• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM

PERKARA NO. 3212/PID.B/2007/PN.MDN

Tesis

Oleh :

SURIANI

087005017

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA

NO.

3212/PID.B/2007/PN.MDN

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SURIANI

087005017

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP

PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA

NO. 3212/PID.B/2007/PN.MDN

Nama Mahasiswa : SURIANI

NIM : 087005017

Program Studi : Magister Ilmu Hukum.

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum K e t u a

)

(Prof. Dr. Suwarto, SH, MH) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM A n g g o t a A n g g o t a

)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum K e t u a

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 24 September 2011.

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH. MHum.

Anggota : 1. Prof. Dr. Suwarto, SH, MH.

2. Syafruddin S Hasibuan, SH. MH. DFM. 3. Dr. M. Hamdan, SH, MH.

(5)

ABSTRAK

Salah satu bentuk putusan hakim dalam perkara pidana di sidang pengadilan adalah putusan bebas (vrijspraak) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas. Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP tersebut diatas maka penulis melakukan penelitian yaitu dengan menganalisis putusan bebas dari Pengadilan Negeri Medan, Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN.Mdn atas nama terdakwa Kohiruddin, yang dituduh melakukan tindak pidana pencurian bersama dengan teman-temannya. Jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa dalam dakwaan pertama telah melakukan pencurian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHP dan melanggar Pasal 480 ke- 1e KUHP dalam dakwaan kedua. Untuk membuktikan dakwaannya maka dipersidangan Jaksa penuntut umum menghadirkan dua orang saksi ditambah satu barang bukti. Namun setelah melalui tahapan pemeriksaan di pengadilan ternyata majelis hakim dalam putusannya menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap terdakwa Kohiruddin.

Jenis penelitian pada tesis ini adalah penelitian hukum normative dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris artinya selain menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, penelitian ini juga melakukan penelaahan terhadap bahan-bahan hukum yang bersumber dari data primer sebagai pendukung terhadap penelitian hukum normatif, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap putusan bebas dari Pengadilan Negeri Medan, Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN.Mdn dan melakukan wawancara dengan informan yang terkait dengan penelitian yaitu Jaksa di Kejaksaan Negeri Medan dan kuasa hukum terdakwa yang telah diputus bebas. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya serta menganalisis fakta secara cermat tentang dasar-dasar dari pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas dan berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan.

(6)

diajukan di persidangan. Meskipun sebenarnya sejak awal pembacaan dakwaan majelis hakim dapat menyatakan bahwa dakwaan jaksa penuntut umum kabur (obscure libel) sebab didalam dakwaannya jaksa penuntut umum tidak menjelaskan peran atau posisi terdakwa dalam melakukan tindak pidana pencurian (363 ayat (1) ke4e jo Pasal 55 KUHP). Terhadap putusan bebas tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi meskipun KUHAP melarang kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 244 KUHAP. Untuk itu, demi terciptanya harmonisasi hukum sudah selayaknya untuk merevisi atau merubah KUHAP dengan memasukkan pangaturan tentang upaya hukum terhadap putusan bebas. Untuk terdakwa yang telah diputus bebas, Undang-undang memberi hak untuk memperoleh ganti kerugian dan rehabilitasi. Namun Kohiruddin dalam perkara tersebut diatas tidak menuntut haknya atas ganti kerugian sedangkan untuk rehabilitasi, ia telah mendapatkannya bersamaan dengan putusan bebas yang dibacakan oleh majelis hakim di persidangan. Untuk itu diperlukan adanya aturan yang jelas tentang tata cara menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi dengan cara yang cepat dan mudah dengan jumlah ganti kerugian yang sesuai dengan perkembangan zaman sehingga dapat lebih bermanfaat bagi para pencari keadilan.

(7)

ABSTRACT

One of the forms of judge’s decision in the criminal case at the court of law is an acquittal (vrijspraak) as regulated in Article 191 (1) of the Indonesian Criminal Codes stating that if the court believes that the result of the examination in the trial showing that what charged to the defendant is not legally and convincingly, the defendant is acquitted. Based on the Article 191 (1) of the Indonesian Criminal Codes mentioned above, the writer did a study by analyzing the acquittal Number: 3212/Pid.B/2007/PN.Mdn decided by Medan District Court on behalf of Kohiruddin who was accused of doing criminal offense of theft together with his friends. The public prosecutor, in the first indictment, alleged the defendant to have committed theft as stated in Article 363 (1 – 4e) of the Indonesian Criminal Codes and violated Article 480 (to 1e) of the Indonesian Criminal Codes in the second indictment. To prove his/her charges, the public prosecutor presented two witnesses and one evidence. Yet, after undergoing stages of examination in court, the panel of judges decided to pronounce an acquittal (vrijspraak) to the defendant, Kohiruddin.

This descriptive analytical normative legal study with empirical juridical approach not only used secondary data in the forms of primary and secondary legal materials but also analyzed the legal materials obtained from primary data to support this normative legal study by studying the acquittal Number: 3212/Pid.B/2007/PN.Mdn issued by Medan District Court and interviewed the informants such as the prosecutors at Medan District Attorney and the lawyer of the defendant who has been acquitted. In this study, a rule of law was described in the context of legal theories and their implementation and the fact about the basic consideration of the judge to free the defendant from all charges and various aspects related to the subject matter were carefully analyzed.

(8)

acquittal for him was read by the panel of judges in the trial. So, a clear regulation on the quick and easy procedures of claiming for compensation and rehabilitation is needed and the amount of compensation should be corresponding to time development that it can be more useful for the justice seekers.

(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini dengan judul

”Analisis Yuridis Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Nomor:

3212/Pid.B/2007/PN. Mdn”. Shalawat beriring salam disampaikan kepada

Rasulullah SAW yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam

kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.

Dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini bukanlah pekerjaan yang ringan, hal

tersebut ditandai dengan banyaknya rintangan dan cobaan yang datang silih berganti

menyertai langkah penulis dalam melakukan penulisan tesis ini. Namun semua itu

penulis anggap sebagai suatu ujian dariMu yang harus penulis hadapi dengan penuh

kesabaran dan senantiasa mengharap ridho dan pertolonganMu, karena penulis yakin

bahwa Engkau tidak akan membebani dan menguji hambaMu melebihi dari daya dan

kemampuannya.

Penulisan Tesis ini dapat terselesaikan berkat adanya bantuan dan bimbingan

dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan ini penulis menghaturkan banyak

terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum selaku ketua komisi pembimbing

yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam memperluas wawasan

(10)

2. Bapak Prof. Dr. Suwarto, SH, MH selaku pembimbing II yang ditengah-tengah

kesibukannya masih sempat untuk meluangkan waktunya dalam memberikan

arahan, bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam

penulisan Tesis ini.

3. Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM selaku pembimbing III yang telah

banyak memberikan bimbingan dan kesempatan kepada penulis dalam

menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Bapak Dr. M. Hamdan, SH. MH selaku penguji dari kolokium hingga meja hijau

yang telah berkenan memberikan saran dan kritik yang membangun demi

kesempurnaan tesis penulis.

