• Tidak ada hasil yang ditemukan

Negara Dan Kekuasaan: Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara Perlawanan Serikat Tani Nasional Atas Sengketa Tanah Terhadap PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk Di Desa Pematang Lalang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Negara Dan Kekuasaan: Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara Perlawanan Serikat Tani Nasional Atas Sengketa Tanah Terhadap PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk Di Desa Pematang Lalang"

Copied!
179
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara

NEGARA dan KEKUASAAN:

GERAKAN SOSIAL PETANI MELAWAN HEGEMONI NEGARA PERLAWANAN SERIKAT TANI NASIONAL ATAS SENGKETA TANAH

TERHADAP PT. ANUGERAH TAMBAK PERKASINDO Tbk DI DESA PEMATANG LALANG

D I S U S U N OLEH

MANGIRING PARULIAN SINAGA 020906004

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN.

1. Latar Belakang Masalah 1-21

2. Perumusan Masalah. 21-22

3. Tujuan Penelitian. 22

4. Manfaat Penelitian. 23

5. Kerangka Teori. 23-24

5. 1. Teori Gerakan Sosial (Petani). 24-35

5. 2. Teori Hegemoni Negara. 35-41

6. Metode Penelitian.

6. 1. Jenis Penelitian 41-42

6. 2. Lokasi penelitian. 42

6. 3. Teknik Pengumpulan Data. 42

6. 4. Teknik Analisa Data. 43

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN.

1. Sejarah Singkat STN Desa Pematang Lalang. 44-47

2. Jaringan/keanggotaan STN. 48-50

3. Struktur Organisasi STN.

3. 1. Bagan dan Mekanisme STN 51-58

3. 2. Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional (KPP-STN)

(3)

3. 3. Komite Pimpinan Wilayah Serikat Tani Nasional

Sumatera Utara (KPW STN-SU) Periode 2007-2009. 59 3. 4. Komite Pimpinan Desa Serikat Tani Nasional Pematang

Lalang (KPD-STN) Periode 2007-2009. 59-60 4. Prinsip-Prinsip Serikat Tani Nasional.

4. 1. Kepeloporan di tengah-tengah massa tani. 63 4. 2. Sentralisme Demokrasi/Demokrasi Terpusat. 60-61

4. 3. Kritik dan Oto-Kritik. 61

4. 4. Bergantung pada kekuatan sendiri. 61-62 5. Tujuan dan Program Perjuangan STN

5. 1. Tujuan STN. 62-63

5. 2. Program Perjuangan STN. 63-68

6. Strategi dan Taktik Perjuangan STN

6. 1. Meluaskan Pengaruh dan Kekuatan. 68-69 6. 2. Taktik Meluaskan Struktur (Lapangan Perjuangan

Sektoral). 69-70

6. 3. Tentang Front Persatuan (Lapangan Perjuangan

Multi-Sektoral) 70-72

6. 4. Tentang Aksi Menuntut dan Perluasan Propaganda 72

6.4.1. Mobilisasi Menuntut 72-73

(4)

BAB III: PEMBAHASAN

1. Sejarah Gerakan Kaum Tani Indonesia. 75-85 2. Gambaran Konflik Agraria di Desa Pematang Lalang. 85-90 2. 1. Kondisi Masyarakat Pematang Lalang. 90-92 2. 2. Pembagian Tanah kepada PERTISI (Tahun 1967). 92-104 2. 3. Asal Muasal Sengketa Tanah di Pematang Lalang

(Tahun 1988). 104-107

2. 4. Perusakan dan Perampasan oleh PT. Anugerah

Tambak Perkasindo Tbk. (Tahun 1997). 108-111 2. 5. Perusakan dan Perampasan Tanah oleh PT. Anugerah

Tambak Perkasindo Tbk. (Tahun 1998). 111-113 2. 6. Kepala Desa Pematang Lalang Kaki Tangan PT.

Anugerah Tambak Perkasindo Tbk. 114-117 2. 7. Intimidasi, Teror dan Tindak Kekerasan (Tahun

2005). 117-119

2. 8. Aksi Protes dan Reklaiming ( Sejak 17 Juni 2005). 119-125 2.9. Lahirnya Serikat Tani Nasional Desa Pematang

Lalang. 125-128

2.10. Hak-hak Masyarakat Desa pematang Lalang. 128-129 2.11. Tuntutan Maksimum dan Minimun Serikat Tani

(5)

3. Sekilas Tentang PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk.

3. 1. Profil PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk. 131 3. 2. Manajemen PT. Anugerah Tambak Perkasindo. 131-132 3.3. Perkembangan Tentang PT. Anugerah Tambak

Perkasindo Tbk. 132-135

4. Gerakan Kaum Tani di Desa Pematang Lalang.

4. 1. Tumbuhnya Organisasi Tani. 135-136

4. 2. Peran Tokoh Dalam Gerakan Petani. 136-138 4. 3. Karakteristik Gerakan Petani Desa Pematang Lalang. 138-140 4. 4. Bentuk-bentuk Perlawanan.

4. 4. 1. Aksi Protes. 141

4. 4. 2. Perlawanan ke Pengadilan. 141

4. 4. 3. Aksi Tandingan. 141-142

4. 4. 4 Aksi Demonstrasi 142

4. 4. 5. Aksi Pendudukan. 142-143

5. Perlawanan (Resistency) Kaum Tani di Desa Pematang Lalang Dalam Tinjauan Analisis Teoritik.

5. 1. Gerakan Petani Dalam Teori Gerakan Moral Ekonomi. 143-150 5. 2. Gerakan Petani Dalam Perspektif Kepentingan Kelas. 150-159

BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN.

1. Kesimpulan. 160-167

(6)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

Sejarah penguasaan tanah dan pembaharuan agraria bukanlah gagasan

baru. Usianya sudah lebih dari 2500 tahun. ”Land Reform” yang pertama didunia,

terjadi di Yunani Kuno, 594 tahun Sebelun Masehi (SM), Slogan land-to-the-tiller

(tanah untuk penggarap), itu sudah berkumandang 565 tahun Sebelum Masehi,

selanjutnya melalui tonggak-tonggak sejarah penguasaan tanah di jaman Romawi

Kuno (134 SM), gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian oleh peternak

biri-biri di Inggris selama lebih kurang 5 abad dan Revolusi Perancis tahun

1789-17991, dari mulai adanya roda sampai mesin uap. Mesin uap dapat mengakomodir satu usaha industri tekstil. Bahkan Italia, Perancis, Jerman mulai merasa

mempunyai kepentingan terhadap revolusi tekstil. Mereka ini mampu

mempercepat revolusi tekstil yang sebelumnya, bahkan sebelum revolusi industri

itu sendiri, sudah menghasilkan enclosures movement (penggusuran kaum tani

dari tanah-tanah mereka) untuk digunakan sebagai ladang biri-biri, sebagai bahan

wool -kain linen waktu itu belum ada, liberian catoon belum dikenal. Dengan

adanya mesin uap (ditemukan 1777) maka produktivitas kemudian menjadi lebih

tinggi, konsekuensinya dibutuhkan domba lebih banyak, tanah lebih luas, dan

penyingkiran tani dari tanah-tanahnya untuk padang rumput2

Gerak sejarah tak bisa ditahan (sesuai dengan perjalanan sejarah). Capital

mulai masuk desa-desa. Kaum feodal mulai beralih menjadi industriawan. Seperti

kata Marx, peasants beralih menjadi farmers. Dengan berkembangnya .

1

Gunawan Wiradi, Masalah Pembaharuan Agraria (Dampak Land Reform Terhadap Perekonomian Negara), Bogor, Makalah Pada Peringatan “Satu Abad Bung karno”, 2001, hal. 1.

(7)

kapitalisme, berarti berubahnya sistem pertanian feodal menjadi sistem pertanian

agro industri. Dalam sistem agro industri, otomatis menggunakan teknologi

sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit. Selain itu terjadi pula

perampasan lahan sehingga semakin sedikit lapangan pekerjaan bagi kaum tani,

jumlah yang menganggur semakin banyak. Karena itulah lambang tengkorak di

Inggris lahir dari petani di desa. Yaitu serikat petani yang pertama3

Perbincangan tentang sifat kepemilikan tanah dan cara bagaimana basis

agraria ini memberikan surplus bagi pemilik modal sudah dimulai sejak akhir

abad ke-18 dan berlanjut hingga sekarang. Pemahaman akan kepemilikan tanah

dalam perspektif sejarah untuk melihat bagaimana kapitalisme senantiasa

mengalami perubahan bentuk dan selalu merampas kepemilikan tanah dari tanaga

petani dengan berbagai cara. Hak petani akan tanah menjadi terpinggirkan karena

terjadi ekspansi besar-besaran dari modal yang difasilitasi oleh hukum dan

kebijakan pemerintah

.

4

Tetapi kesadaran itu kemudian termanipulasi sedemikian oleh banyak

factor, tapi yang terutama adalah factor masuknya modal, kedalam kehidupan .

Keadaan geografis Indonesia yang berada diwilayah tropis memberikan

konsekwensi positif bahwa keadaan tanahnya subur, lautan kaya dengan beragam

kehidupan, isi buminya beragam mulai dari bahan-bahan tambang yang potensial

untuk digunakan dan dimamfaatkan. Hal ini menimbulkan kesadaran dalam benak

para penghuninya, bahwa untuk melangsungkan kehidupan, bangsa ini kemuadian

memantapkan diri sebagai bangsa yang agraris, bangsa yang mudah bertahan

hidup dengan mengandalkan keadaan alam.

3

Ibid, hal 2.

