• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN COPING STRES PADA LANSIA PENDERITA KELUMPUHAN PASCASTROKE

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persayaratan Ujian Sarjana Psikkologi

Oleh SOFYAWATI. N

041301112

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Coping Stres pada Lansia Penderita Kelumpuhan Pascastroke

Adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penelitian skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Desember 2009

(3)

Gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke Sofyawati Nasution dan Hasnida, M.Si.,psikolog

ABSTRAK

Sebahagian besar penderita stroke adalah lansia (Junaidi, 2004). Stroke dapat mengakibatkan kematian dan juga kelumpuhan bagi individu, sehingga hal ini dapat berdampak kepada fisik dan psikologis penderita stroke tersebut (Junaidi, 2004). Penderita pascastroke menghadapi banyak masalah fisik yang disertai dengan tekanan psikologis. Hal ini mengakibatkan penderita kelumpuhan pascastroke mengalami stres, bahkan apabila tidak tidak di tangani dengan tepat akan menjadi depresi (Valery Feign, 2006). Oleh karena itu diperlukan coping tepat, karena menurut Hadriani (2000) Untuk mengindari dampak stres bagi penderita penyakit kronis maka diperlukan coping stres yang tepat agar tidak memperparah kondisi kesehatan penderita penyakit kronis. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang coping yang digunakan pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif supaya dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan partisipan. Karateristik partisipan adalah pria ataupun wanita penderita kelumpuhan pascastroke yang berumur 60 tahun keatas berdomisili di Medan dan masih bisa melakukan komunikasi dengan baik. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data dilakukan dalam penelitian adalah wawancara mendalam (in depth interviewing) dan observasi saat wawancara berlangsung.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa ketika seseorang terkena stroke maka individu tersebut akan mengalami stres. Oleh karena itu penderita kelumpuhan pascastroke memerlukan coping yang tepat untuk mengatasi stres mereka. Coping yang digunakan oleh partispan I dalam penelitian ini hanya efektif sementara waktu untuk mengatasi stres akibat kelumpuhan pascastroke sementara coping yang digunakan oleh partisipan II efektif untuk mengatasi stres akibat kelumpuhan pascastroke.

Saran penelitian bagi penderita kelumpuhan pascastroke supaya dapat menerima kondisinya dan dapat mengatasi stres yang mereka alami dengan cara menggunakan metode coping yang tepat, bagi keluarga, yayasan ataupun praktisi kesehatan yang menangani penderita kelumpuhan pascastroke serta masyarakat luas perlu memberikan dukungan yang tepat yang dibutuhkan oleh penderita kelumpuhan pascastroke agar mereka dapat mengurangi stresnya.

(4)

KATA PENGHANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia dan kekuatan dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Chaerul Yoel, Sp.A (K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Hasnida, M.Si.,psikolog selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih banyak atas waktu, kesabaran, pemikiran dalam memberikan saran, petunjuk dan bimbingan dalam penelitian ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(5)

4. Ibundaku yang paling saya cintai dan sayangi di bumi ini, Ibu Hj. Zuriawaty, yang telah melahirkan saya kedunia, dan telah mencintai dan membesarkan ku dengan kasih sayang mama. Betapa besar perjuangan dan pengorbanan mama saat memperjuangkan kami anak-anak mama. Serta terima kasih atas bimbingan mama serta kesabaran mama dalam menghadapi anakmu ini. Mamalah yang menjadi teladan saya dalam menghadapi kehidupan ini dan menjadi motivasi ku untuk meraih sukses. 5. Ayahku tercinta, Drs.H.Sofyan Nasution, dukungannya selama ini.

6. Adikku (Ina Novita Nst,Amd), abangku (Abdul Wahab Nasution,S.Si) dan kakak iparku (Kak Novi) yang paling aku citai, terima kasih atas semua bantuannya. Kalian telah mau memahamiku selama ini dan sudah banyak berkorban demiku.

7. Tanteku (Evi ), Bundaku, Omku (Edi), terima kasih atas semua supportnya sama ku sehingga aku mencapai semua ini.

8. Kepada seluruh dosenku di Fakultas Psikologi yang telah mengajari aku Ilmu Psikologi, dan seluruh guru-guru di SMUN 3 Medan, SD dan SLTP Pertiwi Medan yang telah mendidikku tanpa pamrih dan mengajariku akan ilmu pengetahuan hingga sampai saat ini.

(6)

10. Sahabatku (Tika, Ami, Dwi, Renny,dan seluruh stambuk’04). Terima kasih banyak atas dukungannya, tetap semangat ya....! Teman-teman seperjuangan yang skripsi dan seminar, mudah-mudahan kita semua berhasil ya....Amin ya Allah.

11. Semua pihak yang telah mendukung penelitian ini yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu. Semoga Allah meridoi usaha kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pihak untuk menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya kepada Allah penulis berserah diri. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, Amin.

Medan, Desember 2008 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

KATA

PENGHANTAR...i

DAFTAR ISI ...iv

DAFTAR TABEL...viii

DAFTAR BAGAN... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Perumusan Masalah ...9

C. Tujuan Penelitian ...10

D. Manfaat Penelitian...10

E. Sistematika Penulisan ...11

BAB II LANDASAN TEORI A. Stroke ...14

1. Defenisi Stroke...14

2. Klasifikasi Stroke...16

3. Faktor Resiko Stroke...18

B. Penderita Kelumpuhan Pascastroke...20

1. Defenisi Penderita kelumpuhan Pascastroke...20

2. Gejala dan Tanda yang Diakibatkan oleh Stroke...21

3. Masalah Psikologis Pascastroke...23

(8)

1. Defenisi Stres...25

2. Fase dalam Stres...26

3. Reaksi- Reaksi Terhadap Stres...28

D. Coping...29

1. Defenisi Coping...29

2. Fungsi Coping...30

3. Metode Coping...30

E. Lanjut Usia ...32

F. Gambaran Coping Stres pada Lansia Penderita Kelumpuhan Pascastroke... ..33

G. Paradigma Penelitian………..42

BAB III METODE PENELITIAN A. Penelitian Kualitatif...43

B. Responden Penelitian...44

1. Karateristik Responden Penelitian...44

2. Jumlah Responden Penelitian……….45

3. Prosedur Pengambilan Responde……….45

4. Lokasi Penelitian………..45

(9)

1. Wawancara………. ..46

2. Observasi………

..48

D. Alat Bantu Pengambilan

Data………....49 1. Pedoman

Wawancara………...49

2. Alat Perekam (Tape

Recorder)...50

3. Lembar

Observasi...51

E. Kreadibilitas dan Validitas

Penelitian...51 F. Prosedur

Penelitian……….53 1. Tahap

Pralapangan...54

2. Tahap Pelaksanaan

Penelitian...55

3. Tahap Pencatatan

Data……….56

4. Prosedur Analisa

Data...56

5. Kendala yang Dijumpai pada Saat

Penelitian...59

BAB IV HASIL ANALISA DATA A. Partisipan

(10)

1. Analisa

Data……….60

a. Identitas Diri

Partisipan………..60

b. Deskripsi Data

Partisipan………60

2. Observasi Umum

Parisipan………..62

3. Data Wawancara

Partisipan………..65

a. Gambaran Penyebab Stroke yang

Diderita………..65

b. Gambaran Gejala Fisik dan Masalah Psikologis pada Pertisipan……… ….66

c. Gambaran Coping Stres

Partisipan………..69

4. Pembahasan Data

partisipan……….74 B. Partisipan II83

1. Analisa

(11)

a. Identitas Diri Partisipan………...83

b. Deskripsi Data

Partisipan………83

2. Observasi Umum

Parisipan………..84

3. Data Wawancara

Partisipan……….87

a. Gambaran Penyebab Stroke yang

Diderita………..87

b. Gambaran Gejala Fisik dan Masalah Psikologis pada Pertisipan……… ….88

c. Gambaran Coping Stres

Partisipan………..90

4. Pembahasan Data

partisipan……….94

C. Analisa Data Antar

Partisipan………..104

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN A. Kesimpulan

(12)

B. Diskusi……….. 115

C. Saran……….

121 DAFTAR

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan I 60

(14)

Gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke Sofyawati Nasution dan Hasnida, M.Si.,psikolog

