• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Penjualan Dibawah Tangan Atas Jaminan Fidusia Di Perum Pegadaian CAB. Tanjung Morawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Penjualan Dibawah Tangan Atas Jaminan Fidusia Di Perum Pegadaian CAB. Tanjung Morawa"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH MELALUI PENJUALAN DIBAWAH TANGAN ATAS JAMINAN FIDUSIA DIPERUM

PEGADAIAN CABANG TANJUNG MORAWA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

M.SYAHRIL ICHLAS NIM:060200207

DEPARTEMEN: Hukum Perdata Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

SKRIPSI

PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH MELALUI PENJUALAN DIBAWAH TANGAN ATAS JAMINAN FIDUSIA DIPERUM

PEGADAIAN CAB. TANJUNG MORAWA

Disusun Oleh: M.SYAHRIL ICHLAS

NIM. 060200207

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk mencapai Gelar Sarjana Hukum

Ketua Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang

NIP.196603031985081001 Ir.Hasim Purba. SH.M.Hum)

Dosen Pembimbing I Dosen pembimbing II

(Edv Ikhsan. SH.MA) (Rosnidar Sembiring. SH.M.Hum) NIP.196302161988031002 NIP.196602021991032002

FAKULTAS HUKUM

UNTVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAK

Pihak Pegadaian dalam memberikan kredit atau meminjamkan modal

tentunya mensyaratkan adanya jaminan bagi pemberian kredit tersebut sebagai

pengamanan dan kepastian akan kredit yang diberikan tersebut, karena tanpa

adanya pengamanan pihak Pegadaian akan sulit menghindari resiko yang terjadi

sebagai akibat kreditur yang wanprestasi. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada di bidang Hukum Jaminan

Khususnya mengenai proses penyelesaian kredit bermasalah melalui penjualan di

bawah tangan yang dijamin dengan jaminan fidusia pada Perum Pegadaian Cab.

Tanjung Morawa dan hambatan-hambatan yang muncul dalam penyelesaian

kredit bermasalah melalui penjualan di bawah tangan yang dijamin dengan

jaminan fidusia pada Perum Pegadaian cab. Tanjung Morawa.

Penelitian ini menggunakan metode normatif Empiris yaitu dengan

menggunakan meneliti data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data

yang diperoleh langsung dari lapangan dengan menggunakan wawancara, serta

data sekunder adalah berupa studi kepustakaan. Analisa data yang digunakan

adalah analisis kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif.

Hasil penelitian yang diperoleh: 1) Berdasarkan hasil penelitian dalam

menyelesaikan kredit bermasalah apabila pemberi fidusia tersebut cidera janji,

pihak Pegadaian Cabang Tanjung Morawa melakukan penjualan di bawah tangan

melalui debitor tetapi tetap dalam pengawasan dari pihak Pegadaian. 2) Dalam

menyelesaikan kredit bermaslah yg dijamin dengan jaminan fidusia dengan

instrumen eksekusi dibawah tangan, ditemukan beberapa kendala seperti: a).

Keberatan debitur terhadap eksekusi jaminan fidusia seringkali ditemui kendala

perlawanan dari debitur yang keberatan fidusianya ditarik. b). Keberatan debitur

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas anugerah dan

karunia-NYA lab. masih diberikan kesehatan dan kemampuan untuk menjalani

perkuliahan sampai pada menyelesaikan skripsi pada Program Kekhususan

Dagang di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini.

Skripsi ini berjudul "PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH

MELALUI PENJUALAN DIBAWAH TANGAN ATAS JAMINAN FIDUSIA

DI PERUM PEGADAIAN CAB. TANJUNG MORAWA"

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih

sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tuayang sangat dihormati yang senantiasa membimbing, memperhatikan dan menyediakan segala apa yang diperlukan dalam segala

hal sampai saat ini.

2. Bapak Prof. Dr.Runrung Sitepu, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum selaku Ketua Bagian Departemen

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Edy Ikhsan, SH.MA selaku Dosen pembimbing I dan Ibu Rosnidar

Sembiring, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II

5. Bapak dan Ibu dosen serta seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan

adminitrasi mahasiswa selama ini.

6. Seluruh staf dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

7. Teman-teman yang merupakan teman akrab yang tidak pernah merasa

lelah dalam memberikan dukungannya.

Medan, Juli 2012 1

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. LatarBelakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 7

D. Keaslian ... 8

E. TinjauanPustaka ... 8

F. Metode Penelitian ... 12

BAB II: TINJAUAN TERHADAP LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA A. SejarahdanPengertianLembagaJaminanFidusia ... 17

B. Ciri-Ciri Lembaga Fidusia ... 36

C. Objekdan Subjek Lembaga Jaminan Fidusia ... 37

D. Proses terjadinya Lembaga Jaminan Fidusia ... 40

E. Hapusnya Lembaga Jaminan Fidusia ... 44

F. Eksekusi Lembaga Jaminan Fidusia... 46

BAB III: KREDIT BERMASALAH A. Pengeertian Kredit Bermasalah ... 51

B. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Bermasalah ... 52

C. Jenis-Jenis Kredit Bermasalah ... 54

D. Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah ... 56

(6)

B. Pelaksanaan Penjualan Jaminan Fidusia dalam Upaya

Penyelesaian Kredit Bermasalah di Perum Pegadaian Cabang

Tanjung Morawa ... 71

C. Hambatan Yang Timbul Dalam Praktek Penjualan Jaminan

Fidusia dan Bagaimana Cara Penyelesaiannya ... 82

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 92

(7)

ABSTRAK

Pihak Pegadaian dalam memberikan kredit atau meminjamkan modal

tentunya mensyaratkan adanya jaminan bagi pemberian kredit tersebut sebagai

pengamanan dan kepastian akan kredit yang diberikan tersebut, karena tanpa

adanya pengamanan pihak Pegadaian akan sulit menghindari resiko yang terjadi

sebagai akibat kreditur yang wanprestasi. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada di bidang Hukum Jaminan

Khususnya mengenai proses penyelesaian kredit bermasalah melalui penjualan di

bawah tangan yang dijamin dengan jaminan fidusia pada Perum Pegadaian Cab.

Tanjung Morawa dan hambatan-hambatan yang muncul dalam penyelesaian

kredit bermasalah melalui penjualan di bawah tangan yang dijamin dengan

jaminan fidusia pada Perum Pegadaian cab. Tanjung Morawa.

Penelitian ini menggunakan metode normatif Empiris yaitu dengan

menggunakan meneliti data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data

yang diperoleh langsung dari lapangan dengan menggunakan wawancara, serta

data sekunder adalah berupa studi kepustakaan. Analisa data yang digunakan

adalah analisis kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif.

Hasil penelitian yang diperoleh: 1) Berdasarkan hasil penelitian dalam

menyelesaikan kredit bermasalah apabila pemberi fidusia tersebut cidera janji,

pihak Pegadaian Cabang Tanjung Morawa melakukan penjualan di bawah tangan

melalui debitor tetapi tetap dalam pengawasan dari pihak Pegadaian. 2) Dalam

menyelesaikan kredit bermaslah yg dijamin dengan jaminan fidusia dengan

instrumen eksekusi dibawah tangan, ditemukan beberapa kendala seperti: a).

Keberatan debitur terhadap eksekusi jaminan fidusia seringkali ditemui kendala

perlawanan dari debitur yang keberatan fidusianya ditarik. b). Keberatan debitur

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerintah dalam usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

yang merata maka didirikan Lembaga Perkreditan, baik lembaga perkreditas

perbankan maupun non perbankan. Lembaga perkreditas tersebut diharapkan

dapat memberikan kredit dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan

masyarakat dan dengan jaminan ringan kepada masyakarat luas, khususnya kredit

golongan ekonomi menengah ke bawah yang banyak menginginkan kredit untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari, sedangkan digolongan ekonomi menengah ke

atas dipergunakan untuk menambah modal usaha.1 Wujud daripada hal tersebut

salah satu sasarannya adalah pegadaian. 2

Perum Pegadaian merupakan lembaga perkreditasn yang dikelola oleh

pemerintah yang kegiatan utamanya melaksanakan penyaluran uang pinjaman atas

kredit atas dasar hokum gadai. Peran pegadaian sebagai lembaga pembiayaan

dalam era sekarang dan masa akan dapat tetap penting untuk mewujudkan

pemberdayaan ekonomi rakyat baik di kota maupun di pedesaan.3

Gadai pada dasarnya diberikan untuk menjamin suatu tagihan atau kredit,

memang kredit diberikan terutama atas dasar integritas atau kepribadian debitor,

1

Rachamadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal 156.

2

R.T Sutantya Raharja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal 31.