4

(8)

bangsa lewat kaki tangannya Imperialisme, bekerja sama dengan raja-raja yang

memiliki watak tuan tanah, sejak jaman itulah, kekayaan Indonesia dikeruk dan

dipindahkan pemamfaatannya oleh kekuatan Imperialis. Kenyataan ini berlanjut

selama 350 tahun dan berlanjut sampai saat ini.

Di Indonesia, sejumlah persoalan mendasar dalam lapangan agrarian yang

muncul dalam struktur agraria saat ini pada akhirnya turut menyumbang

(konflik-konflik yang berkepanjangan, struktur penguasaan tanah yang timpang dan tata

hukum agraria “kacau”) pada lemahnya ekonomi rakyat dan rapuhnya ekonomi

bangsa. Disisi lain sejumlah persoalan agraria menunjukkan bahwa praktek politik

dan tatanan hukum di negeri ini sudah tidak memberikan tempat yang layak bagi

rakyat untuk mengambil peran yang sesungguhnya dalam proses perkembangan

masyarakat, karena dominasi negara & kekuasaan eksekutif sudah terlampau

besar dan tidak bisa lagi terkontrol.

Krisis ekonomi yang terjadi sekarang ini ternyata juga tidak bisa

dilepaskan jalannya strategi agraria seperti yang telah dipertontonkan oleh

pemerintahan Orde Baru selama ini, yang secara langsung pula menjadikan tanah

sebagai komoditas strategis. Fred Harisson (1983) melakukan studi mengenai

krisis ekonomi di berbagai negara, yang pernah terjadi sepanjang sejarah

menyimpulkan bahwa sumber yang paling utama adanya monopoli tanah dan

spekulasi tanah. Gejala monopoli dan spekulasi ini yang kita lihat juga merebak

dengan hebat di Indonesia dalam beberapa tahun sebelum krisis melanda.

Penjelasan Harisson adalah sebagai berikut: ketika tanah menjadi komoditi, maka

diantara seluruh komoditi yang ada, tanah adalah komoditi yang sangat

(9)

menyebabkan harga makin lama makin tinggi sampai pada puncaknya yang

“menggila”. Sampai pada akhirnya lonjakan harga tanah yang “gila” itu tidak

dapat dijelaskan dengan argument sederhana, seperti yang ada dalam teori pasar.

Selanjutnya masih menurut Harisson, dampak negatif dari kegiatan ini

akan bersifat ganda. Petani akan tergusur secara intensif, yang berarti kesempatan

kerja dipedesaan dan sector pertanian banyak yang hilang. Sementara tanah-tanah

yang sudah terbebaskan tidak dimamfaatkan, tetapi malah ditelantarkan, karena

akan justru akan meningkatkan nilai kekayaan (nominal dalam catatan keuangan

atau kekayaan) dari penguasa atau pemiliknya akibat praktek spekulasi.

Menelantarkan untuk tujuan spekulasi ini, menghilangkan kesempatan kerja bagi

buruh-buruh bangunan atau calon-calon pengisi kesempatan kerja. Disisi lain

tanah terlantar itu jelas menghilangkan potensi produktif aktifitas pertanian yang

seharusnya bisa dilakukan diatas tanah-tanah/lahan-lahan tersebut.5

Memang secara keseluruhan, spekulan tanah bukan penyebab tunggal

tenyadinya krisis ekonomi, tetapi penjelasan Harisson memperkaya pengetahuan

kita bahwa penerapan tanah sebagai komoditas mengandung ancaman yang

mungkin tidak bisa diketahui. Meskipun demikian, perspektif pembaharuan

agraria yang menempatkan rakyat pada pusat-pusat aktivitas lapangan agrarian

memilih argument bahwa ketimpangan struktur penguasaan tanah atau

umber-sumber agraria akan menimbulkan kesenjangan pendapatan dalam suatu negara.6

5

Noer Fawzi, Isu-isu Utama Pembaruan Agraria Dewasa ini Menuju Membesarnya Peran Masyarakat Sipil. Makalah dalan Seminar Nasional Agraria , 21 September 1998 di Bandar Lampung, hal. 7.

(10)

Pada dasarnya gejala konflik dalam hubungan-hubungan agraria ini

berakar pada pertentangan klaim yang menyangkut tiga hal berikut7

1. Siapakah yang berhak menguasai sumber-sumber agraria dan kekayaan

alam yang menyertainya.

:

2. Siapakah yang berhak memamfaatkan sumber-sumber agraria dari

kekayaan alam itu

3. Siapakah yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan

pemamfaatan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam tersebut.

Berbagai kosepsi dasar mengenai kompleksitas persoalan agraria diatas

secara nyata menggambarkan realita keagrariaan yang ada di Indonsia dewasa ini.

Menurut Wiradi (2000)8

1. Ketimpangan dalam hal struktur ‘ pemilikan” dan “penguasaan” tanah. , realitas keagrariaan di Indonesia secara mendasar

bersiifat konfliktual, suatu kondisi yang berakar pada ketimpangan atau

incompatibilities menyangkut sumber-sumber agrarian dalam bentuk sebagai

berikut:

2. Ketimpangan dalam hal “peruntukan” tanah, dan

3. Incompability dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria.

Persoalan ketimpangan pertama sudah sering disoroti selama ini, dengan

mencermati hasil sensus pertanian tahun 1973, 1983, dan 1993, tampak jelas

bahwa fenomena ketimpangan struktur pemilikan dan penguassan tanah

menunjukkan peningkatan yang makin tajam. Ketimpangan kedua, yakni masalah

peruntukan lahan, cukup sulit untuk diperoleh data yang akurat. Selain karena

belum adanya aturan yang memadai, proses pembangunan nasional selama ini

7

Konsorsium Pembaharuan Agraria, Reforma Agraria Prasyarat Utama Bagi Reitalisasi Pertanian dan Pedesaan, Bandung: September 2005, hal. 6.

(11)

yang sangat bisa sektoral dan memarjinalkan sector pertanian juga menyebabkan

perubahan fungsi lahan berkembang dengan sedemikian cepat, terutama dalam

bentuk konversi lahan-lahan pertanian ke non-pertanian.

Adapun penyebab ketimpangan ketiga menyangkut perbedaan persepsi

dan konsepsi, yaitu antara mereka yang menggunakan konsep hukum-hukum

positip (formal/legal dari barat) dan mereka yang termasuk masyarakat adat yang

mengenal berbagai macam hak yang berbeda atas tanah yang berasal dari tradisi

dan budaya mereka. Ketimpangan terjadi ketika tata cara penguasaan dan

pemamfaatan sumber agraria yang bersumber dari hukum-hukum positif sering

kali menafikan apa yang telah lama dipraktekkan dan dikenal oleh masyarakat

setempat.

Kebijakan agrarian yang dipraktikan pada masa Orde baru yang bertumpu

pada penguasaan tanah dan pengelolaan kekayaan alam skala besar dalam bentuk

proyek-proyek yang dijalankan baik oleh instansi dan perusahaan pemerintah

maupun swasta. Hal ini disertai dengan sektoralisme kebijakan agrarian melalui

berbagai undang-undang , seprti undang-undang pokok kehutanan No. 5 tahun

1967 dan Udang-undang Pokok Pertambang No. 11 Tahun 1967, yang

kesemuanya ini memandulkan UUPA No. 5 tahun 1960 sebagi perundangan

payung.9

Pintu dibuka sangat lebar oleh rejim orde baru lewat Undang-undang

Penanaman Modal Asing pada awal periode kekuasaannya, disisi lain keberadaan

para tuan tanah yang merupakan ciri khas feodalisme tidak juga hilang, sehingga

dari dulu sampai sekarang, kedua kekuatan yang sebetulnya bertentangan itu

(12)

malah bekerja sama menjadi penindas bagi rakyat. Dalam kurum waktu 32 tahun

orde baru berkuasa, sebuah program yang menjadi biang keladi kehancuran dasar

kehidupan rakyat dilangsungkan yaitu; Revolusi hijau. Masuknya produk-produk

asing dalamn asing pertanian dipaksakan oleh pemerintahan Orde Baru, terjadi

pemaksaan terhadap rakyat yang tadinya hanya berwatak subsisten menjadi

pertanian yang berwatak eksploitatif. Secara prosuksi petani dipaksa untuk

memilih sarana produksi yang jauh diluar jangkauannya. Dampak dari hal ini

adalah petani kemudian rela kehilangan lahannya, sehingga konsentrasi

kepemilikan lahan ditangan segelintir orang malah semakin menjadi-jadi.10

Selain itu kaum tani juga telah mengalami penindasan selama puluhan

tahun, menjadi korban perampasan tanah. Perampasan tanah yang terjadi erat

kaitannya dengan perkembangan kapitalisme Orde Baru yang hingga kini tak

kunjung ada penyelesaian yang adil bagi kaum tani. Salah satu basis dari

perkembangan kapitalisme Orde baru adalah melalui cara-cara perampasan tanah

untuk kepentingan keberlangsungan dan perluasan kapitalisme perkebunan,

pembangunan pabrik-pabrik manufaktur (terutama tanah di pinggiran kota),

proyek infrastruktur (jalan, bendungan/dam dsb), real estate, lapangan golf, dan

pembukaan/perluasan areal pertambangan. Ini adalah model pertama dari

terjadinya pengkonsentrasian tanah model Orde Baru.11

Secara spesifik ada sejumlah populasi kaum tani yang menjadi korban

perampasan tanah akibat penyelewengan Orde Baru terhadap pelaksanaan UU

Pokok Agraia 1960, terutama tanah-tanah perkebunan yang hak erpacht/HGUnya

10 Ibid

, hal. ii-iii

11

(13)

habis dan seharusnya menjadi obyek dari UUPA yaitu dibagi-bagikan kepada

kaum tani, ternyata HGU-nya diperpanjang. Atau yang sudah dibagikan dirampas

kembali, terutama paska Tragedi 65.

