• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) SISWA KELAS VB SD NEGERI 3 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2012/2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) SISWA KELAS VB SD NEGERI 3 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2012/2013"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE

THINK PAIR SHARE (TPS) SISWA KELAS VB SD NEGERI 3 METRO PUSAT

TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Oleh

Ema Nopitasari

Pembelajaran matematika di kelas VB SD Negeri 3 Metro Pusat belum optimal menggunakan model pembelajaran dengan sistem kerja kelompok, dan aktivitas siswa selama pembelajaran masih kurang. Selain itu persentase ketuntasan hasil belajar siswa rendah yaitu 40,90%. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa pada pembelajaran matematika melalui model cooperative learning tipe think pair share.

Metode penelitian adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan secara kolaboratif partisipasif antara peneliti dengan guru, dan dilakukan dalam 3 siklus. Setiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Pengumpulan data diperoleh melalui teknik non tes menggunakan lembar observasi dan teknik tes dengan menggunakan lembar soal yang dianalisis menggunakan teknik analisis kualitatif dan kuantitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan model cooperative learning tipe think pair share dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Hal ini dapat diketahui dari meningkatnya nilai aktivitas siswa setiap siklusnya. Pada siklus I mencapai 46,44 dengan kategori cukup aktif, siklus II mencapai 60,23 dengan kategori cukup aktif, dan siklus III mencapai 76,14 dengan kategori aktif. Persentase ketuntasan hasil belajar siswa pada siklus I mencapai 50%, siklus II mencapai 63,64%, dan siklus III mencapai 81,82%.

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu upaya meningkatkan kualitas bangsa adalah pendidikan. Pendidikan memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap kemajuan bangsa karena bangsa yang cerdas akan memberikan kehidupan yang cerdas dan berkarakter dalam mengembangkan potensinya. Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya.

(3)

matematika. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia (Aisyah, dkk. 2001: 1.3).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah khususnya pada pelajaran matematika perlu diberikan pada semua siswa mulai dari sekolah dasar untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar siswa dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.

Belajar matematika berarti proses pemerolehan pengalaman bagi siswa melalui serangkaian kegiatan yang telah direncanakan oleh guru sehingga memiliki pengalaman belajar yang berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang materi matematika yang dipelajarinya (Syarifuddin dalam http://syarifartikel.blogspot.com). Proses memperoleh pengalaman itu merupakan unsur yang sangat penting agar diperoleh hasil belajar yang baik. Sebagaimana tujuan matematika dalam kurikulum 2006 untuk jenjang sekolah dasar adalah agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:

a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep secara luwes, akurat, efesien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

c. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah.

(4)

Peneliti melakukan studi dokumentasi terhadap hasil belajar siswa pada nilai mid semester mata pelajaran matematika kelas VB SD Negeri 3 Metro Pusat diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Nilai Mid Semester Ganjil Mata Pelajaran Matematika

No Nilai Frekuensi Jumlah Persentase (%) Kualifikasi

1. 35 3 105 13,63 Belum tuntas

2. 40 2 80 9,09 Belum tuntas

3. 45 4 180 18,18 Belum tuntas

4. 50 2 100 9,09 Belum tuntas

5. 55 2 110 9,09 Belum tuntas

6. 60 5 300 22,73 Tuntas

7. 65 2 130 9,09 Tuntas

8. 70 2 140 9,09 Tuntas

Jumlah 22 1135

Rata-rata 51,59

∑ Tuntas 9 40,90

∑ Belum Tuntas 13 59,09

Berdasarkan tabel 1 diketahui rata-rata nilai mid semester ganjil mata pelajaran matematika adalah 51,59. Nilai tersebut belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditentukan oleh sekolah yaitu ≥ 60, dengan kata lain persentase ketuntasannya masih rendah. Dari 22 orang siswa terdapat 13 orang siswa (59,09%) yang belum tuntas belajar dan 9 orang siswa (40,90%) yang sudah tuntas belajar.

(5)

guru masih mendominasi sebagai sumber utama dan cara penyampaian materi masih terpaku pada buku pelajaran. Pemberian materi matematika yang dilakukan guru masih mengarahkan siswa untuk memahami sesuatu yang abstrak tanpa melalui proses realisasi, sehingga dalam pelaksanaannya siswa hanya mengerjakan latihan dengan prosedur yang terdapat dalam buku. Selain itu, guru belum menggunakan model pembelajaran dengan sistem kerja kelompok sehingga suasana belajar cenderung membosankan dalam setiap pertemuan. Pada akhir pembelajaran, guru mengecek hasil belajar siswa dan mengoreksinya dengan cara menukarkan jawaban siswa dengan siswa yang lainnya. Berdasarkan data tersebut, terlihat pembelajaran masih berpusat pada guru (teacher centered). Rendahnya aktivitas guru mempengaruhi keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Sebagian besar siswa malas untuk bertanya walaupun guru sudah memberikan kesempatan. Sehingga berdampak pada kurang berkembangnya keterampilan siswa dalam berinteraksi dengan orang lain.

(6)

berbagai sumber serta belajar secara bervariasi. Upaya perbaikan pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan suatu model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan permasalahan di atas ialah model cooperative learning tipe think pair share.

Salah satu kelebihan model cooperative learning tipe TPS yaitu siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, serta siswa memperoleh kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusinya dengan seluruh siswa sehingga ide yang ada dalam satu kelompok menyebar ke seluruh kelas (Hartina dalam http://ariffadholi.blogspot.com). Lebih lanjut penelitian Nurseha (2011) menyimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share dapat meningkatkan hasil belajar matematika.

