• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASYARAKAT LOKAL

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI

8.5 Model Pemberdayaan

8.5.1 Alternatif Model Pemberdayaan Masyarakat

Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) PP No 34 Tahun 2002 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan” mengamanatkan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarian hutan. Adapun kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi.

Sejalan dengan adanya paradigma baru secara global bahwa pengelolaan hutan harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Hal ini tercermin dalam Kongres Kehutanan Sedunia ke VIII tahun 1978 di Jakarta dengan tema “Forest for People”. Dengan adanya konsep tersebut, maka sejak tahun 1984/1985 di Indonesia dikembangkan program ‘perhutanan sosial’ (Social Forestry). Tujuannya antara lain untuk menjalin hubungan yang lebih serasi dan seimbang antara petugas kehutan dan masyarakat sekitar hutan serta dikembangkan pula berbagai program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) yang bersifat aspiratif, partisipatif, kolaboratif, dengan melibatkan para pihak (multistakeholders), seperti pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, pakar dan LSM.

Berkenaan dengan pengelolaan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) berkelanjutan, perlu diciptakan keharmonisan masyarakat dengan biofisik TNGR. Dalam hal ini pemanfaatan TNGR harus dilakukan secara lestari dengan memperhatikan aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Oleh karena itu harus dibangun model pemberdayaan masyarakat yang menjamin keharmonisan antara masyarakat dengan Hutan Rinjani (TNGR) atau disingkat “

MAHAR-RINJANI” (Masyarakat Harmonis dengan Hutan Rinjani). Penyusunan model ini

dilatarbelakangi adanya disharmonisasi antara masyarakat dengan TNGR, yaitu eksploitasi hasil hutan kayu (HHK) oleh masyarakat di kawasan TNGR.

Gambar 18 mengilustrasikan rumusan model pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya, dan kelembagaan secara komprehensif. Aspek ekonomi dan ekologi serta peraturan-perundangan lebih ditekankan sebagai dasar penyusunan bentuk kegiatan pemberdayaan, sedangkan aspek sosial budaya dan kelembagaan dijadikan dasar penyusunan strategi pemberdayaan.

Gambar 18. Kerangka Penyusunan Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Penyangga TNGR Daya Dukung Sumberdaya Seksi Pemberdayaan Kws Penyangga (SPKP) SISTEM PENGKADASAN SAPI RINJANI Prioritas Peternakan Sapi Biofisik - Lokasi - WTP Ekonomi - Pengelr makan - Pendap L. Htn - Terlibat HKm - Pelihara Sapi Sosbud - Kebiasaan Lokal Permenhut: P.56/2006 PP 6/2007; PP 3/2008

MODEL PEMBERDAYAAN MASY:

MAHAR-RINJANIMasy. Sekitar TNGR Aspek Ekonomi Ekstraksi HHK Alternatif Kegt Ek. Produktif Peghasilan RT kecil

Lap Kerja Luar Hutan terbatas Ketergantungan thd Hutan tinggi Kebt. RT tdk tercukupi Ancaman Kerusakan TNGR Tinggi

Akt. Ek. Masy. - Petani = 51% - Buruhtani = 24% - Peternak = 12% - Lainnya = 13% Aspek Kelembagaan - Klp Masy Adat - Awig-awig - Tata Nialai Masy

Potensi Biofisik

TNGR

- Jalur Pendakian Sembalun - Obyek Wisata “Otak Kokok” Joben - Zona Pemanfaatan TNGR Kws Penyangga TNGR - Lahan milik (sawah, kebun) - Pekarangan Arboretum Terpadu TNGR Hutan Keluarga Hutan Kompensasi Pendakian Bewawasan Lingk

Pengembangan HHBK Peternakan Sapi Posko Pengaduan TNGR Kesra (+) & Kelest TNGR (+) Kesra (+) & Kelest TNGR (0) Kesra (0) & Kelest TNGR (0) Pendekatan: Prtisipatif Kolaboratif Komprehensif Orientasi: Masy Harmonis dengan Hutan Berkerlanjutan Pelaksanaan: 3 tahap 1. Penyadaran 2. Pengkapasitasan 3. Pendayaan STRATEGI PEMBERDAYAAN Masy TNGR Aspek Pemberdayaan

Ekonomi Sosbud Kelembagaan

Aspek Sosbud

Kesadaran LH tinggi Kepedulian LH rendah Benturan Nilai Kearifan lokal dg kebt ekonomi Persepsi sedang

Penilaian Ek. tinggi Partisipasi rendah Kriteria: PP 34/2002; Psl 15 (3) - Ekonomi - Ekologi - Sosbud

Model dan strategi serta bentuk kegiatan pemberdayaan yang dirumuskan merupakan hasil sintesis dari kajian dan analisis terhadap berbagai fakta dan fenomena berkenaan dengan keberadaan dan interaksi masyarakat dengan TNGR. Telaahan dan analisis tidak hanya dilakukan pada data dan informasi faktual saat ini (data primer), melainkan juga dilakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan, serta laporan dan hasil-hasil kajian sebelumnya termasuk program dan kegiatan pemberdayaan yang telah dilakukan oleh Balai TNGR dan/atau lembaga lainnya.

