 8 x 8 m memberikan hasil

intersepsi hujan sebesar 33%, 24%, 15%, dan 9% dari curah hujan total. Tampak

bahwa semakin rapat, jumlah air hujan yang diuapkan kembali ke atmosfir

menjadi semakin besar.

Beberapa hasil penelitian mengenai intersepsi air hujan oleh tajuk dari

beberapa jenis Eucalyptus relatif kecil, contohnya pada E. saligna, E. hybrid dan

E. urophylla yaitu 12,2%; 11,65% dan 17,3% dari total curah hujan (Pujiharta,

(25)

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ispana (2004) pada tegakan

Pinus merkusi umur 6 tahun di Aek Nauli, Kabupaten Simalungun, Propinsi

Sumatera Utara didapat besar aliran batang, air lolos dan intersepsi berturut – turut

yaitu 1,29%; 37,42%; 61,27% dari total curah hujan. Sedangkan besarnya

intersepsi pada hutan alam menurut Sembiring dan Mas’ud (1996) adalah 91,93%

dan pada tegakan Pinus merkusi berumur 35 tahun yaitu sebesar 91,93%.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara besarnya

intersepsi berbanding lurus dengan intensitas curah hujan. Semakin rendah

intensitas hujan maka intersepsi pada tajuk akan semakin rendah juga. Menurut

Sembiring dan Mas’ud (1996), untuk daerah dengan curah hujan yang rendah,

kehilangan air ini akibat intersepsi dapat menyebabkan semakin berkurangnya air

hujan yang mencapai tanah. Sebaliknya untuk daerah dengan curah hujan yang

tinggi dapat mencegah terjadinya banjir pada daerah tersebut.

Kegunaan intersepsi dalam bidang hidrologi tergantung pada karakteristik

iklim, fisik dan vegetasi. Pada kebanyakan studi analisis neraca air, intersepsi

dianggap penting untuk menentukan besarnya curah hujan bersih (net

precipitation) atau jumlah curah hujan yang tersedia untuk menjadi air infiltrasi,

air larian, aliran air bawah permukaan atau aliran tanah (Asdak, 2004).

Aliran batang dan air lolos mempunyai peranan yang sangat penting dalam

mendistribusikan nutrisi melalui curah hujan. Air hujan yang jatuh membawa

unsur yang diperlukan bagi tanaman. Bagian air hujan yang mengalir melalui

batang ataupun air lolos membawa unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman

(26)

tanah. Dengan demikian terjadi siklus unsur hara yang dikembalikan ke tanah

melalui guguran yang terjadi pada tanaman (Pujiharta, 2004).

(27)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di

perkebunan rakyat Desa Huta II Tumorang, kabupaten Simalungun Propinsi

Sumatera Utara. Penelitian dilakukan selama 2 bulan dimulai dari bulan April-Mei

2007.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan Hevea

brasiliensis yang terbagi dalam tiga kelas umur: 25 tahun, 15 tahun, dan 10 tahun

dengan jarak tanam 3 m x 3,30 m setiap blok kelas umur

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Penakar air lolos (troughfall) yang terbuat dari 4 buah pipa paralon/talang

dengan panjang setiap talang / pipa paralon 4 m dan dihubungkan ke jerigen,

dengan luas penampang alat 11304 cm2 dipasang di bawah tajuk dengan

tinggi permukaan alat adalah 120 cm dari permukaan tanah atau disesuaikan

dengan tinggi bebas cabang tanaman.

2. Penampung aliran batang (stemflow) dipasang pada batang tanaman, dimana

ujung selang bagian atas terletak 120 cm dari permukaan tanah atau

disesuaikan dengan tinggi bebas cabang tanaman. Selang dililitkan pada

batang yang dihubungkan dengan jerigen yang diatur sedemkian rupa

(28)

3. Gelas ukur dengan volume 100 ml dan 1000 ml, digunakan untuk mengukur

besarnya curah hujan, air lolos dan aliran batang.

4. Kompas untuk menentukan arah.

5. Clinometer untuk mengukur tinggi pohon.

6. Pita ukur untuk mengukur diameter pohon.

Untuk alat penakar curah hujan yang dipakai adalah dari tipe

observatorium dengan luas penampang permukaan adalah 100 cm2. Alat dipasang

setinggi 120 cm dari permukaan tanah yang terletak di sekitar lokasi penelitian.

Metode Penelitian

1. Penentuan Petak

Penentuan petak penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling pada

masing – masing kelas umur. Pada petak penelitian keadaan fisik dari masing

– masing tegakan, pada setiap petak kelas umur relatif sama dalam hal :

a. Umur tegakan.

b. Jarak tanam.

c. Ketinggian di atas permukaan laut (altitude).

Ukuran petak 15 x 15 m pada setiap kelas umur. Pada setiap petak penelitian

dipasang alat penakar air lolos di pasang sebanyak 1 buah yang terdiri dari 4

buah talang / pipa paralon yang menyebar keempat arah yang dihubungkan ke

(29)

2. Pengamatan dan Pengukuran

a. Curah hujan diukur dengan alat penakar curah hujan dari tipe

observatorium dengan luas permukaan atas alat adalah 100 cm2 yang

ditempatkan di pinggir tegakan pada areal yang terbuka. Pencatatan curah

hujan dilakukan setiap hari hujan pada jam 07.30 WIB dan dihitung

sebagai hari hujan sebelumnya.