Berdasarkan latar belakang di atas, akan dilakukan perbaikan pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas dengan judul “Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Matematika melalui Model Cooperative Learning Tipe TPS Siswa Kelas VB SD Negeri 3 Metro Pusat Tahun Pelajaran 2012/2013”.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, perlu diidentifikasi permasalahan yang ada di kelas VB SD Negeri 3 Metro Pusat, yaitu:

1. Guru belum menyampaikan apersepsi ketika mengawali pembelajaran. 2. Pembelajaran belum menggunakan media yang sesuai dengan materi

(7)

3. Pemberian materi matematika yang dilakukan guru masih mengarahkan siswa untuk memahami sesuatu yang abstrak tanpa melalui proses realisasi, sehingga dalam pelaksanaannya siswa hanya mengerjakan latihan dengan prosedur yang terdapat dalam buku.

4. Pembelajaran masih berpusat pada guru (teacher centered).

5. Guru belum menggunakan model pembelajaran dengan sistem kerja kelompok sehingga suasana belajar cenderung membosankan.

6. Siswa kurang aktif dalam kegiatan pembelajaran, sebab masih banyak siswa yang malas untuk bertanya walaupun guru telah memberikan kesempatan.

7. Rendahnya hasil belajar matematika yang dibuktikan dengan nilai siswa rata-rata 51,59 dan masih di bawah KKM yaitu ≥ 60.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah meningkatkan aktivitas belajar matematika melalui model cooperative learning tipe TPS siswa kelas VB SD Negeri 3 Metro Pusat Tahun Pelajaran 2012/2013?

(8)

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Meningkatkan aktivitas belajar matematika melalui model cooperative learning tipe TPS siswa kelas VB SD Negeri 3 Metro Pusat Tahun Pelajaran 2012/2013?

2. Meningkatkan hasil belajar matematika melalui model cooperative learning tipe TPS siswa kelas VB SD Negeri 3 Metro Pusat Tahun Pelajaran 2012/2013?

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Siswa

Meningkatkan pemahaman konsep dan materi matematika melalui model cooperative learning tipe TPS khususnya di kelas VB SD Negeri 3 Metro Pusat.

2. Guru

(9)

3. Sekolah

Memberikan sumbangan yang baik bagi sekolah dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan menggunakan model cooperative learning tipe TPS sebagai inovasi model dalam pembelajaran matematika khususnya.

4. Peneliti

(10)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Model Cooperative Learning

2.1.1 Pengertian Model Cooperative Learning

Cooperative learning merupakan belajar bersama-sama, saling membantu antara yang satu dengan yang lain dalam belajar dan memastikan setiap orang dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang telah ditentukan sebelumnya. Isjoni (2007: 45) mengemukakan cooperative learning berasal dari kata cooperative artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok tim.

(11)

cooperative learning dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas dengan lebih efektif. Dalam cooperative learning proses pembelajaran tidak harus belajar dari guru kepada siswa. Siswa dapat saling membelajarkan sesama siswa lain. Pembelajaran oleh rekan sebaya (peerteaching) lebih efektif daripada pembelajaran oleh guru.

Menurut Slavin (2010: 8) cooperative learning adalah suatu strategi pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4-5 orang, dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen. Keberhasilan belajar dari kelompok, tergantung pada kemampuan dan aktivitas anggota kelompok, baik secara individual maupun secara kelompok.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan model cooperative learning adalah model pembelajaran yang diterapkan guru kepada siswa, dengan membentuk kelompok-kelompok kecil sehingga setiap siswa dalam kelompoknya saling bekerjasama dalam memecahkan atau menyelesaikan permasalahan terhadap materi yang diberikan guru.

2.1.2 Tipe-tipe Model Cooperative Learning

Trianto (2009: 68-83) menyatakan terdapat enam tipe model cooperative learning, yaitu:

a) Student Teams Achievement Division (STAD), merupakan salah satu tipe dari model cooperative learning dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota tiap kelompok 4-5 orang siswa secara heterogen. b) JIGSAW, merupakan tipe model cooperative learning yang

(12)

c) Group Investigation (GI), merupakan tipe model cooperative learning yang paling kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Dalam model pembelajaran ini, siswa terlibat dalam perencanaan baik topik yang dipelajari dan bagaimana jalannya penyelidikan mereka.

d) Number Head Together (NHT) atau penomoran berpikir bersama merupakan tipe model cooperative learning yang dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional.

e) Teams Games Tournament (TGT) atau pertandingan permainan tim dikembangkan oleh David De Vries dan Keath Edward. Pada model ini siswa memainkan permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memeroleh tambahan poin untuk skor tim mereka.

f) Think Pair Share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi merupakan tipe model cooperative learning yang dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa.

Berdasarkan ke enam tipe model cooperative learning di atas, model cooperative learning tipe TPS merupakan salah satu model alternatif yang dapat digunakan, karena dapat memberi siswa lebih banyak waktu untuk berpikir, merespon dan saling membantu dengan siswa lainnya.

2.1.3 Cooperative Learning Tipe Think Pair Share 2.1.3.1 Think Pair Share (TPS)

(13)

bahwa metode resitasi dan diskusi perlu diselenggarakan dalam setting kelompok kelas secara keseluruhan (Trianto, 2009: 81). Menurut Kagan dalam Eggen, dkk. (2012: 134) TPS adalah strategi kerja kelompok yang meminta siswa individual dalam pasangan belajar untuk pertama menngerjakan tugas yang diberikan guru kemudian berbagi jawaban itu dengan pasangan. Pembelajaran TPS melatih siswa untuk berani berpendapat dan menghargai pendapat teman.

