PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH MELALUI PENJUALAN DIBAWAH TANGAN ATAS JAMINAN FIDUSIA DIPERUM
PEGADAIAN CABANG TANJUNG MORAWA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
M.SYAHRIL ICHLAS NIM:060200207
DEPARTEMEN: Hukum Perdata Dagang
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
SKRIPSI
PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH MELALUI PENJUALAN DIBAWAH TANGAN ATAS JAMINAN FIDUSIA DIPERUM
PEGADAIAN CAB. TANJUNG MORAWA
Disusun Oleh: M.SYAHRIL ICHLAS
NIM. 060200207
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk mencapai Gelar Sarjana Hukum
Ketua Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang
NIP.196603031985081001 Ir.Hasim Purba. SH.M.Hum)
Dosen Pembimbing I Dosen pembimbing II
(Edv Ikhsan. SH.MA) (Rosnidar Sembiring. SH.M.Hum) NIP.196302161988031002 NIP.196602021991032002
FAKULTAS HUKUM
UNTVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ABSTRAK
Pihak Pegadaian dalam memberikan kredit atau meminjamkan modal
tentunya mensyaratkan adanya jaminan bagi pemberian kredit tersebut sebagai
pengamanan dan kepastian akan kredit yang diberikan tersebut, karena tanpa
adanya pengamanan pihak Pegadaian akan sulit menghindari resiko yang terjadi
sebagai akibat kreditur yang wanprestasi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada di bidang Hukum Jaminan
Khususnya mengenai proses penyelesaian kredit bermasalah melalui penjualan di
bawah tangan yang dijamin dengan jaminan fidusia pada Perum Pegadaian Cab.
Tanjung Morawa dan hambatan-hambatan yang muncul dalam penyelesaian
kredit bermasalah melalui penjualan di bawah tangan yang dijamin dengan
jaminan fidusia pada Perum Pegadaian cab. Tanjung Morawa.
Penelitian ini menggunakan metode normatif Empiris yaitu dengan
menggunakan meneliti data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data
yang diperoleh langsung dari lapangan dengan menggunakan wawancara, serta
data sekunder adalah berupa studi kepustakaan. Analisa data yang digunakan
adalah analisis kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif.
Hasil penelitian yang diperoleh: 1) Berdasarkan hasil penelitian dalam
menyelesaikan kredit bermasalah apabila pemberi fidusia tersebut cidera janji,
pihak Pegadaian Cabang Tanjung Morawa melakukan penjualan di bawah tangan
melalui debitor tetapi tetap dalam pengawasan dari pihak Pegadaian. 2) Dalam
menyelesaikan kredit bermaslah yg dijamin dengan jaminan fidusia dengan
instrumen eksekusi dibawah tangan, ditemukan beberapa kendala seperti: a).
Keberatan debitur terhadap eksekusi jaminan fidusia seringkali ditemui kendala
perlawanan dari debitur yang keberatan fidusianya ditarik. b). Keberatan debitur
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas anugerah dan
karunia-NYA lab. masih diberikan kesehatan dan kemampuan untuk menjalani
perkuliahan sampai pada menyelesaikan skripsi pada Program Kekhususan
Dagang di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini.
Skripsi ini berjudul "PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH
MELALUI PENJUALAN DIBAWAH TANGAN ATAS JAMINAN FIDUSIA
DI PERUM PEGADAIAN CAB. TANJUNG MORAWA"
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih
sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tuayang sangat dihormati yang senantiasa membimbing, memperhatikan dan menyediakan segala apa yang diperlukan dalam segala
hal sampai saat ini.
2. Bapak Prof. Dr.Runrung Sitepu, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum selaku Ketua Bagian Departemen
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Edy Ikhsan, SH.MA selaku Dosen pembimbing I dan Ibu Rosnidar
Sembiring, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II
5. Bapak dan Ibu dosen serta seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan
adminitrasi mahasiswa selama ini.
6. Seluruh staf dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
7. Teman-teman yang merupakan teman akrab yang tidak pernah merasa
lelah dalam memberikan dukungannya.
Medan, Juli 2012 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. LatarBelakang ... 1
B. Permasalahan ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 7
D. Keaslian ... 8
E. TinjauanPustaka ... 8
F. Metode Penelitian ... 12
BAB II: TINJAUAN TERHADAP LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA A. SejarahdanPengertianLembagaJaminanFidusia ... 17
B. Ciri-Ciri Lembaga Fidusia ... 36
C. Objekdan Subjek Lembaga Jaminan Fidusia ... 37
D. Proses terjadinya Lembaga Jaminan Fidusia ... 40
E. Hapusnya Lembaga Jaminan Fidusia ... 44
F. Eksekusi Lembaga Jaminan Fidusia... 46
BAB III: KREDIT BERMASALAH A. Pengeertian Kredit Bermasalah ... 51
B. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Bermasalah ... 52
C. Jenis-Jenis Kredit Bermasalah ... 54
D. Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah ... 56
B. Pelaksanaan Penjualan Jaminan Fidusia dalam Upaya
Penyelesaian Kredit Bermasalah di Perum Pegadaian Cabang
Tanjung Morawa ... 71
C. Hambatan Yang Timbul Dalam Praktek Penjualan Jaminan
Fidusia dan Bagaimana Cara Penyelesaiannya ... 82
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 92
ABSTRAK
Pihak Pegadaian dalam memberikan kredit atau meminjamkan modal
tentunya mensyaratkan adanya jaminan bagi pemberian kredit tersebut sebagai
pengamanan dan kepastian akan kredit yang diberikan tersebut, karena tanpa
adanya pengamanan pihak Pegadaian akan sulit menghindari resiko yang terjadi
sebagai akibat kreditur yang wanprestasi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada di bidang Hukum Jaminan
Khususnya mengenai proses penyelesaian kredit bermasalah melalui penjualan di
bawah tangan yang dijamin dengan jaminan fidusia pada Perum Pegadaian Cab.
Tanjung Morawa dan hambatan-hambatan yang muncul dalam penyelesaian
kredit bermasalah melalui penjualan di bawah tangan yang dijamin dengan
jaminan fidusia pada Perum Pegadaian cab. Tanjung Morawa.
Penelitian ini menggunakan metode normatif Empiris yaitu dengan
menggunakan meneliti data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data
yang diperoleh langsung dari lapangan dengan menggunakan wawancara, serta
data sekunder adalah berupa studi kepustakaan. Analisa data yang digunakan
adalah analisis kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif.
Hasil penelitian yang diperoleh: 1) Berdasarkan hasil penelitian dalam
menyelesaikan kredit bermasalah apabila pemberi fidusia tersebut cidera janji,
pihak Pegadaian Cabang Tanjung Morawa melakukan penjualan di bawah tangan
melalui debitor tetapi tetap dalam pengawasan dari pihak Pegadaian. 2) Dalam
menyelesaikan kredit bermaslah yg dijamin dengan jaminan fidusia dengan
instrumen eksekusi dibawah tangan, ditemukan beberapa kendala seperti: a).
Keberatan debitur terhadap eksekusi jaminan fidusia seringkali ditemui kendala
perlawanan dari debitur yang keberatan fidusianya ditarik. b). Keberatan debitur
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintah dalam usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
yang merata maka didirikan Lembaga Perkreditan, baik lembaga perkreditas
perbankan maupun non perbankan. Lembaga perkreditas tersebut diharapkan
dapat memberikan kredit dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan
masyarakat dan dengan jaminan ringan kepada masyakarat luas, khususnya kredit
golongan ekonomi menengah ke bawah yang banyak menginginkan kredit untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, sedangkan digolongan ekonomi menengah ke
atas dipergunakan untuk menambah modal usaha.1 Wujud daripada hal tersebut
salah satu sasarannya adalah pegadaian. 2
Perum Pegadaian merupakan lembaga perkreditasn yang dikelola oleh
pemerintah yang kegiatan utamanya melaksanakan penyaluran uang pinjaman atas
kredit atas dasar hokum gadai. Peran pegadaian sebagai lembaga pembiayaan
dalam era sekarang dan masa akan dapat tetap penting untuk mewujudkan
pemberdayaan ekonomi rakyat baik di kota maupun di pedesaan.3
Gadai pada dasarnya diberikan untuk menjamin suatu tagihan atau kredit,
memang kredit diberikan terutama atas dasar integritas atau kepribadian debitor,
1
Rachamadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal 156.
2
R.T Sutantya Raharja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal 31.