Dalam kurun waktu antara tahun 1970 hingga tahun 2001 terjadi tidak

kurang dari 1.753 sengketa agraria. Terdapat 344 kasus konflik yang terjadi akibat

pengembangan areal perkebunan besar, pembukaan kebun-kebun baru maupun

penanaman kembali lahan-lahan yang selama ini tidak dipergunakan oleh

perusahaan. Keseluruhan jumlah konflik di areal perkebunan meliputi 1.311.971

Ha lahan yang disengketakan dan menimpa tidak kurang 257.686 keluarga petani

sebagai korban langsung dari konflik tersebut.12 Hal ini diperkuat dari data yang kumpulkan oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (2004), per 30 desember 2001

telah tercatat 1.753 kasus konflik pertanahan di seluruh Indonesia yang mencakup

luas 10.892.203 ha tanah dan melibatkan 1.189.482 keluarga.13

Yang menjadi masalah adalah struktur kekuasaan selalu menindas

perjuangan kaum tani yang menjadi korban dari ketidakadilan dalam kasus-kasus

tanah yang terjadi. Bahkan kaum imperialis, kapitalis, juga perusahaan-Tanah-tanah yang dirampas oleh kaum tani itu berubah menjadi

industri-industri modern, menjadi perkebunan, areal pertambangan, pabrik, bendungan,

jalan dsb. Jika perubahan itu menjadi lapangan golf menjadi lebih mudah, karena

kaum tani tidak membutuhkan lapangan golf maka dapat dirubah kembali

menjadi lahan pertanian. Apakah yang demikian ini juga akan diterapkan jika itu

sudah berupa pabrik, bendungan, areal pertambangan, jalan, bendungan.

12Ibid

, hal. 5

13

(14)

perusahaan Negara yang memperalat dan menggunakan instritusi kekerasan

Negara (TNI/Polri) dan para preman dalam menghadapi perjuangan kaum tani

untuk merebut hak-haknya. Dalam kasus-kasus tanah yang terjadi keterlibatan

TNI/Polri ini sangat menonjol

Akibat dari kebijakan agrarian yang berorientasi pada pertumbuhan dan

kepentingan modal besar ini, maka proses diferensiasi social dan proletarisasi

yang sudah terjadi pada masa kolonial menjadi berkembang makin luas dan

mendalm dengan rangkain konflik yang tidak kunjung henti sebagai

konsekwensinya.

Tabel 1. Karakteristik Konflik Agraria di Indonesia

Provinsi Angka

Pihak-Pihak Yang Bersengketa Dengan Pengguna

(15)

Lampung 54 320.716 120.840 23 3 4 25

Sumber: Konsorsium Pembaharuan Agraria, Refoma Agraria Prasyarat Utama Bagi Revitalisasi

Pertanian dan Pedesaan, 2005, Hal. 23.

Hal ini diperkuat oleh Fauzi14

1. Ketimpangan struktur penguasaan sumber-sumber agraria yang secara

sengaja dibiarkan berkembang dengan dijalankannya politik pembangunan

agraria yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan diabdikan pada

keadilan social.

(2003), meringkas berbagai problem agraria

selama masa Orde Baru sebagai berikut:

2. Politik agraria yang dijalankan oleh Orde Baru selama ini juga

menciptakan berkembangnya konflik-konflik dan atau sengketa agraria

yang massif dan mendalam sifat kekerasannya.

(16)

3. Politik pembagunan agraria yang mengandalkan penanaman dan

penumpukan modal pada sector-sektor pokok ekonominya yang terutama

dibiayai hutang asing telah gagal membangun modal dlaam negeri sebagai

jaminan dari berkelanjutan pembangunan.

4. Politik sentralisme maupun sektoralisme hokum keagrarian telah

menghasilkan pengambilalihan sumner-sumber agrariia yang menjadi hak

rakyat dan terjadinya konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria

dengan mengorbankan kemakmuran kehidupan rakyat pedesaan serta

menjadikan pertanian menjadi sector yang dibelakangkan.

Bukan hanya potret ketimpangan penguasaan tanah, kemiskinan serta

pemaksaan yang menjadi gambaran petani, melainkan juga petani menjadi pihak

yang kerap harus dihilangkan factor produksi terpenting yang mereka kuasai yaitu

tanah. Petani harus berjuang keras mempertahankan secuil tanah yang selama ini

mereka kuasai bahkan dalam banyak kasus mereka harus diperhadapkan dengan

berbagai macam kekerasan fisik.15 Masalah terbesar agraria16

15

Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, Petani dan Konflik Agraria, Bandung: Yayasan AKATIGA, 1998, hal. x

16

http://www.okezone.com/2008/02/20, Joko Ryanto SH, Pembaharuan Agraria dan Hak Asasi Petani, Jakarta; Artikel, 2007.

saat ini dapat diringkaskan sebagai berikut: 1)

Ketidakadilan penguasaan tanah dan kekayaan alamnya antarkelompok sosial

ekonomi yang menggantungkan hidup atasnya. 2) Ketidakadilan penggunaan dan

pemanfaatan tanah dan kekayaan di atas tanah. 3) ketidakadilan dalam

pengambilan putusan perkara dengan penguasa, penggunaan dan pemanfaatan

(17)

Ketidakadilan itu merupakan faktor penyebab konflik sosial dan atau

pelanggaran HAM di berbagai daerah konflik sosial di beberapa daerah.

Seharusnya, hak petani diakui sebagai HAM, baik oleh pemerintah maupun

pemerhati HAM. Sayangnya, hal itu sama sekali belum tercermin dalam

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanahan sedang disusun Badan

Pertanahan Nasional (BPN) untuk menggantikan Undang-Undang Pokok Agraria

(UUPA) No 5/1960 yang kini genap berusia 47 tahun.

Upaya BPN merevisi UUPA 1960 itu diperkirakan hanya melanggengkan

ketidakadilan sosial di atas. Bukan saja karena BPN cenderung tidak

mengefektifkan hukum agraria nasional sebagai landasan pelaksanaan pembaruan

agraria secara komprehensif, lebih dari itu BPN cenderung menyederhanakan tiga

masalah ketidakadilan sosial itu sebagai masalah pertanahan semata, bukan

sebagai masalah agraria (yang cakupan telaahnya jauh lebih luas).

Ada beberapa kelemahan dalam UUPA yang meliputi: a) Hak menguasai

sumber daya alam (SDA) yang berada di tangan negara harus direvisi agar tidak

ditafsirkan bersifat mutlak, tapi lebih ditafsirkan sebagai ''negara mempunyai

wewenang untuk mengatur" kepentingan dan pengabdian pada masyarakat. b)

Masyarakat adat atau komunitas desa mempunyai wewenang untuk memecahkan

masalah agraria.

Akumulasi persoalan dari perubahan situasi ekonomi dan politik yang

terus berkembang yang memaksa kaum tani Indonesia harus terus menerima

beban berat dari eksploitasi tanah (dan sumber-sumber alam lainnya) yang

semakin menyempit dan hancur kesuburannya, de-politisasi massal semasa Orde

(18)

perdagangan bebas, pencabutan subsidi, kenaikan harga BBM, pupuk,

obat-obatan, traktor dan impor beras yang semakin menghancurkan daya produksi

pertanian nasional dan mencampakkan kaum tani Indonesia ke jurang kemiskinan

dan kebodohan.17

Tahun Sensus Pertanian

Situasi ini menyebabkan hasil produksi kaum tani tidak mampu

mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Oleh karena itu sangat sering

kaum tani berlahan sempit ini terpaksa harus menjadi buruh musiman di perkotaan

terdekat, menjadi buruh untuk tetangganya sendiri (petani berlahan sempit

lainnya) yang tetap membutuhkan tenaga kerja terutama pada saat musim tanam

dan musim panen. Masih harus diselidiki apakah sempitnya penguasaan lahan

menjadi problem pokok dari kaum tani di Indonesia? Dalam pengertian sederhana

bahwa semakin luas lahan yang dimiliki kaum tani akan semakin meningkatkan

kesejahteraannya.

Tabel 2. Jumlah Petani dan Rata-rata penguasaan tanah di Jawa dan Madura.

Jumlah Petani di Jawa dan

Madura

Rata-Rata Penguasaan Tanah (Ha)

1963 7,95 Juta 0,71

1973 8,27 Juta 0,60

1983 10,27 Juta 0,30

Sumber : Serikat Tani Nasional, Kondisi Pertanian dan perjungan Kaum Tani di Tengah

Serangan Imperialisme,2006, Hal. 1.

17

(19)

Asumsi sementara yang menjadi alat analisis memahami fakta sempitnya

skala udaha tani adalah realitas terjadinya ketimpangan struktur penguasaan

agraria. Ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia sudah terjadi sejak masa

colonial sekitar abad ke-19, ketimpangan struktur penguasaan tanah yang semakin

tajam tersebut ditunjukkan secara berlanjut yakni semakin sempitnya skala usaha

tani dan semakin meningkatnya jumlah tunakisma ironisnya seperti yang tercatat

dalam sensus pertanian tahun 1993, sebagian besar tanah pertanian (69%) dikuasai

oleh sekelompok kecil rumah tangga pedesaan (16%), dan sebaliknya sebagian

kecil tanah atau sisanya (31%) dikuasai oleh sebagian besar (84%) rumah tangga

pedesaan. Mereka ini adalah rumah tangga yang menguasai tanah tidak lebih dari

1 Ha dab petani tunakisma. Sehubungan dengan petani tunakisma ini, Kano

(1988:4) menemukan dua faktor yang menyebabkan adanya perbedaan yang

paling jelas dan menentukan munculnya petani tunakisma di masyarakat pedesaan

jawa, menurut Kano factor demografi yakni tingginya man land ratio18dan factor

ekonomi yakni komersialisasi pertanian yang terjadi di Jawa meupakan factor

yang tidak bisa disangkal lagi sebagai penyebab munculnya tunakisma dan

semakin sempitnya areal luas lahan yang dapat dikuasai petani.19

Konsentrasi tanah adalah melalui pembukaan hutan dan pemanfaatan

tanah adat. Yang menikmatinya adalah sejumlah konglomerat kroni Suharto.