Gambar 5. Contoh alat pengukur curah hujan biasa

b. Aliran batang (stemflow) ditampung dengan menggunakan selang yang

mengelilingi batang yang diatur sedemikian rupa dengan salah satu ujung

selang diletakkan lebih rendah untuk memudahkan air mengalir, kemudian

disambung ke jerigen. Pencatatan dilakukan setiap hari hujan pada pukul

07.30 WIB dan dihitung sebagai hari hujan sebelumnya.

Gambar 6. Teknik Pemasangan Alat Penampung Aliran Batang Pada Tegakan

(30)

c. Air lolos (troughfall) diukur dengan menggunakan alat penakar air lolos

yang terdiri dari talang / pipa paralon yang menyebar keempat arah dan

bagian ujung dari keempat talang / pipa paralon tersebut diletakkan lebih

rendah untuk memudahkan air mengalir, kemudian disambung ke jerigen.

Pencatatan dilakukan setiap hari hujan pada pukul 07.30 WIB dan dihitung

[image:30.595.223.402.273.409.2]

sebagai hari hujan sebelumnya.

Gambar 7. Teknik Pemasangan Alat Penakar Air Lolos Pada Tegakan Hevea

brasiliensis

3. Pengolahan Data

a. Perhitungan intersepsi. Dari hasil pengukuran curah hujan, aliran batang

dan air lolos dihitung besarnya intersepsi berdasarkan metode Pendekatan

Keseimbangan Volume (Volume Balance Approach) yaitu:

I = P – (T + S)

Keterangan :

I = Intersepsi tajuk (mm)

P = Curah hujan kotor (mm)

T = Air lolos (mm)

(31)

b. Perhitungan stemflow. Hasil awal stemflow diperoleh dalam satuan mili

liter (ml) didapat dari persamaan :

S = X / ( λ R2 )

Keterangan :

S = Stemflow (mm)

X = Air yang tertampung dalam jerigen (cm3)

R = Jari – jari proyeksi tajuk pohon (cm2)

Teknik pengukuran proyeksi tajuk:

1. Diukur jari – jari setiap sisi tajuk sebanyak 8 sesuai dengan arah mata

angin dalam satuan m

2. Dipetakan dalam millimeter blok dengan skala 1 : 100

[image:31.595.261.363.439.527.2]

3. Dihitung besarnya luas proyeksi tajuk pada setiap pohon

Gambar 8. Teknik Menghitung Besarnya Luas Proyeksi Tajuk Tegakan Hevea

brasiliensis

c. Perhitungan troughfall. Hasil awal troughfall diperoleh dalam satuan mili

liter (ml) didapat dari persamaan :

T = X / D

Keterangan :

T = Troughfall (mm)

(32)

D = Luas permukaan alat penakar curah hujan (cm2)

d. Untuk menduga hubungan besarnya intersepsi, aliran batang dan air lolos

dengan curah hujan dilakukan dengan regresi linier sederhana.

e. Seluruh perhitungan aliran batang, air lolos dan intersepsi serta bentuk

hubungan curah hujan dengan air lolos, aliran batang serta intersepsi

dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak (software) microsoft

excel dan SPSS versi 13.0

f. Untuk membandingkan besarnya intersepsi dari ketiga kelas umur secara

statistik dengan uji t (Paired Sample Test) menggunakan software SPSS

versi 13.0

g. Untuk mendapatkan Koefisien Determinasi (R2) terbesar dari hubungan

curah hujan dengan air lolos, aliran batang dan intersepsi dilakukan

dengan perbandingan 9 persamaan berikut :

1. Y = a+bx

2. Y = a+log bx

3. Y = a+ln bx

4. log Y = a + log bx

5. log Y = a + ln bx

6. ln Y = a + log bx

7. log Y = a + bx

8. ln Y = a + bx

(33)

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di areal perkebunan rakyat Desa Huta II Tumorang, Kecamatan Gunung Maligas, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara. Daerah penelitian berada 120 km dari kota Medan dan 56 km dari Pematang siantar.

Topografi

Tempat penelitian terletak pada ketinggian 369 m dari permukaan laut ( dpl ) dengan topografi datar. Secara geografis lokasi penelitian terletak 020 36’ – 030 18’ LU dan 980 32’ – 990 35’ BT (BPS Kabupaten Simalungun, 2006).

Iklim

Curah hujan rata-rata tahunan yaitu 480 mm. Suhu udara rata-rata tahunan 25.03 0C. Suhu udara rata-rata tahunan minimum 20.02 0C sedangkan suhu udara rata-rata tahunan maksimum 30.08 0C (Badan Meteorologi Stasiun Pusat Penelitian Marihat, 2006 dalam BPS Kabupaten Simalungun, 2006).

