DESAIN MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL
DALAM PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN
(Kasus Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok)
L. Sukardi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Desain Model
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan:
Kasus Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani
Pulau Lombok adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, April 2009.
L. Sukardi
ABSTRACT
L. SUKARDI. Model Design of Local Community Empowerment of Sustainable Forest Management (Case Study on Local Community Around Rinjani Mountain National Park on Lombok Island). Advised by: DUDUNG DARUSMAN, LETI SUNDAWATI, and HARDJANTO.
The Rinjani Mountain National Park (RMNP) has vital roles in supporting community life in Lombok Island, however, its availability tends to be threatened due to illegal logging. The poverty of the community around the forest is one of the factors affect the illegal logging. Generally, the purpose of this research is to formulate model design of community empowerment for sustainable management of RMNP. Specifically, the objectives of this research were (1) in-depth study of the kind and main factors of interaction between community and RMNP, (2) to investigate the community perception and economic assessment toward the forestry resource of RMNP, (3) to analyze the relationship between income and participation in sustaining the forestry resources, (4) to formulate the model and local community empowerment strategies in managing sustainable forestry resources. This research approaches were conducted through (1) document study, (2) interview, (3) direct observation, (4) in-depth interview, and (5) Focus Group Discussion (FGD). The qualitative and quantitative descriptive analysis, multiple regression analysis, Spearman correlation and process hierarchy analysis were employed to analyze the collected data. Based on the considering aspect of economy, ecology, social and culture, thus, the empowerment model of community for sustainable management of RMNP is
named the Model of MAHAR-RINJANI. This is the abbreviation of “Masyarakat
Harmonis dengan Hutan Rinjani” means Harmonious Community with Rinjani Forest. This abbreviation is then syntheses to formulate empowerment model of community around the RMNP. There are three alternative empowerment models that could be implemented, including (1) improving the communities welfare and support capability of RMNP, through activities: integrated arboretum RMNP, climbing environmental oriented, and compensated of forest; (2) the model of welfare enhancement of communities by support capability of sustaining RMN, through activities: family forest, cattle rearing, and small scale enterprise development of non timber product; and (3) special model to optimize community participation in sustaining RMNP namely the complaint centre of RMNP. By considering the current real condition, the activity was prioritized on the cattle rearing by following legal traditional system called Sistem pengkadasan Sapi Rinjani (SIDASARI). By this model the number of survive timber is estimated 2 – 4.8 per year. The empowerment had to be conducted through three steps including awareness of farmers, capacity building, empowering and directing for sustainable harmonious between community members and RMNP. It is also managed comprehensively through participative and collaborative approaches in terms of economic, social, culture and institution aspect.
RINGKASAN
L. SUKARDI. Desain Model Pemberdayaan Masyarakat Lokal Dalam
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (Kasus Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan
Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok). Dibimbing oleh
DUDUNG DARUSMAN, LETI SUNDAWATI, dan HARDJANTO.
Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) memiliki fungsi sangat vital dalam mendukung kehidupan masyarakat di Pulau Lombok; akan tetapi
keberadaannya mulai terancam akibat Illegal logging. Salah satu penyebabnya
adalah kemiskinan masyarakat di sekitar hutan. Di kawasan Hutan Rinjani, sekitar 70% dari 600 ribu jiwa penduduk termasuk kategori miskin. Berdasarkan kondisi dan kompleksitas persoalan seperti diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penelaahan dan kajian secara komprehensif berkenaan dengan upaya menjaga kelestarian sumberdaya hutan (khususnya TNGR). Karena itu perlu didesain model pemberdayaan masyarakat lokal dalam rangka pengelolaan hutan berkelanjutan yang dilandasi prinsip keadilan inter dan antar generasi dengan menekankan integrasi pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi secara proporsional.
Tujuan umum penelitian adalah merumuskan desain model pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan berkelanjutan. Secara spesifik penelitian ini bertujuan (1) menelaah bentuk dan faktor-faktor penentu interaksi masyarakat dengan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Pulau Lombok, (2) mengkaji persepsi dan penilaian ekonomi masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan, (3) menganalisis hubungan antara tingkat pendapatan dengan partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumberdaya hutan, dan (4) merumuskan model dan strategi pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan berkelanjutan.
Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan TNGR yaitu Resort Santong, Senaru, Sembalun, Aikmel, dan Stiling. Pengumpulan data dan informasi obyektif dilakukan dengan pendekatan/teknik: (1) penelusuran dokumen, (2) wawancara (interview), (3) observasi langsung ke lapangan (direct observation), (4)
wawancara mendalam (in-depth interview), dan (5) Focus Group Discussion
(FGD). Jumlah contoh ditetapkan secara quota sebanyak 30 rumahtangga pada
setiap lokasi penelitian yang ditentukan secara random sampling. Untuk
melengkapi informasi yang diperoleh dari para responden, dilakukan wawancara
mendalam dengan informan kunci (key informan) pada setiap lokasi penelitian.
Data dan informasi dianalisis melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif dan dijadikan dasar untuk merumuskan berbagai alternatif desain model pemberdayaan masyarakat sekitar TNGR. Selanjutnya untuk menentukan prioritas kegiatan pemberdayaan dilakukan Analisis Hirarki Proses (AHP) didasarkan pada kriteria pengelolaan hutan secara lestari, yaitu: ekonomi, ekologi/biofisik, dan sosial-budaya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk interaksi masyarakat dengan hutan TNGR adalah: (1) mengambil/memanfaatkan hasil hutan, (2) kegiatan pendakian, dan (3) bercocok tanam. Namun demikian interaksi yang dikhawatirkan mengancam keberadaan TNGR adalah memanfaatkan hasil hutan, sedangkan pendakian dilakukan bukan dengan motif ekonomi dan kegiatan bercocok tanam dilakukan pada lokasi yang telah ditetapkan secara resmi.
Meski demikian, pengambilan kayu secara liar (illegal logging) ini merupakan pilihan terakhir bagi masyarakat karena tidak ada alternatif lain yang dapat dilakukan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Hasil analisis menunjukkan bahwa interaksi masyarakat untuk mengambil hasil hutan kayu (HHK) secara
nyata (significant) dipengaruhi oleh 7 (tujuh) faktor yang dapat dipilahkan menjadi
3 (tiga) kategori sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan lestari (Sustainable
Forest Management-SFM), yaitu: (1) berkenaan dengan kondisi biofisik TNGR, yaitu lokasi interaksi; (2) berkenaan dengan sosial budaya masyarakat, meliputi: WTP dan pengetahuan lokal atau kebiasaan turun-temurun dalam mengambil/ memanfaatkan hasil hutan kayu (HHK); dan (3) berkenaan dengan ekonomi masyarakat, meliputi: pengeluaran untuk kebutuhan makanan, penghasilan dari luar hutan, keterlibatan dalam HKm, dan kepemilikan/pemeliharaan sapi.
Masyarakat menyadari pentingnya kelestarian TNGR, akan tetapi adanya desakan kebutuhan ekonomi keluarga menyebabkan tata nilai dan kearifan lokal dalam menjaga dan memelihara hutan TNGR mengalami benturan. Dalam hal ini tata nilai dan kearifan lokal cenderung semakin longgar karena adanya tuntutan kebutuhan ekonomi yang mendesak. Dengan demikian diperlukan alternatif kegiatan ekonomi produktif yang diharapkan dapat mengkompensasi penghasilan yang diperoleh dari hasil hutan terutama hasil hutan kayu.
Persepsi masyarakat terhadap keberadaan TNGR termasuk dalam kategori “sedang”. Meski demikian secara parsial persepsi terhadap manfaat fungsional dan manfaat keberadaan termasuk kategori “tinggi”. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat telah merasakan manfaat tidak langsung (manfaat fungsional) keberadaan TNGR sebagai pencegah banjir, longsor, dan pelindung dari badai.
Rata-rata penghasilan masyarakat di kawasan TNGR adalah sebesar Rp 507 839,- per bulan dimana lebih dari 30%-nya bersumber dari hasil hutan, sementara rata-rata pengeluaran sebesar Rp 513 533,- per bulan (68,15% diantaranya merupakan pengeluaran untuk kebutuhan makan). Pendapatan rumahtangga memiliki hubungan positif dengan partisipasi dalam pelestarian TNGR. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan (kesejaheraan ekonomi), maka semakin besar kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelestarian TNGR.
