• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM ACARA PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUKUM ACARA PIDANA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM ACARA PIDANA

PENUNTUTAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA

Nama : Nur Fadillah

NIP : 04020130487

Kelas : C6

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

FAKULTAS HUKUM

(2)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya ucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang karena rahmat dan hidayanya saya dapat menyelesaikan Makalah yang Berjudul Penuntutan Dalam Hukum Pidana.

Makalah ini disusun melalui berbagai sumber dari beberapa media serta perturan perundang undangan yang tentunya menjadi subjek dalam penyusunan makalah ini.

(3)

I.

PENDAHULUAN

Dalam hidup bermasyarakat, manusia selalu melakukan berbagai interaksi yang menimbulkan suatu akibat. Di masyarakat itu sendiri terdapat suatu aturan baik peraturan yang timbul dengan sendirinya selama proses sosialisasi itu berlangsung, maupun aturan yang sengaja dibuat untuk mengatur dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat itu sendiri. Sikap tindak dalam melakukan setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tidak selamanya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.Hukum merupakan kumpulan kaidah-kaidah dan norma yang berlaku di masyarakat, yang keberadaannya sengaja dibuat oleh masyarakat dan diakui oleh masyarakat sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupannya. Tujuannya untuk menciptakan ketenteraman di masyarakat. Hukum sebagai instrumen dasar yang sangat penting dalam pembentukan suatu negara, berpengaruh dalam segala segi kehidupan masyarakat, karena hukum merupakan alat pengendalian sosial, agar tercipta suasana yang aman, tenteram dan damai. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum, berarti harus mampu menjunjung tinggi hukum sebagai kekuasaan tertinggi di negeri ini, sebagaimana dimaksud konstitusi kita, Undang-Undang Dasar RI 1945.

(4)

II. Rumusan Masalah

1. Pengertian Penuntutan

2. Sejarah Lembaga Penuntut Umum 3. Tugas Dan Wewenang Penuntut Umum 4. Surat Dakwaan

5. Voeging dan Splitsing

(5)

III.

PEMBAHASAN

1. Pengertian

Dalam KUHAP dikenal istilah penuntutan yang dijelaskan dalam pasal 1 ayat 7 bahwa, Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dalam pengertian ini dapat diambil satu kriteria yang berkaitan dengan subjek dalam penuntutan yaitu penuntut umum.

Definisi ini mirip dengan definisi Wirjono Prodjodikoro, perbedaannya ialah dalam definisi Wirjono Prodjodikoro disebut dengan tegas ”terdakwa” sedangkan dalam KUHAP tidak disebutkan terdakwa. Penuntutan menurut Wirjono Prodjodikoro adalah menuntut seorang terdakwa di muka Hakim Pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan

kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.1[1]

Dalam KUHAP juga dijelaskan tentang pengertian penuntut umum, dalam pasal 13 KUHAP diterangkan bahwa, Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Sebelum melakukan penuntutan, jaksa melakukan suatu tindakan yang disebut pra penuntutan. Dalam hal pra penuntutan, KUHAP tidak menjelaskan secara terperinci apa pengertian pra penuntutan, hanya menerangkan wewenang jaksa dalam pasal 14 KUHAP butir b, yang berbunyi: mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. Mekipun tidak dijelaskan dengan terperinci dalam KUHAP, namun dalam pasal 14 KUHAP butir b dapat diambil sebuah pengertian pra penuntutan yaitu, tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk kepada penyidik dalam rangka penyempurnaan penyidikan.

(6)

2. Sejarah Lembaga Penuntut Umum

Prancis adalah asal dari lembaga yang kita kenal sekarang dengan Lembaga penuntut umum, dan oleh Belanda dimasukkan dalam Wetboek van Stravordering (kitab Undang-Undang huklum Acara Pidana) pada tahun 1838.

Sebelumnya, tidaklah banyak perbedaan antara pelaksanaan proses perdata dan proses pidana. Lalu system ini lama-kelamaan menunjukkan kekurangan-kekurangan, sifat perdata dari penuntutan menyebabkan bahwa kerapkali sesuatu tuntutan pidana tidak dilakukan oleh orang yang dirugikan, disebabkan ia takut pembalasan dendam atau ia tidak mampu untuk

mengungkapkan kebenaran dari tuntutannya, sebab kekurangan alat-alat pembuktian yang diperlukan.

Berujuk dari alasan tersebut, tuntutan pidana yang mulanya dari perseorangan kemudian diserahkan kepada suatu badan Negara yang khusus diadakan untuk itu, yang kita kenal sebagai Penuntut Umum.

3. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum

Dalam pasal 13 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang kejaksaan Replubik Indonesia, pasal 2 menyatakan sebagai berikut :

i. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang

ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.

ii. Kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan

secara merdeka.

iii. Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah satu dan tidak

terpisahkan.2[2]

Dalam melakukan tugas, penuntut umum mempunyai wewenang dan tugas yang sudah dijelaskan dalam KUHAP, diantaranya :

(7)

1. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan

penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal 109 ayat 1) dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS yang dimaksudkan oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan dihentikan demi hukum.

2. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana

dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12).

3. Mengadakan pra penuntutan (Pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan ketentuan

materi Pasal 110 ayat (3) dan (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2).

4. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 124 ayat 20), melakukan penahanan dan

penahanan lanjutan (Pasal 20 ayat 2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 25 dan Pasal 26), melakukan penahanan rumah (Pasal 22 ayat 2, penahanan kota (Pasal 22 ayat 3), serta mengalihkan jenis penahanan.

5. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta

dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31).

6. Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan

karena tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan pada perkara tersebut untuk memperoleh putusan pengadilan yang tetap atau mengamankannya dengan disaksikan tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat 1).

7. Melarang atau membatasi kebebasan hubungan antara Penasehat Hukum dengan

tersangka akibat disalahgunakan haknya (Pasal 70 ayat 4), mengawasi hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan antara mereka (Pasal 71 ayat 1), dan dalam kejahatan terhadap keamanan negara maka Jaksa dapat ikut mendengarkan isi pembicaraan penasehat hukum dengan tersangka (Pasal 71 ayat (2). Pengurangan kebebasan hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tersebut dilarang apabila perkara telah dilimpahkan Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri untuk disidangkan (Pasal 74).

8. Meminta dilakukan pra peradilan kepada ketua pengadilan negeri untuk memeriksa

(8)

80 ini adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.

9. Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan

dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum menerima penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat 1).

10. Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau

tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139).

11. Mengadakan “tindakan lain” dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku

Penuntut Umum (Pasal 14 huruf i)

12. Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan

penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan (pasal 140 ayat 1). 13. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a),

dikarenakan :

· Tidak terdapat cukup bukti

· Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana

· Perkara ditutup demi kepentingan umum.

14. Melakukan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan penuntutan dikarenakan

adanya alasan baru (Pasal 140 ayat 2 huruf d).

15. Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan

(Pasal 141).

16. Mengadakan pemecahan penuntutan terhadap satu berkas perkara yang memuat

beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka (Pasal 142).

17. Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan (Pasal

143)

18. Membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat 2)

19. Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan, Penuntut

Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau

selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai (Pasal 144).3[3

(9)

4. Surat Dakwaan

Surat dakwaan sangatlah penting dalam pemeriksaan perkara pidana, yang dimaksud surat dakwaan disini adalah suatu surat atau akte yang memuat perumusan dari tindak pidana yang didakwakan yang sementara dapat disimpulkan dari hasil penyidikan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan di siding pengadilan.

Tujuan dari surat dakwaan adalah bahwa Undang-Undang ingin melihat ditetapkannya alasan-alasan yang menjadi dasar penuntutan suatu peristiwa pidana, untuk itu sifat-sifat khusus dari suatu tindak pidana yang telah dilakukan itu harus dicantumkan dengan sebaik-baiknya.

Syarat-syarat dakwaan menurut pasal 143 (2) KUHAP berbunyi :

a. Dalam surat dakwaan harus disebut : nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka,

b. Surat dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Mengenai pembatalan surat dakwaan menurut Nederburgh ada dua macam :

1. Pembatalan yang formil, yaitu pembatalan yang disebabkan karena tidak memenuhi syarat-syarat mutlak yang ditentukan sendiri oleh undang-undang.

2. Pembatalan yang hakiki, yaitu pembatalan menurut penilaian hakim sendiri, yang disebabkan karena tidak dipenuhinya suatu syarat yang dianggap esensial.

Kemudian tentang cara merumuskan dakwaan itu ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu: a. Harus mengandung lukisan dari apa yang senyatanya terjadi,

b. Dalam lukisan itu harus ternyata pula unsure yuridis dari tindak pidana yang didakwakan. Penyusunan dakwaan secara teknis dapat dilakukan sebagai berikut:

(a) Dakwaan tunggal, yaitu terdakwa didakwa satu perbuatan saja.

(b) Dakwaaan alternatif, yaitu terdakwa didakwakan lebih dari satu tindak pidana, tetapi pada hakekatnya ia hanya didakwa satu tindak pidana saja.

(c) Dakwaan subsidier, yaitu terdakwa didakwakan lebih dari satu dakwaan, tetapi pada prinsipnya ia hanya dipermasalahkan satu tindak pidana saja. Maka apabila salah satu dakwaan telah terbukti, dakwaan selebihnya tak perlu dibuktikan.