ABSTRAK

Sebahagian besar penderita stroke adalah lansia (Junaidi, 2004). Stroke dapat mengakibatkan kematian dan juga kelumpuhan bagi individu, sehingga hal ini dapat berdampak kepada fisik dan psikologis penderita stroke tersebut (Junaidi, 2004). Penderita pascastroke menghadapi banyak masalah fisik yang disertai dengan tekanan psikologis. Hal ini mengakibatkan penderita kelumpuhan pascastroke mengalami stres, bahkan apabila tidak tidak di tangani dengan tepat akan menjadi depresi (Valery Feign, 2006). Oleh karena itu diperlukan coping tepat, karena menurut Hadriani (2000) Untuk mengindari dampak stres bagi penderita penyakit kronis maka diperlukan coping stres yang tepat agar tidak memperparah kondisi kesehatan penderita penyakit kronis. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang coping yang digunakan pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif supaya dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan partisipan. Karateristik partisipan adalah pria ataupun wanita penderita kelumpuhan pascastroke yang berumur 60 tahun keatas berdomisili di Medan dan masih bisa melakukan komunikasi dengan baik. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data dilakukan dalam penelitian adalah wawancara mendalam (in depth interviewing) dan observasi saat wawancara berlangsung.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa ketika seseorang terkena stroke maka individu tersebut akan mengalami stres. Oleh karena itu penderita kelumpuhan pascastroke memerlukan coping yang tepat untuk mengatasi stres mereka. Coping yang digunakan oleh partispan I dalam penelitian ini hanya efektif sementara waktu untuk mengatasi stres akibat kelumpuhan pascastroke sementara coping yang digunakan oleh partisipan II efektif untuk mengatasi stres akibat kelumpuhan pascastroke.

Saran penelitian bagi penderita kelumpuhan pascastroke supaya dapat menerima kondisinya dan dapat mengatasi stres yang mereka alami dengan cara menggunakan metode coping yang tepat, bagi keluarga, yayasan ataupun praktisi kesehatan yang menangani penderita kelumpuhan pascastroke serta masyarakat luas perlu memberikan dukungan yang tepat yang dibutuhkan oleh penderita kelumpuhan pascastroke agar mereka dapat mengurangi stresnya.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

(16)

Shimberg (1998) menyatakan bahwa stroke merupakan penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan

otak (infark serebral), hal tersebut terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak atau keadaan di mana sel-sel otak mengalami kerusakan, karena tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup. Hal ini sejalan dengan dengan pernyataan Sutrisno (2007) yang mengungkapkan bahwa stroke adalah gangguan saraf yang menetap, yang diakibatkan oleh kerusakan pembuluh darah di otak, yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih. Serangannya berlangsung selama 15-20 menit. Berat ringannya dampak serangan stroke tersebut sangat bervariasi, tergantung pada lokasi dan luas daerah otak yang rusak. Bila aliran darah terputus hanya pada area yang kecil atau terjadi pada daerah otak yang tidak rawan, efeknya ringan dan berlangsung sementara. Sebaliknya, bila aliran darah terputus pada daerah yang luas atau pada bagian otak yang vital, terjadi kelumpuhan yang parah sampai pada kematian (Lanny Sustrani,dkk ,2004). Sarafino (2006) menambahkan bahwa stroke merupakan salah satu penyakit kronis utama yang menyebabkan kelumpuhan.

(17)

Stroke dapat berupa iskemik dan juga dapat berupa haemoragik. Pada

stroke iskemik, aliran darak ke otak terhenti karena terjadinya bekuan darah yang

telah menyumbat suatu pembuluh darah (aerosklerosis), sedangkan pada stroke haemoragik terjadi karena pecahnya pembuluh darah, sehingga peredaran darah

menjadi tidak normal, karena darah merembes masuk ke otak dan merusaknya (Junaidi, 2004). Stroke haemoragik memiliki dampak yang sangat berbahaya karena biasanya menyebabkan kondisi yang fatal yaitu kematian (Sarafino, 2006).

Menurut Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, stroke menyebabkan kematian dan kecacatan utama di Indonesia. Diperkirakan insiden stroke cenderung meningkat seiring meningkatnya penyakit yang merupakan

faktor resiko stroke, seperti penyakit kencing manis, hipertensi dan jantung. Faktor resiko lainnya yang mengakibatkan stroke adalah stres, penyalahgunaan narkoba, alkohol, faktor keturunan, dan gaya hidup yang tidak sehat.

Jenis kelamin memiliki peranan terhadap resiko stroke, dan laki-laki memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terserang stroke (Shaffer, 2002). Perbandingan jenis kelamin akan resiko stroke antara laki-laki daripada perempuan adalah 1,3:1. Stroke dapat menyerang semua usia termasuk anak-anak, namun sebahagian besar kasus dijumpai pada orang-orang yang berusia di atas 40 tahun, karena semakin tua umur seseorang, maka resiko terjangkit stroke semakin besar (Sutrisno, 2007). Hampir 75 % dari penderita stroke adalah individu dengan usia 65 tahun lebih (Shaffer, 2002).

(18)

kemungkinan yang sangat besar mengalami kelumpuhan, seperti mati rasa sebelah badan, sulit untuk berbicara dengan orang lain, mulut mencong (facial drop), lengan yang lemah, kaki lemah (arm drift), gangguan koordinasi tubuh dan penderita pascastroke yang parah biasanya hanya bisa di tempat tidur maupun di kursi roda (Junaidi, 2004). Hal ini sejalan dengan pernyataan Lanny Sustrani,dkk (2004) yang mengungkapkan bahwa dampak stroke adalah kelumpuhan, perubahan mental, gangguan komunikasi, gangguan emosional dan kehilangan indera rasa.

Sarafino (2006) mengungkapkan bahwa selain kelumpuhan, individu penderita stroke juga mengalami penurunan fungsi kognitif-bahasa, memori dan persepsi. Gangguan bahasa yang umum terjadi pada penderita pascastroke adalah aphasia yaitu kesulitan memahami atau menggunakan kata-kata. Selain itu terjadi

pula gangguan pengelihatan pada penderita pascastroke yang disebabkan oleh otak kanan yang disebut dengan visual neglect dimana pasien gagal memproses informasi pada pengelihatan disebalah kiri sebagai contoh , mereka tidak bisa memesan makanan pada menu bagian kiri, atau tanda pengurangan (-) pada tugas hitungan (Lanny Sustrani,dkk, 2004).

(19)

dilihat dari penuturan salah seorang penderita kelumpuhan pascastroke yang bernama Bapak M, (inisial) :

“...Dulu ompung masih bisa ngapain sendiri aja. Makan juga sendiri. Dulu juga ompung masih bisa ikutan acara rapat-rapat untuk veteran digedung 45 itu. Ompung juga dulu masih bisa nyupir mobil sendiri. Pergi kemama-mana sendiri. Nggak pakai tongkat kayak sekarang. Pokoknya sebelum kena stroke ompung nggak pernah sakit-sakit kaki. Encok aja ompung ngga pernah. Cuma penyekit ompung ya... Cuma satu itu. Cuma darah tinggi. Itu yang buat ompung stroke sekarang ini....”

(Komunikasi Personal,21 Maret 2008)

Setelah mereka terkena stroke aktivitas-aktivitas pribadinya tidak dapat mereka lakukan sendiri. Mereka membutuhkan bantuan orang lain untuk membantu mereka melaksanakan aktivitas- akitivitas pribadinya. Hal ini terjadi karena kelumpuhan dari organ tubuh mereka. Hal ini dapat dilihat dari penuturan salah seorang penderita kelumpuhan pascastroke:

”...Nggak bisa makan sendiri, mandi juga harus dimandikan. Kalo mau kekamar mandi untuk buang air ya.. harus dibantuin.Tapi kalo udah sesak buang air kadang ompung buang aja ditempat tidur. Abis kaki ompung lemas kalo harus cepat-cepat. Ompung aja jalan udah nggak bisa. Ompung jalan harus pake kursi roda. Sedih lihat ompung sekarang nggak bisa apa-apa. Nggak kayak dulu. Pengen ompung sehat lagi kayak dulu...”

(Komunikasi Personal, 9 Maret 2008) Penyakit stroke tidak hanya berdampak buruk pada kondisi fisik penderita pascastroke, tetapi juga berdampak bagi perkembangan psikologisnya.

