• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4. Gerakan Kaum Tani di Desa Pematang Lalang.

4. 1. Tumbuhnya Organisasi Tani.

Tumbuhnya organisasi-organisasi tani di Desa Pematang Lalang sudah sejak tahun 1967 bernama PERTISI pada saat pembagian tanah Land Reform saat itu seluas 360 Ha, sejarah panjang perjalanan kaum tani yang tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan para tokoh yang berasal dari kaum kelas tengah, seperti aktivis mahasiswa dan LSM yang melakukan pendampingan dan pengorganisasian seperti LMND dan keterlibatan KontraS serta PBHI..

104

berkaitan dengan masalah-masalah petani. Dan model ini banyak dikembangkan pada daerah-daerah yang tidak terlibat dalam kasus-kasus secara manifes.

Kedua, pendekatan kasus, dimana sebagai pintu masuk pengorganisasian adalah kasus aktual (penggusuran) yang sedang dihadapi oleh para petani seperti adi Desa Pematang Lalang. Peranan aktivis mahasiswa dan LSM dalam melakukan pengorganisasian kaum tani yang mengalami sengketa tanah (penggusuran) tidak dapat dikatakan kecil, biasanya diawali dengan proses pembelaan dan pendampingan terhadap kasus-kasus penggusuran yang dialami oleh para petani secara terus menerus. Artinya, organisasi tani tersebut tumbuh ditengah-tengah kasus yang terjadi sebagai media alat untuk perjuangan secara bersama-sama.

Organisasi tani yang tumbuh di Desa Pematang Lalang belumlah koordinasi antar petani yang dibangun atas semangat kebersamaan dan perasaan senasib untuk memperjuangkan hak-haknya yang selama ini merasa dirampas. Disamping itu organisasi yang ada masih cenderung bersifat lokal dan belum ada semacam jaringan kerja pada tingkat yang lebih tinggi.

4. 2. Peran Tokoh Dalam Gerakan Petani.

Dalam sejarah gerakan perlawanan petani terutama gerakan petani tradisional, tidak bisa disangkal bahwa tokoh memegang peranan penting. Protes dan perlawanan, bahkan pemberontakan petani dalam lintas sejarah itu didominasi oleh tokoh, sebagian besar dipimpin oleh elit-elit agama3 atau elit-elit lokal/tokoh- tokoh masyarakat setempat lainnya, tidak dipimpin oleh petani sendiri. Jadi, terutama pada zaman kolonial gerakan perlawanan petani sangat mengandalkan peran seorang pemimpin, yang umumnya berasal dari kalangan elit atau tokoh

masyarakat. Elit atau tokoh inilah yang menggerakan dan memimpin perlawanan yang dilakukan petani.

Begitu pula dengan gerakan perlawanan petani di Desa Pematang Lalang kepemimpinan seorang tokoh atau elit-elit lokal dalam setiap gerakan memegang peranan penting. Namun, cara pandang terhadap tokoh atau elit lokal, agaknya, telah mengalami perubahan besar-besaran. Pada zaman kolonial misalnya, elit-elit agama, ketua-ketua adat, dan orang-oran yang dituakan, selalu didengar perkataannya dan diikuti perbuatannya. Bersama-sama petani, tokoh-tokoh yang memimpin gerakan berani berkorban untuk membela kepentingan hak-hak mereka, bahkan bersama-sama petani mereka memimpin perjuangan menuju Indonesia merdeka. Ini, sekali lagi, membuktikan besarnya peran tokoh atau elit dalam gerakan petani.

Akan tetapi, yang terjadi kemudian pada dekade 1980-an adalah cara pandang petani terhadap tokoh atau elit lokal tidak selalu berkesan baik. Tokoh atau elit-elit agama, ketua adat, atau orang yang dituakan, tidak selalu didengar perkataannya dan diikuti perbuatannya. Ini dapat dipahami karena, dalam banyak kasus penggusuran tanah petani, peran tokoh-tokoh atau elit-elit tersebut tidaklah dapat dikatakan kecil dalam membantu dan mempermudah proses penggusuran. Tokoh atau elit-elit lokal tidak memimpin gerakan perlawanan bersama-sama petani, tetapi mereka justru berkonspirasi dengan negara/militer/pemodal untuk menggusur tanah-tanah petani. Tokoh-tokoh agama, elit-elit lokal, ketua-ketua adat dan sebagainya, dalam konteks ini telah dikooptasi oleh negara, berpihak kepada yang kuat, yang menyebabkan dalam pandangan petani mereka tidak lebih sebagai kepanjangan tangan negara, alat untuk menggusur tanah-tanah petani.