Suprijono (2009: 91) mengungkapkan TPS terbentuk atas tiga kata yaitu thinking,pairing, dan sharing. Pada tahap thinking, pembelajaran diawali dengan guru mengajukan pertanyaan atau isu terkait dengan pelajaran untuk dipikirkan pleh siswa. Pada tahap pairing, guru meminta siswa berpasang-pasangan untuk berdiskusi. Hasil diskusi intersubjektif di tiap-tiap pasangan hasilnya dibicarakan dengan pasangan seluruh kelas. Tahap ini disebut sharing. Dalam tahap ini diharapkan terjadi tanya jawab yang mendorong pada pengonstruksian pengetahuan secara integratif.

Sejalan dengan itu, Trianto (2010: 81) mengemukakan TPS merupakan pembelajaran dengan sistem kerja kelompok yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Berdasarkan pengertian tersebut bahwa dengan TPS siswa diberi kesempatan untuk berpikir sendiri terlebih dahulu kemudian berdiskusi dengan temannya.

(14)

berpartisipasi, dan strategi ini mudah direncanakan dan diterapkan.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan TPS adalah strategi kerja kelompok yang memberi siswa lebih banyak kesempatan untuk berpikir dan berpendapat secara individu untuk merespon pendapat yang lain dan saling membantu dalam kelompoknya kemudian membagi pengetahuan kepada siswa lain.

2.1.3.2 Keunggulan dan Kelemahan Think Pair Share (TPS) Setiap model pembelajaran memiliki keunggulan dan kelemahan, begitu pula model cooperative learning tipe TPS. Menurut Ibrahim dalam http://www.sriudin.com keunggulan dan kelemahan model cooperative learning tipe TPS adalah:

a) Keunggulan: memberi siswa waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain; siswa secara langsung dapat memecahkan masalah, memahami suatu materi secara berkelompok dan saling membantu antara satu dengan yang lainnya, membuat kesimpulan (diskusi) serta mempresentasikan di depan kelas sebagai salah satu langkah evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan; siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, dimana tiap kelompok terdiri dari 4-6 orang; memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi yang diajarkan karena secara tidak langsung memperoleh contoh pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta memperoleh kesempatan untuk memikirkan materi yang diajarkan.

(15)

sehingga sejumlah siswa bingung dan kehilangan rasa percaya diri akibatnya antar siswa saling menggangu; peralihan dari seluruh kelas ke kelompok kecil dapat menyita waktu pengajaran yang berharga.

Upaya meminimalisir kelemahan tersebut dengan cara guru harus membuat perencanaan yang seksama sehingga dapat meminimalkan jumlah waktu yang terbuang.

2.1.3.3 Ciri-ciri Pembelajaran Think Pair Share (TPS)

Ciri utama pembelajaran TPS adalah tiga langkah utamanya yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran yaitu:

1. Think (berpikir secara individu)

(16)

2. Pair (berpasangan)

Pada tahap pair, guru meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan mengenai apa yang telah dipikirkan siswa secara individu. Interaksi selama tahap ini dapat menghasilkan jawaban bersama. Guru mengizinkan 2 atau 3 siswa untuk berpasangan. Setiap pasangan saling berdiskusi mengenai hasil jawaban mereka sebelumnya sehingga hasil akhir yang didapat menjadi lebih baik karena siswa mendapat tambahan informasi dan pemecahan masalah yang lain.

3. Share (berbagi informasi dengan pasangan lain)

Pada tahap akhir ini, guru meminta pasangan-pasangan tersebut untuk berbagi hasil pemikiran dengan pasangan lain. Agar lebih efektif pada tahap ini guru berkeliling kelas. Kelebihan pada tahap ini semua kelompok menjadi lebih memahami mengenai pemecahan masalah yang diberikan berdasarkan penjelasan kelompok lain (Trianto, 2009: 81-81).

(17)

2.1.3.4 Langkah-langkah Pembelajaran Think Pair Share (TPS) Suatu pembelajaran dapat menghasilkan tujuan yang diharapkan apabila dalam pelaksanaannya sesuai dengan langkah-langkah yang ditetapkan, begitu pula model cooperative learning tipe TPS.

Tabel 2. Langkah-langkah Pembelajaran TPS

Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran Tahap 1

Pendahuluan

 Guru mengorganisasi siswa ke dalam 5 kelompok secara heterogen dan setiap kelompok terdiri dari 4-5 orang siswa.

 Guru menyampaikan apersepsi.

 Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai siswa.

 Guru menjelaskan aturan dan batasan waktu untuk tiap tahap dalam pembelajaran TPS.

Tahap 2 Think

 Guru memberikan Lembar kerja Siswa (LKS) kepada seluruh siswa.

 Masing-masing anggota kelompok memikirkan (think) dan mengerjakan LKS tersebut secara individu.

Tahap 3 Pair

 Kelompok membentuk anggotanya secara berpasangan (pair)

 Masing-masing pasangan mendiskusikan hasil pengerjaan individunya masing-masing dan menentukan jawaban yang paling tepat.

Tahap 4 Share

 Kedua pasangan bertemu kembali dalam kelompok besarnya untuk berbagi (share) hasil diskusi dengan pasangannya kepada pasangan lain yang ada dalam kelompok besar tersebut.

 Setiap kelompok menuliskan hasil diskusi kelompoknya pada LKS.

 Masing-masing anggota kelompok mempresentasikan hasil diskusinya kepada kelompok lain di depan kelas.

Tahap 5 Penghargaan

 Pemberian penghargaan kepada kelompok yang aktif.