Penderitaan yang dialami oleh individu pascastroke disebabkan karena stroke merupakan penyakit kronis yang dapat mengakibatkan kelumpuhan total, bahkan kematian (terminal illness) (Sarafino, 1998).

(20)

penghindaran dari kontak lingkungan (avoidance), dan menyangkal keberadaan masalah kesehatan yang dideritanya (Sarafino, 1998).

Shimberg (1990) mengungkapkan bahwa penderita kelumpuhan pascastroke sering merasa rendah diri, perasaan ini merupakan suatu reaksi

emosional terhadap kemunduran kualitas keberadaan mereka. Selain penderita kelumpuhan pascastroke sering marah-marah, dan memperlihatkan sikap yang mengingkar, penderita juga mengalami kelabilan emosi yang merupakan gejala yang aneh, terkadang penderita stroke tertawa atau menangis tanpa ada alasan yang jelas.

Penderita pascastroke menghadapi banyak masalah fisik yang disertai dengan tekanan psikologis. Hal ini mengakibatkan penderita kelumpuhan pascastroke mengalami penderitaan (suffering) (Astrom et al 1993). Penderitaan

yang dialami oleh individu dapat mengakibatkan stres, menimbulkan perasaan-perasaan kecewa, tertekan, susah, sedih, cemas, marah, malu, terhina, rendah diri, putus asa, hampa, tidak bermakna, serta penghayatan-penghayatan tidak menyenangkan lainnya (Bastaman, 1996).

(21)

mengalami stres maka akan terganggu keadaan fisik, emosi, dan perilakunya. Dalam keadaan stres individu akan merasa tegang, tidak mampu berpikir rasional, sehingga menjadi mudah sedih, cemas, bahkan depresi (Kumolohadi, 2001). Akibatnya akan memperburuk kondisi kesehatan penderita penyakit kronis (Hadriani,dkk,2000).

Pada studi kasus pada penderita stroke berat yang diteliti oleh Setiadarma & Supeli (2004) menemukan bahwa reaksi emosional negatif yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke, seperti rasa sedih dan rasa murung yang berkepanjangan dapat menyebabkan depresi. Hal ini senada dengan pernyataan Ouimet et al. (2001) yang mengungkapkan bahwa depresi yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima diri sendiri. Penderita yang tidak dapat menerima diri sendiri akan merasa dirinya tidak berarti, tidak berguna, sehingga akan semakin merasa terasing, dan terkucil dari lingkungannya. Hal ini dapat terlihat dari penuturan salah seorang penderita kelumpuhan pascastroke:

“…… Ompung selalu berdoa supaya Allah cepat ngambil nyawa ompung aja. Ompung udah nggak kuat lagi. Bagus ompung mati aja. Kadang ompung mau bunh diri aja biar cepet mati. Ompung udah ngga bisa jalan lagi, jadi kalo kayak gitu mendingan mati aja. Udah diobati kemana aja ngga sembuh juga. Jadi bagusnya mati aja biar ngga ngerepotin siapapun……...”

(Komunikasi Personal, 10 Juni 2008) Oleh sebab itu, penderita kelumpuhan pascastroke perlu melakukan coping stres yang tepat agar penderita kelumpuhan pascastroke tidak menjadi

(22)

menyesuaikan diri terhadap penyakitnya . Oleh karena itu coping stres diperlukan oleh para penderita penyakit kronis agar dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang terjadi.

Coping adalah proses dimana orang berusaha untuk mengatur kesenjangan

yang ada atau muncul antara tuntutan dan sumber yang dimiliki didalam suatu situasi yang penuh tekanan ( dalam Sarafino, 2006). Menurut Richard Lazzarus & Folkman (dalam Taylor, 2003) ada dua fungsi coping yaitu emotion-focused coping dan problem-focused coping . Emotion-Focused Coping yaitu coping yang

bertujuan untuk mengontrol respon emosional dari masalah yang dihadapi. Sedangkan problem-focused coping yaitu coping bertujuan untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang menekan atau memperluas sumber yang dimiliki untuk menutupi tuntutannya. Agar mendapatkan coping stres yang diperlukan oleh karena itu para penderita kelumpuhan pascastroke harus memilih metode coping apa yang mereka butuhkan untuk dapat menangani stres mereka agar tidak menjadi depresi. Taylor (2003) mengatakan bahwa metode coping yang digunakan berdasarkan fungsi coping yaitu metode coping yang berorientasi kepada problem-focused yaitu plainful problem solving, confrontative, seeking social support, direct action, dan yang berorientasi kepada emotion focused yaitu

distancing, escape/avoidance, self Control, accepting responsibility, positive

reappraisal, acceptance, religion, denial, cognitive redefinition, emotional

discharge, intrusive troughts.

(23)

akan efektif. Mereka cenderung lebih sering menggunakan coping yang berorientasi pada emosi, karena coping yang berorientasi pada emosi akan lebih efektif dibandingkan dengan coping yang berorientasi pada masalah untuk menghindari stres akibat penyakit kronis seperti stroke (Hadriani,dkk,2000).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi fisik dan psikologis yang diamati oleh penderita kelumpuhan pascastroke dapat menyebabkan individu mengalami penderitaan. Terkait dengan fenomena di atas bahwa jika individu mengalami suatu penderitaan akan menyebabkan stres. Oleh karena itu penderita kelumpuhan pascastroke harus melakukan coping dengan memilih metode coping yang tepat. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran coping stres yang digunakan oleh lansia penderita kelumpuhan pascastroke.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke. Proses tersebut dilihat dari :

1. Bagaimanakah kondisi fisik, kondisi psikologis dan stres yang dialami penderita kelumpuhan pascastroke saat awal terserang stroke?

(24)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke. Hal ini penting untuk diketahui, mengingat pentingnya melakukan coping stres secara tepat bagi penderita kelumpuhan pascastroke khususnya bagi kesehatan fisik dan psikologisnya.

D.Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan ada dua manfaat yang dapat diambil, diantaranya yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan memperkaya khasanah kajian psikologi, khususnya di bidang Psikologi Klinis mengenai coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan ataupun sumbangsih informasi kepada penderita kelumpuhan pascastroke untuk mengatasi masalah yang dihadapinya yang

(25)

b. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi bagi keluarga, masyarakat, lembaga-lembaga, praktisi kesehatan, yayasan-yayasan yang menangani penderita kelumpuhan pascastroke agar dapat memberikan dukungan sosial yang

dibutuhkan penderita kelumpuhan pascastroke sehingga mereka dapat menerima kondisinya dan mampu mengatasi stres mereka.

c. Sebagai wacana/pengetahuan ataupun data empiris mengenai coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke,

selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau acuan bagi peneliti selanjutnya.

E. Sistematika Penulisan

Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan teori:

(26)

penderita kelumpuhan pascastroke, termasuk defenisi, gejala dan tanda yang diakibatkan oleh stroke, dan

masalah psikologis pascastroke. Teori stres, termasuk defenisi, fase dalam stres dan reaksi-reaksi terhadap stres. Teori mengenai coping stres, termasuk defenisi, fungsi, dan metode coping stres dan paradigma penelitian.

BAB III : Metode Penelitian

Dalam bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif; responden penelitian yang terdiri dari karateristik responden, jumlah responden, prosedur pengambilan responden, serta lokasi penelitian; teknik pengumpulan data; alat bantu pengumpulan data; kredibilitas dan validitas penelitian serta prosedur penelitian.

BAB IV : Hasil Analisa Data

(27)

BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Stroke

1. Defenisi Stroke

Stroke didefenisikan kondisi dimana terjadinya kerusakan pada senahagian

otak disebabkan karena pembuluh darah yang tersumbat sehingga oksigen tidak terpenuhi dengan baik. Penyakit stroke merupakan penyebab kematian utama di dunia dan dapat menyebabkan kematian, kelumpuhan, gangguan bicara, menurunkan kesadaran dan banyak akibat lainnya. Penyakit stroke ini dapat terjadi karena gangguan penyakit seperti jantung, diabetes mellitus dan hipertensi (Sarafino, 2006).