5. Ibu Dr. Marlina, SH. M.Hum selaku penguji yang telah banyak memberikan

kritik dan sarannya demi menuju tesis ini kearah yang lebih baik.

6. Seluruh civitas akademika dan pegawai di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu

persatu.

7. Kepala Kejaksaan Negeri Medan dan Advokat Bapak Abdul Jolil Siregar SH

yang telah bersedia memberikan data maupun informasi yang penulis perlukan

untuk melengkapi dari pada penulisan tesis ini.

8. Teman satu angkatan di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas

Sumatera Utara yaitu Dani Sintara SH, MH yang telah banyak membantu

memberi kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini serta teman satu kelas

(11)

Nova, Claudia) dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan namanya

satu persatu.

Dalam kesempatan ini penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai

dengan doa setulus hati penulis untuk segala bantuan, doa restu, kasih sayang,

pengorbanan dan kesabaran yang telah diberikan orang tua penulis tercinta, yakni

Ayahanda Sandi Siagian dan Ibunda Masliana Lubis, kalian telah menjadi pemicu

dan motivator bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam

menyelesaikan penulisan tesis ini.

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada kakak kandung penulis,

Ns. Yusnaini Siagian, S.Kep dan adik-adik kandung penulis yakni Sriwahyuni

Siagian, Irwansyah Siagian S.HI, cdr. Aida Fitria Siagian, Mia Sanita Siagian dan

Ahwani Anisa Siagian. Serta tak lupa Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

kakanda Rosmeliana yang juga turut memberi semangat kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

dengan segala kerendahan hati penulis mengharap kritik dan saran dari para pembaca

sekalian demi menuju tulisan ini kearah yang lebih baik. Akhirnya, penulis berharap

tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya

pengetahuan ilmu hukum.

Medan, Agustus 2011.

Penulis

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Suriani.

Tempat / Tanggal Lahir : Alang Bombon / 3 Pebruari 1981.

Alamat : Desa Alang Bonbon, Kec. Aek Kuasan, Kab. Asahan

Agama : Islam.

Status Pribadi : Belum Menikah.

Pendidikan : 1. SD Neg. No. 015930 Kampung Melati Tamat : Tahun 1994.

2. SMP Neg. 1 Aek Kuasan Tamat : Tahun 1997.

3. SMU Neg. 1 Pulau Rakyat Tamat : Tahun 2000.

4. Fakultas Hukum UMSU Medan Tamat : Tahun 2004.

5. Program Studi Magister Ilmu Hukum USU Medan Tamat : Tahun 2011.

Nama Orang Tua Laki-Laki : Sandi Siagian.

Nama Orang Tua Perempuan : Masliana Lubis.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

KATA PENGANTAR ……….. v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………. viii

DAFTAR ISI ………. ix

BAB I : PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Permasalahan ……….. 11

C. Tujuan penelitian ……… 11

D. Manfaat Penelitian ……….. 12

E. Keaslian Penelitian ………. 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ……… 13

1. Kerangka Teori ……… 13

2. Kerangka Konsepsi ………. 32

G. Metode Penelitian ……….. ……… 33

1. Spesifikasi Penelitian ……….. 34

2. Metode Pengumpul Data ………. 34

(14)

BAB II : ANALISIS HUKUM TERHADAP DASAR PERTIMBANGAN

HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM

PERKARA NOMOR: 3212/PID.B/2007/PN. MDN …………... 36

A. Pemeriksaan Perkara Di Sidang Pengadilan ………... 43

B. Bentuk-Bentuk Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana ………. 54

C. Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara No. 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn……….……... 63

BAB III : UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM HALTERDAKWA DIPUTUS BEBAS ……… 87

A. Jenis Upaya Hukum ………. 87

B. Upaya Hukum Terhadap Putusan Bebas ………. 92

BAB IV : HAK-HAK TERDAKWA DALAM PUTUSAN BEBAS ……….………. 100

A. Ganti Kerugian ……… 101

B. Rehabilitasi ……….. 113

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ……… 118

A. Kesimpulan ……….. 118

B. Saran ………. 120

DAFTAR PUSTAKA

(15)

ABSTRAK

Salah satu bentuk putusan hakim dalam perkara pidana di sidang pengadilan adalah putusan bebas (vrijspraak) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas. Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP tersebut diatas maka penulis melakukan penelitian yaitu dengan menganalisis putusan bebas dari Pengadilan Negeri Medan, Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN.Mdn atas nama terdakwa Kohiruddin, yang dituduh melakukan tindak pidana pencurian bersama dengan teman-temannya. Jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa dalam dakwaan pertama telah melakukan pencurian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHP dan melanggar Pasal 480 ke- 1e KUHP dalam dakwaan kedua. Untuk membuktikan dakwaannya maka dipersidangan Jaksa penuntut umum menghadirkan dua orang saksi ditambah satu barang bukti. Namun setelah melalui tahapan pemeriksaan di pengadilan ternyata majelis hakim dalam putusannya menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap terdakwa Kohiruddin.

Jenis penelitian pada tesis ini adalah penelitian hukum normative dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris artinya selain menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, penelitian ini juga melakukan penelaahan terhadap bahan-bahan hukum yang bersumber dari data primer sebagai pendukung terhadap penelitian hukum normatif, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap putusan bebas dari Pengadilan Negeri Medan, Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN.Mdn dan melakukan wawancara dengan informan yang terkait dengan penelitian yaitu Jaksa di Kejaksaan Negeri Medan dan kuasa hukum terdakwa yang telah diputus bebas. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya serta menganalisis fakta secara cermat tentang dasar-dasar dari pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas dan berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan.

(16)

diajukan di persidangan. Meskipun sebenarnya sejak awal pembacaan dakwaan majelis hakim dapat menyatakan bahwa dakwaan jaksa penuntut umum kabur (obscure libel) sebab didalam dakwaannya jaksa penuntut umum tidak menjelaskan peran atau posisi terdakwa dalam melakukan tindak pidana pencurian (363 ayat (1) ke4e jo Pasal 55 KUHP). Terhadap putusan bebas tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi meskipun KUHAP melarang kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 244 KUHAP. Untuk itu, demi terciptanya harmonisasi hukum sudah selayaknya untuk merevisi atau merubah KUHAP dengan memasukkan pangaturan tentang upaya hukum terhadap putusan bebas. Untuk terdakwa yang telah diputus bebas, Undang-undang memberi hak untuk memperoleh ganti kerugian dan rehabilitasi. Namun Kohiruddin dalam perkara tersebut diatas tidak menuntut haknya atas ganti kerugian sedangkan untuk rehabilitasi, ia telah mendapatkannya bersamaan dengan putusan bebas yang dibacakan oleh majelis hakim di persidangan. Untuk itu diperlukan adanya aturan yang jelas tentang tata cara menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi dengan cara yang cepat dan mudah dengan jumlah ganti kerugian yang sesuai dengan perkembangan zaman sehingga dapat lebih bermanfaat bagi para pencari keadilan.