Pada Gambar 18 di atas dapat dilihat bahwa setiap aspek pemberdayaan memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi dengan aspek lainnya. Gangguan terhadap salah satu aspek akan dapat mempengaruhi aspek lainnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan belum diwujudkan dalam bentuk tindakan riil sebagai akibat adanya tuntutan kebutuhan ekonomi rumahtangga. Dalam hal ini tata nilai dan kearifan lokal mengalami benturan dan cenderung semakin longgar karena adanya tuntutan kebutuhan ekonomi yang mendesak. Lebih lanjut hasil analisis juga menunjukkan bahwa aspek ekologi/biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya secara bersama-sama mempengaruhi interaksi HHK sehingga dalam pengelolaan TNGR berkelanjutan, ketiga aspek ini harus dibenahi secara komprehensif. Meski demikian, kunci utama pemberdayaan adalah aspek ekonomi karena aspek ini memiliki hubungan (korelasi) positif yang nyata (significant) dengan partisipasi dalam pengelolaan TNGR. Tanpa ada upaya peningkatan pendapatan, maka interaksi HHK seperti yang terjadi saat ini akan terus berlangsung, bahkan akan semakin berkembang.

Selanjutnya untuk menjamin keharmonisan antara masyarakat dengan eksistensi TNGR, maka ditetapkan 2 (dua) sasaran utama yang menjadi dasar pertimbangan dalam merumuskan model pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR, yaitu kelestarian TNGR dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini parameter yang dijadikan penentu kesejahteraan adalah pendapatan/ penghasilan rumahtangga serta ukuran kelestarian adalah kondisi biofisik TNGR.

Berkenaan dengan kedua kriteria di atas, maka berdasarkan hasil kajian dan analisis dapat dirumuskan model-model pemberdayaan masyarakat di Kawasan TNGR sebagaimana disajikan pada Tabel 27. Adapun alternatif kegiatan yang diajukan pada masing-masing model pemberdayaan didasarkan pada pertimbangan potensi (baik potensi TNGR maupun potensi kawasan penyangga TNGR) dan peluang pengembangan yang tersedia.

Tabel 27 Model-Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR

No Sasaran Pemberdayaan Model Bentuk Kegiatan

Kesmas Kelestarian Pemberdayaan Pemberdayaan

1 Meningkat Meningkat Model I 1. ArboretumTerpadu TNGR

2. Pendakian Berwawasan L 3. Hutan Kompensasi

2 Menigkat Tetap Model II 1. Hutan Keluarga

2. Peternakan Sapi 3. Usaha Kecil HHBK

3 Tetap Tetap Model III Posko Pengaduan TNGR

Dari tiga model pemberdayaan yang disajikan pada Tabel 27 di atas, Model I (pertama) merupakan model yang paling ideal untuk dikembangkan di Kawasan TNGR. Selain meningkatkan daya dukung TNGR, model ini juga sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Dengan perkataan lain, model I (pertama) merupakan model yang berorientasi ekologi dan sekaligus ekonomi masyarakat. Model II (kedua) lebih mengutamakan kesejahteraan ekonomi (peningkatan pendapatan) dibandingkan ekologi atau model yang berorientasi ekonomi. Model ini memungkinkan untuk mempertahan- kan kelestarian TNGR karena terjadi peningkatan pendapatan masyarakat sehingga partisipasi dalam pelestarian TNGR juga meningkat. Dalam hal ini diasumsikan masyarakat akan ikut menjaga kelestarian sumberdaya hutan atau minimal tidak melakukan penebangan liar manakala memiliki mata pencaharian tetap yang dapat menopang kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini sesuai dengan hasil analisis sebelumnya bahwa peningkatan pendapatan dari luar kehutanan akan dapat meredam atau menurukan interaksi HHK masyarakat. Model III (ketiga) diperuntukkan khusus bagi masyarakat yang memiliki rasa kepedulian terhadap kelestarian TNGR tanpa mengharapkan imbalan atau isentif ekonomi.

Model lainnya yang lebih menekankan pada aspek ekologi (Pendapatan masyarakat tetap sedangkan kelestarian TNGR meningkat), nampaknya sulit untuk dilaksanakan. Meningkatkan kondisi biofisik TNGR tanpa dibarengi dengan peningkatan penghasilan masyarakat sekitar sulit untuk dilaksanakan. Kenyataan ini didasarkan pada hasil kajian dan analisis sebelumnya bahwa masyarakat di sekitar kawasan TNGR akan berpartisipasi dalam pemeliharaan TNGR atau sumberdaya hutan lainnya manakala ada insentif atau manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari kegiatan yang dilakukan. Disamping itu tata nilai dan kearifan

lingkungan mengalami benturan dengan kebutuhan ekonomi keluarga; dan biasanya pemenuhan kebutuhan ini menjadi prioritas yang lebih diutamakan.