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran dilapangan didapat bahwa intersepsi terbesar terdapat

pada tegakan Hevea brasiliensis umur 25 tahun dan yang terkecil terdapat pada

umur 10 tahun. Hasil pengukuran intersepsi, aliran batang dan air lolos disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Curah Hujan, Aliran Batang, Air Lolos dan Intersepsi Tajuk Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 10 Tahun, 15 Tahun dan 25 Tahun

Umur Hari Hujan

Jumlah Curah Hujan

(mm)

Air Lolos Aliran Batang Intersepsi

mm % mm % mm %

10

Tahun 53 1053,30 637,93 60,56 83,61 7,94 331,76 31,50 15

Tahun 53 1053,30 564,74 53,62 59,82 5,68 428,74 40,70 25

Tahun 53 1053,30 461,24 43,79 46,27 4,39 545,79 51,82

Gambar 9. Persentase Curah Hujan, Air Lolos, Aliran Batang dan Intersepsi Pada Tegakan Hevea Brasiliensis Umur 10,15 dan 25 Tahun

60.56

7.94

31.5 53.62

5.68

40.7 43.79

4.39

51.82

0 10 20 30 40 50 60 70

Air Lolos (%) Aliran Batang (%) Intersepsi (%)

[image:34.595.121.512.332.711.2]
(35)

Curah Hujan

Selama jangka waktu penelitian, mulai bulan April sampai Mei 2007

terjadi 53 kali hujan dengan jumlah curah hujan seluruhnya 1053,30 mm dan

curah hujan rata-rata pada tiap kejadian hujan selama bulan April sampai Mei

2007 adalah 19,873 mm. Hari hujan dan curah hujan tertinggi terdapat pada bulan

Mei yaitu sebanyak 28 hari hujan dengan jumlah curah hujan sebesar 551,20 mm.

Banyaknya hari hujan dan curah hujan terkecil terdapat pada bulan April yaitu

sebanyak 25 hari hujan dengan jumlah curah hujan sebesar 502,10 mm. Fluktuasi

[image:35.595.128.496.358.534.2]

curah hujan ini dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Fluktuasi Curah Hujan

Air Lolos

Hasil pengukuran air lolos dilapangan selama penelitian pada tegakan

Hevea brasiliensis umur 10 tahun diperoleh jumlah air lolos 637,93 mm atau

sebesar 60,56% dari total curah hujan. Jumlah air lolos bulanan tertinggi terdapat

pada bulan Mei sebesar 345,57 mm atau sebesar 62,69 % dari jumlah curah hujan

0 10 20 30 40 50 60

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61

Kejadian Hujan

C

u

ra

h

h

u

ja

n

(

m

m

(36)

bulanan. Jumlah air lolos terkecil terdapat pada bulan April yaitu sebesar 292,35

mm atau sekitar 58,22 % dari jumlah curah hujan bulanan.

Pada tegakan Hevea brasiliensis umur 15 tahun didapat jumlah air lolos

564,74 mm atau sekitar 53,62 % dari total curah hujan. Jumlah air lolos bulanan

tertinggi terdapat pada bulan Mei sebesar 299,90 mm atau sekitar 54,40 % dari

jumlah curah hujan bulanan. Jumlah air lolos terkecil terdapat pada bulan April

yaitu sebanyak 264,38 mm atau sekitar 52,65 % dari jumlah curah hujan bulanan.

Sedangkan pada tegakan Hevea brasiliensis yang berumur 25 tahun

didapat jumlah air lolos 461,24 mm atau sekitar 43,79 % dari total curah hujan.

Jumlah air lolos bulanan tertinggi terdapat pada bulan Mei sebesar 248,40 mm

atau sekitar 45,06 % dari jumlah curah hujan bulanan. Jumlah air lolos terkecil

terdapat pada bulan April yaitu sebesar 230,89 mm atau sekitar 45,98 % dari

jumlah curah hujan bulanan. Hasil pengukuran air lolos umur 10 tahun, 15 tahun

dan 25 tahun dapat dilihat pada Lampiran 4. Sedangkan untuk fluktuasi air lolos

[image:36.595.115.508.526.702.2]

yang terjadi selama bulan pengamatan disajikan pada Gambar 11, 12 dan 13.

Gambar 11. Fluktuasi Air Lolos Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 10 Tahun

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00

(37)
[image:37.595.116.508.78.268.2]

Gambar 12. Fluktuasi Air Lolos Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 15 Tahun

Gambar 13. Fluktuasi Air Lolos Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 25 Tahun

Aliran Batang

Hasil pengukuran aliran batang dilapangan selama penelitian pada tegakan

Hevea brasiliensis umur 10 tahun diperoleh jumlah aliran batang 83,61 mm atau

sekitar 7,94 % dari total curah hujan. Jumlah aliran batang bulanan tertinggi

terdapat pada bulan Mei sebesar 53,22 mm atau sekitar 9,65 % dari jumlah curah

hujan bulanan. Jumlah aliran batang terkecil terdapat pada bulan April yaitu

sebesar 48,75 mm atau sekitar 9,7 % dari jumlah curah hujan bulanan.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 Curah Hujan (mm) Air Lolos (mm)

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 Curah Hujan (mm)

[image:37.595.117.508.309.483.2]
(38)

Pada tegakan Hevea brasiliensis umur 15 tahun didapat jumlah aliran

batang 59,82 mm atau sekitar 5,68 % dari total curah hujan. Jumlah aliran batang

bulanan tertinggi terdapat pada bulan Mei sebesar 32,92 mm atau sekitar 5,97 %

dari jumlah curah hujan bulanan. Jumlah aliran batang terkecil terdapat pada

bulan Mei yaitu sebanyak 131,71 mm atau sekitar 23,89 % dari jumlah curah

hujan bulanan.

Sedangkan pada tegakan Hevea brasiliensis yang berumur 25 tahun

didapat jumlah aliran batang 46,27 mm atau sekitar 4,39 % dari total curah hujan.