3
kepribadian yang menimbulkan rasa percaya diri kreditor bahwa debitor akan
memenuhi kewajiban pelunasannya dengan baik.4
Adapun ketentuan mengenai gadai itu sendiri diatur dalam KUH Perdata
Buku II Bab XX, Pasal 1150 – 1161. Pasal 1150 KUH Perdata memberikan
pengertian gadai sebagai berikut :
“Gadai adalah sautu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya: dan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang lelang itu di gadaikan, baiya-biaya mana harus didahulukan.” 5
Menurut system hukum Indonesia dan juga hukum dikebanyakan
Negara-negara Eropa Kontinental, jika yang menjadi objek jaminan utang adalah benda
begerak, maka jaminannya diikat dalam bentuk gadai. Dalam hal ini, objek gadai
tersebut harus diserahkan kepada pihak yang menerima gadai (kreditor).
Sebaliknya, jika yang menjadia objek jaminan hutang adalah benda tidak
bergerak, maka jaminan tersebut harus berbentuk hipotik (sekarang ada hak
tanggungan). Relevansinya, terdapat kasus-kasus dimana barang obejk jaminan
huta masih tergolong barang bergerak, tetapi pihak kreditor enggan menyerahkan
kekuasaan atas barang tersebut kepada kreditor, sementara pihak kreditor tidak
mempunyai kepentingan, bahkan kerepotan jika barang tersebut diserahkan
kepadanya, karena itulah dibutuhkan adanya satu bentuk jaminan hutan yang
objeknya masih tergolong benda bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan
atas benda tersebut
4
kepada pihak kreditor. Ada kalanya pihak kreditor dan pihak debitor sama-sama
tidafc berkeberatan agar diikatkan jaminan hutang berupa gadai alas hutang yang
dibaatnya, tetapi barang yang dijaminkan karena sesuatu dan lain hal tidak dapat
diserahkan kepemilikannya kepada hak kreditor.6 Akhirnya, muncullah bentuk
jaminan baru dimana objeknya benda bergerak, tetapi kekuasaaa atas benda
tersebut tidak beralih dari debitor kepada kreditor, inilah yang dinamakan jaminan
Fidusia.7
Fidusia dianggap sebagai jaminan yang lebih cocok bagi pegadaian
ataupuan nasabahnya uutuk barang bergerak, karena debitor tidak perlu
repot-repot menyediakan tempat menyimpan dan merawat barangnya. Dalam jaminan
ini barang tidak diserahkaa pada kreditor tetapi masih dalam kekuasaan debitor,
hanya hak miliknya diserahkan secara kepercayaan. Jadi selama hutanya belum
dibayar lunas oleh kreditor, maka hak milik barang berpindah untuk sementara
waktu kepada debitor.8
Terkait dengan jaminan Fidusia, saat ini lembaga-lembaga pegadaian telah
menerapkan pemberian kredit ke masyarakat dengan menggunakan jaminan
Fidusia. Oleh karenanya, walaupun disebut sebagai lembaga pegadaian, namun
dikarenakan objeknya adalah benda bergerak, maka lembaga-lembaga pegadaian
banyak yang membungkam diri untuk memberikan kredit dengan jaminan
Fidusia.9
Apabila pemegang Fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia
dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat suatu penetapan
6
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2000), Hal. 1 7
Ibid, hal. 1 8
permononan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekosi ini
bisa ditojukan kepada aparat kepolisian. pamong praja, dan pamong desa/
kehirahan difflaaa beada objek jamiaas Fidissia berada. Desgaa demikian, apabila
debitor wanprestasi atau tidak dapat melunasi kutang-hutangnya atau tidak
mampu menebus barangnya saiapai habis jangka waktu yaag telah ditentukan,
maka pihak kreditor berhak untuk melelang barang Fidusia tersebut dan hasil dari
penjualan lelang tersebut sebagian untuk melunasi hutang kreditnya dan sebagian
lagi untuk biaya yang dikeluarkan untuk metelang barang tersebut dan sisanya
diberikan kepada debitor.10
Ada beberapa cara yang dapat diiakukan kreditor terhadap objek Jaminan
Fidusia apabila debitor cidera janji, yaitu:11
1. Pelaksanaaa fitei eksekutoiai dimaksud Pasai 15 ayat (2) oleh penerima
Fidusia,
2. Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan
penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan uraum serta mengembalikan
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan,
3. Penjualan di bawah tangaa yang diiakukan berdasarkan kesepakatan
pemberi dan penerima Fidusia jika dengan eara demikian dapat diperoleh
harga tertinggi yang para pihak.
Menurut Munir Fuady, model-model eksekosi Jaminan Fidusia
berdasarkan Undang-undang Jaminan Fidusia sebagai berikut;12
10
Gunawan Widjaja, Jaminan Fidusia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 141. 11
1. Secara fiat eksekusi (dengan memakai title eksekutorial), yakni lewat suatu
penetapan pengadilan.
2. Secara parate eksekusi yakni dengan menjual (tanpa perlu penetapan
pengadilan) di depan pelelangan umum.
3. Dijual di bawah tangan oleh pihak kreditor sendiri.
4. Sungguhpun tidak disebutkan dalam UUJF, tetapi tentunya pihak kreditor
dapat menempuh prosedur eksekusi biasa lewat gugatan biasa ke
pengadilan.
J. Satrio mengatakan bahwa, eksekusi yang didasarkan atas Pasal 29 ayat
(1) huruf b Undang-undang Jaminan Fidusia, yang berdasarkan title eksekutorial
sertifikat Jaminan Fidusia yang mempunya kekuatan hukum tetapm maka
pelaksanaan juga harus mengikuti prosedur yang sama dengan keputusan
pengadilan.13
Jaminan Fidusia dapat juga dieksekuis dengan cara menjual benda objek
Fidusia tersebut secara dibawah tangah dengan syarat-syarat sebagai berikut :
Sementara itu, pelaksanaan parate eksekusi tidak melibatkan
pengadilan maupun juru sita. Apabila dipenuhi syarat Pasal 29 ayat (1) huruf b
UUJF, kreditor bias langsung menghubungi juru lelang dan minta agar barang
jaminan dilelang dan pelaksanaan penjualannya harus di muka umum.
14
1. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dengan penerima Fidusia.
2. Jika dengan cara penjualan dibawah tangan tersebut dicapai harga tertinggi
yang menguntungkan para pihak.
3. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima Fidusia kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
13
4. Diumumkan dalam sedikit-dikitnya dalam dua surat kabar yang beredar di
daerah yang bersangkutan.
5. Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1(satu) bulan sejak
diberitahukan secara tertulis.
Oleh karena hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti mengenai
“Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Penjualan di Bawah Tangan atas Jaminan Fidusia di Perum Pengadaian Cab. Tanjung Morawa”.
B. Permasalahan
Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan Fidusia di
Perum Pegadaian Cabang Tanjung Morawa ?
2. Bagaimana pelaksanaan Penjualan Jaminan Fidusia dalam upaya
penyelesaian kredit macet di Perum Pegadaian Cabang Tanjung Morawa ?
3. Apa hambatan yang timbul dalam praktek penjualan jaminan Fudisua dan
bagaimana cara penyelesaiannya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengatahui pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan
2. Untuk mengetahui pelaksanaan Penjualan Jaminan Fidusia dalam
upaya penyelesaian kredit macet di Perum Pegadaian Cabang Tanjung
Morawa.
3. Untuk mengetahui kendala yang timbul dalam praktek penjualan
jaminan Fidusia bagaimana cara penyelesaiannya.
2. Manfaat a. Teoritis
1) Penelitian ini dapat menambah referensi atau khasanah
kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan, khususnya hukum
jaminan secara Fidusia.
2) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan
bagi penelitian yang akan dapat apabila sama bidang penelitiannya.
b. Manfaat Praktis
1) Hasil penelitian in dapat memberikan sumbangan pemikiran
mengenai pelaksanaan lembaga jaminan Fidusia di dalam
masyarakat.
2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan
ilmu hukum, khususnya hukum jaminan secara Fidusia.
D. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian
yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi
etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenaran secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
Untuk meminimalkan tingkat pembiayaan bermasalah salah satu proses
yang sangat penting adalah pada saat analisis kredit. Terdapat tiga fungsi yang
menyertai proses kredit, yaitu :15
a. Business development dan analisis kredit
Aktivitas Business development terkonsentrasi untuk mengidentifikasi
debitor yang memiliki potensi lancer dan membangun hubungan dalam
kredit.
Analisis kredit adalah proses untuk menaksir resiko termasuk di antaranya
adalah melakukan review data financial debitor.
b. Eksekusi kredit dan administrasi
Secara formal staf kredit menerima atau menolak pengajuan kredit dan
melakukan dokumentasi kredit.
c. Review kredit
Petugas kredit akan melakukan review kredit secara periodic terutama
ketika masa kredit perlu diperbaharui. Pada saat review tersebut, mungkin
masa kredit perlu diubah dan disesuaikan dengan perubahan status debitor.