Berdasarkan potensi dan sasaran yang diinginkan, maka desain model pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan TNGR berkelanjutan adalah model yang menjamin keharmonisan antara masyarakat dengan TNGR yang disebut MAHAR-RINJANI (Masyarakat Harmonis dengan Hutan Rinjani). Ada 3 (tiga) alternatif model pemberdayaan yang dapat dilakukan, yaitu: (1) model yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan daya dukung TNGR dengan kegiatan: Arboretum Terpadu TNGR, Pendakian Berwawasan Lingkungan, dan Hutan Kompensasi; (2) model peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan kondisi daya dukung TNGR tetap lestari dengan kegiatan: Hutan Keluarga, Pemeliharaan Sapi, dan Pengembangan Usaha Kecil HHBK; dan (3) model yang khusus untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam pelestarian TNGR, yaitu Posko Pengaduan TNGR.
Hasil Analisis Hirarki Proses (AHP) dengan pertimbangan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya menunjukkan bahwa bentuk kegiatan yang menjadi prioritas adalah pengembangan ternak sapi dengan Sistem Pengkadasan Sapi Rinjani (SIDASARI). Dengan model ini selain dapat meningkakan pendapatan juga diarahkan untuk menghasilkan biogas yang dapat mengganti pengguaan kayu bakar. Setiap sasaran yang diberdayakan dengan memelihara 3 ekor sapi
tahun. Secara kumulatif selama 4 (empat) tahun pembinaan di seluruh kawasan TNGR (9 resort), jumlah pohon yang tidak ditebang untuk keperluan kayu bakar mencapai 1 258 – 4 355 pohon.
Pemberdayaan harus dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: tahap penyadaran, peningkatan kapasitas dan pendayaan yang diarahkan untuk menciptakan harmonisasi berkelanjutan antara masyarakat dengan Hutan Rinjani (TNGR). Pemberdayaan harus ditangani secara komprehensif menyangkut aspek ekonomi, sosial-budaya dan kelembagaan yang dilakukan melalui pendekatan partisipatif dan kolaboratif.
Akhirnya, berdasarkan kesimpulan dan temuan lapangan lainnya maka disarankan pemberdayaan dilakukan secara partisipatif dan berkesinambungan; bukan pendekatan proyek yang sifatnya parsial dan insidental. Dalam pelaksanaannya perlu koordinasi serta sinkronisasi program dan kegiatan antar dinas/instansi sehingga pemberdayaan terhadap masyarakat (kelompok sasaran) dapat dilakukan secara efektif dan komprehensif.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
DESAIN MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL
DALAM PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN
(Kasus Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok)
L. Sukardi
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi : DESAIN MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN
(Kasus Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok)
Nama : L. Sukardi
NIM : P061060011
Disetujui:
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A. Ketua
Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Hardjanto, M.S.
Anggota Anggota
Mengetahui:
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan (PSL)
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Pemguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Muladno, M.S.A.
2. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F.
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2008 ini adalah pemberdayaan
masyarakat, dengan judul Desain Model Pemberdayaan Masyarakat Lokal dalam
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (kasus : Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan
Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A.,
Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS., selaku pembimbing
yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penyusunan dan
penyempurnaan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. selaku Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) berserta segenap
jajarannya yang telah banyak membantu dan memfasilitasi penulis selama
menempuh pendidikan di SPs-IPB. Kepada Prof. Dr. Ir. Muladno, M.S.A. dan
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup,
serta Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc. dan Dr. Ir. Rosiady Husaini Sayuti, M.Sc.
selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka; juga disampaikan terima kasih.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Yayasan Dana
Sejahtera Mandiri (Damandiri) Jakarta, Universitas Mataram, dan Pemda
Kabupaten Lombok Timur atas bantuan dana penelitian yang diberikan.
Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Anwar, MP.,
Dr. Ir. Hirwan Hamidi, M.Si, Irson Widiantoro, SP., Dr. Ir. I. Ketut. Budastra, MRP,
Lalu Santawana, SP., Ir. Maskur, M.Si., Ir. Markum, M.Si., Ir. Ridwan, M.Si.,
Ir. I. Wy. Suadnya, M.Agr.Sc., Ph.D, Bapak Ir. M. Arief Toengkagie (Kepala Balai
TNGR) beserta staf Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Bapak Muhammad
Ridha Hakim, SP. (Direktur WWF Indonesia–Program Nusa Tenggara) dan
semua pihak yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data dan
informasi.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus secara khusus
disampaikan kepada kedua orang tua dan mertua, isteri (Hj. B. Karnawati, SH),
kakak dan adik, serta segenap keluarga atas doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Bogor, April 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lombok Timur pada tanggal 13 Maret 1964 sebagai
anak ketiga dari pasangan Lalu Durma (Alm) dan Hj. Baiq Mariati. Pendidikan
sarjana ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian
Universitas Mataram, lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1995, penulis diterima
di Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
(PWD) pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1997.
Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) pada Sekolah
Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan
pascasarjana diperoleh dari Ditjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional.
Penulis bekerja sebagai dosen tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram dari tahun 1990 sampai
sekarang. Bidang keahlian yang menjadi tanggung jawab penulis pada Jurusan
Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram adalah
bidang Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Ekonomi Sumberdaya Alam.
Berkenaan dengan penelitian disertasi, ada 2 judul karya tulis yang sudah
dihasilkan oleh penulis bersama tiga orang pembimbing dan telah memperoleh
persetujuan untuk diterbitkan pada jurnal ilmiah. Kedua karya tulis dimaksud
adalah: (1) Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Taman
Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Pulau Lombok; akan dimuat pada jurnal
“Agrimansion” (Jurnal Ilmiah Jurusan Sosial Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian UNRAM) Volume 10 No 1, April 2009, dan (2) Karakteristik
dan Faktor Penentu Interaksi Masyarakat Lokal dengan Taman Nasional Gunung
Rinjani Pulau Lombok; akan dimuat pada jurnal “Agroteksos” (Jurnal Ilmiah
Ilmu Pertanian Fakultas Pertanian UNRAM) Tahun 2009. Saat ini sedang
dipersiapkan 2 judul lainnya untuk diterbitkan pada jurnal ilmiah,
masing-masing: (1) Alternatif Model Pemberdayaan Masyarakat Lokal Dalam
Pengelolaan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Pulau Lombok, dan (2)
Pengembangan Model Pemberdayaan Prioritas Dalam Pengelolaan Taman
Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Pulau Lombok.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ………... viii
I. PENDAHULUAN ………... 1
1.1 Latar Belakang .………... 1
1.2 Tujuan Penelitian ... 6
1.2.1 Tujuan Umum ... 6
1.2.2 Tujuan Khusus ... 6
1.3 Kerangka Pemikiran ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 11
1.5 Kebaruan (Novelty) ... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA ………... 12
2.1 Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan ... 12
2.1.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat ……….…………... 12
2.1.2 Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan di Lingkar Rinjani ... 16
2.1.3 Pemberdayaan Masyarakat pada Kawasan Hutan di Mancanegara ... 18
2.2 Pengelolaan Hutan Berkelanjutan ……..……….………... 21
2.2.1 Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 22 2.2.2 Pengelolaan Kehutanan di Era Otonomi Daerah ... 27
2.3 Konsep dan Keberadaan Taman Nasional ... 29
2.3.1 Konsep/Pengertian Taman Nasional ... 29
2.3.2 Fungsi dan Sistem Pengelolaan Taman Nasional ... 30
2.3.3 Potensi dan Persebaran Taman Nasional di Indonesia ….... 34
2.4 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Hutan ... 36
2.5 Persepsi dan Partisipasi ………. 40
2.5.1 Persepsi ……….. 40
2.5.2 Partisipasi ……… 42
III. METODE PENELITIAN ……….………... 45
3.1 Lokasi Penelitian ……... 45
3.2 Desain Penelitian ... 46
3.3 Rancangan Penelitian ... 49
3.3.1 Metode Pengumpulan Data ... 49
3.3.2 Teknik Penentuan Contoh, Responden dan Pakar ... 50
3.3.3 Variabel Penelitian ... 51
3.3.4 Jenis dan Sumber Data ... 52
IV. GAMBARAN UMUM TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI ... 65
4.1 Letak dan Luas ... 65
4.2 Zonasi Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Rinjani ... 67
4.3 Potensi Taman Nasional Gunung Rinjani ... 73
4.3.1 Flora dan Fauna ……… 73
4.3.2 Vegetasi Taman Nasional Gunung Rinjani ……….. 74
4.4 Permasalahan Pokok Taman Nasional Gunung Rinjani ... 78
4.4.1 Permasalahan Pokok Berkenaan dengan Kondisi Biofisik TNGR ……….. 78
4.4.2 Permasalahan Pokok Berkenaan dengan Pengelolaan TNGR ……….. 81