3

(9)

kepribadian yang menimbulkan rasa percaya diri kreditor bahwa debitor akan

memenuhi kewajiban pelunasannya dengan baik.4

Adapun ketentuan mengenai gadai itu sendiri diatur dalam KUH Perdata

Buku II Bab XX, Pasal 1150 – 1161. Pasal 1150 KUH Perdata memberikan

pengertian gadai sebagai berikut :

“Gadai adalah sautu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya: dan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang lelang itu di gadaikan, baiya-biaya mana harus didahulukan.” 5

Menurut system hukum Indonesia dan juga hukum dikebanyakan

Negara-negara Eropa Kontinental, jika yang menjadi objek jaminan utang adalah benda

begerak, maka jaminannya diikat dalam bentuk gadai. Dalam hal ini, objek gadai

tersebut harus diserahkan kepada pihak yang menerima gadai (kreditor).

Sebaliknya, jika yang menjadia objek jaminan hutang adalah benda tidak

bergerak, maka jaminan tersebut harus berbentuk hipotik (sekarang ada hak

tanggungan). Relevansinya, terdapat kasus-kasus dimana barang obejk jaminan

huta masih tergolong barang bergerak, tetapi pihak kreditor enggan menyerahkan

kekuasaan atas barang tersebut kepada kreditor, sementara pihak kreditor tidak

mempunyai kepentingan, bahkan kerepotan jika barang tersebut diserahkan

kepadanya, karena itulah dibutuhkan adanya satu bentuk jaminan hutan yang

objeknya masih tergolong benda bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan

atas benda tersebut

4

(10)

kepada pihak kreditor. Ada kalanya pihak kreditor dan pihak debitor sama-sama

tidafc berkeberatan agar diikatkan jaminan hutang berupa gadai alas hutang yang

dibaatnya, tetapi barang yang dijaminkan karena sesuatu dan lain hal tidak dapat

diserahkan kepemilikannya kepada hak kreditor.6 Akhirnya, muncullah bentuk

jaminan baru dimana objeknya benda bergerak, tetapi kekuasaaa atas benda

tersebut tidak beralih dari debitor kepada kreditor, inilah yang dinamakan jaminan

Fidusia.7

Fidusia dianggap sebagai jaminan yang lebih cocok bagi pegadaian

ataupuan nasabahnya uutuk barang bergerak, karena debitor tidak perlu

repot-repot menyediakan tempat menyimpan dan merawat barangnya. Dalam jaminan

ini barang tidak diserahkaa pada kreditor tetapi masih dalam kekuasaan debitor,

hanya hak miliknya diserahkan secara kepercayaan. Jadi selama hutanya belum

dibayar lunas oleh kreditor, maka hak milik barang berpindah untuk sementara

waktu kepada debitor.8

Terkait dengan jaminan Fidusia, saat ini lembaga-lembaga pegadaian telah

menerapkan pemberian kredit ke masyarakat dengan menggunakan jaminan

Fidusia. Oleh karenanya, walaupun disebut sebagai lembaga pegadaian, namun

dikarenakan objeknya adalah benda bergerak, maka lembaga-lembaga pegadaian

banyak yang membungkam diri untuk memberikan kredit dengan jaminan

Fidusia.9

Apabila pemegang Fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia

dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat suatu penetapan

6

Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2000), Hal. 1 7

Ibid, hal. 1 8

(11)

permononan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekosi ini

bisa ditojukan kepada aparat kepolisian. pamong praja, dan pamong desa/

kehirahan difflaaa beada objek jamiaas Fidissia berada. Desgaa demikian, apabila

debitor wanprestasi atau tidak dapat melunasi kutang-hutangnya atau tidak

mampu menebus barangnya saiapai habis jangka waktu yaag telah ditentukan,

maka pihak kreditor berhak untuk melelang barang Fidusia tersebut dan hasil dari

penjualan lelang tersebut sebagian untuk melunasi hutang kreditnya dan sebagian

lagi untuk biaya yang dikeluarkan untuk metelang barang tersebut dan sisanya

diberikan kepada debitor.10

Ada beberapa cara yang dapat diiakukan kreditor terhadap objek Jaminan

Fidusia apabila debitor cidera janji, yaitu:11

1. Pelaksanaaa fitei eksekutoiai dimaksud Pasai 15 ayat (2) oleh penerima

Fidusia,

2. Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan

penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan uraum serta mengembalikan

pelunasan piutangnya dari hasil penjualan,

3. Penjualan di bawah tangaa yang diiakukan berdasarkan kesepakatan

pemberi dan penerima Fidusia jika dengan eara demikian dapat diperoleh

harga tertinggi yang para pihak.

Menurut Munir Fuady, model-model eksekosi Jaminan Fidusia

berdasarkan Undang-undang Jaminan Fidusia sebagai berikut;12

10

Gunawan Widjaja, Jaminan Fidusia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 141. 11

(12)

1. Secara fiat eksekusi (dengan memakai title eksekutorial), yakni lewat suatu

penetapan pengadilan.

2. Secara parate eksekusi yakni dengan menjual (tanpa perlu penetapan

pengadilan) di depan pelelangan umum.

3. Dijual di bawah tangan oleh pihak kreditor sendiri.

4. Sungguhpun tidak disebutkan dalam UUJF, tetapi tentunya pihak kreditor

dapat menempuh prosedur eksekusi biasa lewat gugatan biasa ke

pengadilan.

J. Satrio mengatakan bahwa, eksekusi yang didasarkan atas Pasal 29 ayat

(1) huruf b Undang-undang Jaminan Fidusia, yang berdasarkan title eksekutorial

sertifikat Jaminan Fidusia yang mempunya kekuatan hukum tetapm maka

pelaksanaan juga harus mengikuti prosedur yang sama dengan keputusan

pengadilan.13

Jaminan Fidusia dapat juga dieksekuis dengan cara menjual benda objek

Fidusia tersebut secara dibawah tangah dengan syarat-syarat sebagai berikut :

Sementara itu, pelaksanaan parate eksekusi tidak melibatkan

pengadilan maupun juru sita. Apabila dipenuhi syarat Pasal 29 ayat (1) huruf b

UUJF, kreditor bias langsung menghubungi juru lelang dan minta agar barang

jaminan dilelang dan pelaksanaan penjualannya harus di muka umum.

14

1. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dengan penerima Fidusia.

2. Jika dengan cara penjualan dibawah tangan tersebut dicapai harga tertinggi

yang menguntungkan para pihak.

3. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima Fidusia kepada

pihak-pihak yang berkepentingan.

13

(13)

4. Diumumkan dalam sedikit-dikitnya dalam dua surat kabar yang beredar di

daerah yang bersangkutan.

5. Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1(satu) bulan sejak

diberitahukan secara tertulis.

Oleh karena hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti mengenai

“Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Penjualan di Bawah Tangan atas Jaminan Fidusia di Perum Pengadaian Cab. Tanjung Morawa”.

B. Permasalahan

Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan Fidusia di

Perum Pegadaian Cabang Tanjung Morawa ?

2. Bagaimana pelaksanaan Penjualan Jaminan Fidusia dalam upaya

penyelesaian kredit macet di Perum Pegadaian Cabang Tanjung Morawa ?

3. Apa hambatan yang timbul dalam praktek penjualan jaminan Fudisua dan

bagaimana cara penyelesaiannya?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengatahui pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan

(14)

2. Untuk mengetahui pelaksanaan Penjualan Jaminan Fidusia dalam

upaya penyelesaian kredit macet di Perum Pegadaian Cabang Tanjung

Morawa.

3. Untuk mengetahui kendala yang timbul dalam praktek penjualan

jaminan Fidusia bagaimana cara penyelesaiannya.

2. Manfaat a. Teoritis

1) Penelitian ini dapat menambah referensi atau khasanah

kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan, khususnya hukum

jaminan secara Fidusia.

2) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan

bagi penelitian yang akan dapat apabila sama bidang penelitiannya.

b. Manfaat Praktis

1) Hasil penelitian in dapat memberikan sumbangan pemikiran

mengenai pelaksanaan lembaga jaminan Fidusia di dalam

masyarakat.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan

ilmu hukum, khususnya hukum jaminan secara Fidusia.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian

(15)

yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi

etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenaran secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Untuk meminimalkan tingkat pembiayaan bermasalah salah satu proses

yang sangat penting adalah pada saat analisis kredit. Terdapat tiga fungsi yang

menyertai proses kredit, yaitu :15

a. Business development dan analisis kredit

Aktivitas Business development terkonsentrasi untuk mengidentifikasi

debitor yang memiliki potensi lancer dan membangun hubungan dalam

kredit.

Analisis kredit adalah proses untuk menaksir resiko termasuk di antaranya

adalah melakukan review data financial debitor.

b. Eksekusi kredit dan administrasi

Secara formal staf kredit menerima atau menolak pengajuan kredit dan

melakukan dokumentasi kredit.

c. Review kredit

Petugas kredit akan melakukan review kredit secara periodic terutama

ketika masa kredit perlu diperbaharui. Pada saat review tersebut, mungkin

masa kredit perlu diubah dan disesuaikan dengan perubahan status debitor.

