• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

5. Perlawanan Kaum Tani di Desa Pematang Lalang Dalam Tinjauan Teoritis.

5. 1. Gerakan Petani Dalam Teori Gerakan Moral Ekonomi.

James Scott, perspektif Teori Moral Ekonomi, lebih tertarik menawarkan model perlawanan “Gaya Asia” yang digambarkan scott lewat “hikayat petani miskin di Sedaka, Malaysia saat berhadapan dengan dengan efek marjinalisasi yang menimpa mereka. Para petani miskin teramcam kesejahteraan dan status sosialnya akibat penetrasi capital ke pedesaan. Kebijakan pemerintah dalam konteks revolusi hijau dinilai telah memorak-morandakan tatanan sosial budaya petani miskin, sehingga mereka melampiaskan kemarahannya dengan melakukan gerakan perlawanan terhadap orang-orang kaya dan Negara. Orang-orang miskin berkerumunan dijalan untuk mencegat gandum yang diangkut ke pasar, lalu membagi-bagikan gandum diantara mereka dimuka pemiliknya seraya mengatakan kepada pemiliknya bahwa mereka tidak dapat mati kelaparan hanya karena gandumnya dirampas.105

105

Dr. Mustain, Petani Vs Negara: Gerakan Sosial Petani Melawan Negara, Op.Cit, hal. 22.

Model gerakan perlawanan ini merupakan gerakan petani miskin yang lemah dengan organisasi yang anonim, besifat non-formal melalui koordiasi asal sama-sama tahu saja. Perlawanan kecil-kecil dan sembunyi-sembunyi yang dilakukan setiap hari denga penuh kesabaran dan kehati-hatian, mencuri barang kecil-kecil, memperlambat kerja, berpura-pura sakit dan bodoh, didepan bilang ‘ya’ dan dibelakang mengumpat dan sejenisnya, bergosip menjatuhkan nama baik, menghindari konfrontasi langsung dan sejenisnya. Dengan cara-cara demikian, Kaum Tani Asia Tenggara, dan ternyata juga sempat dilakukan oleh para petani di Desa Pematang Lalang Kabupaten Deli Serdang, menyatakan kehadiran politisnya. Sehigga kalaupun terjadi revolusi yang menggelora, itu lebih karena konsekwensi logis dari langkah-langkah kecil tersebut yang akumulatif.106

Perlawanan petani dalam perseptif Scottian tesebut karena didasari rasa kecewa yang amat sangat terhadap PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk dan negara (melalui apparatusnya). Kekecewaan itu setidaknya terjadi dalam 5 momentum, yaitu: pertama, ketika pertama kali masuknya PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk di Desa Pematang Lalang pada Tahun 1988, dengan pemaksaan dan pengusuran petani Desa Pematang Lalang yang saat itu masih tergabung Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa model perlawanan Scottian masih ditemukan di Desa Pematang Lalang-Kabupaten Deli Serdang. Terutama sebelum terjadinya reklaiming tahun 2005, misalnya aksi perlawanan masyarakat Pematang Lalang dalam konflik dengan PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk ketika tanah/lahan sengketa dikuasai oleh PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk secara sepihak dengan ditanami tanaman sawit.

dalam Pertisi (Persatuan Petani Islam Indonesia) dimana terjadi legalisasi tanah secara sepihak. Kedua, Keluarnya Izin HGU tersebut diatur dalam keputusan Kanwil BPN Sumatera Utara No. 1/HGU/22.04/95 tertanggal 21 Maret 1995 untuk pengaturan 95,04 Ha. Ketiga, Perampasan tanah dan perusakan tanaman rakyat tahun 1997 hingga 1998 dengan intimidasi dan pemalsuan surat yang dilakukan oleh PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk. Keempat, Keberpihakan Kepala Desa Pematang Lalang Tumpak Simanjuntak sebagai agen PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk, yang mengeluarkan beberapa surat untuk sesegera mungkin bertanggung jawab menyelesaikan kasus sengketa tanah tersebut dan akan melakukan menggusura secara paksa kepada para petani dengan menggunakan alat negara. Kelima, keluarnya Surat Keputusan Kepala BPN Nasional No.19/HGU/BPN/2001 tertanggal 7 Agustus 2001 seluas 335,8 Ha yang letakknya di lahan sengketa.