4.5 Perkembangan Kondisi Biofisik Taman Nasional Gunung Rinjani 83 V. INTERAKSI MASYARAKAT DENGAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI (TNGR) ……… 86
5.1 Bentuk dan Jenis Interaksi ... 86
5.2 Frekwensi Interaksi ... 93
5.3 Faktor-faktor Penentu Interaksi ... 95
5.4 Intisari untuk Pemberdayaan ………. 99
VI. PERSEPSI DAN PENILAIAN EKONOMI MASYARAKAT TERHADAP TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI (TNGR) ………. 100
6.1 Persepsi Masyarakat terhadap Keberadaan Hutan Rinjani (Taman Nasional Gunung Rinjani) ... 100
6.2 Penilaian Ekonomi Masyarakat terhadap Sumberdaya Hutan …… 105
6.3 Intisari untuk Pemberdayaan ………. 109
VII. HUBUNGAN PENDAPATAN RUMAHTANGGA DENGAN PARTISIPASI DALAM PELESTARIAN HUTAN ……… 111
7.1 Struktur Pendapatan Rumahtangga ... 111
7.2 Struktur Pengeluaran Rumahtangga ... 115
7.3 Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Rumahtangga ... 116
7.4 Upaya Pelestarian Hutan ... 119
7.4.1 Tata Nilai dan Kearifan Lokal dalam Pelestarian Hutan ... 119
7.4.2 Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan TNGR ……….. 123
7.4.3 Hubungan Pendapatan dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan TNGR ... 125
7.4.4 Partisipasi LSM dalam Pengelolaan TNGR ... 126
7.5 Intisari untuk Pemberdayaan ………. 128
VIII. MODEL DAN STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI (TNGR) ... 129
8.1 Kegiatan Ekonomi Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Gunung Rinjani ……… 129
8.2 Potensi Biofisik Kawasan ... 136
8.2.1 Kawasan TNGR ………. 136
8.2.2 Kawasan Penyangga (Sekitar) TNGR ………... 140
8.3 Evaluasi Keberhasilan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di Kawasan Hutan Rinjani ... 141
8.5 Model Pemberdayaan ………. 146
8.5.1 Alternatif Model Pemberdayaan ……….. 146
8.5.2 Prioritas Model Pemberdayaan ………... 169
8.5.3 Pengembangan Model Prioritas ……….. 178
8.6 Strategi Pemberdayaan ... 191
8.7 Lembaga Pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani ... 195
8.8 Pembiayaan untuk Pemberdayaan ... 202
IX. SIMPULAN DAN SARAN ... 204
9.1 Simpulan ... 204
9.2 Saran ... 205
DAFTAR PUSTAKA ………... 207
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Perkembangan Luasan Kawasan Taman Nasional di Indonesia ... 34
2 Perincian Total Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan ... 38
3 Matrik Hubungan Keterkaitan antara CV dan EV dengan Perubahan Lingkungan ... 38
4 Jenis dan Sumber Data Menurut Variabel dan Parameter Penelitian 53
5 Jenis dan Nilai Ekonomi Hasil Hutan yang Diambil/Diekstraksi
Masyarakat dari Hutan ... 56
6 Obyek dan Butir-butir Penilaian Persepsi Masyarakat terhadap Hutan
TNGR ……….. 57
7 Obyek dan Butir-butir Penilaian Partisipasi Masyarakat dalam
Pengelolaan Hutan TNGR ……….. 60
8 Skala Perbandingan Berpasangan Dalam Penilaian Elemen-elemen Suatu Hirarki ... 64
9 Luas, Lokasi dan Karakteristik Masing-masing Zona TNGR ... 70
10 Kriteria Penetapan Zonasi TNGR ... 71
11 Hasil Kegiatan Inventarisasi dan Identifikasi Flora dan Fauna
Di Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani ………. 74
12 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis dan Lokasi Interaksi ... 88
13 Perkembangan Harga Tiket untuk Pendakian di TNGR ……… 90
14 Alokasi Penggunaan/Distribusi Dana Tiket Pendakian TNGR ……….. 91
15 Rata-rata Frekwensi Responden Berinteraksi dengan Hutan
Dirinci Menurut Jenis dan Lokasi Interaksi ... 93
16 Besarnya Koefisien Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Interaksi Masyarakat untuk Mengambil Hasil Hutan Kayu ……… 96
17 Distribusi Responden Berdasarkan Penilaian terhadap Manfaat
Keberadaan TNGR ... 101
18 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Persepsinya terhadap
Keberadaan TNGR ………... 103
19 Tanggapan Responden terhadap Pentingnya Penilaian Ekonomi
20 Distribusi Responden Berdasarkan WTP dan WTA di Kawasan
TNGR ... 107
21 Nilai Koefisien Korelasi Spearman antara WTP dengan Variabel
Lainnya ………... 109
22 Struktur dan Rata-rata Nilai Pendapatan Rumahtangga di Kawasan TNGR ... 112
23 Struktur dan Rata-rata Nilai Pengeluaran Rumahtangga di Kawasan TNGR ... 115
24 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Partisipasinya dalam
Pengelolaan TNGR ... 125
25 Nilai Koefisien Korelasi Spearman antara Pendapatan dengan
Partisipasi dalam Pengelolaan Hutan ………... 126
26 Potensi Zona Taman Nasional Gunung Rinjani untuk Pemberdayaan Masyarakat ……… 138
27 Model-model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR ………. 149
28 Deskripsi Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR …… 166
29 Jenis dan Volume Beberapa Jenis Kayu Menurut Umur ………... 184
30 Luas Lahan yang Dibutuhkan Setiap Peternak (3 ekor Sapi) untuk
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka Pemikiran ... 10
2 Mekanisme Dampak Pembangunan Terhadap Masyarakat ... 24
3 Kondisi EV dan CV untuk Kualitas yang Semakin Buruk ... 39
4 Peta Lokasi Penelitian ………. 46
5 Struktur Tujuan, Metode, Variabel, Analisis, dan Output/Hasil Penelitian ………... 48
6 Matrik Skenario Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR ... 62
7 Struktur Analisis Hirarki Proses (AHP) Model Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Gunung Rinjani ... 63
8 Pembagian Zonasi TNGR ... 69
9 Profil Sistem Pemanfaatan Ruang di Hutan Rinjani ... 77
10 Perkembangan Tataguna Lahan Kawasan TNGR ... 84
11 Perkembangan Kerapatan Vegetasi TNGR ... 85
12 Perkembangan Jumlah Pendaki ke Danau Segara Anak dan/atau Puncak Rinjani melalui Jalur Pendakian Resmi Sembalun dan Senaru 89 13 Kontribusi Masing-masing Kegiatan terhadap Penerimaan Rumahtangga dari Luar Kehutanan ……….. 114
14 Hubungan antara Keranjang Konsumsi dan Pendapatan Rumahtangga di Kawasan TNGR ………. 118
15 Aktivitas Ekonomi Masyarakat di Sekitar TNGR ………. 129
16 Distribusi Populasi Ternak pada Setiap Desa di Sekitar TNGR ……... 132
17 Tataguna Lahan di Sekitar TNGR ………. 141
18 Kerangka Penyusunan Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Penyangga TNGR ……….. 147
19 Kemitraan Terpadu Usaha Kecil HHBK ... 164
21 Bobot Masing-masing Kriteria dan Sub Kriteria Penentuan Prioritas Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR ……….. 170
22 Urutan Prioritas Pemberdayaan dan Kontribusi Sub Kriteria pada
Setiap Kriteria Penilaian ……….. 172
23 Prioritas Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR …. 173
24 Kontribusi Masing-masing Kriteria pada Setiap Kegiatan
Pemberdayaan ………. 173
25 Urutan Prioritas Kegiatan Pemberdayaan pada Masing-masing Sub Kriteria ……… 174
26 Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar TNGR melalui Kegiatan Pemeliharaan Sapi dengan Pendekatan Sistem Pengkadasan Sapi Rinjani (SIDASARI) ……….. 185
27 Estimasi Perkembangan Jumlah Kumulatif Sapi yang Dimiliki
Peternak Sasaran Selama Masa Pembinaan ……….. 188
28 Perkembangan Jumlah Pohon yang Dapat Diselamatkan (Tidak Ditebang) sebagai Hasil Komversi Penggunaan Kayu Bakar ke
Biogas ………. 190
29 Pelaku dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat Sekitar TNGR …… 194
30 Struktur Organisasi Balai TNGR ……… 196
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Grafik Nilai Manfaat Ekonomi Jasa Pariwisata Alam di TNGR
Terhadap Ekonomi Internasional, Nasional dan Lokal ... 216
2 Kondisi Neraca Air DAS di Pulau Lombok ... 217
3 Kondisi Debit Air di SSWS Dodokan dan Menanga, Tahun 2000 dan 2003 ... 217
4 Desa-desa Sekitar Hutan Rinjani ... 218
5 Topografi Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani ... 219
6 Peta Hidrologi Taman Nasional Gunung Rinjani ... 220
7 Luas DAS dan Sub DAS yang Tercakup dalam Kawasan TNGR ... 221
8 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Penutupan Lahan TNGR, Tahun 1997 ……… 222
9 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Penutupan Lahan TNGR, Tahun 2002 ……… 222
10 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Penutupan Lahan TNGR, Tahun 2006 ……… 223
11 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Kerapatan Vegetasi TNGR, Tahun 1997 ………... 223
12 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Kerapatan Vegetasi TNGR, Tahun 2002 ………... 224
13 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Kerapatan Vegetasi TNGR, Tahun 2006 ………... 224
14 Hasil Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Masyarakat dengan Hutan ... 225
15 Jumlah Rumahtangga di Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani Menurut Penggunaan Bahan Bakar ... 226
16 Desa-desa yang Telah Mendapatkan Kegiatan Pembinaan Daerah Penyangga oleh Taman Nasional Gunung Rinjani ... 228
17 Perkembangan Jumlah Sapi untuk Pemberdayaan pada 9 Resort TNGR ……….. 229
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberadaan dan peran sumberdaya hutan sangat erat dengan kehidupan
umat-manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Nilsson (1996) dalam Suhendang
(2002) mengelompokkan macam-macam fungsi hutan, yaitu sebagai berikut: (1)
menghasilkan kayu industri (industrial wood), untuk papan, kertas, kemasan, dan
lain-lain; (2) menghasilkan kayu bakar dan arang (fuel wood and charcoal); (3)
menghasilkan hasil hutan bukan kayu (non-wood forest products, NWFPs); (4)
menyediakan lahan untuk pemukiman manusia (human settlement); (5) menyediakan
lahan untuk pertanian (agriculture land); (6) memberikan perlindungan terhadap
siklus air dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pengendalian erosi (watershed
protection and erosion control); (7) tempat penyimpanan karbon (carbon storage); (8)
pemeliharaan keanekaragaman hayati dan habitat (biodiversity and habitat
preservation); dan (9) obyek ekoturisme dan rekreasi alam (ecotourism and
recreation).