Dr. Alfred Sutrisno Sp.BS (2007) seorang dokter saraf dan staf senior di University of Auckland mengatakan bahwa stroke merupakan gangguan saraf yang menetap, yang diakibatkan oleh kerusakan pembuluh darah di otak, yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih.

Lanny Sustrani, Syamsir Alam, Iwan Hadibroto (2004) mengatakan bahwa berdasarkan istilah awam stroke adalah serangan otak yang terjadi secara tiba-tiba dengan akibat kematian atau kelumpuhan sebelah bagian tubuh. Secara sederhana stroke terjadi jika aliran darah ke otak terputus. Otak kita tergantung pada pasokan

(29)

sedikit atau banyak akan terjadi kerusakan pada otak yang tidak dapat diperbaiki (infark otak). Dampaknya adalah fungsi kontrol bagian tubuh oleh daerah otak

yang terkena stroke itu akan hilang atau mengalami gangguan dan dapat mengakibatkan kematian. Berat atau ringannya dampak serangan stroke tersebut sangat bervariasi, tergantung pada lokasi dan luas daerah otak yang rusak Bila aliran darah terputus hanya pada area yang kecil atau terjadi pada daerah otak yang tidak rawan, efeknya ringandan berlangsung sementara. Sebaliknya, bila aliran darah terputus pada daerah yang luas atau bagian otak vital, terjadi kelumpuhan yang parah sampai pada kematian.

Shimberg (1998) menyatakan bahwa stroke merupakan penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan

otak (infark serebral), hal tersebut terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak atau keadaan di mana sel-sel otak mengalami kerusakan, karena tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup.

(30)

Berdasarkan defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa stroke adalah gangguan saraf yang diakibatkan oleh kerusakan pembuluh darah di otak, yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih yang mengakibatkan aliran darah ke otak mengalami gangguan sehingga nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan tidak terpenuhi dengan baik. Peneliti memasukkan teori defenisi stroke, sebagai tambahan informasi kepada pembaca, agar mengetahui tentang penyakit stroke. 2. Klasifikasi Stroke

Menurut Prof. S.M. Lumbantobing, ahli saraf pada fakultas kedokteran UI (2001) menyatakan bahwa secara umum stroke dapat terbagi atas dua bagian yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke dapat diklasifikasikan dengan

beberapa jenis dari kedua bagian besar stroke tersebut yaitu : a. Stroke Iskemik

Menurut Prof. S.M. Lumbantobing, ahli saraf pada fakultas kedokteran UI (2001), stroke iskemik secara patofisiologis adalah kematian jaringan otak karena pasokan darah yang tidak mencukupi. Stroke iskemik disebabkan penggumpalan darah. penyebab utamanya adalah aterosklerosis pembuluh darah dileher dan kepala.

Stroke iskemik terdiri dari :

1) Stroke Iskemik Trombotik: Stroke jenis ini terjadi karena adanya

penggumpalan pada pembuluh darah ke otak. Ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit ateroklerosis.

2) Stroke Iskemik Embolik: terjadi tidak dipembuluh darah otak,

(31)

terjadi dijantung, sehingga darah tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak.

3) TIA (Transient Ischemic Attack): serangan iskemik sementara.

Gejalanya mirip stroke, tapi hanya terjadi dalam beberapa menit. Tidak sampai berjam- jam. Gejalanya antara lain : wajah pucat, tangan atau kaki – kanan atau kiri- lumpuh. Vertigo (sakit kepala)juga menjadi salah satu gejala, juga disfagia (sulit menelan), lemahnya kedua kaki, mual, dan ataksia (jalan sempoyongan). Lalu pasien juga tak bisa berbicara atau memahami omongan orang, kesulitan melihat dengan satu atau kedua mata, serta hilangnya keseimbangan dan koordinasi.

b. Stroke Hemoragik

Ini jenis stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah diotak atau pembuluh darah otak bocor. Ini bisa terjadi karena tekanan darah ke otak tiba-tiba meninggi, sehingga menekan pembuluh darah.

Stroke hemoragik terdiri dari :

1) Stroke Hemoragik Intraserebral: Pada kasus ini, sebagian besar

(32)

2) Stroke Hemoragik Subaraknoid: Memiliki kesamaan dengan stroke hemoragik intraserebral. Yang membedakannya, stroke ini

dipembuluh darah diluar otak, tapi masih didaerah kepala, seperti di selaput otak bagian bawah otak. Maski tidak didalam otak, perdarahan itu bisa menekan otak. Hal ini terjadi akibat adanya aneurisma yang pecah atau AVM (arteriovenous malformation)

Peneliti memasukkan teori tentang klasifikasi stroke, dikarenakan hal ini memberikan informasi kepada peneliti tentang penyebab dari jenis-jenis stroke yang dialami oleh penderita stroke.

3. Faktor Resiko Stroke

Faktor resiko stroke adalah kelainan atau kondisi yang membuat seseorang rentan terhadap serangan stroke. Faktor resiko stroke umumnya dibagi 2 golongan besar (Junaidi, 2004) :

a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol : 1) Umur

Jika seseorang semakin tua maka kejadian stroke semakin tinggi. Setelah individu berumur 45 tahun maka resiko stroke iskemik meningkat dua kali lipat pada tiap dekade.

2) Ras/ bangsa

(33)

3) Jenis Kelamin

Laki-laki lebih beresiko dibandingkan dengan wanita dengan perbandingan 3 :2. Pada laki-laki cenderung mengalami stroke iskemik sedangkan wanita lebih sering menderita haemoragik dan

kematiannya dua kali lipat di bandingkan dengan laki-laki. 4) Riwayat Keluarga (Orang tua, saudara)

Keluarga yang pernah mengalami stroke pada usia muda, maka anggota keluarga lainnya memiliki resiko tinggi untuk mendapatkan serangan stroke.

b. Faktor resiko yang dapat dikontrol 1) Hipertensi

2) Kencing manis (diabetes mellitus) 3) Alkohol

4) Merokok 5) Stres

Ada beberapa bentuk stres yang dapat menyebabkan seseorang terkena serangan stroke yaitu :

a) Stres psikis seperti mental atau emosional

b) Stres psikis yang dapat berupa aktivitas fisik yang berlebihan.

6. Obesitas/kegemukan

(34)

Peneliti memasukkan teori faktor-faktor yang menyebabkan stroke, mengingat bahwa stroke dapat terjadi karena lebih dari satu faktor yang mengakibatkan kejadian stroke dan faktor-faktor diatas merupakan penyebab kelumpuhan bagi individu pascastroke.

B. Penderita Kelumpuhan Pascastroke

1. Defenisi Penderita kelumpuhan Pascastroke

Pascastroke didefenisikan sebagai keadaan individu setelah mengalami

terjadinya serangan stroke (brain attack). Jika seseorang terkena serangan stroke maka yang terserang adalah bagian otak yang merukana pusat kendali bagi seluruh tubuh. Keadaan yang dialami oleh individu pascastroke akan berdampak pada fisik dan psikologis penderita (Lumbantobing, 2001).

Pascastroke juga merupakan kondisi dimana individu kehilangan kendali

atas bagian-bagian tertentu dalam tubuh serta pikarannya, hampir semua individu pascastroke tidak lagi dapat melakukan gerakan yang sempurna pada bagian

tubuh tertentu dan individu mengalami kemunduran fungsi fisik dan perubahan pada perilakunya. Sering sekali pada pascastroke diberikan program rehabilitasi berlanjut ataupun rawat jalan. Pascastroke mengalami berbagai masalah seperti masalah fisik, mental, seksual, emosional, lingkungan, dan pekerjaan (Idris, 2007).

(35)

kondisi cacat yang dialami penderita. Penderita kelumpuhan pascastroke biasanya menjadi pribadi yang pemurung, putus asa, sedih, mudah tersinggung dan kecewa. Dari defenisi diatas dapat kita simpulkan bahwa penderita kelumpuhan pascastroke adalah kondisi dimana individu setelah terserang stroke yang

mengakibatkan kelumpuhan pada individu yang berdampak pada fisik dan psikologis individu tersebut. Peneliti memasukkan teori defenisi penderita kelumpuhan pascastroke, sebagai tambahan informasi kepada peneliti, agar peneliti mengetahui defenisi penderita kelumpuhan pascastroke dan akibat yang ditimbulkan oleh kelumpuhan pascastroke.