Jumlah aliran batang bulanan tertinggi terdapat pada bulan Mei sebesar 93,23 mm

atau sekitar 18,29 % dari jumlah curah hujan bulanan. Jumlah aliran batang

terkecil terdapat pada bulan April yaitu sebesar 91,85 mm atau sekitar 16,91 %

dari jumlah curah hujan bulanan. Hasil pengukuran aliran batang umur 10 tahun,

15 tahun dan 25 tahun dapat dilihat pada Lampiran 5. Sedangkan untuk fluktuasi

aliran batang yang terjadi selama bulan pengamatan disajikan pada Gambar 14, 15

[image:38.595.114.510.500.677.2]

dan 16.

Gambar 14. Fluktuasi Aliran Batang Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 10 Tahun

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 45.00 50.00

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 Curah Hujan (mm)

(39)
[image:39.595.116.509.86.265.2]

Gambar 15. Fluktuasi Aliran Batang Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 15 Tahun

Gambar 16. Fluktuasi Aliran Batang Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 25 Tahun

Intersepsi Tajuk

Hasil pengukuran intersepsi tajuk dilapangan selama penelitian pada

tegakan Hevea brasiliensis umur 10 tahun diperoleh jumlah intersepsi tajuk

sebesar 331,76 mm atau sekitar 31,50 % dari total curah hujan. Jumlah intersepsi

tajuk bulanan tertinggi terdapat pada bulan April sebesar 160,99 mm atau sekitar

32,06 % dari jumlah curah hujan bulanan. Jumlah intersepsi tajuk terkecil terdapat

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 45.00 50.00

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 Curah Hujan (mm)

Aliran Batang (mm)

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00

[image:39.595.118.508.335.509.2]
(40)

pada bulan Mei yaitu sebesar 152,39 mm atau sekitar 27,64 % dari jumlah curah

hujan bulanan.

Pada tegakan Hevea brasiliensis umur 15 tahun didapat jumlah intersepsi

tajuk 428,73 mm atau sekitar 40,70 % dari total curah hujan. Jumlah intersepsi

tajuk bulanan tertinggi terdapat pada bulan Mei sebesar 218,36 mm atau sekitar

39,61 % dari jumlah curah hujan bulanan. Jumlah intersepsi terkecil terdapat pada

bulan April yaitu sebanyak 210,81 mm atau sekitar 41,99 % dari jumlah curah

hujan bulanan.

Sedangkan pada tegakan Hevea brasiliensis yang berumur 25 tahun

didapat jumlah intersepsi tajuk 545,79 mm atau sekitar 51,81 % dari total curah

hujan. Jumlah intersepsi bulanan tertinggi terdapat pada bulan Mei sebesar 284,12

mm atau sekitar 51,54 % dari jumlah curah hujan bulanan. Jumlah intersepsi tajuk

terkecil terdapat pada bulan April yaitu sebesar 261,66 mm atau sekitar 52,11 %

dari jumlah curah hujan bulanan. Hasil pengukuran intersepsi tajuk umur 10

tahun, 15 tahun dan 25 tahun dapat dilihat pada Lampiran 1, 2 dan 3. Sedangkan

[image:40.595.115.511.555.734.2]

untuk fluktuasi intersepsi yang terjadi selama bulan pengamatan disajikan pada

Gambar 17, 18 dan 19.

Gambar 17. Fluktuasi Intersepsi Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 10 Tahun

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 Curah Hujan (mm)

(41)
[image:41.595.116.506.339.526.2]

Gambar 18. Fluktuasi Intersepsi Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 15 Tahun

Gambar 19. Fluktuasi Intersepsi Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 25 Tahun

Hubungan Air Lolos Dengan Curah Hujan

Hasil pengukuran rata-rata pada tiga kelas umur yang berbeda diperoleh

bahwa air lolos yang terjadi lebih besar dari pada aliran batang. Hal ini

menunjukkan bahwa kerapatan tajuk tegakan Hevea brasiliensis ini rendah

sehingga sebagian air hujan langsung jatuh sebagai air lolos melalui sela-sela

tajuk.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 Curah Hujan (mm)

Intersepsi (mm)

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00

(42)

70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00

Curah Hujan (mm) 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 A ir L o lo s (% ) 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00

Curah Hujan (mm)

40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 A ir L o lo s ( % ) 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00

Curah Hujan (mm)

40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 A ir L o lo s ( % )

Gambar 20. Persentase Air Lolos Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 10 Tahun

Gambar 21. Persentase Air Lolos Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 15 Tahun

Gambar 22. Persentase Air Lolos Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 25 Tahun

R2 = 0,98

R2 = 0,96

(43)

60.56 53.61

43.78

0 10 20 30 40 50 60 70

Air Lolos

(%)

C

ur

ah H

uj

an (

%

) 10 Tahun

15 Tahun

25 Tahun

Gambar 23. Persentase Air Lolos Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 10, 15 dan 25 Tahun

Gambar 27, 28, 29 dan 30 menunjukkan bahwa persentase air lolos

berbanding lurus terhadap curah hujan. Selain kerapatan tegakan umur pohon

mempunyai peranan penting dalam menentukan besarnya air lolos. Hasil

penelitian ini terlihat bahwa semakin tua umur pohon maka air lolos akan semakin

kecil. Hal ini dikarenakan pertumbuhan percabangan dan bentuk daun dari

tegakan Hevea brasiliensis semakin lama semakin bertambah ukurannya sehingga

kemampuan dalam menahan air hujan juga semakin besar (Pudjiharta, 2004).

Pada tegakan umur 25 tahun panjang daun utama Hevea brasiliensis dapat

mencapai 20 cm sedangkan anak daun dapat mencapai 10 cm (Nazarrudin dan

Paimin, 2006).