Sebelum memberikan kredit, pihak kreditor biasanya melakukan penelitian
terlebih dahulu terhadap Character (watak), Capcity (kemampuan), Capital
15
(modal), Collateral (agunan) dan Condition of economic (prospek usaha debitor)
atau yang lebih dikenal dengan istilah 5C. Sebelum melakukan pemberian kredit,
sekurang-kurangnya kreditor harus melakukan analisis kalayakan usaha melalui
penerapan factor 5C serta penilaian terhadap aspek kemampuan membayar,
yakni:16
a. Character
Faktor ini menyangkut kemauan debitor untuk membayar kembali
kreditnya. Kemauan debitor dapat dilihat dari track record pembayaran
pinjaman sebelumnya maupun pertimbangan terhadap latar belakang
pendidikan dan pengalaman dalam bisnis.
b. Capacity
Faktor ini untuk menjawab pertanyaan “can he pay?” atau kemampuan
debitor untuk membayar kreditnya. Kemampuan ini dapat dilihat dari cash
flow. Sejarah pembayaran juga akan menjadi pertimbangan untuk melihat
kemungkinan pembayaran yang akan datang.
c. Capital
Capital diperlukan untuk menjawab pertanyaan “how much can he pay?”.
Capital juga dapat diartikan jumlah uang yang diinvestasikan dalam bisnis
tersebut dan besarnya resiko yang perlu ditanggung ketika bisnis tersebut
gagal.
d. Conditional of Economy
16
Penilaian factor ini menyangkut kondisi bisnis seperti tujuan peminjaman
ataupun kondisi eksternal yang berada di luar kendali debitor seperti
kondisi ekonomi dan tingkat persaingan usaha.
e. Collateral
Apabila terjadi suatu kegagalan oleh debitor yang menyebabkan macetnya
kredit, pemberi pinjaman akan menggunakan agunan (collateral) untuk
melunasi kredit. Jadi agunan merupakan second way out bagi kreditor
untuk menjamin pembayaran kredit atau sebagai bentuk sekuritisasi
kreditnya. Jaminan disini berarti kekayaan yang dapat dikaitkan sebagai
jaminan guna kepastian pelunasan dikemudian hari jika penerima kredit
tidak melunasi hutangnya.17
Kegiatan perkreditan akan berjalan lancer apabila adanya saling mempercayai dari
semua pihak yang terkait dengan kegiatan tersebut. Keadaan itupun dapat
terwujud hanya apabila semua pihak yang terkait mempunyai integritas moral.
Kondisi dasar seperti ini sangat diperlukan oleh kreditor dalam usaha dan alokasi
dana untuk kredit, karena dana yang ada pada kreditor kemungkinan sebagian
besar dana merupakan milik pihak ketiga yang dipercayakan kepada kreditor
tersebut. Dengan demikian sebaliknya pula bank dituntut dan kewajiban untuk
selalu menjaga kepercayaan yang diberikan oleh pihak ketiga dalam menjalankan
penggunaan dana tersebut.
Jika kredit menilai bahwa seorang calon
dibitor telah memenuhi criteria di atas, barulah kreditor mau memberikan
kredit yang diminta debitor tersebut.
18
17
Pemberian kredit atau pembiayaan selalu diminta jaminan dari debitor,
jaminan yang dimaksud adalah keyakinan kreditor atas kemampuan debitor untuk
melunasi utangnya. Keyakinan tersebut diperoleh setelah kreditor menilai watak
(character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral) dan
prospek usaha dari debitor (condition of economy). Seringkali kreditor tidak saja
memegang agunan pokok yaitu barang yang dibiayai dengan kredit bank, tetapi
juga diminta agunan tambahan dari debitor berupa barang yang tidak dibiayai oleh
kredit yang diikat secara hukum. Konsekuensinya jika kreditnya macet, maka
kreditor dapat memperoleh prioritas pengembalian dananya dengan mencairkan
(melelang) agunana yang diberikan nasabah.19
Oleh karena hal tersebut, dalam perjanjian jaminan kebendaan, benda tetap
menjadi milik debitor, benda hanya disiagakan untuk menjaga-jaga terhadap
kemungkinan terjadi wanprestasi. Dalam jaminan perorangan tidak ada benda
tertentu yang diikat dalam perjanjian, yang diikat dalam perjanjian adalah
kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitor. Dalam jaminan
perorangan karena tidak diperjanjikan benda sebagai objek jaminan, maka apabila
terjadi ingkar janji akan berlaku ketentuan jaminan secara umum yang diatur
dalam pasal 1131 KUH Perdata dan pasal 1132 KUH Perdata.
Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan,
yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara
yang berpiutang itu ada alas an yang sah untuk didahulukan. Ketentuan ini
merupakan jaminan umum yang timbul dari undang-undang yang berlaku umum
19
bagi semua kreditor. Disini para kreditor mempunyai kedudukan yang sama
(paritas creditorum), kecuali apabila kreditor mempunya hak istimewa.
F. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian
yang bertujuan memberikan data yang seteliti mungkin tentang gejala-gejala yang
sudah ada, yaitu jaminan Fidusia.20 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan
ilmiah yang didasarkan pada suatu metode, sistematika, dan pemikiran tertentu,
yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu,
dengan jalan menganalisanya.21
2. Jenis Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normative-empiris,
22
dalam penelitian empiris23
20
Soerjono Seokarno, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI-Press, 1982), hal. 10
dilakukan untuk memperoleh data primer, yaitu
dengan melakukan wawancara dengan Majemen Perum Pegadaian Cabang
Tanjung Morawa, sedangkan penelitian hukum normative, dilakukan melului
kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang
berkaitan dengan skripsi. Pada penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books)
atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
21
Ibid, hal. 43 22
Pada Hukum Normatif-empiris yang diteliti adalah data primer dan data sekunder. Ibid, hal. 52
23
berperilaku manusia yang dianggap pantas. Penelitian hukum normative ini
sepenuhnya menggunakan data sekunder,24
a. Dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang
berwenang
yang terdiri dari :
25
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang meliputi :
2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
3) Undang-undang nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
4) Undang-undang nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
5) Akta Perjanjian Kredit dan yang berlaku di Perum Pegadaian Cab.
Tanjung Morawa
6) Memorandum-memorandum tentang jaminan kredit yang berlaku di
Perum Pegadaian Cab. Tanjung Morawa.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer yang meliputi :
1) Literatur yang membahas mengenai masalah pegadaian
2) Literatur yang membahas menganai hukum perjanjian
3) Literatur yang membahas mengenai hukum jaminan.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus
hukum, ensiklopedia dan lain-lain.
24
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2006), hal. 118
25
3. Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti alur atau langkah-langkah
sebagai berikut :
a. Tahap persiapan, yaitu tahap pra penelitian dengan terlebih dahulu
melakukan perumusan masalah yang akan diteliti, selanjutnya dibuatkan
dalam bentuk proposal penelitian untuk mendapatkan persetujuan dari
dosen pembimbing. Setelah proposal disetujui peneliti menyusun pedoman
wawancara.
b. Tahap pelaksanaan, yaitu tahap pengerjaan penelitian itu sendiri. Tahap ini
dilaksanakan dengan dua langkah yaitu penelitian kepustakaan (studi
literatur) yang ditujukan untuk menelusuri bahan-bahan pustaka yang
relevan untuk diangkat dalam kerangka teoritis, dan pelaksanaan penelitian
di lapangan untuk melakukan pengumpulan data primer dari nara sumber.
c. Tahap penyelesaian, yaitu tahap pengolahan (analisis) data dilanjutkan
dengan penyusunan draft tesis untk dikonsultasikan dan mendapatkan
persetujuan dari dosen pembimbing. Setelah mendapatkan persetujuan
pembimbing, finalisasinya adalah pelaksanaan presentasi di hadapan
komisi dosen penguji untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
4. Analisa Data
Analisa data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya
ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.26
Seluruh data primer dan
sekunder yang diperoleh dari penelitian lapangan dan pustaka diklasifikasikan dan
analisis. Langkah selanjutnya, dari data primer dan data sekunder yang telah
disudun dan ditetapkan sebagai sumber dalam penyusunan tesis ini kemudian
dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif.