Sampai tahun 1998, kurang dari 666 unit produksi yang mengontrol kurang lebih

48,3 juta ha hutan HPH/HPTI, yang bila dirata-ratakan, masing-masing unit

menguasai kurang lebih 72,6 ribu ha. Di antara perusahaan yang menguasai

HPH/HPTI itu, tidak lebih dari 12 konglomerat yang mengontrol sekitar 16,7 juta

18

Man Land Ratio adalah Perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah luas lahan pertanian.

(20)

ha lahan hutan. Di samping itu, Perhutani (perusahaan milik negara) mengklaim

menguasai tiga juta ha lahan hutan. Kemudian pada tahun 2000 ketahui terdapat

2,178 perusahaan yang menguasai perkebunan besar dengan total lahan seluas

3,52 juta ha.20

Walaupun demikian menurut Wiradi (1990), persoalan skala usaha tani

dan satuan luas usaha sampai sekarang sebenarnya menjadi perdebatan akademis

yang panjang. Menurut Nasikun, seperti dikutib Wiradi (1990:2) yang menjadi

persoalan adalah mengapa ketika berhadapan dengan semakin gencarnya

intervensi kapitalisme agraria, petani kecil masih bias bertahan utamanya dengan

modal keterbatasannya itu. Masalah ini menjadi persoalan yang menarik ketika

sampai pada pembahasan cara petani bertahan dari intervensi akumulasi modal

para kapitalis yang termanifestasi dalam konflik-konflik agrarian yang

berkepanjangan dan sangat bertentang dengan cara hidup petani yang secara

prinsipil hidup sederhana.

Dengan demikian kecilnya skala usaha tani yang dimiliki sebagian besar

petani menunjukkan pola hidup petani di Indonesia yang subsisten. Dikatakan

demikian karena keterbatasan berproduksi disebabkan kecilnya usaha tani yang

dimiliki. Keadaan ini menjadi indicator yang jelas dalam mengukur kemampuan

petani dalam mengelola dari produksi. Dalam arti, kemampuan berproduksi

menjadi indicator dari sikap petani yang lebih mengutamakan kebutuhan untuk

komsumsinya sendiri agra terpenuhinya dahulu daripada mencari untung dan

suplus yang dapat dihasilkan dari fartor produkasi yang sangat terbatas.

21

20

Serikat Tani Nasional, Kondisi Pertanian dan Perjuangan Kaum Tani di Tengah Serangan Imperialisme, Materi Situasi Nasional, Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional (KPP-STN), hal. 5

21 Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, Op.Cit, hal. 13.

(21)

Tanggal 16 Agustus 2006, Presiden SBY menyatakan tingkat kemiskinan

berhasil diturunkan. Hal ini adalah bertentangan dengan kenyataan bahwa

menurut data dari lembaga mandiri, hingga bulan April 2006, tingkat kemiskinan

sudah mencapai angka 22 % dari total penduduk Indonesia. Itu artinya, sekitar

40-an juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskin40-an. Namun jika kita

merujuk pada tingkat pendapatan 2 dollar/hari (±Rp. 19.000), kita akan lebih

terkejut lagi dengan kenyataan bahwa separuh atau sekitar 110 juta dari penduduk

kita yang sudah mencapai 220 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan.22 Sekitar 70 % atau hampir ¾ dari rakyat miskin tersebut adalah: kaum

tani23

Di dalam penyelesaian persoalan kurang berkembangnya dan

keterbelakangan tenaga produktif pertanian dan juga dalam penyelesaian sengketa

agraria kedudukan dari Pemerintahan SBY-Kalla adalah wakil kekuasaan yang

berdiri dipihak-pihak yang memusuhi kepentingan kaum tani yaitu kaum . Dari gambaran ini seharusnyalah ditetapkan kebijakan yang

menguntungkan kaum tani. Tapi kenyataan selalu jauh dari harapan dan impian .

Bukannya hidup yang lebih baik, malah terus dibebani dan ditimpakan beban

yang lebih berat lagi. Kenaikan harga eceran pupuk pertengahan tahun 2006

semakin membuat masih beratnya kita menanggung kenaikan semua biaya

produksi dan kehidupan sehari-hari akibat kenaikan harga BBM. Sesak inipun

masih harus ditambah dengan kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras yang

akan menghantam harga jual gabah. Berbagai persoalan ini masih juga harus

ditambah dengan masih banyaknya represifitas yakni kekerasan aparat negara

secara langsung atau tidak yang dihadapi oleh perjuangan kaum tani di Indonesia.

22

Serikat Tani Nasional, Pidato Menyambut Hari Tani Nasional 2006, Loc.Cit.

(22)

imperialis dan kapitalis/imperialis yang menyerobot tanah-tanah yang menjadi

hak kaum tani. Demikian juga kedudukan dari struktur dan elit penguasa yang

menjadi bawahannya (militer, pengadilan, juga pemerintahan daerah)m juga

institusi parlemen.

Kasus beras impor, gula impor, kenaikan harga BBM, Tarif Dasar Listrik,

ndustri pupuk, mahalnya harga pupuk, tak adanya bantuan kredit murah untuk

kaum tani, tak adanya bantuan teknologi yang murah dan tepat guna bagi kaum

tani, peranan Bulog yang tidak mampu menjadi distributor pangan nasional yang

menguntungkan kaum tani dan memangkas habis rente yang dinikmati kaum

tengkulak adalah bukti dari sikap bermusuhan dari pemerintahjan SBY-JK

terhadap kepentingan kaum tani. Pemerintahan SBY-JK justru dengan sikap

melaksanakan pesanan kebijakan dari kaum imperialis untuk meliberalkan

peraturan yang menyangkut pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya air, juga

perkebunan melalui berbagai RUU.

Didalam penyelesaian kasus-kasus sengketa agrarian kita tidakpernah

mendengar penyelesaian yang menguntungkan kaum tani. Yang sering kita dengar

justru Pemerintah SBY-JK menggunakan institusi dan aparat TNI/Polri untuk

menindas perjuangan kaum tani.

Problem yang sesungguhnya adalah kapitalisme Indonesia dan kaum

imperialis memang berkepentingan untuk tetap membuat tenaga produktif kaum

tani dan pertanian Indonesia tidak berkembang dan tetap terbelakang. Program

industrialisasi nasional secara massif dan massal, sosialisasi dalam pengelolaan

aktifitas industri modern, program pendidikan dan kesehatan gratis yang dapat

(23)

modern menjadi terhambat. Nasib kaum tani menjadi bertambah buruk karena

kelas penguasa bekerjasama dengan kepentingan kaum imperialis menindas kaum

tani.

Sehingga konflik agraria yang melibatkkan petani selalu terjadi

disepanjang sejarah dan petani tetap berada pada posisi yang lemah, baik secara

ekonomi maupun politik. Secara ekonomi posisi petani lemah karena sebagai

produsen. Secara politik posisi petani sangat lemah karena tidak memiliki

kesempatan untuk mandiri dan berorganisasi dan beraliansi dengan kekuatan

politik yang dapat mengangkat aspirasi mereka.

Tentunya dari persoalan pokok yang dihadapi oleh kaum tani, yakni

kebutuhan akan tanah sebagai sumber penghidupannya (bertahan hidup/alat

produksi) terjadi gejolak terhadap ketimpangan struktur agraria yang ada sehingga

timbulnya penuntutan-penuntutan bahkan perlawanan gerakan tani untuk

penyelesaian sengketa yang menimpa mereka selama berpuluh-puluh tahun

lamanya telah kehilangan tanah sebagai simbol kesejahteraannya.

Dalam melakukan perlawanannya Kaum Tani terorganisir dalam sebuah

kolektif kerja untuk melakukan penyusunan strategi dan taktik perlawanan

terhadap pemegang otoritas negara, karena sepanjang sejarah sejak bedirinya Orde

Baru tak satupun institusi negara bahkan Badan Pertanahan Nasional sekalipun

tidak memiliki niatan baik dalam menyelenggarakan amanat Undang-Undang

Pokok Agraria No. 05 Tahun 1960 dalam menyelesaikan ketidakadilan agraria di

Indonesia Khususnya di Sumatera Utara. Karena, gerakan sosial petani harus

dibangun dengan landasan kolektif dan segaris massa seta membangun

(24)

apparatus pemerintahannya yang telah berselingkuh dengan pemilik

modal/pengusaha. Tentunya ini akan membangun hubungan yang kontradiktif

sehingga melahirkan konflik yang berkepanjangan.