Perampasan tanah yang dilakukan oleh PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk yang didukung oleh negara dipahami oleh petani sebagai ancaman terhadap eksistensi diri dan kebelangsungan masa depan mereka dan generasinya. Segudang kejengkelan dan amarah, dan kekecewaaan terakumulasi melalui puncak gerakan mereka di tahun 2005 yang tergambarkan melalui pendudukan kembali (reclaim) dan mencabuti bibit-bit sawit yang ditanam oleh pekerja PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk yang sering disebut dengan gerakan reclaiming.

Perlawanan lainnya juga dilakukan dengan mencuri udang dengan komoditas ekspor dari tambak-tambak PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk yang dilakukan berulang-ulang, ada sekitar 8 kolam yang terkuras dari hasil

pencurian itu, sehingga PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk mengalami kerugian yang cukup besar dari pencurian tersebut.

Dalam pandangan Scott seperti apa yang dilakukan oleh petani di Sedaka dan Pematang Lalang Deli Serdang merupakan bukti bahwa petani melakukan aksinya cukup beralasan dengan posisi lapar dan lemah dipedesaan oleh karena tanah mereka dirampas dan tidak cukupnya sumber produksi sehari-hari untuk menutupi kebutuhan hidup mereka. Dari sebab itu, etika subsistensi107

Dalam ruang lingkup gerakan sosial petani melawan hegemoni negara meluasnya peran negara dalam proses transformasi pedesaan yang mengakibatkan

petani di Desa Pematang Lalang mendorong mereka bertindak dan melakukan apapun ketika posisi mereka terancam dan dalam bahaya yang akut dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Scott juga mengungkapkan, bahwa begitu banyak tindakan kekerasan yang dilakukan oleh petani sebagai usaha untuk memaksa kaum elit untuk melakukan apa yang menurut anggapan petani adalah kewajiban mereka, atau melanggar kaum elit untuk melanggar hak-hak mereka. Demikian juga kasus petani di Pematang Lalang, sering kali anggota masyarakat mengungkapkan ketidakpercayaan mereka lagi terhadap negara sebagaimana yang diungkapkan oleh Scott.misalnya negara ini masih dijajah dan pemerintahan yanga da adalah antek/boneka dari pada pemilik modal/kapitalis yang jelas pengabdian mereka pada Sang Tuan-Nya bukan kepada Rakyat Jelata.

108

107

Subsistensi adalah batas minimum bertahan dari lapar (memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari).

108

Dr. Mustain, Petani Vs Negara:Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara,

Op.Cit , hal. 23

miskin: yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Perubahan demikian melahirkan bentuk perlawanan kaum lemah dalam menghadapi hegemoni kaum kaya maupun negara. Kedua, munculnya realitas kaum miskin untuk membentuk kesadaran perlawanan dalam berbagai bentuk yang merupakan pembelokan kultural. Ketiga, terjadinya atau terbangunnya senjata gerakan perlawanan menghadapi kaum kaya maupun negara. Senjata yang digunakan dengan caranya sendiri, klas kaum lemah seperti menghambat, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, berlaku tidak jujur, mencopet, masa bodoh, membuat skandal, memfitnah, sabotase, yang mengakhiri pertentangan secara kolektif.

Uraian menurut pandangan Scott diatas memang penuh dengan nilai-nilai dan nuansa lokalistik Sedaka Malaysia, tetapi marjinalisasi yang dialami oleh petani Malaysia juga tak jauh berbeda dengan kondisi petani di Indonesia. Perbedaan konteks waktu mungkin memengaruhi bagaimana perlawanan diekspresikan. Perlawanan Kaum Tani di Indonesia sesungguhnya telah berlangsung lama dimana bentuk-bentuk perlawanannya mengikuti situasi politik yang menjadi konteks gerakannya. Namun sering pula gerakan tersebut muncul dan memengaruhi konteks social politik disekitarnya seperti yang pernah dilakukan diawal diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 yang menegaskan populisme gerakan melalui program Land Reform.