Bentuk kegiatan pada setiap model pemberdayaan sebagaimana disajikan pada Tabel 27 di atas memiliki spesifikasi tersendiri serta memilki kelebihan dan kekurangan/kelemahan masing-masing. Deskripsi dari setiap bentuk kegiatan yang diajukan dijabarkan sebagai berikut:

1) Arboretum Terpadu TNGR

Di wilayah Resort Joben (wilayah TNGR Bagian Selatan), terdapat zona pemanfaatan intensif seluas 171 ha. Di lokasi ini terdapat objek wisata berupa air terjun dan kolam permandian yang setiap saat banyak dikunjungi masyarakat lokal dan wisatawan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara. Selain sebagai lokasi wisata, masih tersedia areal yang cukup luas berupa padang savana. Di areal ini sejak tahun 2004 telah mulai dilakukan penanaman pohon-pohon endemik lokasi hingga saat penelitian ini dilakukan (Februari 2008) telah mencapai 20 ha. Dengan demikian areal lahan yang tersedia masih cukup luas dimana saat ini masyarakat diberikan akses untuk mengambil rumput pakan ternak dengan catatan tidak boleh mengganggu pohon yang berada di lokasi yang bersangkutan.

Di lokasi ini, Petugas Ekosistem Hutan (PEH) TNGR sejak tahun 2003 melakukan pembinaan populasi tumbuhan yang ada di Pulau Lombok, yaitu melakukan koleksi dan perbanyakan tumbuhan (terutama yang ada di kawasan TNGR) dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan Ikatan Keluarga Alumni Sekolah Kehutanan Menengah Atas (IKA SKMA). Di tempat ini juga telah mulai dirintis penangkaran dan pembinaan populasi kupu-kupu, tanaman hias (anggrek), ikan hias, dan lebah madu.

Berdasarkan potensi yang tersedia serta perkembangan yang terjadi, maka kawasan ini potensial untuk pengembangan Arboretum Terpadu TNGR. Daerah ini cukup strategis mengingat lokasinya berdekatan dengan pemukiman penduduk dan objek wisata di kawasan ini setiap saat banyak dikunjungi masyarakat lokal.

Pengadaan Arboretum terpadu TNGR dimaksudkan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat sekitar berkenaan dengan pengembangan flora dan fauna. Untuk mewujudkan lokasi ini sebagai media pembelajaran (termasuk hutan pendidikan), maka areal yang tersedia ini dapat dikembangkan untuk berbagai kegiatan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat baik secara

perorangan maupun berkelompok. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan adalah: budidaya kayu hutan (endemik), green house dan penangkaran untuk uji coba berbagai jenis flora dan fauna khas Rinjani, dan demplot percontohan ekosistem hutan. Disamping itu masyarakat dapat diberikan pelatihan keterampilan dan praktek lapangan tentang teknik budidaya dan pembiakan tanaman (vegetatif dan generatif), pembuatan kompos, serta keterampilan budidaya lainnya. Diharapkan dengan media pembelajaran ini, selain meningkatkan kesadaran lingkungan, masyarakat termotivasi untuk mengembangkan berbagai jenis tanaman secara komersial guna meningkatkan pendapatan keluarga, misalnya pengembangan anggrek.

Selain menjadi media pembelajaran, kawasan ini juga sekaligus dapat dijadikan showroom yang memamerkan dan menjual berbagai jenis bunga dan bibit tanaman (khususnya khas Rinjani). Dalam hal ini bunga dan bibit tanaman yang ditawarkan adalah hasil dari masyarakat sekitar. Disamping itu untuk lebih meningkatkan kesadaran, penghayatan, dan daya tarik masyarakat terhadap pelestarian hutan, maka secara berkala dilakukan pemutaran film dokumenter tentang kehutanan, meliputi dampak kerusakan hutan, pelaku pembalakan, dan kejadian-kejadian di berbagai daerah sebagai akibat kerusakan hutan. Sasaran utama pemutaran film dokumenter ini tidak hanya masyarakat sekitar, melainkan juga para pengunjung yang datang berwisata ke tempat ini, terutama anak-anak sekolah. Untuk keperluan tersebut perlu dibangun gedung/ruang bioskop lingkungan.

Areal yang tersedia untuk pengembangan berbagai kegiatan di atas masih cukup luas, yaitu 171 ha sehingga cukup potensial sebagai media pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pengembangan Arboretum Terpadu TNGR ini memang membutuhkan biaya investasi yang cukup besar, namun dalam jangka panjang dapat memberikan keuntungan dan dampak positif yang cukup besar, baik bagi keberlanjutan eksistensi TNGR maupun pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar. Dampak positif dimaksud antara lain: (1) peningkatan keterampilan pembiakan tanaman, (2) peningkatan pendapatan masyarakat, (3) peningkatan kesadaran lingkungan hidup, (4) penciptaan lapangan kerja/usaha baru, dan (5) peningkatan daya dukung TNGR.