Kenyataan inilah, barangkali, yang menyebabkan tokoh-tokoh gerakan perlawanan petani pada dekade 1980-an justru banyak yang muncul dari tokoh- tokoh muda setempat seperti halnya Kamelia yang merupakan cucu dari tokoh sejarah tanah tersebut, aktivis mahasiswa yaitu Liga Mahasiswa Nasional Mahasiswa, dan aktivis LSM (KontraS dan PBHI.

Keterlibatan kelompok-kelompok mahasiswa dan aktivis LSM dalam gerakan perlawanan petani relatif menonjol di Desa Pematang Lalang, terutama di daerah-daerah yang mengalami kasus penggusuran. Aktivis LSM dan mahasiswa melakukan pendampingan dan pembelaan di pengadilan, aksi-aksi demonstrasi, pendidikan, dan fasilitator dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan gerakan perlawanan petani. Keterlibatan mereka ini menumbuhkan semacam aliansi strategis gerakan, menumbuhkan semangat solidaritas, teman dialog dan diskusi, jaringan informasi, advokasi dalam berbagai fora seperti press release, dan sebagainya. Posisi sebagai fasilitator dimaksudkan agar tidak terjadinya intervensi ke dalam kegiatan dan pemikiran petani. Dalam beberapa hal, ide-ide strategis gerakan perlawanan petani banyak yang muncul dari kelompok- kelompok mahasiswa dan LSM.

4. 3. Karakteristik Gerakan Petani Desa Pematang Lalang.

Gerakan perlawanan petani di Desa Pematang Lalang yang muncul, agaknya, tidak beranjak jauh dari karakteristik gerakan petani tradisional Jawa dan daerah-daerah lainnya. Gerakan-gerakan perlawanan tersebut masih bersifat tradisional, lokal atau regional, berjangka waktu pendek, dan masih menggantungkan diri pada tokoh-tokoh lokal yang menjadi figur sentral gerakan.

Pada masa ini, gerakan-gerakan petani masih berupa aksi-aksi protes damai, tanpa kekerasan, yang dilakukan secara sporadis, belum adannya pengorganisasian massa dalam jumlah besar, dan masih mengandalkan tokoh- tokoh masyarakat setempat atau elit-elit lokal yang dijadikan pemimpin dalam setiap aksi. Isu-isu yang menyatukan gerakan perlawanan mereka adalah persoalan ekonomi, yang didasarkan atas kepentingan tanah mereka yang sama- sama hilang karena digusur.

Corak gerakan perlawanan petani ini mengalami perubahan secara besar- besaran. Perubahan itu sangat terasa, terutama sejak 1998 yang berlanjut pada tahun 2005 Dalam periode ini gerakan perlawanan petani tidak hanya bercorak ekonomi, tetapi juga bercorak budaya yang kental terutama di daerah-daerah yang sistem masyarakat adatnya masih hidup, dan isu-isu yang dikembangkan bermuatan politik. Jadi isu-isu yang mempersatukan gerakan perlawanan petani ini, di samping persoalan ekonomi, adalah persoalan budaya dan politik. Negara/tentara/pemodal dalam konstelasi itu, ditempatkan sebagai musuh bersama petani, karena dalam pandangan petani institusi-institusi inilah yang menyebabkan kehidupan petani terus memburuk.

Dalam kaitan itu, sejak pertengahan tahun 1980-an, isu-isu politik (penindasan) agaknya menjadi isu sentral perjuangan, dan gerakan perlawanan petani mulai marak, yang bagaimana pun tidak bisa dilepaskan dari peran aktivis mahasiswa dan LSM yang mendampingi petani dalam menghadapi berbagai kasus penggusuran. Proses pendampingan ini agaknya telah “membuka mata” petani, bahwa musuh bersama mereka adalah negara/militer/pemodal besar.

Meskipun isu-isu atau masalah yang dihadapi petani seperti di Pematang Lalang relatif sama di hampir seluruh wilayah Indonesia, jaringan kerja dan jaringan antar gerakan petani belum terbangun pada tataran nasional. Sehingga isu-isu gerakan yang terjadi di hampir setiap wilayah terbangun sepotong-potong, parsial, tidak “nyambung” antara satu komunitas petani dengan komunitas petani lainnya, apalagi dengan komunitas lain di luar sektor pertanian. Walaupun isu-isu yang dibangun untuk mengangkat persoalan petani selalu aktual dan strategis, tetapi dalam perkembangannya isu-isu tersebut dengan mudah tenggelam bersama arus besar “orde pembangunan”.

4. 4. Bentuk-bentuk Perlawanan.

Dalam banyak kasus penggusuran di Indonesia pada dekade 1980-an, terutama yang terekam dalam penelitian ini, rakyat atau petani selalu ditempatkan pada posisi tertindas dan dikalahkan. Setiap langkah perlawanan petani sebagian besar dapat dipatahkan. Manipulasi, intimidasi, represi, pembantaian, penindasan dan demoralisasi dari militer dan aparat negara lainnya, disokong oleh tokoh- tokoh atau elit-elit lokal dan preman. Kekalahan dalam konteks itu menjadi sesuatu yang nyata, dan itu berarti semakin memojokan posisi petani.

Meskipun begitu bukan berarti menyurutkan aksi-aksi perlawanan petani. Penolakan secara langsung dan terbuka selalu dilakukan petani. Sikap resistensi atau perlawanan terhadap negara/militer/pemodal besar secara simultan selalu muncul, menolak penggusuran. Sebagaimana yang terekam dalam penelitian ini, ada beberapa bentuk perlawanan petani yang dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok, yang sekaligus merupakan tahapan perlawanan yang biasa dilakukan petani.

4.4.1. Aksi Protes.

Aksi-aksi protes merupakan satu pilihan yang banyak dilakukan petani terutama pada awal terjadinya konflik. Perlawanan yang dilakukan, misalnya dengan mengirim surat-surat protes ke instansi-instansi pemerintah yang terkait atau badan-badan tertentu yang terlibat langsung dan dianggap lawan oleh petani. Perlawanan model ini biasanya dilakukan oleh orang per orang secara individual atau oleh beberapa orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok kecil.

Perlawanan petani lainnya di Pematang Lalang yang dapat dikategorikan dalam bentuk aksi protes ini adalah mengirim delegasi, yang terdiri dari beberapa orang yang ditunjuk petani. Aksi-aksi delegasi yang diutus petani bertujuan untuk menemui pejabat-pejabat negara yang terkait atau lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses penggusuran tanah petani.

4.4.2. Perlawanan ke Pengadilan.

Bentuk perlawanan dengan membawa kasus sengketa tanah ke pengadilan merupakan satu pilihan yang juga dilakukan petani di Desa Pematang Lalang. Dalam hal ini petani memberi kuasa hukum terutama kepada lembaga-lembaga atau LSM yang khusus bergerak dalam bidang bantuan hukum seperti KontraS dan PBHI..

4.4.3. Aksi Tandingan.

Aksi tandingan merupakan salah satu bentuk perlawanan petani yang dilakukan secara frontal, dengan melakukan aksi-aksi yang berlawanan dengan tindakan-tindakan pihak penggusur. Sebagai contoh: jika tanah tersebut sudah ditanami tanaman, maka tanaman tersebut akan dicabut kemudian petani

menanami tanaman baru yang mereka sukai, dan berbagai tindakan tandingan lainnya.

Dalam data yang terekam dalam penelitian ini, biasanya pihak penggusur akan bereaksi balik menggunakan kekerasan, baik dengan tangan-tangan militer maupun aparat negara lainnya atau dengan “trend mutakhir” menggunakan tangan-tangan preman setempat atau preman-preman luar yang didatangkan khusus untuk itu.

4.4.4. Aksi Demonstrasi

Bentuk perlawanan dengan melakukan demonstrasi adalah “khas” perlawanan petani di Desa Pematang Lalang. Aksi-aksi demonstrasi biasanya dilakukan di lokasi-lokasi di mana konflik pertanahan itu terjadi, atau mendatangi instansi-instansi pemerintah yang terkait. Instansi-instansi yang seringkali didatangi petani adalah kantor gubuernur, bupati/walikota, BPN, DPR, DPRD, badan-badan atau lembaga-lembaga yang berhubungan langsung dengan proses penggusuran tanah petani, seperti markas tentara, kantor-kantor perkebunan, dan sebagainya.

4.4.5. Aksi Pendudukan.

Perlawanan dengan aksi pendudukan dapat dikelompokkan dalam dua bentuk, yaitu : pertama, diawali dengan aksi demonstrasi ke instansi-instansi pemerintah atau badan lainnya yang dianggap bertanggung jawab terhadap penggusuran tanah petani, kemudian berlanjut dengan aksi pendudukan. Mereka tidak bersedia menghentikan aksi pendudukannya jika tuntutan yang mereka ajukan tidak atau belum dianggap tuntas.

Kedua, aksi perebutan dan pendudukan kembali lahan-lahan mereka yang sempat digusur (reclaim action). Aksi-aksi seperti ini agaknya menjadi “trend mutakhir” bentuk perlawanan petani. Di beberapa tempat yang terekam dalam penelitian ini, aksi-aksi pendudukan dan pengambil alihan kembali lahan-lahan petani yang dulunya digusur menjadi pilihan yang cukup strategis, sangat efektif untuk mengobarkan semangat perlawanan.

5. Perlawanan Kaum Tani di Desa Pematang Lalang Dalam Tinjauan