Berbagai kasus penggusuran yang terjadi hampir diseluruh tanah air pada

dekade 1980-an, dapat dipastikan memunculkan dan menyebabkan terjadinya

konflik di masyarakat seperti halnya di desa Pematang Lalang Kec. Percut Sei

Tuan Kab. Deli Serdang, yang persoalannya menimpa masyarakat yang tergabung

dalam Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang. Sebuah konflik klasik yang

berawal dari sengketa tanah seluas 360 Ha dilokasi HGU PT.Anugerah Tambak

Perkasindo Tbk dan menempatkan petani (STN-Pematang Lalang) pada posisi

yang berhadap-hadapan dengan negara dan pengusaha (PT. Anugerah Tambak

Perkasindo Tbk), bahkan tidak jarang tindakan refresif menyertainya dengan

menggunakan alat negara (TNI/POLRI) dan juga preman bayaran untuk

melakukan tindakan diluar batas kemanusiaan dalam upaya melakukan

penggusuran dari lahan sengketa.

Konflik yang dimulai sejak tahun 1988 dimana PT. Anugerah Tambak

Perkasindo (ATP) yang bergerak dalam pertambakan udang telah menguasai

tanpa membayar tanah rakyat yang diperoleh dengan surat panitia Landreform

pada 1967 melalui organisasi Persatuan Tani Islam Indonesia (PERTISI) yang

kemudian tanah dibagikan seluas 360 Ha kepada 161 warga dengan surat Kohir

IPEDA serta Peta Persil suguhan.

Barulah pada tahun 1995 muncul izin Hak Guna Usaha untuk melegitimasi

praktek pertambakan udang yang telah dilakukan PT. Anugerah Tambak

(25)

Kanwil BPN Sumatera Utara No. 1/HGU/22.04/95 tertanggal 21 Maret 1995

untuk pengaturan 95,04 Ha serta Keputusan Kepala BPN Nasional

No.19/HGU/BPN/2001 tertanggal 7 Agustus 2001 untuk 335,8 Ha.

Setelah beberapa tahun perampasan tanah yang dilakukan oleh PT.

Anugerah Tambak Perkasindo Tbk maka untuk kepentingan memperjuangkan

kasus sengketa tanah tersebut kemudian, pada tahun 2004 masyarakat desa

Pematang Lalang kemudian membangun kembali sebuah organisasi tani yang

bernama PERTISI (Persawahan Terindah Seluruh Indonesia) yang dipimpin oleh

Kamelia Hasibuan. Dalam proses perjuangannya, tepatnya pada bulan Mei 2005,

PERTISI melalui Kamelia Hasibuan mengundang elemen mahasiswa yaitu Liga

Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi wilayah Sumatera Utara (Eksekutif

Wilayah LMND Sumut) untuk ikut terlibat mendampingi proses perjuangan

sengketa tanah tersebut yang saat itu sedang membangun sekolah tani de Desa

Pematang Lalang. Hingga, Tahun 2005 terbentukalah Serikat Tani Nasional Desa

Pematang Lalang yang merupakan hasil kesepakatan bersama petani setelah

kepergian Kamelia dengan alasan karirnya.

Merujuk pada masalah diatas, penulis tertarik untuk menganalisa lebih

mendalam mengenai gerakan perlawanan petani Pematang Lalang yang

merupakan gambaran perlawanan dan bentuk protes kaum tani melalui organisasi

Serikat Tani Nasional Pematang Lalang terhadap ketidakadilan agraria yang

sedang menimpa warga desa Pematang Lalang. Gerakan ini secara Spontan

mengejutkan warga desa ketika hadirnya perusahaan yang bergerak di bidang

budidaya tambak udang bernama PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk,

(26)

ketenangan kaum tani yang selama ini dalam bekerja di lahan yang mereka kuasai

dan kelola (produksi) sebagai sebuah areal persawahan dengan sendirinya telah

terusik oleh keberadaan PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk. Ketika

modal/Investasi memasuki wilayah pedesaan maka dibutuhkan lahan yang luas

untuk dapat menghasilkan keuntungan yang lebih maksimal. Perlahan-lahan

posisi kaum tani di desa pematang lalang telah terjepit dan tergusur dari tanahnya

sendiri oleh karena lahan yang selama ini mereka kuasa dan mereka kelola

sebagai sumber mata pencaharian pokok bagi hidup mereka telah di rampas oleh

kekuatan uang (Pemilik Modal) yang berkolaborasi dengan negara untuk

memaksa petani keluar dari areal kelola produksinya. Tentunya ini merupakan

tragedi kemanusiaan dimana telah terjadi pemiskinan secara struktural dipedesaan

(Pematang Lalang) karena tanah telah dimonopoli oleh PT. Anugerah Tambak

Perkasindo Tbk.

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, Penulis merumuskan masalah

penelitiannya sebagai berikut:

a. Bagaimana Deskripsi sejarah penguasaan tanah dan basis konflik yang

dialami oleh Serikat Tani Nasional desa Pematang Lalang (STN-Pematang

lalang) Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi

Sumatera Utara.

b. Bagaimana strategi-taktik Perlawanan Serikat Tani Nasional Desa

Pematang Lalang (STN-Pematang Lalang), Kecamatan Percut Sei Tuan,

(27)

sosial yang sedang bejuang dan melawan atas sengketa tanah mereka

dengan PT. Anugerah Tambak Perkasindo.

c. Bagaimana peran, keterlibatan dan keberpihakan negara melalui

apparatusnya dalam sengketa antara Serikat Tani Nasional Desa Pematang

Lalang (STN-Pematang Lalang) dengan PT. Anugerah Tambak

Perkasindo Tbk.

2. Tujuan Penelitian.

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mencari fakta sejarah penguasaan/kronologis tanah, hak kepemilikan

(tanah) dan konflik agraria yang sedang dialami oleh Serikat Tani

Nasional Pematang Lalang (STN-Pematang Lalang), dengan tujuan untuk

mengetahui dan membongkar sejarah penguasaan tanah/kronologis tanah

sengketa yang sampai sekarang menjadi persoalan pokok bagi Serikat Tani

Nasional Desa Pematang Lalang (STN-Pematang Lalang).

b. Menganalisis perlawanan Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang

(STN-Pematang Lalang sebagai sebuah gerakan sosial petani terhadap

pengusaha (PT.Anugerah Tambak Perkasindo Tbk).

c. Menjelaskan posisi negara, perannya serta posisi keberpihakannya

terhadap kasus antara Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang

(28)

3. Manfaat Penelitian.

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat teknis, bagi penulis penelitian ini bermanfaat untuk mengasah dan

mempertajam kemampuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah

dalam menganalisis kondisi sosial masyarakat.

b. Manfaat akademis, penelitian ini bermamfaat untuk mempertajam analisis

tentang teori negara dan kekusaan yang erat kaitannya dengan disiplin

ilmu politik.

c. Manfaat praksis, penelitian ini bermanfaat sebagai sebuah konsumsi dan

refrensi bagi gerakan sosial petani khususnya Serikat Tani Nasional Desa

Pematang Lalang (STN-Pematang Lalang) dan gerakan sosial lainnya serta

lembaga-lembaga yang kerkompeten.

5. Kerangka Teori

Kerangka teori diperlukan dalam setiap penelitian untuk memberikan

landasan teoritis bagi penulis dalam menyelesaikan masalah dalam proses

penelitian.24 Kerangka teori juga membantu seorang peneliti dalam menentukan tujuan dan arah penelitian serta sebagai dasar penelitian agar langkah yang

ditempuh selanjutnya dapat jelas dan konsisten.25 Dekripsi teori disini menerangkan tentang variable yang diteliti, baik yang bersifat deskripstif (satu

variable) atau lebih dari dua variable (hubungan, pengaruh dan komparatif)26

24

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1987, hal. 21.

25

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1990, hal. 65.

26

Drs.Ridwan, M.B.A, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Peneliti dan Peneliti Pemula, Bandung: Alfabeta, 2006, hal. 7

(29)

Kerangka teori berisi uraian tentang telaahan teori dan hasil penelitian

terdahulu yang terkait. Telaahan ini bisa dalam arti membandingkan,

mengkontraskan atau meletakkan tempat kedudukan masing-masing dalam

masalah yang sedang diteliti, dan pada akhirnya menyatakan posisi atau pendirian

peneliti disertai dengan alasan-alasannya. Dan bukan bermaksud untuk

memamerkan teori dan hasil penelitian ilmiah para pakar terdahulu dalam satu

adegan verbal sehingga pembaca ‘diberitahu’ mengenai sumber tertulis yang telah

dipilih oleh peneliti. Hal ini juga dimaksudkan untuk menampilkan mengapa dan

bagaimana teori hasil penelitian para pakar terdahulu digunakan peneliti dalam

penelitiannya, termasuk dalam merumuskan asumsi-asumsi dalam

penelitiannya.27

27

O. Setiawan Djuaharie, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi, Bandung: Yrama Widya, 2001, hal. 55

Teori-teori atau tinjauan pustaka yang dipakai oleh penulis sebagai

landasan berfikir dan titik tolak menyoroti masalah yang diteliti adalah sebagai

berikut:

5.1. Teori Gerakan Sosial (Petani).

Pada hakikatnya, gerakan sosial merupakan jawaban spontan maupun

terorganisir dari massa rakyat terhadap negara yang mengabaikan hak-hak rakyat,

yang ditandai oleh penggunaan cara-cara di luar jalur kelembagaan negara atau

bahkan yang bertentangan dengan prosedur hukum dan kelembagaan negara

gerakan sosial juga bisa dilihat sebagai upaya bersama massa rakyat yang hendak

melakukan pembaruan atas situasi dan kondisi sosial politik yang dipandang tidak

(30)

Sesuai dengan istilahnya maka pelaku gerakan adalah rakyat atau kalangan

masyarakat tertentu khususnya petani. Gerakan sosial pada varian yang lain ada

kalanya untuk pertama kali dijalankan oleh negara. Lalu dalam prosesnya menjadi

gerakan sosial dalam masyarakat. Varian lain mengatakan bahwa bisa saja

awalnya dilakukan masyarakat namun kemudian diadopsi dan dijalankan oleh

negara. Proses adopsi oleh negara ini juga dapat bersifat kooptasi sehingga

melenceng dari tujuan dan maksud semula, namun bagaimanapun variannya yang

paling utama adalah masyarakat atau petanila dalam hal ini yang menjadi subjek

atau pelaku utamanya.