Sebelum memberikan kredit, pihak kreditor biasanya melakukan penelitian

terlebih dahulu terhadap Character (watak), Capcity (kemampuan), Capital

15

(16)

(modal), Collateral (agunan) dan Condition of economic (prospek usaha debitor)

atau yang lebih dikenal dengan istilah 5C. Sebelum melakukan pemberian kredit,

sekurang-kurangnya kreditor harus melakukan analisis kalayakan usaha melalui

penerapan factor 5C serta penilaian terhadap aspek kemampuan membayar,

yakni:16

a. Character

Faktor ini menyangkut kemauan debitor untuk membayar kembali

kreditnya. Kemauan debitor dapat dilihat dari track record pembayaran

pinjaman sebelumnya maupun pertimbangan terhadap latar belakang

pendidikan dan pengalaman dalam bisnis.

b. Capacity

Faktor ini untuk menjawab pertanyaan “can he pay?” atau kemampuan

debitor untuk membayar kreditnya. Kemampuan ini dapat dilihat dari cash

flow. Sejarah pembayaran juga akan menjadi pertimbangan untuk melihat

kemungkinan pembayaran yang akan datang.

c. Capital

Capital diperlukan untuk menjawab pertanyaan “how much can he pay?”.

Capital juga dapat diartikan jumlah uang yang diinvestasikan dalam bisnis

tersebut dan besarnya resiko yang perlu ditanggung ketika bisnis tersebut

gagal.

d. Conditional of Economy

16

(17)

Penilaian factor ini menyangkut kondisi bisnis seperti tujuan peminjaman

ataupun kondisi eksternal yang berada di luar kendali debitor seperti

kondisi ekonomi dan tingkat persaingan usaha.

e. Collateral

Apabila terjadi suatu kegagalan oleh debitor yang menyebabkan macetnya

kredit, pemberi pinjaman akan menggunakan agunan (collateral) untuk

melunasi kredit. Jadi agunan merupakan second way out bagi kreditor

untuk menjamin pembayaran kredit atau sebagai bentuk sekuritisasi

kreditnya. Jaminan disini berarti kekayaan yang dapat dikaitkan sebagai

jaminan guna kepastian pelunasan dikemudian hari jika penerima kredit

tidak melunasi hutangnya.17

Kegiatan perkreditan akan berjalan lancer apabila adanya saling mempercayai dari

semua pihak yang terkait dengan kegiatan tersebut. Keadaan itupun dapat

terwujud hanya apabila semua pihak yang terkait mempunyai integritas moral.

Kondisi dasar seperti ini sangat diperlukan oleh kreditor dalam usaha dan alokasi

dana untuk kredit, karena dana yang ada pada kreditor kemungkinan sebagian

besar dana merupakan milik pihak ketiga yang dipercayakan kepada kreditor

tersebut. Dengan demikian sebaliknya pula bank dituntut dan kewajiban untuk

selalu menjaga kepercayaan yang diberikan oleh pihak ketiga dalam menjalankan

penggunaan dana tersebut.

Jika kredit menilai bahwa seorang calon

dibitor telah memenuhi criteria di atas, barulah kreditor mau memberikan

kredit yang diminta debitor tersebut.

18

17

(18)

Pemberian kredit atau pembiayaan selalu diminta jaminan dari debitor,

jaminan yang dimaksud adalah keyakinan kreditor atas kemampuan debitor untuk

melunasi utangnya. Keyakinan tersebut diperoleh setelah kreditor menilai watak

(character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral) dan

prospek usaha dari debitor (condition of economy). Seringkali kreditor tidak saja

memegang agunan pokok yaitu barang yang dibiayai dengan kredit bank, tetapi

juga diminta agunan tambahan dari debitor berupa barang yang tidak dibiayai oleh

kredit yang diikat secara hukum. Konsekuensinya jika kreditnya macet, maka

kreditor dapat memperoleh prioritas pengembalian dananya dengan mencairkan

(melelang) agunana yang diberikan nasabah.19

Oleh karena hal tersebut, dalam perjanjian jaminan kebendaan, benda tetap

menjadi milik debitor, benda hanya disiagakan untuk menjaga-jaga terhadap

kemungkinan terjadi wanprestasi. Dalam jaminan perorangan tidak ada benda

tertentu yang diikat dalam perjanjian, yang diikat dalam perjanjian adalah

kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitor. Dalam jaminan

perorangan karena tidak diperjanjikan benda sebagai objek jaminan, maka apabila

terjadi ingkar janji akan berlaku ketentuan jaminan secara umum yang diatur

dalam pasal 1131 KUH Perdata dan pasal 1132 KUH Perdata.

Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan,

yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara

yang berpiutang itu ada alas an yang sah untuk didahulukan. Ketentuan ini

merupakan jaminan umum yang timbul dari undang-undang yang berlaku umum

19

(19)

bagi semua kreditor. Disini para kreditor mempunyai kedudukan yang sama

(paritas creditorum), kecuali apabila kreditor mempunya hak istimewa.

F. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian

yang bertujuan memberikan data yang seteliti mungkin tentang gejala-gejala yang

sudah ada, yaitu jaminan Fidusia.20 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan

ilmiah yang didasarkan pada suatu metode, sistematika, dan pemikiran tertentu,

yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu,

dengan jalan menganalisanya.21

2. Jenis Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normative-empiris,

22

dalam penelitian empiris23

20

Soerjono Seokarno, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI-Press, 1982), hal. 10

dilakukan untuk memperoleh data primer, yaitu

dengan melakukan wawancara dengan Majemen Perum Pegadaian Cabang

Tanjung Morawa, sedangkan penelitian hukum normative, dilakukan melului

kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang

berkaitan dengan skripsi. Pada penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan

sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books)

atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan

21

Ibid, hal. 43 22

Pada Hukum Normatif-empiris yang diteliti adalah data primer dan data sekunder. Ibid, hal. 52

23

(20)

berperilaku manusia yang dianggap pantas. Penelitian hukum normative ini

sepenuhnya menggunakan data sekunder,24

a. Dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang

berwenang

yang terdiri dari :

25

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang meliputi :

2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

3) Undang-undang nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

4) Undang-undang nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

5) Akta Perjanjian Kredit dan yang berlaku di Perum Pegadaian Cab.

Tanjung Morawa

6) Memorandum-memorandum tentang jaminan kredit yang berlaku di

Perum Pegadaian Cab. Tanjung Morawa.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer yang meliputi :

1) Literatur yang membahas mengenai masalah pegadaian

2) Literatur yang membahas menganai hukum perjanjian

3) Literatur yang membahas mengenai hukum jaminan.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus

hukum, ensiklopedia dan lain-lain.

24

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2006), hal. 118

25

(21)

3. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti alur atau langkah-langkah

sebagai berikut :

a. Tahap persiapan, yaitu tahap pra penelitian dengan terlebih dahulu

melakukan perumusan masalah yang akan diteliti, selanjutnya dibuatkan

dalam bentuk proposal penelitian untuk mendapatkan persetujuan dari

dosen pembimbing. Setelah proposal disetujui peneliti menyusun pedoman

wawancara.

b. Tahap pelaksanaan, yaitu tahap pengerjaan penelitian itu sendiri. Tahap ini

dilaksanakan dengan dua langkah yaitu penelitian kepustakaan (studi

literatur) yang ditujukan untuk menelusuri bahan-bahan pustaka yang

relevan untuk diangkat dalam kerangka teoritis, dan pelaksanaan penelitian

di lapangan untuk melakukan pengumpulan data primer dari nara sumber.

c. Tahap penyelesaian, yaitu tahap pengolahan (analisis) data dilanjutkan

dengan penyusunan draft tesis untk dikonsultasikan dan mendapatkan

persetujuan dari dosen pembimbing. Setelah mendapatkan persetujuan

pembimbing, finalisasinya adalah pelaksanaan presentasi di hadapan

komisi dosen penguji untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

4. Analisa Data

Analisa data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya

ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.26

Seluruh data primer dan

sekunder yang diperoleh dari penelitian lapangan dan pustaka diklasifikasikan dan

(22)

analisis. Langkah selanjutnya, dari data primer dan data sekunder yang telah

disudun dan ditetapkan sebagai sumber dalam penyusunan tesis ini kemudian

dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif.

Analisis kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan

menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan

kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi

kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan. Sedangkan metode

deksriptif yaitu metode analisis dengan memilih data yang menggambarkan

keadan sebenarnya di lapangan.27

(23)

BAB II

TINJAUAN TERHADAP LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA

A. Sejarah dan Pengertian Lembaga Jaminan Fidusia

Fidusia28

Pranata jaminan Fidusia telah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat

hukum romawi. Ada dua bentuk jaminan Fidusia, yaitu, jaminan Fidusia cum

creditore dan Fidusia cum amico. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut

pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio.

Dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya fiducia cum creditore contracta

yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor, dikatakan bahwa

debitor akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditor sebagai

jaminan atas hutangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengalihakn

kembali kepemilikan tersebut kepada debitor apabila hutangnya sudah dibayar

lunas. Kalah dihubungkan dengan sifat yang ada pada setiap pemegang hak, maka

dikatakan bahwa debitor mempercayakan kewenangan atas suatu barang kepada menurut asal katanya berasal dari kata “fides” tabg berarti

kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara debitor

(pemberi Fidusia) dan kreditor (penerima Fidusia) merupakan hubungan hukum

yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi Fidusia percaya bahwa penerima Fidusia

mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah dilunasi

hutangnya. Sebaliknya, penerima Fidusia percaya bahwa pemberi Fidusia tidak

akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada pada kekuasaannya.

28

(24)

kreditor untuk kepentingan kreditor sendiri (sebagai jaminan pemenuhan

perikatan oleh kreditor).

Timbulnya fiducia cum creditore disebabkan kebutuhan masyarakat akan

hukum jaminan. Pada waktu itu dirasakan adanya suatu kebutuhan akan adanya

hukum jaminan ini yang belum diatur oleh konstruksi hukum. Dengan fiducia cum

creditore maka kewenangan yang dimiliki kreditor akan lebih besar, yaitu sebagai

pemilik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan. Debitor percaya bahwa

kreditor tidak akan menyalahgunakan wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya

hanya terbatas pada kepercayaan dan secara moral saja dan bukan kekuatan

hukum. Debitor tidak akan berbuat apa-apa jika kreditor tidak mau

mengembalikan hak milik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan itu. Hal

ini merupakan kelemahan Fidusia pada bentuk awalnya jika dibandingkan dengan

sistem hukum jaminan yang dikenal sekarang. Karena adanya kelemahan itu maka

ketika gadai dan hipotek berkembang sebagai hak-hak jaminan, Fidusia menjadi

terdesak dan bahkan akhirnya hilang sama sekali dari Hukum Romawi. Jadi

Fidusia timbul karena memang ada kebutuhan masyarakat akan hukum jaminan

dan kemudian lenyap karena dianggap tidak lagi dapat memenuhia kebutuhan

tersebut.

Masyarakat Romawi pada waktu itu menganggap bahwa gadai dan hipotek

dianggap lebih sesuai karena adanya aturan tertulis sehingga lebih memberikan

kepastian hukum. Gadai dan hipotik juga memberikan hak-hak yang seimbang

antara kreditor dan debitor. Demikian pula hak-hak dari pihak ketiga akan lebih

terjamin kepastiannya karena ada aturannya pula. Masyarakat Romawi juga

(25)

pranata titipan yang disebut fiducia cum amino contracta yang artinya janji

kepercayaan yang dibuat dengan teman. Pranata ini pada dasarnya sama dengan

pranata “trust” sebagaimana dikenal dalam system hukum common law. Lembaga

ini sering digunakan dalam hal seorang pemilik suatu benda harus mengadakan

perjalanan ke luar kota dan sehubungan dengan itu menitipkan kepemilikan benda

tersebut kepada temannya dengan janji bahwa teman tersebut akan

mengembalikan kepemilikan benda tersebut jika pemiliknya sudah kembali dari

perjalanannya. Dalam fiducia cum amino contracta ini kewenangan diserahkan

kepada pihak penerima akan tetapi kepentingan tetap ada pada pihak pemberi.

Perkembangan selanjutnya adalah ketika hukum Belanda meresepsi hukum

Romawi, dimana hukum Fidusia sudah lenyap Fidusia tidak ikut diresepsi. Itulah

sebabnya mengapa dalam Burgelijk Wetboek (BW) Belanda tidak ditemukan

pengaturan tentang Fidusia. Seterusnya sesuai dengan asas konkordansi, dalam

Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia yang memberlakukan BW juga

tidak ditemukan pengaturan tentang Fidusia.

1. Di Belanda

Dalam Burgelijk Wetboek (BW) Belanda, pranata jaminan jaminan yang

diatur adalah gadai untuk barang bergerak dan hipotek untuk barang tidak

bergerak. Pada mulanya kedua pranata jaminan dirasakan cukup memenuhi

kebutuhan masyarakat pada saat itu dalam bidang prekreditan. Tetapi karena

terjadi krisis pertanian yang melanda Negara-negara Eropa pada pertengahan

sampai akhir abad ke- 19, terjadi penghambatan pada perusahaan-perusahaan

pertanian untuk memperoleh kredit. Pada waktu itu tanah sebagai jaminan kredit

(26)

jaminan tambahan di samping jaminan tanah tadi. Kondisi seperti ini menyulitkan

perusahaan-perusahaan pertanian. Dengan menyerahkan alat-alat pertaniannya

sebagai jaminan gadai dalam pengambilan kredit sama saja dengan bunuh diri.

Apalah artinya kredit yang diperoleh kalau alat-alat pertanian yang dibutuhkan

untuk mengolah tanah sudah berada dalam penguasaan kreditor. Terjadilah

perbedaan kepentingan antara kreditor dan debitor yang cukup menyulitkan kedua

pihak. Untuk melakukan gadai tanpa penguasaan terbentur pada ketentuan 1152

ayat (2) BW yang melarangnya.

Untuk mengaasi hal tersebut dicarilah terobosan-terobosan dengan

mengingat konstruksi hukum yang ada, yaitu jual berli dengan hak membeli

kembali dengan sedikit penyimpangan. Bentuk ini digunakan untuk menutupi

suatu perjanjian peminjaman dengan jaminan. Pihak penjual (penerima kredit)

menjual barangnya kepada pembeli (pemberi kredit) dengan ketentuan bahwa

dalam jangka waktu tertentu penjual akan membeli kembali barang-barang itu dan

yang penting barang-barang tersebut akan tetap berada dalam penguasaan penjual

dengan kedudukan sebagai peminjam pakai. Untuk sementara hal ini dapat

mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi pada waktu itu. Tetapi hal itu bukan

bentuk jaminan yang sebenarnya, tentu akan timbul keragu-raguan dalam

prakteknya.

Keadaan seperti itu berlangsung terus sampai dikeluarkannya keputusan

oleh Hoge Road (HR) Belanda tanggal 29 Januari 1929 yang terkenal dengan

nama Bierbrouwerij Arrest. Kasusnya adalah sebagai berikut: NV Heineken

Bierbrouwerij Maatschappij meminjamkan uang sejumlah f 6000 dari P. Bos

(27)

dan bangunan yang digunakan Bos sebagai tempat usahanya. Untuk lebih

menjamin pelunasan hutangnya, Bos menjual inventaris warungnya kepada

Bierbrouwerij dengan hak membeli kembali dengan syarat bahwa inventaris itu

untuk sementara dikuasai oleh Bos sebagai peminjam pakai. Pinjam pakai itu

yang akan berakhit jika Bos tidak membayar utang pada waktunya atau bilamana

Bos jatuh pailit. Ternyata Bos benar-benar jatuh pailit dan hartanya diurus oleh

curator kepailitan (Mr. AW de Haan), termasuk inventaris tadi. Bierbrouwerij

kemudian menuntut kepada curator kepailitan untuk menyerahkan inventaris tadi

dengan sitaan revindikasi. Kurator menolak dengan alasan bahwa perjanjian jual

beli dengan hak membeli kembali tersebut adalah tidak sah, karena hanya

berpura-pura saja. Dalam gugatan rekonversi kurator kepailitan menuntut

pembatalan perjanjian jual beli dengan membeli kembali tersebut.

Dalam sidang pengadilan tingkat pertama, pengadilan Rechbank dalam

putusannya menolak gugatan Bierbrouwerij dan dalam rekonversi mengabulkan

gugatan rekonversi dengan membatalkan perjanjian jual beli dengan hak membeli

kembali tersebut. Alasannya adalah para pihak hanya berpura-pura mengadakan

perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut, yang sesungguhnya

terjadi adalah perjanjian pemberian jaminan dalam bentuk gadai. Akan tetapi

gadai tersebut adalah tidak sah karena barangnya tetap berada dalam kekuasaan

pemberi gadai sehingga bertentangan dengan larangan Pasal 1152 ayat (2) Kitab

Undang-undang Perdata (1198 ayat (2) BW).

Atas putusan ini Bierbrouwerij menyatakan banding yang keputusannya

adalah menyatakan jual beli dengan hak membeli kembali tersebut adalah sah.

(28)

warung kopi Bos kepada Bierbrouwerij. Atas keputusan ini Kurator Kepailitian

menyatakan kasasi dan dalam putusannya Hoge Raad menyatakan bahwa yang

dimaksud oleh para pihak adalah perjanjian penyerahan hak milik sebagai jaminan

dan merupakan title yang sah. Kurator Kepailitan diperintahkan untuk

menyerahkan inventaris Bos kepada Bierbrouwerij. Hal ini telah melahirkan

pranata jaminan dengan jaminan penyerahan hak milik secara kepercayaan yang

dikenal dengan Fidusia.