Untuk mengetahui hubungan antara air lolos dengan curah hujan pada

kelas umur 10 tahun, 15 tahun dan 25 tahun dapat dilihat pada Gambar 31, 32 dan

33. Persamaan regresi antara air lolos dengan curah hujan pada tegakan Hevea

brasiliensis untuk kelas umur 10, 15 dan 25 tahun secara berturut-turut mengikuti

(44)

(R2 = 0.96), Th25 = 0.163 ch1.2975 (R2 = 0.95). Koefisien korelasi, persamaan

regresi dan nilai R2 umur 10, 15 dan 25 tahun disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Persamaan regresi, Koefisien Korelasi dan Nilai R2 Hubungan Air Lolos Dengan Curah Hujan

Persamaan Regresi Koefisien Korelasi R2

Umur 10 Tahun Th10 = 0.387 ch1.136 0,97 0.98

Umur 15 Tahun Th15 = 0.304 ch1.1712 0,97 0.96

Umur 25 Tahun Th25 = 0.163 ch1.2975 0,97 0.95

Gambar 24. Garis Regresi Air Lolos Dengan Curah Hujan Pada Tegakan Hevea

brasiliensis Umur 10 Tahun

Y = 0.387ch1.136 R2 = 0.97

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 45.00

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00

Curah Hujan (mm)

A

ir

L

o

lo

s

(

m

m

(45)

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00

Curah Hujan (mm)

A ir L o lo s ( m m ) 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00

Curah Hujan (mm)

A ir L o lo s ( m m )

Gambar 25. Garis Regresi Air Lolos Dengan Curah Hujan Pada Tegakan Hevea

[image:45.595.175.451.85.253.2]

brasiliensis Umur 15 Tahun

Gambar 26. Garis Regresi Air Lolos Dengan Curah Hujan Pada Tegakan Hevea

brasiliensis Umur 25 Tahun

Umur pohon berbanding terbalik dengan air lolos yang terjadi pada

curah hujan yang konstan atau tetap artinya peningkatan umur pohon akan

meningkatkan kapasitas penyimpanan tajuk dengan bertambahnya ukuran dari

tajuk sehingga air lolos yang terjadi akan semakin kecil. Luas tajuk, diameter dan

tinggi total tegakan Hevea brasiliensis disajikan pada Tabel 4. Th = 0,304 ch1,1712 R2 = 0,96

(46)

Tabel 3. Luas Proyeksi Tajuk, Tinggi Total dan Diameter Tegakan Hevea

brasiliensis

Luas Tajuk

(m2)

Diameter (cm)

Tinggi Total (m)

10 Tahun

56.5 43 11.5

44.1 40 12

37 42 12.5

73.9 41 12

Total 211.5 166 48

Rata - Rata 52.875 41.5 12

15 Tahun

87.5 62 18.5

107.1 60 17.5

108.4 57 19

77.8 58 19.5

Total 380.8 237 74.5

Rata - Rata 95.2 59.25 18.625

25 Tahun

150 82 21

119.9 81 21

108.1 85 22

129.4 88 21.5

Total 507.4 336 85.5

Rata - Rata 126.85 84 21.375

Tajuk pohon Hevea brasiliensis relatif sempit dan pendek, simetris dengan

daun-daun yang sehat dan banyak (Nazarrudin dan Paimin, 2006). Jumlah daun

yang cukup banyak yang dimiliki oleh tegakan Hevea brasiliensis memungkinkan

tajuk tegakan Hevea brasiliensis menahan air lebih besar. Tajuk tegakan Hevea

brasiliensis umur 10 tahun, 15 tahun dan 25 tahun disajikan pada Gambar

[image:46.595.194.432.139.415.2] [image:46.595.121.505.606.723.2]
(47)

Dari pengamatan yang dilakukan di tempat penelitian jarak tanam yang

cukup rapat juga sangat berpengaruh terhadap besarnya air lolos yang terjadi.

Menurut Teklehaimanot dan Jarves (1991) dalam Asdak (2004) bahwa tingkat

kerapatan vegetasi berdaun jarum yang berbeda dengan jarak tanamnya yaitu 2 x

2 m, 4 x 4 m, 6 x 6 m, dan 8 x 8 m memberikan hasil intersepsi sebesar 33 %, 24

%, 15 %, dan 9 % dari curah hujan total. Dengan demikian tampak bahwa

semakin rapat suatu tegakan maka air yang tertahan di tajuk juga akan besar yang

kemudian akan diintersepsikan.

Hubungan Aliran Batang Dengan Curah Hujan

Selain hal tersebut diatas aliran batang juga mempunyai peranan penting

dalam menentukan besarnya intersepsi yang terjadi. Dari beberapa penelitian yang

telah dilakukan pada tegakan berdaun lebar maupun konifer didapat bahwa aliran

batang merupakan elemen yang paling kecil terjadi pada penelitian intersepsi.

Menurut Seyhan (1990) bahwa aliran batang merupakan persentase presipitasi

yang relatif kecil dari total. Menurut Pidwirny (2004) keragaman ini disebabkan

[image:47.595.109.517.602.727.2]

oleh keragaman bentuk daun, batang serta arsitektur cabang.