(18)

Model cooperative learning tipe TPS memungkinkan semua siswa aktif dalam proses pembelajaran, karena dalam pembelajaran TPS siswa dikelompokkan dengan pasangan-pasangan. Dengan demikian, siswa lebih termotivasi untuk belajar. Apabila jumlah siswa dalam suatu kelas ganjil atau ada siswa yang tidak masuk, maka guru dapat menggabungkan siswa yang tidak mempunyai pasangan tersebut kedalam pasangan yang memiliki prestasi belajar yang rendah, karena akan banyak masukan-masukan atau pendapat-pendapat dalam menyelesaikan tugas yang diberikan guru (Prastuti dalam http//lib.uin.malang.ac.id).

2.2 Belajar

2.2.1 Pengertian Belajar

(19)

pengetahuan, tetapi juga keterampilan untuk hidup (life skill) bermasyarakat meliputi keterampilan berpikir (memecahkan masalah) dan keterampilan sosial serta nilai dan sikap.

Trianto (2010: 16) menyatakan belajar sebagai proses menciptakan hubungan antara sesuatu (pengetahuan) yang sudah di pahami dengan sesuatu yang baru. Belajar secara umum diartikan sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman, dan bukan karena pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karakteristik seseorang sejak lahir.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan belajar adalah aktivitas individu baik fisik, mental dan emosional yang terjadi selama proses pembelajaran ataupun diluar proses pembelajaran yang dilakukan untuk memperoleh perubahan tingkah laku.

2.2.2 Aktivitas Belajar

(20)

Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menyatakan aktivitas belajar adalah kegiatan mengolah pengalaman dan atau praktik dengan cara mendengar, membaca, menulis, mendiskusikan, merefleksikan rangsangan dan memecahkan masalah.

Menurut Hanafiah, dkk (2009: 23) proses aktivitas pembelajaran harus melibatkan seluruh aspek psikofisis siswa, baik jasmani maupun rohani sehingga akselerasi perubahan perilakunya dapat terjadi secara cepat, tepat, mudah dan benar baik. Hanafiah, dkk. (2009: 24) menyatakan aktivitas dalam belajar dapat memberikan nilai tambah (added value) bagi siswa, berupa hal-hal berikut:

a) Siswa memiliki kesadaran (awareness) untuk belajar sebagai wujud adanya motivasi internal (driving force) untuk belajar sejati.

b) Siswa mencari pengalaman dan langsung mengalami sendiri, yang dapat memberikan dampak terhadap pembentukan pribadi yang integral.

c) Siswa belajar dengan menurut minat dan kemampuannya. d) Menumbuhkembangkan sikap disiplin dan suasana belajar

yang demokratis dikalangan siswa.

e) Pembelajaran dilaksanakan secara konkret sehingga dapat menumbuhkembangkan pemahaman dan berpikir kritis serta menghindarkan terjadinya verbalisme.

f) Menumbuhkembangkan sikap kooperatif di kalangan siswa sehingga sekolah menjadi hidup, sejalan, dan serasi dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya.

(21)

2.2.3 Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar, seperti yang diungkapkan Kunandar (2010: 276) hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan, tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar. Sedangkan, Keller dalam Abdurahman (2003: 380) hasil belajar merupakan keluaran (outputs) dari suatu sistem pemrosesan berbagai masukan (inputs). Masukan dari sistem tersebut berupa bermacam-macam informasi sedangkan keluarannya perbuatan atau kinerja (performance). Hasil belajar adalah prestasi aktual yang ditampilkan oleh anak sedangkan usaha adalah perbuatan yang terarah pada penyelesaian tugas-tugas belajar. Ini berarti bahwa besarnya usaha adalah indikator dan adanya motivasi, sedangkan hasil belajar dipengaruhi oleh besarnya usaha yang dilakukan oleh anak .

Hasil belajar adalah hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar, sedangkan dari siswa hasil belajar merupakan puncak proses belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 3). Hasil belajar dipengaruhi oleh dua faktor seperti yang dikemukakan oleh Kosasih dan Angkowo (2007: 50) yaitu faktor yang datang dari dalam diri siswa dan dari luar diri siswa atau faktor lingkungan.

(22)

Kemampuan kognitif meliputi: (a) knowledge (pengetahuan, ingatan); (b) comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh); (c) application (menerapkan); (d) analysis (menguraikan, menentukan hubungan); (e) synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru); dan (f) evaluation (menilai). Kemampuan afektif meliputi: (a) receiving (sikap menerima); (b) responding (memberikan respons); (c) valuing (nilai); (d) organization (organisasi); (e) characterization (karakterisasi). Kemampuan psikomotor meliputi: (a) initiator; (b) pre-routine; dan (c) rountinized.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan hasil belajar merupakan perubahan yang terjadi pada diri siswa setelah melakukan belajar, tidak hanya pengetahuan tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri siswa melalui penilaian proses dan tes dalam proses pembelajaran.

2.3 Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar 2.3.1 Pembelajaran

Pembelajaran merupakan proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Gagne dalam Aisyah, dkk. (2007: 1.3) mengemukakan pembelajaran sebagai seperangkat acara peristiwa eksternal yang dirancang untuk mendukung terjadinya beberapa proses belajar yang sifatnya internal. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan guru agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada siswa.

(23)

terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisasi antara lain tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran, media pembelajaran, pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajaran, dan tindak lanjut pembelajaran (remedial dan pengayaan). Kedua, pembelajaran dipandang sebagai suatu proses. Maka, pembelajaran merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat siswa belajar.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan pembelajaran ialah suatu proses interaksi siswa dan guru yang direncanakan secara sistematis untuk mendukung terjadinya proses belajar.