Analisis kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan
menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan
kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi
kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan. Sedangkan metode
deksriptif yaitu metode analisis dengan memilih data yang menggambarkan
keadan sebenarnya di lapangan.27
BAB II
TINJAUAN TERHADAP LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA
A. Sejarah dan Pengertian Lembaga Jaminan Fidusia
Fidusia28
Pranata jaminan Fidusia telah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat
hukum romawi. Ada dua bentuk jaminan Fidusia, yaitu, jaminan Fidusia cum
creditore dan Fidusia cum amico. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut
pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio.
Dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya fiducia cum creditore contracta
yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor, dikatakan bahwa
debitor akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditor sebagai
jaminan atas hutangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengalihakn
kembali kepemilikan tersebut kepada debitor apabila hutangnya sudah dibayar
lunas. Kalah dihubungkan dengan sifat yang ada pada setiap pemegang hak, maka
dikatakan bahwa debitor mempercayakan kewenangan atas suatu barang kepada menurut asal katanya berasal dari kata “fides” tabg berarti
kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara debitor
(pemberi Fidusia) dan kreditor (penerima Fidusia) merupakan hubungan hukum
yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi Fidusia percaya bahwa penerima Fidusia
mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah dilunasi
hutangnya. Sebaliknya, penerima Fidusia percaya bahwa pemberi Fidusia tidak
akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada pada kekuasaannya.
28
kreditor untuk kepentingan kreditor sendiri (sebagai jaminan pemenuhan
perikatan oleh kreditor).
Timbulnya fiducia cum creditore disebabkan kebutuhan masyarakat akan
hukum jaminan. Pada waktu itu dirasakan adanya suatu kebutuhan akan adanya
hukum jaminan ini yang belum diatur oleh konstruksi hukum. Dengan fiducia cum
creditore maka kewenangan yang dimiliki kreditor akan lebih besar, yaitu sebagai
pemilik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan. Debitor percaya bahwa
kreditor tidak akan menyalahgunakan wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya
hanya terbatas pada kepercayaan dan secara moral saja dan bukan kekuatan
hukum. Debitor tidak akan berbuat apa-apa jika kreditor tidak mau
mengembalikan hak milik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan itu. Hal
ini merupakan kelemahan Fidusia pada bentuk awalnya jika dibandingkan dengan
sistem hukum jaminan yang dikenal sekarang. Karena adanya kelemahan itu maka
ketika gadai dan hipotek berkembang sebagai hak-hak jaminan, Fidusia menjadi
terdesak dan bahkan akhirnya hilang sama sekali dari Hukum Romawi. Jadi
Fidusia timbul karena memang ada kebutuhan masyarakat akan hukum jaminan
dan kemudian lenyap karena dianggap tidak lagi dapat memenuhia kebutuhan
tersebut.
Masyarakat Romawi pada waktu itu menganggap bahwa gadai dan hipotek
dianggap lebih sesuai karena adanya aturan tertulis sehingga lebih memberikan
kepastian hukum. Gadai dan hipotik juga memberikan hak-hak yang seimbang
antara kreditor dan debitor. Demikian pula hak-hak dari pihak ketiga akan lebih
terjamin kepastiannya karena ada aturannya pula. Masyarakat Romawi juga
pranata titipan yang disebut fiducia cum amino contracta yang artinya janji
kepercayaan yang dibuat dengan teman. Pranata ini pada dasarnya sama dengan
pranata “trust” sebagaimana dikenal dalam system hukum common law. Lembaga
ini sering digunakan dalam hal seorang pemilik suatu benda harus mengadakan
perjalanan ke luar kota dan sehubungan dengan itu menitipkan kepemilikan benda
tersebut kepada temannya dengan janji bahwa teman tersebut akan
mengembalikan kepemilikan benda tersebut jika pemiliknya sudah kembali dari
perjalanannya. Dalam fiducia cum amino contracta ini kewenangan diserahkan
kepada pihak penerima akan tetapi kepentingan tetap ada pada pihak pemberi.
Perkembangan selanjutnya adalah ketika hukum Belanda meresepsi hukum
Romawi, dimana hukum Fidusia sudah lenyap Fidusia tidak ikut diresepsi. Itulah
sebabnya mengapa dalam Burgelijk Wetboek (BW) Belanda tidak ditemukan
pengaturan tentang Fidusia. Seterusnya sesuai dengan asas konkordansi, dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia yang memberlakukan BW juga
tidak ditemukan pengaturan tentang Fidusia.
1. Di Belanda
Dalam Burgelijk Wetboek (BW) Belanda, pranata jaminan jaminan yang
diatur adalah gadai untuk barang bergerak dan hipotek untuk barang tidak
bergerak. Pada mulanya kedua pranata jaminan dirasakan cukup memenuhi
kebutuhan masyarakat pada saat itu dalam bidang prekreditan. Tetapi karena
terjadi krisis pertanian yang melanda Negara-negara Eropa pada pertengahan
sampai akhir abad ke- 19, terjadi penghambatan pada perusahaan-perusahaan
pertanian untuk memperoleh kredit. Pada waktu itu tanah sebagai jaminan kredit
jaminan tambahan di samping jaminan tanah tadi. Kondisi seperti ini menyulitkan
perusahaan-perusahaan pertanian. Dengan menyerahkan alat-alat pertaniannya
sebagai jaminan gadai dalam pengambilan kredit sama saja dengan bunuh diri.
Apalah artinya kredit yang diperoleh kalau alat-alat pertanian yang dibutuhkan
untuk mengolah tanah sudah berada dalam penguasaan kreditor. Terjadilah
perbedaan kepentingan antara kreditor dan debitor yang cukup menyulitkan kedua
pihak. Untuk melakukan gadai tanpa penguasaan terbentur pada ketentuan 1152
ayat (2) BW yang melarangnya.
Untuk mengaasi hal tersebut dicarilah terobosan-terobosan dengan
mengingat konstruksi hukum yang ada, yaitu jual berli dengan hak membeli
kembali dengan sedikit penyimpangan. Bentuk ini digunakan untuk menutupi
suatu perjanjian peminjaman dengan jaminan. Pihak penjual (penerima kredit)
menjual barangnya kepada pembeli (pemberi kredit) dengan ketentuan bahwa
dalam jangka waktu tertentu penjual akan membeli kembali barang-barang itu dan
yang penting barang-barang tersebut akan tetap berada dalam penguasaan penjual
dengan kedudukan sebagai peminjam pakai. Untuk sementara hal ini dapat
mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi pada waktu itu. Tetapi hal itu bukan
bentuk jaminan yang sebenarnya, tentu akan timbul keragu-raguan dalam
prakteknya.
Keadaan seperti itu berlangsung terus sampai dikeluarkannya keputusan
oleh Hoge Road (HR) Belanda tanggal 29 Januari 1929 yang terkenal dengan
nama Bierbrouwerij Arrest. Kasusnya adalah sebagai berikut: NV Heineken
Bierbrouwerij Maatschappij meminjamkan uang sejumlah f 6000 dari P. Bos
dan bangunan yang digunakan Bos sebagai tempat usahanya. Untuk lebih
menjamin pelunasan hutangnya, Bos menjual inventaris warungnya kepada
Bierbrouwerij dengan hak membeli kembali dengan syarat bahwa inventaris itu
untuk sementara dikuasai oleh Bos sebagai peminjam pakai. Pinjam pakai itu
yang akan berakhit jika Bos tidak membayar utang pada waktunya atau bilamana
Bos jatuh pailit. Ternyata Bos benar-benar jatuh pailit dan hartanya diurus oleh
curator kepailitan (Mr. AW de Haan), termasuk inventaris tadi. Bierbrouwerij
kemudian menuntut kepada curator kepailitan untuk menyerahkan inventaris tadi
dengan sitaan revindikasi. Kurator menolak dengan alasan bahwa perjanjian jual
beli dengan hak membeli kembali tersebut adalah tidak sah, karena hanya
berpura-pura saja. Dalam gugatan rekonversi kurator kepailitan menuntut
pembatalan perjanjian jual beli dengan membeli kembali tersebut.
Dalam sidang pengadilan tingkat pertama, pengadilan Rechbank dalam
putusannya menolak gugatan Bierbrouwerij dan dalam rekonversi mengabulkan
gugatan rekonversi dengan membatalkan perjanjian jual beli dengan hak membeli
kembali tersebut. Alasannya adalah para pihak hanya berpura-pura mengadakan
perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut, yang sesungguhnya
terjadi adalah perjanjian pemberian jaminan dalam bentuk gadai. Akan tetapi
gadai tersebut adalah tidak sah karena barangnya tetap berada dalam kekuasaan
pemberi gadai sehingga bertentangan dengan larangan Pasal 1152 ayat (2) Kitab
Undang-undang Perdata (1198 ayat (2) BW).