Tabel 4. Persamaan Regresi, Koefisien Korelasi dan R2 Hubungan Aliran Batang Dengan curah Hujan

Persamaan Regresi Koefisien Korelasi R2

Umur 10 Tahun St10 = 0.034ch – 0.902 0,68 0.46

Umur 15 Tahun St15 = 0.277ch0.476 0,72 0.59

(48)

70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00

Curah Hujan (mm) 3.00 2.00 1.00 0.00 A li ra n B a ta n g ( % ) 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00

Curah Hujan (mm) 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 A li ra n B a ta n g ( % )

Persamaan regresi hubungan antara aliran batang dengan curah hujan

menurut kelas umur 10 tahun, 15 tahun dan 25 tahun berturut-turut yaitu St10 =

0.034ch – 0.902 (R2 = 0.46); St15 = 0.277ch0.476 (R2 = 0.59); St25 = 0.437 +

0.022ch (R2 = 0.68). Koefisien korelasi, persamaan regresi dan nilai R2 disajikan

pada Tabel 4. Gambar 38, 39 dan 40 menunjukkan bentuk hubungan antara aliran

batang dengan curah hujan. Persamaan regresi ketiga kelas umur tersebut

menunjukkan bahwa umur pohon dan curah hujan berbanding lurus dengan aliran

[image:48.595.203.425.336.488.2]

batang yang terjadi.

Gambar 28. Persentase Aliran Batang Pada tegakan Hevea brasiliensis Umur 10 Tahun

Gambar 29. Persentase Aliran Batang Pada tegakan Hevea brasiliensis Umur 15 Tahun

R2 = 0,46

[image:48.595.203.423.560.704.2]
(49)

70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00

Curah Hujan (mm)

2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 A li ra n B a ta n g ( % ) 7.93 5.67 4.39 0 2 4 6 8 10 Aliran Batang (%) C ur ah H uj an ( % ) 10 Tahun 15 Tahun 25 Tahun

[image:49.595.201.423.362.520.2]

Gambar 30. Persentase Aliran Batang Pada tegakan Hevea brasiliensis Umur 25 Tahun

Gambar 31. Persentase Aliran Batang Pada tegakan Hevea brasiliensis Umur 10, 15 dan 25 Tahun

Hubungan antara persentase aliran batang dari ketiga kelas umur terhadap

curah hujan terlihat bahwa aliran batang berbanding lurus dengan curah hujan

serta persentase aliran batang cenderung meningkat pada setiap kenaikan jumlah

curah hujan.Walaupun begitu menurut Van Dijk dan Bruinzeel (2001) aliran

batang hanya dapat terjadi bila curah hujan 3 mm atau lebih. Hal ini menunjukkan

(50)

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00

Curah Hujan (mm)

A li ra n B a ta n g ( m m )

mm atau lebih, sehingga tidak semua air akan diintersepsikan tetapi sebagian air

akan menjadi aliran batang dan air lolos.

Menurut Pidwirny (2004) aliran batang yang terjadi dipengaruhi oleh

bentuk daun, batang dan percabangan. Cabang-cabang yang dimiliki tegakan

Hevea brasiliensis relatif kecil dan menyebar merata di sekeliling batang, serta

pada umumnya membentuk sudut yang besar dengan batang utama, sedangkan

batang relatif lurus tetapi pada beberapa perkebunan ada kecendrungan arah

batang miring menuju utara. Kulit luar halus dan tebal (Nazarrudin dan Paiman,

[image:50.595.144.451.323.501.2]

2004).

Gambar 32. Garis Regresi Aliran Batang Dengan Curah Hujan Pada Tegakan

Hevea brasiliensis Umur 10 Tahun

Gambar 33. Garis Regresi Aliran Batang Dengan Curah Hujan Pada Tegakan

Hevea brasiliensis Umur 15 Tahun

St = 0,277ch0,476 R2 = 0,59

y = 0.034ch - 0.902

R2 = 0.46 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00

Curah Hujan (mm)

[image:50.595.152.451.556.722.2]
(51)

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00

Curah Hujan (mm)

A

li

ra

n

B

a

ta

n

g

(

m

m

[image:51.595.175.451.123.270.2]

)

Gambar 34. Garis Regresi Aliran Batang Dengan Curah Hujan Pada Tegakan

Hevea brasiliensis Umur 25 Tahun

Hubungan Intersepsi Dengan Curah Hujan

Curah hujan mempunyai hubungan yang erat dengan intersepsi, hal ini

dapat dilihat dari tingginya nilai korelasi antara curah hujan dengan intersepsi

tegakan Hevea brasiliensis umur 10 tahun, 15 tahun dan 25 tahun yang

berturut-turut sebesar 0,89; 0,92; 0,95. Hal ini sesuai dengan pernyataan Singh (1992) dan

Asdak (2004) bahwa bentuk, intensitas dan lamanya hujan berpengaruh terhadap

intersepsi yang terjadi.

Persamaan terbaik dari 9 persamaan yang dicobakan adalah persamaan

logaritma-logaritma yang diindikasikan oleh nilai R2 yang tertinggi. Persamaan

hubungan antara curah hujan dengan intersepsi untuk tegakan kelas umur 10 tahun

adalah I = 0.41209 ch0.910 dengan R2 sebesar 0,86. Untuk tegakan kelas umur 15

tahun adalah I = 0.582 ch0.884 dengan R2 sebesar 0,91. Untuk tegakan kelas umur

25 tahun adalah I =0.822 ch0.853 dengan R2 sebesar 0.93. Koefisien korelasi,

persamaan regresi dan nilai R2 umur 10, 15 dan 25 tahun disajikan pada tabel 2.