2.3.2 Matematika

Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang sangat penting untuk diajarkan di sekolah dasar bukan hanya pelajaran yang menghimpun angka-angka tanpa makna. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2005: 723) matematika ialah ilmu bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan.

(24)

yaitu menanamkan pengetahuan konsep-konsep dan pengetahuan prosedural. Hubungan antara konseptual dan prosedural sangat penting. Pengetahuan konseptual mengacu pada pemahaman konsep, sedangkan pengetahuan prosedural mengancu pada keterampilan menyelesaikan soal-soal metematika. Johnson dalam Abdurahman (2003: 252) matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya untuk memudahkan berfikir.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan matematika ialah ilmu bilangan yang terdiri dari berbagai konsep-konsep yang saling berhubungan yang digunakan untuk penyelesaian masalah mengenai bilangan.

2.3.3 Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

Berdasarkan Standar Isi Mata Pelajaran Matematika SD, kompetensi yang harus dikuasai siswa setelah mempelajari mata pelajaran matematika antara lain penalaran (reasoning), pemecahan masalah (problem solving) dan komunikasi (communication).

(25)

Teori pembelajaran matematika ditingkat sekolah dasar yang diungkapkan oleh Heruman (2008: 4-5) bahwa dalam proses pembelajaran diharapkan adanya penemuan kembali (reinvention) secara informal dalam pembelajaran di kelas dan harus menampakkan adanya keterkaitan antar konsep. Hal ini bertujuan untuk memberikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa.

Aisyah, dkk (2007: 1.4) mengemukakan tujuan matematika sekolah khususnya di SD atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:

a) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan kosep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

b) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan masnipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

c) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah. Merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

d) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

e) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

(26)

menggunakan matematika sebagai bahasa dan alat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Hasil lain dalam tujuan pembelajaran matematika yaitu terbentuknya kepribadian yang baik dan kokoh.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan pembelajaran matematika di SD merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terprogram oleh guru dalam menciptakan suasana belajar matematika sehingga terjadi proses berpikir dan penguasaan materi pelajaran pada siswa. Tujuan pembelajaran matematika di SD yaitu agar siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah yang berkaitan dengan matematika untuk pembentukan kepribadian yang baik dan kokoh serta kemampuan berfikir berdasarkan hakikat matematika.

2.4 Hipotesis Tindakan

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang lazim dikenal dengan classroom action research. Kunandar (2010: 46) mengemukakan PTK sebagai suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan cara merancang, melaksanakan, mengamati, dan merefleksikan tindakan melalui beberapa siklus secara kolaboratif dan partisipatif yang bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu proses pembelajaran di kelasnya.

(28)

Gambar 1: Alur Siklus Penelitian Tindakan Kelas (sumber: Arikunto. 2006: 74)

3.2 Setting Penelitian

3.2.1 Subjek penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa dan guru kelas VB SD Negeri 3 Metro Pusat. Jumlah siswa adalah 22 orang siswa, dengan rincian 13 orang siswa laki-laki dan 9 orang siswa perempuan.

Perencanaan 1

Pelaksanaan 1 SIKLUS 1

Pengamatan 1 Refleksi 1

Perencanaan II

SIKLUS II Pelaksanaan II Refleksi II

Pengamatan II

Perencanaan III

Pelaksanaan III SIKLUS III

Refleksi III

Pengamatan III

(29)

3.2.2 Tempat Penelitian

Tempat penelitian tindakan kelas yaitu di kelas VB SD Negeri 3 Metro Pusat, Jl. Yos Sudarso 15 Polos Kecamatan Metro Pusat, Kota Metro.

3.2.3 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun pelajaran 2012/2013. Waktu pelaksanaan kurang lebih selama lima bulan, yaitu bulan Desember sampai dengan bulan April 2013.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan selama pelaksanaan tindakan kelas, yaitu menggunakan teknik non tes dan teknik tes.

1. Teknik Non Tes

Teknik non tes dilakukan melalui observasi. Observasi dilakukan oleh peneliti menggunakan lembar observasi kinerja guru dan lembar aktivitas belajar siswa dengan cara memberikan tanda cek list (√) pada lembar observasi. Observasi digunakan untuk mengetahui apakah dengan menggunakan model cooperative learning tipe TPS pada pembelajaran matematika kelas VB dapat meningkatkan kinerja guru dan aktivitas belajar siswa.

2. Teknik Tes

(30)

melalui tes hasil belajar menggunakan soal berdasarkan tujuan pembelajaran dan materi yang telah dipelajari.

3.4 Alat Pengumpulan data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu lembar observasi dan tes hasil belajar.

1. Lembar observasi, instrumen ini dirancang peneliti dan berkolaborasi dengan guru kelas. Lembar observasi ini digunakan untuk mengumpulkan data aktivitas belajar siswa dan data kinerja guru selama penelitian tindakan kelas dalam pembelajaran matematika melalui model cooperative learning tipe TPS.

2. Tes hasil belajar, instrumen ini digunakan untuk mendapatkan data mengenai peningkatan hasil belajar siswa khususnya mengenai penguasaan materi yang dibelajarkan dengan menggunakan model cooperative learning tipe TPS.

3.5 Teknik Analisis Data 1. Data kualitatif

Data kualitatif diperoleh dari data non tes yaitu lembar observasi. Data tersebut dicatat berdasarkan perilaku yang sesuai dan relevan dengan kegiatan pembelajaran. Data kualitatif pada lembar aktivitas siswa dan kinerja guru.