(17)

ABSTRACT

One of the forms of judge’s decision in the criminal case at the court of law is an acquittal (vrijspraak) as regulated in Article 191 (1) of the Indonesian Criminal Codes stating that if the court believes that the result of the examination in the trial showing that what charged to the defendant is not legally and convincingly, the defendant is acquitted. Based on the Article 191 (1) of the Indonesian Criminal Codes mentioned above, the writer did a study by analyzing the acquittal Number: 3212/Pid.B/2007/PN.Mdn decided by Medan District Court on behalf of Kohiruddin who was accused of doing criminal offense of theft together with his friends. The public prosecutor, in the first indictment, alleged the defendant to have committed theft as stated in Article 363 (1 – 4e) of the Indonesian Criminal Codes and violated Article 480 (to 1e) of the Indonesian Criminal Codes in the second indictment. To prove his/her charges, the public prosecutor presented two witnesses and one evidence. Yet, after undergoing stages of examination in court, the panel of judges decided to pronounce an acquittal (vrijspraak) to the defendant, Kohiruddin.

This descriptive analytical normative legal study with empirical juridical approach not only used secondary data in the forms of primary and secondary legal materials but also analyzed the legal materials obtained from primary data to support this normative legal study by studying the acquittal Number: 3212/Pid.B/2007/PN.Mdn issued by Medan District Court and interviewed the informants such as the prosecutors at Medan District Attorney and the lawyer of the defendant who has been acquitted. In this study, a rule of law was described in the context of legal theories and their implementation and the fact about the basic consideration of the judge to free the defendant from all charges and various aspects related to the subject matter were carefully analyzed.

(18)

acquittal for him was read by the panel of judges in the trial. So, a clear regulation on the quick and easy procedures of claiming for compensation and rehabilitation is needed and the amount of compensation should be corresponding to time development that it can be more useful for the justice seekers.

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau

menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat baik itu

merupakan usaha pencegahan maupun pemberantasan atau penindakan setelah

terjadinya pelanggaran hukum, dengan perkataan lain baik secara preventif maupun

represif. Sejauh ini peraturan yang mengatur tentang penegakan hukum dan

perlindungan hukum terhadap keluhuran harkat martabat manusia di dalam proses

pidana pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Lembaga peradilan sebagai lembaga penegakan hukum dalam system

peradilan pidana merupakan suatu tumpuan harapan dari para pencari keadilan yang

selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana

yang diatur dalam pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman. Keadilan yang dihasilkan dari suatu lembaga peradilan

melalui suatu proses peradilan yang tertuang di dalam putusan hakim adalah

merupakan syarat utama di dalam mempertahankan kelangsungan hidup suatu

masyarakat sebab putusan-putusan hakim yang kurang adil membuat kepercayaan

(20)

masyarakat enggan untuk menempuh jalur hukum di dalam mengatasi permasalahan

hukum yang mereka hadapi. Maka dalam hal ini hakim sebagai pejabat Negara yang

diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili dalam suatu proses peradilan

pidana, mempunyai suatu peranan penting dalam penegakan hukum pidana untuk

tercapainya suatu keadilan yang diharapkan dan dicita-citakan.

Penyelenggaraan peradilan pidana sebenarnya tidak hanya oleh hakim dalam

suatu proses peradilan namun juga harus di dukung oleh aparat penegak hukum

pidana lainnya yang tergabung dalam system peradilan pidana (Criminal Justice

Sistem) yaitu polisi, jaksa, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan yang bekerja

mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan

sampai akhirnya pada pemeriksaan di sidang pengadilan.1

Ketika seorang hakim sedang menangani perkara maka diharapkan dapat

bertindak arif dan bijaksana demi untuk mendapatkan kebenaran materil yaitu

kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan

ketentuan hukum acara pidana sebagaimana yang tertuang dalam pasal demi pasal

yang ada di dalam KUHAP guna menentukan apakah seorang terdakwa terbukti

melakukan suatu tindak pidana atau tidak dan apabila terbukti bersalah maka seorang

terdakwa tersebut dapat dijatuhi pidana atau sebaliknya bila tidak terbukti bersalah

maka seorang terdakwa harus diputus bebas sehingga kesemuanya itu bermuara

kepada putusan yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari aspek ilmu hukum itu

1

(21)

sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan Negara, diri sendiri serta demi keadilan

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2

Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kebenaran materil diatas maka hakim

dalam mengemban tugas harus dijamin kemandiriannya guna menegakkan keadilan

sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-undang No. 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan

Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum

dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Dipihak lain dalam diri hakim bersangkutan juga dituntut adanya integritas moral

yang baik sehingga dalam menegakkan hukum dan keadilan tidak merugikan

justiabelen” (para pencari keadilan)3

Kemandirian hakim adalah kemandirian dalam tugas dan wewenang dalam

kapasitasnya ketika sedang menangani perkara, adapun wewenang hakim antara lain

sebagai berikut :

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2)

Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim

dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,

jujur, adil, professional dan berpengalaman di bidang hukum.

2

Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana(Sebuah Catatan Khusus), (Bandung: Mandar Maju,1999), hlm. 15.

3

(22)

1. Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim dengan

penetapannya berwenang melakukan penahanan (Pasal 20 ayat (3) KUHAP).

2. Memberikan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan orang,

berdasarkan syarat yang ditentukan (Pasal 31 ayat(1) KUHAP).

3. Mengeluarkan Penetapan agar terdakwa yang tidak hadir di persidangan tanpa

alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan

dengan paksa pada sidang pertama berikutnya (Pasal 154 ayat (6) KUHAP).

4. Menentukan tentang sah atau tidaknya segala alasan atas permintaan orang yang

karena pekerjaannya, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan

rahasia dan minta dibebaskan dari kewajiban sebagai saksi (Pasal 170 KUHAP).

5. Mengeluarkan perintah penahanan terhadap seorang saksi yang diduga telah

memberikan keterangan palsu di persidangan baik karena jabatannya atau atas

permintaan Penuntut Umum atau terdakwa (Pasal 174 ayat (2) KUHAP).

6. Memerintahkan perkara yang diajukan oleh Penuntut Umum secara singkat agar

diajukan ke sidang pengadilan dengan acara biasa setelah adanya pemeriksaan

tambahan dalam waktu 14 (empat belas hari) akan tetapi Penuntut Umum belum

juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan tersebut (Pasal 203 ayat (3)

huruf b KUHAP).

7. Memberikan penjelasan terhadap hukum yang berlaku, bila dipandang perlu di

persidangan baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan terdakwa atau

(23)

8. Memberikan perintah kepada seseorang untuk mengucapkan sumpah atau janji di

luar sidang (223 ayat (1) KUHAP).