Tabel 5. Persamaan Regresi, Koefisien Korelasi dan Nilai R2 Hubungan Intersepsi Dengan Curah Hujan

(52)

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00

Curah Hujan (mm)

In te rs e p s i (m m ) 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 rs e p s i (m m )

Persamaan regresi Koefisien Korelasi R2

Umur 10 Tahun I = 0.41209 ch0.910 0,89 0,86

Umur 15 Tahun I = 0.582 ch0.884 0,92 0,91

[image:52.595.132.492.99.210.2]

Umur 25 tahun I =0.822 ch0.853 0,95 0.93

Gambar 35. Garis Regresi Intersepsi Dengan Curah Hujan Pada Tegakan Hevea

brasiliensis Umur 10 Tahun

Gambar 36. Garis Regresi Intersepsi Dengan Curah Hujan Pada Tegakan Hevea

brasiliensis Umur 15 Tahun

I = 0,582 ch0,884 R2 = 0,91

Y = 0.41209ch0.910 R2 = 0.86

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00

Curah Hujan (mm)

[image:52.595.173.452.518.683.2]
(53)

70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00

Curah Hujan (mm)

50.00 40.00 30.00 20.00 In te rs e p s i (% ) 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00

Curah Hujan (mm)

[image:53.595.184.428.313.479.2]

60.00 50.00 40.00 30.00 In te rs e p s i (% ) 70.00 (% )

Gambar 37. Garis Regresi Intersepsi Dengan Curah Hujan Pada Tegakan Hevea

brasiliensis Umur 25 Tahun

Besarnya persentase intersepsi tajuk yang terjadi disajikan pada Gambar

[image:53.595.185.429.534.687.2]

23, 24 dan 25.

Gambar 38.Persentase Intersepsi Pada tegakan Hevea brasiliensis Umur 10 Tahun

Gambar 39.Persentase Intersepsi Pada tegakan Hevea brasiliensis Umur 15 Tahun I = 0,822 ch0,853

R2 = 0,93

R2 = 0,86

[image:53.595.194.520.741.840.2]
(54)

31.49 40.7

51.81

0 10 20 30 40 50 60

Intersepsi (%)

C

ur

ah H

uj

an (

%

) 10 Tahun

15 Tahun

25 Tahun

[image:54.595.202.440.312.467.2]

Gambar 40.Persentase Intersepsi Pada tegakan Hevea brasiliensis Umur 25 Tahun

Gambar 41. Persentase Intersepsi Pada tegakan Hevea brasiliensis Umur 10, 15 dan 25 Tahun

Gambar 20, 21 dan 22. menunjukkan bahwa jumlah total air hujan yang

diintersepsikan berbanding lurus dengan air hujan yang terjadi, tetapi persentase

air hujan yang diintersepsikan akan semakin kecil dengan bertambahnya curah

hujan. Besarnya persentase air hujan yang diintersepsikan dapat dilihat pada

Gambar 23, 24, 25 dan 26. Hal ini sesuai dengan pernyataan Horton (1919, dalam

Singh 1992) bahwa persentase intersepsi besar apabila hujan yang terjadi tidak

lebat. Menurut Owen, et al. (2001) kejadian hujan yang sangat kecil hampir

(55)

Bruijnzeel (2001) besarnya air hujan yang diintersepsikan berhubungan dengan

leaf Area Index yang akan mempengaruhi kapasitas penyimpanan tajuk. Bila

besarnya kapasitas penyimpanan tajuk masih lebih besar daripada curah hujan

maka air hujan tersebut akan diintersepsikan seluruhnya, sebaliknya bila curah

hujan yang terjadi lebih besar dari kapasitas penyimpanan tajuk maka tajuk akan

mengalami kejenuhan dalam menampung air hujan sehingga sebagian air hujan

tersebut akan mengalir melalui batang dan menjadi air lolos. Hal ini akan

mengakibatkan intersepsi yang terjadi akan semakin kecil.

Kapasitas penyimpanan tajuk dapat dilihat dari luas tajuk serta kepadatan

tajuk. Umur pohon sangat mempengaruhi tingkat kepadatan tajuk. Pramono dan

Ginting (1997), menyatakan bahwa semakin padat tajuk pohon maka

intersepsinya akan semakin besar. Hal ini dikarenakan semakin banyak air hujan

yang tertahan oleh tajuk yang kemudian akan diintersepsikan. Pada kelas umur 10

tahun luas tajuk rata-rata tegakan lebih kecil yaitu 52,87 m2 bila dibandingkan

dengan luas tajuk umur 15 tahun sebesar 95,2 m2 dan 25 tahun sebesar 126,85 m2

Dengan demikian kapasitas penyimpanan tajuk umur 25 tahun lebih besar dari

umur 15 tahun dan 10 tahun, sehingga intersepsi yang terjadi akan lebih besar

pada tegakan Hevea brasiliensis yang berumur 25 tahun.

Hasil uji t untuk ketiga kelas umur menunjukkan bahwa besarnya

intersepsi berbeda secara statistik. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas

significant 0.000 jauh lebih kecil dari nilai α (0,05) pada ketiga kelas umur. Hasil

analisis uji t dapat dilihat pada Lampiran 13.