Berdasarkan dari sifat dari penindasan yang bersifat global saat ini, maka

gerakan sosial termasuk kaum tani semestinya mempunyai gagasan-gagasan,

prinsip, nilai-nilai dan tujuan yang radikal sejak dari awal kemunculan hingga

tercapainya tujuan itu sendiri. Gerakan sosial berusaha menghilangkan akar

structural dari penindasan itu baik secara langsung maupun tidak langsung.

Organisasi tani harus mempunyai gagasan-gagasan yang mampu secara

konseptual mengganti konsepsi dunia pertanian yang dipaksakan oleh kalangan

neoliberalisme. Organisasi tani harus berada posisinya berada di depan sebagai

kekuatan anti neoliberalisme. Perannya sangat menentukan karena petanila pilar

kehidupan. Organisasi petani adalah organisasi keluarga petani. Maka setiap

anggota keluarga petani, khususnya petani miskin dan tertindas adalah “sel-sel

tempur” melawan neoliberalisme. Itulah inti gerakan sosial kaum tani.28

28

(31)

Menurut pemikir dan aktivis radikal Italia, Antonio Gramsci29

Menurut Sadikin Gani

menyatakan

tidak dapat disepelekan, dan tidak dapat dianggap kurang penting dibandingkan

dengan gerakan kelas menengah dan gerakan kaum muda terpelajar, yang terlalu

dielu-elukan dalam tradisi liberal. Juga tidak dapat disepelekan dibandingkan

dengan gerakan kaum buruh, yang selalu menjadi idola kaum Kiri. Dewasa ini,

justru sinerji di antara berbagai gerakan kemasyarakatan (socialmovements) yang

perlu dilihat dan diperjuangkan, untuk memperkuat dampak politik transformatif

gerakan petani baik gerakan petani gurem (peasant movement ) maupun gerakan

bangsa-bangsa pribumi (indigenous peoples movement ).

30

Karena rumusan sebuah istilah senantiasa dikendalikan oleh paradigma

pemikiran atau landasan filosofis yang mendasarinya, kedudukan dan , gerakan sosial dapat bermacam-macam

pengertianya, ini merupakan konsekuensi logis dari:

(1) Realitas sosial yang selalu berubah;

(2) Beranekaragamnya latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan politik

masyarakat yang hendak “dijelaskannya” (positivisme), “dipahaminya”

(interpretatif), dan “diubahnya” (kritisisme);

(3) Adanya hubungan timbal-balik antara realitas sosial (yang “diteorikan”)

dengan teori sosial (yang “direalitaskan”); dan khusus untuk konteks

Indonesia adalah

(4) Adanya persoalan kekurangtepatan perangkat teoretis yang berasal dari

Barat untuk menjelaskan kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

29

George Junus Aditjondro, Ketika Petani Angkat Bicara, Dengan Suara Dan Massa: Belajar dari Sejarah Gerakan Petani di Indonesia dan Amerika Selatan, Palu: Yayasan Tanah Merdeka, 2006, hal. 1.

30

Perlawanan Petani dan Konflik

(32)

perkembangan studi gerakan sosial dalam khasanah perkembangan ilmu sosial.

Pembahasan masalah ini penting, mengingat perkembangan ilmu sosial, demikian

pula realitas sosial yang membentuk dan dibentuknya senantiasa dipengaruhi oleh

tekanan-tekanan internal dan eksternal. Tekanan internal adalah teka-teki yang

masih tersembunyi dan belum terjawab di dalam paradigma sebuah cabang ilmu

pengetahuan tertentu. Tekanan eksternal terjadi pada dua tataran. Pertama,

terjadinya pergeseran-pergeseran di dalam gaya pemikiran (intellectual fashions)

dan aliran pemikiran (intellectual currents); dan kedua, datang dari perubahan

yang terhadi dalam gejala-gejala itu sendiri. Kaitan antara pergeseran-pergeseran

internal dan eksternal di dalam ilmu pengetahuan dengan pola-pola aliran

pemikiran yang lebih luas; dan dengan gejala itu sendiri disebut sebagai ruang

lingkup sejarah.

Menurut Peter Burke31

31

Aliansi Masyarakat Adat Nasional, Masyarakat Adat sebagai Basis Politik Gerakan Sosial, Boladangko: Makalah Seminar, 2007, hal. 1.

, seorang sosiolog Amerika, ada dua tipe gerakan

sosial. Pertama, gerakan sosial untuk memulai perubahan. Kedua, gerakan sosial

yang dilakukan sebagai reaksi atas perubahan yang terjadi. Bila dikaitkan

maknanya dengan gerakan di Indonesia, maka dapat dikategorikan menjadi

sebelum dan sesudah 1966. Pada masa sebelum 1966, mobilisasi gerakan sosial

mengarah pada pemberian dukungan terhadap legitimasi negara yang baru

berdiri. Sedangkan pasca 1966, gerakan yang terjadi lebih mengarah pada kritik

atau reaksi terhadap kebijakan negara, seperti peristiwa Malari, Kedung Ombo,

Tanjung Priok, gerakan reformasi 1998, dan sebagainya. Sebenarnya masih

cukup banyak pendapat pakar-pakar ilmu sosial tentang wacana gerakan sosial,

(33)

Gerakan sosial di Indonesia sesungguhnya memiliki akar sejarah yang

kuat. Dimulai sejak perlawanan rakyat Indonesia pada masa kolonialisme Belanda

gerakan sosial sebetulnya masih berlanjut sampai sekarang, era Neoliberalisme

dengan benderanya Globalisasi. gerakan petani, buruh, pemuda dan mahasiswa

telah menghiasi catatan sejarah gerakan sosial Indonesia. Lihat bagaimana

militannya perlawanan kaum tani terhadap kolonialisme Belanda pada 1926

walaupun dapat dipatahkan, kemudian perjuangan bawah tanah para pemuda

melawan fasisme Jepang pada masa revolusi kemerdekaan, lihat juga bagaimana

perjuangan kaum buruh menuntut nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan

asing. Dan masih banyak lagi berbagai perlawanan dari masing-masing sector

gerakan sosial Indonesia.

Sejarah terkini menunjukkan, gerakan petani memiliki kekuasaan yang

signifikan dalam mengorganisir, memobilisasi, dan mengintervensi masyarakat

sipil untuk mempromosikan perubahan yang positif dalam penguasaan lahan,

memblok kebijakan perdagangan babas yang menghancurkan dan bahkan

menjatuhkan rejim yang korup. Dalam konteks nasional, baik di tingkat federal

maupun provinsi, gerakan tani telah menjadi musuh bersama bagi negara dan

pemodal.

Di banyak negara (tapi tidak semunya) Amerika Latin, gerakan taninya

memainkan peran politik yang utama dalam mempengaruhi kebijakan nasional

sepanjang abad ke-21. Di Bolivia, Brazil, Kolombia, Ekuador, Peru, Amerika

Tengah, Paraguay dan Mexico, petani, tukang kebun dan organisasi-organisasi

petani-Indian secara instrumental memiliki momen yang berbeda dalam seting

(34)

pedesaan kian menurun, namun dalam banyak kasus kualitas organisasi sosial dan

kepemimpinan mereka semakin meningkat, paling tidak jika dibandingkan dengan

organisasi-organisasi penduduk perkotaan.

Ada beberapa alasan obyektif dan subyektif yang menyebabkan gerakan

tani saat ini begitu maju32

Secara subyektif, pemimpin tani yang baru lahir memiliki pendidikan yang

lebih baik, terpolitisasi dan independen dari pengaruh elite perkotaan dan mesin

partai, lebih mengerti tentang politik nasional dan internasional dan bebas dari . Pertama, kebijakan neoliberal demikian menjepit

kehidupan petani: di satu sisi membanjirnya barang-barang impor sebagai

pengganti makanan dan di sisi lain produk-produk agrikultur lainnya harganya

melorot drastis sehingga menyebabkan petani penghasil jatuh bangkrut; di sisi lain

terdorong untuk mengakumulasi keuntungan dari pertukaran luar negeri, rejim

neoliberal menempuh kebijakan untuk memperluas sektor agroekspor, serta

memimpin pengusiran paksa petani penghasil dari tanahnya. Kebangkrutan dan

pengusiran tidak hanya berarti meningkatnya angka pengangguran atau

merosotnya jumlah pendapatan tapi, juga penduduk yang kehilangan tempat

tinggal, kehilangan komunitas dan keluarganya yang terdekat. Itu juga berarti,

"kehancuran," sebuah pengalaman keterasingan yang mendalam. Ancaman dan

kenyataan yang diakibatkan oleh neoliberalisme secara khusus ditemukan di

wilayah pedesaan, dimana tidak ada alternatif untuk tempat tinggal, komunitas

dan pekerjaan. Dampak yang paling menghancurkan dari neoliberalisme semakin

terasa kuat di wilayah pinggiran ketimbang di perkotaan.

32

(35)

pengaruh hegemoni pengacara provinsi dan pemimpin-pemimpin petani

profesional lainnya di masa lalu. Selain itu, tidak seperti serikat buruh lama dan

kepemimpinannya yang terbirokratisasi dan menjadi bagian yang menyatu dengan

komisi "tri-partite", gerakan tani yang baru lahir di atas basis kelas yang

independen dan perjuangan etnis menentang persetujuan dagang antara kelas

penguasa lokal dan negara imperial.