Dari tugas dan wewenang tersebut maka hakim dapat memberikan putusan

sebagaimana yang tertuang dalam Bab I Tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 11

KUHAP yaitu bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan

dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau

lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal ini serta merta menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini.

Jadi, dapat dikatakan bahwa putusan hakim merupakan akhir dari proses

persidangan pidana untuk tahap pemeriksaan di Pengadilan Negeri.4

1. Upaya hukum biasa meliputi banding, yang diatur dalam Pasal 233 sampai

dengan Pasal 243 KUHAP dan kasasi, yang diatur dalam Pasal 244 sampai

dengan Pasal 258 KUHAP.

Namun terhadap

putusan hakim tersebut masih dapat dilakukan upaya hukum berupa:

2. Upaya hukum luar biasa yang meliputi kasasi demi kepentingan hukum

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 259 sampai dengan Pasal 262 KUHAP dan

peninjauan kembali mana kala para pihak merasa keberatan atas putusan yang

dinyatakan hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP.

4

(24)

Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting yang

diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian dapatlah

dikonklusikan lebih jauh bahwasanya putusan hakim disatu pihak berguna bagi

terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum (rechts zekerheids) tentang statusnya

dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut

dalam artian dapat menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding atau

kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak hakim yang

mengadili perkara diharapkan dapat memberikan putusan yang mencerminkan

nilai-nilai keadilan dengan memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa

sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal sesuai dengan kesalahannya.5

Di dalam KUHAP juga dijelaskan bahwa dalam sebuah proses peradilan

pidana dimana sebelum sampai pada tahap pengambilan keputusan oleh hakim maka

terlebih dahulu Jaksa Penuntut Umum harus melengkapi berkas dengan surat

dakwaan dan surat dakwaan tersebut harus memenuhi ketentuan sebagaimana yang

diatur dalam pasal 143 ayat (2), yaitu:

a. Unsur subjektif, berupa identitas lengkap terdakwa tentang nama, tempat dan

tanggal lahir atau umur, jenis kelamin, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.

5

(25)

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan

dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.6

Fungsi utama surat dakwaan dalam pemeriksaan perkara di sidang pengadilan

menjadi titik tolak landasan pemeriksaan perkara. Pemeriksaan perkara di sidang

pengadilan di dasarkan pada isi surat dakwaan. Atas landasan surat dakwaan inilah

ketua mejelis hakim memimpin dan mengarahkan jalannya seluruh pemeriksaan baik

yang menyangkut pemeriksaan alat bukti maupun yang berkenaan dengan barang

bukti. Jika penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum menyimpang dari surat

dakwaan, ketua majelis hakim berkewajiban dan berwenang untuk meluruskan

kembali kearah yang sesuai dengan surat dakwaan.

Akan tetapi, agar ketua majelis hakim dapat menguasai jalan pemeriksaan

yang sesuai dengan surat dakwaan harus terlebih dulu memahami secara tepat segala

sesuatu unsur-unsur yang terkandung di dalam pasal tindak pidana yang di dakwakan,

serta terampil mengartikan dan menafsirkan pasal tindak pidana yang bersangkutan.

Oleh karena itu sebelum hakim memulai pemeriksaan perkara di sidang pengadilan,

lebih dulu memahami semua unsur tindak pidana yang didakwakan. Atas landasan

inilah ketua majelis hakim mengarahkan jalannya pemeriksaan sehingga terhindar

memeriksa hal yang berada di luar jangkauan surat dakwaan.7

6

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 346.

(26)

Apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai seperti yang diatur dalam

pasal 182 ayat (1), tahap proses persidangan selanjutnya adalah penuntutan,

pembelaan dan jawaban lalu kemudian persidangan dilanjutkan ke tahap musyawarah

hakim guna menyiapkan putusan yang akan dijatuhkan pengadilan.

Adapun macam-macam bentuk putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim

dalam sidang pengadilan berdasarkan KUHAP dapat dibagi atas tiga macam, yaitu:

a. Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (vrijspraak) sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yaitu pengadilan berpendapat bahwa dari

hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan

kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus

bebas.

b. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum

(ontslag van rechtvervolging) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 191 ayat (2)

KUHAP yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak

pidana.

c. Putusan yang mengandung suatu penghukuman terdakwa, Pasal 193 KUHAP

yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak

pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana.

Dari macam-macam bentuk putusan yang dijatuhkan oleh hakim di sidang

pengadilan tersebut, maka yang menjadi objek penelitian penulis adalah putusan

(27)

3212/Pid.B/2007/PN.Mdn atas nama terdakwa Kohiruddin, seorang buruh bangunan

yang telah dituduh melakukan tindak pidana pencurian bersama dengan

teman-temannya yaitu Andi dan Ari (pada saat itu Andi dan Ari belum tertangkap dan

masuk dalam Daftar Pencarian Orang). Mereka dituduh telah mencuri kabel listrik

milik Tan Thun Sie di Perumahan Harjosari Indah, Jalan Harjosari 1, Kecamatan

Medan Amplas, Kota Medan.

Oleh jaksa penuntut umum kemudian terdakwa didakwa dalam dakwaan

pertama telah melakukan pencurian dengan pemberatan sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHP yang menyatakan bahwa dengan hukuman

penjara selama-lamanya tujuh tahun, dihukum pencurian dilakukan oleh dua orang

bersama-sama atau lebih. Kemudian dalam dakwaan kedua, terdakwa didakwa telah

melanggar Pasal 480 ke-1e KUHP yaitu dengan penjara selama-lamanya empat tahun

karena sebagai sekongkol, barang siapa yang membeli, menyewa menerima tukar,

menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung,

menjual menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan

sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya diperoleh karena

kejahatan.

Dipersidangan, Jaksa penuntut umum telah menghadirkan dua orang saksi

ditambah satu barang bukti berupa 2 (dua) gulungan kecil kabel warna hitam dan

biru. Namun setelah melalui tahapan pemeriksaan di pengadilan ternyata majelis

hakim dalam putusannya Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn menyatakan bahwa

(28)

tindak pidana sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum atau dengan kata lain

terdakwa Kohiruddin diputus bebas (vrijspraak).

Memperhatikan kasus tersebut diatas dikaitkan dengan Pasal 191 ayat (1)

KUHAP yang mengatur tentang putusan bebas dan dikaitkan pula dengan system

pembuktian yang dianut di Indonesia yaitu system pembuktian menurut

undang-undang secara negative sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP maka

hakim dalam menjatuhkan putusan khususnya putusan bebas di dalam pertimbangan

putusannya harus benar-benar memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana yang

diatur di dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam Undang-undang juga disebutkan bahwa terhadap semua putusan

pengadilan dapat diajukan upaya hukum baik itu upaya hukum biasa maupun upaya

hukum luar biasa kecuali terhadap putusan bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 244

KUHAP. Artinya untuk putusan bebas tidak dapat diajukan upaya hukum apapun,

namun dalam praktek di lapangan, terhadap putusan bebas tetap saja jaksa penuntut

umum melakukan upaya hukum yaitu upaya hukum biasa berupa kasasi. Hal ini tentu

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, melihat pentingnya dasar pertimbangan

hakim dalam menjatuhkan putusan khususnya putusan bebas dan adanya upaya

hukum kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang

tidak ada pengaturannya dalam undang-undang, serta hak-hak yang diberikan

(29)

dan menetapkan judul untuk diteliti yaitu “Analisis Yuridis Terhadap Putusan Bebas

Dalam Perkara Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn”.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan di atas, maka

permasalahan yang menjadi pembahasan penelitian dalam tesis dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimana analisis hukum terhadap dasar pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan putusan bebas dalam perkara Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn?