Atas putusan ini Bierbrouwerij menyatakan banding yang keputusannya
adalah menyatakan jual beli dengan hak membeli kembali tersebut adalah sah.
warung kopi Bos kepada Bierbrouwerij. Atas keputusan ini Kurator Kepailitian
menyatakan kasasi dan dalam putusannya Hoge Raad menyatakan bahwa yang
dimaksud oleh para pihak adalah perjanjian penyerahan hak milik sebagai jaminan
dan merupakan title yang sah. Kurator Kepailitan diperintahkan untuk
menyerahkan inventaris Bos kepada Bierbrouwerij. Hal ini telah melahirkan
pranata jaminan dengan jaminan penyerahan hak milik secara kepercayaan yang
dikenal dengan Fidusia.
2. Pengaturan Di Indonesia Sebelum Diundangkannya UU. No. 42 Tahun 1999
Pada abad ke-19, krisis yang terjadi di Eropa membawa imbas pada
Indonesia sebagai Negara jajahan Belanda. Untuk mengatasi masalah itu lahirlah
peraturan tentang ikatan panen atau Oogstverband (Staatsblad 1886 Nomor 57).
Peraturan ini mengatur mengenai peminjaman hutang yang diberikan dengan
jaminan atas barang-barang bergerak, atau setidak-tidaknya kemudian menjadi
barang bergerak, sedangkan barang-barang itu tetap berada dalam kekuasaan
debitor. Seperti halnya di Belanda, keberadaan Fidusia di Indonesia diakui oleh
yurisprudensi berdasarkan keputusan Hooggerechtsh of (HGH) tanggal 18
Agustus 1932.
Walaupun demikian, sebenarnya konsep constitutum possessorium ini
bukan hanya monopoli hukum barat saja. Kalau diteliti dan dicermati, dalam
hukum adat di Indonesia pun mengenal konstruksi yang demikian. Misalnya
tentang gadai tanah menurut hukum adat. Penerima gadai biasanya bukan petani
penggarap, dan untuk itu ia mengadakan perjanjian bagi hasil dengan petani
tanah tetapi bukan sebagai pemilik melainkan sebagai penggarap. Setelah adanya
keputusan HGH itu, Fidusia selanjutnya berkembang dengan baik di samping
gadai dan hipotik.
Dalam perjalanannya, Fidusia telah mengalami perkembangan yang cukup
berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan para pihak. Pada
zaman Romawi dulu, kedudukan peneriman Fidusia adalah sebagai pemilik atas
barang yang difidusiakan, akan tetapi sekarang sudah diterima bahwa penerima
Fidusia hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan saja.
Tidak hanya sampai di situ, perkembangan selanjutnya juga menyangkut
kedudukan debitor, hubungannya dengan pihak ketiga dan mengenai objek yang
dapat difidusiakan. Mengenai obyek Fidusia ini, baik Hoge Raad Belanda maupun
Mahkamah Agung di Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa Fidusia
hanya dapat dilakukan atas barang-barang bergerak. Apalagi dengan berlakunya
Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang No.5 Tahun 1960 yang lebih
dikenal dengan UUPA) perbedaan antara barang bergerak dan tidak bergerak
menjadi kabur karena undang-undang tersebut menggunakan pembedaan
berdasarkan tanah dan bukan tanah.
Sistem hukum adat dan system hukum perdata barat sangan dominant
mempengaruhi perkembangan hukum jaminan nasional, antara lain bahwa dalam
Hukum Adat membedakan benda dalam dua golongan yaitu benda tanah dan
benda bukan tanah, sedangkan hukum Perdata Barat yaitu hukum Perdata yang
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) membagi benda dalam
tersebut sangat berpengaruh pada lembaga jaminan untuk jenis-jenis benda
tersebut diatas.29
Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Mochtar Kusuma Atmadja30
Dalam rangka menjaga terjadinya kekosongan hukum, maka
dirumuskanlah Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
, bahwa
dalam rangka pembentukan hukum, maka kesepakatan untuk menetapkan
hukum-hukum mana yang perlu diadakan menarik untuk dibicarakan, sebagian pakar
hukum berpendapat bahwa hukum perikatan atau kontrak sudah sangat mendesak
(urgent) untuk diganti, sebagian pakar hukum lainnya berpendapat disamping
hukum perikatan juga sudah perlu diganti perihal hukum perorangan (Van
Personem), hukum kebendaan (Van Zaken), hukum jaminan, dilain pihak ada
yang menganggap bahwa hukum waris nasional sudah waktunya untuk digarap.
31
29
Retnowulan Sutanto, “Lembaga Jaminan Kredit dan Pelaksanaannya secara Paksa”, makalah dalam seminar 150 Tahun Kitab Undang-undang Hukum Perdata, BPHN, Jakarta 1999, hal: 2
, dengan Pasal tersebut
berlakulah diantaranya, hukum jaminan yang didasarkan pada hukum barat yang
di atur dalam KUHPerdata dan hukum Jaminan yang didasarkan pada hukum
adat, selain hukum jaminan yang didasarkan pada hukum Islam, akan tetapi dalam
prakteknya pemakaian hukum jaminan didominasi oleh ketentuan yang diatur
dalam Kitan Undang-undang Hukum Perdata Barat (BW), walaupun secara local
di wilayah tertentu berlaku pula hukum jaminan yang didasarkan pada Hukum
Adat setempat dan Hukum Islam, sehingga dalam perkembangan pembentukan
hukum jaminan nasional pengaruh dari sistem hukum tersebut di atas mewarnai
hukum jaminan di Indonesia.
30
Mochtar Kusuma Atmadja, “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional”, makalah Lokakarya, Jakarta: BPHN, Hal. 19
31
Dalam hukum jaminan dikenal adanya jaminan secara umum dan secara
khusus, jaminan secara umum yaitu jaminan yang timbul dari undang-undang,
sedangkan jaminan secara khusus merupakan jaminan yang timbul dari suatu
perjanjian baik berupa perjanjian kebendaan maupun perjanjian perorangan,
perjanjian-perjanjian jaminan khusus tersebut sifatnya accessoir terhadap
perjanjian pokoknya. Dengan adanya jaminan umum, maka hukum jaminan telah
memberikan perlindungan berupa jaminan secara umu kepada kreditor bagi
pelunasan utang debitor, akan tetapi untuk memberikan rasa aman (kepastian),
maka dalam praktek sering dibuat perjanjian jaminan, baik berupa perjanjian
jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan32
Dilain pihak akselerasi perkembangan ekonomi dan dinamika global
berpengaruh pula terhadap perkembangan hukum jaminan di Indonesia, maka
dalam pembentukan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusuma
Atmadja
.
33
Selain itu dalam hubungannya dengan hukum jaminan, maka akan terkait
dengan hukum benda tanha dan benda bukan tanah, sebagaimana dimaklumi
bahwa dalam sistem hukum adat dianut asas pemisahan horizontal, pada asas
pemisahan horizontal prinsipnya memisahkan kepemilikan benda tanah dan benda
bukan tanah yang melekat pada tanah tesebut, sehingga pemilik tanah tidak selalu , perkembangannya lebih cenderung membuat Kodifikasi Partial
(sebagian), sehingga pemikiran untuk mengadakan kodifikasi konprehensip sudah
ditinggalkan, oleh karena itu dalam pembentukan dan pengembangan hukum
jaminan arahnya mengikuti kodifikasi parsial tersebut.
32
Lihat Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) 33
menjadi pemilik rumah, tanam-tanaman yang ada di atas tanah,34
Perkembangan hukum nasional, dalam hal ini kaitannya dengan
perkembangan hukum jaminan, khususnya perkembangan lembaga jaminan di
Indonesia dapat diamati dari perubahan melalui pembentukan peraturan
perundang-undangan, hal ini terjadi karena pertimbangan kebutuhan hukum,
akibat dari percepatan perekonomian, selain itu perubahan hukum diadakan
karena negara-negara bekas jajahan memiliki kesadaran tinggi untuk memperbaiki
sistem hukumnya, maka hukum jaminan dibutuhkan karena berkaitan dengan
aspek ekonomi, juga untuk kepastian hukum. Dilain pihak perkembangan hukum
jaminan, jika diamati dari sudut substansi hukum walaupun ada kalanya
menguntungkan menggunakan model-model asing yang berupa konsepsi,
proses-proses dan lembaga-lembaga hukumnya, pada isis lain ada juga yang
menghambat karena mungkin saja tidak sesuai dengan kesadaran hukum
masyarakat dimana hukum itu akan diberlakukan, oleh karena itu diperlukan sehingga
dalam hukum jaminan baik hukum jaminan kebendaan maupun jaminan
perorangan idealnya digabungkan dalam suatu Undang-undang, alasannya
meskipun jaminan perorangan merupakan salah satu jenis perjanjian khusus,
tetapi tetap merupakan bagian hukum jaminan, oleh karenanya dalam satu
Undang-undang yang mengatur hukum jaminan akan diatur dan ditemui ketentuan
jaminan umum dan jaminan khusus, sehingga secara teoritis dalam hukum
jaminan akan tersusun secara sistematis adanya Ketentuan Umum, Lembaga
Jaminan Kebendaan, Lembaga Jaminan Perorangan dan Ketentuan Hukum
Acara.