Persoalan yang dihadapi dalam perkembangan selanjutnya seringkali
keberadaan dan manfaat hutan direduksi nilainya hanya dalam perspektif
ekonomi. Nilai ekosistem hutan yang beragam telah banyak mengalami
pengabaian sehingga apresiasi nilainya hanya diukur dari potensi kayu (timber).
Sementara potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan yang
sangat besar dalam menunjang sistem kehidupan masyarakat cenderung diabaikan.
Perannya sebagai penyangga keberlanjutan ekosistem dalam bentuk pengatur tata
air kini sangat dirasakan tatkala lingkungan mengalami disfungsi ekosistem dengan
terjadinya banjir bandang dan tanah longsor di musim hujan serta bencana
kekeringan di musim kemarau. Kearifan nenek moyang beserta seluruh generasi
pendahulu dalam memandang hutan dan lingkungannya seyogyanya dapat
diwariskan kepada segenap generasi penerus agar sumber daya hutan beserta
seluruh fungsinya dapat terjaga keberlanjutannya.
Pengeksploitasian hutan harus dapat dilihat dari segi jumlah sumberdaya
tersedia, yang sifatnya terbatas dan baru dapat dihasilkan kembali dalam waktu
yang relatif lama, misalnya memerlukan rotasi 30-60 tahun untuk dipanen
(ditebang) kembali. Keadaan ini sesuai dengan salah satu ciri hutan yaitu one
way flexibility, sekali diputuskan untuk dirubah maka tidak mungkin lagi dalam
membutuhkan waktu panjang. Hal ini berarti penebangan dan pengkonsumsian
saat ini akan berakibat pada ketersediaan barang sumberdaya tersebut di
kemudian hari (sebelum masa rotasi kedua tiba). Dengan perkataan lain akan
ada biaya alternatif (opportunity cost), yaitu nilai sumberdaya hutan yang dapat
diperoleh pada masa yang akan datang. Biaya alternatif ini harus diperhitungkan
dalam menentukan bagaimana pengalokasian sumberdaya hutan agar dapat
dikelola sepanjang waktu (optimal sustainable yield)
Di Indonesia, salah satu masalah lingkungan yang paling serius, bahkan
sudah sangat mengkhawatirkan adalah terjadi gangguan (kerusakan) pada
ekosistem hutan. Penyebabnya sangat beragam, mulai dari kegiatan yang
disengaja seperti penebangan liar (illegal logging), hingga sesuatu hal yang
berada diluar kemampuan manusia. Akan tetapi, dari sekian banyak faktor
penyebab tersebut, bentuk-bentuk eksploitasi sumber daya hutan yang
akhir-akhir ini semakin nyata dan meluas merupakan faktor utama yang paling
dominan. Bahkan keadaan ini telah mengarah kepada kekerasan lingkungan
yang oleh Hardin (1968) disebut ”The Tragedy of the Commons”.
Data dari Forest Watch Indonesia (2003) menunjukkan bahwa laju
kerusakan hutan di Indonesia semakin memperihatinkan, yaitu telah mencapai
2,4 juta hektar per tahun. Dari 130 juta hektar luas tutupan hutan Indonesia,
sekitar 72% hutan asli Indonesia hilang. Bahkan dari 28% yang tersisa ini, 25%
diantaranya atau sekitar 30 juta hektar dalam kondisi rusak parah. Pembangunan
hutan melalui Gerakan Rehabilitasi Hutan Nasional (GRHN) yang berjangka
waktu lima tahun hanya mampu menyelamatkan 1,5 juta hektar, sementara itu
kerusakan hutan dalam lima tahun mencapai 12 juta hektar sehingga 10,5 juta
hektar terabaikan.
Pada era otonomi daerah, laju kerusakan sumberdaya hutan justru
mengalami peningkatan. Rhiti (2005) mengungkapkan bahwa pada tiga tahun
era otonomi daerah (2001 – 2003), kerusakan meningkat menjadi 3,7 juta hektar
per tahun (laju kerusakan tercepat di dunia). Sementara itu, Iskandar dan
Nugroho (2004) menegaskan bahwa laju kerusakan hutan selama lima tahun
terakhir (1999 – 2003) mengalami peningkatan, yaitu 3,8 juta ha per tahun dari
keadaan sebelumnya, yaitu kurang dari 2 juta hektar per tahun.
Keadaan hutan di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak jauh
berbeda kondisinya dengan keadaan hutan di Indonesia secara umum. Dari
3
diantaranya telah menjadi lahan kritis. Tingkat kerusakan hutan tertinggi terjadi di
dua kabupaten, yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Sumbawa dengan
masing-masing tingkat kerusakan sebesar 35,64% (56 797,60 ha) dan 32,08%
(51 124,90 ha) (Dinas Kehutanan Propinsi NTB, 2005).
Sampai dengan tahun 2002 pengelolaan hutan masih belum mampu
memperbaiki kondisi hutan secara signifikan; kecuali menahan atau mengurangi
laju kecepatan kerusakan hutan. Selama periode 7 tahun (1998-2004) kerusakan
hutan di Propinsi NTB mengalami peningkatan dari 78 000 ha menjadi 159 000
ha (rata-rata 13 500 ha/tahun). Meningkatnya kerusakan hutan tersebut banyak
disebabkan oleh gangguan keamanan hutan seperti penebangan liar (illegal
logging) dan perambahan hutan.
Demikian pula halnya dengan Kawasan Hutan Rinjani (125 200 ha)
termasuk Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) telah banyak mengalami
kerusakan. Hasil penafsiran citra landsat ETM 7 Tahun 2002, serta identifikasi
kawasan hutan menunjukkan adanya penurunan dalam penutupan vegetasi dan
cenderung memperluas lahan kritis dalam kawasan hutan. Padahal, kawasan
Hutan Rinjani (khususnya TNGR) memiliki fungsi sangat vital dalam mendukung
kehidupan masyarakat di Pulau Lombok.
Data dari Dephut RI (2006) menunjukkan hampir seluruh pasokan air di
Pulau Lombok (sekitar 90%) baik untuk keperluan air bersih maupun irigasi
bersumber dari kawasan ini. Manfaat lain dari keberadaan Hutan Rinjani
(khususnya TNGR) berupa stabilisasi iklim, habitat vegetasi dan satwa maupun
mempertahankan siklus hara tanah. Selain itu, TNGR juga memiliki potensi
ekonomi yang cukup penting, yakni berupa aset pariwisata alam (jasa
lingkungan). Dampak pengembangan pariwisata kawasan TNGR terhadap
perekonomian daerah adalah sangat tinggi. Hasil estimasi manfaat ekonomi jasa
pariwisata TNGR dapat memberikan konstribusi pada perekonomian
internasional, nasional dan lokal pada lima tahun terakhir sebesar Rp 7 765 miliar
(2001-2005). Nilai manfaat tersebut dari tahun ke tahun cenderung mengalami
peningkatan (Lampiran 1).