2. Upaya hukum apa yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dalam hal terdakwa

diputus bebas?

3. Apa yang menjadi hak- hak bagi terdakwa yang diputus bebas?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan maka yang menjadi tujuan dari penelitian

ini adalah:

1. Untuk mengetahui analisis hukum terhadap dasar pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan putusan bebas dalam perkara Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn.

2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum

dalam hal terdakwa diputus bebas.

(30)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan

praktis, yaitu:

1. Secara teoritis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan kajian lebih lanjut

untuk melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya memberikan

sumbangan pemikiran dibidang ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan

hukum pidana dan hukum acara pidana.

2. Secara praktis.

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dan kajian bagi semua

kalangan termasuk kalangan akademisi dan penegak hukum untuk menambah

wawasan dibidang ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan putusan bebas

dengan segala akibat hukumnya yang merupakan hasil dari suatu proses

peradilan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan (library research) khususnya di

lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan yang membahas tentang “Analisis

Yuridis Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn”

ini belum pernah dilakukan dalam judul dan permasalahan yang sama . Dengan

demikian penelitian ini asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Adapun beberapa judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan

(31)

1. Tesis Saudara Binsar Sinambela dengan judul: Putusan Bebas Dalam Perkara

Korupsi (Studi Kasus Pada Pengadilna Tinggi Sumatera Utara, PN. Medan, PN.

Pematang Siantar dan PN. Sidikalang).

2. Tesis Saudari Serenity Deliver Refisis dengan judul: Analisis Hukum Terhadap

Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus No. 63 K/Pid/

2007).

3. Tesis Saudara Lambok Silalahi dengan judul Pencurian Ikan (Ilegal Fishing) di

Perairan Pantai Timur Sumatera Utara (Studi Kasus Putusan PN. Medan No.

1082/Pid.B/2005/PN.Medan).

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori.

Tujuan teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala

spesifik atau proses tertentu terjadi8, dan suatu kerangka teori harus diuji untuk

menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.9

8

Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Azas-Azas, Penyunting: M. Hisyam, (Jakarta: FE UI, 1996), hlm. 203.

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis dari

penulis dan ahli hukum dibidangnya yang menjadi bahan perbandingan, pegangan

teoritas yang mungkin disetujui atau tidak butir-butir pendapat tersebut setelah

9

(32)

dihadapkan pada fakta-fakta tertentu yang dapat dijadikan masukan eksternal bagi

penulisan tesis.10

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menyusun dan

mengklasifikasikan atau mengelompokkan penemuan-penemuan dalam sebuah

penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan

penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan

suatu penjelasan rasional yang sesuai dengan objek yang harus didukung oleh fakta

empiris untuk dapat dinyatakan dengan benar.11 Hal ini sesuai dengan pendapat Peter

M. Marzuki yang menyatakan bahwa penelitian hukum dilakukan untuk

menghasilkan argumentasi, teori ataupun konsep baru sebagai preskrepsi dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi12

Bertolak dari uraian di atas maka hal-hal yang perlu dijelaskan dalam

penelitian ini sebagai pisau analisis adalah: .

1. Teori Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem).

2. Teori Sistem Pembuktian.

3. Teori Tentang Putusan.

1. Teori Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem).

Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana kini telah

menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan

10

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80.

11

M. Solly Lubis, Ibid, hlm. 17.

12

(33)

kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan system. Mardjono menyatakan

bahwa sistem peradilan pidana adalah system pengendalian kejahatan yang terdiri

dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan

terpidana.13

Pengertian yang lebih umum dari system peradilan pidana dikemukakan oleh

Muladi yang mengatakan bahwa:

“System peradilan pidana adalah merupakan suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun jika sifatnya terlalu formal yaitu dilandasi tujuan hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.”14

Dalam perkembangan selanjutnya, Lilik Mulyadi menyatakan bahwa system

peradilan pidana di Indonesia mengenal 5 (lima) institusi sub system peradilan pidana

sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian (UU No. 2 Tahun

2002), Kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004), Peradilan (UU No. 49 Tahun 2009

Tentang Perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 ), Lembaga Pemasyarakatan

(UU No. 12 Tahun 1995) dan Advokat (UU No. 18 Tahun 2003).15

Penyelenggaraan sistem peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya

aparat penegak hukum pidana mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan,

penangkapan, penahanan, penuntutan sampai pemeriksaan disidang pengadilan. Atau

dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga

13

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 2.

14

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 1-2.

15

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana; Perspektif, Teoretis dan Praktik, Op.Cit,

(34)

pemasyarakatan, yang berarti pula berprosesnya atau bekerjanya hukum acara pidana.

Usaha-usaha ini dilakukan demi untuk mencapai tujuan dari sistem peradilan pidana,

yaitu:

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi

lagi kejahatannya.16

Dalam rangka mencapai tujuan dalam peradilan pidana tersebut,

masing-masing petugas hukum (polisi, jaksa, hakim) meskipun tugasnya berbeda-beda tetapi

mereka harus bekerja dalam satu kesatuan system. Artinya, kerja masing-masing

petugas hukum tersebut harus berhubungan secara fungsional. Karena seperti yang

diketahui bahwa penyelenggaraan peradilan tersebut adalah merupakan suatu system,

yaitu suatu keseluruhan terangkai yang terdiri atas unsur-unsur yang saling

berhubungan secara fungsional.

Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum maka bekerjanya system

peradilan pidana (criminal justice system) menjadi prioritas utama dalam bidang

penegakan hukum. Oleh sebab itu diperlukan keterpaduan antara sub system-sub

system di dalam criminal justice system guna menanggulangi meningkatnya kualitas

maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

16

(35)

Loebby Logman membedakan pengertian system peradilan pidana dengan

proses pidana. Sistem adalah suatu rangkaian antara unsur atau faktor yang saling

terkait satu dengan lainnya sehingga menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa

sehingga sampai tujuan dari system tersebut. Sedangkan proses peradilan pidana

yakni suatu proses sejak seseorang diduga telah melakukan tindak pidana, sampai

orang tersebut dibebaskan kembali setelah melaksanakan pidana yang telah

dijatuhkan padanya.17

Sesungguhnya proses peradilan pidana maupun system peradilan pidana

mengandung pengertian yang ruang lingkupnya berkaitan dengan mekanisme

peradilan pidana. Kelancaran proses peradilan pidana ditentukan oleh bekerjanya

system peradilan pidana. Tidak berfungsinya salah satu sub system akan mengganggu

bekerjanya sub system yang lain yang pada akhirnya menghambat bekerjanya proses

peradilan.