(56)

Kesimpulan

Curah hujan berpengaruh terhadap besarnya intersepsi tajuk (Interception

Loss) pada tegakan Hevea brasiliensis. Semakin tinggi curah hujan maka air lolos

(Throughfall), aliran batang (Stemflow) serta intersepsi tajuk (Interception Loss)

akan semakin meningkat. Sebaliknya persentase intersepsi tajuk akan semakin

berkurang dengan meningkatnya curah hujan.

Umur tegakan Hevea brasiliensis berpengaruh terhadap besarnya air lolos

(Throughfall), aliran batang (Stemflow) serta intersepsi tajuk (Interception Loss).

Semakin tua umur pohon maka intersepsi (Interception Loss) yang terjadi akan

semakin meningkat.

Besarnya intersepsi dari ketiga kelas umur yaitu 10 tahun, 15 tahun dan 25

tahun berbeda

Saran

Untuk penelitian selanjutnya perlu ditambahkan variasi kelas umur agar

diperoleh hasil yang lebih akurat.

(57)

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan Ketiga (revisi). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Anwar, C. 2006. Perkembangan Pasar dan Prospek Agribisnis di

Indonesia.

Boyle,G.M.2001.

(3Maret 2007).

Badan Pusat Statistik. 2006. Simalungun Dalam Angka 2006. Medan

Boerhendhy, I. dan Agustina, S., A. 2006. Potensi Pemanfaatan Kayu Karet Untuk

Mendukung Peremajaan Perkebunan Karet

Rakyat.

(5 Maret 2007)

Chow, V. T. 1964. Handbook of Applied Hydrology. Mc Graw-Hill Inc. New York.

Gerrits,M.2005.Interception.

Goenadi, D. H., Supriadi, M., dan Prayugo, U. H. 2005. Prospek dan Arah

Pengembangan Agribisnis Karet, <http://www.ipard.com/art_perkebun/perkembangan%20pasar%20dari%

20prospek%20agribisnis%20karet%20DI%20%indonesia.pdf> (3 Maret 2007)

Harto, S. 1993. Analisis Hidrologi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Ispana, M. 2004. Hubungan Curah Hujan Dengan Intersepsi Tajuk, Air Lolos dan Aliran Batang Pada Tegakan Pinus Merkusii di Aek Nauli, Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Kartodihardjo, H. dan Agus, S. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral Terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan

Perkebunan.

Linsley, R. K. Jr., Max A. Kohler, Joseph L. H. Paulhus. 1949. Applied Hidrology. McGraw-Hill Book Company Inc. New York.

(58)

Lorenzi, H. 2007. Raintree Nutrition. Raintree Nutrition Inc, New York.

2007).

Lahjie, A.B. 2004. Teknik Agroforestry. Penerbit Universitas Mulawarwan. Samarinda.

Mori, K. 1993. Hidrologi Untuk Pengairan. Penerjemah: Suyono Sosro Darsono PT. Pradya Paramita. Jakarta.

Nazarrudin dan Paimin. 2006. Karet, Strategi Pemasaran dan Pengolahan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Purbo, M.M., I. Guritno, D. Murdiyarso, M. Martodinomo. 1987. Kamus Hidrologi. Departemen Pendidikan dan Kebudidayaan Republik Indonesia. Jakarta.

Pujiharta, A. 2007. Aspek Hidrologi Dari Eucalyptus.

<http://mofrinet.cbn.net.id/informasi/litbang/hasil/buletin/2001/2-1a.HTM> (2Maret 2007).

Pramono, I. B. Dan A. N. Ginting. 1997. Intersepsi Hujan Oleh Jati (Tectona

grandis) Di Purwakarta, Jawa Barat. Buletin Penelitian Kehutanan

Pematang Siantar.

Pidwirny, M. 2004. Aspek Hidrologi Dari Eucalyptus.

2007)

Setiawan. 2000. Usaha Pembudidayaan Karet. Penebar Swadaya. Jakarta.

Se

Gambar

Gambar 7. Teknik Pemasangan Alat Penakar Air Lolos Pada Tegakan Hevea brasiliensis
Gambar 8. Teknik Menghitung Besarnya Luas Proyeksi Tajuk Tegakan Hevea  brasiliensis
Tabel 1. Jumlah Curah Hujan, Aliran Batang, Air Lolos dan Intersepsi Tajuk    Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 10 Tahun, 15 Tahun dan 25 Tahun
Gambar 10. Fluktuasi Curah Hujan
+7

Referensi

Dokumen terkait

gambar di bawah ini merupakan beberapa usaha bisnis yang dimiliki WNA asal Timur Tengah yang berada di kawasan Desa Tugu Selatan..

Peserta didik dapat membuat karya seni rupa dua dimensi menggunakan berbagai media dan teknik dengan melihat model. Peserta didik dapat membuat karya seni rupa tiga dimensi

2.1 Semua murid terlibat dan mengambil bahagian dalam pertandingan membuat kad ucapan Hari Raya Aidilfitri yang mengandungi nilai-nilai Pendidikan Moral.. Hadiah disediakan untuk

Pada dasarnya Tugas Akhir ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi

Direktur, pemilik, tim member dan manajer proyek dapat melakukan pengontrolan proyek terhadap ruang lingkup, waktu, biaya, kualitas, dan sumber daya manusia dengan

[r]

Pelayanan yang diterapkan PT Serasi Transportasi Nusantara (Orenztaxi) yaitu dengan memberikan standard grooming senyum, salam, sapa (3S) kepada setiap pelanggan

juga akan menghasilkan anak yang baik karena sering. orang tua memberikan perhatian berlebihan,