Efek kerusakan Hutan Rinjani sudah terasa beberapa tahun terakhir.
Markum et al. (2004) menegaskan bahwa rusaknya sumberdaya hutan
mengakibatkan hilangnya sejumlah sumber mata air. Data Bappeda NTB
menunjukkan bahwa pada tahun 1985 di seluruh wilayah Propinsi Nusa
202 titik dimana 40 titik diantaranya dalam keadaan mati suri. Jadi dalam waktu
15 tahun, NTB telah kehilangan 440 titik mata air. Begitu pula dengan Kawasan
Hutan Rinjani, dari ratusan lokasi sumber mata air, kini hanya tinggal 85 lokasi.
Indikasi lain dari dampak kerusakan Hutan Rinjani tercermin dari kecenderungan
penurunan potensi air bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berhulu di
Kawasan Hutan Rinjani; sementara kebutuhan masyarakat terus meningkat
sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Kondisi neraca dan debit air di
beberapa DAS Pulau Lombok dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3.
Hasil penelitian WWF-Program Nusa Tenggara (2002a) menyimpulkan
ada 7 (tujuh) jenis gangguan penyebab kerusakan Kawasan Hutan Rinjani, yaitu:
(1) Pencurian hasil hutan kayu; (2) Penyerobotan kawasan; (3) Kebakaran hutan;
(4) Penggembalaan sapi secara liar; (5) Pengotoran lingkungan dan vandalisme;
(6) Perburuan liar; dan (7) Pembuatan arang untuk pandai besi. Lebih lanjut
dikatakan bahwa nilai kerugian finansial akibat gangguan (1), (2), dan (3)
mencapai sebesar Rp 4,5 milyar/th. Sementara itu nilai benefit bersih yang akan
diperoleh jika Kawasan Rinjani dilestarikan adalah sebesar Rp 5.178,159
milyar/th.
Berkenaan dengan Kawasan Hutan TNGR, meningkatnya kerusakan
hutan banyak disebabkan oleh gangguan keamanan hutan. Laporan Balai
Taman Nasional Gunung Rinjani (2007) menunjukkan berbagai gangguan yang
terjadi di kawasan TNGR, yaitu : penebangan liar (illegal logging), perambahan
hutan, pembuatan arang, pengambilan kayu bakar, dan perburuan satwa.
Penyebab ganguan tersebut antara lain adalah kemiskinan masyarakat di
dalam dan sekitar hutan. Selama ini ada keyakinan bahwa antara kemiskinan
dan kerusakan hutan memiliki hubungan sebab akibat. Hutan rusak akibat
masyarakat miskin, dan ada anggapan-anggapan lain yang cenderung
menempatkan masyarakat miskin sebagai pihak yang patut disalahkan. Hasil
penelitian WWF-Program Nusa Tenggara (2002b) di Desa Sesaot - Lombok
Barat, Desa Setiling - Lombok Tengah, dan Desa Gawah Akar- Lombok Timur
menunjukkan bahwa masalah kemiskinan dan kerusakan hutan masih terkait
walaupun dalam tingkatan yang jauh lebih terbatas bila dibandingkan dengan laju
kerusakan yang diakibatkan oleh berbagai perubahan kebijakan. Misalnya, ijin
pemanfaatan kayu limbah (kayu sisa tebangan, kayu mati berdiri, dan kayu
terkena penyakit) yang dikeluarkan Pemerintah NTB, telah memicu penebangan
5
dari 800 ha hutan dibabat habis (Markum et al. 2004). Begitu pula halnya dengan
kebijakan otonomi daerah yang menetapkan kawasan hutan sebagai salah satu
sumber penerimaan daerah secara tidak langsung dapat memicu penebangan
liar (illegal logging).
Di kawasan Hutan Rinjani Pulau Lombok, sekitar 70% dari 600 ribu jiwa
penduduk termasuk kategori miskin (WWF-Indonesia 2006). Temuan lebih lanjut
di lokasi ini menunjukkan bahwa masyarakat miskin semakin dimarjinalkan oleh
kebijakan yang tidak konsisten dan ketidakadilan sosial. Untuk itu, kegiatan
konservasi yang dilakukan WWF-Indonesia juga diwujudkan dengan memperkuat
masyarakat miskin dan marjinal di sektar kawasan konservasi dalam mengelola
sumberdaya alam secara lestari bagi kesejahteraan mereka (Wulandari et al.
2006).
Dengan demikian keberadaan masyarakat telah dianggap sebagai
komponen yang tidak bisa diabaikan dalam kerangka perlindungan dan
pemanfaatan hutan. Selama ini keterlibatan masyarakat lokal dalam perlindungan
dan pelestarian hutan dilakukan melalui pengelolaan hutan adat oleh
lembaga-lembaga adat dengan berbagai bentuk kearifan lokal. Salah satu bentuk
kelembagaan lokal di Kawasan Hutan Gunung Rinjani yang eksis dalam
pengelolaan hutan adalah Lembaga Adat Bayan. Dalam hubungannya dengan
hutan, Lembaga Adat Bayan telah menciptakan aturan-aturan tertentu (bahasa
setempat “awig-awig”) mengenai pola hubungan masyarakat dengan hutan. Bentuk
aturan tersebut antara lain berupa larangan melakukan eksploitasi hutan bagi
kepentingan pribadi, pembakaran, perburuan satwa, menggembalakan ternak,
perbuatan amoral, mencemari sumber air dan lain-lain perbuatan yang merugikan
kepentingan bersama di areal hutan adat. Penegakan sanksi adat dalam hal ini
sangat ketat dan didukung oleh kepatuhan serta kesadaran warga masyarakat.
Fungsi vital hutan sebagai sumber mata air utama juga sangat disadari oleh warga
masyarakat setempat.
Upaya pengelolaan hutan yang telah dilakukan di kawasan Hutan Rinjani
adalah melalui Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM).
Tujuan utama dari program ini adalah pelestarian sumberdaya hutan dengan
melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan sekaligus meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan mereka. Implementasi PHBM di Lingkar Rinjani ini
dilaksanakan dalam berbagai bentuk, yaitu Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
Penanaman Bawah Tegakan (PBT). Hasil dari penerapan program PHBM ini
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar 25-30 %, namun upaya
rehabilitasi hutan yang dilakukan belum menunjukkan hasil yang nyata,
mengingat jenis tanaman kayu-kayuan baru akan menampakan hasilnya dalam
jangka waktu yang lama.
Berdasarkan kondisi dan kompleksitas persoalan seperti diuraikan di
atas, maka perlu dilakukan penelaahan dan kajian secara komprehensif
berkenaan dengan upaya menjaga kelestarian daya dukung sumberdaya hutan
(khususnya TNGR). Karena itu perlu didesain model pemberdayaan masyarakat
lokal yang berdomisili di sekitar kawasan hutan dalam rangka pengelolaan hutan
berkelanjutan yang dilandasi prinsip keadilan inter dan antar generasi dengan
menekankan integrasi pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi secara
proporsional.
1.2 Tujuan Penelitian
1.2.1 Tujuan Umum
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan desain
model pemberdayaan masyarakat lokal (masyarakat yang berdomisili di sekitar
kawasan hutan) dalam pengelolaan hutan (TNGR) berkelanjutan.
1.2.2 Tujuan Khusus
Secara spesifik, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Menelaah bentuk dan faktor-faktor penentu interaksi masyarakat dengan
hutan khususnya kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR)
Pulau Lombok
2. Mengkaji persepsi dan penilaian ekonomi masyarakat lokal terhadap
sumberdaya hutan (TNGR)
3. Menganalisis hubungan antara pendapatan dengan partisipasi masyarakat
dalam pelestarian sumberdaya hutan (TNGR)
4. Merumuskan model dan strategi pemberdayaan masyarakat lokal dalam
7
1.3 Kerangka Pemikiran
Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) merupakan salah satu kawasan
konservasi dan merupakan potensi pembangunan NTB yang ditetapkan dengan
tujuan utama mempertahankan siklus hidrologi dan iklim mikro Pulau Lombok
(mengingat 90% sungai di Pulau Lombok berhulu di TNGR), mempertahankan
sumber plasma nutfah serta habitat berbagai jenis flora dan fauna tropika yang
beberapa diantaranya termasuk golongan endemik (FAO 1981; Dinas Kehutanan
NTB 1997). Dilihat dari tujuan penetapan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
TNGR mempunyai peranan vital bagi sistem ekologis Pulau Lombok. Kerusakan
atau degradasi kawasan TNGR akan berdampak negatif pada sistem ekologi Pulau
Lombok dan selanjutnya akan mempengaruhi keadaan sosial ekonomi dan sosial
budaya masyarakat ke arah negatif.