Dalam hubungannya dengan judul permasalahan penelitian ini, maka Teori

Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) ini dipergunakan untuk

menjelaskan bahwa dalam sebuah proses peradilan pidana itu terdapat beberapa

komponen aparat penegak hokum yaitu polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan

dan advokat yang tergabung dalam system peradilan pidana yang meskipun tugas

berbeda-beda namun mereka harus berkerja dalam kesatuan system demi terwujudnya

keamanan di dalam masyarakat.

17

(36)

2. Teori Sistem Pembuktian

Berdasarkan praktek peradilan pidana, dikenal ada empat macam teori

pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim di dalam melakukan pemeriksaan

terhadap terdakwa disidang pengadilan, yaitu:18

a. Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (conviction intime)

Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim maka hakim dapat

menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh

suatu peraturan. Teori pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim

untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat

bukti berupa keyakinan hakim. Artinya jika pada pertimbangan hakim sesuai

dengan keyakinan yang timbul dari hati nuraninya menganggap terbukti suatu

perbuatan yang dilakukan terdakwa maka terhadap diri terdakwa dapat dijatuhkan

putusan pidana.

Keyakinan hakim pada teori ini adalah menentukan dan mengabaikan hal-hal

lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim

tersebut.19 Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan

kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Seolah-olah sistem ini menyerahkan

sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata. Sistem ini dianut

oleh peradilan juri di Perancis.20

18

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 186

19

Rusli Muhammad, Ibid, hlm. 187. 20

(37)

b. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis

(Conviction Raisonnee).

Sistem pembuktian ini adalah system pembuktian yang tetap menggunakan

keyakinan hakim tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan yang

masuk akal atau rasional.21 Tegasnya, keyakinan hakim dalan teori ini harus

dilandasi alasan-alasan yang dapat diterima, artinya keyakinan hakim harus

mempunyai dasar-dasar yang logis dan benar-benar dapat diterima akal, tidak

semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk

akal.22

c. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif.

Menurut teori ini, system pembuktian bergantung kepada sebagaimana

disebutkan dalam undang-undang atau dengan kata lain undang-undang telah

menentukan tentang adanya alat-alat bukti yang dapat dipakai hakim, cara

bagaimana hakim harus mempergunakan kekuatan alat-alat bukti tersebut dan

bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang

sedang diadili.

d. Sistem Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke

Stelsel).

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative merupakan

gabungan antara teori system pembuktian menurut undang-undang secara positif

21

Rusli Muhammad, Op.Cit, hlm. 187.

22

(38)

dengan system pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction intime) yaitu

bahwa pembuktian selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di

dalam undang-undang juga menggunakan keyakinan hakim.

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative ini memiliki dua

komponen, yaitu pertama bahwa pembuktian harus dilakukan menurut cara dan

dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dan yang kedua bahwa

pembuktian tersebut harus juga di dasarkan pada keyakinan hakim dan keyakinan

tersebut harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut

undang-undang.23

Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Maka berdasarkan Pasal

183 KUHAP tersebut nyatalah bahwa system pembuktian yang dianut KUHAP

adalah system pembuktian menurut undang-undang secara negative.

Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut dapat diketahui bahwa adanya dua

alat bukti yang sah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi

seseorang tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa telah

bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya adanya keyakinan pada

23

(39)

hakim saja tidak cukup apabila keyakinan tersebut tidak didukung oleh

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

Sistem pembuktian yang dianut KUHAP sebagaimana telah disebutkan diatas

adalah system pembuktian menurut undang-undang yang bersifat negatif

(Negatief wettelijke stelsel) yaitu:24

a. Disebut wettelijke atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian,

undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti

yang harus ada.

b. Disebut negatif karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang

ditentukan oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus

menjatuhkan pidana bagi seorang terdakwa, apabila jenis-jenis dan banyaknya

alat bukti itu belum dapat menimbulkan keyakinan pada dirinya, bahwa suatu

tindak pidana itu benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah

melakukan tindak pidana tersebut.

Terhadap sistem pembuktian yang dianut KUHAP tersebut, oleh D. Simons

dinyatakan sebagai pembuktian berganda. Yang berganda itu adalah keyakinan

hakim, yang keyakinan itu sendiri berpatokan dasar kepada undang-undang.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, system ini hendaklah dipertahankan di Indonesia,

agar setiap hakim dalam memutuskan kesalahan tetap didasarkan kepada

keyakinan atas kesalahan terdakwa itu dan agar hakim terikat untuk menyusun

24

P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana Dan Yurisprudensi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 408-409.

(40)

keyakinannya sendiri berdasarkan patokan-patokan tertentu yang harus diikutinya

dalam melaksanakan pengadilan.25

Dari uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa menurut system

pembuktian yang dianut KUHAP, penilaian atas kekuatan pembuktian dari

alat-alat bukti yang diajukan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum, sepenuhnya

diserahkan pada majelis hakim.

Menurut Prof. van Bemmelen26 dalam putusan hakim juga perlu dijelaskan

mengenai alasan-alasan yang telah dipakai oleh hakim sebelum sampai pada

putusannya, sehingga orang yang membaca putusan tersebut dapat mengetahui

alasan-alasan yang telah dipakai oleh hakim, dan mampu untuk menarik suatu

kesimpulan yang sama seperti yang telah ditarik oleh hakim.

3. Teori Tentang Putusan

Tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah seseorang bersalah

atau tidak, peradilan pidana dilakukan dengan prosedur yang tertuang dalam

peraturan perundang-undangan yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan

berakhir pada proses pemeriksaan di pengadilan.

Tujuan lembaga peradilan di Indonesia adalah untuk menegakkan hukum

demi keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, baik

25

Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 244.

26

(41)

bagi individu maupun bagi masyarakat, bangsa dan Negara bahkan keadilan yang

dimaksud adalah keadilan demi Tuhan Yang Maha Esa sehingga terciptanya suasana

kehidupan bermasyarakat yang aman, tenang, tentram, tertib dan damai. Hal ini

tercermin dari setiap keputusan hakim di Indonesia, yang diawali dengan ungkapan

sangat religious, yakni Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa27

Menurut sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di sidang pengadilan

yang dipimpin oleh hakim, hakim itu harus bersifat aktif, hakim harus bertanya dan

memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasehat hukumnya

untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Semua ini

dengan maksud menemukan kebenaran materil. Hakimlah yang bertanggungjawab

atas segala yang diputuskannya.

.

Untuk menjamin hal tersebut maka hakim diberi kekuasaan yang bebas dan

mandiri agar putusan-putusannya tidak mudah diintevensi oleh kekuatan diluar

pengadilan seperti penguasa dan kekuatan lainnya dalam masyarakat seperti kekuatan

politik dan ekonomi. Hal ini dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku positif di Indonesia, antara lain

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan

perubahan terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-undang

tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 sebagai

perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985.