2. Pengaturan Di Indonesia Sebelum Diundangkannya UU. No. 42 Tahun 1999

Pada abad ke-19, krisis yang terjadi di Eropa membawa imbas pada

Indonesia sebagai Negara jajahan Belanda. Untuk mengatasi masalah itu lahirlah

peraturan tentang ikatan panen atau Oogstverband (Staatsblad 1886 Nomor 57).

Peraturan ini mengatur mengenai peminjaman hutang yang diberikan dengan

jaminan atas barang-barang bergerak, atau setidak-tidaknya kemudian menjadi

barang bergerak, sedangkan barang-barang itu tetap berada dalam kekuasaan

debitor. Seperti halnya di Belanda, keberadaan Fidusia di Indonesia diakui oleh

yurisprudensi berdasarkan keputusan Hooggerechtsh of (HGH) tanggal 18

Agustus 1932.

Walaupun demikian, sebenarnya konsep constitutum possessorium ini

bukan hanya monopoli hukum barat saja. Kalau diteliti dan dicermati, dalam

hukum adat di Indonesia pun mengenal konstruksi yang demikian. Misalnya

tentang gadai tanah menurut hukum adat. Penerima gadai biasanya bukan petani

penggarap, dan untuk itu ia mengadakan perjanjian bagi hasil dengan petani

(29)

tanah tetapi bukan sebagai pemilik melainkan sebagai penggarap. Setelah adanya

keputusan HGH itu, Fidusia selanjutnya berkembang dengan baik di samping

gadai dan hipotik.

Dalam perjalanannya, Fidusia telah mengalami perkembangan yang cukup

berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan para pihak. Pada

zaman Romawi dulu, kedudukan peneriman Fidusia adalah sebagai pemilik atas

barang yang difidusiakan, akan tetapi sekarang sudah diterima bahwa penerima

Fidusia hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan saja.

Tidak hanya sampai di situ, perkembangan selanjutnya juga menyangkut

kedudukan debitor, hubungannya dengan pihak ketiga dan mengenai objek yang

dapat difidusiakan. Mengenai obyek Fidusia ini, baik Hoge Raad Belanda maupun

Mahkamah Agung di Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa Fidusia

hanya dapat dilakukan atas barang-barang bergerak. Apalagi dengan berlakunya

Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang No.5 Tahun 1960 yang lebih

dikenal dengan UUPA) perbedaan antara barang bergerak dan tidak bergerak

menjadi kabur karena undang-undang tersebut menggunakan pembedaan

berdasarkan tanah dan bukan tanah.

Sistem hukum adat dan system hukum perdata barat sangan dominant

mempengaruhi perkembangan hukum jaminan nasional, antara lain bahwa dalam

Hukum Adat membedakan benda dalam dua golongan yaitu benda tanah dan

benda bukan tanah, sedangkan hukum Perdata Barat yaitu hukum Perdata yang

diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) membagi benda dalam

(30)

tersebut sangat berpengaruh pada lembaga jaminan untuk jenis-jenis benda

tersebut diatas.29

Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Mochtar Kusuma Atmadja30

Dalam rangka menjaga terjadinya kekosongan hukum, maka

dirumuskanlah Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945

, bahwa

dalam rangka pembentukan hukum, maka kesepakatan untuk menetapkan

hukum-hukum mana yang perlu diadakan menarik untuk dibicarakan, sebagian pakar

hukum berpendapat bahwa hukum perikatan atau kontrak sudah sangat mendesak

(urgent) untuk diganti, sebagian pakar hukum lainnya berpendapat disamping

hukum perikatan juga sudah perlu diganti perihal hukum perorangan (Van

Personem), hukum kebendaan (Van Zaken), hukum jaminan, dilain pihak ada

yang menganggap bahwa hukum waris nasional sudah waktunya untuk digarap.

31

29

Retnowulan Sutanto, “Lembaga Jaminan Kredit dan Pelaksanaannya secara Paksa”, makalah dalam seminar 150 Tahun Kitab Undang-undang Hukum Perdata, BPHN, Jakarta 1999, hal: 2

, dengan Pasal tersebut

berlakulah diantaranya, hukum jaminan yang didasarkan pada hukum barat yang

di atur dalam KUHPerdata dan hukum Jaminan yang didasarkan pada hukum

adat, selain hukum jaminan yang didasarkan pada hukum Islam, akan tetapi dalam

prakteknya pemakaian hukum jaminan didominasi oleh ketentuan yang diatur

dalam Kitan Undang-undang Hukum Perdata Barat (BW), walaupun secara local

di wilayah tertentu berlaku pula hukum jaminan yang didasarkan pada Hukum

Adat setempat dan Hukum Islam, sehingga dalam perkembangan pembentukan

hukum jaminan nasional pengaruh dari sistem hukum tersebut di atas mewarnai

hukum jaminan di Indonesia.

30

Mochtar Kusuma Atmadja, “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional”, makalah Lokakarya, Jakarta: BPHN, Hal. 19

31

(31)

Dalam hukum jaminan dikenal adanya jaminan secara umum dan secara

khusus, jaminan secara umum yaitu jaminan yang timbul dari undang-undang,

sedangkan jaminan secara khusus merupakan jaminan yang timbul dari suatu

perjanjian baik berupa perjanjian kebendaan maupun perjanjian perorangan,

perjanjian-perjanjian jaminan khusus tersebut sifatnya accessoir terhadap

perjanjian pokoknya. Dengan adanya jaminan umum, maka hukum jaminan telah

memberikan perlindungan berupa jaminan secara umu kepada kreditor bagi

pelunasan utang debitor, akan tetapi untuk memberikan rasa aman (kepastian),

maka dalam praktek sering dibuat perjanjian jaminan, baik berupa perjanjian

jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan32

Dilain pihak akselerasi perkembangan ekonomi dan dinamika global

berpengaruh pula terhadap perkembangan hukum jaminan di Indonesia, maka

dalam pembentukan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusuma

Atmadja

.

33

Selain itu dalam hubungannya dengan hukum jaminan, maka akan terkait

dengan hukum benda tanha dan benda bukan tanah, sebagaimana dimaklumi

bahwa dalam sistem hukum adat dianut asas pemisahan horizontal, pada asas

pemisahan horizontal prinsipnya memisahkan kepemilikan benda tanah dan benda

bukan tanah yang melekat pada tanah tesebut, sehingga pemilik tanah tidak selalu , perkembangannya lebih cenderung membuat Kodifikasi Partial

(sebagian), sehingga pemikiran untuk mengadakan kodifikasi konprehensip sudah

ditinggalkan, oleh karena itu dalam pembentukan dan pengembangan hukum

jaminan arahnya mengikuti kodifikasi parsial tersebut.

32

Lihat Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) 33

(32)

menjadi pemilik rumah, tanam-tanaman yang ada di atas tanah,34

Perkembangan hukum nasional, dalam hal ini kaitannya dengan

perkembangan hukum jaminan, khususnya perkembangan lembaga jaminan di

Indonesia dapat diamati dari perubahan melalui pembentukan peraturan

perundang-undangan, hal ini terjadi karena pertimbangan kebutuhan hukum,

akibat dari percepatan perekonomian, selain itu perubahan hukum diadakan

karena negara-negara bekas jajahan memiliki kesadaran tinggi untuk memperbaiki

sistem hukumnya, maka hukum jaminan dibutuhkan karena berkaitan dengan

aspek ekonomi, juga untuk kepastian hukum. Dilain pihak perkembangan hukum

jaminan, jika diamati dari sudut substansi hukum walaupun ada kalanya

menguntungkan menggunakan model-model asing yang berupa konsepsi,

proses-proses dan lembaga-lembaga hukumnya, pada isis lain ada juga yang

menghambat karena mungkin saja tidak sesuai dengan kesadaran hukum

masyarakat dimana hukum itu akan diberlakukan, oleh karena itu diperlukan sehingga

dalam hukum jaminan baik hukum jaminan kebendaan maupun jaminan

perorangan idealnya digabungkan dalam suatu Undang-undang, alasannya

meskipun jaminan perorangan merupakan salah satu jenis perjanjian khusus,

tetapi tetap merupakan bagian hukum jaminan, oleh karenanya dalam satu

Undang-undang yang mengatur hukum jaminan akan diatur dan ditemui ketentuan

jaminan umum dan jaminan khusus, sehingga secara teoritis dalam hukum

jaminan akan tersusun secara sistematis adanya Ketentuan Umum, Lembaga

Jaminan Kebendaan, Lembaga Jaminan Perorangan dan Ketentuan Hukum

Acara.