Untuk kedua alasan subyektif dan obyektif ini, gerakan tani diasumsikan

pada waktu dan negara yang tepat untuk menjadi "pelopor/vanguard," sebagai

pemicu ledakan perubahan sosial besar-besaran dalam menentang elite neoliberal.

Masyarakat petani di negara-negara Dunia Ketiga yang baru merdeka

(1950-1960-an) sudah lama menjadi perhatian kalangan ilmuwan sosial Barat.

Kajian terhadap masalah petani terutama berpusat pada hubungan mereka (petani)

dengan negara, terutama jika mereka menimbulkan masalah bagi negara

(revolusioner dan membangkang). Konteks hubungan petani dan negara tersebut

secara spesifik adalah konteks penetrasi kapitalisme Barat (terutama Amerika

Serikat) ke negara-negara Dunia Ketiga yang baru merdeka.

Tumbuhnya perhatian besar terhadap masalah petani, terutama gerakan

perlawanan mereka bukan semata-mata didorong oleh minat dan kehausan

intelektual, melainkan karena tekanan internal dan eksternal dalam ilmu sosial33

33

,

yakni kehendak untuk mewujudkan ilmu sosial yang memiliki relevansi teoretis

dan politis. Dengan kata lain, perhatian tersebut didasari oleh kehendak untuk

mewujudkan ilmu sosial yang sesuai dengan kepentingan ideologi-politik yang

, Posisi Petani dalam Penelitian

(36)

dominan maupun marjinal dalam sebuah masyarakat. Pertempuran antara kubu

ekonomi moral lawan ekonomi rasional yang muncul dalam konteks “Perang

Vietnam” misalnya, bukan semata-mata perdebatan antara kubu kaum substantifis

dan rasionalis yang murni muncul karena pertimbangan-pertimbangan teoretis,

melainkan dipicu oleh pertempuran kapitalisme lawan sosialisme; kaum

revolusioner lawan kontra-revolusioner. Demikian pula perdebatan antara

intelektual pengusung gagasan reforma agraria lawan pendukung revolusi hijau

dalam konteks Perang Dingin dan era state-led-development (tahun

1960-1970-an) pada dasarnya merupakan pertempuran antara kubu kapitalisme lawan

sosialisme dan populisme. Sampai pada titik ini kita bisa menyepakati Scott yang

mengatakan, bahwa perdebatan ilmiah bukanlah sebuah proses yang berdiri

sendiri, melainkan ditentukan oleh konteks historis dan politisnya.

Menurut James C. Scott “ Perlawanan (resistensi)penduduk desa dari kelas

yang lebih rendah adalah tiap (semua) tindakan (para) anggota kelas itu dengan

maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya: sewa,

pajak, penghormatan. Yang dikenakan oleh kelas itu pada kelas diatasnya

(misalnya:negara, tuan tanah, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk

megajukan tuntutan sendiri (misalnya:pekerjaan, rumah, lahan, kemurahan hati

dan penghargaan) terhadap kelas-kelas diatasnya.”34

1. Tidak ada keharusan bagi perlawan untuk mengambil bentuk aksi bersama Dari defenisi diatas ada 3 hal yang perlu dijelaskan:

2. Perlawanan merupakan permasalahan yang sangat pelik

34

(37)

3. Defenisi ini mengakui apa yang dapat dikatakan perlawanan simbolis atau

ideologis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perlawanan

berdasarkan kelas.

Lebih lanjut Scott menjelaskan tentang perlawanan yang sesungguhnya

bersifat:35

1. Terorganisir, sistematis dan kooperatif

2. Berprinsip atau tanpa pamrih

3. Mempunyai akibat-akibat revolusioner

4. Mengandung gagasan dan tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi itu

sendiri

Sebaliknya Scott menjelaskan juga perlawanan yang bersifat insidental

yaitu:

1. Tidak terorganisir, tidak sistematis dan individual

2. Bersifat untung-untungan dan berpamrih

3. Tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner

4. Maksud dan logikanya mengandung arti penyesuaian dengan sistem

dominasi yang ada

Perbedaan ini penting bagi setiap analisis yang bertujuan untuk mencoba

menggambarkan berbagai bentuk perlawanan kaitannya satu sama lain dan

kaitannya dengan bentuk dominasi yang di dalamnya terjadi semuanya itu.

Selanjutnya dalam pandangan Scott, posisi ini secara fundamental memberikan

gambaran yang salah mengenai dasar perjuangan ekonomi politik yang

sebenarnya, yang sehari-hari dilakukan oleh kelas-kelas bawahan tetapi juga para

(38)

petani dan pekerja. Posisi ini didasarkan atas gabungan yang ironis dari asumsi

kaum Leninis dan borjuis tentang apa yang membentuk aksi politik. Harus

dimengerti bahwa perlawanan itu bukannya apa yang sekedar yang dilakukan

kaum tani untuk mempertahankan diri serta rumah tangganya. Banyak dari apa

yang mereka perbuat itu harus dimengerti sebagai suatu kerelaan sekalipun

disertai gerutuan. Dapat bertahan hidup sebagai produsen komuditi kecil atau

pekerja, dapat memaksa beberapa dari mereka untuk menyelamatkan diri dengan

mengorbankan teman-temannya. Bagi Scott meyakini bahwa para petani

senantiasa berperilaku menghindari resiko yang dinilainya sebagai karakter dari

masyarakat tradisional, masyarakat tradisional mempunyai suatu tertib moral yang

tak dapat dipisahkan dari masalah subsistensi. Tatanan sosial dari kehidupan

petani telah menghasilkan system jaminan keamanan hidup internal yang secara

normatif dapat ditegakkan untuk memenuhi semua orang desa. Kolonialisme telah

mengukir eksploitasi tanpa batas yang dikenakan pada para petani sedemikian

rupa sehingga terbentuklah diferensiasi sosial yang baru, dislokasi agraria,

kemorosotan dari moral mengutamakan kebersamaan, dan kapitalisme agraria

yang rakus kesemuanya ini sungguh mengancam keberlangsungan hidup petani.

Scott selanjutnya menekankan moralitas dan kemarahan petani sebagai respon

yang niscaya begitu adanya menghadapi hilangnya jaminan keamanan subsistensi

minimum. Alhasil, pemberontakan petani pada dasarnya bersifat dari keinginan

konservatif dan restoratif (mempertahankan dan atau mengembalikan tatanan

yang terdahulu). Selain Scott, Jeffry Paige (1975)36

36

Jeffry Paige, Revolusi Agraria: Gerakan Sosial dan Pertanian Ekspor di Negara-negara Dunia Ketiga, Pasuruan: Pedati, 2004, hal. 75.

dengan karyanya “Revolusi

(39)

tidak memperdulikan soal-soal moralitas, rasionalitas. Paige menggunakan

analisis kepentingan kelas pada situasi pedesaan yang diistilahkannya menjadi

Objektive Vector of Capitalism” . Ia merujuk pada situasi nyata orang-orang

desa lakukan dalam proses kerja, misalnya organisasi dan struktur kerja, ekologi

produksi dan lainnya. Selanjutnya Paige mempermasalahkan kondisi-kondisi yang

memungkinkan pemberontakan agraria dan bentuk-bentuk ekspresi atau tampilan

politik petani. Model analisa Marxis menjadi rujukan Paige ini memperkirakan

kemungkinan gerakan petani akan terjadi manakala:

1. Suatu kelas penguasa tanah berkuasa terus atas dasar penguasaan

tanahnya

2. Para petani dihambat kemungkinan mobilitas naik ke atas

3. Kondisi kerja dan karakter pekerjaan para petani memungkinkan

pembentukan solidaritas

Sadikin Gani37

37

Sadikin Gani, Perlawanan Petani dan Konflik Agraria dalam Diskursus Gerakan Sosial, Op. Cit. hal. 1.

, dalam artikelnya didasari oleh 3 pengandaian tentang

perlawanan tkaun tani: Pertama, perlawanan petani merupakan upaya-upaya yang

dilakukan petani untuk menentang dan menolak segala bentuk keputusan yang

mengakibatkan hilangnya hak penguasaan/pemilikan mereka atas sebidang tanah–

merupakan salah satu bentuk gerakan sosial. Gerakan sosial yang dimaksud di sini

adalah upaya-upaya yang dilakukan sekelompok orang untuk melakukan

perubahan, atau mempertahankan keadaan yang menyangkut kehidupan sosial,

ekonomi dan politik dalam sebuah masyarakat. Kedua, konflik agraria (tanah)

merupakan gejala dan/atau peristiwa yang timbul dari adanya perlawanan dari

(40)

pihak-pihak yang mendukung perlawanan petani–terhadap kelompok masyarakat lain,

atau institusi–pemerintah maupun perusahaan–yang tidak mengakui dan/atau

merebut hak penguasaan/pemilikan petani atas sebidang tanah yang mereka akui

dan yakini sebagai miliknya. Ketiga, jika konflik agraria diletakkan dalam

kerangka gagasan reforma agraria, maka konflik dalam konteks reforma agraria

lebih bermakna sebagai strategi perjuangan petani untuk mendorong pelaksanaan

reforma agraria.

Berdasarkan tiga pengandaian tersebut, dapat ditarik dua kesimpulan

hipotetis. Pertama, gejala dan peristiwa konflik agraria pada dasarnya merupakan

manufactured product”, bukan “primordial matter” sebuah gerakan sosial,

karena gejala dan peristiwa tersebut merupakan insiden yang memang

direncanakan terjadi merupakan bagian dari strategi dan taktik perjuangan petani

untuk mewujudkan reforma agraria. Kedua, karena perlawanan petani dan konflik

yang ditimbulkannya merupakan bagian dari taktik dan strategi gerakan, maka

konflik dalam kerangka perjuangan reforma agraria bukan sesuatu yang menuntut

penyelesaian layaknya penyakit yang harus disembukan, melainkan harus terus

dikobarkan sehingga menjadi kekuatan yang dapat mendorong pelaksanaan refor

ma agraria.