1) Aktivitas Siswa

(31)

P = X 100

Keterangan:

P = Nilai aktivitas siswa yang dicari

R = Jumlah indikator aktivitas yang dilakukan oleh Siswa SM = Jumlah indikator aktivitas seluruhnya

100 = Bilangan tetap

(Sumber: Modifikasi dari Purwanto, 2008: 102)

Setelah mendapatkan nilai aktivitas tiap individu, diketahui kriteria sesuai tingkat aktivitas siswa yang diperoleh yaitu.

Tabel 3. Kriteria Peningkatan Aktivitas Siswa Berdasarkan Ketercapaian Indikator

Rentang Nilai Kategori 81 – 100 Sangat Aktif

61 – 80 Aktif

41 – 60 Cukup Aktif 21 – 40 Kurang Aktif

0 – 20 Pasif

(Sumber: Adaptasi dari Arikunto, 2007: 44)

2) Ketercapaian indikator dengan model cooperative learning tipe TPS yang dilaksanakan guru

Ketercapaian indikator dengan model cooperative learning tipe TPS melalui pengamatan dengan berpedoman lembar observasi kinerja guru (IPKG). Penilaiannya menggunakan rentang nilai antara 1 – 5. Cara menghitung nilai yang diperoleh guru selama mengajar dengan menggunakan rumus:

Nilai kinerja guru = x 100

[image:31.595.183.412.388.473.2]
(32)
[image:32.595.182.451.220.309.2]

Setelah mendapatkan nilai tersebut, akan diketahui peningkatan setelah menerapkan model cooperative learning tipe TPS dengan kategori sebagai berikut.

Tabel 4. Kriteria Keberhasilan Guru dalam Menerapkan Model Cooperative Learning Tipe TPS

Rentang Nilai Kategori 81 – 100 Sangat Baik

61 – 80 Baik

41 – 60 Cukup Baik 21 – 40 Kurang Baik

0 – 20 Sangat Kurang

(Sumber: Adaptasi dari Arikunto, 2007: 44)

2. Teknik analisis data kuantitatif

Analisis kuantitatif digunakan untuk mendeskripsikan kemajuan kualitas belajar siswa yang sesuai dengan penguasaan materi yang telah diajarkan oleh guru. Data hasil penelitian yang tergolong data kuantitaif dilakukan secara deskriptif, yakni dengan menghitung ketuntasan individu dan ketuntasan klasikal dengan rumus sebagai berikut.

a. Nilai hasil belajar siswa secara individu digunakan rumus:

Nilai = x100

(Sumber: Adaptasi dari Purwanto, 2009: 112)

Apabila siswa memperoleh nilai ≥60 maka dikategorikan tuntas, tetapi apabila siswa memperoleh nilai <60 maka dikategorikan tidak tuntas.

(33)

Mx = ∑

Keterangan:

Mx = Nilai rata-rata kelas

∑X = Jumlah nilai seluruh siswa

N = Jumlah siswa

(Sumber: Adaptasi dari Sudijono, 2011: 84)

c. Persentase ketuntasan belajar siswa secara klasikal dengan rumus:

Ketuntasan Klasikal = ⅀ 100 %

Keterangan:

⅀ S ≥60 = Jumlah siswa yang mendapat nilai ≥60

N = Banyak siswa 100 % = Bilangan tetap

(Sumber: Adopsi dari Purwanto, 2009: 112).

[image:33.595.183.434.557.672.2]

d. Hasil analisis data tersebut akan dijadikan penentuan tingkat keberhasilan siswa secara klasikal sesuai kriteria berikut.

Tabel 5. Kriteria Tingkat Keberhasilan Belajar Siswa dalam Persen

Tingkat Keberhasilan (%) Kategori 81 – 100% Sangat Tinggi

61 – 80% Tinggi 41 – 60% Sedang 21 – 40% Rendah

0 – 20% Sangat Rendah

(34)

3.6 Rincian Prosedur Penelitian Tindakan

Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap yang dilaksanakan dalam tiga siklus, setiap siklus memiliki empat tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Adapun siklus tersebut sebagai berikut. 3.6.1 Siklus I

a. Tahap Perencanaan

Pada tahap ini, peneliti membuat rencana pembelajaran berdasarkan Permendiknas No. 41 tentang Standar Proses. Pada tahap ini yang dilakukan adalah:

1) Membuat jadwal perencanaan tindakan untuk menentukan materi pokok yang diajarkan, sesuai dengan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD).

2) Peneliti bersama guru berdiskusi untuk membuat kesepakatan tentang kegiatan pembelajaran matematika dengan menggunakan model cooperative learning tipe TPS. 3) Menyiapkan pemetaan, silabus, penyusunan Rencana

Perbaikan Pembelajaran (RPP), bahan ajar, LKS, dan media pembelajaran.

(35)

b. Tahap Pelaksanaan Tindakan

Pada siklus I materi pembelajaran adalah “menentukan jaring-jaring bangun ruang sederhana”. Kegiatan pembelajaran secara lebih rinci sebagai berikut:

1) Kegiatan Pendahuluan

Dalam kegiatan pendahuluan, guru:

a) Menyiapkan siswa secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran.

b) Guru mengorganisasi siswa ke dalam 5 kelompok secara heterogen dan setiap kelompok terdiri dari 4-5 orang siswa.

c) Membagikan pin bernomor absen masing-masing siswa untuk mempermudah peneliti mengamati aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung.

d) Melakukan apersepsi dengan mengaitkan materi sebelumnya dengan menggunakan media kotak berbentuk kubus dan masuk ke dalam materi yang akan dibahas untuk merangsang siswa berpikir dan menggali pengetahuan awal siswa.

e) Mengkomunikasikan tujuan pembelajaran dan hasil belajar yang akan dicapai siswa.

(36)

2) Kegiatan Inti

Dalam kegiatan inti, guru:

a) Guru memberikan Lembar kerja Siswa (LKS) kepada seluruh siswa.

b) Masing-masing anggota kelompok memikirkan (think) dan mengerjakan soal (LKS) tersebut secara individu. c) Kelompok membentuk anggotanya secara berpasangan

(pair).

d) Masing-masing pasangan mendiskusikan hasil pengerjaan individunya dan menentukan jawaban yang paling tepat.

e) Kedua pasangan bertemu kembali dalam kelompok besarnya untuk berbagi (share) hasil diskusi dengan pasangannya kepada pasangan lain yang ada dalam kelompok besar tersebut.

f) Setiap kelompok menuliskan hasil diskusi kelompoknya pada LKS.

g) Masing-masing anggota kelompok mempresentasikan hasil diskusinya kepada kelompok lain.

h) Memberikan motivasi kepada siswa yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.

3) Kegiatan Penutup

(37)

a) Bersama-sama dengan siswa membuat rangkuman atau simpulan materi pembelajaran.

b) Memberikan tes formatif (pada pertemuan kedua) kepada siswa yang dikerjakan secara individu untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi setelah pembelajaran menggunakan model cooperative learning tipe TPS.

c) Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

c. Tahap Observasi

Pada tahap ini, peneliti mengobservasi kegiatan pembelajaran yang berlangsung bersamaan dengan pelaksanaan tindakan. Aspek-aspek yang diobservasi mencakup segi aktivitas siswa selama proses pembelajaran dan segi kinerja guru mulai dari pra pembelajaran sampai akhir pembelajaran.

d. Tahap Refleksi

(38)

3.6.2 Siklus II

Pelaksanaan pada siklus II dilakukan setelah merefleksikan siklus I. a. Tahap Perencanaan

Peneliti merancang rencana perbaikan perangkat pembelajaran yang akan dilaksanakan secara kolaborasi partisipasif antara guru dan peneliti seperti pada siklus I.

b. Tahap Pelaksanaan

Pada siklus II materi pembelajarannya adalah “menyelidiki bangun datar yang memiliki simetri lipat”. Kegiatan pembelajaran secara lebih rinci antara lain:

1) Kegiatan Pendahuluan

Dalam kegiatan pendahuluan, guru:

a) Menyiapkan siswa secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran.

b) Guru mengorganisasi siswa ke dalam 5 kelompok secara heterogen dan setiap kelompok terdiri dari 4-5 orang siswa.

c) Membagikan pin bernomor absen masing-masing siswa untuk mempermudah peneliti mengamati aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung.

(39)

awal siswa.

e) Mengkomunikasikan tujuan pembelajaran dan hasil belajar yang akan dicapai siswa.

f) Menjelaskan prosedur pelaksanaan model cooperative learning tipe TPS kepada siswa.

2) Kegiatan Inti

Dalam kegiatan inti, guru:

a) Guru memberikan Lembar kerja Siswa (LKS) kepada seluruh siswa.

b) Masing-masing anggota kelompok memikirkan (think) dan mengerjakan soal (LKS) tersebut secara individu. c) Kelompok membentuk anggotanya secara berpasangan

(pair).

d) Masing-masing pasangan mendiskusikan hasil pengerjaan individunya dan menentukan jawaban yang paling tepat.

e) Kedua pasangan bertemu kembali dalam kelompok besarnya untuk berbagi (share) hasil diskusi dengan pasangannya kepada pasangan lain yang ada dalam kelompok besar tersebut.

f) Setiap kelompok menuliskan hasil diskusi kelompoknya pada LKS.

(40)

h) Memberikan motivasi kepada siswa yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.

3) Kegiatan Penutup

Dalam kegiatan penutup, guru:

a) Bersama-sama dengan siswa membuat rangkuman atau simpulan materi pembelajaran.

b) Memberikan tes formatif (pada pertemuan kedua) kepada siswa yang dikerjakan secara individu untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi setelah pembelajaran menggunakan model cooperative learning tipe TPS.

c. Tahap Observasi

Pada tahap ini, peneliti mengobservasi kegiatan pembelajaran yang berlangsung bersamaan dengan pelaksanaan tindakan. Aspek-aspek yang diobservasi mencakup dari segi aktivitas siswa selama proses pembelajaran dan segi kinerja guru mulai pra pembelajaran sampai kegiatan penutup.

d. Tahap Refleksi

(41)

3.6.3 Siklus III

Hasil refleksi siklus II (sebanyak 2 kali pertemuan) akan dijadikan sebagai bahan perbaikan pada siklus III dengan materi ” menyelidiki bangun datar yang memiliki simetri putar”.

3.7 Indikator Keberhasilan

(42)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan di kelas VB SD Negeri 3 Metro Pusat, dapat disimpulkan bahwa:

5.1.1 Pembelajaran melalui model cooperative learning tipe think pair share dapat meningkatkan aktivitas siswa pada mata pelajaran matematika kelas VB SD Negeri 3 Metro Pusat. Hal ini sesuai dengan aktivitas belajar siswa yang selalu meningkat pada setiap siklus yaitu 46,44 pada siklus I, meningkat menjadi 60,23 pada siklus II, dapat meningkat lagi menjadi 76,14 pada siklus III. Jika dilihat dari indikator keberhasilan, maka aktivitas siswa sudah mencapai target yang ditentukan yaitu adanya peningkatan aktivitas siswa setiap siklusnya.

(43)

indikator keberhasilan, maka hasil belajar siswa sudah mencapai target yaitu ≥75% dari jumlah siswa seluruhnya mencapai KKM ≥60. Dengan demikian, penelitian tindakan kelas dapat dihentikan pada siklus III.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian di atas, berikut ini disampaikan saran yang dapat diberikan.

5.2.1 Siswa

1) Diharapkan mampu mengikuti berbagai model pembelajaran yang digunakan oleh guru, sehingga pembelajaran yang diharapkan dapat tercapai.

2) Diharapkan siswa menjadi lebih aktif dalam proses pembelajaran baik dalam mengerjakan soal secara individu maupun kelompok. 5.2.2 Guru

1) Sebaiknya dalam setiap pembelajaran dapat menerapkan model cooperative learning tipe think pair share.

2) Sebaiknya dalam menerapkan model pembelajaran guru memegang prinsip-prinsip pelaksanaan serta terus mencoba karena kemampuan menerapkan model pembelajaran tidak cukup sekali.

(44)

5.2.3 Sekolah

Diharapkan dapat mendukung keberhasilan kegiatan pembelajaran baik secara moral dan materi.

5.2.4 Peneliti Berikutnya

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Rineka Cipta. Jakarta.

Ahmad, Defri. 2010. Aktivitas Belajar.

(http://id.shoong.com/socialscience/1961162-aktivitas-belajar/. Tanggal akses 10 Nopember 2012 @ 14.12 WIB).

Aisyah, Nyimas, dkk. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. Jakarta.

Arikunto, Suharsimi, dkk. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta.

Eggen, Paul, dkk. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran Mengajar Konten dan Keterampilan Berpikir. PT Indeks. Jakarta.

Fadholi. 2008. Kelebihan Think-Pair-Share.

(http://ariffadholi.blogspot.com/2009/10/metode-think-pair share.html1:55:00 PM. Tanggal akses 14 Nopember 2012, @ 09.30 WIB).

Hanafiah, Nanang, dkk. 2009. Konsep Strategi Pembelajaran. Refika Aditama. Bandung.

Heruman. 2008. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Huda, Miftahul. 2011. Cooperative Learning, Teori dan Aplikasi PAIKEM. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Ibrahim, dkk. 2011. Pengertian Think-Pair-Share.

(46)

Isjoni. 2007. Cooperative Learning. Alfabeta. Bandung.

Kasma. 2010. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share.

(http://fisikasma-online.blogspot.com/2010/12/model-pembelajaran-kooperatif-tipe.html. Tanggal akses 10 Nopember 2012 @ 14.21 WIB).

Komalasari, Kokom. 2010. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Refika Aditama. Bandung.

Kosasih dan Angkowo. 2007. Optimalisasi Media Pembelajaran. PT Grasindo. Jakarta.

Kunandar. 2010. Langkah Mudah Penelitian Kelas sebagai Pengembangan Profesi Guru. PT Rajawali Pers. Jakarta.

Nurseha. 2011. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS (Think Pair Share) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika. (http://nepository.ac.id/bitstream/123456789/22421/jurnal%20nurseha.pdf. Tanggal akses 20 Nopember 2012 @ 20.00 WIB).

Purwanto, Ngalim. 2008. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Prastuti, Ida Fitria. 2009. Penerapan Strategi Cooperative Learning Model Think Pair Share.( http//lib.uin.malang.ac.id.pdf. Tanggal akses 10 Januari 2013), @ 19.00 WIB).

Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Rajawali Pers. Jakarta.

Slavin, R. E. 2010. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Nusa Media. Bandung.

Sudijono. 2011. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Rajagrafindo Persada. Jakarta.

Suprijono, Agus. 2011. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Suwangsih, Erna, dkk. 2006. Model Pembelajaran Matematika. UPI PRESS. Bandung.

(47)

Tim Penyusun. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Depdiknas. Jakarta.

Tim Penyusun. 2009. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Tim Penyusun. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Depdiknas. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Balai Pustaka. Jakarta.

Tim Redaksi. 2008. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003. Sinar Grafika. Jakarta.

Gambar

Tabel 2. Langkah-langkah Pembelajaran TPS
Gambar 1:  Alur Siklus Penelitian Tindakan Kelas (sumber: Arikunto. 2006: 74)
Tabel 3. Kriteria Peningkatan Aktivitas Siswa Berdasarkan  Ketercapaian Indikator
Tabel 4. Kriteria Keberhasilan Guru dalam Menerapkan Model  Cooperative Learning Tipe TPS
+2

Referensi

Dokumen terkait

Demikian surat tugas ini dibuat untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya, setelah melaksanakan tugas diharap melapor ke atasan langsung. Rancabungur, 30 Agustus

[r]

Kesimpulan dari hasil dan penelitian mengenai strategi promosi periklanan Caraka Mulia dalam menjalin kerjasama dengan perusahaan asuransi di Makassar, serta

Islam sebagai agama yang hadir ditengah-tengah kondisi sosial ma- syarakat arab yang memandang remeh perempuan, Islam tidak melaku- kan perubuhan secara menyeluruh terhadap tradisi

Sejauh ini program tersebut telah menggunakan banyak indikator kinerja berbasis pada output (hasil) untuk mengevaluasi program, tetapi tidak pernah menggunakan sebuah indeks

1) Adaptasi terhadap kenaikan harga BBM, yaitu deskripsi respon nelayan garuk untuk menentukan opsi rasional dan efektif dalam menangani dampak kenaikan harga BBM pada

Mewadahi dan meningkatkan partisipasi para STAKEHOLDES pendidikan pada tingkat sekolah untuk turut serta merumuskan, menetapkan, melaksanakan, monitoring

Model pembelajaran ini dalam bentuk program tersendiri sesuai sasaran dan melayani bentuk kegiatan ekspresi misalnya bahasa Staf berkedudukan sebagai perencana dan pengendali situasi