34

(33)

melakukan adopsi terhadap hukum asli dari masyarakat yang bersangkutan, oleh

karenanya sangat perlu diadakan kombinasi konsepkonsep, prosedur dan lembaga-

lembaga hukum tersebut, sehingga hukum jaminan di Indonesia, selain dapat

diterima oleh masyarakat asli, juga dapat mengimbangan pergaulan International.

Dengan demikian secara teoritis perkembangan hukum jaminan, khususnya

lembaga jaminan di Indonesia akan mencakup antara lain; perkembangan

substansi hukumnya; perkembangan lembaga jaminan; perkembangan obyek

(benda-benda) dan subyeknya; perkembangan prosedurnya yang berkaitan dengan

pendaftaran, masa berlaku, hapus dan eksekusinya serta berhubungan dengan

perkembangan lembaga-lembaga penunjang hukum jaminan di Indonsia.

Bentuk awal dari Fidusia yang dikenal sekarang ini ialah fiducia cum

creditore. Penyerahan hak milik pada fiducia cum creditore ini terjadi secara

sempurna, sehingga penerima Fidusia (kreditor) berkedudukan sebagai pemilik

yang sempurna juga. Sebagai pemilik tentu saja ia bebas berbuat apa pun terhadap

barang yang dimilikinya, hanya saja berdasarkan fides ia berkewajiban

mengembalikan hak milik atas barang tadi kepada debitor pemberi Fidusia,

apabila pihak yang belakangan ini telah melunasi utangnya kepada kreditor. Lebih

daripada itu tidak ada pembatasan-pembatasan lain dalam hubungan fiducia cum

creditore. Hak milik di sini bersifat sempurna yang terbatas, karena digantungkan

pada syarat tertentu. Untuk pemilik Fidusia, hak miliknya digantungkan pada

syarat putus (ontbindende voowaarde). Hak miliknya yang sempurna baru lahir

jika pemberi Fidusia tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) (A.

Veenhoven)35

35

Tiong Oey Hoey, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, (Jakarta: Ghalia

(34)

Akan tetapi, pendapat tersebut tidak member kejelasan bagaimana kedudukan

pemegang Fidusia selama syarat putus yang dimaksud belum terjadi. Meskipun

demikian tidak ada bedanya dengan akibat dari jualbeli dengan hak membeli

kembali, di mana kalau penjual (debitor) tidak membeli kembali barangnya maka

pembeli (kreditor menjadipemilik barang yang telah dijual tadi. Lagi pula

pendapat tersebut bertentangan dengan sistem hukum jaminan di mana dalam

hukum jaminan tidak diperbolehkan seorang penerima jaminan (kreditor) menjadi

pemilik dari barang jaminan, bahkan setelah debitor wanprestasi pun kreditor

dilarang menjadi pemilik barang jaminan. Setelah debitor wanprestasi, kreditor

hanya berhak menjual secara umum barang jaminan dan hasil penjualan itu

dipergunakan untuk melunasi hutangnya. Pasal 1155 dan 1156 KHUPerdata

mengenai pelaksanaan hak kreditor atas barang jarninan apabila debitor lalai

memenuhi kewajibannya.

Dengan demikian, telah diakui pula bahwa dianalogkan

ketentuan-ketentuan tentang gadai dapat dipergunakan bagi Fidusia. Maka kedudukan

kreditor selama debitor belum lalai rnemenuhi kewajibannya ialah bahwa kreditor

berkedudukan sebagai penerima jaminan, hanya saja karena dijaminkan berupa

hak milik maka reditur dapat melakukan beberapa tindakan yang dipunyai oleh

pemilik, seperti pengawasan atas barang jaminan. Hal yang demikian itu memang

diperlukan, oleh karena kreditor sebagai penerima jaminan hak milik tidak

menguasai sendiri barang jaminan melainkan dibiturlah yang menguasainya.

Dengan demikian, kreditor sebagai orang yang berkepentingan atas barang

(35)

debitor, sudah sepatutnya mempunyai hak melakukan pengawasan atas baranag

jaminan.

Penyerahan hak milik kepada kreditor dalam fiduciaire eigeidoms

overdracht bukanlah suatu penyerahan hak milik dalam arti yang sesungguhnya

seperti halnya dalam jualbeli dan sebagainya, sehingga kreditor tidak akan

menjadi pemilik yang penuh (volle eigenaar), ia hanyalah seorang bezitloos

eigenaar atas barang-barang jaminan, dan karena sesuai dengan maksud dan

tujuan perjanjian tentang jaminan itu sendiri, kewenangan kreditor hanyalah

setarap dengan kewenangan yang dimiliki oleh seorang yang berhak atas barang-

barang jaminan. Bahwa kedudukan kreditor penerima Fidusia itu adalah sebagai

pemegang jaminan, sedangkan kewenangan sebagai pemilik yang dipunyainya

ialah kewenangan yang masih berhubungan dengan jaminan itu sendiri, oleh

karena itu, dikatakan pula kewenangannya sebagai pemilik terbatas:

Pengawasa dari kreditor terhadap barang jaminan yang dikuasai oleh

debitur, secara teoritis hal itu sulit dilakukan apalagi kalau debitornya ada

beberapa seperti halnya pada bank. Terhadap Fidusia barang-barang yang

difidusiakan dikuasai debitor untuk dipergunakan sendiri bukan untuk

dipindahtangankan kepada pihak lain, sehingga jumlahnya tetap dan pengawasan

terhadap barang-barang tersebut relatif lebih mudah dibandingkan pada Fidusia

terhadap barang-barang perdagangan dimana jumlahnya selalu berubah karena

pemindahantanganan. Akan tetapi, cara pengawasannya adalah sama, yaitu bahwa

jumlah barang-barang yang ada pada tiap-tiap waktu tertentu (tiap bulan

(36)

Dalam Fidusia, debitor melalui penyerahan secara constutuutm

possessorium tetap menguasai barang jaminan. Mengenai penguasaan ini pun

dapat dibagi menjadi dua bagian, yang pertama kalau yang difidusiakan adalah

barang-barang inventaris maka debitor menguasai barang jaminan, atas dasar

perjanjian pinjam pakai dengan kreditor yang kedua kalau yang difidusiakan

adalah

dasar konsinyasi (consignatie) atau penitipan.

Pada bentuk yang pertama (pinjam pakai) debitor tidak diberi kekuasaan

untuk mengalihkan atau menjuai barang jaminan sedangkan pada bentuk yang

kedua ia diberi kekuasaan untuk itu akan tetapi hasil penjualan sebagian atau

seluruhnya (menurut yang diperjanjikan) harus disetorkan kepada debitur. Kedua

bentuk ini logis sekali kalau diingat bahwapada barang inventaris diperlukan

debitor untuk pakai saja sedangkan barang dagangan justru ia diperlukan untuk

mengalihkan (misalnya dijual) sehingga sudah seharusnya kekuasaan untuk itu

diberikan kepada debitor. Apabila terjadi penjualan atas barang inventaris yang

dijaminkan secara Fidusia maka pembeli dilindungi sesuai Pasal 1977

KUHPerdata.

Oleh karena itu ia sebagai pihak ketiga boleh menganggap bahwa pihak

yang menguasasi barang (bergerak) sebagai pemilik dan tidak ada kewajiban bagi

pihak ketiga untuk menyelidiki terlebih dahulu apakah benar pihak yang

menguasai itu benar-benar pemilik. Dengan demikian, jual beli yang dilakukan

antara debitor dengan pihak ketiga adalah sah. Kreditor dalam hal demikian dapat

dianggap wanprestasi dan selanjutnya ia dapat membatalkan perjanjian pemberian

(37)

melakukan penyerahan seeara constitutum possessorium sekali lagi kepada pihak

ketiga sehingga barang yang dikuasai oleh debitor dijaminkan secara Fidusia

terhadap dua kreditor.

Bahwa penyerahan barang bergerak yang dilakukan oleh bukan

pemiliknya kepada seorang penerima yang berikad baik adalah sah. Akan tetapi

suatu penyerahan tidak nyata (constitutum possessorium) dapat dibenarkan jika

orang yang menyerahkan barang tersebut mempunyai kekuasaan untuk

menyerahkannya atas dasar satu hubungan hukum dengan pihak lain36

Selaku peminjam pakai suatu barang debitor secara umum berkewajiban

memelihara barang jaminan artinya selaku seorang pemilik barang memelihara

barangnya sendiri. Kewajiban lain ialah bahwa pada barang-barang inventaris ia

harus menjaga agar jumlahnya tidak berkurang, sedangkan pada barang-barang

perdagangan ia harus mcnjaga agar sisa barang tersebut melebihi nilai kredit yang

masih tersesi, sampai jumlah tertentu sesuai dengan apa yang diperjanjikan. . Kreditor

dalam suatu perjanjian utang piutang dengan jaminan Fidusia dapat dikatakan

tidak rnungkin untuk menyelidiki terlebih dahulu apakah debitor benar-benar

pemilik artinya orang yang dapat bertindak bebas atas barang-barang yang

dijaminkan itu, terutama karena barang-barang yang dijaminkan itu berupa barang

bergerak. Kreditur dalam pada itu hanya dapat meminta kepada debitor untuk

berjanji bahwa ia adalah benar-benar orang yang berhak untuk berbut bebas atas

barang yang dijaminkan itu.