5.2. Teori Hegemoni Negara

Konsep hegemoni merupakan sumbangan Gramscy yang utama terhadap

teori politik dan bersumber pada revisinya terhadap Marxisme klasik. Tapi,

Gramscy tidak memutarbalikkan model basis super struktur tradisional Marxis,

(41)

konsep Gramscy. Ia menolak interpretasi “Materialisme Vulgar” dan

kecenderungan sosiologi positifis evolusioner seperti yang digagas oleh Bhukarin

yang mengatakan bahwa kejatuhan kapitalisme dan munculnya sosialisme akan

berlangsung secara alami seperti malam mengikuti siang. Menurut Marx,

masyarakat membentuk negara dan masyarakat dibentuk pula oleh cara produksi

yang dominan dan hubungan-hubungan produksi yang ada di dalamnya. Karena

itu negar merupakan ekspresi politik dari struktur klas yang melekat dalam

produksi. Dalam masyarakat berkelas, seperti masyarakat kapitalis, negara

didominasi oleh kaum borjuis, dan oleh sebab itu negara marupakan ekspresi

politik dari klas dominan.38

38

Antonio Gramscy: Negara dan Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2003, hal. 17

Munculnya negara dalam masyarakat kapitalis adalah akibat dari tidak

terdamaikannya pertentangan klas (antara borjuis dan proletar) dalam struktur

masyarakat tersebut. Negara juga mengontrol perjuangan sosial dari kepentingan

ekonomi yang berbeda, dimana kontrol tersebut dipegang oleh klas yang kuat

secara ekonomi dalam masyarakat. Dengan demikian negara juga menjadi alat

represif dari klas yang berkuasa.

Selain kekuatan represif tersebut, negara juga menjalankan kekuatan

hegemoni yang mampu melanggengkan kekuasaannya, yang berarti kekuasaan

dari klas dominan. Maka, hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan

kekuatan negara sebagai klas diktator. Atau dengan kata lain, salah satu hal yang

menyebabkan kapitalisme bertahan adalah genggaman ideologisnya terhadap

(42)

Dalam telaah negara dan hegemoni menurut Gramscy, mengajukan

hipotesa bahwa kritik Gramscy terhadap Marxisme klasik adalah upaya untuk

mengakomodasikan perhatian idealis atas pentingnya gagasan dan kehendak

dalam penciptaan tindakan. Hal ini berkaitan erat dengan solusi tindakan

politisnya untuk melawan hegemoni kapitalisme dengan terlebih dahulu melawan

aparatis ideologinya. Dengan demikian, formulasi tentang negara adalah sebagai

masyarakat politik ditambah masyarakat sipil, atau hegemoni didukung oleh

sarana penekan (masyarakat politik). Hegemoni sebagai superstruktur mempunyai

pengaruh dalam masyarakat sipil dalam melakukan perubahan sosial yang

radikal. 39

Konsep kekuasaan negara telah menjadi debat panjang dari

pemikir-pemikir pada Yunani Kuno. Plato dan Aristoteles

40

Pada masa Renaisance terjadi proses sekularisasi yang memisahkan

negara dan gereja. Pada jaman ini lahir pandangan bahwa negara merupakan

wakil kepentingan umum atau publik, sedangkan masyarakat hanya memiliki

kepentingan pribadi dan terpecah-pecah. Hal senada diperkuat oleh konsep dalam pandangannya

menyatakan bahwa negara itumembutuhkan kekuasaan yang mutlak untuk

mendidik rakyatnya dengan nilai-nilai moral yang rasional. Pada jaman

pertengahan ide tersebut mengalami rekonstruksi dalam lingkup kekuasaan

teologis gereja. Pada saat itu negara dianggap sebagai wakil gereja di dunia dan

gereja adalah wakil Tuhan untuk menegakkan kehidupan moral di dunia. Ini

lantas menjadi legitimasi kekuasaan mutlak dari negara.

39

Ibid, hal. 18

(43)

dialektikanya Hegel41

Disamping itu masih dengan pandangan Gramscy yang cukup dominan

mengenai hegemoni karenanya Gramscy disebut sebagai “Post Marxis”. Gagasan

Gramscy yaitu hegemoni belum lagi menjadi sesuatu yang sentral dalam sebuah

teori sosial Marxis. Konsep itu tidak pernah muncul secara eksklusif, karena itu

konsepsi Marxis tentang negara sering diambil dari kritik Marx terhadap Hegel.

Beberapa dasar teoritis dari Marx yang dapat dijadikan basis argumentasinya yaitu Negara adalah ungkapan Roh dimana roh objektif

tersebut merupakan cermin dari kehendak, pikiran dan hasrat. Dengan demikian

negara merupakan institusi yang paling paham akan kehendak para individu,

rakyat tidak mengetahui kehendaknya, yang mengetahui adalah negara karena ia

secara objektif mengungkapkan apa yang bagi rakyat hanya ada secara subjektif.

Hal ini berbeda dengan pandangan Marx, yang beranggapan eksistensi

negara justru diakibatkan oleh adanya ketidakberesan yang bersifat fundamental

dari masyarakat. Negara tidak mengabdi terhadap seluruh kepentingan masyarakat

melainkan hanya melayani kepentingan klas-klas sosial tertentu saja, menjadi satu

alat klas dominan untuk mempertahankan kedudukan mereka. Negara adalah alat

untuk menjamin kedudukan klas atas yang fungsinya secara politik meredam

usaha-usaha klas bawah untuk membebaskan diri dari penghisapan klas atas.

Munculnya gerakan kiri baru yaitu sebuah kekuatan yang menjelaskan bagaimana

sebuah kekuasaan di negara-negara industri maju mampu mempertahankan

lingkaran kekuasaannya sekaligus memberi legitimasi pada kekuasaan borjuis.

42 1) Memadang kondisi material dari masyarakat sebagai basis dari struktur

sosial dan kesadaran manusia. Maka, bentuk negarapun muncul dari :

41

Ibid. hal. 24

(44)

hubungan-hubungan produksi dan bukan berdasarkan perkembangan

umum manusia atau keinginan manusia untuk berkolektif. Baginya,

mustahil untuk memisahkan interaksi manusia sebagai bagian dari

masyarakat dengan interaksinya yang lain: bahwa kesadaran manusia yang

membimbing dan menentukan hubungan individual itu adalah produk dari

kondisi material atau cara suatu benda diproduksi, didistribusikan dan

dikonsumsi.

2) Marx berpendapat bahwa negara merupakan ekspresi politik dari struktur

klas yang melekat dalam produksi. Sementara Hegel menganggap negara

adalah representasi “Kolektivitas Sosial” yang berdiri di atas kepentingan

tertentu klas-klas dan menjamin bahwa persaingan antara

individu-individu dan kelompok terpelihara secara teratur, ketika kepentingan

seluruh kolektif sosial dilindungi dalam tindakan-tindakan yang dilakukan

oleh negara. Marx menolak pandangan Hegel. Ia menekankan bahwa

negara merupakan kesepakatan dari seluruh masyarakat dan menawarkan

formulasinya tentang masyarakat capital sebagai sebuah masyarakat

berkelas yang didominasi oleh kaum borjuis, karenanya negara merupakan

ekpresi politik dari klas dominan. Senada dengan Marx, Engels dalam

pandangannya tentang negara menyebutkan bahwa negara memiliki

asal-usulnya untuk mengontrol perjuangan sosial antar kepentingan ekonomi

yang berbeda.

3) Marx berpendapat bahwa negara adalah dalam cengkeraman masyarakat

(45)

menjaga pertentangan klas adalah hakikat dari negara atau dengan kata

lain negara merupakan pelayan bagi klas yang dominan yaitu klas borjuis.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern,

John Markoff43

Dalam ruang lingkup gerakan sosial petani melawan hegemoni negara

meluasnya peran negara dalam proses transformasi pedesaan yang

mengakibatkan

dalam bukunya “Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan

Sosial dan Perubahan Politik”, mempelajari kekuasaan negara dari dua perspektif

yang agak berbeda. Pertama, mempertimbangkan kemampuan negara dalam

membuat dan menjalankan kebijakan atau apa yang disebut dengan “kapasitas

kekuasaan”. Kedua, mempertimbangkan klaim atas apa yang membuat

masyarakat mau mematuhi kehendak para penguasa dan mengapa mereka harus

melakukannya. Apakah karena para penguasa tersebut mengklaim diri mereka

adalah wakil Tuhan atau apakah mereka memegang mandat dari rakyat. Ketika

kita mendapati klaim yang membenarkan penggunaan kekuasaan, maka

berhubungan dengan legitimasi. Negara seringkali membuat legitimasi atas suatu

klaim, yakni klaim dalam mempraktekkan demokrasi.

44

43

John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan Perubahan Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal. 25

44

Dr. Mustain, Petani Vs Negara:Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007, hal. 23

: Pertama, perubahan hubungan petani lapisan kaya dan lapisan

miskin: yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Perubahan

demikian melahirkan bentuk perlawanan kaum lemah dalam menghadapi

hegemoni kaum kaya maupun negara. Kedua, munculnya realitas kaum miskin

untuk membentuk kesadaran perlawanan dalam berbagai bentuk yang merupakan

Gambar

Tabel 2. Jumlah Petani dan Rata-rata penguasaan tanah di Jawa dan

Referensi

Dokumen terkait