34
melakukan adopsi terhadap hukum asli dari masyarakat yang bersangkutan, oleh
karenanya sangat perlu diadakan kombinasi konsepkonsep, prosedur dan lembaga-
lembaga hukum tersebut, sehingga hukum jaminan di Indonesia, selain dapat
diterima oleh masyarakat asli, juga dapat mengimbangan pergaulan International.
Dengan demikian secara teoritis perkembangan hukum jaminan, khususnya
lembaga jaminan di Indonesia akan mencakup antara lain; perkembangan
substansi hukumnya; perkembangan lembaga jaminan; perkembangan obyek
(benda-benda) dan subyeknya; perkembangan prosedurnya yang berkaitan dengan
pendaftaran, masa berlaku, hapus dan eksekusinya serta berhubungan dengan
perkembangan lembaga-lembaga penunjang hukum jaminan di Indonsia.
Bentuk awal dari Fidusia yang dikenal sekarang ini ialah fiducia cum
creditore. Penyerahan hak milik pada fiducia cum creditore ini terjadi secara
sempurna, sehingga penerima Fidusia (kreditor) berkedudukan sebagai pemilik
yang sempurna juga. Sebagai pemilik tentu saja ia bebas berbuat apa pun terhadap
barang yang dimilikinya, hanya saja berdasarkan fides ia berkewajiban
mengembalikan hak milik atas barang tadi kepada debitor pemberi Fidusia,
apabila pihak yang belakangan ini telah melunasi utangnya kepada kreditor. Lebih
daripada itu tidak ada pembatasan-pembatasan lain dalam hubungan fiducia cum
creditore. Hak milik di sini bersifat sempurna yang terbatas, karena digantungkan
pada syarat tertentu. Untuk pemilik Fidusia, hak miliknya digantungkan pada
syarat putus (ontbindende voowaarde). Hak miliknya yang sempurna baru lahir
jika pemberi Fidusia tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) (A.
Veenhoven)35
35
Tiong Oey Hoey, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, (Jakarta: Ghalia
Akan tetapi, pendapat tersebut tidak member kejelasan bagaimana kedudukan
pemegang Fidusia selama syarat putus yang dimaksud belum terjadi. Meskipun
demikian tidak ada bedanya dengan akibat dari jualbeli dengan hak membeli
kembali, di mana kalau penjual (debitor) tidak membeli kembali barangnya maka
pembeli (kreditor menjadipemilik barang yang telah dijual tadi. Lagi pula
pendapat tersebut bertentangan dengan sistem hukum jaminan di mana dalam
hukum jaminan tidak diperbolehkan seorang penerima jaminan (kreditor) menjadi
pemilik dari barang jaminan, bahkan setelah debitor wanprestasi pun kreditor
dilarang menjadi pemilik barang jaminan. Setelah debitor wanprestasi, kreditor
hanya berhak menjual secara umum barang jaminan dan hasil penjualan itu
dipergunakan untuk melunasi hutangnya. Pasal 1155 dan 1156 KHUPerdata
mengenai pelaksanaan hak kreditor atas barang jarninan apabila debitor lalai
memenuhi kewajibannya.
Dengan demikian, telah diakui pula bahwa dianalogkan
ketentuan-ketentuan tentang gadai dapat dipergunakan bagi Fidusia. Maka kedudukan
kreditor selama debitor belum lalai rnemenuhi kewajibannya ialah bahwa kreditor
berkedudukan sebagai penerima jaminan, hanya saja karena dijaminkan berupa
hak milik maka reditur dapat melakukan beberapa tindakan yang dipunyai oleh
pemilik, seperti pengawasan atas barang jaminan. Hal yang demikian itu memang
diperlukan, oleh karena kreditor sebagai penerima jaminan hak milik tidak
menguasai sendiri barang jaminan melainkan dibiturlah yang menguasainya.
Dengan demikian, kreditor sebagai orang yang berkepentingan atas barang
debitor, sudah sepatutnya mempunyai hak melakukan pengawasan atas baranag
jaminan.
Penyerahan hak milik kepada kreditor dalam fiduciaire eigeidoms
overdracht bukanlah suatu penyerahan hak milik dalam arti yang sesungguhnya
seperti halnya dalam jualbeli dan sebagainya, sehingga kreditor tidak akan
menjadi pemilik yang penuh (volle eigenaar), ia hanyalah seorang bezitloos
eigenaar atas barang-barang jaminan, dan karena sesuai dengan maksud dan
tujuan perjanjian tentang jaminan itu sendiri, kewenangan kreditor hanyalah
setarap dengan kewenangan yang dimiliki oleh seorang yang berhak atas barang-
barang jaminan. Bahwa kedudukan kreditor penerima Fidusia itu adalah sebagai
pemegang jaminan, sedangkan kewenangan sebagai pemilik yang dipunyainya
ialah kewenangan yang masih berhubungan dengan jaminan itu sendiri, oleh
karena itu, dikatakan pula kewenangannya sebagai pemilik terbatas:
Pengawasa dari kreditor terhadap barang jaminan yang dikuasai oleh
debitur, secara teoritis hal itu sulit dilakukan apalagi kalau debitornya ada
beberapa seperti halnya pada bank. Terhadap Fidusia barang-barang yang
difidusiakan dikuasai debitor untuk dipergunakan sendiri bukan untuk
dipindahtangankan kepada pihak lain, sehingga jumlahnya tetap dan pengawasan
terhadap barang-barang tersebut relatif lebih mudah dibandingkan pada Fidusia
terhadap barang-barang perdagangan dimana jumlahnya selalu berubah karena
pemindahantanganan. Akan tetapi, cara pengawasannya adalah sama, yaitu bahwa
jumlah barang-barang yang ada pada tiap-tiap waktu tertentu (tiap bulan
Dalam Fidusia, debitor melalui penyerahan secara constutuutm
possessorium tetap menguasai barang jaminan. Mengenai penguasaan ini pun
dapat dibagi menjadi dua bagian, yang pertama kalau yang difidusiakan adalah
barang-barang inventaris maka debitor menguasai barang jaminan, atas dasar
perjanjian pinjam pakai dengan kreditor yang kedua kalau yang difidusiakan
adalah
dasar konsinyasi (consignatie) atau penitipan.
Pada bentuk yang pertama (pinjam pakai) debitor tidak diberi kekuasaan
untuk mengalihkan atau menjuai barang jaminan sedangkan pada bentuk yang
kedua ia diberi kekuasaan untuk itu akan tetapi hasil penjualan sebagian atau
seluruhnya (menurut yang diperjanjikan) harus disetorkan kepada debitur. Kedua
bentuk ini logis sekali kalau diingat bahwapada barang inventaris diperlukan
debitor untuk pakai saja sedangkan barang dagangan justru ia diperlukan untuk
mengalihkan (misalnya dijual) sehingga sudah seharusnya kekuasaan untuk itu
diberikan kepada debitor. Apabila terjadi penjualan atas barang inventaris yang
dijaminkan secara Fidusia maka pembeli dilindungi sesuai Pasal 1977
KUHPerdata.
Oleh karena itu ia sebagai pihak ketiga boleh menganggap bahwa pihak
yang menguasasi barang (bergerak) sebagai pemilik dan tidak ada kewajiban bagi
pihak ketiga untuk menyelidiki terlebih dahulu apakah benar pihak yang
menguasai itu benar-benar pemilik. Dengan demikian, jual beli yang dilakukan
antara debitor dengan pihak ketiga adalah sah. Kreditor dalam hal demikian dapat
dianggap wanprestasi dan selanjutnya ia dapat membatalkan perjanjian pemberian
melakukan penyerahan seeara constitutum possessorium sekali lagi kepada pihak
ketiga sehingga barang yang dikuasai oleh debitor dijaminkan secara Fidusia
terhadap dua kreditor.
Bahwa penyerahan barang bergerak yang dilakukan oleh bukan
pemiliknya kepada seorang penerima yang berikad baik adalah sah. Akan tetapi
suatu penyerahan tidak nyata (constitutum possessorium) dapat dibenarkan jika
orang yang menyerahkan barang tersebut mempunyai kekuasaan untuk
menyerahkannya atas dasar satu hubungan hukum dengan pihak lain36
Selaku peminjam pakai suatu barang debitor secara umum berkewajiban
memelihara barang jaminan artinya selaku seorang pemilik barang memelihara
barangnya sendiri. Kewajiban lain ialah bahwa pada barang-barang inventaris ia
harus menjaga agar jumlahnya tidak berkurang, sedangkan pada barang-barang
perdagangan ia harus mcnjaga agar sisa barang tersebut melebihi nilai kredit yang
masih tersesi, sampai jumlah tertentu sesuai dengan apa yang diperjanjikan. . Kreditor
dalam suatu perjanjian utang piutang dengan jaminan Fidusia dapat dikatakan
tidak rnungkin untuk menyelidiki terlebih dahulu apakah debitor benar-benar
pemilik artinya orang yang dapat bertindak bebas atas barang-barang yang
dijaminkan itu, terutama karena barang-barang yang dijaminkan itu berupa barang
bergerak. Kreditur dalam pada itu hanya dapat meminta kepada debitor untuk
berjanji bahwa ia adalah benar-benar orang yang berhak untuk berbut bebas atas
barang yang dijaminkan itu.
Kadang-kadang, kreditor tentunya meminta agar barang-barang jaminan
yang dikuasai debitor itu diasuransikan, atau mungkin pula kreditor yang
mengasuransikan tetapi premi asuransi tetap dibayar oleh debitor. Kalau dilihat
kewajiban-kewajiban tersebut di atas dapatlah dikatakn bahwa debitor
berkewajiban menanggung semua biaya pengeloaan barang jaminan, kreditor
hanya "terima bersih" saja. Kewajibankewajiban yang demikian itu dapat
dimaklumi, karena secara social ekonomis debitorlah yang berkepentingan atas
barang tersebut. Kreditor hanya berkepentingan atas pembayaran kembali apa
yang telah dituangkan kepada debitornya.
Kemungkinan yang paling banyak terjadi adalah kepailitan debitor dengan
adanya kepailitan ini maka semua hutang si debitor menjadi dapat ditagih. Adanya
kepailitan debitor, mewajibkan penyelesaikan hubungan hukum antara debitor dan
kreditor, bukan hanya segi abligator juga segi zakelijk. Mengenai perjanjian
Fidusia tersebut bersifat abligator atau zakelijk membawa serta akibat hukum dan
cara penyelesaian yang berbeda, manakala terjadi kepailitan pada debitor. Jika
berpegang pada pendapat bahwa perjanjian Fidusia menampakan perjanjian
abligator, maka perjanjian tersebut hanya melahirkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang dapat dipertahankan antara mereka saja, tidak berlaku atau tidak
dapat dipertahankan terhadap pihak ketiga. Maka konsekuensinya jika terjadi
kepailitan debitor, maka benda-benda jaminan yang berada padadebitor, karena
penyerahan secara canstitutum possessorium, berada di luar kepailitan. Kreditor
mempunyai hak sepenuhnya terhadap benda tersebut untuk pemenuhan
piutangnya. Kreditor mempunyai hak sepenuhnya terhadap benda tersebutuntuk
pemenuhan piutangnya. Kreditor tidak terikat kepada ketentuan-ketentuan yang
Cara pemenuhan piutangnya dan cara penyelesaian hubungan hukumnya
dalam kepailitan tersbut tergantung pada ketentuan-ketentuan sebagaimana telah
jaminan tersebut, kemudian diperhitungkan selisih harganya benda jaminan
dengan jumlah piutangnya, atau menjual benda jaminan tersebut secara di bawah
tangan atau dimuka umum, kemudian setelah diperhitungkan dengan piutangmya,
sisanya dikernballikan pada debitor.
Sedangkan bagi mereka yang berpendapat bahwa perjanjian Fidusia itu
melahirkan hak yang zakelijk bagi kreditor, maka hak zakelijk tersebut dapat
dipertahankan terhadap pihak ketiga, dan benda-benda jaminan yang berada pada
debitor masuk dalam boedel kepailitan. Untuk pemenuhan piutangnya kreditor
dapat bertindak terhadap benda-benda jamihan tersebut seolah-olah tidak terjadi
kepailitan. Dia adalah "separatist" yaitu tergolong kreditor yang mempunyai
kedudukan terkuat, seperti halnya pemegang gadai dan hipotik, yang pemenuhan
piutang-piutangnya harus lebih didahulukan dari kreditor-kreditor yang lainnya.
Menurut ketentuan undangundang, pemegang gadai dan hipotik, jika terjadi
kepailitan dari debitor dapat ditetapkan melaksanakan haknya seperti seolah-olah
tidak terjadi kepailitan.. Kedudukan, pemegang Fidusia dalam. kepailitan adalah
sama dengan kedudukan pemegang gadai dan hipotik, yang melaksanakan janji
untuk menjual atas kekuasaan sendiri terhadap benda-benda jaminan manakala
debitor tidak memenuhi kewajibanya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 57 Undang-undang kepailitan, kreditor harus
melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, terhitung sejak
curator kepailitan berhak menjual benda-benda jaminan tersebut dengan
memperhitungkan piutang dari kreditor dari hasil penjualan tersebut.
Kemungkinan benda-benda jaminan tidak mencukupi untuk pemenuhan
piutang kreditor, maka dalam keadaan demikian seperti halnya dengan pemegang
gadai, ia berhak untuk bagian piutang yang belum terpenuhi itu bertindak sebagai
kreditor konkurent. Jika perjanjian Fidusia ini dianggap menimbulkan hal yang
bersifat zakelijk, maka konsekuensinya adalah hak-hak atas benda jaminan itu
dapat dipertahankan terhadap pihak ketiga, jadi juga terhadap curator kepailitan.
Kurator kepailitan tidak dapat menarik benda-benda tersebut (revindikateai) dari
kekuasaan debitor, selama debitor tetap emenuhi kewajibannya dengan baik, yaitu
membayat hutang-hutangnya kepada kreditor.
Debitor masih tetap dapat menguasai bendanya, memakainya,
mempertahankannya terhadap curator dan para kreditor si pailit. Benda-benda
tersebut jatuh dalam boedel kepailitan. Pada saat terjadinya kepailitan kreditor,
jika di debitor melunasi hutang-hutangnya, maka ia akan memperoleh kembali
bendanya yang dipakai sebagai jaminan. Jika debitor pada saat kepailitan kreditor
tidak melunasi hutang-hutangnya, maka kurator kepailitan dapat menjual
benda-bendanya, kemudian sisanya setelah diperhitungkan dengan hutangnya
dikembalikan kepada debitor.
Pendapat lain yang beranggapan bahwa perjanjian Fidusia itu melahirkan
hak-hak yang bersifat pribadi (personnlyk/obligatoir) dan merupakan perjanjian
yang obligatoir, menyatakan bahwa kreditor adalah pemilik benda-benda jaminan.
Perjanjian Fidusia merupakan perjanjian khusus yang berbeda dengan
gadai. Cirriciri khusus yang ada dalam gadai tidak terdapat dalam Fidusia, oleh
karena itu dalam kepailitan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa tidak
dapat diterapkan. Cirri khusus dari hak eigendom pada Fidusia, yang
membedakannya dengan gadai ialah cara kreditor melaksanakan penahanan
piutangnya terhadap debitor, ya.itu dapat menguasai/menahan bendanya dengan
mengganti harga transaksi tersebut.
B. Ciri-ciri Lembaga Jaminan Fidusia
Ketentuan Fasal 1 angka 2 Undang-undang Jaminan Fidusia menyatakarr
bahwa jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud benda tidak bergerak, khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Jaminan Fidusia yang tetap
berada dalam penguasaan pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima Fidusia
terhadap kreditor lainya. Ini berarti Undang-undang Jaminan Fidusia secara tegas
menyatakan jaminan Fidusia adalah agunan atas kebendaan atas jaminan
kebendaan (Zukelijke zekerheid, security right in rem) yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada penerima Fidusia, yaitu hak yang
didahulukan terhadap kreditor lainnya. Hak ini tidak hapus karena adanya
kepailatan dan atau likuidasi pemberi Fidusia37
untuk menyatakan bahwa jaminan Fidusia hanya merupakan perbankan obligatoir
yang melahirkan hak yang bersifat “persoonlijk" (perorangan) bagi kreditor.