Kadang-kadang, kreditor tentunya meminta agar barang-barang jaminan

yang dikuasai debitor itu diasuransikan, atau mungkin pula kreditor yang

(38)

mengasuransikan tetapi premi asuransi tetap dibayar oleh debitor. Kalau dilihat

kewajiban-kewajiban tersebut di atas dapatlah dikatakn bahwa debitor

berkewajiban menanggung semua biaya pengeloaan barang jaminan, kreditor

hanya "terima bersih" saja. Kewajibankewajiban yang demikian itu dapat

dimaklumi, karena secara social ekonomis debitorlah yang berkepentingan atas

barang tersebut. Kreditor hanya berkepentingan atas pembayaran kembali apa

yang telah dituangkan kepada debitornya.

Kemungkinan yang paling banyak terjadi adalah kepailitan debitor dengan

adanya kepailitan ini maka semua hutang si debitor menjadi dapat ditagih. Adanya

kepailitan debitor, mewajibkan penyelesaikan hubungan hukum antara debitor dan

kreditor, bukan hanya segi abligator juga segi zakelijk. Mengenai perjanjian

Fidusia tersebut bersifat abligator atau zakelijk membawa serta akibat hukum dan

cara penyelesaian yang berbeda, manakala terjadi kepailitan pada debitor. Jika

berpegang pada pendapat bahwa perjanjian Fidusia menampakan perjanjian

abligator, maka perjanjian tersebut hanya melahirkan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban yang dapat dipertahankan antara mereka saja, tidak berlaku atau tidak

dapat dipertahankan terhadap pihak ketiga. Maka konsekuensinya jika terjadi

kepailitan debitor, maka benda-benda jaminan yang berada padadebitor, karena

penyerahan secara canstitutum possessorium, berada di luar kepailitan. Kreditor

mempunyai hak sepenuhnya terhadap benda tersebut untuk pemenuhan

piutangnya. Kreditor mempunyai hak sepenuhnya terhadap benda tersebutuntuk

pemenuhan piutangnya. Kreditor tidak terikat kepada ketentuan-ketentuan yang

(39)

Cara pemenuhan piutangnya dan cara penyelesaian hubungan hukumnya

dalam kepailitan tersbut tergantung pada ketentuan-ketentuan sebagaimana telah

jaminan tersebut, kemudian diperhitungkan selisih harganya benda jaminan

dengan jumlah piutangnya, atau menjual benda jaminan tersebut secara di bawah

tangan atau dimuka umum, kemudian setelah diperhitungkan dengan piutangmya,

sisanya dikernballikan pada debitor.

Sedangkan bagi mereka yang berpendapat bahwa perjanjian Fidusia itu

melahirkan hak yang zakelijk bagi kreditor, maka hak zakelijk tersebut dapat

dipertahankan terhadap pihak ketiga, dan benda-benda jaminan yang berada pada

debitor masuk dalam boedel kepailitan. Untuk pemenuhan piutangnya kreditor

dapat bertindak terhadap benda-benda jamihan tersebut seolah-olah tidak terjadi

kepailitan. Dia adalah "separatist" yaitu tergolong kreditor yang mempunyai

kedudukan terkuat, seperti halnya pemegang gadai dan hipotik, yang pemenuhan

piutang-piutangnya harus lebih didahulukan dari kreditor-kreditor yang lainnya.

Menurut ketentuan undangundang, pemegang gadai dan hipotik, jika terjadi

kepailitan dari debitor dapat ditetapkan melaksanakan haknya seperti seolah-olah

tidak terjadi kepailitan.. Kedudukan, pemegang Fidusia dalam. kepailitan adalah

sama dengan kedudukan pemegang gadai dan hipotik, yang melaksanakan janji

untuk menjual atas kekuasaan sendiri terhadap benda-benda jaminan manakala

debitor tidak memenuhi kewajibanya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 57 Undang-undang kepailitan, kreditor harus

melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, terhitung sejak

(40)

curator kepailitan berhak menjual benda-benda jaminan tersebut dengan

memperhitungkan piutang dari kreditor dari hasil penjualan tersebut.

Kemungkinan benda-benda jaminan tidak mencukupi untuk pemenuhan

piutang kreditor, maka dalam keadaan demikian seperti halnya dengan pemegang

gadai, ia berhak untuk bagian piutang yang belum terpenuhi itu bertindak sebagai

kreditor konkurent. Jika perjanjian Fidusia ini dianggap menimbulkan hal yang

bersifat zakelijk, maka konsekuensinya adalah hak-hak atas benda jaminan itu

dapat dipertahankan terhadap pihak ketiga, jadi juga terhadap curator kepailitan.

Kurator kepailitan tidak dapat menarik benda-benda tersebut (revindikateai) dari

kekuasaan debitor, selama debitor tetap emenuhi kewajibannya dengan baik, yaitu

membayat hutang-hutangnya kepada kreditor.

Debitor masih tetap dapat menguasai bendanya, memakainya,

mempertahankannya terhadap curator dan para kreditor si pailit. Benda-benda

tersebut jatuh dalam boedel kepailitan. Pada saat terjadinya kepailitan kreditor,

jika di debitor melunasi hutang-hutangnya, maka ia akan memperoleh kembali

bendanya yang dipakai sebagai jaminan. Jika debitor pada saat kepailitan kreditor

tidak melunasi hutang-hutangnya, maka kurator kepailitan dapat menjual

benda-bendanya, kemudian sisanya setelah diperhitungkan dengan hutangnya

dikembalikan kepada debitor.

Pendapat lain yang beranggapan bahwa perjanjian Fidusia itu melahirkan

hak-hak yang bersifat pribadi (personnlyk/obligatoir) dan merupakan perjanjian

yang obligatoir, menyatakan bahwa kreditor adalah pemilik benda-benda jaminan.

(41)

Perjanjian Fidusia merupakan perjanjian khusus yang berbeda dengan

gadai. Cirriciri khusus yang ada dalam gadai tidak terdapat dalam Fidusia, oleh

karena itu dalam kepailitan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa tidak

dapat diterapkan. Cirri khusus dari hak eigendom pada Fidusia, yang

membedakannya dengan gadai ialah cara kreditor melaksanakan penahanan

piutangnya terhadap debitor, ya.itu dapat menguasai/menahan bendanya dengan

mengganti harga transaksi tersebut.

B. Ciri-ciri Lembaga Jaminan Fidusia

Ketentuan Fasal 1 angka 2 Undang-undang Jaminan Fidusia menyatakarr

bahwa jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak, baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud benda tidak bergerak, khususnya

bangunan yang tidak dapat dibebani jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud

dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Jaminan Fidusia yang tetap

berada dalam penguasaan pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima Fidusia

terhadap kreditor lainya. Ini berarti Undang-undang Jaminan Fidusia secara tegas

menyatakan jaminan Fidusia adalah agunan atas kebendaan atas jaminan

kebendaan (Zukelijke zekerheid, security right in rem) yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada penerima Fidusia, yaitu hak yang

didahulukan terhadap kreditor lainnya. Hak ini tidak hapus karena adanya

kepailatan dan atau likuidasi pemberi Fidusia37

(42)

untuk menyatakan bahwa jaminan Fidusia hanya merupakan perbankan obligatoir

yang melahirkan hak yang bersifat “persoonlijk" (perorangan) bagi kreditor.

Dalam Pasal 4 Undang-undang Jaminan Fidusia juga secara tegas

menyatakan bahwa jaminan Fidusia merupakan pajanjian assesoir dari suatu

perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi

suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak

berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Sebagai suatu perjanjian

assesoir, perjanjian jaminan Fidusia memiliki sifat sebagai berikut:

1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok

2. Keabsahannya, semata-mata ditentukan oleh sab tidaknya perjanjian

pokok.

3. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika

ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok tefah atau tidak

dipenuhi.

C. Objek dan subjek Lembaga Jaminan Fidusia

Sebelum bertakunya undang-undang Fidusia maka menjadi objek jaminan.

Fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan

(inventory). Benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kenderaan bermotor.

Tetapi dengan berlakunya undang-undang Fidusia, maka objek jaminan Fidusia

diberikan pengertian yang luas: berdasarkan Pasal 1 butir 2 Undang-undang

Fidusia, Objek jaminan Fidusia dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu:

(43)

Semua benda bergerak dagat dijatninkan dengan jaminan. kenderaan:

bermotor,

Sedangkan barang bergerak tidak berwujud contohnya adalah

piutang/tagihan.

2. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak

tanggungan. banguman yang tidak dibebani tanggungan disini maksudnya

adalah banguman yang berdiri di atas tanah yang bukan tanah hak milik

hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara. Sebagai contohnya

yaitu bangunan seperti gedung yang berdiri di atas tanah milik orang lain,

dimana gedung tersebut dijaminkan, akan tetapi tanahnya tidak, karena

gadai, hipotik dan hak tanggungan tidak bisa menampung kebutuhan

jaminan untuk itu, maka Fidusia bisa menjadi jalan keluarnya.

Salah satu syarat penting lainnya adalah bahwa benda yang menjadi objek

jaminan Fidusia harus bisa dimiliki dan dapat dialihkan. Meraurut Pasal 7

Undang-undang Fidusia, jaminan Fidusia dapat digunakan untuk menjamin

pelunasan utang baik yang sudah ada maupun yang akan ada, baik yang

jumlahnya sudah ditentukan maupun yang pada saat eksekusi nantinya dapat

ditentukan.Ketentuan dalam Pasa1 7 Undang-undang Fidusia, dimaksudkan untuk

menampung praktek yang selama ini banyak muncul, yaitu kredit-kredit yang

menggunakan rekening Koran38

38

Menurut Mariam Darus Badruizaman dalam bukunya, Perjanjian Kredit Bank, Cet. 5 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), halk. 47, Rekening Koran artinya perhitungan pos debet dan kredit. Di dalam rekeningn Koran bank, pihak bank membukukan perhitungnan harian tentang pengambilan dan setoran dari pemegang rekening Koran, dalam buku tertentu. Dan dari hubungan rekening Koran ini ditentukan saldo yang dapat ditagih. Sedangkan Johanes Ibrahim dalam bukunya, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Komsumtif Dalam Perjanjian Kredit Bank (Prespektif Hukum dan Ekonomi), Bandung: Mandar Maju, 2004, ha. 73 memberikan defenisi Rekening Korang adalah fasilitas yang diberikan dengan menggunakan saranan piñata hokum

(44)

utang-utang tersebut

melahirkan utang itu sudah ada, tetapi utangnya belum ada.

Pasal 9 Undang-undang Fidusia mengatakan bahwa:

Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap 1 (satu) atau lebih satuan atau

jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada ada saat jaminan

diberikan maupun yang diperoleh kemudian.

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui, bahwa objek jaminan Fidusia bisa

hanya berupa satu benda atau lebih dari satu benda, misalnya lima kendaram

bermotor. Benda jaminan itu bida merupakan benda tertentu atau disebutkan

berdasarkan jenis, seperti Kopi Robusia A, beras Cianjur. Objek jaminan Fidusia

juga dapat berupa benda bergerak tidak berwujud sepeati piutang/tagihan baik

yang sudah ada maupun yang akan ada. Selain itu untuk rnenghindarkan kesulitan

dan keruwetan dikemudian hari, dalam PasaI

diatetapkan bahwa jaminan Fidusia juga meliputi hasil dari benda jaminan Fidusia

dan juga klaim asuransi. Sebelum berlakunya UU No. 42 tahun 1999, yang

menjadi objek jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda

dalam persediaan, benda dagangan, piutang, Peralatan mesin dan kenderaan

bermotor.39 Tetapi dengan berlakunya UU No. 42 Tahun 1499, yang dapat

menjadi objek jaminan Fidusia diatur dalam Pasal 1 ayat 4, Pasal 10 dan Pasa120

UU No. 42 Tahun 1999, benda-benda yang menjadi objek jaminan objek Fidusia

adalah :40

1. Benda yang dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum;

2. Dapat berupa benda berwujud;

39

(45)

3. Benda berwujud termasuk piutang;

4. Benda bergerak

5. Benda tidak bergerak yang tidak dapai diikat dengan Hak Tanggungan

ataupun hipotek.;

6. Baik benda yang ada ataupun akan diperoleb kemudian,

7. Dapat atas satu satuan jenis benda;

8. Dapat juga atas lebih dari satuan jenis benda;

9. Termnasuk hasil dari benda yang menjadi objek jaminan Fidusia;

10. Benda persediaan.

Bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan di sini dalam

kaitannya dengan rumah susun sebagaimana diatur dalarn undagg-undang Nomor

16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan yang dapat menjadi pemberi Fidusia

adalah arang perorang atau koperasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan

Fidusia, sedangkan penerirna Fidusia adaiah oranag-orang atau perorangan yang

mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin pendaftaran jaminan Fidttsia.

D. Proses Terjadinya Lembaga Jaminan Fidusia

Sebagaimana perjanjian jaminan hutang lainnya, seperti perjanjian gadai,

hipotik, atau jaminan Fidusia, maka perjanjian Fidusia juga merupakan perjanjian

assessoir (perjanjian ikatan). Maksudnya adalah perjanjian assessoir ini tidak

mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/ membuntuti perjanjian lainnya yang

merupakan perjanjian pokok adalah perjanjian hutang piutang.41

(46)

Ada beberapa tahapan formal yang melekat dalam jaminan Fidusia, di

antaranya adalah:42

1. Tahapan pembebanan dengan pengikatan dalam suatu akta notaris.

2. Tahapan pendaftaran atas benda yang telah dibebani tersebut oleh

penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya kepada kantor pendaftaran Fidusia,

dengan melampirkan pernyataan pendaftaran.

3. Tahapan administrasi, yaitu pencatatan jaminan Fidusia dalam buku daftar

Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan

pendaftaran.

4. Lahirnya jaminan Fidusia yaitu pada tanggal yang sama dengan tanggal

dicatatnya jaminan Fidusia dalam buku daftar Fidusia.

Pembebanan kebendaan dengan jaminan Fidusia dibuat dengan akta

notaris dalam Bahasa Indonesia Yang merupakan alaa jaminan Fidusia. Dalam

akta jaminan Fidusia selain dicantumkan hari tanggal, juga dicantumkan

mengenai (jam) pembuatan akta tersebut.

Akta jaminan Fidusia sekurang-kurangnya memuat: 43

1. Identitas pihak pemberi dan penerima Fidusia

Identitas tersebut meliputi nama lengkap, agama, tempat tinggal, atau

tempat kedudukan dan tanggal 1ahir, jenis kelamin, status perkawinan, dan

pekerjaan.

2. Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia, yaitu mengenai macam

perjanjian dan utang yang dijamin dengan Fidusia.

3. Uraian rnengenai benda yang menjadi objek jaminan Fidusia.

42

(47)

Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan Fidusia cukup

dilakukan dengan mengidentifikasikan benda tersebut, dan dijelaskan

mengenai surat bukti kepemilikannya: jika benda selalu berubah-ubah

seperti benda dalam persediaan, haruslah disebutkan tentang jenis, merek,

dan kualitas dari benda tersebut.

4. Nilai penjaminan

5. Nilai benda yang menjadi objek jaminan Fidusia.

Akta jaminan Fidusia harus dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat yang

berwenang. Pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwa akta notaris merupakan

akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang

dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta para ahli warisnya atau para

pengganti haknya. Itulah mengapa sebabnya Undang-undang Janinan Fidusia

menetapkan perjanjian Fidusia harus dibuat dengan akta notaris.

Hutang yang pelunasannya dapat dijamin dengan jaminan Fidusia

adalah:44

1. Hutang yang telah ada

2. Hutang yang akan ada di kemudian hari, tetapi telah diperjanjian dan

jumlahnya sudah tertentu.

3. Hutang yang dapat ditentukan jumlahnya pada saat eksekusi berdasarkan

suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban untuk dipenuhi.

Misalnya, hutang kemudian.

(48)

Pasal 8 Undang-undang Jaminan Fidusia

Referensi

Dokumen terkait

Vprašali so se, kaj se zgodi, če peti postulat zanikamo: Skozi

Kemudian kesimpulan secara keseluruhan berkaitan dengan indikator ini dapat dipahami bahwa ketaatan pada aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini panitia

Sedangkan menyangkut aparatur hukum adalah Sumber Daya Manusia yang merupakan salah satu permasalahan dalam penerapan dan penegakan hukum di Mahkamah Syar’iyah.. Hal mana

Dari hasil output komputer dengan paket SPSS, memberikan deskriptif data total faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi penurunan pergerakan indeks harga saham gabungan di Bursa

a. Faktor horisontal : dipengaruhi oleh letak lintang geografis, jenis tanah, tingkat kelembaban dan curah hujannya. Di daerah iklim tropis flora dan fauna tersebar dalam jumlah

Iklim komunikasi sebagai kualitas pengalaman yang bersifat objektif mengenai lingkungan internal organisasi, yang mencakup persepsi anggota organisasi terhadap pesan

tingkat kepuasan masyarakat semakin meningkat. Pimpinan unit kerja diharapkan selalu memberikan pengarahan kepada bawahannya serta mengirimkan stafnya untuk

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zuchdi (2007) bahwa hasil belajar seorang siswa bisa saja mengalami peningkatan sesuai proses