2. Gejala dan Tanda yang Diakibatkan oleh Stroke

Junaidi (2004) menyatakan bahwa stroke mengakibatkan individu mengalami keterbatasan dalam hidupnya. Gangguan fisik tersebut adalah :

a. Adanya serangan defisit neurologis/ kelumpuhan fokal, seperti: hemispares yaitu kelumpuhan pada sebelah badan yang kanan atau kiri

saja.

b. Baal atau mati rasa sebelah badan, sering terasa kesemutan dan terkadang seperti terasa terbakar.

(36)

d. Sulit untuk makan dan menengguk minuman. Fungsi menelan pada penderita pascastroke mengalami penurunan, karena fungsi menelan dikendalikan oleh saraf yang berasal dari kedua hemisfer otak.

e. Mengalami kekakuan ataupun kesulitan ketika berjalan, hal ini diakibatkan kelumpuhan pada penderita pascastroke.

f. Pendengaran yang kurang baik

g. Gerakan tidak terkoordinasi, kehilangan keseimbangan, sempoyongan, atau kehilangan koordinasi sebelah badan.

h. Gangguan kesadaran seperti pingsan bahkan sampai koma

Masalah fisik yang dihadapi oleh penderita kelumpuhan pascastroke sangat berdampak pada aktivitas sehari-hari individu. Keterbatasan yang dialami oleh penderita kelumpuhan pacsastroke akan sangat mempengaruhi kehidupan penderita. Untuk melihat tingkat keparahan kelumpuhan atau kecacatan stroke, berikut ada skala yang digunakan yaitu skala kecacatan stroke (the modified rankin scale):

1) Kecacatan derajat 0

Tidak ada gangguan fungsi. 2) Kecacatan derajat 1.

Hampir tidak ada gangguan fungsi pada aktivitas sehari-hari atau gangguan minimal. Pasien mampu melakukan tugas dan kewajiban sehari-hari.

(37)

Pasien tidak mampu melakukan beberapa aktivitas seperti sebelumnya, tetapi tetap dapat melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.

4) Kecacatan derajat 3 (Sedang)

Pasien memerlukan bantuan orang lain, tetapi masih mampu berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain, walaupun mungkin membutuhkan tongkat.

5) Kecacatan derajat 4 (Sedang)

Pasien tidak dapat berjalan tanpa bantuan orang lain, perlu bantuan orang lain untuk menyelesiakan sebagian aktivitas diri seperti mandi, pergi ketoilet, merias diri, dan lain-lain.

6) Kecacatan derajat 5 (Berat)

pasien terpaksa terbaring ditempat tidur dan kegiatan buang air dan besar dan kecil tidak terasa (inkotinesia), memerlukan perawatan dan perhatian.

Peneliti memasukkan skala kecacatan stroke tersebut mengingat bahwa asumsi peneliti yang menganggap bahwa tingkat keparahan dari kelumpuhan yang dialami oleh penderita pascastroke akan berdampak pada penyesuaian individu tersebut.

3. Masalah Psikologis Pascastroke

(38)

disebabkan sesuatu yang dialami tidak pernah diduga sebelumnya. Shimberg (1998) menyatakan bahwa penyakit stroke dapat mempengaruhi psikologis penderita pascastroke, ada beberapa masalah psikologis yang dirasakan oleh penderita pascastroke yaitu :

a. Kemarahan

Kebanyakan penderita stroke, mengekspresikan amarahnya adalah hal yang sulit bahkan seringkali merasa tidak mau patuh, melawan perawat, dokter dan ahli terapinya. Mereka juga bisa memaki-maki dengan kata-kata yang menyakitkan dan memukul secara fisik. Penderita juga sering memiliki amarah yang meledak-ledak.

b. Isolasi

Penderita kelumpuhan akibat stroke dapat mengakibatkan individu melakukan penarikan diri terhadap lingkungan, karena perasaan mereka sering terluka karena sering tidak diperdulikan oleh orang lain. Sering sekali teman-teman mereka meninggalkan mereka sendirian karena tidak

tahu bagaimana harus bereaksi dengan penderita kelumpuhan tersebut.

c. Kelabilan Emosi

(39)

d. Kecemasan Yang Berlebihan

Sebahagian penderita mungkin memperlihatkan rasa ketakutannya ketika keluar rumah, keadaan ini dinamakan agorafobia. Hal ini terjadi karena mereka merasa malu ketika bertemu dengan orang lain, sekalipun dengan teman lamanya. Perasaan malu ini mungkin timbul akibat adanya gangguan pada kemampuan bicara dan kelumpuhannya.

e. Depresi

Depresi adalah perasaan marah yang berlangsung di dalam batin, bebrapa depresi tidak hanya bersifat reaktif, tetapi penderita kelumpuhan pascastroke akan bereaksi terhadap semua kehilangannya dan merasa putus asa. Gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering dikaitkan dengan stroke.

Berbagai reaksi yang dapat terjadi pada penderita kelumpuhan pascastroke dapat mengakibatkan masalah psikologis bagi penderita. Peneliti memasukka teori ini mengingat bahwa masalah psikologis yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke dapat menyebabkan individu mengalami penderitaan sehingga dapat

menimbulkan stres.

C. Stres

1. Defenisi Stres

(40)

nonspesifik membantu tubuh menyesuaikan diri dan kembali pada keadaannya yang normal yang disebut homeostatis. Stres mengaktifkan sistem syaraf simpatik dan sistem neurohormonal yang kompleks yang disebut hypothalamic-pituitary-adrenocortical axis untuk mempersiapkan individu itu untuk berjuang atau lari

dari masalah.

Stres juga diterangkan sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindikaskan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan pada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya. Menurut Lazzarus (dalam Kumolohadi, 2001) stres terjadi ketika seseorang individu dihadapkan dengan situasi yang dinilai sebagai yang mengancam secara pribadi dan dimana sumber-sumber penanganan yang adekuat tidak tersedia.

Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu respon dari organisme yang mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis individu dihadapkan dengan sutuasi yang dinilai mengancam secara pribadi sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatannya. Peneliti memasukkan teori defenisi stres, sebagai tambahan informasi kepada pembaca mengenai stres

2. Fase dalam Stres

Ada tiga fase dalam stres (Kumolohadi ,2001) yaitu :

(41)

seperti jantungnya berdegup kencang,keluar keringat dingin,muka pucat, leher tegang,nadi bergerak cepat dan sebagainya. Fase ini dengan mudah dapat dikenali, fase ini merupakan pertanda awal seseorang terkena stres. Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa individu yang berada pada fase ini akan menunjukkan reaksi fisiologis dan fase ini merupakan tanda awal seseorang terkena stres.

2. Fase Perlawanan yaitu tubuh membuat mekanisme perlawanan terhadap stres, sebab pada tingkat tertentu, stres akan membahayakan. Tubuh dapat mengalami disfungsi, bila stres dibiarkan berlarut-larut. Selama masa perlawanan tersebut, tubuh harus cukup tersuplai oleh gizi yang seimbang, karena tubuh sedang melakukan kerja keras.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa bahwa individu yang berada pada fase ini akan melawan stres agar tidak membahayakan. 3. Fase Keletihan yaitu fase disaat orang sudah tak mampu lagi melakukan

perlawanan. Akibat yang parah bila seseorang sampai pada fase ini adalah bagian-bagian tubuh yang lemah seperti dapat terserang penyakit jantung koroner, kalau lambungnya lemah dapat terkena maag atau bahkan tukak lambung dan sebagianya.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa individu yang berada pada fase ini akan cenderung pasrah terhadap stres.

(42)

3. Reaksi- Reaksi Terhadap Stres

Reaksi- reaksi seseorang terhadap stres dapat dikategorikan dalam tiga bentuk deviasi (Kumolohadi, 2001) yaitu :

1. Deviasi Fisiologis yaitu stres berdampak secara fisik yaitu mempengaruhi kesehatan. Stres telah dilibatkan sebagai sebuah faktor dalam masalah-masalah.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa menurut deviasi ini stres akan berdampak kepada masalah kesehatan individu yang terkena stres. 2. Deviasi Perilaku yaitu stres dapat terlihat dari perilaku, yaitu cenderung

untuk makan berlebihan atau tidak mau makan sama sekali, tidak dapat tidur (insomnia), banyak mengkonsumsi rokok dan minuman keras atau memakai obat-obat terlarang.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa menurut deviasi ini stres akan berdampak kepada masalah perilaku orang yang terkena stres.

(43)

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa menurut deviasi ini stres akan berdampak kepada masalah psikologis orang yang terkena stres. Peneliti memasukkan teori reaksi–reaksi terhadap stres karena reaksi penderita terhadap stres yang dialami akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis penderita kelumpuhan pascastroke .

D. Coping

1. Defenisi Coping

Coping adalah proses dimana orang berusaha untuk mengatur kesenjangan

yang ada atau muncul antara tuntutan dan sumber yang dimiliki didalam suatu situasi yang penuh tekanan. Proses coping bukanlah suatu proses tunggal, karena melibatkan transaksi terus-menerus dengan lingkungan. Proses tersebut dilihat sebagai suatu rangkaian yang dinamis dan berkelanjutan antara appraisal dan reapraisal antara seseorang dengan lingkungan (Sarafino, 2006).

Menurut Suls dan Fletcher (dalam Rice,1992) menyatakan bahwa perilaku coping mungkin bersifat positif atau negatif, aktif atau menghindar, secara

langsung atau tidak langsung. Hal ini mencakup mencari pertolongan, mencari informasi atau perhatian yang menyenangkan

(44)

2. Fungsi Coping

Menurut Richard Lazzarus & Folkman (dalam Taylor, 2003) ada dua fungsi coping yaitu:

1. Emotion-Focused Coping yaitu coping yang bertujuan untuk mengontrol

respon emosional dari masalah yang dihadapi. Coping ini biasanya dilakukan melalui pendekatan perilaku atau kognitif. Strategi coping ini biasanya digunakan ketika seseorang yakin bahwa mereka tidak dapat apa-apa untuk merubah lingkungan. Biasanya strategi coping ini digunakan untuk penghindaran masalah.

2. Problem-Focused Coping yaitu coping bertujuan untuk mengurangi

tuntutan dari situasi yang menekan atau memperluas sumber yang dimiliki untuk menutupi tuntutannya. Biasanya digunakan ketika seseorang yakin bahwa tuntutan atau sumber yang ada bisa diubah.

Peneliti memasukkan teori fungsi coping dikarenakan metode coping dibagi berdasarkan fungsinya.

3. Metode Coping

Taylor (2003) mengatakan bahwa metode coping terdiri dari:

1. Plainful Problem Solving yaitu coping yang bertujuan sebagai problem

focused, adalah usaha untuk fokus pada masalah dan mencari

pemecahannya.

2. Confrontative adalah coping yang bertujuan sebagai problem focused,

(45)

3. Seeking Social Support adalah coping yang bertujuan sebagai Problem focused, adalah usaha untuk mengatur emosi yang nyaman dan mencari

informasi dari orang lain.

4. Direct Action yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused,

adalah tindakan secara langsung untuk merubah situasi menjadi lebih baik. 5. Distancing adalah coping yang bertujuan sebagai emotion focused, adalah

usaha untuk melepaskan diri dari situasi yang penuh dengan tekanan. 6. Escape/Avoidance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,

adalah usaha untuk meghindar atau lari dari masalah.

7. Self Control yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah yaitu mengatur perasaan atau tindakan seseorang yang berhubungan dengan masalah yang ada.

8. Accepting Responsibility yaitu coping yang bertujuan pada emotion

focused, adalah yaitu berusaha mengambil pengetahuan tentang

peranannya dalam suatu masalah,sambil berusaha membetulkan apa yang salah.

9. Positive Appraisal yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused,

adalah usaha untuk mendapatkan makna yang positif dalam pengalaman dengan fokus pada pertumbuhan diri.

10. Emotional Discharge yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah melibatkan pengekspresian atau pelepasan perasaan

(46)

11. Religion yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk mendapatkan kenyamanan dari agama dan kepercayaan spiritual.

12. Acceptance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk menerima kenyataan mengenai situasi yang terjadi.

13. Cognitive Redefinition yaitu berusaha tetap terlihat baik didalam situasi yang buruk, membuat sesuatu perbandingan dengan orang lain yang lebih rendah, atau melihat sesuatu yang baik yang muncul dari masalah itu. 14. Denial yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha

untuk menolak situasi yang tidak menyenangkan.

15. Intrusive Troughts yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah berpikir berulang-ulang tentang kesalahan orang lain

sehingga muncul masalah tersebut.

Peneliti memasukkan teori metode coping karena peneliti ingin mengetahui metode coping yang digunakan penderita kelumpuhan pascastroke.

E. Lanjut Usia

(47)

Johan E. Prawitasari (1994) cenderung membatasi masa lansia dari umur 65 tahun sampai mati, karena ia beranggapan bahwa usia 55 tahun masih merupakan masa usia tengah baya. Penuaan adalah perubahan yang secara bertahap terjadi pada fungsi fisik dan fungsi perilaku pada usia lanjut (Hoyer, 2003).

Usia lanjut merupakan suatu periode yang dari rentang kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh (Papalia, 2007). Usia lanjut membawa penurunan fisik yang lebih besar dibandingkan periode-periode usia sebelumnya (Santrock, 2002). Ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk memahami usia tua, antara lain (Papalia, 2007) :

1. Primary aging : penuaan merupakan suatu proses penurunan atau

kerusakan fisik yang terjadi secara bertahap dan bersifat inevitable (tidak dapat dihindarkan)

2. Secondary aging : proses penuaan merupakan hasil dari penyakit, abuse, dan disuse pada tubuh yang seringkali lebih dapat dihindari dan dikontrol oleh individu dibandingkan dengan primary aging.

Peneliti memasukkan teori lanjut usia karena peneliti ingin mengetahui coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke.

(48)

atau kesulitan menampilkan kegiatan yang mendasar dalam kehidupan sehari-hari (Mafandadi,Sharzad,Karen,New Soon,Jason,2007). Ada beberapa penyebab kematian pada usia lanjut di Amerika Serikat yaitu kondisi kronis seperti penyakit- penyakit yang tergolong penyakit Terminal Illness yaitu penyakit jantung, stroke, lemahnya pernafasan (Papalia, 2007). Hal ini sejalan dengan yang ada di Indonesia. Penyakit-penyakit yang tergolong dalam terminal illness seperti jantung, stroke, diabetes merupakan faktor utama penyebab kematian di Indonesia (Sutrisno,2006).

Shimberg (1998) menyatakan bahwa stroke merupakan penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan

otak (infark serebral), hal tersebut terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak atau keadaan di mana sel-sel otak mengalami kerusakan, karena tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup. Penyakit stroke merupakan penyebab kematian utama di dunia (Sarafino, 2006). Di Indonesia penyakit stroke menduduki urutan posisi ketiga penyebab kematian setelah jantung dan kanker (Sutrisno ,2007).

Menurut Prof. S.M. Lumbantobing, ahli saraf pada fakultas kedokteran UI (2001) menyatakan bahwa secara umum stroke dapat terbagi atas dua bagian yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke dapat diklasifikasikan dengan

(49)

dari: stroke iskemik trombotik, stroke iskemik embolik dan TIA (Transient Ischemic Attack). Sedangkan stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan

oleh pecahnya pembuluh darah diotak atau pembuluh darah otak bocor. Ini bisa terjadi karena tekanan darah ke otak tiba-tiba meninggi, sehingga menekan pembuluh darah. Stroke hemoragik terdiri dari :stroke hemoragik intraserebral dan stroke hemoragik subaraknoid.

Menurut Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, stroke menyebabkan kematian dan kecacatan utama di Indonesia. Diperkirakan insiden stroke cenderung meningkat seiring meningkatnya penyakit yang merupakan

faktor resiko stroke, seperti penyakit kencing manis, hipertensi dan jantung. Faktor resiko lainnya yang mengakibatkan stroke adalah stres, penyalahgunaan narkoba, alkohol, faktor keturunan, dan gaya hidup yang tidak sehat. Hal ini sesuai dengan penyataan Junaidi (2004) yang mengungkakan bahwa faktor resiko stroke adalah kelainan atau kondisi yang membuat seseorang rentan terhadap

serangan stroke. Faktor resiko stroke umumnya dibagi 2 golongan besar , yaitu: faktor resiko yang tidak dapat dikontrol seperti :umur, ras/ bangsa, jenis kelamin dan riwayat keluarga (orang tua, saudara). Sedangkan faktor resiko yang dapat dikontrol seperti : hipertensi, kencing manis (diabetes mellitus), alkohol, merokok, obesitas/kegemukan, transient ischemic attack (TIA) dan stres.

(50)

Jenis kelamin memiliki peranan terhadap resiko stroke, dan laki-laki memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terserang stroke (Shaffer, 2002). Perbandingan jenis kelamin akan resiko stroke antara laki-laki daripada perempuan adalah 1,3:1 (Sutrisno, 2007).

Stroke dapat menyerang semua usia termasuk anak-anak, namun

sebahagian besar kasus dijumpai pada orang-orang yang berusia di atas 40 tahun, karena semakin tua umur seseorang, maka resiko terjangkit stroke semakin besar (Sutrisno, 2007). Hampir 75 % dari penderita stroke adalah individu dengan usia 65 tahun lebih (Shaffer, 2002). Penyakit serebrovaskuler atau stroke yang menyerang kelompok usia di atas 40 tahun adalah akibat patologi pada sistem pembuluh darah otak, proses ini dapat berupa penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombus (pecahan bekuan dara/plak) atau emboli (udara, lemak), dan pecahnya pembuluh darah otak. Perubahan dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital maupun degeneratif, ataupun bersifat sekunder akibat proses lain seperti peradangan, arteriosklerosis, hipertensi, dan diabetes melitus, oleh karena itu penyebab stroke

sangat kompleks (Misbach, 1997).

Dampak dari stroke sendiri menurut sarafino (2006) adalah menderita kerusakan motor(gerakan), sensory , kogniritf atau gangguan berbicara sebagai kerusakan otak. Sedangkan menurut Lanny Sustrani, dkk (2004) menyatakan bahwa dampak stroke adalah kelumpuhan; perubahan mental seperti agnosia, anosia, ataksia, apraksia,dan distorsi spasial; gangguan komunikasi seperti

(51)

senada dengan penyataan Junaidi (2004) yang menyatakan bahwa stroke mengakibatkan individu mengalami keterbatasan dalam hidupnya. Gangguan fisik tersebut adalah: adanya serangan defisit neurologis/ kelumpuhan fokal, baal atau mati rasa sebelah badan, mulut mencong, sulit untuk makan dan menengguk minuman, mengalami kekakuan ataupun kesulitan ketika berjalan, pendengaran yang kurang baik, gerakan tidak terkoordinasi, dan gangguan kesadaran. Masalah fisik yang dihadapi oleh penderita kelumpuhan pascastroke sangat berdampak pada aktivitas sehari-hari individu. Keterbatasan yang dialami oleh penderita kelumpuhan pacsastroke akan sangat mempengaruhi kehidupan penderita.

Penyakit stroke tidak hanya berdampak buruk pada kondisi fisik penderita pascastroke, tetapi juga berdampak bagi perkembangan psikologisnya. Penderitaan yang dialami oleh individu pascastroke disebabkan karena stroke merupakan penyakit kronis yang dapat mengakibatkan kelumpuhan total, bahkan kematian (terminal illness) (Sarafino, 1998).

Kondisi awal yang menyertai keadaan individu yang memiliki penyakit kronis adalah mengalami shock, putus asa, dan sering sekali menggunakan penghindaran dari kontak lingkungan (avoidance), dan menyangkal keberadaan masalah kesehatan yang dideritanya (Sarafino, 1998).

(52)

Penderita pascastroke menghadapi banyak masalah fisik yang disertai dengan tekanan psikologis. Hal ini mengakibatkan penderita kelumpuhan pascastroke mengalami penderitaan (suffering) (Astrom et al 1993). Penderitaan

yang dialami oleh individu dapat mengakibatkan stres, menimbulkan perasaan-perasaan kecewa, tertekan, susah, sedih, cemas, marah, malu, terhina, rendah diri, putus asa, hampa, tidak bermakna, serta penghayatan-penghayatan tidak menyenangkan lainnya (Bastaman, 1996).

Stres mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan pada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya (Kumolohadi, 2001). Semua stres pada dasarnya selalu menimbulkan dampak. Stres yang merusak (distress) terjadi bila stres itu sendiri dibiarkan berlangsung lama tanpa adanya solusi dan manusia menjadi kelelahan karenanya. Dalam psikologis ada istilah psikofisis pararelism yaitu ketertarikan yang erat (pararel) antara psikis dan fisik. Jika seseorang mengalami stres maka akan terganggu keadaan fisik, emosi, dan perilakunya. Dalam keadaan stres individu akan merasa tegang, tidak mampu berpikir rasional, sehingga menjadi mudah sedih, cemas, bahkan depresi (Kumolohadi, 2001). Akibatnya akan memperburuk kondisi kesehatan penderita penyakit kronis (Hadriani,dkk,, 2000).

Ada tiga fase dalam stres yaitu: fase reaksi yang mengejutkan (alarm reaction), fase perlawanan, fase keletihan. Reaksi- reaksi seseorang terhadap

(53)

Kumolohadi, 2001) mengatakan bahwa gejala yang nampak pada individu yang stres berat adalah mudah marah,mudah cemas,gugup,cepat tersinggung dan merasa bosan.

Pada studi kasus pada penderita stroke berat yang diteliti oleh Setiadarma & Supeli (2004) menemukan bahwa reaksi emosional negatif yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke, seperti rasa sedih dan rasa murung yang berkepanjangan dapat menyebabkan depresi. Hal ini senada dengan pernyataan Ouimet et al. (2001) yang mengungkapkan bahwa depresi yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima diri sendiri. Penderita yang tidak dapat menerima diri sendiri akan merasa dirinya tidak berarti, tidak berguna, sehingga akan semakin merasa terasing, dan terkucil dari lingkungannya.

Oleh sebab itu, penderita kelumpuhan pascastroke perlu melakukan coping stres yang tepat agar penderita kelumpuhan pascastroke tidak menjadi

depresi. Hadriani dan Sri Mulyani Martinah (2000) mengungkapkan bahwa kesehatan fisik erat kaitannya dengan kesejahteraan emosional dan mental seseorang, namun pada kenyataannya tidak semua penderita penyakit kronis dapat menyesuaikan diri terhadap penyakitnya . Oleh karena itu coping stres diperlukan oleh para penderita penyakit kronis agar dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang terjadi.

Coping adalah proses dimana orang berusaha untuk mengatur kesenjangan

(54)

Fletcher (dalam Rice,1992) menyatakan bahwa perilaku coping mungkin bersifat positif atau negatif, aktif atau menghindar, secara langsung atau tidak langsung. Hal ini mencakup mencari pertolongan, mencari informasi atau perhatian yang menyenangkan

Richard Lazzarus & Folkman (dalam Taylor, 2003) menyatakan ada dua fungsi coping yaitu emotion-focused coping dan problem-focused coping . Emotion-Focused Coping yaitu coping yang bertujuan untuk mengontrol respon

emosional dari masalah yang dihadapi. Sedangkan problem-focused coping yaitu coping bertujuan untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang menekan atau

memperluas sumber yang dimiliki untuk menutupi tuntutannya. Agar mendapatkan coping stres yang diperlukan oleh karena itu para penderita kelumpuhan pascastroke harus memilih metode coping apa yang mereka butuhkan untuk dapat menangani stres mereka agar tidak menjadi depresi.

Taylor (2003) mengatakan bahwa metode coping yang digunakan berdasarkan fungsi coping yaitu: plainful problem solving yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah usaha untuk fokus pada masalah dan mencari pemecahannya; confrontative yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah usaha yang agresif untuk mengubah situasi; seeking

social Support yaitu coping yang bertujuan sebagai Problem focused, adalah

usaha untuk mengatur emosi yang nyaman dan mencari informasi dari orang lain; direct action yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah

(55)

melepaskan diri dari situasi yang penuh dengan tekanan; escape/avoidance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused, adalah usaha untuk meghindar

atau lari dari masalah; self control yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah yaitu mengatur perasaan atau tindakan seseorang yang

berhubungan dengan masalah yang ada.; accepting responsibility yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah yaitu berusaha mengambil pengetahuan tentang peranannya dalam suatu masalah,sambil berusaha membetulkan apa yang salah.; positive appraisal yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah usaha untuk mendapatkan makna yang positif dalam pengalaman dengan fokus pada pertumbuhan diri.; emotional discharge yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah melibatkan pengekspresian

atau pelepasan perasaan tentang situasi yang menekan; religion yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk mendapatkan kenyamanan dari agama dan kepercayaan spiritual.; acceptance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk menerima kenyataan mengenai situasi yang terjadi; cognitive redefinition yaitu berusaha tetap terlihat baik didalam situasi yang buruk, membuat sesuatu perbandingan dengan orang lain yang lebih rendah, atau melihat sesuatu yang baik yang muncul dari masalah itu; denial yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk

(56)

G. Paradigma Penelitian

Lansia Penurunan

fungsi tubuh

Contoh penyakit terminal illness adalah stroke

Menimbulkan Stres Diperlukan coping

stres:

- Problem focused - Emotion focused

Sering terkena penyakit yang tergolong kedalam penyakit terminal illness

Metode coping stres: -:plainful problem solving - Confrontative Coping - Seeking Social Support - Direct Action

- Distancing

- Escape Avoidance - Self Control

- Acceptance Responsibility - Positive Appraisal

- Emotional Discharge - Religion

- Acceptance

- Cognitive Redefinition - Denial

(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Penelitian Kualitatif

Pendekatan yang digubakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif untuk mengetahui bagaimana gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke. Hal ini disebabkan karena peneliti berusaha memahami subjek dari kerangka berpikirnya sendiri (Creswell, dalam http;//rumahbelajarpsikologi.com). peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006) mendefenisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya.

(58)

bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

Furchan (1992) mengatakan melalui metode kualitatif kita dapat mengenal orang (subjek) secara pribadi dan melihat mereka mengembangkan defenisi mereka sendiri tentang dunia ini. Kita dapat merasakan apa yang mereka alami dalam pergulatan dengan masyarakat mereka sehari-hari. Kita dapat mempelajari kelompok dan pengalaman yang mungkin belum kita ketahui sama sekali.

B. Responden Penelitian

1. Karateristik Responden Penelitian

Adapun karateristik subjek yang digunakan dalam penelitian telah disesuaikan dengan tujuan penelitian yang akan diteliti adalah :

a. Jenis kelamin pria dan wanita b. Usia 60 tahun keatas

c. Individu mengalami kelumpuhan akibat penyakit stroke yang diderita d. Bisa melakukan komunikasi dengan orang lain. Mengingat dampak stroke

dapat mengakibatkan penderita kelumpuhan pascastroke mengalami gangguan bicara, sehingga hal ini perlu diperhatikan karena metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara. Poerwandari (2001) mengungkapkan dalam wawancara yang merupakan metode utama dalam penelitian kualitatif, diperlukan komunikasi dua arah antara peneliti dan subjek penelitian.

(59)

2. Jumlah Responden Penelitian

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001), penelitian kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah sampel yang harus diambil dalam penelitian kualittatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Jumlah respoden yang akan diambil dalam penelitan ini adalah dua orang.

3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (theory- based/ operational construct sampling). Sampel dipilih berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional dilakukan dengan memilih sampel dengan criteria tertentu, berdasarkan teori atau sesuai dengan tujuan penelitian (Peorwandari, 2001). Kriteria yang telah ditetapkan, yaitu merupakan penderita kelumpuhan pasca stroke, berusia 60 tahun keatas, pria/wanita, dan dapat melakukan komunikasi. Hal ini dilakukan agar sampel benar-benar representative artinya dapat mewakili fenomena yang dipelajari.

4. Lokasi Penelitian

(60)

dikediaman partisipan sementara wawancara kedua dilakukan di Medan tepatnya di kediaman peneliti. Pada partisipan II, wawancara pertama dan ketiga dilakukan di Medan tepatnya di kediaman anak pertama partisipan sementara wawancara kedua dilakukan di Medan tepatnya di rumah partisipan. Lokasi penelitian disesuaikan dengan keinginan dari partisipan penelitian agar partisipan merasa nyaman.

C. Metode Pengambilan Data

Menurut Lofland dan Lofland (dalam Gusfina, 2005) sumber utama dalam penelitian kualitatif ialah kata- kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan ini dapat dicatat melalui perekaman suara atau melalui catatan tertulis, pengambilan foto dan statistika. Pencatatan sumber data utama dapat dilakukan dengan wawancara dan observasi yang merupakan hasil gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya.

Dalam penelitian yang dilakukan, penelitian menggunakan metode pengumpulan data dengan wawancara. Penggunaan metode wawancara dalam penelitian ini beralasan data yang dikumpulkan dari hasil wawancara berupa percakapan antara peneliti dengan subjek yang akan diteliti untuk mengetahui bagaimana gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke.

(61)

Wawancara adalah proses komunikasi interaksional antara dua pihak, dimana paling tidak salah satu pihak memiliki tujuan tertentu dan di dalamnya terdapat pertanyaan dan menjawab pertanyaan (Stewart & Cash, 2000). Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi dengan pendekatan lain (Banister dkk, 1994).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitiab ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001).

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori stroke dari Shinberg (1998) tentang gejala fisik dan psikologis yang dialami oleh pendertita kelumpuhan pascastroke, teori coping stres dari Lazzarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006), Taylor (2003) tentang metode coping stres. Lazaarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa coping adalah proses dimana orang berusaha untuk mengatur kesenjangan yang ada atau muncul antara tuntutan dan sumber yang dimiliki didalam suatu situasi yang penuh tekanan. Menurut Richard Lazzarus & Folkman (dalam Sarafino,2006), ada dua fungsi coping yaitu emotion-focused coping dan problem-focused coping . Taylor (2003)

(62)

yang berorientasi kepada problem-focused yaitu plainful problem solving, confrontative coping, seeking social support, direct action dan yang berorientasi

kepada emotion focused yaitu distancing, escape avoidance, self Control, acceptance responsibility, positive appraisal, denial, intrusive troughts, cognitive

redefinition, acceptance, religion.

Berdasarkan teori-teori inilah, pedomanan wawancara disusun untuk memperoleh data tentang coping stres yang digunakan oleh lansia penderita kelumpuhan pascastroke. Peneliti akan menggali perasaan yang dihadapi penderita kelumpuhan pascastroke akibat kondisi fisik dan psikologis yang dideritanya dan metode coping yang digunakan oleh penderita kelumpuhan pascastroke.

2. Observasi

Patton (dalam Poerwandari, 2001) menegaskan bahwa observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskrpsi harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang tidak relevan (Poerwandari, 2007).

Gambar

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan I
Tabel 4. Gambaran Metode Coping Stres pada Partisipan I
Tabel 5. Gambaran Umum Partisipan II
Tabel 8. Gambaran Metode Coping Stres pada Partisipan II
+3

Referensi

Dokumen terkait

Nama dan tanda tangan Pimpinan / Direktur Utama atau penerima kuasa dari Direktur Utama kepada yg tercantum di dlm akte pendirian/perubahannya atau pejabat yg atau Pejabat yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pupuk organik dan perbandingan pupuk organik dengan tanah serta interaksi keduanya, berpengaruh nyata terhadap pH tanah, C-organik

Sari (Dimsum Putri Resto Banjarmasin) belum cukup baik dikarenakan fasilitas ruang kerja dan peralatan penunjang yang belum memadai, hubungan dengan pimpinan dan

(5) Penjabat Kepala Desa Persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berasal dari unsur Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Daerah untuk masa jabatan paling lama 1

Hasil yang ingin dicapai terhadap rancangan tampilan berbasiskan multimedia ini agar dapat membantu semua pihak yang berkepentingan dengan ITC Kuningan, baik itu pihak

Berdasarkan hasil evaluasi dokumen pemilihan jasa konsultansi pengawasan pembangunan gedung konekting, Rehabilitasi Gedung B dan Rehabilitasi Gedung Arsip/TPP TA 2012

“Pengertian Perjanjian Sewa Menyewa Secara Umum dan.. Pengaturannya

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk fluida kerja udara dengan penambahan ethanol dapat diperoleh torsi, daya dan efisiensi yang maksimum masing-masing sebesar