Dalam Pasal 4 Undang-undang Jaminan Fidusia juga secara tegas
menyatakan bahwa jaminan Fidusia merupakan pajanjian assesoir dari suatu
perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi
suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak
berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Sebagai suatu perjanjian
assesoir, perjanjian jaminan Fidusia memiliki sifat sebagai berikut:
1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok
2. Keabsahannya, semata-mata ditentukan oleh sab tidaknya perjanjian
pokok.
3. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika
ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok tefah atau tidak
dipenuhi.
C. Objek dan subjek Lembaga Jaminan Fidusia
Sebelum bertakunya undang-undang Fidusia maka menjadi objek jaminan.
Fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan
(inventory). Benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kenderaan bermotor.
Tetapi dengan berlakunya undang-undang Fidusia, maka objek jaminan Fidusia
diberikan pengertian yang luas: berdasarkan Pasal 1 butir 2 Undang-undang
Fidusia, Objek jaminan Fidusia dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
Semua benda bergerak dagat dijatninkan dengan jaminan. kenderaan:
bermotor,
Sedangkan barang bergerak tidak berwujud contohnya adalah
piutang/tagihan.
2. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan. banguman yang tidak dibebani tanggungan disini maksudnya
adalah banguman yang berdiri di atas tanah yang bukan tanah hak milik
hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara. Sebagai contohnya
yaitu bangunan seperti gedung yang berdiri di atas tanah milik orang lain,
dimana gedung tersebut dijaminkan, akan tetapi tanahnya tidak, karena
gadai, hipotik dan hak tanggungan tidak bisa menampung kebutuhan
jaminan untuk itu, maka Fidusia bisa menjadi jalan keluarnya.
Salah satu syarat penting lainnya adalah bahwa benda yang menjadi objek
jaminan Fidusia harus bisa dimiliki dan dapat dialihkan. Meraurut Pasal 7
Undang-undang Fidusia, jaminan Fidusia dapat digunakan untuk menjamin
pelunasan utang baik yang sudah ada maupun yang akan ada, baik yang
jumlahnya sudah ditentukan maupun yang pada saat eksekusi nantinya dapat
ditentukan.Ketentuan dalam Pasa1 7 Undang-undang Fidusia, dimaksudkan untuk
menampung praktek yang selama ini banyak muncul, yaitu kredit-kredit yang
menggunakan rekening Koran38
38
Menurut Mariam Darus Badruizaman dalam bukunya, Perjanjian Kredit Bank, Cet. 5 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), halk. 47, Rekening Koran artinya perhitungan pos debet dan kredit. Di dalam rekeningn Koran bank, pihak bank membukukan perhitungnan harian tentang pengambilan dan setoran dari pemegang rekening Koran, dalam buku tertentu. Dan dari hubungan rekening Koran ini ditentukan saldo yang dapat ditagih. Sedangkan Johanes Ibrahim dalam bukunya, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Komsumtif Dalam Perjanjian Kredit Bank (Prespektif Hukum dan Ekonomi), Bandung: Mandar Maju, 2004, ha. 73 memberikan defenisi Rekening Korang adalah fasilitas yang diberikan dengan menggunakan saranan piñata hokum
utang-utang tersebut
melahirkan utang itu sudah ada, tetapi utangnya belum ada.
Pasal 9 Undang-undang Fidusia mengatakan bahwa:
Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap 1 (satu) atau lebih satuan atau
jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada ada saat jaminan
diberikan maupun yang diperoleh kemudian.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui, bahwa objek jaminan Fidusia bisa
hanya berupa satu benda atau lebih dari satu benda, misalnya lima kendaram
bermotor. Benda jaminan itu bida merupakan benda tertentu atau disebutkan
berdasarkan jenis, seperti Kopi Robusia A, beras Cianjur. Objek jaminan Fidusia
juga dapat berupa benda bergerak tidak berwujud sepeati piutang/tagihan baik
yang sudah ada maupun yang akan ada. Selain itu untuk rnenghindarkan kesulitan
dan keruwetan dikemudian hari, dalam PasaI
diatetapkan bahwa jaminan Fidusia juga meliputi hasil dari benda jaminan Fidusia
dan juga klaim asuransi. Sebelum berlakunya UU No. 42 tahun 1999, yang
menjadi objek jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda
dalam persediaan, benda dagangan, piutang, Peralatan mesin dan kenderaan
bermotor.39 Tetapi dengan berlakunya UU No. 42 Tahun 1499, yang dapat
menjadi objek jaminan Fidusia diatur dalam Pasal 1 ayat 4, Pasal 10 dan Pasa120
UU No. 42 Tahun 1999, benda-benda yang menjadi objek jaminan objek Fidusia
adalah :40
1. Benda yang dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum;
2. Dapat berupa benda berwujud;
39
3. Benda berwujud termasuk piutang;
4. Benda bergerak
5. Benda tidak bergerak yang tidak dapai diikat dengan Hak Tanggungan
ataupun hipotek.;
6. Baik benda yang ada ataupun akan diperoleb kemudian,
7. Dapat atas satu satuan jenis benda;
8. Dapat juga atas lebih dari satuan jenis benda;
9. Termnasuk hasil dari benda yang menjadi objek jaminan Fidusia;
10. Benda persediaan.
Bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan di sini dalam
kaitannya dengan rumah susun sebagaimana diatur dalarn undagg-undang Nomor
16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan yang dapat menjadi pemberi Fidusia
adalah arang perorang atau koperasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan
Fidusia, sedangkan penerirna Fidusia adaiah oranag-orang atau perorangan yang
mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin pendaftaran jaminan Fidttsia.
D. Proses Terjadinya Lembaga Jaminan Fidusia
Sebagaimana perjanjian jaminan hutang lainnya, seperti perjanjian gadai,
hipotik, atau jaminan Fidusia, maka perjanjian Fidusia juga merupakan perjanjian
assessoir (perjanjian ikatan). Maksudnya adalah perjanjian assessoir ini tidak
mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/ membuntuti perjanjian lainnya yang
merupakan perjanjian pokok adalah perjanjian hutang piutang.41
Ada beberapa tahapan formal yang melekat dalam jaminan Fidusia, di
antaranya adalah:42
1. Tahapan pembebanan dengan pengikatan dalam suatu akta notaris.
2. Tahapan pendaftaran atas benda yang telah dibebani tersebut oleh
penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya kepada kantor pendaftaran Fidusia,
dengan melampirkan pernyataan pendaftaran.
3. Tahapan administrasi, yaitu pencatatan jaminan Fidusia dalam buku daftar
Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan
pendaftaran.
4. Lahirnya jaminan Fidusia yaitu pada tanggal yang sama dengan tanggal
dicatatnya jaminan Fidusia dalam buku daftar Fidusia.
Pembebanan kebendaan dengan jaminan Fidusia dibuat dengan akta
notaris dalam Bahasa Indonesia Yang merupakan alaa jaminan Fidusia. Dalam
akta jaminan Fidusia selain dicantumkan hari tanggal, juga dicantumkan
mengenai (jam) pembuatan akta tersebut.
Akta jaminan Fidusia sekurang-kurangnya memuat: 43
1. Identitas pihak pemberi dan penerima Fidusia
Identitas tersebut meliputi nama lengkap, agama, tempat tinggal, atau
tempat kedudukan dan tanggal 1ahir, jenis kelamin, status perkawinan, dan
pekerjaan.
2. Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia, yaitu mengenai macam
perjanjian dan utang yang dijamin dengan Fidusia.
3. Uraian rnengenai benda yang menjadi objek jaminan Fidusia.
42
Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan Fidusia cukup
dilakukan dengan mengidentifikasikan benda tersebut, dan dijelaskan
mengenai surat bukti kepemilikannya: jika benda selalu berubah-ubah
seperti benda dalam persediaan, haruslah disebutkan tentang jenis, merek,
dan kualitas dari benda tersebut.
4. Nilai penjaminan
5. Nilai benda yang menjadi objek jaminan Fidusia.
Akta jaminan Fidusia harus dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat yang
berwenang. Pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwa akta notaris merupakan
akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang
dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta para ahli warisnya atau para
pengganti haknya. Itulah mengapa sebabnya Undang-undang Janinan Fidusia
menetapkan perjanjian Fidusia harus dibuat dengan akta notaris.
Hutang yang pelunasannya dapat dijamin dengan jaminan Fidusia
adalah:44
1. Hutang yang telah ada
2. Hutang yang akan ada di kemudian hari, tetapi telah diperjanjian dan
jumlahnya sudah tertentu.
3. Hutang yang dapat ditentukan jumlahnya pada saat eksekusi berdasarkan
suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban untuk dipenuhi.
Misalnya, hutang kemudian.
Pasal 8 Undang-undang Jaminan Fidusia