Pasang surut gerakan petani terjadi seiring dengan respon negara yang menggunakan strategi pendekatan kekerasan, baik dalam rangka memaksakan program pembangunan maupun demi kepantingan militer untuk menjalankan bisnisnya sendiri. Sejak rejim orde baru berkuasa, kekerasan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pemenuhan kebutuhan negara atas nama

pembangunan. Demikian halnya dengan kondisi di Desa Pematang Lalang pada masa awal masuknya PT. Anugerah Tmbak Perkasindo Tbk Tahun 1988. PT. Anugerah Tambak Perkasindo mengelola tambak udang yang disubsidi melalui bantuan pemerintah yang menurut mereka merupakan program pembangunan nasional yang sering disebut dengan REPELITA pada jaman Orde Baru.

Ketika posisi negara masih begitu kuat dan refresif seperti di era Belanda dan Orede Baru, pola gerakan petani Desa Pematang Lalang mirip dengan gambaran Scott, petani tidakmempunyai kesempatan yang cukup untuk melakukan untaian kekecewaan dan kemarahaannya sebagai akibat kuat ancaman negara, meskipun sudah sangat siap petani untuk melakukan mobilisasi melalui framing process maupun mobilizing structures. Hal ini sangat terlihat jelas pada tahun 1988, bahkan para petani hanya melakukan kegiatan menggarap saja tanpa melakukan perlawanan yang tersturktur dan terencana.

Bentuk dan Strategi gerakan tani model Scottian tersebut telah ditinggalkan oleh petani Pematang Lalang sesuah kejatuhan Soeharto, dan memasuki era reformasi tentu memberikan peluang begitu besar bagi terbangunnya gerakan tani yang lebih solid dan kuat untuk memperjuangkan tuntutannya yang telah lama di belenggu dan dibungkam oleh kekuasaan negara. Pilihan strategi petani desa Pematang Lalang diera reformasi bukan lagi gerakan yang diam-diam, dahulukan selamat dan terselubung namun sudah menjadi gerakan yang sudah sangat terbuka, ekspresif, ekploratif, demontratif, missal, dan ekspansif.

Scott menjelaskan, petani di Asia Tenggara dalam konteks tertentu masih cukup layak untuk menggambarkan dinamika petani Pematang Lalang. Terutama

bentuk-bentuk gerakan sebelum terjadi gerakan reclaiming tahun 2005, kiemudian ia mnyebutkan “ ada daerah-daerah dimana posisi penduduk pedesaan ibarat orangyang selamanya berdiri terendam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun akan menenggelamkannya. Kerentanan dan berbagai keterbatasan petani ketika berhadapan dengan berbagai tantangan dan rintangan lingkungan, ekonomi uang, dan persoalan ketenagakerjaan dalam banyak hal telah meningkatkan kerawanan terhadap subsistensi”. Kemudian Scott menyimpulkan ketidakberdayaan dan ketertekanan petani Pematang Lalang dalam menghadapi kekuatan negara ibarat “Bara Api” yang berelasi dengan 3 bentuk kerawanan: pertama, kerawanan structural (perubahan demografis, produks untuk pasar dan kuatnya negara, kedua, ekologis (ketidakpastian harga dan panenan ) dan ketiga monokultur.

Gambaran Scott diatas benar-benar telah membakar para petani Desa Pematang Lalang yang tergabung dalam organisasi tani Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang untuk melakukan perlawanan dengan menduduki dan serta mencabuti bibit-bibit sawit pada tahun 2005 terhadap PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk. Perlawanan dengan demikian semula dilakukan dengan mencuri udang dari tambak yang dilakukan beberapa orang dan tidak terorganisir perlawanannnya, higga menguras 8 kolam milik PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk pada tahun 1998 serta dengan tetap melakukan aktifitas produksi persawahan di areal sengketa dengan menanam tanaman kelola masyarakat seperti padi, kelapa, dan beberapa tanaman sayur-sayuran.

Sehingga disimpulkan perlawanan model Scottian ini

Pematang Lalang Deli Serdang yang tergabung dalam organisasi Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang. Namun gerakan tani ini kemudian mengalami perubahan bentuk oleh akibat etika subsistensi yang menjadi kebutuhan mereka hingga terbakarnya “Bara Api” kemarahan dan kejengkelan kaum tani terhadap situasi yang mereka alami yang terekpresikan melalui pembakaran-pembakaran yang dilakukan kaum tani di desa Pematang Lalang terhadap kantor dan inventarisasi PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk yang berdekatan dengan lahan sengketa (360 Ha) tersebut, sehingga sifat dan bentuk gerakannya berubah menjadi lebih terbuka, massal, ekspresif, eksplosif, dan penuh dengan tindakan- tindakan diluar batas.

5. 2. Gerakan Petani Dalam Perspektif Kepentingan Kelas.

Jeffry Paige (1975)109

1. Suatu kelas penguasa tanah berkuasa terus atas dasar penguasaan tanahnya

dengan karyanya “Revolusi Agraria, Gerakan Sosial dan Pertanian di Negara-negara Dunia Ketiga “ yang tidak memperdulikan soal- soal moralitas, rasionalitas. Paige menggunakan analisis kepentingan kelas pada situasi pedesaan yang diistilahkannya menjadi “Objektive Vector of Capitalism” . Ia merujuk pada situasi nyata orang-orang desa lakukan dalam proses kerja, misalnya organisasi dan struktur kerja, ekologi produksi dan lainnya. Selanjutnya Paige mempermasalahkan kondisi-kondisi yang memungkinkan pemberontakan agraria dan bentuk-bentuk ekspresi atau tampilan politik petani. Model analisa Marxis menjadi rujukan Paige ini memperkirakan kemungkinan gerakan petani akan terjadi manakala:

109

Jeffry Paige, Revolusi Agraria: Gerakan Sosial dan Pertanian Ekspor di Negara- negara Dunia Ketiga, Pasuruan: Op.Cit, hal. 113

2. Para petani dihambat kemungkinan mobilitas naik ke atas

3. Kondisi kerja dan karakter pekerjaan para petani memungkinkan pembentukan solidaritas.

Hal ini jelas terjadi di Desa Pematang Lalang dimana sejak masuknya modal/ investasi ke pedesaan dengan bertopengkan pembangunan, maka telah terjadi proletarisasi (kemiskinan) di tingkat pedesaan yang ditandai dengan status monopoli kepemilikan tanah oleh PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk sehingga petani dalam hal ini merupakan objek dari pada kapitalisme yang merongrong struktur dan tatanan social pedesaan yang akan melahirkan konflik kelas di tingkat pedesaan.

Dalam perspertif kepentingan kelas ini, pada dasarnya mennggunakan tiga asumsi dasar, yaitu; pertama, rakyat dianggap memiliki sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan terus berupaya keras akan memenuhinya, kedua, kekuasaan menjadi inti dari struktur social dan ini akan melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya, ketiga, nilai dan gagasana dalah senjajta konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, ketimbang sebagai alat mempertahankan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat.

Berakar dari pandangan Marxisme, yang didasarkan pada pandangan bahwa revolusi adalah sebagai sebuah kebutuhan yang disebabkan oleh memburuknya hubungan produksi yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi dan kehancuran. Memburuknya hubungan produksi di desa Pematang Lalang ditandai dengan awal perampasan tanah yang mereka kuasai, akumulasi produksi PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk telah mencapai batas yang

maksimun dengan keuntungan yang berlipat ganda dengan komoditas tambak udang. Namun semua akumulasi keuntungan yang didapatkan oleh PT. ugerah Tambak Perkasindo Tbk berdiri diatas proyek dehumanisasi pedesaan yang merugikan bahkan mematikan kaum tani itu sendiri, karena ketiadaan akan kepemilikan tanah setelah terjadinya pencaplokan tanah-tanah petani Desa Pematang Lalang.

Tanah dalam perspektif kepentingan kelas dianggap sebagai alat produksi dalam hubungan produksinya, maka telah menjadi kebutuhan absolut/mutlak bagi masyarakat pedesaan untuk merebut dan mempertahankan tanahnya. Ada 2 posisi kelas yang berhadap-hadapan dalam hal kepentingan kelas terhadap penguasaan alat produksi (tanah) yaitu: pertama, kelas penindas (PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk yang berkolaborasi dengan negara) dan kedua, kelas tertindas (para petani yang tergabung dalam organisasi Serikat Tani Naisonal Desa Pematang Lalang) yang akan terjadi kemudian adalah perebutan alat produksi masyarakat masyaraat pedesaan yang dilakukan secara terorganisir dan terencana (ada tahapannya) untuk mencapai tujuannya.

Dalam pandangan Jeffry Paige Petani Pematang Lalang yang tertindas merupakan objek dari pada akibat dari penetrasi capital di pedesaan yang diwakilkan oleh PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk, selanjutnya diekspresikan melalui legitimasi kekuasaan negara yang berhegemoni terhadap kelas dibawahnya, sehingga akibat daripada kondiri ketimpangan yang ada akan melahirkan krisis kelas dalam posisi yang teraniaya.

Negara merupakan kaki tangan modal (PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk) yang digambarkan dengan kondisi dikeluarkannya HGU No. 01 Tahun 1995

dan HGU No. 04 Tahun 2001 yang jelas-jelas negara telah mengetahui posisi tanah sengketa telah dikuasai oleh petani Desa Pematang Lalang sejak Tahun 1967 dengan dikeluarkannya Surat Land Reform oleh Pemerintahan saat itu, bahkan bukan itu saja petani juga telah melakukan penanaman padi secara berulang-ulang sebagai produkstifitasnya dilahan sengketa. Dan yang tidak masuk akal adalah ketika posisi lahan 360 Ha dalam posisi sengketa pemerintahan melalui perpanjangan tangannya yaitu Badan Pertanahan Nasonal (BPN) mengeluarkan HGU No. 04 Tahun 2001, Seperti yang diungkapakan oleh Pak Nababan yang merupakan salah satu tokoh perlawanan petani Desa Pematang Lalang:

“Kasus tanah ini dimulai sejak tahun 1988, dimana PT. Anugerah Tambak

Perkasindo Tbk masuk ke desa ini, dan menurut pengakuan mereka telah

mengganti rugi tanah dengan pembuktian surat, dan ternyata surat

tersebut palsu. Sudah sering PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk

terutama sejak itu melakukan pemalsuan surat keterangan ganti rugi,

yang lebih anehnya adalah tahun 2001 keluar HGU PT. Anugerah

Perkasindo No. 04 oleh BPN sementara tanah yang diletakkan dalam

HGU tersebut, itulah yang sedang bermasalah sejak dari dulu, jadi saya

berpikir entah jadi apalah negara ini, kalau pemerintahnya saja sudah

demikian, pemerintah kita ini bukan lagi perwakilan masyarakat kecil,

tetapi sudah menjadi alat kekuatan perusahaan-perusahaan, jelas saja

mereka diuntungkan dengan kehadiran investor, namun bagaimana

dengan nasib kami yang hanya menggantungkan hidup kepada tanah

mati kelaparan lebih baik mati berperang untuk bertahan dari hidup yang

dibelenggu oleh kemiskinan, jadi intinya kita belum merdeka, merdeka itu

bagi elit/pejabat dan pemilik uang, yah, mereka-mereka sajalah yang

merdeka dengan uang mereka. Tetapi tunggu saatnya pembalasan dan

penghakiman rakyat”

Disisi lain pemerintahan desa sebagai refresentasi negara di pedesaan, juga terlibat dalam upaya penggusuran secara permanen kepada warganya sendiri. Oleh karena keberpihakan Kepala Desa Pematang Lalang terhadap PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk, jelas hingga kestruktur pemerintahan negara yang terkecil di pedesaan pun seperti Kepala Desa merupakan boneka dari kekuatan modal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa negara berfungsi untuk melegalisasi penindasan terhadap rakyatnya (kaum tani) dan negara merupakan anjing penjaga modal yang seluruh kerjanya diabdikan dan diakumulasikan bagi Sang Tuan Kapitalis (dalam hal ini adalah PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk pengusahanya Ishak Charlie).Meminjam sedikit tulisan Kwik Kian Gie110

110

Happy Kurniawan,

, bahwa setiap Country strategy Report, serta setiap keikutsertaan lembaga-lebaga donor dan lembaga-lembaga internasional dalam perumusan kebijakan pemerintah, kita tidak bisa melepaskan diri dari kenyataan bahwa yang memerintah Indonesia sudah bukan pemerintah Indonesia sendiri. Jelas sekali kita sudah lama merdeka secara politik, tetapi sudah kehilangan kedaulatan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri.

Sebagaimana pandangan Gramcy menggambarkan bagaimana hegemoni negara bekerja, yaitu:

“Penggunaan hegemoni yang “normal” atas darah klasik regim

parlementer sekarang bercirikan antara penggabungan kekuatan dan

persetujuan, yang keseimbangan antara yang satu dengan yag lainnya

timbal balik, tanpa kekuatan mendominasi secara luas atas persetujuan

tentu saja upayanya selalu dibuat untuk memastikan bahwa kekuatan akan

muncul berdaarkan persetujuan mayoritas.”

Pandangan Paige kemudian bahwa petani revolusi agraris diakibatkan oleh perluasan pasar yang mengakitkanterbentuknya strata sosial baru, dan khususnya akan mendorong terjadinya revolusi, demikian juga menurut pandangan Sadikin Gani, dalam artikelnya didasari oleh 3 pengandaian tentang perlawanan kaun tani: Pertama, perlawanan petani upaya-upaya yang dilakukan petani untuk menentang dan menolak segala bentuk keputusan yang mengakibatkan hilangnya hak penguasaan/pemilikan mereka atas sebidang tanah–merupakan salah satu bentuk gerakan sosial. Gerakan sosial yang dimaksud di sini adalah upaya-upaya yang dilakukan sekelompok orang untuk melakukan perubahan, atau mempertahankan keadaan yang menyangkut kehidupan sosial, ekonomi dan politik dalam sebuah masyarakat. Kedua, konflik agraria (tanah) merupakan gejala dan/atau peristiwa yang timbul dari adanya perlawanan dari sekelompok orang yang mengidentitaskan dirinya sebagai petani–termasuk pihak-pihak yang mendukung perlawanan petani–terhadap kelompok masyarakat lain, atau institusi–pemerintah maupun perusahaan–yang tidak mengakui dan/atau merebut hak penguasaan/pemilikan petani atas sebidang tanah yang mereka akui dan yakini

sebagai miliknya. Ketiga, jika konflik agraria diletakkan dalam kerangka gagasan reforma agraria, maka konflik dalam konteks reforma agraria lebih bermakna sebagai strategi perjuangan petani untuk mendorong pelaksanaan reforma agraria.

Berdasarkan tiga pengandaian tersebut, dapat ditarik dua kesimpulan hipotetis. Pertama, gejala dan peristiwa konflik agraria pada dasarnya merupakan “manufactured product”, bukan “primordial matter” sebuah gerakan sosial, karena gejala dan peristiwa tersebut merupakan insiden yang memang direncanakan terjadi merupakan bagian dari strategi dan taktik perjuangan petani untuk mewujudkan reforma agraria. Kedua, karena perlawanan petani dan konflik yang ditimbulkannya merupakan bagian dari taktik dan strategi gerakan, maka konflik dalam kerangka perjuangan reforma agrarian untuk mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dirampas oleh perusahan-peruhan yang mendapatkan legetimasi negara bukan sesuatu yang menuntut penyelesaian layaknya penyakit yang harus disembukan, melainkan harus terus dikobarkan sehingga menjadi kekuatan yang dapat mendorong pelaksanaan reforma agrarian sebagai sebuah perjuangan klas rakyat dipedesaan dalam upaya menyelesaikan ketimpangan status social yang merupakan ketimpangan kelas dipedesaan.

Seperti halnya aksi-aksi protes yang merupakan bentuk perlawanan kaum tani di Desa Pematang Lalang, dalam riak-riak dijalanan meneriakkan wacana revolusi sebagai jalan keluar dari belenggu dari penindasan yang selama ini menjadi mimpi buruk bagi mereka. Gerakan petani Desa Pematang Lalang bisa di kategorikan gerakan petani yang radikal, karena dilakukan secara mendasar yaitu penguasaan alat produksi yaitu tanah yang satu-satunya merupakan sumber kehidupan mereka, sebab lain karena petani tersebut tidak memiliki tanah diluar

tanah yang menjadi kelola produksi mereka, sehingga dengan kondisi dislokasi kepemilikan tanah tersebut perlawanan kaum tani desa Pematang Lalang menjadi sangat frontal dan siap selalu melakukan konfrontasi-konfrontasi dengan PT. Anugerah Tambak Perkasindo sebagai bagian dari perjuangan kaum tani Desa Pematang Lalang dalam perjungan menaikkan bargain position (posisi tawar mereka dimata negara dan elit politik yang membuat kebijakan.

Sebagai kaum proletar111

Dilapangan perlawanan kaum tani Desa Pematang Lalang Deli Serdang terhadap PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk, petani yang tergabung dalam