27

(42)

Harry C Bredemeire memandang bahwa tugas pengadilan adalah untuk

membuat suatu putusan yang akan mencegah konflik dan untuk mewujudkan tugas

tersebut, pengadilan membutuhkan tiga masukan (input) yaitu:

1. Pengadilan membutuhkan analisis tentang hubungan sebab akibat, antara hal-hal yang diputus dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan diderita dari akibat putusan tersebut.

2. Pengadilan membutuhkan evaluasi tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan dan mengantisipasi efek-efek dari suatu putusan.

3. Pengadilan membutuhkan suatu kemauan para pihak untuk menggunakan pengadilan untuk menyelesaikan konflik.28

Seorang mantan Hakim Agung Amerika Serikat yang sangat tersohor

Benjamin N. Cardozo, mengakui bahwa:

Putusan hakim itu lahir bukan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan saja tetapi kombinasi antara fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut dengan perilaku atau moralitas dari hakim itu sendiri. Oleh karena itulah Cardozo menyatakan bahwa hukum buatan hakim alias putusan hakim sebagai salah satu dari realitas-realitas kehidupan yang ada. Jadi, hukum ialah perilaku dan dalam hal ini ialah perilaku hakim tertentu yang belum tentu persis sama dengan perilaku hukum hakim lain, meskipun menghadapi kasus yang sejenis dan menggunakan ketentuan hukum yang sama.29

Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari menegaskan bahwa ada dua

faktor utama yang mempengaruhi putusan hakim, yakni:

1. Faktor internal adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang datangnya dari dalam diri hakim itu sendiri yaitu yang berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM), mulai dari rekrutmen/seleksi untuk diangkat menjadi hakim, pendidikan hakim dan kesejahteraan hakim.

28

Yesmil Anwar dan Adang, Op. Cit, hlm. vi. 29

(43)

2. Faktor eksternal yakni segala sesuatu yang mempengaruhi putusan hakim yang berasal dari luar diri hakim, antara lain:

a. Peraturan perundang-undangan.

b. Adanya intervensi terhadap proses peradilan. c. Hubungan hakim dengan penegak hukum lain. d. Adanya berbagai tekanan.

e. Faktor kesadaran hukum, dan f. Faktor sistem pemerintahan30

.

Yahya Harahap31

a. Faktor subjektif yakni cara pandang atau sikap seorang hakim dalam memandang suatu perkara pidana, yang terdiri dari:

lebih merinci lagi faktor internal sebagaimana yang

disebutkan oleh Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari tersebut ke dalam

beberapa faktor yaitu:

1. Sikap perilaku yang apriori.

Adanya sikap seorang hakim yang sejak semula sudah menganggap bahwa terdakwa yang diperiksa dan diadili adalah orang yang memang telah bersalah sehingga harus dipidana.

2. Sikap perilaku emosional.

Putusan pengadilan akan dipengaruhi perangai seorang hakim. Hakim yang mempunyai perangai mudah tersinggung akan berbeda dengan perangai seorang hakim yang tidak mudah tersinggung. Demikian pula dengan putusan dari seorang hakim yang mudah marah dan pendendam akan berbeda dengan putusan hakim yang sabar.

3. Sikap sombong atau congkak atas kekuasaannya (Arrogance Power). Sikap lain yang mempengaruhi suatu putusan adalah “kecongkakan kekuasaan”. Di sini hakim merasa dirinya berkuasa dan pintar, melebihi orang lain (jaksa, pembela apa lagi terdakwa).

4. Moral.

Amat berpengaruh adalah moral seorang hakim karena bagaimanapun juga pribadi seorang hakim diliputi oleh tingkah laku yang didasari oleh moral pribadi hakim tersebut terutama pada saat memeriksa serta memutuskan suatu perkara.

b. Faktor Objektif yaitu faktor yang berasal dari dalam diri hakim yang dipengaruhi oleh:

30

Antonius Sudirman, Op .Cit, hlm. 92-93.

31

(44)

1. Latar belakang budaya.

Kebudayaan, agama, pendidikan seorang hakim tentu ikut mempengaruhi suatu putusan hakim. Meskipun latar balakang hidup budaya bukan merupakan faktor yang menentukan, tetapi faktor ini setidak-tidaknya ikut mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu keputusan.

2. Profesionalisme.

Kecerdasan serta profesionalisme seorang hakim ikut mempengaruhi keputusannya. Perbedaan suatu putusan pengadilan sering dipengaruhi oleh profesionalisme hakim tersebut.

Syarat utama bagi keputusan hakim itu adalah bahwa keputusan itu haruslah

beralasan sehingga dapat dipertanggugngjawabkan, bukan saja terhadap yang

berkepentingan langsung, yaitu penuntut umum dan si terdakwa tetapi juga terhadap

masyarakat umumnya. Dengan keputusannya itu hakim harus menunjukkan bahwa ia

tidak mengambil keputusan dengan sewenang-wenang, bahwa peradilan yang

ditugaskan kepadanya sebagai anggota dari kekuasaan kehakiman, selalu dijunjung

tinggi dan dipelihara sebaik-baiknya, sehingga kepercayaan umum akan

penyelenggaraan peradilan yang layak tidak akan sia-sia belaka, andaikata hakim

tidak menemukan hukum tertulis, hakim wajib menggali hukum tidak tertulis untuk

memutuskan berdasarkan hukum32

Lilik Mulyadi

.

33

a. Putusan yang diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk

umum.

menyebutkan bahwa pada hakikatnya putusan hakim

merupakan:

32

Yesmil Anwar dan Adang, Op. Cit, hlm. 221-222.

33

(45)

Pada konteks ini, putusan yang diucapkan hakim karena jabatannya, artinya

hakim diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk mengadili

perkara (Bab I Pasal 1 angka 8 KUHAP). Putusan hakim itu kemudian haruslah

diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP,

Pasal 13 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

b. Putusan dijatuhkan setelah melalui proses atau tahapan-tahapan persidangan dan

proses administrasi menurut hukum acara pidana pada umumnya.

Hanya putusan hakim yang melalui proses atau tahapan-tahapan dalam

persidangan dan proses administrasi menurut hukum acara pidana pada umumnya

saja yang mempunyai kekuatan mengikat dan sah. Pengertian proses atau tahapan

persidangan disini, adalah proses hakim dalam menangani perkara pidana, mulai

tahap menyatakan sidang dibuka dan terbuka untuk umum, pemeriksaan identitas

terdakwa, pembacaan dakwaan, keberatan/eksepsi, putusan sela/tussen vonis,

pemeriksan saksi-saksi dan terdakwa kemudian pemeriksaan dinyatakan selesai

lalu tuntutan pidana, pembelaan/pledoi, replik, duplik, re-replik, re-duplik,

musyawarah hakim dan pembacaan putusan.