(10)

5. Voeging Dan Splitsing

A. Penggabungan Perkara (Voeging)

Dalam hukum acara pidana salah satu tugas penuntut umum adalah melakukan penggabungan perkara. Pada umumnya tiap-tiap perkara diajukan tersndiri dalam sidang pengadilan, namun apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntut umum menerima berkas perkara dari penyidik ia dapat melakukan penggabungan perkara dan

membuatnya dlam satu surat dakwaan.4[4]

Menurut pasal 141 KUHAP dijelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan penggabungan perkara pidana :

Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:

a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;

b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain

c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

Dalam suatu tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut (hubungan) dengan yang lain, apabila tindak pidana tersebut dilakukan:

i. Oleh lebih seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat

bersamaan

ii. Oleh lebih dilakukan dari seorang pada saat dan tempat yang

berbeda, akan tetapi merupakan merupakan pelaksanaan dari kesepakatan tindak pidana yang dibuat oleh mereka.

iii. Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang

digunakan melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena

tindak pidana lain.5[5]

(11)

B. Pemisahan Perkara (Splitsing)

Pada dasarnya pemisahan berkas perkara disebabkan faktor pelaku tindak pidana. Sesuai

dengan bunyi Pasal 1426[6] :

Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”

Apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, penuntut umum dapat memisah berkas perkara menjadi beberapa berkas sesuai dengan jumlah terdakwa, sehingga :

i. Berkas yang semula diterima penuntut umum dari penyidik,

persidangan. Masing-masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda.

iv. Pada umumnya, pemisahan berkas perkara sangat penting,

apabila dalam perkara tersebut kurang barang bukti dan saksi.7[7]

Maka dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri antara seorang terdakwa dengan terdakwa lainnya, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Sedangkan apabila mereka digabungkan dalam satu berkas dan pemeriksaan sidang pengadilan, antara satu dengan lainnya tidak dapat dijadikan saksi. Sebagai ilustrasi, contoh kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, yang menurut Mahkamah Agung dalam putusannya terhadap kasus pembunuhan Marsinah (MA Reg. No. 1174/Pid./1974) menyatakan bahwa tidak dibenarkan terdakwa bergantian dijadikan saksi. Alasannya : “... para saksi adalah para terdakwa bergantian dalam perkara yang

(12)

sama dengan dakwaan yang sama yang dipecah-pecah bertentangan dengan hukum acara

pidana yang menjujung tingga hak asasi manusia...”.8[8]

Bergantian menjadi saksi itu bukanlah saksi mahkota (kroongetuide). Saksi mahkota

berarti salah seorang terdakwa (paling ringan kesalahannya) dijadikan menjadi saksi, jadi seperti diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa. Hal ini dibolehkan

berdasarkan adigium, bahwa jaksa adalah dominus litis dalam penuntutan terdakwa.9[9]

6. Penghentian Penuntutan Dan Penyampingan Perkara

Dalam pasal 140 ayat 2 KUHAP dijelaskan bahwa dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.

Di Bidang Penuntutan ini hukum acara pidana mengenala dua asas, yaitu asas Legalitas dan asas Oportunitas. Adapun yang dimaksud asas Legalitas adalah bahwa apabila terjadi suatu tindakan pidana maka sudah menjadi kewajiban penutu umum untuk melakukan penuntutan ke pengadilan bagi peaku tindak pidana tersebut. Sebagai lawanya adalah asas oportunitas, yang menghendaki meskipun bukti-bukti yang dikumpulkan cukup untuk menjerat tersangka ke pengadilan namun penuntut umum berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian daripada keuntungan untuk kepentingan umum dengan menuntut tersangka daripada meuntutnya, maka penuntut umum wajib untuk

mengenyampingkannya (seponeren).10[10]

Asas oportunitas tersebut sekarag dicantumkan dalam pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Jkasa Agung mempunyai tugas dan

(13)

wewenang mengeyampingkan perkara demi kepentingan umum. Didalam pasal itu dijelaskan yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan

masyarakat luas.11[11]

Dalam pada itu suatu perkara pidana dapat pula dihetikan penututannya oleh penuntut umum karena berpendapat tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa itu bukan merupakan tindakan pidana atau perkara tersebut ditutup demi hukum. Adapun yang dimaksud perkara ditutup demi hukum ialah mislanya karena adanya pencabuta pengaduan dlam delik aduan (pasal 75 KUHP), ne bis in idem (paal 76 KUHP), terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP), perkara sudah

kadaluwarsa (pasal 78 KUHP).12[12]

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik perbedaan antara pengeyampingan perkara (seponeren) dan enghentian perkara sebagai berikut:

a. Dalam penyampingan perkara yang bersangkutan memang cukup

alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa ke muka sidang pengadilan. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penutut umum atas alasan demi “kepentingan umum” slanjutnya `dikatakan mengeyampingan perkara ini merupakn pelaksanaan asas oportunitas dan hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat badan negara yang bersangkutan dnegan masalah tersebut. Selain itu dalam penyampingan perkara apabila sudah dilakuakn penyampingan perkara maka tidak ada alasan

untuk mnegajukan perkara kembali ke muka sidang pengadilan. 13[13]

(14)

b. Sedang pada penghentian penuuntutan alasanya bukan didasrakan

pada kepentingan umum akan tetapi semata-mata didasarkan kepada alasan dan kepentingan hukum itu sendiri.

i. Perkara yang bersangkutan tidak

mempunyai pembuktian yang cukup, sehingga jika perkaranya diajukan ke sidang pengadilan maka diduga kuat bhwa terdakwa kan dibebaskan oleh hakim.

ii. Apa yang dituduhkan pada tersangka bukan

merupakan suatu tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.

iii. Alasan ketiga dalam penghentian

penuntutan ialah atas dasar perkara ditutup demi hukum.

iv. Perkara yang dihentiakan penuntutunya,

Di pengadilan, terdapat 3 jenis perkara, yang sebutannya disesuaikan dengan car melakukan penuntutannya atau cara pemeriksaannya, yaitu:

1) Perkara cepat, yang terdiri atas:

a) Perkara cepat tindak pidana ringan, yaitu perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan atau denga sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan sebagaimana dalam pasal 315 KUHP.

b) Perkara cepat lalu lintas, yaitu perkara pelanggaran lalu lintas tertentu.

2) Perkara singkat, yaitu perkara pidana yang menurut penuntut umum pembuktiannya mudah, penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.

3) Perkara biasa, yaitu perkara yang sulit pembuktiannaya, demikian pula penerapan

(15)

hukumnya dan merupakan perkara besar diajukan oleh penuntut umum dengan surat pelimpahan perkara.

IV. Kesimpulan

Dalam makalah saya ini saya dapat menarik kesimpulan bahwa Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Pada umumnya tiap-tiap perkara diajukan tersndiri dalam sidang pengadilan, namun apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntut umum menerima berkas perkara dari penyidik ia dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dlam satu surat dakwaan.

Pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri antara seorang terdakwa dengan terdakwa lainnya, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Sedangkan apabila mereka digabungkan dalam satu berkas dan pemeriksaan sidang pengadilan, antara satu dengan lainnya tidak dapat dijadikan saksi.

(16)

menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Di Bidang Penuntutan ini hukum acara pidana mengenala dua asas, yaitu asas Legalitas dan asas Oportunitas.

Dalam pada itu suatu perkara pidana dapat pula dihetikan penututannya oleh penuntut umum karena berpendapat tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa itu bukan merupakan tindakan pidana atau perkara tersebut ditutup demi hukum.

V.

PENUTUP

Demikianlah pembahasan singkat mengenai penuntutan, yang merupakan tahap kedua dari proses perkara pidana. Sadar masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam pembahasan ini, maka saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Dan semoga bermanfaat bagi kita semua, amin

VI. DAFTAR PUSAKA

-

http://asa-2009.blogspot.com/2011/06/penuntutan.html

-

http://mustain-billah.blogspot.com/2012/11/makalah-hukum-acara-pidana-tentang.html

-

http://agustinmahardika.blogspot.com/2012/11/penuntutan-dalam-hukum-acara-pidana.html

-

https://hbsuinmaliki2012.wordpress.com/2013/12/28/hukum-acara-pidana/

(17)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pembangunan konstruksi dengan menggunakan beton bertulang merupakan jenis konstruksi yang paling banyak digunakan karena mudah dalam mendapatkan material dan

Dilihat dari analisis biaya dan manfaat secara keseluruhan (totalitas), PPJ tetap memperoleh manfaat atau keuntungan yang cukup besar dalam kerja sama produksi dan

Konsep Freud tentang “ketidaksadaran” dapat digunakan dalam proses pembelajaran yang dilakukan pada individu dengan harapan dapat mengurangi

atau melakukan usaha tertentu dengan harapan mendapat imbalan di jalan, trotoar, jalur hijau, taman atau tempat umum kecuali diizinkan Bupati atau pejabat yang ditunjuk.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 tentang Pelanggaran Berat dan Pelanggaran Hukum dan Kebiasaan Perang dari Konven- si Jenewa 1949 yang menyatakan bahwa:.

Setelah dilihat dari penyusunan RPJMD di Provinsi Riau dimana terdapat tahapan-tahapan dalam hal ini penyusunan dilaksanakan oleh badan atau instansi yang

Sedangkan pengertian parkir menurut Pignataro (2003: 21) menjelaskan bahwa parkir adalah membeihentikan dan menyimpan kendaraan (mobil, sepeda motor, sepeda, dan sebagainya) untuk

Penelitian yang dilakukan oleh Zhaodi Zhang, dkk., pada hewan coba yang mengalami nyeri tulang kanker menunjukkan bahwa terapi elektroakupunktur pada titik ST36 dapat