Keberadaan TNGR selain memberikan manfaat fisik (hidrologis,
stabilisasi iklim, habitat vegetasi dan satwa maupun mempertahankan
siklus/degradasi hara tanah), juga memiliki potensi yang penting ditinjau dari sisi
sosial ekonomi budaya masyarakat (kayu, padang penggembalaan, lahan
pertanian, tanaman buah, aset pariwisata alam dan pendidikan). Namun
demikian dalam pengelolaan saat ini masih dijumpai beberapa permasalahan
pokok yang merupakan potensi konflik (Abas 2005).
Dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Gunung Rinjani
Tahun 1998–2023 dinyatakan bahwa issu konflik dalam pengelolaan kawasan
TNGR terdiri atas permasalahan kawasan yakni perambahan hutan, pencurian
kayu, perburuan liar, penggembalaan ternak maupun tumpang tindih kawasan
untuk kepentingan lain (jalan raya) dan permasalahan pengelolaan yang terdiri
dari masalah institusional, sumberdaya manusia, sarana/prasarana, database
yang minim, pendanaan maupun masalah teknis lainnya (Dinas Kehutanan Dati I
NTB 1997).
Berkenaan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka kerangka
pemikiran dalam penyusunan model pemberdayaan masyarakat di sekitar TNGR
didasarkan pada dua sasaran utama, yaitu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan mempertahankan kelestarian daya dukung sumberdaya hutan
TNGR. Untuk itu dilakukan telaahan komprehensif terhadap aspek biofisik, sosial
ekonomi, dan kelembagaan TNGR.
Pada aspek kelembagaan dilakukan evaluasi kebijakan menyangkut
pengelolaan serta akses masyarakat terhadap TNGR. Pada aspek biofisik dikaji
perubahan biofisik TNGR berkenaan dengan terjadinya interaksi masyarakat.
Sementara itu untuk aspek sosial ekonomi, dilakukan kajian terhadap
masyarakat lokal dengan segala entitasnya, menyangkut ekonomi, sosial, dan
kelembagaan masyarakat.
Bagi masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan (khususnya
para petani yang berlahan sempit), salah satu andalan sumber penghasilan
rumahtangga adalah dari berbagai bentuk hasil hutan. Dapat diduga bahwa
ketergantungan dan interaksi masyarakat dengan hutan pada awalnya
didasarkan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar. Akan tetapi dengan
berbagai perkembangan dan globalisasi informasi, memicu terjadinya
transformasi sosial ekonomi (termasuk masyarakat di sekitar kawasan hutan).
Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan pola fikir dan pola tindak dari
masyarakat (termasuk gaya hidup). Semua ini tentunya akan berimplikasi
terhadap upaya pemenuhan kebutuhan yang tidak hanya primer, tetapi juga
sekunder dan tersier. Jika kebutuhan ini tidak dapat ditutupi oleh penghasilan
keluarga dari sumber luar kehutanan, maka akan mengakibatkan tekanan yang
semakin berat terhadap sumberdaya hutan. Artinya, eksploitasi sumberdaya
hutan akan semakin meningkat.
Di satu sisi ketergantungan terhadap keberadaan hutan akan menjadi
insentif bagi masyarakat untuk memeliharanya; didasarkan pada berbagai
kearifan lokal yang diyakini secara turun temurun. Namun di sisi lain, akibat
desakan kebutuhan yang semakin meningkat serta adanya faktor-faktor lain
justru akan menjadi pemicu perambahan hutan. Peraturan perundangan yang
berlaku memang memberikan akses kepada masyarakat untuk ikut serta dalam
pengelolaan hutan (termasuk memanfaatkan hasil hutan), namun harus
mematuhi berbagai ketentuan dan rambu-rambu yang berlaku.
Dengan demikian, adanya akses dan peluang yang tersedia serta
tuntutan berbagai kebutuhan menjadi pemicu bagi masyarakat lokal dengan
segala entitasnya untuk berinteraksi (motif ekonomi) dengan kawasan hutan.
Disamping itu, faktor eksternal yang mendorong tinggi rendahnya interaksi
masyarakat dengan kawasan hutan (dalam rangka pengambilan hasil hutan
berupa kayu) diduga disebabkan permintaan kayu (terutama untuk keperluan
bangunan) terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan jumlah
9
pemotong kayu (chain saw) akan sangat membantu dan memudahkan
masyarakat untuk menebang kayu hutan dengan ukuran dan kapasitas yang jauh
lebih besar. Kenyataan ini menjadi pemicu terjadinya eksploitasi sumberdaya
hutan secara berlebihan tanpa mempertimbangkan daya regenerasinya sehingga
pada akhirnya akan menimbulkan degradasi.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan pengkajian secara
cermat dan komprehensif guna merumuskan model pemberdayaan masyarakat
lokal di sekitar kawasan hutan. Dalam hal ini model yang dirumuskan
disesuaikan dengan karakteristik spasial masing-masing lokasi (spesifik lokasi)
dengan mempertimbangkan aspek biofisik, kelembagaan, dan sosial ekonomi
masyarakat. Selanjutnya akan disusun sebuah model yang berlaku secara umum
untuk semua lokasi; didasarkan pada nilai-nilai (virtue) yang berlaku secara
umum. Secara rinci kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
TAMAN NASIONALGUNUNG RINJANI (TNGR)
MODEL-MODEL PEMBERDAYAAN MASY. LOKAL
BIOFISIK SOSEK
KELEMBAGAAN
EKONOMI SOSIAL KELEMBAGAAN
ASET RT
- Perub Tataguna Lahan - Perub Kerapatan Vegetasi
11
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan dengan model
pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang
didasarkan pada tingkat perekonomian rumahtangga dan penilaian ekonominya
terhadap sumberdaya hutan. Selain itu output penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan dasar bagi para pengambil kebijakan dan stakeholders lainnya dalam
rangka pemberdayaan masyarakat untuk pengelolaan hutan berkelanjutan.
1.5 Kebaruan (Novelty)
Nilai kebaruan (Novelty) dari penelitian ini terletak pada pendekatan yang
digunakan dalam penyusunan model pemberdayaan masyarakat lokal
(masyarakat di sekitar kawasan hutan TNGR). Dalam pendekatan penyusunan
model mempertimbangkan secara komprehensif faktor penentu interaksi,
persepsi dan penilaian masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Selain itu juga
mempertimbangkan atau memperhitungkan seberapa besar tingkat pendapatan
2.1 Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan
2.1.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Secara sederhana, konsep pemberdayaan mengacu kepada kemampuan
masyarakat untuk mendapat akses dan kontrol atas sumber-sumber hidup yang
penting. Konsep pemberdayaan merupakan konsep baru, mulai dikaji secara
mendalam sejak dekade 70-an, berkembang terus sampai sekarang. Belum ada
gambaran yang memuaskan tentang konsep empowerment sampai saat ini.
Konsep pemberdayaan (empowerment) berkembang sejak lahirnya gerakan
Eropa modern pada pertengahan abad 18, di mana muncul gelombang pemikiran
baru yang menentang kekuasaan mutlak dari agama (gereja dan raja). Dalam
perjalannya sampai kini telah mengalami proses dialektika dan akhirnya
menemukan konsep ke masa kini-an, yang telah umum digunakan di berbagai
negara (Riyanto 2005).
Konsep pemberdayaan pada dasarnya dibangun dari ide yang
menempatkan manusia sebagai subyek dari dunianya sendiri. Terdapat dua
kecenderungan proses pemberdayaan, yaitu: Pertama adalah proses
pemberdayaan yang menekankan ke proses memberikan atau mengalihkan
sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar
individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dilengkapi dengan upaya membangun
asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui
organisasi. Kecenderungan proses dapat pula disebut sebagai kecenderungan
primer dari makna pemberdayaan. Kedua adalah kecenderungan sekunder yang
lebih menekankan melalui proses dialog. Kecenderungan ini terkait dengan
kemampuan individu untuk mengontrol lingkungannya. Agar kecenderungan
primer dapat terwujud, maka harus melalui kecenderungan sekunder terlebih
dahulu. Pemberdayaan juga berarti pembagian kekuasaan yang adil (equitabel
sharing of power) sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan
kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses
dan hasil-hasil pembangunan. Sedang dari perspektif lingkungan, pemberdayaan
mengacu pada pengamanan akses terhadap sumber daya alami dan
pengelolaannya secara berkelanjutan (Dirjen PHKA 1999 dalam Rianto 2005).
Rapport (1984), mengemukakan bahwa pemberdayaan (empowerment)
13
kelembagaan (organisasi) sehingga mampu menguasai atau berkuasa untuk
menentukan arah kehidupannya. Sementara itu Haeruman dan Eriyatno (2001)
menekankan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya merupakan upaya untuk
menjamin hak-hak masyarakat dalam mengatur hidupnya. Ini berarti juga
penciptaan suatu iklim yang kondusif agar masyarakat dapat mendayagunakan
sumberdaya yang tersedia dan potensi masyarakat secara optimal untuk
meningkatkan kesejahteraan, martabat, dan keberadaannya dalam kehidupan
bermasyarakat. Lebih lanjut Chambers (1987) menegaskan bahwa paradigma
baru pembangunan dan pemberdayaan masyarakat mencakup 4 (empat) aspek,
yakni: people centered, participatory, empowering, dan sustainable. Sementara
itu Parson et al. (1994) menekankan pentingnya masyarakat menguasai
keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi
kehidupan dirinya dan masyarakat sekitarnya yang menjadi bagian dari tanggung
jawab sosialnya.
Dengan demikian, menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007);
pemberdayaan adalah sebuah “proses menjadi”, bukan sebuah “proses instan”.
Sebagai sebuah proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan, yaitu:
(1) Tahap penyadaran; pada tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi
“pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka berhak
untuk mempunyai sesuatu
(2) Tahap pengkapasitasan (capacity building); untuk dapat diberikan daya atau
kuasa maka yang bersangkutan harus mampu terlebih dahulu
(3) Tahap pendayaan (empowerment); kepada target diberikan daya,
kekuasaan, otoritas atau peluang; sesuai dengan kualitas kecakapan yang
telah dimiliki.
Konsep pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan oleh
WWF-Indonesia adalah konsep pemberdayaan yang dikemukakan oleh Wulandari et al.
(2006), yaitu “proses yang menuntun masyarakat mengenali jatidirinya,
membangun kepercayaan diri, kapasitas, tanggung jawab, dan kemampuan
mengatasi berbagai tantangan”. Dalam kaitannya dengan konservasi dan
pengelolaan sumberdaya hutan; “pemberdayaan” adalah kondisi dimana
masyarakat dimampukan dan dijamin haknya untuk mengakses sumberdaya
hutan dan memanfaatkannya secara lestari demi kesejahteraan mereka. Bahkan
sekitar hutan merupakan salah satu kunci sukses pembangunan kehutanan
nasional.
Masyarakat sekitar hutan termasuk masyarakat hukum adat yang hidup
secara tradisional di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan
keberadaannya telah diakui oleh pemerintah. Dalam rangka pengelolaan hutan
yang berbasis pada peran masyarakat, maka prinsip dasar yang harus
dikembangkan adalah (Dirjen PHKA 1999 dalam Rianto 2005) :
a. Prinsip Co-Ownership yaitu bahwa kawasan hutan adalah milik bersama
yang harus dilindungi secara bersama-sama, untuk itu ada hak-hak
masyarakat di dalamnya yang harus diakui namun juga perlindungan yang
harus dilakukan bersama;
b. Prinsip Co-Operation/Co-Management yaitu bahwa kepemilikan bersama
mengharuskan pengelolaan hutan untuk dilakukan bersama-sama seluruh
komponen masyarakat (stakeholder) yang terdiri dari pemerintah, masyarakat
dan ORNOP yang harus bekerja bersama;
c. Prinsip Co-Responsibility yaitu bahwa keberadaan kawasan hutan menjadi
tanggung jawab bersama karena pengelolaan kawasan hutan merupakan
tujuan bersama.
Ketiga prinsip tersebut di atas dilaksanakan secara terpadu sehingga
fungsi kelestarian hutan dapat tercapai dengan melibatkan secara aktif peran
serta masyarakat sekitar hutan. Namun demikian agar masyarakat mampu
berpartisipasi maka perlu keberdayaan baik ekonomi, sosial dan pendidikan.
Menurut Hairiah et al. (2003), bentuk-bentuk pengelolaan hutan yang
berkembang dewasa ini dalam rangka pemberdayaan masyarakat, meliputi :
1. Perhutanan Sosial (Social Forestry)
Perhutanan Sosial yaitu upaya/kebijakan kehutanan yang ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar
hutan. Produk utama dari perhutanan sosial berupa kayu dan non kayu
(buah, bunga, daun, kulit kayu dan lain-lain). Oleh karena itu, dalam
prakteknya dapat berupa pembangunan hutan tanaman (man made forest)
atau penanaman pohon-pohon pada lahan milik masyarakat yang
15
2. Hutan kemasyarakatan (Community Forestry) dan Hutan Rakyat (Farm
Forestry)
Hutan kemasyarakatan adalah hutan yang perencanaan,
pembangunan, pengelolaan dan pemungutan hasil hutan serta
pemasarannya dilakukan sendiri oleh masyarakat yang tinggal di sekitar
hutan. Pelaksanaannya dapat dilakukan oleh pihak pemerintah (instansi
kehutanan) yang membantu masyarakat, dengan mengutamakan keuntungan
bagi seluruh masyarakat bukan untuk keuntungan individu semata.
Hutan rakyat adalah hutan di mana petani/pemilik lahan menanam
pepohonan di lahannya sendiri. Mereka biasanya telah mengikuti pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan kehutanan ataupun memperoleh bantuan untuk
kegiatan kehutanan.
Bentuk agroforestry mungkin dipilih dan diterapkan pada kedua
kegiatan tersebut bila pepohonan ditanam bersama dengan tanaman
pertanian dan atau peternakan. Dengan demikian hutan kemasyarakatan dan
hutan rakyat tidak selalu identik dengan agroforestry, karena agroforestry
adalah pemanfaatan lahan terpadu tanpa batasan kepemilikan lahan. Namun
dapat pula dilakukan dengan model agroforestry, dengan mencampur
tanaman pangan, perkebunan dan atau peternakan. Batasannya adalah
pemanfaatan lahan yang permanen, yang dilakukan dalam satu kawasan,
dengan waktu penanaman bergiliran atau bersamaan dalam satu kawasan
(campuran).
3. Hutan Serba Guna (Multiple Use Forestry)
Hutan Serba Guna adalah praktek kehutanan yang mempunyai dua atau
lebih tujuan pengelolaan, meliputi produksi, jasa dan keuntungan lainnya.
Dalam penerapan dan pelaksanaannya dapat menyertakan tanaman
pertanian atau kegiatan peternakan. Walaupun demikian hutan serba guna
tetap merupakan kehutanan dan bukan merupakan bentuk pemanfaatan
lahan terpadu sebagaimana agroforestry yang secara terencana diarahkan
pada pengkombinasian kehutanan dan pertanian untuk mencapai beberapa
tujuan yang terkait dengan degradasi lingkungan serta problema masyarakat
4. Forest Farming
Istilah forest farming sebenarnya mirip dengan multiple use forest, yang
digunakan untuk upaya peningkatan produksi lahan hutan, yaitu tidak melulu
produk kayu, tetapi juga mencakup berbagai bahan pangan dan hijauan.
5. Ecofarming
Ecofarming adalah bentuk budidaya pertanian yang mengusahakan sedapat
mungkin tercapainya keharmonisan dengan lingkungannya. Dalam hal
tertentu ecofarming dapat memasukkan komponen pepohonan atau
tumbuhan berkayu lainnya sehingga disebut agroforestry.
Dari kelima bentuk rehabilitasi hutan tersebut, bentuk kedua (Hutan
Kemasyarakatan) yang telah mendapat sambutan positif dari masyarakat,
sementara bentuk pertama (Perhutanan Sosial) sedang dikembangkan oleh
Departemen Kehutanan.
2.1.2 Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di Lingkar Rinjani
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan upaya
pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan melalui pengelolaan
sumberdaya hutan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan sosial,
budaya dan ekonomi masyarakat. Hasil analisis kebijakan PHBM NTB
menyebutkan bahwa implementasi PHBM di Lingkar Rinjani dilaksanakan dalam
berbagai bentuk, namun tetap dengan pola dan tujuan yang sama. Pengelolaan
Hutan Kemasyarakatan (HKm) diaplikasikan pada berbagai tempat dengan
menggerakkan masyarakat sekitar dan di dalam hutan untuk terlibat secara
langsung. Disamping itu, terdapat pengelolaan hutan dengan model lain seperti
Hutan Cadangan Pangan (HCP), Pengembangan Jalur Hijau, Penanaman
Bawah Tegakan, dan lain-lain. HKm pada lokasi Santong seluas ± 720 ha di
kelola kelompok masyarakat sekitar kawasan dalam bentuk Koperasi Tani
(Koptan) Maju Bersama. Komoditas perkebunan yang dikelola adalah Kopi,
sedangkan jenis kayu-kayuan yang ditanam adalah Sengon.
Pengelolaan areal eks HPH di kawasan Monggal dilakukan masyarakat
sekitar hutan dengan komoditas perkebunan yang dikelola adalah Vanilli, Kakao
dan Cengkeh dengan jenis kayu-kayuan Rajumas. Pengelolaan HCP di kawasan
17
tanaman pangan seperti padi gogo, jagung, pisang, nangka, dan lain-lain dengan
jenis kayu-kayuan Mahoni. Kawasan Sesaot dikelola dengan model HKm serta
telah membentuk KMPH (Kelompok Masyarakat Pelestari Hutan) dengan
menggunakan jenis tanaman yang lebih variatif, antara lain: pisang, durian,
nangka, kopi, dan lain-lain dengan jenis kayu-kayuan Sengon. Koperasi Pondok
Pesantren Darussadiqien mengelola HKm seluas 1.042 ha yang melibatkan
masyarakat sebanyak ± 4.000 orang meliputi 4 Desa (Aik Berik, Lantan, Stiling,
dan Wajageseng) dengan komoditas utama berupa pisang, durian, nangka,
manggis, dan lain-lain dengan jenis kayu-kayuan Sengon dan Mahoni.
Pengelolaan Jalur Hijau di Sapit melibatkan masyarakat sebanyak ± 900 orang
dalam Kelompok Tani Rimba Sejahtera dengan komoditas perkebunan adalah
Vanilli, Mangga, Pisang, dan lain-lain sedangkan jenis kayu-kayuan Sengon.
Berbagai bentuk PHBM dapat ditemukan hampir di semua wilayah
Kabupaten/Kota di NTB. Hasil produksi telah meningkatkan pendapatan
masyarakat sebesar 25-30 %, namun upaya rehabilitasi hutan yang dilakukan
belum menunjukkan hasil yang nyata, mengingat jenis tanaman kayu-kayuan
baru akan menampakan hasilnya dalam jangka waktu yang lama.
Kegiatan penebangan liar (illegal logging) pada lokasi yang dikelola
PHBM sangat jarang ditemui karena pengamanan hutan yang dilakukan
pemerintah bersama masyarakat sebagai pengelola sangat efektif. Adanya
komitmen untuk melestarikan hutan serta hubungan yang saling berkait antara
masyarakat dengan sumberdaya hutan menyebabkan hutan akan tetap terjaga
dan terpelihara. Jenis tanaman yang dikembangkan masyarakat seperti Kopi,
Kakao, Vanilli sangat memerlukan naungan sehingga penebangan kayu-kayuan
akan berdampak negatif pada tanaman perkebunan (kegagalan tanaman,
penurunan produksi, dan lain-lain). Pengembangan MPTS dengan jenis
buah-buahan (Mangga, Manggis, Nangka, Durian, dll) tetap berfungsi sebagai
pengatur tata air dan konservasi tanah. Hubungan ekologi yang berkait dengan
hubungan ekonomi masyarakat tersebut menyebabkan masyarakat akan
berusaha menjaga dan melestarikan sumberdaya hutan yang dikelolanya.
Secara langsung kelompok-kelompok masyarakat membentuk satuan
pengamanan hutan seperti KMPH yang akan selalu berusaha menjaga dan
melestarikan hutan secara progresif.
Permasalahan utama adalah jaminan penguasaan hasil yang belum
hutan masih ragu-ragu dalam mengusahakan jenis-jenis tanaman jangka
panjang seperti durian, nangka, mlinjo, dan lain-lain.
Hasil penelitian Kusumo et al. (2004) melaporkan bahwa Program HKm di
Pulau Lombok memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan ekonomi
masyarakat yang terlibat di dalamnya, namun sebaliknya terjadi perrmasalahan
biofisik yang cukup serius, yaitu penutupan lahan yang cukup terbuka
(20%-30%). Hal ini mengindikasikan adanya gangguan ekologis di kawasan tersebut
sehingga memiliki kecenderungan terjadiya erosi. Angka penutupan lahan
tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Amiruddin et al. (2001) yang
menemukan bahwa total tutupan lahan kolektif berkisar 21,5% - 85,14 %.
Temuan lainnya adalah perambahan hutan yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Sapit dan Perigi. Dari 300 hektar areal hutan yang mendapat
izin pengelolaan dari pemerintah daerah, berkembang menjadi 600 hektar
menuju Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani. Hasil analisis Muktasam et
al. (2003) menemukan bahwa kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan
merupakan faktor penentu dalam pengembangan agroforestry di Pulau Lombok.
Salah satu kelemahan dari konsep HKm selama ini adalah ketergesaan
pelaksana kegiatan yang langsung menuju kepada pemenuhan aspek ekonomi
dengan melupakan tahapan pengembangan institusi dan ekologi. Sebagai
dampak dari ketergesaan tersebut, maka mengakibatkan munculnya pengelolaan
Hutan Kemasyarakatan yang tidak terpola.
2.1.3 Pemberdayaan Masyarakat pada Kawasan Hutan di Mancanegara
A Filipina
Filipina telah melakukan kebijakan pemberdayaan masyarakat yang
disebut The Community Forest Stewardhip Agreement (CFSAs). CFSAs ini mulai
diberlakukan sejak tahun 1982, yaitu dengan dikeluarkannya Program Sosial
Kehutanan Terpadu (Integrated Social Forestry Program = ISFP). Selanjunya
ISFP ini dilaksanakan melalui program hutan kemasyarakatan (Community
Forest Program = CFP) (Riyanto 2005).
Dalam kenyataannya tidak ada program yang berhasil karena fasilitas
dasar seperti komunikasi, transportasi, peralatan survai, dan arah yang jelas
19
B. Thailand
Pada tahun 1987, Proyek Kehutanan Sosial di dataran tinggi/
pegunungan di Thailand (The Thailand Upland Social Forest Project = USFP)
dimulai dengan usaha kerjasama Departemen Kehutanan Kerajaan Thailand
(RFD) dan Chiang Mai, Kasertsart, dan Khon Kaen University, dengan bantuan
dana dan bantuan teknis dari Ford Foundation. Strategi yang diterapkan dalam
USFP adalah menjalankan kerjasama melalui dua tingkat. Pertama, Departemen
Kehutanan bekerjasama pada tingkat daerah dengan didampingi dari Fakultas
Kehutanan dan Fakultas Ilmu Sosial dan anggota ORNOP. Kedua, Departemen
Kehutanan merumuskan rencana penggunaan kawasan dengan masyarakat
lokal (Riyanto 2005).
Dalam pelaksanaannya, proyek kehutanan sosial di dataran tinggi
pegunungan di Thailand menghadapi beberapa permasalahan hukum yang tidak
dapat diselesaikan berkaitan dengan pengelolaan areal hutan berdasarkan
program hutan perdesaan dan program alokasi kawasan hutan nasional.
C. India
Kebijakan Nasional Joint Forest Manajement (JFM) dilaksanakan secara
nasional sejak 1990, setelah Departemen Lingkungan dan Kehutanan Pusat
mengeluarkan himbauan dalam bentuk resolusi kepada seluruh negara bagian
untuk lebih memperhatikan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Program ini menekankan kerjasama antara masyarakat yang ada di
sekitar hutan dengan Departemen Kehutanan dalam mengelola hutan untuk
keuntungan kedua belah pihak. Dalam mengelola hutan keduanya berbagi
peran, tangung jawab, dan hasil hutan yang dituangkan dalam sebuah
kesepakatan. Untuk keperluan tersebut, masyarakat desa harus membentuk
kelompok yang disebut Forest Protection Committees (FPCs). JFM ini telah
dilaksanakan di 27 negara bagian dan sudah menghimpun 36.000 FPC yang
mengelola hutan seluas 11 juta hektar (Riyanto 2005).
Hasil pengamatan Iswantoro (2001) dalam Rianto (2005) menunjukkan
bahwa Kebijakan Kehutanan India Tahun 1988 merupakan titik pijakan
pengelolaan hutan masa selanjutnya. Kebijakan ini tidak lagi menekankan
sumberdaya hutan sebagai sumber pendapatan, tetapi mementingkan
pemeliharaan stabilitas lingkungan melalui preservasi dan restorasi