Sedangkan untuk proses administrasi dimulai dari tahap proses administrasi

pelimpahan perkara, pengagendaan dan pemberian nomor perkara, di daftarkan

surat kuasa khusus di kepaniteraan apabila terdakwa didampingi oleh penasehat

hukum/advokat dan sampai penetapan mejelis hakim/hakim tunggal yang akan

(46)

c. Berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan

hukum.

Pada hakikatnya, putusan hakim dalam perkara pidana amarnya hanya

mempunyai tiga sifat yaitu pemidanaan apabila hakim/pengadilan berpendapat

bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah

melakukan tindak pidana yang didakwakan (Pasal 193 ayat(1) KUHAP)

kemudian putusan bebas apabila hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan

disidang, terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atas

perbuatan yang didakwakan (Pasal 191 ayat(1) KUHAP) dan putusan pelepasan

dari segala tuntutan hukum jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang

didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu

tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).

d. Putusan dibuat dalam bentuk tertulis.

Dalam praktik, putusan hakim haruslah dibuat dalam bentuk tertulis.

Persyaratan bentuk tertulis ini secara tersirat tercermin dari ketentuan Pasal 200

KUHAP yang menyatakan bahwa surat keputusan ditandatangani oleh hakim dan

panitera seketika setelah putusan itu diucapkan. Jadi tentulah jelas apabila

dilakukan penandatanganan harus dibuat dalam bentuk tertulis.

Selain itu, juga melalui bentuk tertulis dimaksudkan agar putusan tersebut

dapat diserahkan kepada yang berkepentingan, dikirim kepada Pengadilan Tinggi/

(47)

upaya hukum banding atau kasasi, bahkan publikasi dan sebagai arsip yang

dilampirkan dalam berkas perkara. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor. 5/1959 Tanggal 20 april 1959 dan Nomor: I/1962

Tanggal 7 Maret 1962 ditegaskan bahwa pada waktu keputusan

diucapkan/dibacakan disidang pengadilan maka putusan harus sudah siap, yang

segera setelah diucapkan akan diserahkan kepada panitera untuk diselesaikan

lebih lanjut.

e. Putusan hakim tersebut bartujuan untuk menyelesaikan perkara.

Dengan diucapkannya atau dibacakannya putusan hakim di sidang pengadilan

maka secara formal perkara tersebut ditingkat Pengadilan Negeri telah selesai.

Oleh karena itu, status dan langkah terdakwa pun menjadi jelas apakah menerima

putusan, menolak putusan untuk melakukan upaya hukum banding/kasasi atau

melakukan grasi. Oleh karena itu, diharapkan putusan hakim mencerminkan

nilai-nilai keadilan dan kebenaran agar dapat dipertanggungjawabkan kepada pencari

keadilan, ilmu hukum itu sendiri, hati nurani hakim dan masyarakat pada

umumnya serta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 195 KUHAP menyatakan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah

dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.

Dengan demikian untuk sahnya suatu putusan pengadilan harus memenuhi

syarat-syarat:

(48)

2. Di ucapkan di sidang terbuka untuk umum.

Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu

putusan pemidanaan oleh hakim dan menurut ketentuan ayat (2) salah satu dari

ketentuan tersebut tidak dipenuhi kecuali yang tersebut pada huruf g dan I maka

putusan batal demi hukum. Ketentuan tersebut adalah:

a. Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”.

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tempat lahir, jenis kelamin, kebangsaan,

tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.

c. Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.

d. Pertimbangan yang di susun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta

alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaaan di sidang yang menjadi dasar

penentuan kesalahan terdakwa.

e. Tuntutan pidana sebagaimana dalam surat tuntutan.

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau

tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum

dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara

diperiksa oleh hakim tunggal.

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsure dalam

rumusan delik disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang

(49)

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan

jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya

kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu.

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutuskan

dan nama panitera.

Selanjutnya dalam Pasal 199 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa surat

putusan bukan pemidanaan memuat:

a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 197 ayat (1) kecuali hurif e, f dan

h.

b. Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum

dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang

menjadi dasar putusan.

c. Perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan.

Leden Marpaung menyatakan bahwa hal-hal tersebut yang harus dinyatakan

sebagai syarat mutlak suatu putusan sedang hal-hal lain misalnya dengan hadirnya

terdakwa, tidak merupakan syarat mutlak. Dengan hadirnya salah seorang terdakwa

saja dari beberapa terdakwa maka putusan tersebut telah sah. Demikian halnya

dengan pengecualian yang mengadili terdakwa secara in absensia (tanpa hadirnya

(50)

Dengan demikian pakar yang mengatakan kehadiran terdakwa sebagai syarat

sah/tidaknya putusan adalah keliru.34

2. Kerangka Konsepsi

Pada bagian kerangka konsepsi akan dijelaskan hal-hal yang berkenaan

dengan konsep yang dipergunakan oleh peneliti dalam penelitian tesis ini yang

merupakan defenisi operasional untuk memberikan pegangan bagi penulis sebagai

berikut:

a. Putusan pengadilan sebagaimana yang dijelaskan pada Bab I Tentang Ketentuan

Umum Pasal 1 angka 11 KUHAP adalah pernyataan hakim yang diucapkan

dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau

lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal ini serta merta menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini.

b. Putusan bebas (vrijspraak) dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa dari

hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan

kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus

bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).

c. Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh

Undang-undang untuk mengadili. Yang dimaksud dengan mengadili adalah serangkaian

tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutuskan perkara pidana

34

(51)

berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak pada sidang pengadilan dalam

hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.35

d. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima

putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak

terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 12 KUHAP).

e. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penuntut umum adalah jaksa yang

diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan

melaksanakan penetapan hakim(Pasal 1 angka 6 KUHAP).

f. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang

pengadilan (Pasal 1 angka 15 KUHAP).

G. Metode Penelitian.

Metode penelitian berisi uraian tentang metode atau cara yang penulis

gunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian berfungsi sebagai

pedoman dan landasan tatacara dalam melakukan operasional penelitian untuk

menulis suatu karya ilmiah yang penulis lakukan. Sesuai dengan permasalahan yang

35

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian pengembangan dan pembahasan media pembelajaran matematika bahasan keliling dan luas lingkaran untuk siswa SMP kelas VIII ini,

[r]

Bahan film plastik biodegradable dengan kandungan tepung biji durian dan kitosan den- gan gliserol sebagai bahan pemlastis memiliki gugus fungsi yang merupakan gabungan dari gu-

[r]

Objektif yang telah digariskan dalam kajian yang dilakukan ini adalah untuk mengenalpasti jenis kemahiran insaniah yang terhasil melalui amalan penggunaan sumber bahan bantu

Karakter kualitatif diuji pada 19 genotipe cabai rawit yang meliputi empat bagian tanaman, yaitu batang, daun, bunga, dan buah.. Penentuan karakter kualitatif pada

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini